Anda di halaman 1dari 51

Lansia adalah seseorang yang berusia ditas 60 tahun, dimana orang-orang ini mempunyai

masalah sendiri yang berhubungan dengan proses menjadi tua dengan segala akibat badaniah,
psikologi dan sosial. Hipertensi merupakan penyakit tekanan darah tinggi, dimana tekanan
darah sistolik > 140 dan diastol >90 separuh penderita hiprtensi orang berusia diatas 60
tahun. Senam lansia merupakan olahraga aerobik yang aman untuk
memelihara tekanan darah lansia.
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan pengaruh senam lansia terhadap penurunan
tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di PSTW Budhi Luhur Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah quasy eksperimental dan menggunakan desain penelitian
pretest-posttest with control design. Sampel yang diambil sebanyak 50 responden dengan
teknik total sampling.
Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok intervensi penurunan tekanan darah
sistolik sebesar 8,04mmHg. Sedangkan untuk tekanan darah diastolik pada kelompok
intervensi mengalami penurunan sebesar 5,72mmHg. Berdasarkan hasil uji Unpaired T-test,
diperoleh hasil p=0,009 untuk nilai sistolik dan p=0,006 untuk nilai diastolik, keduanya lebih
kecil dari p value 0,05 sehingga disimpulkan terdapat pengaruh pelaksanaan senam lansia
terhadap penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi. Berdasarkan hasil
penelitian maka disarankan para lansia untuk selalu mengikti senam lansia secara rutin.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia
pertengahan (middle age) 45-59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old)
75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.6 Berdasarkan bertambahnya usia,
lansia kerap mengalami beberapa masalah, seperti gangguan fisik, kehilangan dalam bidang
sosial ekonomi, seks dan gangguan psikiatri. Adapun penyakit-penyakit yang sering dialami oleh
lansia, yaitu radang sendi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, stroke dan hipertensi.3
Hipertensi pada lansia
Hipertensi merupakan suatu kelainan yang sangat sering terjadi pada manusia. Hipertensi atau
tekanan darah tinggi merupakan kondisi dimana tekanan darah sitolik sama dengan atau lebih
tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHgBerdasarkan penyebabnya
dikenal dua jenis hipertensi: (1) Hipertensi primer atau esensial; dan (2) Hipertensi sekunder.
Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi yang sering
terjadi pada lansia adalah hipertensi sistolik terisolasi. Hipertensi sistolik terisolasi yaitu suatu
keadaan dimana tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih sedangkan tekanan diastolik
kurang dari 90 mmHg. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan
diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau
bahkan menurun derastis. Hipertensi sistolik terisolasi merupakan jenis hipertensi yang sering
terjadi pada lansia.4

BAB I

PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG

Hipertensi seringkali disebut sebagai pembunuh gelap (silent killer), karena

termasuk penyakit yang mematikan, tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih


dahulu sebagai peringatan bagi korbannya. Kalaupun muncul, gejala tersebut

seringkali dianggap gangguan biasa, sehingga korbannya terlambat menyadari akan

datangnya penyakit (Sustrani, 2006).

Hipertensi menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, karena jika

tidak terkendali akan berkembang dan menimbulkan komplikasi yang berbahaya.

Akibatnya bisa fatal karena sering timbul komplikasi, misalnya stroke (perdarahan

otak), penyakit jantung koroner, dan gagal ginjal (Gunawan, 2001).

Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik

terisolasi (HST), meningkatnya tekanan sistolik menyebabkan besarnya

kemungkinan timbulnya kejadian stroke dan infark myocard bahkan walaupun

tekanan diastoliknya dalam batas normal (isolated systolic hypertension). Isolated

systolic hypertension adalah bentuk hipertensi yang paling sering terjadi pada lansia.

Pada suatu penelitian, hipertensi menempati 87% kasus pada orang yang berumur

50 sampai 59 tahun. Adanya hipertensi, baik HST maupun kombinasi sistolik dan

diastolik merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas untuk orang lanjut usia.

Hipertensi masih merupakan faktor risiko utama untuk stroke, gagal jantung

penyakit koroner, dimana peranannya diperkirakan lebih besar dibandingkan pada

orang yang lebih muda (Kuswardhani, 2007)

Kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan

arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya

kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri

dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Dinding, yang kini tidak elastis, tidak

dapat lagi mengubah darah yang keluar dari jantung menjadi aliran yang lancar.

Hasilnya adalah gelombang denyut yang tidak terputus dengan puncak yang tinggi

(sistolik) dan lembah yang dalam (diastolik) (Wolff , 2008).


Prevalensi HST adalah sekitar berturut-turut 7%, 11%, 18% dan 25% pada

kelompok umur 60-69, 70-79, 80-89, dan diatas 90 tahun. HST lebih sering

ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki. Pada penelitian di Rotterdam,

Belanda ditemukan: dari 7983 penduduk berusia diatas 55 tahun, prevalensi

hipertensi (160/95mmHg) meningkat sesuai dengan umur, lebih tinggi pada

perempuan (39%) dari pada laki-laki (31%). Di Asia, penelitian di kota Tainan,

Taiwan menunjukkan hasil sebagai berikut: penelitian pada usia diatas tahun

dengan kriteria hipertensi berdasarkan The Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and treatment of High Bloodpressure (JNC VI),ditemukan

prevalensi hipertensi sebesar 60,4% (laki-laki 59,1% dan perempuan 61,9%), yang

sebelumnya telah terdiagnosis hipertensi adalah 31,1% (laki-laki 29,4% dan

perempuan 33,1%), hipertensi yang baru terdiagnosis adalah 29,3% (laki-laki 29,7%

dan perempuan 28,8%). Pada kclompok ini, adanya riwayat keluarga dengan

hipertensi dan tingginya indeks masa tubuh merupakan faktor risiko hipertensi

(Kuswardhani, 2007).

Hipertensi masih menjadi masalah kesehatan pada kelompok lansia. Sebagai

hasil pembangunan yang pesat dewasa ini dapat meningkatkan umur harapan

hidup, sehingga jumlah lansia bertambah tiap tahunnya, peningkatan usia tersebut

sering diikiuti dengan meningkatnya penyakit degeneratif dan masalah kesehatan

lain pada kelompok ini. Hipertensi sebagai salah satu penyakit degeneratif yang

sering dijumpai pada kelompok lansia (Abdullah.2005).

Data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang

atau 26,4% penghuni bumi mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria

dan 26,1% wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun
2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639

sisanya berada di negara sedang berkembang, temasuk Indonesia (Andra,2007).

Umur Harapan Hidup (UHH, proporsi penduduk Indonesia umur 55 tahun ke

atas pada tahun 1980 sebesar 7,7% dari seluruh populasi, pada tahun 2000

meningkat menjadi 9,37% dan diperkirakan tahun 2010 proporsi tersebut akan

meningkat menjadi 12%, serta UHH meningkat menjadi 65-70 tahun. Dalam hal ini

secara demografi struktur umur penduduk Indonesia bergerak ke arah struktur

penduduk yang semakin menua (ageing population). Peningkatan UHH akan

menambah jumlah lanjut usia (lansia) yang akan berdampak pada pergeseran pola

penyakit di masyarakat dari penyakit infeksi ke penyakit degenerasi. Prevalensi

penyakit menular mengalami penurunan, sedangkan penyakit tidak menular

cenderung mengalami peningkatan. Penyakit tidak menular (PTM) dapat

digolongkan menjadi satu kelompok utama dengan faktor risiko yang sama (common

underlying risk faktor) seperti kardiovaskuler, stroke, diabetes mellitus, penyakit paru

obstruktif kronik, dan kanker tertentu. Faktor risiko tersebut antara lain

mengkonsumsi tembakau, konsumsi tinggi lemak kurang serat, kurang olah raga,

alkohol, hipertensi, obesitas, gula darah tinggi, lemak darah tinggi

Berdasarkan hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2001, di

kalangan penduduk umur 25 tahun ke atas menunjukkan bahwa 27% laki-laki dan

29% wanita menderita hipertensi, 0,3% mengalami penyakit jantung iskemik dan

stroke, 1,2% diabetes, 1,3% laki-laki dan 4,6% wanita mengalami kelebihan berat

badan (obesitas), dan yang melakukan olah raga 3 kali atau lebih per minggu hanya

14,3%. Laki-laki umur 25-65 tahun yang mengkonsumsi rokok sangat tinggi yaitu

sebesar 54,5%, dan wanita sebesar 1,2%.


Berdasarkan hasil survei kesehatan pada tahun 2011, di Pedukuhan Krajan,

Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta terdapat 54 lanjut usia dan 23

(46%) diantaranya menderita hipertensi.

B.   TUJUAN PENYULUHAN

a.    Tujuan Umum

Meningkatkan pengetahuan masyarakat di Pedukuhan Krajan, Kecamatan Kalasan, Kabupaten

Sleman, Yogyakarta tentang hipertensi.

b.    Tujuan Khusus

Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya lansia tentang hipertensi, khususnya :

a.    Hipertensi

  Pengertian hipertensi

  Etiologi hipertensi

  Jenis hipertensi

  Patofisiologi

  Klasifikasi hipertensi

b.    Gejala hipertensi

c.    Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi

d.    Komplikasi hipertensi

e.    Pencegahan hipertensi

f.     Makanan yang diperbolehkan

g.    Makanan yang tidak diperbolehkan

C.   MANFAAT PENELITIAN


a.    Bagi Masyarakat

1)    Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya pemantauan imformasi kesehatan dan penyakit

hipertensi

2)    Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya pemantauan hipertensi pada lanjut usia sehingga

dapat dikontrol apabila terjadi masalah dengan penyakit hipertensi khususnya

b.    Bagi Institusi

1)    Memberikan masukan dalam hal pemantauan hipertensi pada lanjut usia. Di Pedukuhan Krajan

2)    Dapat dijadikan pedoman dalam menentukan kebijakan program penyakit hipertensi untuk golongan

lanjut usia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.  HIPERTENSI

             a.    Pengertian Hipertensi

Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada

pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh

darah, terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya (Sustrani, 2006).

Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh

darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. WHO (World Health

Organization) memberikan batasan tekanan darah normal adalah 140/90 mmHg,

dan tekanan darah sama atau diatas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.

Batasan ini tidak membedakan antara usia dan jenis kelamin (Marliani, 2007).

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan

sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia,

hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90

mmHg (Rohaendi, 2008).

               b.    Etiologi

Menurut Sutanto (2009), penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia

adalah terjadinya perubahan – perubahan pada :

a.      Elastisitas dinding aorta menurun

b.      Katub jantung menebal dan menjadi kaku


c.      Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur

20 tahun, kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan

menurunnya kontraksi dan volumenya.

d.      Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas

pembuluh darah perifer untuk oksigenasi

e.      Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang

pertama hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya. Yang kedua hipertensi

sekunder, disebabkan kelainan ginjal dan kelainan kelenjar tiroid. Yang banyak

terjadi adalah hipertensi primer, sekitar 92-94% dari kasus hipertensi. Dengan kata

lain, sebagian besar hipertensi tidak dapat dipastikan penyebabnya (Marliani, 2007).

        c.    Jenis Hipertensi

Hipertensi dapat didiagnosa sebagai penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih

sering dijumpai terkait dengan penyakit lain, misalnya obesitas, dan diabetes

melitus. Berdasarkan penyebabnya, hipertpensi dapat dikelompokkan menjadi dua

golongan, yaitu:

a.    Hipertensi esensial atau hipertensi primer

Yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (Gunawan, 2001). Sebanyak

90-95 persen kasus hipertensi yang terjadi tidak diketahui dengan pasti apa

penyebabnya. Para pakar menunjuk stress sebagai tuduhan utama, setelah itu

banyak faktor lain yang mempengaruhi, dan para pakar juga menemukan hubungan

antara riwayat keluarga penderita hipertensi (genetik) dengan resiko untuk juga

menderita penyakit ini. Faktor- faktor lain yang dapat dimasukkan dalam daftar
penyebab hipertensi jenis ini adalah lingkungan,dan faktor yang meningkatkan

resikonya seperti obesitas, konsumsi alkohol, dan merokok.

b.    Hipertensi renal atau hipertensi sekunder

Yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain (Gunawan, 2001). Pada 5-10

persen kasus sisanya, penyebab spesifiknya sudah diketahui, yaitu gangguan

hormonal, penyakit jantung, diabetes, ginjal, penyakit pembuluh darah atau

berhubungan dengan kehamilan. Garam dapur akan memperburuk hipertensi, tapi

bukan faktor penyebab.

d.      Patofisiologi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat

vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang

berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia

simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk

impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik

ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca

ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan

konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat

mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan

hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas

mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah

sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan

tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang

menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang

dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang

mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin


merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II,

suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh

korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,

menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan

keadaan hipertensi.

Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan struktural dan

fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan

darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya

elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang

pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.

Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi

volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan

curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Rohaendi, 2008).

          e.    Klasifikasi Hipertensi

a.    Klasifikasi hipertensi menurut WHO (World Health Organization) dalam Rohaendi

(2008):

1)     Tekanan darah normal, yakni tekanan sistolik kurang atau sama dengan 140 mmHg

dan tekanan diastoliknya kurang atau sama dengan 90 mmHg.

2)     Tekanan darah borderline (perbatasan), yakni tekanan sistolik 140-159 mmHg dan

tekanan diastoliknya 90-94 mmHg

3)     Tekanan darah tinggi atau hipertensi, yakni sistolik 1ebih besar atau sama dengan

160 mmHg dan tekanan diastoliknya lebih besar atau sama dengan 95mmHg.

b.    Menurut Salma Elsanti (2009), klasifikasi penyakit hipertensi terdiri dari:

Tekanan sistolik:

1)  < 119 mmHg : Normal


2)  120-139 mmHg : Pra hipertensi

3)  140-159 mmHg : Hipertensi derajat 1

4)  > 160 mmHg : hipertensi derajat 2

Tekanan diastolik

1)  < 79 mmHg : Normal

2)  80-89 mmHg : pra hipertensi

3)  90-99 mmHg : hipertensi derajat 1

4)  >100mmHg : hipertensi derajat 2

Stadium 1: Hipertensi ringan (140-159 mmHg 90-99 mmHg)

Stadium 2: Hipertensi sedang (160-179 mmHg 100-109 mmHg)

Stadium 3: Hipertensi berat (180-209 mmHg 110-119 mmHg)

B.  GEJALA HIPERTENSI

Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak memiliki gejala

khusus. Menurut Sutanto (2009), gejala-gejala yang mudah diamati antara lain yaitu

a.    Gejala ringan seperti pusing atau sakit kepala

b.    Sering gelisah

c.    Wajah merah

d.    Tengkuk terasa pegal

e.    Mudah marah

f.     Telinga berdengung

g.    Sukar tidur


h.    Sesak napas

i.      Rasa berat ditengkuk

j.      Mudah lelah

k.    Mata berkunang-kunang

l.      Mimisan ( keluar darah dari hidung).

C.  FAKTOR RESIKO YANG MEMPENGARUHI HIPERTENSI

Menurut Elsanti (2009), faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat

atau tidak dapat dikontrol, antara lain:

a.  Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dikontrol:

1)      Jenis kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun wanita

terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum

mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam

meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang

tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses

aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya

imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai

kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi

pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen

tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang

umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun. Dari hasil penelitian

didapatkan hasil lebih dari setengah penderita hipertensi berjenis kelamin wanita

sekitar 56,5%. (Anggraini dkk, 2009).


Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda.

Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita

hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah

menopause (Marliani, 2007).

2)     Umur

Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang

yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang

berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara khusus. Hal

ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis

obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus ,

hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. Pada wanita, hipertensi sering terjadi pada

usia diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah

menopause.

Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia

ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama,

terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya

arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya

penyesuaian diri.

Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga

prevalensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian

sekitar 50 % diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitas atau kelenturan serta

tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan kasus

hipertensi akan berkembang pada umur lima puluhan dan enampuluhan. Dengan

bertambahnya umur, dapat meningkatkan risiko hipertensi


3)     Keturunan (Genetik)

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu

mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan

kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium

Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar

untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan

riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan

riwayat hipertensi dalam keluarga (Anggraini dkk, 2009). Seseorang akan memiliki

kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah

penderita hipertensi (Marliani, 2007).

Menurut Rohaendi (2008), mengatakan bahwa Tekanan darah tinggi cenderung

diwariskan dalam keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua anda ada yang

mengidap tekanan darah tinggi, maka anda akan mempunyai peluang sebesar 25%

untuk mewarisinya selama hidup anda. Jika kedua orang tua mempunyai tekanan

darah tingi maka peluang anda untuk terkena penyakit ini akan meningkat menjadi

60%.

b.    Faktor Resiko Yang Dapat Dikontrol:

     Obesitas

Pada usia pertengahan ( + 50 tahun ) dan dewasa lanjut asupan kalori sehingga

mengimbangi penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya

berat badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok

lansia karena dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan

pembuluh darah, hipertensi (Rohendi, 2008).


Untuk mengetahui seseorang mengalami obesitas atau tidak, dapatdilakukan

dengan mengukur berat badan dengan tinggi badan, yang kemudian disebut dengan

Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

Berat Badan (kg)

IMT = ------------------------------------------------

Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

IMT berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah

sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita

hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.

Obesitas beresiko terhadap munculnya berbagai penyakit jantung dan pembuluh

darah. Disebut obesitas apabila melebihi Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa

Tubuh (IMT). BMI untuk orang Indonesia adalah 25. BMI memberikan gambaran

tentang resiko kesehatan yang berhubungan dengan berat badan. Marliani juga

mengemukakan bahwa penderita hipertensi sebagian besar mempunyai berat badan

berlebih, tetapi tidak menutup kemungkinan orang yang berat badanya normal (tidak

obesitas) dapat menderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah

penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan berat badannya

normal. (Marliani,2007).

2)     Kurang olahraga

Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular,

karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan

menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga
menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat

karena adanya kondisi tertentu.

Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena

bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung

mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih

keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa

semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri. Latihan fisik berupa berjalan

kaki selama 30-60 menit setiap hari sangat bermanfaat untuk menjaga jantung dan

peredaran darah. Bagi penderita tekanan darah tinggi, jantung atau masalah pada

peredaran darah, sebaiknya tidak menggunakan beban waktu jalan. Riset di Oregon

Health Science kelompok laki-laki dengan wanita yang kurang aktivitas fisik dengan

kelompok yang beraktifitas fisik dapat menurunkan sekitar 6,5% kolesterol LDL (Low

Density Lipoprotein) faktor penting penyebab pergeseran arteri (Rohaendi, 2008).

3)     Kebiasaan Merokok

Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat

dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya

stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis. Dalam penelitian kohort

prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and Women’s Hospital,

Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi,

51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok

1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang

perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam

penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan

kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Rahyani, 2007).

4)     Mengkonsumsi garam berlebih


Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)

merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya

hipertensi. Kadar yodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol

(sekitar 2,4 gram yodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang

berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat.

Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan

ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut

menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya

hipertensi. (Wolff, 2008).

5)     Minum alkohol

Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung

dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol

berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi (Marliani, 2007).

6)     Minum kopi

Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi

mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi

meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.

7)     Stress

Hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf

simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak

menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah

menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di

masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat

dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang


tinggal di kota (Rohaendi, 2003). Menurut Anggraini dkk, (2009) menagatakan

Stress akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung

sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stress ini dapat

berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal

D.  KOMPLIKASI HIPERTENSI

Menurut Sustrani (2006), membiarkan hipertensi membiarkan jantung bekerja

lebih keras dan membiarkan proses perusakan dinding pembuluh darah berlangsung

dengan lebih cepat. Hipertensi meningkatkan resiko penyakit jantung dua kali dan

meningkatkan resiko stroke delapan kalindibanding dengan orang yang tidak

mengalami hipertensi.

Selain itu hipertensi juga menyebabkan terjadinya payah jantung, gangguan

pada ginjal dan kebutaan. Penelitian juga menunjukkan bahwa hipertensi dapat

mengecilkan volume otak, sehingga mengakibatkan penurunan fungsi kognitif dan

intelektual. Yang paling parah adalah efek jangka panjangnya yang berupa kematian

mendadak.

a.    Penyakit jantung koroner dan arteri

Ketika usia bertambah lanjut, seluruh pembuluh darah di tubuh akan semakin

mengeras, terutama di jantung, otak dan ginjal. Hipertensi sering diasosiasikan

dengan kondisi arteri yang mengeras ini.

b.    Payah jantung

Payah jantung (Congestive heart failure) adalah kondisi dimana jantung tidak

mampu lagi memompa darah yang dibutuhkan tubuh. Kondisi ini terjadi karena

kerusakan otot jantung atau system listrik jantung.

c.    Stroke
Hipertensi adalah faktor penyebab utama terjadinya stroke, karena tekanan darah

yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah yang sudah lemah menjadi

pecah. Bila hal ini terjadi pada pembuluh darah di otak, maka terjadi perdarahan

otak yang dapat berakibat kematian. Stroke juga dapat terjadi akibat sumbatan dari

gumpalan darah yang macet di pembuluh yang sudah menyempit.

d.    Kerusakan ginjal

Hipertensi dapat menyempitkan dan menebalkan aliran darah yang menuju ginjal,

yang berfungsi sebagai penyaring kotoran tubuh. Dengan adanya gangguan

tersebut, ginjal menyaring lebih sedikit cairan dan membuangnya kembali kedarah.

Gagal ginjal dapat terjadi dan diperlukan cangkok ginjal baru.

e.    Kerusakan penglihatan

Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di mata, sehingga

mengakibatkan mata menjadi kabur atau kebutaan.

E.  PENCEGAHAN HIPERTENSI

Agar terhindar dari komplikasi fatal hipertensi, harus diambil tindakan pencegahan

yang baik (stop High Blood Pressure), antara lain menurut bukunya (Gunawan,

2001),dengan cara sebagai berikut:

a.      Mengurangi konsumsi garam.

Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal 2 g garam dapur untuk

diet setiap hari.

b.      Menghindari kegemukan (obesitas).


Hindarkan kegemukan (obesitas) dengan menjaga berat badan (b.b) normal atau

tidak berlebihan. Batasan kegemukan adalah jika berat badan lebih 10% dari berat

badan normal.

c.      Membatasi konsumsi lemak.

Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol darah tidak terlalu

tinggi. Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya endapan

kolesterol dalam dinding pembuluh darah. Lama kelamaan, jika endapan kolesterol

bertambah akan menyumbat pembuluh nadi dan menggangu peredaran darah.

Dengan demikian, akan memperberat kerja jantung dan secara tidak langsung

memperparah hipertensi.

d.      Olahraga teratur.

Menurut penelitian, olahraga secara teratur dapat meyerap atau menghilangkan

endapan kolesterol dan pembuluh nadi. Olahraga yang dimaksud adalah latihan

menggerakkan semua sendi dan otot tubuh (latihan isotonik atau dinamik), seperti

gerak jalan, berenang, naik sepeda. Tidak dianjurkan melakukan olahraga yang

menegangkan seperti tinju, gulat, atau angkat besi, karena latihan yang berat

bahkan dapat menimbulkan hipertensi.

e.      Makan banyak buah dan sayuran segar.

Buah dan sayuran segar mengandung banyak vitamin dan mineral. Buah yang

banyak mengandung mineral kalium dapat membantu menurunkan tekanan darah.

f.       Tidak merokok dan minum alkohol.

g.      Latihan relaksasi atau meditasi.

Relaksasi atau meditasi berguna untuk mengurangi stress atau ketegangan jiwa.

Relaksasi dilaksanakan dengan mengencangkan dan mengendorkan otot tubuh


sambil membayangkan sesuatu yang damai, indah, dan menyenangkan. Relaksasi

dapat pula dilakukan dengan mendengarkan musik, atau bernyanyi.

h.      Berusaha membina hidup yang positif.

Dalam kehidupan dunia modern yang penuh dengan persaingan, tuntutan atau

tantangan yang menumpuk menjadi tekanan atau beban stress (ketegangan) bagi

setiap orang. Jika tekanan stress terlampau besar sehingga melampaui daya tahan

individu, akan menimbulkan sakit kepala, suka marah, tidak bisa tidur, ataupun

timbul hipertensi. Agar terhindar dari efek negative tersebut, orang harus berusaha

membina hidup yang positif. Beberapa cara untuk membina hidup yang positif

adalah sebagai berikut:

1)        Mengeluarkan isi hati dan memecahkan masalah

2)        Membuat jadwal kerja, menyediakan waktu istirahat atau waktu untuk kegiatan

santai.

3)   Menyelesaikan satu tugas pada satu saat saja, biarkan orang lain menyelesaikan

bagiannya.

4)        Sekali-sekali mengalah, belajar berdamai.

5)        Cobalah menolong orang lain.

6)        Menghilangkan perasaan iri dan dengki.

F.   MAKANAN YANG DI PERBOLEHKAN

1.    Bayam

Bayam merupakan sumber magnesium yang sangat baik. Tidak hanya melindungi

dari penyakit jantung, tetapi juga dapat mengurangi tekanan darah. Selain itu,

kandungan folat dalam bayam dapat melindungi tubuh dari homosistein yang
membuat bahan kimia berbahaya. Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat tinggi

asam amino (homosistein) dapat menyebabkan serangan jantung dan stroke.

2.    Kacang-kacangan

Kacang-kacangan, seperti kacang tanah, almond, kacang merah mengandung

magnesium dan potasium. Potasium dikenal cukup efektif menurunkan tekanan

darah tinggi.

3.    Pisang

Buah ini tidak hanya menawarkan rasa lezat tetapi juga membuat tekanan darah

lebih sehat. Pisang mengandung kalium dan serat tinggi yang bermanfaat mencegah

penyakit jantung. Penelitian juga menunjukkan bahwa satu pisang sehari cukup

untuk membantu mencegah tekanan darah tinggi.

4.    Kedelai

Banyak sekali keuntungan mengonsumsi kacang kedelai bagi kesehatan Anda.

Salah satunya dalah menurunkan kolesterol jahat dan tekanan darah tinggi.

Kandungan isoflavonnya memang sangat bermanfaat bagi kesehatan.

5.    Kentang

Nutrisi dari kentang sering hilang karena cara memasaknya yang tidak sehat.

Padahal kandungan mineral, serat dan potasium pada kentang sangat tinggi yang

sangat baik untuk menstabilkan tekanan darah.

6.    Coklat pekat

Pecinta cokelat pasti akan senang, karena kandungan flavonoid dalam cokelat dapat

membantu  menurunkan tekanan darah dengan merangsang produksi nitrat oksida.


Nitrat oksida membuat sinyal otot-otot sekitar pembuluh darah untuk lebih relaks,

dan menyebabkan aliran darah meningkat.

G.  MAKANAN YANG TIDAK DI PERBOLEHKAN

1.    Roti, kue yang dimasak dengan garam dapur atau soda.

2.    Ginjal, hati, lidah, sardin, keju, otak, semua makanan yang diawetkan dengan menggunakan

garam dapur; seperti daging asap, ham, ikan kaleng, kornet, dan ebi.

3.    Sayuran dan buah yang diawetkan dengan garam dapur; seperti sawi asin, asinan, acar.

4.    Garam dapur, soda kue, baking powder , MSG (penyedap rasa).

5.    Margarin dan mentega biasa.

6.    Bumbu yang mengandung garam dapur yaitu terasi, kecap, saus tomat, petis, tauco.

Keterangan:

Makanan nomor 1, 3, 4, 6 adalah pangan yang mengandung garam (terutama

mengandung ion natrium atau Na+). Ion natrium yang tinggi dalam darah dapat

meningkatkan kandungan air sehingga kerja jantung meningkat dan dapat meningkatkan

tekanan darah.

Sedangkan makanan nomor 2, 5, adalah pangan yang mengandung lemak/minyak

dan kolesterol tinggi. Konsumsi lemak dan minyak yang tinggi akan meningkatkan

kandungan kolesterol dalam darah (terutama pangan dengan kandungan asam lemak jenuh

tinggi). Kolesterol yang tinggi dalam darah dapat menyebabkan timbulnya penyumbatan

pembuluh darah sehingga tekanan darah menjadi tinggi (hipertensi).

Catatan dokter good (http://titamenawati.blogspot.com/2013/09/hipertensi-pada-lanjut-usia.html)

Hipertensi Pada Lanjut Usia

1. Pengertian
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik yang
intermiten atau menetap. Pengukuran tekanan darah serial 150/95 mmHg atau lebih tinggi
pada orang yang berusia diatas 50 tahun memastikan hipertensi. Insiden hipertensi meningkat
seiring bertambahnya usia (Stockslager , 2008).
Hipertensi lanjut usia dibedakan menjadi dua hipertensi dengan peningkatan sistolik
dan diastolik dijumpai pada usia pertengahan hipertensi sistolik pada usia diatas 65 tahun.
Tekanan diastolik meningkat usia sebelum 60 tahun dan menurun sesudah usia 60 tahun
tekanan sistolik meningkat dengan bertambahnya usia (Temu Ilmiah Geriatri Semarang,
2008).
Hipertensi menjadi masalah pada usia lanjut karena sering ditemukan menjadi faktor
utama payah jantung dan penyakit koroner. Lebih dari separuh kematian diatas usia 60 tahun
disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskuler. Hipertensi pada usia lanjut dibedakan
atas:
a.        Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan
sistolik sama atau lebih 90 mmHg.
b.        Hipertensi sistolik terisolasi tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan
diastolik lebih rendah dari 90 mmHg (Nugroho,2008).
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa hipertensi lanjut usia dipengaruhi oleh faktor usia.

Sumber : Kuswardhani,2006

2. Pembagian Hipertensi
Hipertensi diklasifikasikan 2 tipe penyebab :
a.       Hipertensi esensial (primer atau idiopatik)
Penyebab pasti masih belum diketahui. Riwayat keluarga obesitas diit tinggi natrium
lemak jenuh dan penuaan adalah faktor pendukung.
b.      Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang terindentifikasi lainya
(Stockslager , 2008).
Tabel 2. Klasifikasi Dan Tekanan Darah Menurut JNC VII versus JNC VI

Sumber : Kowalski E Robert, 2010

3. Epidemiologi
Walaupun peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian normal dari
ketuaan, insiden hipertensi pada lanjut usia adalah tinggi. Setelah umur 69 tahun, prevalensi
hipertensi meningkat sampai 50%. Pada tahun 1988-1991 National Health and Nutrition
Examination Survey menemukan prevalensi hipertensi pada kelompok umur 65-74 tahun
sebagai berikut:
prevalensi keseluruhan 49,6% untuk hipertensi derajat 1 (140-159/90-99 mmHg), 18,2%
untuk hipertensi derajat 2 (160-179/100-109 mmHg), dan 6.5% untuk hipertensi derajat
3 (>180/110 mmHg). Prevalensi HST adalah sekitar berturut-turut 7%, 11%, 18% dan
25% pada kelompok umur 60-69, 70-79, 80-89, dan diatas 90 tahun. HST lebih sering
ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki ( Rigaud dan Forette, 2001). Pada
penelitian di Rotterdam, Belanda ditemukan: dari 7983 penduduk berusia diatas 55 tahun,
prevalensi hipertensi (160/95 mmHg) meningkat sesuai dengan umur, lebih tinggi pada
perempuan (39%) dari pada laki-laki (31%).(Van Rossum et al., 2000)
Di Asia, penelitian di kota Tainan, Taiwan menunjukkan hasil sebagai berikut:
penelitian pada usia diatas 65 tahun dengan kriteria hipertensi berdasarkan JNVC,
ditemukan prevalensi hipertensi sebesar 60,4% (laki-laki 59,1% dan perempuan 61,9%),
yang sebelumnya telah terdiagnosis hipertensi adalah 31,1% (laki-laki 29,4% dan
perempuan 33,1%), hipertensi yang baru terdiagnosis adalah 29,3% (laki-laki 29,7%
dan perempuan 28,8%). Pada kclompok ini, adanya riwayat keluarga dengan hipertensi dan
tingginya indeks masa tubuh merupakan faktor risiko hipertensi.( Lu et al., 2000)
Ditengarai bahwa hipertensi sebagai faktor risiko pada lanjut usia. Pada studi individu
dengan usia 50 tahun mempunyai tekanan darah sistolik terisolasi sangat rentan terhadap
kejadian penyakit kardiovaskuler.( Borzecki et al., 2006)

4. Patofisiologi Hipertensi Lanjut Usia


Baik TDS maupun TDD meningkat sesuai dengan meningkatnya umur. TDS
meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan TDD meningkat samapi
umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau sedikit menurun. Kombinasi
perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya pengakuan pembuluh darah`dan
penurunan kelenturan (compliance) arteri dan ini mengakibatkan peningkatan tekanan nadi
sesuai dengan umur.( Rigaud dan Forette, 2001)
Seperti diketahui, takanan nadi merupakan predictok terbaik dari adanya perubahan
struktural di dalam arteri. Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia belum sepenuhnya
jelas. Efek utama dari ketuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler meliputi perubahan
aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan pembuluh darah besar
meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai umur. Perubahan ini
menyebabkan penurunan compliance aorta dan pembuluh darah besar dan mengakibatkan
pcningkatan TDS. Penurunan elastisitas pembuluh darah menyebabkan peningkatan
resistensi vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor juga berubah dengan umur. Perubahan
mekanisme refleks baroreseptor mungkin dapat menerangkan adanya variabilitas tekanan
darah yang terlihat pada pemantauan terus menerus. ( Rigaud dan Forette, 2001;
Kuswardhany,2006)
Penurunan sensitivitas baroreseptor jugamenyebabkan kegagalan refleks postural,
yang mengakibatkan hipertensi pada lanjut usia sering terjadi hipotensi ortostatik.
Perubahan keseimbangan antara vasodilatasi adrenergic - β dan vasokonstriksi adrenergik
- α akan menyebabkan kecenderungan vasokontriksi dan selanjutnya mengakibatkan
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Resistensi Na akibat
peningkatan asupan dan penurunan sekresi juga berperan dalam terjadinya hipertensi.
Walaupun ditemukan penurunan renin plasma dan respons renin terhadap asupan garam,
sistem renin-angiotensin tidak mempunyai peranan utama pada hipertensi pada lanjut usia.
( Rigaud dan Forette, 2001)
Perubahan-perubahan di atas bertanggung jawab terhadap penurunan curah
jantung (cardiac output), penurunan denyut jantung, penurunan kontraktilitas miokard,
hipertrofi ventrikel kiri, dan disfungsi diastolik. Ini menyebabkan penurunan fungsi
ginjal dengan penurunan perfusi ginjal dan laju filtrasi glomerulus.
2.1.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Lanjut Usia
Menurut Darmojo (2006), faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lanjut usia
adalah :
a.       Penurunanya kadar renin karena menurunya jumlah nefron akibat proses menua. Hal ini
menyebabkan suatu sirkulus vitiosus: hipertensi glomerelo-sklerosis-hipertensi yang
berlangsung terus menerus.
b.      Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Dengan bertambahnya usia semakin
sensitif terhadap peningkatan atau penurunan kadar natrium.
c.       Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua akan meningkatakan
resistensi pembuluh darah perifer yang mengakibatkan hipertensi sistolik.
d.      Perubahan ateromatous akibat proses menua menyebabkan disfungsi endotel yang berlanjut
pada pembentukan berbagai sitokin dan subtansi kimiawi lain yang kemudian meyebabkan
resorbi natrium di tubulus ginjal, meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah perifer dan
keadaan lain berhubungan dengan kenaikan tekanan darah.
Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain meliputi
diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti obesitas asupan garam
yang tinggi alkohol yang berlebihan (Stockslager, 2008).
Menurut Elsanti (2009), faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau
tidak dapat dikontrol, antara lain:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
1) Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun wanita
terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami
menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High
Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung
dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap
sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause
wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi
pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut
berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi
pada wanita umur 45-55 tahun. Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah
penderita hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%. (Anggraini , 2009).
Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi
lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi
adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause
(Marliani, 2007).
2) Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang
lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia lebih
muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara khusus. Hal ini disebabkan pada
usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-
benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. Pada
wanita, hipertensi sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan hormon sesudah menopause.
Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini
adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta,
dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi
semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri.
3) Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar
sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan
orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi
dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu
didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga
(Anggraini dkk, 2009). Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk
mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi (Marliani, 2007).
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:
1) Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi penurunan
kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat. Obesitas
dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat memicu timbulnya berbagai
penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi (Rohendi, 2008).
Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama
tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.
2) Kurang olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena
olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan
tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila
jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu .
Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko
untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung
lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin
keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri
(Rohaendi, 2008).
3) Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungkan
dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang
mengalami ateriosklerosis. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman
dari Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang awalnya
tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula,
5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15
batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam
penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan
merokok lebih dari 15 batang perhari (Rahyani, 2007).
4) Mengkonsumsi garam berlebih
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO) merekomendasikan
pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang
direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram
garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam
cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar,
sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler
tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya
hipertensi. (Hans Petter, 2008).
5) Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan organ-
organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol berlebihan termasuk salah
satu faktor resiko hipertensi (Marliani, 2007).
6) Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung 75 –
200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi meningkatkan tekanan darah 5
-10 mmHg.
7) Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis
peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress
yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini
belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami
kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Rohaendi, 2003). Menurut Anggraini (2009)
mengatakan stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung
sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan
dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.
2.1.6. Diagnosis
Pada semua umur, diagnosis hipertensi memerlukan pengukuran berulang dalam
keadaan istirahat, tanpa ansietas, kopi, alkohol, atau merokok. Namun demikian, salah
diagnosis lebih sering terjadi pada lanjut usia, terutama perempuan, akibat beberapa
faktor seperti berikut. Panjang cuff mungkin tidak cukup untuk orang gemuk atau
berlebihan atau orang terlalu kurus. Penurunan sensitivitas refleks baroreseptor sering
menyebabkan fluktuasi tekanan darah dan hipotensi postural. Fluktuasi akibat
ketegangan (hipertensi jas putih = white coat hypertension) & latihan fisik juga lebih
sering pada lanjut usia. Arteri yang kaku akibat arterosklerosis menyebabkan tekanan
darah terukur lebih tinggi. Kesulitan pengukuran tekanan darah dapat diatasi dengan
cara pengukuran ambulatory.(Kuswardhani,2006)
Bulpitt et al.(2001) menganjurkan bahwa sebelum menegakkan diagnosis
hipertensi pada lanjut usia, hendaknya paling sedikit dilakukan pemeriksaan di klinik
sebanyak tigakali dalam waktu yang berbeda dalam beberapa minggu. Gejala HTS yang
sering ditemukan pada lanjut seperti ditemukan pada the SYST-EUR trial adalah: 25%
dari 437 perempuan dan 21% dari 204 laki-laki menunjukkan keluhan. Gejala yang
menonjol yang ditemukan pada penderita perempuan dibandingkan penderita laki-laki
adalah; nyeri sendi tangan (35% pada perempuan vs. 22% pada laki-laki), berdebar
(33% vs. 17%), mata kering (16% vs. 6%), penglihatan kabur (35% vs. 23%), kramp pada
tungkai (43% vs. 31 %), nyeri tenggorok (15% vs. 7%), Nokturia merupakan gejala
tersering pada kedua jenis kelamin, 68%.(Kuswardhani,2006)
2.1.7. Penatalaksanaan
a. Pengobatan.
Menurut : Darmojo (2008), Pemakaian obat pada lanjut usia perlu dipikirkan
kemungkinan adanya :
1) Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
2) Interaksi obat
3) Efek samping obat.
4) Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal.
Pengobatan hipertensi menurut : Kowalski (2010) tiga hal evaluasi menyeluruh
terhadap kondisi penderita adalah :
1) Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler
2) Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer
3) Organ yang rusak karena hipertensi.
Melaksanakan terapi anti hipertensi perlu penetapan jadwal rutin harian minum obat,
hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan stroke dan serangan jantung. Mencatat
obat-obatan yang diminum dan keefektifan mendiskusikan informasi ini untuk tindak lanjut.
(Stoskslager, 2008)
Pengendalian tekanan darah dan efek samping minimal diperlukan terapi obat -obatan
sesuai, disertai perubahan pola hidup. Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang
akan mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan
dalam memberikan obat antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis
kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan. Menurut JNC VI pilihan pertama untuk
pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic atau penyekat beta. Pada
HST, direkomendasikan penggunaan diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium
nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler.
Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat
antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin
sangat bermanfaat; namun demikian terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan
seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita
hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung kongestif, diuretik,
penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan
ptlihan terbaik. Obat-obatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah postural
(penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik dosis tinggi) atau obat-obatan
yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis α 2 sentral) harus diberikan dengan
hati-hati. Karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan pemberian lebih dari
satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan
obat lainnya. Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi misalnya : obat anti
psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin,
baklofen dan alkohol. Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah:
kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan toksisitas
adalah: (a) tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas
meningkat, karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta: verapamil
menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung; digoksin memperberat
bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek hipoglikemia, menutupi tanda
peringatan hipoglikemia. (Kuswardhany,2006)
Dosis beberapa obat diuretic penyekat beta, penghambat ACE, penyekat kanal
kalsium, dan penyakat alfa yang dianjurkan pda penderita hipertensi pada lanjut usia
adalah sebagai berikut:
Dosis obat- obat diuretic (mg/hari) msialnya: bendrofluazid 1,25- 2,5, klortiazid
500-100, klortalidon 25-50, hidroklortiazid 12,5-25, dan indapamid SR 1,5. Dosis obat-
oabat penyekat beta yang direkomendasikan adalah: asebutolol 400 mg sekali atau dua
kali sehari, atenolol 50 mg sekali sehari, bisoprolol 10-20 mg sekali sehari, celiprolol
200-400 mg sekali sehari, metoprolol 100-2000 mg sekali sehari, oksprenolol 180-120
mg dua kali sehari, dan pindolol 15-45 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penghambat
ACE yang direkomendasikan adalah: kaptopril 6,25-50 mg tiga kali sehari, lisinopril
2,5-40 mg sekali sehari, perindropil 2-8 mg sekali sehari, quinapril 2,5-40 mg sekali
sehari, ramipril 1,25-10 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penyakat kanal kalsium yang
dianjurkan adalah: amlodipin 5-10 mg sekali sehari, diltiazem 200 mg sekai sehari,
felodipin 5-20 mg sekali sehari, nikardipin 30 mg dua kali sehari, nifedipin 30-60 mg
sekali sehari, verapamil 120-240 mg dua kali sehari. Dosis obat-obat penyakat alfa yang
dianjurkan adalah; doksazosin 1-16 mg sekali sehari, dan prazosin 0,5 mg sehari sampai 10
mg dua kali sehari. (Kuswardhany,2006)
b. Non Farmakologi
Upaya non farmakologi menurut: Darmojo (2006) terdiri atas:
1) Berhenti merokok
2) Penurunan berat badan yang berlebihan
3) Berhenti/mengurangi asupan alkohol
4) Mengurangi asupan garam.
Upaya non farmakologi menurut: stanley (2007) pencegahan primer dari hipertensi
esensial terdiri atas:
1) Mempertahankan berat badan ideal
2) Diet rendah garam
3) Pengurangan stres
4) Latihan aerobik secara teratur.

HIPERTENSI

Hipertensi pada Lansia

Oleh :

Nurlaely Fitriana

I14070035

PENDAHULUAN

Latar Belakang

BPS (2004) menyatakan salah satu outcome atau dampak dari pembangunan nasional yang
telah dilaksanakan di Indonesia selama ini terutama di bidang kesehatan dan kesejahteraan
adalah meningkatnya angka rata-rata usia harapan hidup penduduk. Peningkatan angka rata-
rata tersebut mencerminkan makin bertambah panjangnya masa hidup penduduk secara
keseluruhan yang membawa konsekuensi makin bertambahnya jumlah lansia.

Berbagai pihak menyadari bahwa jumlah lansia (lanjut usia) di Indonesia yang semakin
bertambah akan membawa pengaruh besar dalam pengelolaan masalah kesehatannya.
Golongan lansia ini akan memberikan masalah kesehatan khusus yang membutuhkan
pelayanan kesehatan tersendiri mulai dari gangguan mobilitas alat gerak sampai pada
gangguan jantung.

WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa di dunia penyakit kardiovaskuler


merupakan sebab kematian terbesar pada populasi usia 65 tahun ke atas dengan jumlah
kematian lebih banyak di negara berkembang. Diperkirakan penyakit kardiovaskuler
merupakan 50% sebab kematian di negara industri maju dan ¼ kematian di negara
berkembang (Koswara 2003).

Penyakit kardiovaskuler yang paling banyak dijumpai pada lansia adalah penyakit jantung
koroner, hipertensi, serta penyakit jantung pulmonik. Hipertensi sering ditemukan pada lansia
dan biasanya tekanan sistolenya yang meningkat. Menurut batasan hipertensi yang dipakai
sekarang ini, diperkiran 23% wanita dan 14% pria berusia lebih dari 65 tahun menderita
hipertensi. Sementara menurut para ahli, angka kematian akibat penyakit jantung pada lansia
dengan hipertensi adalah tiga kali lebih sering dibandingkan lansia tanpa hipertensi pada usia
yang sama (Purwati et al. 2002).

Prevalensi hipertensi di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 15-20%. Hipertensi lebih banyak
menyerang pada usia setengah baya pada golongan umur 55-64 tahun. Hipertensi di Asia
diperkirakan sudah mencapai 8-18% pada tahun 1997, hipertensi dijumpai pada 4.400 per
10.000 penduduk (Depkes RI 2003).

Prevalensi hipertensi di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun 1988–1993. Prevalensi


hipertensi pada laki-laki dari 134 (13,6%) naik menjadi 165 (16,5%), hipertensi pada
perempuan dari 174 (16,0%) naik menjadi 176 (17,6%) (Arjatmo T dan Hendra U 2001).

Pola konsumsi dan perilaku hidup dapat memicu dan meningkatkan risiko hipertensi pada
manula. Konsumsi makanan manis, asin, berlemak, jeroan, makanan yang diawetkan,
minuman beralkohol dan minuman berkafein secara berlebihan serta kurang konsumsi serat
dari sayur atau buah mempercepat terjadinya hipertensi. Gaya hidup yang diduga
berhubungan dengan kejadian hipertensi antara lain aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan
stres. Seseorang yang kurang aktif melakukan aktivitas fisik pada umumnya cenderung
mengalami kegemukan sehingga akan menaikkan tekanan darah. Selain itu faktor lain yang
menunjang terjadi hipertensi adalah stres dan merokok.

Hipertensi pada lansia pernah diabaikan karena dianggap bukan masalah, tetapi sekarang
telah diakui bahwa hipertensi pada lansia memegang peranan besar sebagai faktor risiko baik
untuk jantung maupun otak yang berakibat pada munculnya stroke dan penyakit jantung
koroner. Oleh karena itu untuk menurunkan angka morbiditas dan angka mortalitas karena
penyakit kardiovaskuler adalah dengan memperbaiki keadaan hipertensi. Uraian di atas
merupakan latar belakang yang membuat penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai hipertensi pada lansia.

Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mempelajari pengertian, kriteria dan klasifikasi,
etiologi, faktor risiko, patofisiologi, gejala, komplikasi, diagnosa, penatalaksanaan,
pencegahan, dan diet hipertensi khususnya pada lansia.

Kegunaan

Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan kepada pembaca
mengenai hipertensi pada lansia. Bagi kelompok lansia, makalah ini dapat digunakan sebagai
masukan untuk memperhatikan kebiasaan makan serta gaya hidup mereka yang merupakan
faktor risiko terjadinya hipertensi. Sedangkan bagi pemerintah, makalah ini sebagai bahan
masukan dalam penanggulangan dan pencegahan kejadiaan hipertensi pada lansia sebagai
wujud kepedulian dalam menekan angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Penuaan

Bila seseorang mulai menua, maka segala sel-sel tubuhnya dapat dipastikan sedang
mengalami proses degenerasi secara fisiologik. Proses ini umumnya ditandai dengan semakin
menurunnya kemampuan sel-sel tubuh untuk memperbaiki diri dari kerusakan dan efisiensi
kerja yang berkurang dari kelenjar-kelenjar tubuh (Astawan&Wahyuni 1987).

Kemunduran tersebut disebabkan oleh perubahan yang secara alami terjadi pada manula,
antara lain : (1) besar otot berkurang, karena jumlah dan besar serabut otot berkurang, (2)
metabolisme basal menurun, (3) kemampuan bernafas menurun karena elastisitas paru-paru
berkurang, (4) kepadatan tulang menurun karena berkurangnya mineral, sehingga lebih
mudah cidera, (5) sistem kekebalan tubuh menurun hingga peka terhadap penyakit dan alergi,
(6) sistem pencernaan terganggu yang disebabkan antara lain oleh tanggalnya gigi,
kemampuan mencerna dan menyerap zat gizi kurang efisien dan gerakan peristaltik usus
menurun, dan (7) indra pengecap dan pembau sudah kurang sensitif (kurang peka) yang
menyebabkan selera makan menurun (Koswara 2003).

Lansia

Menurut UU No.13 Th.1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan
lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Tilarso dkk 2000
dalam Nadhira 2006). Hal ini sejalan dengan pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
yang menilai bahwa usia 60 tahun adalah awal usia peralihan menuju ke arah segmen
penduduk tua. Sedangkan untuk di Indonesia, menurut Widya Karya Pangan dan Gizi (1988)
yang digolongkan manula adalah mereka yang berumur di atas 60 tahun. Dalam cakupan
yang lebih luas, WHO menggunakan patokan pembagian umur lansia sebagai berikut : usia
pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 – 59 tahun; lansia (elderly) usia 60 – 74
tahun; tua (old) usia 75 – 90 tahun; dan sangat tua (every old) di atas 90 tahun (Koswara
2003).

Pengertian Hipertensi

Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada pembuluh
darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah terhambat
sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi sering kali disebut sebagai
pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai
dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Lanny S dkk 
2004).

Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di negara maju maupun negara
berkembang. Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang
abnormal tingggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke,
aneurisme, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal (Armilawati 2007).
Seseorang dikatakan mengalami hipertensi jika memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg
atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg atau keduanya.

Hipertensi merupakan keadaan dimana tekanan darah menjadi naik dan bertahan pada
tekanan tersebut meskipun sudah relaks (Iman S 2002). Menurut Allison Hull (1996),
hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir tidak konstan pada arteri.
Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah.

Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi adalah suatu
keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena gangguan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke
jaringan tubuh yang membutuhkannya.

Kriteria dan Klasifikasi

Menurut WHO (World Health Organization) batas normal tekanan darah adalah 120–140
mmHg sistolik dan 80–90 mmHg diastolik. Dan seseorang dinyatakan mengidap hipertensi
bila tekanan darahnya > 140 mmHg tekanan sistolik dan 90 mmHg tekanan diastoliknya.

Tabel 1 Klasifikasi hipertensi menurut WHO/ISH

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal < 140 < 90
Hipertensi  Ringan 140-180 90-105
Hipertensi  perbatasan 140-160 90-95
Hipertensi sedang dan >180 >105
berat
Hipertensi sistolik >140 <90
terisolasi
Hipertensi sistolik 140-160 <90
perbatasan

Sumber: Arif Mansjoer dkk 2000

Peninggian tekanan sistolik tanpa diikuti oleh peninggian tekanan diastolik disebut hipertensi
sistolik terisolasi (isolated sytolic hypertension). Hipertensi sistolik terisolasi umumnya
dijumpai pada usia lanjut, jika keadaan ini dijumpai pada masa dewasa muda lebih banyak
dihubungkan sirkulasi hiperkinetik dan diramalkan dikemudian hari tekanan diastoliknya
juga ikut meningkat. Batasan ini untuk individu dewasa diatas umur 18 tahun, tidak dalam
keadaan sakit mendadak. Dikatakan hipertensi jika pada dua kali atau lebih kunjungan yang
berbeda didapatkan tekanan darah rata-rata dari dua atau lebih pengukuran setiap kunjungan,
diastoliknya 90 mmHg atau lebih, atau sistoliknya 140 mmHg atau lebih (Robin & Kumar
1995).

Tabel 2 Klasifikasi pengukuran tekanan darah orang dewasa dengan usia diatas 18 tahun
menurut The Sixth Report Of The Joint National Committee On Prevention Detection,
Evaluation And Treatment Of High Blood Pressure

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Sistolik dan Diastolik (mmHg)


Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Stadium I 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stadium II >160 atau >100
Hipertensi Stadium III >180 atau >110

Sumber: Arif Mansjoer dkk 2000

Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu hipertensi sistolik dan hipertensi
diastolik (Smith & Tom 1986). Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah jantung berdenyut
terlalu kuat sehingga dapat meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan
tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung). Ini adalah tekanan
maksimum dalam arteri pada suatu saat dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah
sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.  Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi
apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar
tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya.
Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam
keadaan relaksasi diantara dua denyutan. Sedangkan menurut Arjatmo T dan Hendra U
(2001) faktor yang mempengaruhi prevalensi hipertensi antara lain ras, umur, obesitas,
asupan garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi dalam keluarga.

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder dan primer.
Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya namun ada beberapa
faktor yang diduga menyebabkan terjadinya hipertensi tersebut antara lain:  faktor keturunan,
ciri perseorangan, dan kebiasaan hidup (Puspita WR 2009). Hipertensi sekunder merupakan
jenis yang penyebab spesifiknya dapat diketahui (Lanny S dkk 2004). Penderita hipertensi
sekunder ada 5%-10% kasus. Pada hipertensi penyebab dan patofisiologinya sudah diketahui
sehingga dapat dikendalikan dengan obat-obatan atau pembedahan (Arjatmo T & Hendra U
2001).

Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi Benigna dan
hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang tidak menimbulkan
gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat penderita dicek up. Hipertensi Maligna adalah
keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya disertai dengan keadaan kegawatan yang
merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti otak, jantung dan ginjal (Mahalul 2005
dalam Suheni Y 2007).

Etiologi
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan-perubahan
pada: Elastisitas dinding aorta menurun,
Katup jantung menebal dan menjadi kaku,
kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun,
kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volumenya.  Kehilangan elastisitas pembuluh darah, hal ini terjadi karena kurangnya
efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi,
serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (Anonim 2009).

Selain itu, faktor genetik dianggap penting sebagai sebab timbulnya hipertensi. Anggapan ini
didukung oleh banyak penelitian pada hewan percobaan dan tentunya pada manusia itu
sendiri. Faktor genetik tampaknya bersifat mulifaktorial akibat defek pada beberapa gen yang
berperan pada pengaturan tekanan darah. Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling
berperan dalam perjalanan munculnya penyakit hipertensi. Semakin banyak seseorang
terpapar faktor-faktor tersebut maka semakin besar kemungkinan seseorang menderita
hipertensi, juga seiring bertambahnya umur seseorang (Fauci AS et al 1998).

Faktor Risiko Tidak Terkontrol

Hipertensi dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang secara alami telah ada pada
seseorang. Faktor risiko tidak terkontrol (mayor) tersebut antara lain adalah kondisi fisiologis
tubuh, umur, dan jenis kelamin. Karakteristik umur dan jenis kelamin tersebut pada akhirnya
juga berpengaruh terhadap kondisi fisiologis tubuh (Asep Pajario 2002).

Kondisi fisiologi tubuh

Munculnya hipertensi, tidak hanya disebabkan oleh tingginya tekanan darah, akan tetapi juga
karena adanya faktor risiko lain, seperti keturunan/genetik, komplikasi penyakit, dan kelainan
pada organ target, yaitu jantung, otak, ginjal, dan pembuluh darah. Hipertensi sering muncul
dengan faktor risiko lain yang timbul sebagai sindrom metabolik, yaitu hipertensi dengan
gangguan toleransi glukosa atau diabetes mellitus (DM), dislipidemia (tingginya kolesterol
darah) dan obesitas (Krummel 2004 dalam Asyiyah 2009). Kondisi fisiologis lainnya dapat
menyebabkan hipertensi diantaranya adalah aterosklerosis (penebalan pada dinding ateri yang
menyebabkan hilangnya elastisitas pembuluh darah), bertambahnya jumlah darah yang
dipompa ke jantung, penyakit ginjal, kelenjar adrenal, dan system saraf simpatis (Ganong
1998). Kelebihan berat badan, tekanan psikologis, stress, dan ketegangan pada ibu hamil bisa
menyebabkan hipertensi (Khomsan 2004)

Umur

Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah.
Tekanan darah sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus
meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan
menurun drastis. Penyakit hipertensi paling banyak dialami oleh kelompok umur 31-55 tahun
pada umumya berkembang pada saat umur seseorang mencapai paruh baya yakni cenderung
meningkat khususnya yang berusia lebih dari 40 tahun bahkan pada usia lebih dari 60 tahun
keatas (Krummel 2004 dalam Asyiyah 2009).
Kejadian hipertensi meningkat pada usia 55-64 dan IMT kuantil ke-5 (Tesfaye et al. 2007).
Williams (1991) menyatakan bahwa umur, ras, jenis kelamin, merokok, kolesterol darah,
intoleransi glukosa, dan berat badan dapat mempengaruhi kejadian hipertensi.

Jenis kelamin

Penyakit hipertensi cenderung lebih rendah pada jenis kelamin perempuan dibandingkan
dengan laki-laki. Namun demikian, perempuan yang mengalami masa premenopause
cenderung memiliki tekanan darah lebih tinggi daripada laki-laki. Hal tersebut disebabkan
oleh hormon estrogen yang dapat melindungi wanita dari penyakit kardiovaskuler. Hormon
esterogen ini kadarnya akan semakin menurun setelah menopause (Armilawati 2007).
Prevelensi hipertensi pada wanita (25%) lebih besar daripada pria (Tesfaye et al. 2007).

Selain sebagai hormon pada wanita, esterogen juga berfungsi sebagai antioksidan. Kolesterol
LDL lebih mudah menembus plak di dalam dinding nadi pembuluh darah apabila dalam
kondisi teroksidasi. Peranan estrogen sebagai antioksidan adalah mencegah peranan oksidasi
LDL, sehingga kemampuan LDL untuk menembus plak akan berkurang. Peranan estrogen
yang lain adalah sebagai pelebar pembuluh darah jantung, sehingga aliran darah menjadi
lancar dan jantung memperoleh suplai oksigen yang cukup (Khomsan 2004).

Faktor Risiko Terkontrol

Kejadian hipertensi juga ditentukan oleh faktor risiko yang terkontrol (minor). Modifikasi
kebiasaan makan dan perilaku/gaya hidup melalui pengetahuan gizi dapat dilakukan untuk
meminimalisir faktor yang dapat memicu dan meningkatkan faktor yang dapat mencegah
hipertensi. Faktor  risiko yang bisa diubah antara lain adalah  gaya hidup dan kebiasaan
makan.

Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan disposisi atau watak yang melatarbelakangi perilaku, reaksi atau
respon seseorang terhadap diri dan lingkungan yang mempengaruhinya (Mulyono 1984
dalam Andiyani 2007). Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari sejumlah interaksi
sosial, budaya, keadaan dan hasil pengaruh beragam variable bebas yang terjadi di dalam
keluarga atau rumah tangga (Suhardjo 1989).

Gaya hidup yang diduga berhubungan dengan kejadian hipertensi antara lain meliputi
aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan stres.

Aktivitas fisik

Tekanan darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Tekanan darah akan lebih tinggi pada saat
melakukan aktivitas fisik dan lebih rendah ketika beristirahat (Armilawati 2007). Aktivitas
fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama
melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak,
sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk meningkatkan zat-zat
gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa
2001).
Seseorang dengan aktivitas fisik yang kurang memiliki kecenderungan 30%-50% terkena
hipertensi daripada mereka yang masih aktif. Penelitian dari Farmingharm Study menyatakan
bahwa aktivitas fisik sedang dan berat dapat dapat mencegah terjadinya stoke. Selain itu, dua
meta-analisis yang telah dilakukan juga menyebutkan hal yang sama. Hasil analisis pertama
menyebutkan bahwa berjalan kaki dapat menurunkan tekanan darah pada orang dewasa
sekitar 2% (Kelley 2001). Analisis kedua pada 54 randomized controlled trial (RCT),
aktivitas aerobik menurunkan tekanan darah rata-rata 4 mmHg TDS dan 2 mmHg TDD pada
pasien dengan tanpa hipertensi. Peningkatan intesitas aktivitas fisik, 30-45 menit per hari,
penting dilakukan sebagai strategi pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Olahraga atau
aktivitas fisik yang mampu membakar 800-1000 kalori akan meningkatkan high density
lipoprotein (HDL) sebesar 4mmHg (Khomsan 2004).

Kebiasaan merokok

Asap rokok (CO) memiliki kemampuan menarik sel darah merah lebih kuat dari kemampuan
menarik oksigen, sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke
jantung dan jaringan lainnya. Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya
menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu 10 tahun dapat menurunkan insiden
penyakit jantung koroner (PJK) sekitar 24.4% (Karyadi 2002)

Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan
merokok, nikotin juga meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan kebutuhan
oksigen jantung, meransang pelepasan adrenalin, serta menyebabkan gangguan irama
jantung. Nikotin juga mengganggu saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya.

Framingham Heart Study yang meneliti pria dan wanita sekitar 20-49 tahun dilaporkan
bahwa kadar kolesterol HDL lebih rendah 4.5-6.5% pada perokok, dan pada studi lain
dilaporkan bahwa pria yang merokok ebih dari 20 batang sehari akan mengalami penurunan
HDL hingga 11% dibandingkan bukan perokok (Karyadi 2002). Selain itu, merokok juga
dapat meningkatkan pengaktifan platelet (sel-sel penggumpal darah).

Stres

Stres dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengatur fungsi saraf dan hormon,
sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan
meningkatkan retensi air dan garam (Syaifuddin 2006). Pada saat stres, sekresi katekolamin
akan semakin meningkat sehingga renin, angiotensin, dan aldosteron yang dihasilkan juga
semakin meningkat (Klabunde 2007 dalam Asiyiyah 2009). Peningkatan sekresi hormon
tersebut berdampak pada peningkatan tekanan darah. Selain itu, faktor psikososial dari waktu
terdesak/tidak sabar, prestasi kerja, kompetisi, permusuhan, depresi dan rasa gelisah
berhubungan dengan kejadian hipertensi (Asiyiyah 2009).

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan yang diduga berhubungan dengan kejadian hipertensi adalah pola konsumsi
buah dan sayur, makanan manis, makanan asin, makanan berlemak, jeroan, makanan awetan,
minuman beralkohol, dan minuman berkafein.

Konsumsi buah dan sayur


Penelitian yang dilakukan oleh Dauchet et al. (2007) menyebutkan bahwa peningkatan
konsumsi sayur dan buah serta penurunan konsumsi lemak pangan, disertai dengan
penurunan konsumsi lemak total dan lemak jenuh, dapat menurunkan tekanan darah.
Penemuan ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya, The Nurse’s Health Study and the
health Professionals Follow up Study groups, yang menemukan bahwa penurunan risiko
jantung koroner dan stroke berhubungan dengan tingginya pola konsumsi buah, sayur,
kacang-kacangan, ikan, dan padi-padian tumbuk.

Konsumsi buah dan sayur >400 gram per hari dapat menurunkan risiko hipertensi dengan
semakin bertambahnya umur. Hal ini tidak saja disebabkan oleh aktivitas antioksidan dalam
buah dan sayur, tetapi juga karena adanya komponen lain seperti serat, mineral kalsium, dan
magnesium. Orang yang mengonsumsi buah dan sayur biasanya memiliki kebiasaan yang
lebih sehat, seperti: melakukan aktivitas fisik lebih banyak, tidak merokok, dan tidak
mengonsumsi alkohol, yang secara keseluruhan dapat menurunkan risiko hipertensi (TDS:-
1.6 mmHg, P<0.02; TDD:-1 mmHg, P<0.005) (Dauchet et al. 2007). Pasien hipertensi
dianjurkan mengonsumsi buah dan sayur yang mengandung serat pangan minimal 30 mg/hari
(Hartono 2006).

Konsumsi tinggi sayur dan buah serta rendah karbohidrat dan lemak dapat digunakan sebagai
pola makan untuk penurunan berat badan. Penelitian yang dilakukan oleh Ledikwe et al.
(2007) pada 810 orang penderita prehipertensi dan hipertensi ringan, menemukan hubungan
nyata antara konsumsi pangan yang memiliki densitas energi rendah dengan penurunan berat
badan (p<0.001).

Serat pangan dapat membantu meningkatkan pengeluaran kolesterol melalui feces dengan
jalan meningkatkan waktu transit bahan makanan melalui usus kecil. Selain itu, konsumsi
serat sayur dan buah akan mempercepat rasa kenyang. Keadaan ini menguntungkan karena
dapat mengurangi pemasukan energi dan obesitas, dan akhirnya akan menurunkan risiko
hipertensi (Krisnatuti&Yenrina 2005).

Konsumsi makanan manis dan tinggi energi

Menurut penelitian Jhonson et al. (2007), dosis fruktosa yang tinggi (10% air menghasilkan
½ asupan energi dibandingkan dengan jumlah fruktosa yang biasa dikonsumsi 60%) dapat
meningkatkan tekanan darah dan perubahan mikrovaskuler.

Seseorang yang mengonsumsi makanan/minuman manis tidak akan merasa puas dan akan
makan terus menerus. Konsumsi yang berlebihan akan meningkatkan asupan energi yang
selanjutnya disimpan dalam tubuh sebagai cadangan lemak. Penumpukan lemak tubuh pada
perut akan menyebabkan obesitas sentral, sedangkan penumpukan pada pembuluh darah akan
menyumbat peredarah darah akan membentuk plak (arterosklerosis) yang dapat berdampak
pada hipertensi dan jantung koroner (Jhonson et al. 2007).

Konsumsi makanan asin dan awetan

Makanan asin dan makanan yang diawetkan adalah makanan dengan kadar natrium tinggi.
Natrium adalah mineral yang sangat berpengaruh pada mekanisme timbulnya hipertensi.
Krisnatuti dan Yenrina (2005) menyatakan bahwa makanan asin dan awetan biasanya
memiliki rasa gurih (umami) sehingga dapat meningkatkan nafsu makan. Pengaruh asupan
natrium terhadap hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan
tekanan darah.

Williams (1991) menjelaskan bahwa mekanisme yang mendasari sensitivitas garam pada
beberapa pasien mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: ketidakmampuan ginjal
untuk mensekresikan natrium, pengaturan sirkulasi ginjal yang tidak normal dan sekresi
aldosteron. Konsumsi natrium akan mengatur reaksi adrenal dan renal vascular terhadap
angiostensin II. Reaksi adrenal akan meningkat dan reaksi renal vascular akan menurun
dengan adanya pembatasan konsumsi natrium (Williams 1991).

Konsumsi makanan berlemak dan jeroan

Konsumsi jenis pangan yang digoreng (deep frying) berpengaruh meningkatnya asupan
energi dari lipid. Makanan yang digoreng memiliki rasa gurih, renyah, enak, dan kaya lemak.
Hal ini menyebabkan seseorang ingin makan terus menerus, sehingga memiliki densitas
energi yang tinggi dan tingkat kepuasan yang rendah. Rendahnya tingkat kepuasaan dapat
berpengaruh tehadap kemampuan respon insulin dan leptin, hormon yang menstimulasi
respon lapar-kenyang (Guallar&Castillon et al 2007).

Konsumsi pangan tinggi lemak juga dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah yang
dikenal dengan arterosklerosis. Lemak yang berasal dari minyak goreng tersusun dari asam
lemak jenuh rantai panjang (long-saturated fatty acid). Keberadaannya yang berlebih di
dalam tubuh akan menyebabkan penumpukan dan pembentukan plak di pembuluh darah.
Pembuluh darah menjadi semakin sempit dan elastisitasnya berkurang. Kandungan lemak
atau minyak yang dapat menggangu kesehatan jika jumlahnya berlebih lainnya adalah :
kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein (LDL) (Almatsier 2003).

Jeroan (usus, hati, babat, lidah, jantung, dan otak, paru) banyak mengandung asam lemak
jenuh (saturated fatty acid SFA). Jeroan mengandung kolesterol 4-15 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan daging. Secara umum, asam lemak jenuh cenderung meningkatkan
kolesterol darah, 25-60% lemak yang berasal dari hewani dan produknya merupakan asam
lemak jenuh. Setiap peningkatan 1% energi dari asam lemak jenuh, diperkirakan akan
meningkatkan 2.7 mg /dL kolesterol darah, akan tetapi hal ini tidak terjadi pada semua orang.
Lemak jenuh terutama berasal dari minyak kelapa, santan, dan semua minyak lain seperti
minyak jagung, minyak kedelai yang mendapat pemanasan tinggi atau dipanaskan berulang-
ulang. Kelebihan lemak jenuh akan menyebabkan peningkatan kadar  LDL kolesterol
(Almatsier 2003).

Konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol diakui sebagai faktor penting yang berhubungan dengan tekanan darah.
Kebiasaan konsumsi alkohol harus dihilangkan untuk menghindari peningkatan tekanan
darah (Hartono 2006). Jika dibandingkan dengan orang yang bukan peminum alkohol, maka
terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal tingginya tekanan darah. Konsumsi alkohol 3
kali lipat per hari dapat menjadi pencetus meningkatnya tekanan darah dan berhubungan
dengan peningkatan 3 mmHg. Konsumsi alkohol seharusnya kurang dari 2 kali per hari (24
oz bir, 10 oz wine, atau 2 oz whiskey murni) pada laki-laki untuk pencegahan peningkatan
tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih,
direkomendasikan tidak lebih dari 1 kali minum per hari (Krummel 2004 dalam Asyiyah
2009). Namun akan lebih baik jika konsumsi alkohol tidak dilakukan.
Konsumsi kafein

Penelitian mengenai pengaruh kafein terhadap kejadian hipertensi belum menunjukkan hasil
yang konsisten. Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh negatif antara konsumsi
kafein dengan kejadian hipertensi. Dua studi kohort yang dilakukan selama 15 tahun pada
155.594 wanita berusia 30-35 tahun dari Nurses Health Studies (NHSs), keduanya tidak
menunjukkan hubungan linear antara konsumsi kafein dengan risiko kejadian hipertensi.
Namun ditemukan adanya hubungan dengan pola invers U antara konsumsi kopi dengan
kejadian hipertensi (Whinkelmayer et al. 2005).

Kafein mempunyai sifat antagonis endogenous adenosin, sehingga dapat menyebabkan


vasokontriksi dan peningkatan resistensi pembuluh darah tepi. Namun, dosis yang digunakan
dapat mempengaruhi efek peningkatan tekanan darah. Seseorang yang biasa minum kopi
dengan dosis kecil mempunyai adaptasi yang rendah terhadap efek kafein daripada orang
yang biasa mengonsumsinya dengan dosis besar (Uiterwaal et al. 2007).

Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat
vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk
impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik
ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepineprin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi (Brunner & Suddarth 2002).

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi.
Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons
vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke
ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler
(Brunner & Suddarth 2002).

Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.


Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh
perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan
dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume
sekuncup), mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer
(Brunner & Suddarth 2002).
Gejala Hipertensi

Menurut Lanny Sustrani (2004) gejala–gejala hipertensi antara lain sakit kepala, Jantung
berdebar-debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah
lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di
malam hari telingga berdering (tinnitus) dan dunia terasa berputar. Cara yang tepat untuk
meyakinkan seseorang memiliki tekanan darah tinggi adalah dengan mengukur tekanan
darahnya. Hipertensi yang sudah mencapai taraf lanjut, yang berarti telah berlangsung
beberapa tahun dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, napas pendek, pandangan mata
kabur, dan gangguan tidur (Puspita WR 2009).

Komplikasi Hipertensi

Menurut Tabrani (1995)  dalam Puspita WR (2009) komplikasi hipertensi antara lain:

a. Penyakit jantung

Darah tinggi dapat menimbulkan penyakit jantung karena jantung harus memompa darah
lebih kuat untuk mengatasi tekanan yang harus dihadapi pada pemompaan jantung. Ada dua
kelainan yang dapat terjadi pada jantung yaitu: 1) kelainan pembuluh darah jantung, yaitu
timbulnya penyempitan pembuluh darah jantung yang disebut dengan penyakit jantung
koroner, 2) payah jantung, yaitu penyakit jantung yang diakibatkan karena beban yang terlalu
berat suatu waktu akan mengalami kepayahan sehingga darah harus dipompakan oleh jantung
terkumpul di paru-paru dan menimbulkan sesak nafas yang hebat. Penyakit ini disebut
dengan kelemahan jantung sisi kiri.

b. Tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak (stroke)

Tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah otak dapat menyebabkan
terjadinya setengah lumpuh. Stroke dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak,
atau akibat embulus yang terlepas dari pembuluh non- otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah–daerah yang diperdarahi
berkurang.

c. Gagal ginjal

Kegagalan yang ditimbulkan terhadap ginjal adalah tergangguanya pekerjaan

pembuluh darah yang terdiri dari berjuta-juta pembuluh darah halus. Bila terjadi kegagalan
ginjal tidak dapat mengeluarkan zat-zat yang harus dikeluarkan oleh tubuh misalnya ureum.

d. Kelainan mata

Darah tinggi juga dapat menimbulkan kelainan pada mata berupa penyempitan pembuluh
darah mata atau berkumpulnya cairan di sekitar saraf mata. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya gangguan penglihatan.

e. Diabetes mellitus
Diabetes melitus atau yang sering dikenal dengan penyakit kencing manis merupakan
gangguan pengolahan gula (glukosa) oleh tubuh karena kekurangan insulin.

Diagnosa Hipertensi

Gofir (2002) dalam Puspita WR (2009) menyatakan bahwa tekanan darah diukur setelah
seseorang duduk atau berbaring selama lima menit. Misalnya diperoleh angka 140/90 mmHg
atau lebih dapat diartikan sebagai hipertensi, tetapi diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya
berdasarkan satu kali pengukuran. Jika pada pengukuran pertama memberikan hasil yang
tinggi maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak dua kali pada dua
hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi. Tekanan darah diukur dengan
menggunakan alat sphygmomanometer (termometer) dan stetoskop.

Hasil pengukuran bukan hanya menentukan adanya tekanan darah tinggi tetapi digunakan
juga untuk menggolongkan beratnya hipertensi. Setelah diagnosis ditegakkan dilakukan
pemeriksaan terhadap organ utama terutama pembuluh darah, jantung, otak dan ginjal.
Pemeriksaan untuk menentukan penyebab dari hipertensi terutama dilakukan pada penderita
usia muda. Pemeriksaan ini bisanya berupa rongent dan radioisotope ginjal, rongent dada,
serta pemeriksaan darah dan air kemih untuk hormon tertentu (Gofir 2002 dalam Puspita WR
2009).

Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah secara cepat dan
seaman mungkin untuk menyelamatkan jiwa penderita. Menurut Susialit (1995) dalam
Puspita WR (2009), penatalaksanaan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis
yaitu:

a. Penatalaksanaan non-farmakologis atau perubahan gaya hidup

Penatalaksanaan non-farmakologis berupa perubahan gaya hidup yang menghindari faktor


risiko terhadap timbulnya suatu penyakit seperti merokok, minum alkohol, konsumsi garam
berlebihan, hiperlipidema, obesitas, olahraga yang tidak teratur dan stres.

b. Penatalaksanaan farmakologis atau dengan obat

Pada sebagian besar pasien pengobatan dimulai dengan dosis kecil obat antihipertensi
kemudian jika tidak ada kemajuan secara perlahan dosisnya dinaikkan namun disesuaikan
juga dengan umur, kebutuhan, dan hasil pengobatan. Obat antihipertensi yang dipilih harus
mempunyai efek penurunan tekanan darah selama 24 jam dengan dosis sekali sehari. Sebagai
pengelompokan faktor risiko penyakit hipertensi berikut dengan pengobatannya dalam tabel 3
berikut ini dipaparkan mengenai stratifikasi risiko dan pengobatan hipertensi.

Tabel 3 Stratifikasi risiko dan pengobatan hipertensi

berdasarkan The Joint National Committee on Detection, Evaluation and

Treatment of High Blood Pressure (1997)

Derajat Hipertensi Kelompok Risiko A Kelompok Risiko B Kelompok Risiko C


(mmHg) (tidak ada faktor (minimal 1 faktor
risiko, tidak ada risiko, tidak (kerusakan organ
kerusakan organ termasuk diabetes,
target) tidak ada kerusakan target dan atau
organ target)
diabetes, dengan

atau tanpa faktor

risiko lain)
Normaltinggi Perubahan gaya Perubahan gaya Terapi obat

(130- hidup Hidup

139/85-89)
Derajat 1 Perubahan gaya Perubahan gaya Terapi obat

(140- hidup (sampai 12 hidup (sampai 6

159/90-99) bulan) bulan)


Derajat 2 Terapi obat Terapi obat Terapi obat

dan 3 (≥

160/≥100)

Sumber: Gofir dkk (2002) dalam Puspita WR (2009)

Pencegahan Hipertensi

Hipertensi dapat dicegah dengan mengubah pola hidup terutama pada lansia menjadi pola
hidup sehat untuk memperbaiki derajat kesehatan. Perubahan pola hidup sehat ini merupakan
pengobatan non farmakologis yang bertujuan menghilangkan atau mengurangi faktor risiko
yang dapat memperberat penyakitnya (Marlian L & S Tantan 2007).

Perubahan ini mencakup hal-hal berikut, yaitu: mengurangi asupan garam, mengurangi berat
badan pada penderita yang obesitas, melakukan aktivitas fisik dan olahraga, mengurangi
konsumsi makanan berlemak, mengurangi/menghentikan kebiasaan merokok,
menghindari/mengurangi minuman beralkohol dan kafein, menghindari stres, menghindari
pemakaian obat-obatan yang dapat meningkatkan tekanan darah, mengontrol kadar gula
darah dan kolesterol bagi penderita hipertensi yang disertai dengan penyakit kencing manis
dan hiperkolestrolemia (Marlian L & S Tantan 2007).

Diet Hipertensi

Diet yang diberikan bagi pasien hipertensi adalah diet rendah garam yang terbagi menjadi
tiga yaitu: pertama, rendah garam I (200-400 mg Na) untuk hipertensi berat dengan edema,
dan asites. Kedua, rendah garam II (600-800 mg Na) untuk hipertensi tidak terlalu berat
dengan edema dan asites. Ketiga, rendah garam III (1000-1200 mg Na) untuk hipertensi
ringan dengan edema. Makanan yang dianjurkan adalah sumber karbohidrat, sumber protein
nabati, sayuran, buah-buahan, lemak, dan bumbu yang diolah tanpa garam dapur, sumber
protein hewani seperti daging, ikan maksimal 100 g sehari, dan telur maksimal 1 butir sehari,
serta dilarang mengkonsumsi minuman ringan (Almatsier 2005).

PENUTUP

Kesimpulan

Hipertensi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah
terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya. Klasifikasi hipertensi menurut
bentuknya ada dua yaitu hipertensi sistolik dan hipertensi diastolik. Klasifikasi hipertensi
menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder dan primer. Klasifikasi hipertensi
menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi Benigna dan hipertensi Maligna.
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan-perubahan
pada: Elastisitas dinding aorta menurun,
Katup jantung menebal dan menjadi kaku,
kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun,
kemampuan jantung memompa darah menurun, Kehilangan elastisitas pembuluh darah, serta
meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

Faktor risiko hipertensi ada dua yaitu pertama, faktor risiko tidak terkontrol (mayor) tersebut
antara lain adalah kondisi fisiologis tubuh, genetik, umur, dan jenis kelamin. Kedua, faktor
risiko yang terkontrol (minor) yaitu gaya hidup dan kebiasaan makan. Gaya hidup meliputi
aktivitas fisik, kebiasaan makan, kebiasaan merokok, dan stress. Sedangkan kebiasaan makan
antara lain adalah kebiasaan konsumsi buah dan sayur, makanan manis, asin, berlemak,
jeroan, makanan yang diawetkan, minuman beralkohol, dan minuman berkafein.

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat
vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis
merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi.

Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal


mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor
pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,
menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler.

Gejala–gejala hipertensi antara lain sakit kepala, Jantung berdebar-debar, sulit bernafas
setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah lelah, penglihatan kabur, wajah
memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di malam hari telingga berdering
(tinnitus) dan dunia terasa berputar.  Komplikasi hipertensi antara lain penyakit jantung,
tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak (stroke), gagal ginjal, kelainan mata, dan
diabetes mellitus. Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu kali
pengukuran. Pemeriksaan yang dilakukan bisanya berupa rongent dan radioisotope ginjal,
rongent dada, serta pemeriksaan darah dan air kemih untuk hormon tertentu.

Penatalaksanaan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis yaitu: penatalaksanaan
non-farmakologis atau perubahan gaya hidup dan Penatalaksanaan farmakologis atau dengan
obat. Hipertensi dapat dicegah dengan mengubah pola hidup terutama pada lansia menjadi
pola hidup sehat untuk memperbaiki derajat kesehatan. Diet yang diberikan bagi pasien
hipertensi adalah diet rendah garam yang terbagi menjadi tiga yaitu rendah garam I, rendah
garam II, dan rendah garam III. Makanan yang dianjurkan adalah makanan tanpa garam
dapur.

Saran

Untuk mengurangi risiko hipertensi pada lansia, hendaknya mengurangi asupan garam,
makanan berlemak, jeroan, makanan yang diawetkan, minuman beralkohol dan berkafein,
konsumsi rokok, meningkatkan aktifitas olahraga, konsumsi sayur dan buah, serta memiliki
pola hidup sehat dengan sesekali menyempatkan diri untuk melakukan refreshing. Upaya
sosialisasi kepada masyarakat, terkait dengan faktor-faktor risiko hipertensi hendaknya
dilakukan secara terus-menerus baik oleh pemerintah maupun instansi terkait untuk
menurunkan kejadian hipertensi yang merupakan salah satu penyakit yang memiliki risiko
kematian tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2009. Empat belas masalah kesehatan utama pada lansia.


www.nurse87.wordpress.com [ 15 Sep 2010].

Aisyiyah NF. 2009. Faktor risiko hipertensi pada empat kabupaten/kota dengan prevelensi
hipertensi tertinggi di Jawa dan Sumatera [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.

Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Almatsier S. 2005. Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Andiyani SF. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup dan coping mechanism
guru SD negeri dan swasta (kejadian di Kecamatan Purwakarta, Kota Cilegon, Jawa Barat)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Arif Mansjoer dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius.

Arjatmo T, Hendra U. 2001. Ilmu Penyakit Dalam.  Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Armilawati dkk. 2007. Hipertensi dan Faktor Risikonya dalam Kajian Epidemiologi.
Makassar: Bagian Epidemioogi FKM UNHAS.

Asep Pajario. 2002. Modifikasi gaya hidup. www. angelnet.info/index [14 Sep 2010].

Astawan M, Wahyuni M. 1987. Gizi dan Kesehatan Manula (Manusia Lansia). Jakarta:
Mediyatama Sarana Perkasa.
[BPS]. 2004. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2004. Jakarta: Biro Pusat Statistik.

Brunner, Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta: EGC.

Dauchet et al. 2007. Dietary patterns and blood pressure change over 5-y follow up in the
SU. VI. MAX cohort. Am J Clin Nutr 85:1650-6.

[Depkes RI]. 2003. Pedoman Tata Laksana Gizi Lansia Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Fauci AS, Brauwald E, Isselbacher KJ et al. 1998. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Mc Graw Hill, New York, 1380-4.

Ganong WF. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.17. Widjajakusumah MD dkk,
penerjemah: Widjajakusumah MD, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of
Medical Physiological : 567-569.

Guallar-Castillon et al.2007. Intake of fried foods is associated with obesity in the  cohort of
Spanish adults from the European Prospective Investigetion into cancer and Nutrition. Am J
Clin Nutr 86: 198-205.

Hartono A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Ed-2. Jakarta: EGC.

Hull Alison. 1996. Penyakit Jantung, Hipertensi, dan Nutrisi. Jakarta: Bumi Aksara.

Iman Soeharto. 2001. Kolesterol Dan Lemak Jahat, Kolesterol Dan Lemak Baik, Dan Proses
Terjadinya Serangan Jantung Dan Stroke. Jakarta: Gramedia Pustaka utama.

Jhonson et al. 2007. Potential role of sugar (fructose)in the epidemic of hypertension, obesity
and the metabolic syndrome, diabetes, kidney disease, and cardiovascular disease. Am J Clin
Nutr 86:899-906.

Kelley GA, Kelley KS, Tran ZV. 2001. Walking and resting blood pressure in adults: a meta
analysis. Preventive Med 33:120-7.

Karyadi et al. 2002. Hidup Bersama Penyakit Hipertensi, Asam Urat, Jantung Koroner.
Jakarta: Intisari Mediatama.

Khomsan A.  2004. Peranan Pangan dan Gizi Untuk Kualitas Hidup. Jakarta: PT. Grasindo.

Koswara S. 2003. Menu sehat bagi manula. (terhubung berkala)


http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL/MENU%20SEHAT%20BAGI%20MANULA.pdf
[15 Sep 2010].

Krisnatuti D, Yenrina R. 2005. Perencanaan Menu Bagi Penderita Jantung Koroner. Jakarta:
Trubus Agriwidya.

Lanny Sustrani dkk. 2004. Hipertensi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Ledikwe et al. 2007. Reductions in dietary energy are associated with weight loss in
overweight and obesitas participants in yhe PREMIER trial. Am J Clin Nutr 85:1212-21.

Marliani L, S Tantan. 2007. 100 Questions & Answer Hipertensi. Jakarta: Elex Media
Komputindo.

Nadhira. 2006. Keadaan sosial ekonomi, pengetahuan gizi, gaya hidup, konsumsi pangan,
dan status gizi lansia laki-laki di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Purwati, Selimar, Rahayu S. 2002. Perencanaan Menu untuk Penderita Tekanan Darah
Tinggi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Puspita WR. 2009. Gaya hidup pada mahasiswa penderita hipertensi [skripsi]. Surakarta:
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Robbin, Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II. Jakarta: EGC.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi-Institut
Pertanian Bogor.

Suheni Y. 2007. Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi pada laki-
laki usia 40 tahun ke atas di badan Rumah Sakit Daerah Cepu [skripsi]. Semarang: Fakultas
Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.

Supariasa et al.. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Smith, Tom. 1986. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Arcan

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Ed-3. Monica Ester,
editor. Jakarta: EGC.

Tandra H. 2003. Merokok dan kesehatan. (terhubung berkala)


http://www.antirokok.or.id/berita/beritaokok kesehatan.htm [14 Sep 2010].

Tesfaye F et al. 2007. Association between body mass index and blood pressure across three
population in Africa and Asia. J of Human Hypertension 21: 28-37.

Uiterwaal. 2007. Coffee intake and insidence of hypertension. Am J Clin Nutr 85(3):718-723.

Whinkelmeyer WC et al. hypertensive vascular disease. Di dalam: Wilson Jean D.et


al.,editor. Harisson’s Principles of Internal Medicine-12th ed. Spanish: McGraw-Hill:  1001-
1005.

Williams GH. 1991. Hypertensive vascular disease.di dalam: Wilson Jean D. et al., editor.
Harrsion’s Principles of Internal Medicine-12th ed. Spanish: McGraw-Hill, inc:1001-1015

Anda mungkin juga menyukai