Anda di halaman 1dari 51

 Program Studi Teknik Sipil

 Fakultas Teknik UNWIKU


 Purwokerto - 2016

PresipitasiAtiyah 1
Kronologis Curah Hujan

Hujan Daerah
(Average Basin)

Analisa Hujan Daerah


Berupa tabel-tabel :
Curah hujan
Hujan harian dan lamanya
Data Siap Dipakai Sebagai Hujan Hujan bulanan
Terpusat Hujan tahunan
Hujan harian max dlm 1 th

Analisa curah hujan terpusat

Berupa :
Data Mentah
Grafik AWLR atau
Tabel pengukuran hujan
Pengumpulan data harian

Dengan perlengkapan alat


Pos Hujan
pengukur hujan
otomatis/manual PresipitasiAtiyah 2
 Presipitasi : turunnya air dari atmosfer ke permukaan bumi,
yang bisa berupa hujan, hujan salju, kabut, embun dan hujan
es.
 Di daerah tropis, termasuk Indonesia, yang memberikan
sumbangan paling besar adalah hujan, sehingga seringkali
hujanlah yang dianggap sebagai presipitasi.

Tipe Hujan
• Hujan terjadi karena udara basah yang naik ke
atmosfer mengalami pendinginan sehingga
terjadi proses kondensasi.

• Naiknya udara ke atas dapat terjadi secara


siklonik, orografik dan konvektif.
 Hujan Siklonik/Frontal
berasal dari naiknya udara
yang dipusatkan di daerah
dengan tekanan rendah

Pembentukan hujan siklonik

 Hujan jenis ini biasanya terjadi karena udara lembab panas


terangkat ke atas oleh lapisan udara yang lebih dingin dan lebih
rapat.
 Penyebaran hujan jenis ini sangat dipengaruhi oleh landai
pertemuan antara udara panas dan dingin dan biasanya merupakan
hujan dengan daerah penyebaran terbatas dan dalam waktu pendek.

PresipitasiAtiyah 4
 Hujan Konvektif

berasal dari naiknya udara ke tempat


yang lebih dingin

 Hujan jenis ini biasanya terjadi sebagai hujan


dengan intensitas yang tinggi, akibat massa
udara yang terangkat ke atas oleh pemanasan
lahan.

 Hujan jenis ini biasanya terjadi di daerah yang


relatif luas dan bergerak sesuai dengan Pembentukan hujan konvektif
pergerakan angin.

PresipitasiAtiyah 5
 Hujan Orografik
berasal dari naiknya udara
karena adanya rintangan
pegunungan

Pembentukan hujan orografik

 Hujan jenis ini terjadi karena massa udara lembab terangkat ke


atas oleh angin karena adanya gunung/pegunungan.

 Udara lembab yang melintasi daerah pegunungan akan naik dan


mengalami pendinginan, sehingga terbentuk awan dan hujan.

PresipitasiAtiyah 6
PresipitasiAtiyah 8

T (Menit) CH(mm) T (Menit) CH(mm)


 Curah hujan
 Waktu hujan 5 1.7 25 5.3
 Intensitas hujan 10 5.1 30 4.1
 Frekuensi hujan 15 6.5 35 3.0
20 5.6 40 0.8

Tabel 1: Juml penakar hujan Tabel 2: Network stasiun hujan di Indonesia


pada suatu daerah yang diwakili
Luas (km2) Juml sta Daerah Juml sta. Km2/sta
26 2 Indonesia +/- 4339 +/- 440
260 6
Jawa +/- 3000 +/- 44
1300 12
2600 15
Sumatra +/- 600 +/- 790
5200 20 Kalimantan +/- 120 +/- 4500
7800 40 Sulawesi +/- 250 +/- 760
Sumber: Murni D., Sri (1976:6)
Sumber: Wilson (1974:17)
 Alat ukur hujan dapat dibedakan menjadi
2 macam, yaitu penakar hujan biasa
(manual raingauge) dan penakar hujan
otomatis (automatic raingauge).
 Data curah hujan dapat berupa data
curah hujan harian atau curah hujan pada
periode waktu yang lebih pendek, misal
setiap menit.
 Data hujan tipe pertama dapat diukur
dengan penakar hujan biasa terdiri dari
bejana dan corong seluas 200 cm2 yang
dipasang setinggi 120 cm dari permukaan
tanah.
 Data hujan untuk periode pendek didapat
dari alat penakar hujan otomatis ARR
(automatic rainfall recorder) yang dapat
merekam setiap kejadian hujan selama
jangka waktu tertentu.
 Berdasarkan mekanisme perekaman data
hujan ada tiga jenis ARR, yaitu tipe
weighing bucket, tipping bucket dan
float.
 Pencatatan manual,
terdiri dari corong 8”, tabung
pengukur, dan penyangga, mis:
standard 8” precipitation
gauge (US National Weather
Service), didapat data hujan
harian

 Penakaran otomatis, didapat


data hujan mingguan pada
kertas grafik, misalnya:
1. weighing bucket rain gauge
2. tipping bucket rain gauge
3. syphon automatic rainfall
recorder

PresipitasiAtiyah 10
Pengukur CH Otomatis

PresipitasiAtiyah 11
12
PresipitasiAtiyah
Pengukur CH Otomatis
PresipitasiAtiyah 13
 Alat penakar hujan biasa
terdiri dari corong dan botol
penampung yang berada di
dalam suatu tabung silinder.
Hujan yang jatuh pada corong
akan tertampung di dalam
tabung silinder, kemudian
kedalaman hujan di dapat
dari pengukuran volume air
yang tertampung dan luas
corongnya. Curah hujan
kurang dari 0,1 mm dicatat
sebagai 0,0 mm, sedangkan
jika tidak ada hujan dicatat
dengan garis (-).

Alat Penakar Hujan Biasa


 Tipe timbangan (weighing bucket) dapat merekam
jumlah kumulatif hujan secara kontinyu. Alat ini
tidak dilengkapi dengan sistem pengurasan
otomatik.
Bucket

Silinder dibungkus
kertas berskala Pan

Pena Pemberat
ALAT PENAKAR HUJAN JENIS TIMBA JUNGKIT

Saringan
• Alat penakar hujan otomatis Tipping bucket
dengan tipping bucket
digunakan untuk pengukuran
khusus.
Pipa pembuang
• Air hujan yang tertampung
ke dalam corong akan
diteruskan ke saringan
kemudian masuk ke dalam
tipping bucket.
• Kapasitas bucket ini didesain
khusus setara dengan 0.5
mm, sehingga apabila
tampungan air hujan
tercapai akan terjungkir
(tipping) yang akan
diteruskan dengan proses
perekaman.
 Prinsip
mekanisme kerja alat penakar
hujan otomatis tipe ketiga yaitu float
adalah dengan memanfaatkan
gerakan naik pelampung dalam Corong
bejana akibat tertampungnya curah
hujan. Jam pencatat

 Pelampung ini berhubungan dengan


sistem pena perekam di atas kertas
Kertas
berskala yang menghasilkan grafik perekam
rekaman data hujan. data
hujan
 Alat ini dilengkapi dengan sistem
pengurasan otomatis, yaitu pada saat
air hujan yang tertampung telah
mencapai kapasitas receivernya akan Pelampung
dikeluarkan dari bejana dan pena Sifon
akan kembali pada posisi dasar kertas
rekaman data hujan.
PresipitasiAtiyah 19
SYARAT-SYARAT PENEMPATAN

 Penakar hujan ditempatkan pada lokasi sedemikian sehingga


kecepatan angin di tempat tersebut sekecil mungkin dan
terhindar dari pengaruh penangkapan air hujan oleh benda lain
di sekitar alat penakar hujan.
 Penempatan setasiun hujan hendaknya berjarak minimum
empat kali tinggi rintangan terdekat.
 Lokasi di suatu lereng yang miring ke satu arah tertentu
hendaknya dihindarkan.
 Penempatan corong penangkap hujan diusahakan dapat
menghindari pengaruh percikan curah hujan ke dalam dan
disekitar alat penakar sebaiknya ditanami rumput atau berupa
kerikil, bukan lantai beton atau sejenisnya.

PresipitasiAtiyah 20
SYARAT-SYARAT PENEMPATAN

۩ Ditempatkan pada tempat bebas halangan baik akibat pengaruh tumbuhan,


angin, manusia, hewan dan lain-lain

(ditempatkan pada jarak 2 – 4x tinggi obyek terdekat)

۩ Mulut penakar pada elevasi ± 120 cm dan tidak boleh miring

۩ Jangan ditempatkan di tepi/atas bukit untuk menghindari angin


kencang/puyuh, namun jika terpaksa harus dilindungi

۩ Harus dipagari supaya tidak terganggu binatang/manusia, dengan jarak ± 2 –


4x tinggi pagar.

۩ Diusahakan dekat dengan pengamat

۩ Syarat teknis alat harus dipenuhi

PresipitasiAtiyah 21
 Bentuk tabel Tahun R (mm) Tahun R (mm)

1970 133 1975 161


1971 117 1976 220
1972 75 1977 129
1973 150 1978 160
1974 154 1979 120

 Bentuk diagram R (mm)


15

10

10 11 12 13 14 15 16 t (jam)

PresipitasiAtiyah 22
 Bentuk grafik

R (mm)

150
100
50
0 t (bulan)
J P M A M J J A S O N D
PresipitasiAtiyah 23
PresipitasiAtiyah 24
KEUNTUNGAN
۩ Hujan direkam secara automatis, sehingga tidak perlu ditunggui
terus menerus dan dapat diletakkan pada lokasi yang jauh dari
pengamat
۩ Hasil rekaman memberikan gambaran terhadap nilai intensitas
setiap saat
۩ Dapat memperkecil kesalahan pembacaan

KERUGIAN
۩ Biaya lebih mahal
۩ Kesalahan elektris dan mekanik bisa terjadi
PresipitasiAtiyah 25
 Variasi tahunan
 Variasi bulanan
 Variasi harian

R (mm)
10000
Mass Curve
7500

5000 Massa hujan rata2

2500

90 91 92 93 94 95 96 97 98
 Disebut tahun apabila kemiringan mass curve > kemiringan massa hujan rata2,
begitu pula sebaliknya

PresipitasiAtiyah 26
 Bulan basah (100 mm <…)
 Bulan kering (…< 60 mm)
 Bulan normal (60 – 100 mm)

 Konsentrasihujan yg berbeda tiap2 jamnya


 Berlangsung setiap hari dalam satu bulan

PresipitasiAtiyah 27
 Intensitas: kemiringan dari grafik pencatatan hujan (harga
tangen)
 I = R/t
dimana:
I = intensitas hujan dlm mm/jam
R = hujan selama interval (mm)
t = interval waktu (jam)

PresipitasiAtiyah 28
 Dalam analisis hidrologi sering diperlukan
untuk menentukan hujan rerata pada daerah
tersebut.
 Terdapat 3 metode :
 Aritmatik
 Poligon Thiessen
 Isohiet
 Metode ini adalah metode yang paling sederhana. Pengukuran
dengan metode ini dilakukan dengan merata-ratakan hujan di
seluruh DAS. Stasiun hujan yang digunakan untuk menghitung
dengan metode ini adalah yang berada di dalam DAS, akan
tetapi stasiun yang berada di luar DAS dan jaraknya cukup
berdekatan masih bisa diperhitungkan. Metode aljabar ini
memberikan hasil yang tidak teliti, metode ini memberikan
hasil yang cukup baik jika penyebaran hujan merata, serta
hujan tidak terlalu bervariasi.
 Hujan DAS dengan cara ini dapat diperoleh dengan
persamaan:

p i p1  p2  p3  .....  pn
p i 1 p
n n
 dengan:
p = hujan rerata di suatu DAS
pi = hujan di tiap-tiap stasiun
n = jumlah stasiun
Hitung hujan rerata dengan
metode aljabar!
D = 25 mm

p1  p2  p3  .....  pn
p
n
p A  pB  pC
B = 28 mm C = 30 mm p
3
22  28  30
p
A = 22 mm 3
p  26,67mm

Jika stasiun D di luar DAS ikut 22  28  30  25


diperhitungkan maka: p  26,25mm
4
 Metode ini digunakan untuk menghitung
bobot masing-masing stasiun yang
mewakili luasan di sekitarnya.

 Metode ini A1
digunakan bila A2
penyebaran
hujan di daerah
yang ditinjau
tidak merata.
A3

A4
Hitungan poligon Thiessen dilakukan dengan cara:
a. Stasiun hujan digambar pada peta daerah yang
ditinjau.
b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis
lurus, sehingga akan didapatkan bentuk segitiga.
c. Tiap-tiap sisi segitiga dibuat garis berat sehingga
saling bertemu dan membentuk suatu poligon yang
mengelilingi tiap stasiun. Tiap stasiun mewakili
luasan yang dibentuk oleh poligon, sedangkan untuk
stasiun yang berada di dekat batas daerah, garis
batas daerah membentuk batas tertutup dari
poligon.
d. Luas tiap poligon diukur, kemudian dikalikan dengan
kedalaman hujan di tiap poligon. Hasil jumlah
hitungan tersebut dibagi dengan total luas daerah
yang ditinjau.
A1.P1  A2 .P2  ...... An .Pn
P
Atotal

A1.P1  A2 .P2  A3 .P3  ...... An .Pn


P
A1  A2  A3  .....  An
Dimana:
P = curah hujan rata-rata,
 P1,..., Pn = curah hujan pada setiap setasiun,
 A1,..., An = luas yang dibatasi tiap poligon.
Contoh Ilustrasi
D = 25 mm

AB = 53 km2

AC = 45 km2 Garis ini membagi sisi


segitiga menjadi 2
B = 28 mm C = 30 mm bagian sama panjang
(di tengah-tengah)
dan tegak lurus
terhadapnya.

A = 22 mm

AA = 50 km2

Gambar tidak berskala, luas


bagian dan tinggi hujan hanya
merupakan perumpamaan
A1.P1  A2 .P2  ...... An .Pn
P
Atotal
AA .PA  AB .PB  AC .PC
P
AA  AB  AC
50.22  53.28  45.30
P
50  53  45
3934
P  26,58 mm
148
Poligon Thiessen dengan
AD = 20 km2 D = 25 mm melibatkan stasiun hujan D
yang berada di luar DAS

AB = 37 km2

C = 30 mm
B = 28 mm
AC = 41 km2

A = 22 mm

AA = 50 km2
A1.P1  A2 .P2  ...... An .Pn
P
Atotal
AA .PA  AB .PB  AC .PC  AD .PD
P
AA  AB  AC  AD
50.22  37.28  41.30  20.25
P
50  37  41  20
3866
P  26,12 mm
148
350000 360000 370000 380000 390000 400000

PETA STASIUN HUJAN DAN


POLIGON THIESEN WILAYAH
SUNGAI BOGOWONTO-LUKULO
9180000

9180000
BANJARNEGARA
WONOSOBO
U

Z
$
K42 a
9170000

9170000
K8 a K76 b
Z
$ Z
$ Skala 1 : 350.000
MAGELANG Legenda :
K7 a
Z
$ Z
$ Sungai
K43 Batas Luar WS Bogowonto - Lukulo
Waduk Z
$ Garis Pantai
9160000

9160000
Wadaslintang
K41 Batas Kabupaten
Z
$ Z
$ K49 b Batas Kecamatan
Z
$ K50 Waduk
DAS
Z
$ Z
$
Lukulo Polig on T hiesen
K33 K46 K 47a K58
Z
$ K. 2 8a
Z
$
KEBUMEN K14 $
Z Z
$ DAS Loka si dan No Stasiun Hujan
K31 WawarK45
Z
$ Z
$
Z
$ Z
$
Z
$ K54 a$ Z K53
$ Kelas Jalan
Z
$ Z
9150000

K17

9150000
Z
$ Z K49 a
$ Jalan Kolektor
Z
$ PURWOREJO
K20 K55 Jalan Arteri
K11 K36 K49 Z
$
Z
$ Z
$ Jalan Lokal
K60
K19 b
$$
ZZ
Z
$ Jalan Kereta Api
Z
$ K B SDA K60 a
Z
$ 250000 300000 350000 400000 450000 500000
Z
$
DAS K56 a DAS Inzet
K22 Z
$
9140000

9140000
Cokroyasan

9 250000

9250000
Bogowonto
Z
$
K37
Z
$ K36 a K62 a KULON PROGO

9 200000

9200000
Z
$ K61
Z
$ Z
$ Jawa Tengah

K61 a

9 150000

9150000
Z
$ D I.
Samudera Yogyakarta
Indo
nesi

9 100000

9100000
a
9130000

9130000
250000 300000 350000 400000 450000 500000
K63
Z
$
0 8 16 24 Km Sumber :
1. Peta Rupa Bumi Indonesia, Skala 1 : 25.000,

mU
Tahun 1999.
2. Data Hujan Balai PSDA Probolo.
350000 360000 370000 380000 390000 400000 mT 3. Hasil Analisis.
 Pada prinsipnya isohiet
adalah garis yang
menghubungkan titik-titik
A dengan tinggi/kedalaman
I1=1 1 hujan yang sama, Kesulitan
00
A dari penggunaan metode ini
I2=
2 adalah jika jumlah stasiun
95
A di dalam dan sekitar DAS
I3= 3 terlalu sedikit.
90 A
4
 Hal tersebut akan
I4= mengakibatkan kesulitan
85
dalam menginterpolasi.
I5=
80
 Pada peta yang ditinjau, digambarkan lokasi
daerah hujan dan kedalaman hujan.
 Di stasiun hujan yang saling berdampingan
dinilai kedalaman hujannya dan dibuat
interpolasinya. Kemudian hasil interpolasi
yang mewakili kedalaman hujan yang sama
dihubungkan satu sama lain.
 Luas daerah diantara 2 garis isohiet diukur
luasnya, dan dikalikan dengan nilai rerata di
kedua garis isohiet. Kemudian jumlah dari
hasil hitungan tersebut dibagi dengan total
luasan daerah yang ditinjau.
n
I i  I i 1
 Ai
2
p i 1
n

A
i
i

I1  I 2 I 2  I3 I n  I n 1
A1  A2  .....  An
p 2 2 2
A1  A2  .....  An

Dengan:
p = hujan rerata kawasan
Ai = luasan dari titik i
Ii = garis isohiet ke i
Catatan: tinggi hujan dalam mm

A = 18 B = 22
30 D = 33

A1 = 50 km2 35
I1

C = 36 E = 41 A6 = 25 km2
A3 = 180
40 km2 45

I2 A2 = 20 km2
A4 = 45 km2 50
I3 F = 42
G = 65 60 I = 63
A5 = 15 km2

I5 H = 49
I4

I6
I1  I 2 I 2  I3 I n  I n 1
A1  A2  .....  An
p 2 2 2
A1  A2  .....  An
I1  I 2 I I I I I I I I I I
A1  A2 3 3  A3 2 4  A4 4 5  A5 5 5  A6 4 6
p 2 2 2 2 2 2
A1  A2  A3  A4  A5  A6
30  35 40  40 35  45 45  60 60  60 50  50
50  20  180  45  15  25
p 2 2 2 2 2 2
50  20  180  45  15  25

14.137,5
p  42,20 mm
335
Model dengan intensitas merata (uniform i
intensity)
t

Model dengan intensitas terpusat di i


depan (advenced pattern)

i
Model pertengahan (Intermediate
pattern)

Model dengan intensitas terpusat di i


belakang (Delayed pattern)

t
PresipitasiAtiyah 47
 Utk hujan dgn waktu < 2 jam

I = intensitas hujan (mm/jam)


a
I  t = waktu hujan (jam)
t b
a,b = konstanta tgt kead setempat

 Utk hujan dengan waktu > 2 jam


c c,n = konstanta yg tgt kead setempat
I 
tn

 Utk data hujan harian


I = intensitas hujan (mm/jam)
R24  24  R24 = tinggi hujan max dlm 24 jam (mm)
I   .m
24  t  t = waktu hujan (jam)
m = konstanta (2/3)

PresipitasiAtiyah 48
 Menggunakan perumusan Haspers
 362 log t  6   206
100 R
R24
t = banyaknya hari hujan
R = tinggi hujan (mm)
R24 = tinggi hujan dlm 24 jam
100.R/R24 = dlm prosentase

 100 R  11300 log .t



 R 
 2 
  t  3,12
R, R24 dlm mm 24

t dlm jam
100.R/R24 = dlm prosentase

a.R24
R
R24  b

R, R24 dalam mm
a,b = konstanta utk hujan dg waktu ttt
PresipitasiAtiyah 49
 Adalah: kemungkinan terjadinya / dilampauinya suatu tinggi
hujan tertentu dalam massa tertentu pula yang juga disebut
sebagai massa ulang (return period)
 Frekuensi hujan dapat berupa harga2 tinggi hujan max dan
tinggi hujan min
 Tinggi hujan ekstrim max dan min didapatkan melalui
pendekatan statistik

 Diperlukan utk perenc bangunan air, proyek2 pengemb SDA,


gorong2, saluran irigasi, sal drainase, dll
 Tinggi hujan renc diambil yg mendekati tinggi hujan ekstrim
max, shg resiko kecil

PresipitasiAtiyah 50

Anda mungkin juga menyukai