Anda di halaman 1dari 17

DAFTAR ISI

Daftar Isi.........................................................................................................1

Kata Pengantar...............................................................................................2

I. Pendahuluan.......................................................................................3
1.1 Latar Belakang.............................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................3
1.3 Tujuan Pembahasan....................................................................3
II. Isi........................................................................................................4
II.1 Pengertian dan Hukum Zakat......................................................4
II.2 Pengertian Pajak dan Ketentuannya...........................................7
II.3 Persamaan dan Perbedaan Antara Zakat dan Pajak...................13
III. Penutup.............................................................................................15
III.1 Kesimpulan.................................................................................15
III.2 Saran...........................................................................................15

Daftar Pustaka...............................................................................................16
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,kami
panjatkan segala syukur kepada-Nya yang telah memberikan rahmat,hidayah dan inayah-Nya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini dapat kami susun dengan maksimal dengan bantuan dan pertolongan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang ikut berkontribusi terutama dosen mata
kuliah Pendidikan Agama Islam yaitu Ibu Muniatul Fuadiyah yang telah membimbing kami
sampai sekarang.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dari para pembaca.
Namun terlepas dari semua itu kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna,sehingga kami sangat mengahapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
agar makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Bintaro,15 Januari 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti sudah tidak asing dengan kata zakat dan
pajak,kedua hal tersebut berkaitan dengan penyerahan harta benda untuk kepentingan
umum, lantas apa yang membedakan keduanya?
Menurut KBBI, Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh
orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak
menerimanya(fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan
oleh syarak. Sedangkan pengertian pajak menurut KBBI adalah pungutan
wajib,biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan
wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan
pendapatan,kepemilikan,harga beli barang dan sebagainya.
Sedangkan Pajak dalam pandangan Islam merupakan salah satu bentuk
muamalah dalam bidang ekonomi. Jika sumber-sumber utama pendapatan negara
seperti zakat,infaq,sedekah dan lain-lain tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut,
maka penguasa atau pemimpin dapat mengenakan pajak kepada rakyatnya sebagai
pendapatan tambahan untuk mengisi kekosongan kas negara yang pada akhirnya
berfungsi untuk kepentingan rakyatnya.
Dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata pajak karena pajak berasal dari bahasa
Jawa yang artinya pungutan tertentu pada waktu tertentu. Hanya terdapat satu kata
yang terdapat di dalam surat al-Taubah ayat 29 yaitu Kata ”Jizyah” yang
diterjemahkan dengan “Pajak” misalnya terdapat pada al-Qur’an & terjemahannya
oleh Departemen Agama RI terbitan PT Syaamil Bandung. Walau demikian, tidak
semua kitab al-Qur’an menerjemahkan kata “Jizyah” menjadi “Pajak” melainkan tetap
Jizyah saja, misalnya Kitab al-Qur’an & terjemahannya oleh Departemen Agama RI
cetakan Kerajaan Saudi Arabia atau cetakan CV Diponegoro Semarang
(Menristekdikti, 2016: 314).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian dan hukum zakat itu?
2. Bagaimana pengertian pajak dan ketentuannya?
3. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Mahasiswa dapat mengetahui,menjelaskan dan menerapkan pengertian dan hukum
zakat
2. Mahasiswa dapat mengetahui,menjelaskan dan menerapkan pengertian dan
ketentuan pajak
3. Mahasiswa dapat mengetahui,menjelaskan dan menerapkan perbedaan antara
zakat dan pajak
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Hukum Zakat


Secara bahasa, zakat itu bermakna: [1] bertambah, [2] suci, [3] tumbuh [4]
barakah. (Syauqi Dhaif, 2011: 398). Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati
bila membuka kamus Lisanul Arab. Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna
bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah SWT wajibkan unutk
diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat) (Sayyid
Sabiq, 2010: 487).

Zakat sudah sangat jelas dalilnya, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis.
Tata cara pelaksanaannya sudah dikupas sangat dalam berbagai kitab fiqih. Jadi, tidak
ada yang diragukan lagi dalam tata cara pelaksanaannya, baik subjek, objek, tarif,
waktu maupun tujuan penggunaannya. Salah satu landasan al-Qur’an tentang zakat
terdapat dalam al-Qur’an surat At-Taubah ayat 3,

yang artinya: Ambillah Shadaqah (Zakat) dari sebagian harta mereka, dengan Zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
SWT Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S. At-Taubah [9]: 103).

Selain dalam al-Qur’an, dalam Hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang
datangnya dari Umar Ra juga dijelaskan, yang artinya sebagai berikut: “Islam
dibangun atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan
seseungguhnya Muhammad itu utusan Allah, mendirikan Salat, membayar Zakat,
puasa di bulan Ramadhan, dan Haji ke Baitullah bagi yang memiliki kemampuan
perjalanannya (HR Bukhari dan Muslim).”

Dari ayat al-Qur’an dan Hadis di atas, jelaslah kepada kita bahwa zakat
merupakan kewajiban bagi setiap muslim, khususnya bagi yang memiliki harta yang
telah mencapai nishab, bahkan Rasulullah Saw memerintahkan agar memerangi
orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Rasulullah Saw bersabda:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak
ada ilah selain Allah SWT dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan
salat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka
akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah
SWT ta’ala (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).”

1. Kriteria Harta Yang Wajib Dizakatkan dan Jenis-jenisnya


 Harta itu dimiliki secara sempurna (al-milkut-taam)
Yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara sempurna adalah seseorang
memiliki harta secara sepenuhnya dan dia mampu untuk membelanjakannya atau
memakainya, kapan pun dia mau melakukannya. Hal ini berbeda dengan seorang
yang memiliki harta dengan tidak secara sempurna. Yaitu dimana seseorang
secara status memang menjadi pemilik, namun dalam kenyataannya, harta itu
tidak sepenuhnya dikuasainya.

 Harta itu tumbuh (an-nama')


Syarat kedua adalah bahwa harta itu adalah harta yang tumbuh atau bisa
ditumbuhkan, harta itu tidak mati atau tidak diam. Dalam bahasa kita sekarang ini,
harta itu dimiliki pokoknya namun bersama dengan itu, harta itu bisa memberikan
pemasukan atau keuntungan bagi pemiliknya.

 Harta itu memenuhi jumlah standar minimal (nisab)


Bila suatu harta belum memenuhi jumlah tertentu, maka belum ada kewajiban
zakat atas harta itu. Namun sebaliknya, bila jumlahnya telah sampai pada batas
tertentu atau lebih, barulah ada kewajiban zakat atasnya. Jumlah tertentu ini
kemudian disebut dengan istilah nisab. Misalnya, nishab zakat emas adalah 85
gram. Sedangkan nisab zakat beras adalah 520 kg. Bila dinilai secara nominal,
harga 85 gram emas itu berbeda dengan harga 520 kg beras.

 Harta itu telah dimiliki untuk jangka waktu tertentu (haul)


Para ulama telah menetapkan bahwa bila seseorang memiliki harta dalam waktu
singkat, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai orang kaya. Sehingga ditetapkan
harus ada masa kepemilikan minimal atas sejumlah harta, agar pemiliknya
dikatakan sebagai orang yang wajib membayar zakat.Yang penting untuk
diketahui, bahwa batas kepemilikan ini dihitung berdasarkan lama satu tahun
hijriyah. Bukan dengan hitungan tahun masehi. Dan sebagaimana diketahui,
bahwa jumlah hari dalam setahun dalam kalender hijriyah lebih sedikit
dibandingkan kalender masehi.

 Harta itu telah melebihi kebutuhan dasar


Sebagian ulama menambahkan syarat lainnya, yaitu bahwa sebuah harta baru
diwajibkan untuk dizakatkan, manakala pemiliknya telah terpenuhi hajat dasarnya
atas harta itu. Sebagaimana ditetapkan oleh mazhab Al-Hanafiyah dalam
kebanyakan kitab mereka. Sebab bila seseorang yang punya harta banyak, namun
dia juga punya hajat dasar atau tanggungan yang lebih banyak lagi, maka pada
hakikatnya dia justru orang yang kekurangan.

 Pemiliknya bukan orang yang selamat dari hutang


Sebagian ulama menambahkan syarat terakhir, yaitu bila seseorang memiliki harta
yang memenuhi kriteria di atas, namun dirinya sendiri punya hutang kepada pihak
lain, maka dia tidak lagi punya kewajiban membayar zakat.Namun yang dimaksud
dengan hutang disini bukan sembarang hutang. Maksudnya adalah hutang yang
besar dimana bila hartanya itu dikurangi dengan nilai kewajiban yang harus
dibayarkan, maka hutang itu membuat harta yang dimilikinya tidak lagi
memenuhi nisab zakatnya. Dalam keadaan demikan, maka gugurlah kewajiban
zakat baginya.

2. Jenis – Jenis Zakat


Untuk memudahkannya, berikut table jenis zakat dilengkapi dengan ketentuan
nishab, waktu pembayaran dan besarnya yang dikeluarkan.

NO JENIS ZAKAT YANG DIZAKATI NISHAB WAKTU BESAR


MEMBAYAR ZAKAT

1 FITHRAH Setiap jiwa/kepala - malam 1 syawal, 1 sha` = 2,159


semua muslim boleh 2- 3 hari se kg beras
besar kecil, pria sebelumnya atau
wanita, tua muda sejak awal
Ramadhan

2 EMAS & Yang disimpan 85 gr emas 1 haul (setelah 2,5 %


PERAK bukan yang sering 595 gr dimiliki slama satu
dikenakan perak tahun hijriah meski
di tengahnya pernah
berkurang

3 PERDAGANGA Uang/modal yang seharga 85 1 haul (setelah 2,5 %


N berputar, bukan gr emas / dimiliki selama 1
asset (bangunan, 595 gr tahun qamariyah,
perabot dll tidak perak meski ditengahnya
termasuk pernah berkurang)

4 TABUNGAN Semua bentuk seharga 85 1 haul (setelah 2,5 %


tabungan baik gr emas / dimiliki selama 1
tunai,rekening,piuta 595 gr tahun qamariyah,
ng,check,giro, dll. perak meski ditengahnya
pernah berkurang)

5 PERTANIAN Hasil panen 5 wasaq = Setiap panen 5 % jika diairi


dikurangi biaya 653 kg atau 10 % jika
perawatan (pupuk, gabah = 520 dgn air hujan
irigasi, obat dll) kg beras

6 INVESTASI Hasil dari harta 5 wasaq = setiap mendapat 5 % dari hasil


yang investasikan 653 kg hasil/setoran bersih 10 %
(sewa mobil, gabah = 520 dari hasil
kontrakan rumah, kg beras kotor
saham dll), nilai
investasinya tidak
termasuk

7 PERTAMBANG Hasil tambang darat - Saat mendapat 20%


AN (minyak, emas,
batubara) & laut
(mutiara dll)

8 HADIAH hadiah, sayembara, - Saat mendapat 20%


kuis

9 PROFESI 1. Penghasilan jumlah Tiap menerima 2.5%


Kotor (gaji, honor, penghasilan penghasilan
komisi, bonus, setahun
THR dll) 2. seharga 5
Penghasilan Bersih wasaq =
(setelah dipotong 520 kg
dengan kebutuhan beras
pokok, hutang dll)

3. Mustahik zakat
Zakat adalah bentuk ibadah yang unik dan spesifik. Meski pada hakikatnya
merupakan ibadah sosial yang intinya memberikan bantuan dari harta di kaya kepada
si miskin, namun kriteria si miskin yang menerima harta telah ditentukan Allah SWT
secara langsung di dalam Al-Quran Al-Kariem. Dan ternyata, orang- orang yang
berhak atas harta zakat itu bukan semata-mata orang miskin saja, melainkan ada lagi
orang-orang dengan kriteria tertentu yang juga berhak atas harta zakat itu.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang- orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah SWT dan untuk mereka yangg sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah SWT
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Q.S. At-Taubah: 60).”

Dari ayat ini kita bisa merinci bahwa mustahiq zakat itu ada 8 kelompok (asnaf).
Mereka adalah:
a. Orang-orang fakir
b. Orang-orang miskin
c. Pengurus-pengurus zakat
d. Para mu'allaf (orang yang dibujuk hatinya masuk Islam)
e. Untuk budak
f. Orang-orang yang berhutang
g. Untuk jalan Allah SWT
h. Mereka yang sedang dalam
perjalanan.

2.2 Pengertian Pajak dan Ketentuannya


Menurut Soemitro pajak ialah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada
Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Sedangkan menurut Adriani Pajak ialah iuran masyarakat kepada negara yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-
undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang
gunanya untuk negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (Menristekdikti, 2016:
312). Sementara di dalam UU No 28 Tahun 2007, pasal 1 disebutkan sebagai berikut:

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.Dari pengertian di atas dapat disimpulkan
ciri- ciri pajak sebagai berikut:
 Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang. Asas ini sesuai dengan perubahan
ketiga UUD 1945 pasal 23 A yang menyatakan pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang- Undang.
 Tidak mendapatkan jasa timbal balik yang dapat ditunjukkan secara langsung.
Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan
yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
 Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah
dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
 Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak
tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan.
 Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara atau anggaran
Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan,
pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara
dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi regulatif).

1. Fungsi Pajak
Pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur
(regulerend). Sebagai sumber pendapatan Negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Pemerintah dalam menjalankan tugas rutin negara
dan melaksanakan pembangunan membutuhkan sumber-sumber pembiayaan. Sumber
pembiayaan ini salah satunya dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Pajak digunakan
untuk membiayai pengeluaran rutin negara, seperti belanja barang, belanja pegawai,
belanja pemeliharaan, dan lain-lain.
Berkaitan dengan pajak sebagai fungsi mengatur, pemerintah dapat mengatur
kebijakan di bidang ekonomi dan sosial melalui kebijakan fiskal. Dalam menjalankan
fungsi mengatur, pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara.
Contohnya, dalam rangka mendorong penanaman modal, baik dalam negeri maupun
luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka
melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi
untuk produk luar negeri (Menristekdikti, 2016: 313).

2. Pajak dalam Islam


Di dalam al-Qur’an memang tidak ditemukan kata “pajak” karena “pajak”
memang bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa Jawa yaitu
“ajeg” yang artinya pungutan tertentu pada waktu tertentu. Begitu pula tidak
ditemukan istilah dalam al-Qur’an yang mengandung arti pajak, hanya ada satu kata
yang terdapat di dalam surat al-Taubah ayat 29 yaitu Kata ”Jizyah” yang
diterjemahkan dengan “Pajak” misalnya terdapat pada al-Qur’an & terjemahannya
oleh Departemen Agama RI terbitan PT Syaamil Bandung. Walau demikian, tidak
semua kitab al-Qur’an menerjemahkan kata “Jizyah” menjadi “Pajak” melainkan
tetap Jizyah saja, misalnya Kitab al-Qur’an & terjemahannya oleh Departemen
Agama RI cetakan Kerajaan Saudi Arabia atau cetakan CV Diponegoro Semarang
(Menristekdikti, 2016: 314).
Pada masa Rasulullah SAW dan kekhalifahan Islam, pajak merupakan salah satu
sumber pendapatan negara disamping zakat, kekayaan yang diperoleh dari musuh
tanpa perang (fay’), harta wakaf, barang temuan (luqatah) dan dari kekayaan alam.
Pajak dalam Islam terbagi atas 3 macam yaitu jizyah (pajak kepala), kharaj (pajak
bumi), dan ‘usyur (pajak atau bea cukai atas barang ekspor dan impor).
Jizyah adalah imbalan yang dipungut dari orang-orang kafir sebagai balasan atas
kekafirannya atau sebagai imbalan atas jaminan keamanan yang diberikan orang-
orang muslim padanya (al-Mawardi, 1960: 142). Pemungutan jizyah disyaratkan
dalam surat at-Tawbah ayat 29:
Artinya: ‘Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dan
tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan
tunduk‛.4 (Q.S. 9: 29)
Adapun kharaj adalah uang yang dikenakan terhadap tanah dan termasuk hak-hak
di atasnya yang harus ditunaikan. Tidak seperti jizyah yang dasar hukumnya
ditentukan oleh nash, kharaj didasarkan pada ijtihad, karena kharaj ini tidak ditemui
pada masa Rasulullah SAW, tetapi mulai digali pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab (al-Mawardi, 1960: 146). Menurut sebagian ulama, kharaj diambil dari orang
kafir maupun dari orang muslim. Akan tetapi kalaupun ada kaum Muslim yang
membayar Kharaj (karena membeli tanah Kharajiyah), maka Khalifah tetap
memasukkannya ke dalam Zakat, karena ada larangan dari Rasulullah Saw untuk
membebankan Zakat dan Kharaj sekaligus kepada kaum Muslim. Kadar kharaj,
jumlah minimal dan maksimalnya ditetapkan oleh pemerintah dan dibayar sekali
dalam setahun.
Sementara ‘Usyur menurut bahasa berarti sepersepuluh. Sedangkan menurut
istilah, ‘usyur berarti bea cukai barang ekspor impor atau pajak yang dikenakan pada
para pedagang asing yang melewati batas negara Islam dan pembayarannya dapat
berupa uang dan barang. Bea cukai barang ekspor impor mulai dikenal atas keputusan
khalifah Umar bin Khattab setelah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya yang
menjadi anggota dewan syura sehingga dasar penetapan hukum dari bea impor ini
adalah hasil ijtihad. ‘Usyur pada mulanya dibebankan kepada pedagang non-muslim
yang memasuki wilayah perbatasan negara Islam. Namun beberapa lama kemudian,
‘usyur mulai dibebankan secara umum atas pedagang yang berdagang di negara
Islam. (A. Djazuli, 2014: 228).
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah, al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita
dapatkan bahwa pajak sebenarnya hanya diwajibkan bagi orang-orang non muslim
kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak
tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in
hingga sekarang berbeda pendapat di dalam menyikapinya.
1. Pendapat Pertama
Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum
muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-
dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah SWT Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil….”. (Q.S. An-Nisa’: 29). Dalam ayat ini
Allah SWT melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan
jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil
untuk memakan harta sesamanya.
2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali, pent).
Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan
dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714)
3) Hadis yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, bahwa
dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada
kewajiban dalam harta kecuali zakat. ” (HR Ibnu Majah I/570 no.1789).
4) Hadis Buraidah radhiyallahu ‘anhu dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah
yang berzina, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
tentangnya: “Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya
perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak
bertaubat sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.”
(HR. Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu Daud II/557 no.4442.)
5) Hadis Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, berkata: Saya mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan masuk surga
orang yang mengambil pajak (secara zhalim, pent).” (HR. Abu Daud II/147
no.2937. 6) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya, apakah Umar
bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin.
Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya.” (Lihat Syarh
Ma’anil Atsar II/31)

2. Pendapat Kedua
Menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin, jika memang
negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun
harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara para ulama yang membolehkan
pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah imam al-
Juwaini di dalam kitab Ghiyats al-Umam hal. 267, Imam al- Ghazali di dalam al-
Mustashfa I/426, Imam asy-Syathibi di dalam al-I’tishom II/358, Ibnu Abidin
dalam Hasyiyah Ibnu Abidin II/336-337, dan selainnya. Di antara dalil-dalil syar’i
yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah SWT Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177, dimana pada ayat
ini Allah SWT mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar
dengan mensejajarkan antara: (a) Pemberian harta yang dicintai kepada
kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta
dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (b) Iman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan salat, menunaikan
zakat, dan menepati janji, dan lain- lainnya. Point-point dalam group (a) di
atas, bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang hukumnya
fardhu, karena disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu, dan bukan termasuk
zakat, karena zakat disebutkan tersendiri juga.
2) Hadis-hadis sahih mengenai hak tamu atas tuan rumah. Perintah menghormati
tamu menunjukkan wajib karena perintah itu dikaitkan dengan iman kepada
Allah SWT dan hari Kiamat, dan setelah tiga hari dianggap sebagai sedekah.
3) Ayat Al-Quran yang mengancam orang yang menolak memberi pertolongan
kepada mereka yang memerlukan, seperti halnya dalam surat Al-Ma’un,
dimana Allah SWT mangaggap celaka bagi orang yang enggan menolong
dengan barang yang berguna bersamaan dengan orang yang berbuat riya’.
4) Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang memperbolehkan. Misalnya
kaidah “Mashalih Mursalah” (atas dasar kepentingan), atau kaidah ‘mencegah
mafsadat itu lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat’, atau kaidah
‘lebih memilih mudharat yang menimpa individu atau kelompok tertentu
daripada mudharat yang menimpa manusia secara umum’. Kas Negara yang
kosong akan sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya
ancaman dari luar maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan
harta yang sedikit karena pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan
karena negara jatuh ke tangan musuh.
5) Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah mewajibkan ummatnya untuk
berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam
Al-Quran (Q.S. 9: 41, 49: 51, 61: 11, dll). Maka tidak diragukan lagi bahwa
jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak
pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap
orang yang sanggup memikul beban jihad dengan harta ini.
6) Syaikh Izzuddin memberikan fatwa kepada raja al-Muzhaffar dalam hal
mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan untuk
memerangi Tatar, seraya berkata: “Apabila musuh memasuki Negeri Islam,
maka wajib bagi kaum muslimin menahan serangan mereka, dan
diperbolehkan bagi kalian (para penguasa) mengambil dari rakyat apa yang
dapat menolong kalian dalam berjihad melawan mereka, namun dengan syarat
tidak ada kas sedikitpun di dalam baitul mal, dan hendaknya kalian (penguasa
dan para pejabatnya, pent) menjual (menginfakkan) barang-barang berharga
milik kalian. Setiap tentara dicukupkan dengan kendaraan dan senjata
perangnya saja, dan mereka itu diperlakukan sama dengan rakyat pada
umumnya. Adapun memungut harta (pajak) dari rakyat padahal masih ada
harta benda dan peralatan berharga di tangan para tentara, maka itu dilarang.”
(An-Nujum Az-Zahirah fi Muluki Mishr wa Al-Qahirah, karya Abul Mahasin
Yusuf bin Taghri VII/73).
Namun, ketika pajak dibebankan kepada kaum muslimin, apa istilah yang tepat
untuk menyebut pajak, apakah jizyah, kharraj, ‘usyr atau ada istilah lain? Di
dalam buku ajar PAI terbitan Kementrian Riset dan teknologi (2016: 315)
disebutkan bahwa dalam Sistem Ekonomi Islam, pajak disebut dengan dharibah
bukan Jizyah, karena Jizyah lebih tepat diterjemahkan dengan “upeti” (pajak
kepala), yang dikenakan terhadap Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) dan Majusi
(kaum penyembah api). Begitu pula kurang tepat jika disebut Kharaj (pajak tanah)
dan ‘Usyur (bea eksport impor). Oleh karena objeknya berbeda, maka jika
dipakai istilah Kharaj, Jizyah, atau ‘Ushr untuk pajak akan rancu. Untuk itu,
biarkanlah Pajak atas tanah disebut dengan Kharaj, sedangkan istilah yang tepat
untuk pajak yang objeknya harta/penghasilan adalah dharibah. Dhariibah berarti
beban. Mengapa disebut dharibah (beban)? Karena Pajak merupakan kewajiban
tambahan (tathawwu’) bagi kaum Muslim setelah zakat, sehingga dalam
penerapannya akan dirasakan sebagai sebuah beban atau pikulan yang berat.

Kapan saat mulai diterapkannya Pajak (dharibah) dalam pemerintah Islam, belum
ada keterangan yang jelas. Namun, ada keterangan dalam buku Sejarah
Perkembangan Ekonomi Islam oleh Adiwarman A. Karim yang menyebutkan
bahwa, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II) pernah menghapus Pajak-Pajak
yang tidak sesuai Syari’ah, yang dibuat oleh Khalifah sebelumnya. Sampai di
masa Imam Al-Mawardi (w. 450 H/ 1058 M) juga belum disinggungsinggung
masalah Pajak (Dharibah). Adanya wacana Pajak (Dharibah), baru muncul dalam
kitab Al- Muhalla oleh Ibnu Hazm (w.1063M), Kitab Ihya ‘Ulum al-Din oleh
Imam al-Ghazali (1058-1111M), kitab Majmu’atul Fatawa oleh IbnuTaimiyah (w.
728H/1328M), Kitab Al-Islam oleh Said Hawwa, Kitab Fiqhuz Zakah oleh Yusuf
Qardhawi (Gusfahmi, 2007, hal. 4).

3. Sebab-sebab Munculnya Pajak dalam Islam

Ada beberapa kondisi yang menyebabkan munculnya Pajak (Menristekdikti,


2016: 317) yaitu:Karena Ghanimah dan Fay’i berkurang (bahkan tidak ada). Pada
masa pemerintahan Rasulullah SAW dan Shahabat, Pajak (Dharibah) belum ada,
karena dari pendapatan Ghanimah dan Fay’i sudah cukup untuk membiayai berbagai
pengeluaran umum negara. Namun setelah setelah ekspansi Islam berkurang, maka
Ghanimah dan Fay’i juga berkurang, bahkan sekarang tidak ada lagi karena tidak ada
peperangan. Akibatnya, pendapatan Ghanimah dan Fay’i tidak ada lagi, padahal dari
kedua sumber inilah dibiayai berbagai kepentingan umum negara, seperti menggaji
pegawai/ pasukan, mengadakan fasilitas umum (rumah sakit, jalan raya, penerangan,
irigasi, dan lain-lain), biaya pendidikan (gaji guru dan gedung sekolah).

Terbatasnya tujuan penggunaan Zakat. Sungguhpun penerimaan Zakat


meningkat karena makin bertambahnya jumlah kaum Muslim, namun Zakat tidak
boleh digunakan untuk kepentingan umum seperti menggaji tentara, membuat jalan
raya, membangun masjid, apalagi untuk non Muslim sebagaimana perintah Allah
SWT pada Q.S. [9]: 60. Bahkan Rasulullah SAW yang juga adalah kepala negara
selain Nabi, mengharamkan diri dan keturunannya memakan uang Zakat. Zakat juga
ada batasan waktu (haul) yaitu setahun dan kadar minimum (nishab), sehingga tidak
dapat dipungut sewaktu-waktu sebelum jatuh tempo. Tujuan penggunaan Zakat telah
ditetapkan langsung oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh RasulNya Muhammad
SAW Kaum Muslim tidak boleh berijtihad didalam membuat tujuan Zakat,
sebagaimana tidak boleh berijtihad dalam tata cara Salat, Puasa, Haji, dan ibadah
Mahdhah lainnya. Pintu Ijtihad untuk ibadah murni sudah tertutup.

Jalan pintas untuk pertumbuhan ekonomi. Banyak negaranegara Muslim


memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, seperti: minyak bumi,
batubara, gas, dan lainlain. Namun mereka kekurangan modal untuk
mengeksploitasinya, baik modal kerja (alat-alat) maupun tenaga ahli (skill). Jika SDA
tidak diolah, maka negara-negara Muslim tetap saja menjadi negara miskin. Atas
kondisi ini, para ekonom Muslim mengambil langkah baru, berupa pinjaman (utang)
luar negeri untuk membiayai proyek- proyek tersebut, dengan konsekuensi membayar
utang tersebut dengan Pajak.

Imam (Khalifah) berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya. Jika terjadi


kondisi kas negara (Baitul Mal) kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah
dan Fay’i atau Zakat), maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga
kebutuhan pokok rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Jika
kebutuhan rakyat itu tidak diadakan, dan dikhawatirkan akan muncul bahaya atau
kemudharatan yang lebih besar, maka Khalifah diperbolehkan berutang atau
memungut Pajak (Dharibah).

2.3 Persamaan dan Perbedaan antara Zakat dan Pajak

Persamaan Zakat dengan Pajak adalah sebagai berikut:

 Zakat dan Pajak bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu
negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi.
 Zakat dan Pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai
efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya.

Dalam pemerintahan Islam, Zakat dan Pajak dikelola oleh negara. Tidak ada
ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu di dunia. Dari sisi tujuan ada
kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi dan
mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat (Menristekdikti, 2016:
314).

Namun dengan semua kesamaan di atas, bukan berarti pajak bisa


begitu saja disamakan dengan Zakat. Sebab antara keduanya, ternyata ada
perbedaan- perbedan mendasar dan esensial. Sehingga menyamakan begitu
saja antara fatal. Pajak bisa digunakan untuk membangun jalan raya, dan
dalam banyak hal bisa lebih leluasa dalam penggunaannya. Sedangkan zakat,
dalam penggunaannya akan terikat ke dalam Ashnaf sebagai pada tercantum
dalam Al Quran. Zakat dengan dalih apapun tidak dapat disamakan dengan
pajak. Zakat tidak identik dengan pajak.

Banyak hal yang membedakan antara keduanya, di antaranya:

 Zakat merupakan manifestasi ketaatan umat terhadap perintah Allah SWT


dan Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang
warganegara kepada Ulil Amrinya (pemimpinnya)
 Zakat telah ditentukan kadarnya di dalam al-Qur’an dan Hadis, sedangkan
pajak dibentuk oleh hukum negara.
 Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin sedangkan pajak
dikeluarkan oleh setiap warganegara tanpa memandang apa agama dan
keyakinannya.
 Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin sedangkan pajak
dikeluarkan oleh setiap warganegara tanpa memandang apa agama dan
keyakinannya.
 Zakat adalah suatu ibadah yang wajib di dahului oleh niat sedangkan pajak
tidak memakai niat. Dan sesungguhnya masih banyak lagi hal-hal yang
membedakan antara zakat dan pajak (Menristekdikti, 2016: 314).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang harus dipenuhi oleh setiap
manusia yang berkewajiban. Zakat bermakna bagian tertentu dari harta yang
dimiliki yang telah Allah SWT wajibkan untuk diberikan kepada orang-orang
yang telah disebutkan dalam makalah ini. Harta yang akan dizakatkan juga
memiliki beberapa kriteria seperti harta dimiliki secara sempurna,harta itu
tumbuh,memenuhi nisab dan haul,melebihi kebutuhan dasar,dan dimiliki oleh
orang yang bebas dari hutang.

Sedangkan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Zakat dan Pajak memiliki beberapa perbedaan dan persamaan yang telah
disebutkan dalam makalah ini.

3.2 Saran
Sebagai umat muslim kita haruslah memenuhi rukun islam salah satunya
yaitu zakat dan sebagai manusia kita juga haruslah memenuhi kewajiban kita
membayar pajak kepada negara yang nantinya berfungsi untuk kesejahteraan
umum.
Daftar Pustaka

Ma’mum,Sukron.2018.Pendidikan Agama Islam: Projek Penyelarasan Materi Ajar


Kepribadian Mahasiswa.Tangerang Selatan:Unit Penerbitan PKN STAN

Handayani,A.Filzah.2008.Zakat dan Pajak dalam Perspektif Hukum Islam.(Online)


(https://www.academia.edu/6856516/
ZAKAT_DAN_PAJAK_DALAM_PERSPEKTIF_HUKUM_ISLAM)

Anda mungkin juga menyukai