Anda di halaman 1dari 7

EKSISTENSI BAHASA PASEMAH DALAM TRADISI BERASAN MASYARAKAT

BENGKULU SELATAN

Hira Tri Windasari Ilham


21/475982/PSA/19883
Magister Linguistik

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang memungkinkan terjadinya


interaksi antarmanusia dalam suatu kelompok masyarakat. Bahasa merupakan media
komunikasi yang selalu diperlukan oleh manusia untuk menyampaikan pikiran, perasaan, ide
dan keinginan kepada orang lain. Dengan adanya bahasa, manusia dapat menjalin komunikasi
antarsesama dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan merupakan hubungan sub-ordinatif karena bahasa
berada di bawah lingkup kebudayaan. Teori lain mengatakan bahwa hubungan antara
kebudayaan dengan bahasa adalah hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang
sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem
yang melekat pada diri manusia. Kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi
manusia di dalam masyarakat, bahasa adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana
berlangsungnya interaksi tersebut.

Masing-masing daerah di Indonesia memiliki perbedaan kebudayaan, adat istiadat,


bahasa, agama dan sebagainya yang berbeda satu sama lain. Kebudayaan merupakan
berbagai aspek kehidupan. Kata itu meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan
sikap-sikap dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau
kelompok penduduk tertentu. Saifudin (2006: 82) mengemukakan kebudayaan diambil dalam
pengertian etnografi yang luas adalah keseluruhan kompleks yang luas yang meliputi
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kapabilitas dan kebiasaan-
kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat. Setiap suku memiliki kekhasan
yang merupakan suatu keunikan yang menggambarkan kekayaan budaya yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Seperti tradisi upacara-upacara adat, bahasa dan pepatah. Kebudayaan
daerah merupakan bagian dari kebudayaan nasional, usaha penggalian, inventarisasi dan
pengembangan kebudayaan bukan saja memiliki arti penting untuk kebudayaan daerah itu
sendiri, tetapi juga penting untuk kebudayaan nasional, tidak hanya terbatas dalam
memperkaya ragam, tapi juga sebagai memperkaya peningkatan secara kualitas.

Salah satu daerah atau wilayah yang memiliki bahasa dan budaya daerah yang
beragam adalah Bengkulu. Secara keseluruhan Provinsi Bengkulu memiliki sepuluh
kabupaten kota yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Seluma,
Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Lebong, Kabupaten
Kepahiang, Kabupaten Muko-Muko, Kabupaten Bengkulu Tengah, dan Kabupaten Kaur.
Masing-masing daerah tersebut memiliki bahasa yang berbeda-beda antarsatu dengan yang
lain, baik perbedaan bahasa secara keseluruhan maupun secara dialeknya saja. Bahasa
Pasemah masih digunakan dalam kegiatan berkomunikasi sehari-hari maupun dalam kegiatan
kebudayaan lainnya di Kecamatan Kedurang dan Padang Guci. Bahasa pasemah tersebut
hanya di gunakan di kedua wilayah tersebut di Provinsi Bengkulu. Hal ini karena setiap
kabupaten di Provinsi Bengkulu hampir memiliki bahasa daerah masing-masing. Bahkan, di
wilayah Bengkulu Selatan, kecamatan yang satu dengan kecamatan yang lainnya yang hanya
berjarak beberapa kilometer memiliki bahasa yang berbeda. Di Bengkulu Selatan misalnya,
terdapat penutur bahasa Pasemah yang dibagi menjadi dua penutur yaitu penutur bahasa
Pasemah di Kedurang dan penutur bahasa Pasemah di Padang Guci yang sekarang juga sudah
termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kaur.

Sebagai bahasa daerah, bahasa Pasemah melambangkan nilai sosial budaya daerah
yang juga mencerminkan kehidupan masyarakat Pasemah. Oleh karena itu, bahasa Pasemah
yang merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional perlu dikaji lebih jauh dan dilestarikan
karena bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang hidup sehingga
diperlukannya suatu kajian yang mendalam mengenai bahasa-bahasa daerah tersebut.

Salah satu kebudayaan suku Pasemah yang di dalamnya memerlukan bahasa adalah
kegiatan berasan. Pada kebudayaan Pasemah, kegiatan berasan ini terdiri atas empat tahap,
yaitu berasan muda-mudi, ngurusi rasan, madui rasan, dan berasan bekule. Kegiatan berasan
didasari oleh adanya suatu perkenalan antara bujang dan gadis yang merujuk pada rasa
keyakinan untuk membina yang lebih jauh, dalam arti ingin meneruskan hubungan tersebut
kejenjang pernikahan. Dalam adat Pasemah, hal ini disebut berasan muda-mudi. Setelah
pasangan tersebut bersepakat untuk membina hubungan yang serius tentu saja mereka akan
saling mengenalkan pasangan ke orang tua masing-masing.
Pada masyarakat Pasemah pengenalan tahap pertama kepada orang tua didahului oleh
pihak bujang, di mana seorang bujang membawa pasangannya dan mengenalkan pasangan
tersebut pada orang tuanya. Selanjutnya begitu juga yang dilakukan oleh si gadis. Bahasa
yang digunakan saat berasan pada dasarnya berbentuk percakapan antara pihak bujang dan
pihak gadis yang dilaksanakan menjelang dilaksanakannya acara pernikahan. Percakapan
tersebut tentunya diwakilkan antara salah seorang yang diutus atau dipercaya baik dari pihak
bujang maupun pihak gadis.Berdasarkan hal ini, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan kegiatan dan penggunaan bahasa pada kegiatan adat berasan etnik Pasemah
di Kedurang, Bengkulu Selatan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana wujud bahasa pada tradisi berasan masyarakat Bengkulu Selatan?

1.3 Tujuan

1. Mendeskripsikan wujud bahasa pada tradisi berasan masyarakat Bengkulu Selatan?

II. LANDASAN TEORI

2.1 Berasan

Kata Berasan berasal dari bahasa Melayu yang berarti musyawarah. Pada prosesi ini,
kedua belah pihak keluarga bermusyawarah membicarakan persyaratan pernikahan, baik
secara adat maupun agama. Jadi berasan adalah musyawarah untuk mufakat yang dilakukan
oleh keluarga yang akan berhajat mengawinkan anak. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan
bersama dalam bentuk saling membantu dalam menentukan hal-hal penting yang
mengedepankan musyawarah, juga memberi penghargaan tinggi kepada sesepuh adat, sosial,
agama, bahkan keterampilan tertentu yang dibutuhkan dalam kegiatan hajatan dimaksud.
Salah satu aktivitas adat yang di dalamnya menggunakan bahasa daerah adalah tradisi
berasan. Berasan merupakan kegiatan perundingan antara calon pengantin pria dengan
perwakilan calon mempelai wanita sebelum melangsungkan pernikahan. Kegiatan berasan
didasari oleh adanya suatu perkenalan antara bujang dan gadis yang merujuk pada rasa saling
mencintai dan mempunyai keyakinan untuk membina yang lebih jauh, dalam arti ingin
meneruskan hubungan tersebut kejenjang pernikahan. Di dalam tahapan ini terdapat nilai
hukum adat masyarakat beradat Berasan atau secara harfiah diartikan sebagai musyawarah,
yang terjadi antara keluarga besar kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan
(Beruhim, 2008: 10). Dalam adat pernikahan suku Serawai di Bengkulu, Berasan ini sangat
penting dan dijadikan sebagai awal dari prosesi pernikahan. Tidak akan terjadi pernikahan
tanpa adanya Berasan antara kedua belah pihak keluarga yang akan menikah.

2.2 Berasan dalam Komunikasi Sosial

Komunikasi adalah proses menyampaikan pesan dari satu pihak ke pihak lain
sehingga terjadi pengertian bersama. Dalam komunikasi terdapat dua pihak yang terlibat,
pihak yang menyampaikan pesan disebut komunikator dan pihak penerima pesan disebut
komunikan. komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang
(komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran tersebut bisa beruppa gagasan,
informasi, dan opini. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian dan keragu-raguan,
kekhawatiran, dan kemarahan.

Komunikasi adalah suatu proses penyampain pesan, pikiran, atau perasaan dari suatu
pihak kepada pihak yang lain dengan memperhatikan konteks pembicaraan. Bagitu juga
halnya dengan kegiatan tradisi berasan pada masyarakat Pasemah Bengkulu Selatan yang
merupakan komunikasi antara dua keluarga yaitu pihak bujang dan pihak gadis. Dalam
kegiatan berasan tersebut, percakapan antara pihak bujang dan pihak gadis bertujuan untuk
memberitahu masyarakat yang hadir tentang keputusan dari musyawarah adat yang telah
dilaksanakan.

2.3 Wujud Bahasa

Wujud bahasa berasan  pada dasarnya berbentuk percakapan antara pihak bujang dan
pihak gadis yang dilaksanakan menjelang dilaksanakannya acara pernikahan. Percakapan
tersebut tentunya diwakilkan antara salah seorang yang diutus atau dipercaya baik dari pihak
bujang maupun pihak gadis. Berasan ini dipandu oleh seorang pembawa acara. Berasan  ini
dimulai oleh pihak bujang dan diakhiri oleh kata sambutan dari kepala desa tempat terjadinya
pernikahan. Kata sambutan kepala desa tersebut bertujuan untuk mengokohkan kembali
keputusan berasan antara pihak bujang dan pihak gadis yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Bahasa berasan dapat berbentuk kata ganti kami, kite, kamu, dan die, sapaan nama diri, frasa
jadilah amu luk itu dan adik sanak dusun laman, kalimat inversi dan pelesapan subjek, dan
ungkapan seikat pinggang, negeri due tungguan satu, berat same dipikul ringan same dijinjing
dan ungkapan nga sape bada aku nyampaika cerite ini.

2.4 Fungsi Bahasa

Berasan merupakan komunikasi antara dua keluarga yang mana dalam komunikasi
tersebut mereka sudah saling mengetahui apa yang akan disampaikan. Hal ini dikarenakan
komunikasi tersebut merupakan suatu komunikasi adat yang telah menjadi suatu ciri khas dan
konvensi masyarakat setempat. Oleh karena itu, pada dasarnya pihak bujang dan pihak gadis
telah mengetahui tujuan dari komunikasi tersebut. Mereka juga sudah mengetahui hal-hal
yang akan disampaikan pada komunukasi itu. Keputusan yang diperoleh dari kegiatan
tradisi berasan  juga merupakan keputusan adat yang harus diterima oleh pihak bujang.
Bahasa berasan berfungsi sebagai ideasional yakni untuk merepresentasikan ide suatu
masyarakat. Menurut Halliday (dalam Sukino, 2004) fungsi ideasional bahasa berkaitan
dengan peran bahasa untuk penggunaan isi, pengungkapan pengalaman penutur tentang dunia
nyata,  termasuk dunia dalam diri kesadaran sendiri. Fungsi ini dilandasi adanya pemikiran
bahwa bahasa digunakan untuk mengggambarkan pengalaman.

                                    Fungsi ideasioanal yang dimaksudkan di atas sama halnya dengan fungsi


referensial. Chaer dan Agustina (2004:12) Fungsi referensial bertujuan untuk membicarakan
objek yang ada di sekelilingnya. Seperti halnya pada data berikut, penutur membicarakan
objek yang ada di sekelilingnya yaitu gadis, bujang, kerebai, dan batin. Saat penutur sedang
mengadakan tradisi berasan, orang yang dibicarakan tersebut sebenarnya juga terlibat dalam
kegiatan berasan. Mereka juga mendengar langsung percakapan antara pihak gadis dan pihak
bujang tersebut sehingga seluruh yang hadir dalam kegiatan ini mengetahui keputusan yang
akan disepakati. Hal ini dikarenakan susunan komunikasi tradisi berasan ini sudah menjadi
kegiatan adat pada masyarakat setempat.

III. METODE PENELITIAN

Tulisan ini akan menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah penelitian
yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara
emperis hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa
perian bahasa yang biasanya dikatakan sifatnya seperti potret, paparan seperti adanya
(Sudaryanto, 2000). Metode deskriptif yang akan digunakan pada tulisan ini nanti digunakan
untuk memberikan deskripsi secara objektif tentang bahasa Pasemah dalam tradisi berasan.
Data yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah bahasa yang berupa percakapan atau
dialog saat tradisi berasan yang biasa dituturkan oleh masyarakat Pasemah Bengkulu Selatan.
Sedangkan untuk Sumber data dalam tulisan ini adalah tuturan lisan masyarakat pemakai atau
penutur bahasa Pasemah

IV. PEMBAHASAN

Oktaviany dan Sapta Sari (2017) menyatakan bahwa berasan adalah hal penting yang
harus dilakukan sebelum pernikahan. Tidak akan ada pernikahan jika tidak ada berasan
sebelumnya. Hasil kajian ini akan mendeskripsikan mengenai penggunaan bahasa pada
kegiatan berasan masyarakat Kedurang di Bengkulu Selatan. Pada adat masyarakat Pasemah
berasan merupakan suatu proses perundingan antara pihak calon mempelai laki-laki dan
calon mempelai perempuan sebelum melaksanakan pernikahan. Bahasa yang digunakan saat
berasan pada dasarnya berbentuk percakapan antara pihak bujang dan pihak gadis yang
dilaksanakan menjelang dilaksanakannya acara pernikahan. Percakapan tersebut tentunya
diwakilkan antara salah seorang yang diutus atau dipercaya baik dari pihak bujang maupun
pihak gadis.

Penggunaan Kata Kami

Au jadi pertanyeghan kami ni. Yi pertame sak dimane nak kemane nyelah kamu
tadi lah njelaskanye. Nah itu lah tejawab. Nah pertanyaan kedue kami ndak
betanye, retinye jalan mane kamu tadi? luk itulah kire-kire.

Penggunaan Kata Kami sering digunakan pada percakapan adat saat berasan.
Menurut pengamatan penulis, hal ini dikarenakan berasan merupakan representasi dari ide
masyarakat. Kata ganti “kami” ini dituturkan oleh seseorang baik dari perwakilan pengantin
laki-laki ataupun pengantin perempuan. Jadi, walaupun kata ganti “kami” ini sebenarnya
bermakna banyak atau jamak, namun dalam adat Pasemah kata “kami” itu juga bisa
dituturkan secara individu. Hal tersebut karena percakapan saat berasan adalah adalah
komunikasi antara dua keluarga bukan antar individu.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Fedyani Saifuddin. 2006. Antropologi Kontemporer. Kencana Prenada Media


Group. Jakarta

Beruhim, A. 2008. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu.Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Depdikbud.

Hartati. 2001. Bahasa Besemah Saat Berasan Pernikahan. Bengkulu: FKIP Unib.

Octaviani, V. 2017. Pola Komunikasi Adat Berasan Suku Serawai di Era. Jurnal ASPIKOM.
FISIP Dehasen

Anda mungkin juga menyukai