Anda di halaman 1dari 37

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah................................................................................................2
1.3 Tujuan penulisan..................................................................................................2
BAB II ISI...............................................................................................................3
2.1 Teratologi..............................................................................................................3
2.2 Teratogenesis........................................................................................................3
2.3 Proses Kerja Teratogen.......................................................................................5
2.4 Faktor Teratogen..................................................................................................6
2.5 Tahap Perkembangan Janin Dalam Kandungan...............................................6
2.6 Penyakit Karena Teratogen.................................................................................7
BAB III PENUTUP..............................................................................................37
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................37
3.2 Saran....................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Teratogen adalah suatu obat atau zat yang menyebabkan pertumbuhan
janin yang abnormal. Kata teratogen berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘teratos’,
yang berarti monster, dan ‘genesis’ yang berarti asal. Jadi teratogenesis
didefinisikan sebagai asal terjadinya monster atau proses gangguan proses
pertumbuhan yang menghasilkan monster. Yang termasuk teratogen adalah
malnutrisi, penyakit infeksi, alkohol, dan tembakau (Arnett, 2012). Ahli lain
menambahkan yang termasuk teratogen adalah tipe darah yang kurang cocok,
polusi lingkungan, stres ibu, dan usia ayah-ibu pada saat janin dikandung
(Santrock, 2004).
Banyak kejadian yang dikehendaki untuk perkembangan dari organisme
baru yang memiliki kesempatan besar dalam tindakan tersebut untuk menjadi
suatu kesalahan. Pada kenyataannya, kira-kira satu dari tiga kali keguguran
embrio pada manusia, sering tanpa diketahui oleh si Ibu bahwa dia sedang
hamil. Perkembangan abnormal yang lain tidak mencelakakan embrio tetapi
kelainan tersebut akan berakibat pada anak.
Kelainanan perkembangan ada dua macam, yaitu : kelainan genetik dan
kelainan sejak lahir. Kelainan genetik dikarenakan titik mutasi atau
penyimpangan kromosom dan akibat dari tidak ada atau tidak tepatnya produk
genetik selama meiosis atau tahap perkembangan. Down syndrome hanyalah
salah satu dari banyak kelainan genetik. Kelainan sejak lahir tidak diwariskan
melainkan akibat dari faktor eksternal, disebut teratogen, yang mengganggu
proses perkembangan yang normal. Pada manusia, sebenarnya banyak zat yang
dapat dipindahkan dari sang ibu kepada keturunannya melalui plasenta, yaitu
teratogen potensial.
Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Kelainan ini sudah
diketahui selama beberapa dasawarsa dan merupakan penyebab utama
morbiditas serta mortilitas pada bayi yang baru lahir. Setelah pembuahan, sel
telur mengalami proliferasi sel, diferensiasi sel, dan organogenesis. Embrio
kemudian melewati suatu metamorfosis dan periode perkembangan janin
sebelum dilahirkan. Daftar dari teratogen yang diketahui dan dicurigai meliputi
virus, termasuk tipe yang menyebabkan kasus penyakit campak Jerman,
alkohol, dan beberapa obat, termasuk aspirin. Oleh karena itu hendaknya kita
tahu apa saja yang bisa mengakibatkan teratogensis itu karena hal itu akan
sangat berbahaya bagi anak yang akan dilahirkan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan zat teratogen?
2. Apa saja macam-macam teratogenesis, penyakit terkait teratogen, faktor
penyebab, dan cara pencegahannya?

1.3 Tujuan penulisan


1. Mahasiswa mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan teratogen.
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami cara kerja teratogen.
3. Memahami macam-macam teratogen,penyakit terkait teratogen, faktor
penyebab, dan cara pencegahannya.
BAB II
ISI

2.1. Teratologi
Teratologi merupakan ilmu yang berhubungan dengan penyebab,
mekanisme, dan gejala penyimpangan perkembangan struktural atau
fungsional selama perkembangan janin (O‟Rahily, 1992). Teratogen
merupakan bahan-bahan yang memiliki efek merugikan pada embrio atau janin
antara tahap fertilisasi dan kelahiran. Walaupun gen dan kromosom yang
abnormal dapat menyebabkan kecacatan, istilah teratogen biasanya dibatasi
pada zat-zat dari lingkungan seperti obat-obatan dan virus. Teratogen dapat
beraksi pada induk, pada plasenta, atau pada embrio/janin (Wilson, 1977).

2.2. Teratogenesis
Banyak kejadian yang dikehendaki untuk perkembangan dari organisme
baru yang memiliki kesempatan besar dalam tindakan tersebut untuk menjadi
suatu kesalahan. Pada kenyataannya, kira-kira satu dari tiga kali keguguran
embrio pada manusia, sering tanpa diketahui oleh si Ibu bahwa dia sedang
hamil. Perkembangan abnormal yang lain tidak mencelakakan embrio tetapi
kelainan tersebut akan berakibat pada anak. Kelainanan perkembangan ada dua
macam, yaitu: kelainan genetik dan kelainan sejak lahir. Kelainan genetik
dikarenakan titik mutasi atau penyimpangan kromosom dan akibat dari tidak
ada atau tidak tepatnya produk genetik selama meiosis atau tahap
perkembangan. Down syndrome hanyalah salah satu dari banyak kelainan
genetik. Kelainan sejak lahir tidak diwariskan melainkan akibat dari faktor
eksternal, disebut teratogen, yang mengganggu proses perkembangan yang
normal. Pada manusia, sebenarnya banyak zat yang dapat dipindahkan dari sang
ibu kepada keturunannya melalui plasenta, yaitu teratogen potensial. Daftar dari
teratogen yang diketahui dan dicurigai meliputi virus, termasuk tipe yang
menyebabkan kasus penyakit campak Jerman, alkohol, dan beberapa obat,
termasuk aspirin (Harris, 1992).
Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Kelainan ini sudah
diketahui selama beberapa dasawarsa dan merupakan penyebab utama
morbiditas serta mortilitas pada bayi yang baru lahir. Setelah pembuahan, sel
telur mengalami proliferasi sel, diferensiasi sel, dan organogenesis. Embrio
kemudian melewati suatu metamorfosis dan periode perkembangan janin
sebelum dilahirkan (Lu, 1995).
Teratologi merupakan cabang embrio yang khusus mengenai pertumbuhan
struktural yang abnormal luar biasa. Oleh pertumbuhan yang abnormal luar
biasa itu lahir bayi atau janin yang cacat. Bayi yang cacat hebat disebut
monster. Pada orang setiap 50 kelahiran hidup rata-rata 1 yang cacat.
Sedangkan dari yang digugurkan perbandingan itu jauh lebih tinggi.
Perbandingan bervariasi sesuai dengan jenis cacat. Contoh daftar berikut :
Jenis cacat Frekuensi

Lobang antara atrium 1:5


Cryptorchidisme 1 : 300
Sumbing 1: 1000

Albino 1 : 20.000

Hemophilia 1 : 50.000

Tak ada anggota 1 : 500.000

(Yatim, 1994).
Prosentase bagian tubuh yang sering terkena cacat adalah :
SSP (susunan saraf pusat)              60%
Saluran pencernaan                        15%
Kardiovaskuler                              10%
Otot dan kulit                                 10%
Alat lain                                          5%
Cacat yang sering juga ditemukan adalah sirenomelus (anggota seperti ikan
duyung), phocomelia, jari buntung, ada ekor, cretinisme, dan gigantisme
(Yatim, 1994).

2.3. Proses Kerja Teratogen


Cacat terjadi karena beberapa hal, diantaranya yang penting adalah :
1. gangguan pertumbuhan kuncup suatu alat (agenesis)
2. terhenti pertumbuhan di tengah jalan
3. kelebihan pertumbuhan
4. salah arah differensiasi
Agenesis atau terganggunya pertumbuhan suatu kuncup alat, menyebabkan
adanya janin yang tak berginjal, tak ada anggota, tak ada pigment (albino), dan
sebagainya. Kalau pertumbuhan berhenti di tengah jalan, terjadi cacat seperti
sumbing atau dengan langit-langit celah. Kalau kelebihan pertumbuhan,
contohnya gigantisme dan kembar. Sedangkan yang salah arah differensiasi
menimbulkan tumor, teratoma, dan lain-lain (Yatim, 1994).
Secara natural cacat itu sulit dipastikan apa penyebabnya yang khusus.
Mungkin sekali gabungan atau kerja sama berbagai faktor genetis dan
lingkungan. Secara experimental dapat dibuat cacat dengan mempergunakan
salah satu teratogen dan mengontrol faktor lainnya. Proses kerja teratogen
adalah sebagai berikut :
1. Mengubah kecepatan proliferasi sel
2. Menghalangi sintesa enzim
3. Mengubah permukaan sel sehingga agregasi tidak teratur
4. Mengubah matrix yang mengganggu perpindahan sel-sel
5. Merusak organizer atau daya kompetisi sel berespons
(Yatim, 1994).
 

2.4. Faktor Teratogen


Faktor yang menyebabkan cacat ada dua kelompok, yaitu faktor genetis dan
lingkungan. Faktor genetis terdiri dari :
1. Mutasi, yakni perubahan pada susunan nukleotida gen (ADN). Mutasi
menimbulkan alel cacat, yang mungkin dominan atau resesif.
2. Aberasi, yakni perubahan pada sususnan kromosom. Contoh cacat karena
ini adalah berbagai macam penyakit turunan sindroma.
Faktor lingkungan terdiri atas :
1. Infeksi, cacat dapat terjadi jika induk yang kena penyakit infeksi,
terutama oleh virus.
2. Obat, berbagai macam obat yang diminum ibu waktu hamil dapat
menimbulkan cacat pada janinnya.
3. Radiasi, ibu hamil yang diradiasi sinar-X , ada yang melahirkan bayi
cacat pada otak. Mineral radioaktif tanah sekeliling berhubungan erat
dengan lahir cacat bayi di daerah bersangkutan.
4. Defisiensi, ibu yang defisiensi vitamin atau hormon dapat menimbulkan
cacat pada janin yang sedang dikandung.
5. Emosi, sumbing atau langit-langit celah, kalau terjadi pada minggu ke-7
sampai 10 kehamilan orang, dapat disebabkan emosi ibu.emosi itu
mungkin lewat sistem hormon (Yatim, 1994).

2.5. Tahap Perkembangan Janin Didalam Kandungan


2.5.1. Tahap Pradiferensiasi
Selama tahap ini, embrio tidak rentan terhadap zat teratogen. Zat ini
dapat menyebabkan kematian embrio akibat matinya sebagian besar sel
embrio, atau tidak menimbulkan efek yang nyata. Bahkan, bila terjadi
efek yang agak berbahaya, sel yang masih hidup akan menggantikan
kerusakan tersebut dan membentuk embrio normal. Lamanya tahap
resisten ini berkisar antara 5 – 9 hari, tergantung dari jenis spesiesnya
(Lu, 1995).
2.5.2. Tahap Embrio.
Dalam periode ini sel secara intensif menjalani diferensiasi, mobilisasi,
dan organisasi. Selama periode inilah sebagian besar organogenesis
terjadi. Akibatnya, embrio sangat rentan terhadap efek teratogen.
Periode ini biasanya berakhir setelah beberapa waktu, yaitu pada hari
ke-10 sampai hari ke-14 pada hewan pengerat dan pada minggu ke-14
pada manusia. Selain itu, tidak semua organ rentan pada saat yasng
sama dalam suatu kehamilan (Lu, 1995).
2.5.3. Tahap Janin.
Tahap ini ditandai dengan perkembangan dan pematangan fungsi.
Dengan demikian, selama tahapan ini, teratogen tidak mungkin
menyebabkan cacat morfologik, tetapi dapat mengakibatkan kelainan
fungsi. Cacat morfologik umumnya mudah dideteksi pada saat kelahiran
atau sesaat sesudah kelahiran, tetapi kelainan fungsi, seperti gangguan
SSP, mungkin tidak dapat didiagnosis segera setelah kelahiran (Lu,
1995).

2.6. Penyakit Karena Teratogen


2.6.1. NEURAL TUBE DEFECTS (NTD)
a. Definisi
Neural Tubes Defect (NTD) atau cacat tabung saraf adalah malformasi
pada sistem saraf pusat yang diakibatkan kegagalan penutupan tabung saraf
selama embriogenesis. Malformasi ini mempengaruhi 0,5-2 per 1000
kehamilan di seluruh dunia. Tabung saraf yang akan berkembang menjadi
otak dan sumsum tulang belakang jika mengalami kegagalan dalam
penutupan akan menyebabkan neuro degenerasi in utero dan kehilangan
fungsi neurologisnya setingkat dari lokasi lesinya. Anak-anak dengan cacat
lahir yang berat berpotensi 15 kali lipat mengalami kematian selama tahun
pertama kehidupan. Neural Tube Defects yang mempengaruhi otak
(anensefalus dan craniochischisis) lebih beresiko menyebabkan kematian
perinatal, sedangkan spina bifida lebih kompatibel dengan kelangsungan
hidup selama postnatal, tetapi cenderung menyebabkan cacat yang serius.
Kerusakan saraf di bawah lesi menyebabkan kurangnya sensasi,
ketidakmampuan untuk berjalan dan inkontinensia. Kondisi ini juga sering
terkait dengan hidrosefalus, deformitas tulang belakang dan gangguan pada
sistem genitourinaria maupun pencernaan (Au et al, 2010; Copp & Greene,
2014).

b. Faktor resiko
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya NTD yaitu infeksi
(toksoplasmosis, rickettsia); toksin; multiparitas; usia ibu (Satyanegara,
2010); kelainan metabolik seperti gangguan keseimbangan hormon,
diabetes, defisiensi mineral dan vitamin (terutama folat) (Boyles et al,
2006); obat-obatan (golongan aminopterin, analgesik, klomifen, anti
kejang, sulfonamid, asam valproat) (Meethal et al, 2013); kelainan genetik
(Zhang et al, 2013); riwayat kehamilan sebelumnya dengan defek tabung
saraf (Arth et al, 2015); status gizi ibu overweight/obes (Leddy et al, 2008;
Rasmussen et al, 2008; Stothardet al, 2009); demam tinggi pada awal
kehamilan (hipertermia) (Copp & Greene, 2014; Sudiwala et al, 2016).

c. Patogenesis
Terhentinya proses penutupan tabung saraf embrio merupakan salah
satu mekanisme terjadinya NTD maka disebut juga dengan istilah disrafia
(teori developmental arrest). Ada teori lain yang menjelaskan bahwa NTD
disebabkan oleh peningkatan tekanan intraventrikular karena produksi
cairan serebrospinal yang berlebihan yang mungkin menimbulkan celah
atau defek pada tabung saraf (teori hidro dinamik). Sebagian besar NTD
sering dilaporkan akibat dari kegagalan utama dari penutupan tabung saraf
embrio, namun ada beberapa bukti klinis dan eksperimental yang kuat
dalam mendukung kemungkinan tabung saraf yang telah tertutup dapat
membuka kembali (teori neuroskisis). Pada teori herniasi sekunder juga
menjelaskan NTD terbentuk pada stadium perkembangan bayi yang sudah
lanjut (Satyanegara, 2010).
Pada studi eksperimental menjelaskan bahwa cacat pasca penutupan
relatif terjadi dalam onset yang lambat dan mungkin terjadi selama jangka
waktu selama perkembangan. Sebagian besar sumber menggambarkan
NTD sebagai kelainan perkembangan tunggal dan mekanisme
patogenetiknya merupakan akibat langsung dari penutupan kegagalan
tabung saraf.
Namun harus diketahui bahwa NTD sebagai bagian dari kesalahan
perkembangan yang mempengaruhi tidak hanya tabung saraf tetapi juga
meninges, struktur kerangka aksial dan beberapa organ non-neural.
Mielomeningokel hampir selalu dikaitkan dengan malformasi Chiari II.
Dalam sebuah studi yang membandingkan frekuensi dan pola NTD
terisolasi dengan yang terkait dengan kelainan lainnya, mencatat bahwa
adanya pengelompokan yang signifikan dari cacat perkembangan yang
terkait dengan jumlah kraniokiskisis dan upper thoracic spina bifida, lebih
jarang dengan anensefalus dan lumbosakral spina bifida dan tidak pernah
dengan sakral spina bifida. Pola definitif ini mungkin menyiratkan adanya
hubungan antara mekanisme NTD dengan anomali perkembangan yang
terkait. Mereka berpostulat bahwa kelainan tambahan timbul sebagai akibat
induksi mekanik oleh gangguan spesifik dari tabung saraf dan jaringan
sekitarnya (Padmanabhan, 2006).

d. Klasifikasi dan manifestasi klinis


Neural Tube Defects dapat diklasifikasikan menjadi open NTD yang
berarti jaringan sarafnya terekspos/tidak tertutup jaringan lain dan closed
NTD yang berarti jaringan saraf tertutup oleh jaringan lain (Imbard et al,
2013). Sumber lain (Nielsen et al, 2006; Sjamsuhidajat & Jong, 2010)
menggolongkan NTD menjadi dua golongan yaitu:
1. Disrafia kranial
Disrafia kranial dapat berupa anensefalus yaitu kegagalan penutupan
neuroporus kranial, serta dapat berupa ensefalokel, yaitu defek pada tulang
tengkorak dengan herniasi meninges dan otak. Anensefalus akan
memberikan manifestasi yaitu tidak didapatkan otak dan kranium.
Meningoensefalokel banyak ditemukan di negara Asia Tenggara, seperti
Indonesia. Angka kejadian diperkirakan satu per 5000 kelahiran bayi hidup
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Manifestasi meningoensefalokel memberi gambaran berupa benjolan
yang makin besar sejak lahir dan umumnya berada di garis tengah. Kulit
penutup tipis, licin dan tegang, tetapi dapat juga normal atau tebal dan tidak
rata. Bila isi defek lebih banyak cairan maka akan teraba padat dan
berdungkul. Pada defek yang besar sering terlihat pulsasi. Benjolan dapat
kempis bila ditekan, tetapi bila menangis atau mengejan, benjolan akan
meregang. Benjolan kistik yang berdinding tipis memberi tanda
transluminasi positif. Jarak antar orbita akan melebar jika
meningoensefalokel di daerah naso(fronto)etmoidal, keadaan ini disebut
hipertelorisme. Pada ensefalokel sering menimbulkan retardasi mental.
Kelainan penyerta yang sering timbul adalah hidrosefalus, sehingga harus
selalu dipikirkan karena akan menentukan terapi dan prognosis
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010)
2. Disrafia spinal
Disrafia spinal atau yang biasa disebut spina bifida, adalah terbelahnya
arkus vertebra dengan/tanpa keterlibatan jaringan saraf dibawahnya. Angka
kejadian di negara Asia, termasuk Indonesia sekitar 0,1-0,3 per 1000 bayi
lahir hidup. Spina bifida dapat diklasifikasikan menjadi lima yaitu
(Ginsberg, 2007; L & K, 2014) :
a. Spinal bifida okula
Spina bifida okulta merupakan suatu cacat pada lengkung
vertebrayang dibungkus oleh kulit dan biasanya tidak mengenai
jaringan saraf yang ada di bawahnya. Cacat ini umumnya terjadi di
daerah lumbosakral (L4-S1), dengan ciri khas plak rambut yang
menutupi daerah yang cacat. Hal ini disebabkan karena tidak
menyatunya lengkung-lengkung vertebra (defek terjadi hanya pada
kolumna vertebralis) dan terjadi pada sekitar 10% kelahiran.
b. Spina bifida kistika
Spina bifida kistika adalah suatu defek neural tube berat dengan
penonjolan jaringan saraf dan atau meninges melewati sebuah cacat
lengkung vertebra dan kulit sehingga membentuk sebuah kantong
mirip kista. Umumnya terletak di regio lumbosakral. Kelainan ini
dapat mengakibatkan gangguan neurologis, tetapi biasanya tidak
disertai dengan retardasi mental.
c. Spina bifida dengan meningokel
Meningokel merupakan bentuk spina bifida dengan kantong yang
berisi cairan yang terlihat dari luar (daerah belakang), tetapi kantong
tersebut tidak berisi spinal kord atau saraf.
d. Spina bifida dengan meningomielokel
Meningomielokel merupakan bentuk spina bifida yang ditandai
dengan jaringan saraf yang ikut di dalam kantong tersebut dan dapat
disertai defek kulit atau permukaan yang hanya dilapisi selaput tipis.
Kelainan ini sering disertai skoliosis, hidrosefalus dan mungkin
deformitas pelvis atau ekstremitas bawah.Gangguan neurologis
tergantung pada lokasi defek, dapat berupa paraplegia, paraparesis,
monoparesis, inkontinensia urin, gangguan sensorik serta refleks.
Kelainan yang menonjol adalah gangguan pada sfingter yang dapat
dilihat dari mekonium yang keluar terus-menerus, atau urin yang
keluar sedikit sedikit namun terus-menerus.
e. Spina bifida dengan mielokisis atau rakiskisis
Merupakan bentuk spina bifida berat yang ditandai dengan
lipatan-lipatan saraf gagal naik di sepanjang daerah torakal bawah dan
lumbosakral dan tetap sebagai masa jaringan saraf yang pipih.

e. Diagnosis
Neural Tube Defects secara klinis tampak sebagai benjolan di daerah
kepala ataupun daerah tulang belakang dan telah ada sejak lahir.
Pemeriksaan penunjang alfa feto protein (AFP) pada cairan amnion atau
pada darah ibu dapat dilakukan khususnya pada minggu ke-15 sampai
minggu ke-20. Kadar AFP serum normal pada ibu hamil adalah <500 ng/ml
dan mencapai puncaknya pada usia gestasi 12-15 minggu. Pemeriksaan
penunjang sederhana seperti transluminasi dengan penyorotan lampu pada
benjolan maka akan tampak bayang-bayang isi sefalokel. Pemeriksaan foto
polos kepala ditujukan untuk mencari defek pada tengkorak serta mendeteksi
keadaan patologis penyerta. pemeriksaan lainnya yaitu dengan CT scan dan
USG (Satyanegara, 2010).
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
NTD selama kehamilan yaitu biopsi histopatologi. Selama neurulasi normal,
invaginasi lempeng saraf di sepanjang garis tengah untuk membentuk alur
saraf dan lipatan saraf terbentuk pada kedua sisi alur saraf. Sel-sel
neuroepitel mengalami proliferasi cepat dan elevasi, sehingga tepi lateral
lipatan saraf menekuk ke dalam untuk bertemu. Pada embrio dengan open
neural tube (eksensefalus), lipatan saraf gagal terangkat, dan sel terus
berproliferasi di sepanjang tepi tabung saraf terbuka mengakibatkan eversi
dari lipatan saraf. (Pickett et al, 2008; Waes et al, 2005).

f. Penatalaksanaan
Tindakan operasi dapat dilakukan sedini mungkin bila penderita
layak menjalaninya. Pada penderita dengan tanda-tanda infeksi (terutama
pada open NTD) maka perlu dilakukan perawatan lokal dan pemberian
antibiotik dosis tinggi (Satyanegara, 2010).

g. Hubungan dengan asam folat dan ntd


Asam folat merupakan nutrisi penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin selama kehamilan. Folat berfungsi dalam pembelahan
sel dan sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dengan mentransfer
format untuk sintesis purin dan formaldehid untuk sintesis timidilat,
juga untuk remetilasi homosistein menjadi metionin (Mahan & Escott-
Stump, 2000; Martiniova et al, 2015).
Penelitian menggunakan tikus mutan (Pax3) yang menunjukan adanya
kelainan pada biosintesis de novo purin dan timidilat (dTMP)
memperlihatkan bahwa NTD dapat diselamatkan dengan diet asam folat. Hal
ini menunjukan bahwa asam folat dapat mencegah NTD dengan
menyelamatkan biosintesis de novo purin dan timidilat (dTMP) pada tikus
mutan tersebut (Martiniova et al, 2015).
Mekanisme perlindungan maupun hubungan antara status folat ibu
dengan kerentanan NTD telah didefinisikan dengan baik. Salah satu
kemungkinannya adalah bahwa asam folat bertindak untuk mengatasi
ketidakcukupan status folat ibu dan defek metabolisme folat yang
disebabkan mutasi genetik pada ibu atau janin (Dunlevy et al, 2007).
Pencegahan NTD dengan suplementasi folat sudah dikonfirmasi dengan uji
klinis acak pada tahun 1991. Efek dari fortifikasi asam folat pada tepung roti
telah jelas menggambarkan efek pencegahan ini, serta menunjukan bahwa
tidak semua kasus NTD dapat dicegah dengan folat atau folate-
nonpreventable NTD (Eichholzer et al, 2006). Selain itu, Frank
menjelaskan bahwa kekurangan asam folat bukanlah satu faktor utama
penyebab NTD, melainkan adanya predisposisi genetik yang ikut berperan
(Burren et al, 2008).
Asam folat eksogen mampu menstimulasi respon seluler,
memungkinkan embrio berkembang untuk mengatasi efek samping dari
gangguan genetik dan/atau lingkungan yang jika tidak diatasi akan
menyebabkan NTD.
Sebuah prinsip penting bahwa folat dapat memberikan efek pencegahan
pada kondisi etiologi beragam, seperti kelainan yang disebabkan oleh
berbagai anomali genetik yang terkait dengan proses penutupan neural yang
mengakibatkan NTD (Copp & Greene, 2014).

2.6.2. FETUS ALKOHOL SYNDROME


a. Definisi
FETAL ALCOHOL SYNDROME (FAS) merupakan dampak terburuk
dari konsumsi alkohol berlebih. Peningkatan berbagai faktor-faktor yang
mungkin merusak dan mengganggu perkembangan otak, baik pada
masa prenatal ataupun postnatal saat ini menjadi salah satu perhatian khusus,
terutama menjadi warning bagi orang tua yang bertugas dalam proses
kelahiran anak. Faktor-faktor tersebut meliputi racun-racun yang muncul
dalam lingkungan mereka, pengaruh radiasi, infeksi, malnutrisi, tumor,
ataupun kecelakaan tertentu. Secara langsung aspek-aspek tersebut bisa
berdampak pada anomaly dari perkembangan otak anak. Selain itu, aspek
yang juga banyak mengakibatkan ketidaknormalan perkembangan pada anak
adalah konsumsi alkohol secara berlebih. Tidak banyak orang tua, terutama
Ibu yang mengetahui dampak terburuk dari pemakaian alkohol yang
berlebih.
Banyak dari mereka yang menganggap bahwa perilaku tersebut adalah
hal yang wajar ketika mereka merasakan kondisi yang tidak nyaman atau
stres. Padahal dampak signifikan yang dapat terjadi adalah adanya gangguan
fetal alcohol syndrome (FAS). Gangguan ini umumnya terjadi karena
banyak dari mereka (wanita) terbiasa mengonsumsi minuman beralkohol
pada masa kehamilannya.
b. Bidang Penilaian Teratogen.
Peningkatan kemungkinan terjadi gangguan fetal karena konsumsi
alkohol ini juga selalu dikaitkan dengan isu teratogen. Pada awal abad 20,
Stockard (dalam Lake, 2005) melakukan eksperimen terhadap spesies
binatang yang berbeda terhadap pengaruh alkohol pada peningkatan
teratogen, yang menghasilkan temuan bahwa faktor hereditas menentukan
teratogen ini. Hal ini bisa diketahui, terutama pada masa awal kehamilan
dimana terjadi malformasi pada otak dan anatomi structural dari fungsi otak
itu sendiri. Sejak itulah banyak yang mengasumsikan bahwa teratogen
sebagai virus, faktor lingkungan, minuman beralkohol dan kemungkinan
stimulant lainnya sebagai faktor utama yang menyebabkan perkembangan
menjadi abnorma.
Banyak dari komunitas kesehatan dan biologi yang percaya bahwa
pembentukan pada masa trimester awal adalah masa penting dalam proses
organogenesis. Para ahli teratogen menunjukan bukti bahwa terdapat
hubungan yang siginifikandengan sistem saraf pusat (Lake, 2005). Hal ini
kemudian menjadi bagian yang krusial dalam kemungkinan terjadi gangguan
yang lebih sistematik. Pada masa embrio sendiri struktur utama itu akan
mengalami malformasi ketika mendapatkan pengaruh dari faktor
alkoholisme. Kemudian ini mengasumsikan bahwa morfologi dari anak
mungkin saja normal, tetapi ini menjadi tidak berarti ketika perilaku yang
dihasilkannya menjadi tidak normal.
Oleh karena itu faktor lingkungan (alcoholism) sangat menentukan
terhadap perilaku teratogen dalam mempengaruhi penurunan kognitif,
kemampuan sosial dan psikomotorik.

c. Etiologi
Alkohol keduanya bersifat fisik dan perilaku teratogen. Ini adalah salah
satu penyebab utama kekurangan mental di dunia. Autopsy dan magnetic
resonance imaging study telah menunjukkan microcephaly, dengan bukti
kehilangan jaringan, disgenesis serebral, dan kelainan migrasi glial dan
neuronal. Holoprosencephaly adalah karakteristik FAS. Ini adalah kondisi
yang diasosiasikan dengan kegagalan otak untuk terbagi menjadi dua bola
hemi, dan biasanya berhubungan dengan neurodevelop kelainan mental dan
wajah. Mungkin juga ada kelainan pada korpus callosum (misalnya,
agenesis, hipoplasia), batang otak dan lumum serebel, terutama bagian
anterior vermis.
Temuan lain mungkin termasuk lobus olfaktori absen, hypopla sia dari
hippocampus dan ganglia basal abnormal atau tidak ada; Biasanya
hypoplastic atau absen caudate nu clei. Pemindaian tomografi emisi Positron
telah menunjukkan kelainan pada metabolisme glukosa, terutama di inti
kaudatus anterior dan ver mis dari otak kecil, bahkan dengan tidak adanya
kelainan struktural yang mencolok. Studi sedang dilakukan untuk mengatasi
kelainan otak akhir dengan neurobehavioural out.Variabilitas lesi otak
diperkirakan berasal dari perbedaan jumlah alkohol yang tertelan, tepian dan
waktu minum, atau kemampuan genetik ibu untuk memetabolisme alkohol.

d. Faktor resiko
Usia ibu dan jumlah alkohol yang dikonsumsi berhubungan langsung
dengan cacat kognitif pada sekelompok bayi yang terpapar alkohol. Tidak
ada hubungan antara minum ibu dan perkembangan saraf datang dengan
asupan ambang kurang dari 15 mL (0,5 ons) alkohol per hari, namun di atas
tingkat ini, bayi dari ibu yang berusia lebih dari 30 tahun berusia dua sampai
lima kali lebih banyak.
Cenderung cacat fungsional daripada ibu muda. Cacat fungsional yang
signifikan terlihat terutama pada bayi yang ibunya minum lebih dari lima
gelas per kesempatan rata-rata setidaknya seminggu sekali. Namun, bahkan
di kalangan ibu yang menggunakan alkohol, FAS pada bayi baru lahir terus
tidak dikenali.Penanda biokimia pada ibu dapat membantu mengukur jumlah
alkohol yang dikonsumsi.
Stoler dkk mengukur empat penanda darah selama kehamilan: transferin
bohidrate-kekurangan transferrin, gamma-glutamil transpeptidase, volume
sel darah merah rata-rata dan asetaldehida terkait darah. Semua ibu yang
mengkonsumsi alkohol sedikitnya 29,6 mL per hari memiliki setidaknya satu
penanda. Semua ibu dengan dua atau lebih penanda memiliki bayi yang
ketinggian, bobot dan lingkar kepala kurang dari bayi normal.

e. Manifestasi klinis
Efek dari paparan alkohol prenatal berkisar dari kematian atau FAS di
salah satu ujung spektrum, ke normalitas relatif di ujung yang lain.
Diagnosis FAS didasarkan pada tiga serangkai fitur pada individu yang
terpapar alkohol dalam kandungan: defisiensi pertumbuhan sebelum dan
sesudah melahirkan, pola karakteristik kelainan wajah dan disfungsi sistem
saraf pusat.
Ciri-ciri wajah yang tidak normal termasuk kencing palpebral pendek,
jarak intercanthal yang meningkat, wajah yang rata dengan filamen pendek,
tidak ada atau hipoplastik, dan mulut berbentuk busur dengan bibir atas yang
tipis. Standar untuk fitur ini telah ditetapkan.Sekuele paling parah dari
kandungan alkohol janin pasti bersifat neurobehavioural, terkait dengan efek
alkohol pada sistem saraf pusat. Sebagai tambahannya Microcephaly,
disfungsi sistem saraf pusat dapat mempengaruhi kecerdasan, aktivitas dan
perhatian, pembelajaran dan ingatan, kemampuan bahasa dan motor, dan
perilaku.
Selain itu juga terdapat manifestasi dari fetal alkohol syndrome ini
adalah keterbelakangan mental, kelainan bentuk kerangka dan system organ
besar (terutama jantung dan otak), gangguan pertumbuhan, masalah sistem
saraf pusat, miskin keterampilan motorik, kematian, masalah belajar,
memori, interaksi sosial, gangguan perhatian,gangguanbicara dan atau
gangguan peendengaran. Ada juga fitur wajah yang merupakan ciri khas dari
bayi dengan FAS. Fitur-fitur ini meliputi: mata kecil, hidung pendek atau
terbalik , pipi datar, dan bibir tipis. Fitur-fitur ini memudar ketika anak
tumbuh, tapi tetap mengalami kesulitan seumur hidup.
Ada juga istilah akibat alkohol yang lain dari FAS yaitu Fetal Alcohol
Effects (FAE) yang dibagi menjadi 2 kategori yaitu Alcohol-Related
Neurodevelopmental Disorder (ARND) dan Alkohol-Related Birth Defect
(ARBD).
ARND menggambarkan gangguan mental dan perilaku seperti
ketidakmampuan belajar, prestasi sekolah yang buruk, kesulitan
mengendalikan dorongan hati, dan masalah dengan ingatan, perhatian dan /
atau penilaian.ARBD menggambarkan kelainan bentuk dari sistem kerangka
dan sistem organ utama seperti cacat jantung, ginjal, tulang, dan / atau sistem
pendengaran.Perbedaan antara FAS dengan FAE adalah FAS adalah hasil
dari dosis tinggi konsumsi alkohol selama kehamilan, seperti pesta minum
dan / atau minum secara teratur.Sedangkan FAE adalah hasil dari minum
alkohol secara moderat selama kehamilan.Namun demikian tetap saja efek
FAE bersifat ireversibel dan seumur hidup.
Tidak ada jumlah alkohol yang aman untuk dikonsumsi selama
kehamilan, semakin banyak alkohol yang dikonsumsi, maka semakin besar
risiko pada bayi. Alkohol bersifat teratogen .Teratogen adalah suatu
zat/bahan yang dapat merusak perkembangan bayi.Alkohol dapat melintasi
plasenta dan masuk ke bayi.Bila ibu minum alkohol, maka bayinya juga ikut
"minum". Oleh karena itu, alkohol bisa berbahaya bagi perkembangan
bayi .FAS dan FAE 100% bisa dicegah dengan cara abstain dari alkohol
selama kehamilannya. Oleh karena itu, jika sedang hamil, atau sedang
berusaha untuk hamil sebaiknya tidak mengkonsumsi alkohol sama sekali.

f. Diagnosa dan sumber


Terdapat tiga kondisi dalam melakukan diagnosis pada anak-anak yang
mengalami FAS tersebut, meliputi :
1. Retardasi pertumbuhan pada masa prental atau postnatal;
2. munculnya bentuk wajah yang dapat jelas diketahui, serta
3. beberapa informasi yang bisa diperoleh dari sistem saraf pusatnya
(central nervous system) dalam (Ee, 2005).
Ketiga hal ini bisa dibedakan dalam aspek frekuensi dan jumlah anomali
yang terlihat.Baik menurut Pusat Kontrol Gangguan dan Institusi
Kedokteran di Amerika, bahwa data tentang jumlah penderita di seluruh
dunia didasarkan pada nilai persentil dari populasi yang ada. Ini bisa
diasumsikan dalam jenis kelamin, usia kehamilan, ataupun variabel lainnya
yang terkait.
May dan Gossage (Ee, 2005) menjelaskan bahwa prevalensi terjadinya
FAS ini masih banyak didiskusikan, sedangkan untuk populasi di Amerika
sendiri diprediksi antara 0.5 sampai dengan 2 per 1000 kelahiran, atau hasil
ini dikalkulasikan antara 2000 sampai dengan 8000 kasus pada populasi
4.019.280 di Amerika pada tahun 2002.
Wanita yang memiliki anak dengan gangguan FAS ini akan rentan
memiliki anak yang juga FAS jika mereka masih melanjutkan perilaku
konsumsi alkohol berlebih, dan terutama sangat mungkin terjadi dalam satu
keluarga terdapat lebih dari satu anak yang terkena gangguan ini.
Berdasarkan pada salah satu karakteristik yang ada lama microcephaly,
gangguan FAS ini ditandai dengan berubahnya pada berbagai struktur di
otak meliputi kesalahan dalam migrasi sel, agenesis di corpus callosum, dan
anomali pada bagian cerebellum. Selain itu terjadinya juga disorganisasi
pada sistem saraf pusat, yang akan menghasilkan microcephaly, neuroglial
heteroptopias dan ventricle, basal ganglia, dan anomali cerebellar. Salah satu
buktinya adalah dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
yang mengindikasikan perubahan spesifik di dalam otak dan sangat rentan
pada masa prenatal.
g. Perubahan Neuropsikologis dan Perilaku
Penggunaan alkohol yang berlebih pada masa prenatal akan
mengakibatkan jumlah defisit dalam sistem neuropsikologis semakin banyak
(Ee, 2005) , termasuk penurunan dalam IQ, bahasa, atensi, kemampuan
visuospasial, eksekutif functioning, dan kemampuan motorik kasar dan
halus.
a. Performa Intelektual. Pengaruh dari konsumsi alkohol berlebih pada masa
prenatal terhadap IQ mungkin saja terjadi secara periodik. Salah satunya
ditandai dengan gangguan retardasi dengan IQ (47). Hal ini
mengasumsikan bahwa anak-anak dengan FAS ini akan mendapatkan IQ
yang rendah dengan gambaran yang lebih dismorfik.
b. Belajar dan Memori. Anak-anak dengan FAS ini seringkali lebih ramah,
lebih aktif, dan terlihat lebih muda dari umur kronologisnya, kemampuan
berbahasa mereka terlihat mengalami penurunan. Salah satunya
dibuktikan denga hasil penelitian yang menunjukan bahwa mereka akan
mengalami pemahaman yang sangat rendah pada kosa kata dan
kemampuan dalam menamai sesuatu.
c. Konsentrasi. Mereka akan mendapatkan aktivitas dan atensi yang tidak
terlalu baik, karena berkaitan langsung dengan ADHD.
d. Kemampuan Visuospasial. Biasanya lemah dalam proses mengingat
sesuatu. Mereka mengalami kelemahan dalam memperoleh stimulus
visual dan mengalami defisit dalam mengolah kata-kata yang dilihat atau
objek yang dilihat. Ini sangat berkaitan dengan volume dan ukuran otak
mereka yang memang mengalami reduksi karena paparan alkohol sejak
awal.
e. Kemampuan Motorik. Mereka mengalami ketidaknyamanan dalam
pergerakan yang ditandai dengan ketidakseimbangan tubuh karena
biasanya mengalami tremor atau kordinasi antara mata dan tangan yang
tidak berjalan dengan baik.
f. Adaptasi dan Keterampilan Sosial. Banyak studi yang menunjukan bahwa
anak-anak dengan gangguan ini akan mengalami masalah pada
perilakunya dengan lingkungan mereka. hal ini ditandai dengan perilaku
hiperaktif, merusak, impulsif dilingkungan rumah, sekolah, ataupun
masyarakat pada umumnya.

h. Sindrom Alkohol Janin dan Skizofrenia


Gambaran-gambaran lain yang terjadi pada gangguan ini adalah
berkembangnya delinguensi, kegagalan dalam melaksanakan tugas, perilaku
seksual yang abnormal, dan penyakit-penyakit psikiatris. Berdasarkan
laporan dari studi neuropsikologi pada otak orang dewasa berusia 34 tahun
dengan FAS , dia mengalami schizophrenia di masa remaja dan mengalami
anomali pada lobus temporal, yang itu diketahui sebagai lobus dalam
schizophrenia (Stoos, Nelsen, Schissler, Elliott, & Kinney, 2015). Gangguan
tersebut ternyata terjadi ketika masa perkembangan awal otak dengan
ditunjukannya ekspresi-ekspresi gangguan klinis di kemudian hari.
Gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan yang asimetris pada
lobus temporal di dalam FAS ini, diperkuat dengan temuan dengan
meningkatnya gray matter dan volume perisylvian dalam girus temporal
remaja yang disebabkan oleh kecanduan alkohol berlebih yang kemudian
digambarkan dengan neuroimaging. Bentuk dan ukuran yang tidak normal
oada lobus temporal meningkatkan kemungkinan terjadinya kerusakan
formasi otak seperti yang terjadi pada pasien-pasien schizophrenia. Hal ini
kemudian berkaitan dengan beragam perilaku yang ditunjukan, seperti
halusinasi pendengaran dan masalah-masalah memori dan verbal pada
kebanyakan penderita schizophrenia.
Menurut (Stoos et al., 2015), dasar neurobilogi dari berbagai penyakit
mental yang mungkin timbul dari FAS ini dikarenakan terjadinya
neurpatologi yang tidak terkontrol ketika masa kehamilan. Perubahan-
perubahan kematangan dalam melinasi dan konektivitas, merupakan contoh
dari proses emosi dan kognitif yang terjadi pada masa remaja hingga
dewasa.

i. Bahaya alkohol bagi janin


Bahaya bagi janin dari ibu yang peminum alkohol yaitu dapat
mengakibatkan FAS, keguguran, kelahiran prematur, komplikasi persalinan
pada bayi, bayi berat badan lahir rendah, bayi lahir dengan kepala kecil
(mikrosefali), retardasi mental, gangguan pada otak, jantung, hati dan organ-
organ lainnya, gangguan fisik serta perilaku yang akan mempengaruhi
pertumbuhan anak sepanjang hidupnya.
Penelitian terbaru menunjukkan wanita yang terlalu banyak meneguk
alkohol selama kehamilan dapat membahayakan anak secara permanen. Uji
coba laboratorium pada mencit menunjukkan konsumsi alkohol secara
regular saat hamil menyebabkan perubahan DNA pada janin yang
dikandung. Faktor-faktor dalam lingkungan ibu selama kehamilan itulah
yang dapat menyebabkan terjadinya epigenetik modifikasi DNA janin. Hal
ini tidak mengubah kode genetik itu sendiri tapi mungkin mengaktifkan atau
bahkan mematikan gen-gen tertentu serta menambah atau mengurangi
ekspresi gen mereka.
Telah di demonstrasikan untuk pertama kalinya bahwa etanol dapat
mempengaruhi phenotype tikus dewasa dengan mengubah epigenotype
embrio awal. Juga ditemukan postnatal growth restriction dan craniofacial
dysmorphology yang mengingatkan keadaan yg menyerupai Fetal Alcohol
Syndrome (Kaminen-Ahola et al., 2010). Bayi mencit dari induk yang
mengkonsumsi alkohol juga memiliki gejala sindrom janin alkohol seperti
pada janin manusia, yaitu berat badan rendah dan tengkorak yang lebih kecil
(Hamzelou, 2010).
Ini merupakan perkembangan penting dalam memahami bagaimana
paparan alkohol di dalam rahim ibu menyebabkan efek merugikan pada
keturunannya seumur hidup, ”kata Ramsay, seorang ahli genetika dari
Universitas Witwatersrand di Johannesburg, Afrika Selatan. Minum
minuman beralkohol selama hamil bisa menyebabkan cacat bawaan,
terutama jika alkohol diminum dalam jumlah besar. Pemakaian alkohol
selama trimester pertama lebih berbahaya dibandingkan dengan trimester
kedua; pemakaian alkohol selama trimester kedua lebih berbahaya
dibandingkan dengan pemakaian alkohol selama trimester ketiga. Sindroma
alkohol pada janin bisa menyebabkan kelainan fitur atau bentuk seperti
berikut :
1. Pertumbuhan
IUGR (Intra Uterine Growth Restriction), yaitu gangguan
pertumbuhan pada janin dan bayi baru lahir yang meliputi semua parameter
biometri : berat badan, panjang badan dan lingkar kepala).
Selanjutnya failure to thrive atau gagal tumbuh, meskipun sudah
diusahakan intake kalori yang cukup dan normalisasi fungsi endokrin
Berkurangnya jaringan lemak.
2. Kelakuan atau tingkah laku
Periode neonatal: withdrawal syndrome ditandai dengan: gangguan
pola tidur, gangguan suhu tubuh, takipnu atau apnu, diare, diaphoresis,
tremor, rinore, hiperrefleksi, hipertoni, kejang. Bisa juga ada
mikrosefali.Perkembangan neurokognitif yang lambat disertai penurunan
fungsi mental (bisa ringan sampai berat): gangguan belajar, memori lemah,
tidak dapat membagi waktu, tak dapat mengelola uang, tak mengerti konsep,
sulit bicara-berbahasa, tak bisa menyelesaikan masalah, sukar bersosialisasi-
mencari teman, kurang imajinasi dan rasa ingin tahu, gangguan perilaku
seperti hiperaktif, tidak dapat berkonsentrasi, social-withdrawal, keras
kepala, impulsive, epilepsi.
3. Kelainan wajah dan kepala
Kelainan wajah dan kepala, bisa berupa mikrosefali (Bontius and
West, 1988) kelopak mata turun, hipoplasi wajah tengah, ada lipatan
epicantus, jembatan hidung rendah/pesek, hidung pendek yang mencuat ke
atas, tidak ada alur/lekukan diantara bawah hidung dan bibir atas, batas bibir
atas sangat tipis (Volpe, 1995; Streissguth, 1997).
4. Kelainan fisik lain yang dapat ditemukan.
 Kelainan jantung (misalnya kelainan septum ventricle atau kelainan
septum atrium).
 Kelainan pada persendian, tangan, kaki, jari tangan dan jari kaki
tremor (gemetaran).
 Gangguan motorik halus dan koordinasi yang lemah.
 Akibat yang paling serius adalah gangguan perkembangan otak
yang bisa menyebabkan keterbelakangan mental (mental
retardation).
 Kelainan telinga : letak rendah(low set ears), daun telinga seperti
jalan kereta-api atau“rail-road track”.
 Kelainan pada garis telapak tangan (palmar crease), ”hockey-stick
crease”.
Efek alkohol pada janin masih terus dan sedang dipelajari dan beberapa
efek negatifnya secara bertahap terus ditemukan. Juga degenerasi neuronal
apoptotic yang dipicu oleh alkohol dalam otak yang sedang berkembang
(Olney et al., 2000). Kematian sel di dalam cortex cerebri yang sedang
berkembang jadi meningkat (Climent et al., 2002). Banyak penyakit bawaan
risiko jantung dan kondisi lain dapat disebabkan oleh alkohol bahkan
sebelum bayi lahir. Juga gangguan tidur pada ibu peminum alkohol memiliki
dampak yang parah pada janin. Kebanyakan bayi yang kesulitan dalam
masalah tidur sering disebabkan oleh konsumsi alkohol oleh ibu. Akhirnya
anak juga yang menderita dampak negatif pada pertumbuhan dan
perkembangan secara keseluruhan dan berlangsung seumur hidupnya.

j. Pencegahan
1. Program Multimedia Untuk Mencegah FAS
Salah satu bentuk kegiatan yang dapat mencegah terjadinya FAS
adalah melakukan program multimedia. Program ini bertujuan untuk
memberikan informasi menyeluruh kepada masyarakat meliputi seperti
apa gambaran sejarah dari terjadinya FAS dan semua hal yang
menyangkut FAS (Lachausse, 2008).
Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan tayangan persentasi
menggunakan slide pada program power point yang terdiri dari 30-35
slide tergantung informasi atau kebutuhan yang ingin disampaikan oleh
terapis.Studi yang dilakukan oleh beberapa ahli menunjukan bahwa
program ini sangat efektif untuk memberikan intervensi awal dalam
mencegah terjadinya FAS. Dengan menggunakan metode quasi-
eksperimen longitudinal, yang kemudian diukur dengan berbagai skala
FAS, seperti The Knowledge Regarding Fetal Alcohol Syndrome (FAS)
yang diadaptasi dari the FAS Knowledge, Attitudes, Beliefs, and
Behaviors (KABB) Survey. Studi ini memberikan hasil yang efektif
dalam meningkatkan pengetahuan subyek tentang FAS, tetapi secara
signifikan tidak terlalu efektif dalam meningkatkan sikap dan
kepercayaan mereka terhadap bahaya yang bisa terjadi pada masa
kehamilan dikarenakan alkohol (Lachausse, 2008).
2. Pencegahan dengan Community-Based Narrowcasting Campaign
Kegiatan lain yang juga efektif dalam melakukan pencegahan terjadinya
FAS adalah melakukan aksi komunitas yang bertujuan meningkatkan
kesadaran lingkungan sekitar tentang pentingnya menjauhi alkohol (Glik,
Prelip, Myerson, & Eilers, 2008). Kegiatan ini dilakukan dengan cara
melakukan aksi promosi dan sharing antar kelompok mengenai dampak
terburuk dari penggunaan alkohol. Sebuah norma sosial diterapkan sebagai
model yang baik yang dapat diterima oleh seluruh anggota kelompok. Setiap
kelompok akan berbagi strategi dan penyampain promosi terbaiknya, juga
melakukan monitoring efektif terhadap perkembangan anggota kelompoknya.

2.6.3. Anencephaly
a. Definisi
Anencephaly adalah cacat lahir serius yang menyebabkan bayi terlahir
tanpa sebagian otak dan tengkoraknya. Anencephaly adalah jenis cacat
tabung saraf. Tabung saraf adalah struktur embrio yang akhirnya
berkembang menjadi otak dan tengkorak bayi, juga sumsum tulang belakang
dan jaringan lain yang menyertainya. Tabung saraf biasanya terbentuk pada
awal kehamilan dan menutup pada hari ke-28 setelah pembuahan.
Anencephaly terjadi ketika bagian atas tabung saraf gagal menutup dengan
sempurna. Akibatnya, otak dan sumsum tulang belakang bayi yang sedang
berkembang jadi terpapar oleh cairan ketuban yang mengelilingi janin dalam
rahim. Paparan cairan ketuban ini kemudian menyebabkan jaringan sistem
saraf terurai dan hancur.

Ilustrasi bayi anencephaly (sumber: CDC)


Hal ini mengakibatkan bayi terlahir tanpa bagian otak yang disebut otak
besar dan otak kecil. Daerah otak ini diperlukan untuk berpikir, mendengar,
melihat, emosi, dan mengkoordinasikan gerakan. Tulang tengkoraknya juga
hilang sebagian atau tidak terbentuk secara sempurna. Ini menyebabkan sisa
sebagian otak seringkali tidak tertutup oleh tulang atau kulit.
b. Penyebab
Tidak semua kasus anencephaly diketahui pasti apa penyebabnya.
Beberapa bayi terlahir dengan anencephaly karena adanya perubahan pada
gen atau kromosom mereka. Yang paling banyak dipelajari dari gen ini
adalah MTHFR, gen yang menyediakan instruksi untuk membuat protein
yang terlibat dalam pengolahan vitamin folat (juga disebut vitamin B9).
Kekurangan asam folat merupakan faktor risiko yang kuat untuk cacat
tabung saraf.
Anencephaly mungkin juga disebabkan oleh kombinasi gen dan faktor
lainnya, seperti hal-hal yang berhubungan dengan ibu di lingkungannya atau
apa yang dimakan atau minumnya, atau obat-obatan tertentu yang ia
gunakan selama kehamilan. Faktor risiko maternal lainnya untuk
anencephaly meliputi cairan ketuban yang rusak, diabetes, obesitas, paparan
panas tinggi (seperti demam atau berendam di bak mandi air panasatau
sauna) pada awal kehamilan, dan penggunaan obat anti-kejang tertentu
selama kehamilan. Namun, tidak jelas bagaimana faktor-faktor ini dapat
memengaruhi risiko anencephaly.
Diketahui pula bahwa ayah yang berusia lebih dari 40 tahun saat sedang
merencanakan kehamilan, serta asupan makanan dan pola hidupnya (misal,
kebiasaan minum alkohol), berperan penting menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan janin.

c. Diagnosis
Anencephaly dapat didiagnosis selama kehamilan atau setelah bayi
lahir. Selama kehamilan, ada tes skrining prenatal untuk memeriksa cacat
lahir dan kondisi lainnya. Anencephaly akan mengakibatkan hasil abnormal
pada tes skrining darah atau serum AFP (alpha fetoprotein), atau mungkin
terlihat saat USG (yang akan memperlihatkan gambar tubuh bayi). Jika
kehamilan Anda berisiko tinggi untuk anencephaly, skrining harus dilakukan
antara minggu ke 15 dan 20, dengan waktu terbaiknya adalah di minggu ke-
16. Dalam beberapa kasus, anencephaly hanya terlihat saat bayi lahir.

d. Pencegahan
Mendapatkan cukup asam folat sebelum dan selama awal kehamilan
dapat membantu mencegah cacat tabung saraf, seperti anencephaly.
Perempuan usia subur dianjurkan untuk mengonsumsi 0,4 mg asam folat
setiap hari, baik melalui asupan makanan maupun suplemen. Pemenuhan
asam folat pun tetap penting bahkan jika Anda tidak berniat untuk hamil. Ini
untuk berjaga-jaga, karena cacat tabung saraf terbentuk sangat dini di usia
kehamilan, seringkali sebelum wanita menyadari bahwa mereka sedang
hamil.
Wanita yang pernah mengalami kehamilan sebelumnya yang
terpengaruh cacat tabung saraf disarankan untuk mengonsumsi 4 mg asam
folat yang dimulai 30 hari sebelum pembuahan hingga trimester pertama di
bawah perawatan dokter mereka.
Namun jangan mengonsumsi asam folat lebih dari 1 mg, kecuali jika
disarankan oleh dokter demikian. Dosis asam folat tinggi dapat menutupi
diagnosis anemia pernisiosa yang disebabkan oleh defisiensi B12.

e. Pengobatan
Tidak ada obat atau pengobatan standar untuk bayi anencephaly.
Hampir semua bayi yang lahir dengan anencephaly akan meninggal tak lama
setelah kelahiran. Namun begitu, bayi yang selamat akan diberikan
perawatan suportif. Bayi akan dijaga tetap hangat dalam inkubator, dan area
otaknya yang rentan akan dilindungi. Terkadang botol khusus digunakan
untuk membantu memberi makan bayi yang mungkin mengalami kesulitan
menelan ASI.

2.6.4. Bayi Cacat


Pemakaian obat pada wanita hamil dapat menimbulkan masalah
bukan hanya akibat reaksi obat yang tidak diharapkan pada ibu, tetapi
juga pada fetus. Sekitar 50% ibu hamil dan menyusui menggunakan
obat-obatan atau suplemen yang sering dikonsumsi pada trimester
pertama kehamilan. Zat aktif obat dapat masuk ke peredaran darah janin
dan mempengaruhi proses pembentukan organ pada fetus yang akhirnya
berefek teratogen. Salah satu obat yang bersifat teratogen adalah warfarin
(Baillie et al., 1980).
Warfarin adalah obat antikoagulan oral yang digunakan untuk
penyakit dengan kecendrungan timbulnya tromboemboli, antara lain
infark miokard, thrombosis vena, dan emboli paru (Ganiswara, 1995;
Scheinin et al., 2003). Obat ini menghambat sintesa vitamin K yang
merupakan kofaktor dalam aktivasi faktor pembekuan darah II, VII, IX, dan
X (Murray et al., 1997; Wells et al., 2006).
Warfarin merupakan senyawa yang bersifat teratogen. Obat ini
mempunyai berat molekul yang kecil yaitu 308,33 g/mol (Farmakope
Indonesia, 1995) sehingga dapat melintasi plasenta dan efek kerjanya
sebagai antagonis vitamin K dapat mempengaruhi perkembangan embrio
dan fetus. Warfarin yang dikonsumsi pada trimester pertama kehamilan
dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada janin yang dikenal dengan
istilah Fetal Warfarin Syndrom (FWS). Cacat lahir yang terjadi berupa
nasal hypoplasia (kelainan pada skeletal hidung), short neck (leher pendek),
brachydactyly (jari pendek) dan neonatal bleeding (Baillie et al., 1980;
Mason et al., 1992; Sathienkijkanchai and Wasant, 2005). Kelainan
yang ditimbulkan oleh warfarin ini disebabkan oleh stress oksidatif. (efek
dari warfare berupa kelianan pada skeletal hidung dan jari pendek ) Stress
oksidatif adalah keadaan dimana tingkat oksigen reaktif intermediate
(ROI) yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen (Allen and
Tressini, 2000).
Di dalam tubuh ROS cendrung bereaksi dengan jaringan sehingga
menimbulkan reaksi berantai yangmenyebabkan kerusakan jaringan
(Afonso et al., 2007; Agarwal et al., 2005). Stres oksidatif dapat dicegah
dan dikurangi dengan asupan antioksidan yang cukup dan optimal ke
dalam tubuh.Antioksidan mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan
yang disebabkan spesies oksigen reaktif dan mampu menghambat
peroksidase lipid pada makanan (Sunarni, 2005).
Vitamin A selain berfungsi untuk penglihatan juga berperan sebagai
antioksidan yang mampu menangkap senyawa radikal bebas dan
menghentikan reaksi berantai dari ROS di dalam tubuh (BPOM RI,
2005). Vitamin A juga diperlukan untuk sintesa protein, diferensiasi
sel, pertumbuhan dan perkembangan embrio (Drake, 2007).Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Netti Marusin, Almahdy A dan Herlina Fitri (
2011 ), hasil penelitian menunjukan bahwa mencit yang diberikan warfarin
menyebabkan berat badan mencit menjadi lebih kecil , pada kelainan
morfologinya dengan diberikan warfarin menyebabkan 1 fetus lambat
pertumbuhan dan 2 fetus lagi mati. Hal ini dikarenakan warfarin dapat
melewati plasenta sehingga bisa tertimbun dan terakumulasi pada organ
fetus sehingga mengakibatkan kelainan perkembangan pada fetus.
Pada kelompok pemberian warfarin saja menghasilkan lebih banyak
tapak resorpsi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain. Jumlah
tapak resorpsi yang dijumpai pada kelompok pemberian warfain saja,
kelompok kontrol negatif, pemberian vitamin A saja, kombinasi
pemberian warfarin dan vitamin A selama dan sebelum masa
organogenesis berturut-turut adalah 23, 1, 3, 4, dan 14. Adanya tapak
resorpsi (gumpalan merah yang tertanam pada uterus) disebabkan karena
pengaruh warfarin pada masa organogenesis, dimana tidak terdapat lagi
sifat totipotensi sel sehingga tidak dapat memperbaiki kerusakan yang
terjadi dan tidak terjadi perkembangan selanjutnya.
Akibatnya fetus mencit mati dan hanya terbentuk gumpalan merah.
Kerentanan terhadap agen teratogenik tergantung pada stadium
perkembangan organ pada waktu terpapar dan ini juga mempengaruhi jenis
cacat. Selain itu, juga terdapat 1 ekor induk mencit yang mengalami abortus
pada kelompok pemberian warfarin Abortus terjadi pada hari ketiga
setelah pemberian warfarin. Hal ini mungkin karena efek dari warfarin baru
tercapai setelah 12-24 jam dan lama efeknya adalah 2-5 hari (Ganiswara,
1995). selama masa organogenesis ditemukan satu fetus yang mengalami
pendarahan pada bagian kepalanya. Pendarahan mungkin dapat
disebabkan karena warfarin memiliki berat molekul kecil, yaitu 308,33
g/mol (Farmakope Indonesia, 1995) sehingga dapat melewati plasenta
dan kerjanya sebagai antikoagulan dapat mempengaruhi fetus
(Sathienkijkanchai and Wasant, 2005).
Selain itu ditemukan kerusakan vena sentralis pada hati fetus mencit,
Kerusakan ini dapat terjadi karena warfarin dapat melewati plasenta,
sedangkan pada hati fetus belum terdapat enzim yang bisa memetabolisme
zat-zat toksik sehingga terakumulasi pada hati fetus.kerusakan ini tidak terjadi
pada hati saja tetapi juga menyebabkan kerusakan yang lebih parah yaitu sirosis.
Kerusakan ini disebabkan karena sel membengkak dan mengakibatkan
membran sel pecah. Dimana, kerusakan ini bersifat irreversibel sehingga
kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya pada membran sel saja, tapi juga dapat
menyebar ke nukleus dan menyebabkan terjadinya sirosis.

2.6.5. Autisme
a. Definisi
Kata autisme diambil dari kata Yunani “autos” yang berarti aku
(Suharmini, 2002) dalam (Purwanta 2012:115). Autisme merupakan
gangguan perkembangan yang memiliki ciri-ciri bahwa anak seolah-olah
hidup dalam dunianya sendiri atau memiliki dunia sendiri dan tidak ada
kontak dengan orang lain. Istilah autisme pertama kali diperkenalkan oleh
Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Autistic Disturbance of
Affective Contact) pada tahun 1943.
Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan
dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, pembalikan kalimat,
adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat
dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam
lingkungannya.
Gangguan tersebut ditandai dengan ketidakmampuan melakukan
interaksi sosial dan seperti hidup dalam dunianya sendiri, pada umumnya
perkembangan ini terjadi pada masa anak-anak atau yang disebut dengan
gejala autis infantil. Banyak juga di antara mereka suka menyakiti dirinya
sendiri dan berperilaku sangat ekstrim, misalnya suka melakukan kegiatan
gerak yang sama selama berjam-jam setiap waktu atau stereotype Alloy, L.
B. (2005 : 93) dalam (Delphie 2009 : 4-5). Berdasarkan beberapa pandangan
mengenai pengertian anak autis, dapat disimpulkan bahwa autisme adalah
anak yang mengalami gangguan perkembangan pada fungsi otak yang
mengakibatkan anak kesulitan melakukan interaksi sosial dan tidak mampu
menggunakan bahasa verbal maupun non verbal yang sesuai dengan kondisi
lingkungan dan sekitarnya.

b. Klasifikasi anak autis


Ada beberapa pendapat mengenai klasifikasi anak autis, antara lain
Dapat diklasifikasikan ke dalam gangguan perkembangan pervasif menurut
ICD-10 (International Classification of Diseases, WHO 1993) dan DSM-IV
(American Psychiatric Association, 1994) dalam Prasetyono (2008 : 54-65)
adalah:
1. Autisme Masa Kanak-kanak (Childbood Autism)
Autisme pada masa kanak-kanak adalah gangguan perkembangan pada anak
yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur tiga
tahun. Ciri-ciri gangguan autisme ini adalah: kualitas komunikasinya tidak
normal, adanya gangguan dalam kualitas interaksi sosial, dalam aktivitas,
perilaku, serta interesnya sangat terbatas, diulang-ulang, dan streotip.
2. Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-
NOS)
Gejala ini tidak sebanyak seperti pada autisme masa kanak-
kanak.Kualitas dari gangguan tersebut lebih ringan, sehingga anak-anak
ini masih bisa bertatap mata, ekspresi facial tidak terlalu datar, dan
masih bisa diajak bergurau.
3. Sindrom Rett (Rett’s Syndrome)
Gangguan perkembangan yang hanya dialami oleh anak wanita.Sekitar
umur enam bulan, bayi mulai mengalami kemunduruan perkembangan.
Pertumbuhan kepala mulai berkurang pada umur lima bulan sampai
empat tahun. Gerakan tangan menjadi tidak terkendali, gerakan yang
terarah hilang, dan disertai dengan gangguan komunikasi serta
penarikan diri secara sosial.Selain itu, terjadi gangguan berbahasa,
perseptivitas, ekspresif, serta kemunduran psikomotor yang hebat.Hal
yang sangat khas adalah timbulnya gerakan tangan yang terus-menerus.
4. Gangguan Disintegratif Masa Kanak-kanak (Childbood Disintegrative
Disorder)
Gejala timbul setelah umur tiga tahun.Perkembangan anak sangat baik
selama beberapa tahun sebelum terjadinya kemunduran yang hebat.
Petumbuhan yang normal terjadi pada usia 1 sampai 2 tahun. Kemudian,
anak akan kehilangan kemampuan yang sebelumnya telah dikuasai
dengan baik.
5. Asperger Syndrome (AS)
Lebih banyak terdapat pada anak laki-laki.Perkembangan bicaranya
tidak terganggu, tetapi mereka kurang bisa berkomunikasi secara timbal
balik. Berbicara dengan tata bahasa yang baku dan dalam
berkomunikasi kurang menggunakan bahasa tubuh. Sangat terobsesi
kuat pada suatu benda.Mempunyai daya ingat yang kuat dan tidak
mempunyai kesulitan dalam pelajaran di sekolah.

c. Faktor penyebab anak autis


Penyebab autisme hingga saat kini memang belum diketahui secara
pasti, dan menurut beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan oleh
beberapa faktor.Beberapa para peneliti tentang autis mengungkapkan bahwa
terdapat gangguan biokimia, gangguan jiwa/psikiatri, kombinasi makanan
yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang
mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah
dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis. Menurut pendapat Soenardi dan
Soetardjo (2007), ada beberapa faktor yang diyakini sebagai penyebab
autisme diantaranya:
1. Penyakit ibu saat hamil, misalnya cacar air/rubella, virus citom egalo,
keracunan kehamilan, anemia berat, dan lain-lain yang mungkin
mempengaruhi perkembangan sel syaraf otak janin/susunan syaraf
pusat
2. Bahan-bahan kimia seperti yang terdapat pada pengawet makanan,
pewarna makanan, penambah rasa (MSG), dan food additive lainnya.
3. Keracunan logam berat (polutan) misalnya timbal (Pb) dari limbah
kendaraan bermotor, merkuri (Hg) dari ikan yang tercemar/air raksa
sebagai pengawet vaksin yang kadarnya melebihi ambang batas aman.
4. Gangguan metabolisme protein gluten dan kasein.
5. Infeksi jamur/yeast.
6. Alergi dan intoleransi makanan, dan lain-lain.

d. Karakteristik anak autis


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merumuskan suatu kriteria
yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan diagnosis autisme. Rumusan
ini dipakai di seluruh dunia untuk menjadi panduan diagnosis yaitu 13
dikenal dengan nama DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual )1994,
yang dibuat olehgrup psikiatri dari Amerika. Isi dari DSM-IV tersebut dalam
Sunu (2012: 13-14) terdapatbeberapa kriteria yang menyangkut pada anak
dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD),diantaranya sebagai berikut :
1. Minimal ada 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan sedikitnya dua gejala
dari (1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3).
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.
Minimal harus ada 2 gejala sebagai berikut:
 tak mampu menjalin interaksi sosia yang cukup memadai :
kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-
gerik yang kurang tertuju.
 tidak bisa bermain dengan teman sebaya.
 tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
 kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
b. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi yang ditunjukkan
oleh minimal satu dari gejala-gejala sbb:
 Berbicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang
(tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara
lain selain bicara).
 Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipergunakan untuk
berkomunikasi.
 Sering mempergunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
 Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa
meniru.
c. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku,
minat dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala sbb :
i. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang
sangat khas dan berlebih-lebihan.
ii. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas
yang tidak ada gunanya.
iii. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang-ulang.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Teratogen adalah suatu obat atau zat yang menyebabkan pertumbuhan janin yang
abnormal.
2. Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan.
3. Faktor yang menyebabkan cacat ada 2, yaitu:
 Faktor genetis
 Dan faktor lingkungan
4. Tahap perkembangan janin dalam kandungan, yaitu:
 Tahap Pradiferensiasi
 Tahap Embrio
 Tahap Janin
5. Penyakit karena teratogen, yaitu:
 Neural Tubes Defect (NTD)
 Fetal Alcohol Syndrome (FAS)
 Anencephaly
 Bayi Cacat
 Autisme

3.2. Saran
Diharapkan dengan adanya sumber tentang zat teratogen yang menyebabkan penyakit

pada janin sehingga pembaca lebih dapat memahami dan mengetahui informasi

tersebut.

Anda mungkin juga menyukai