Anda di halaman 1dari 75

REKAYASA HIDROLOGI

PRESIPITASI

Oleh: Priseila Pentewati, ST. M.Si


PRESIPITASI
 Presipitasi adalah uap air yang mengkondensasi dan
jatuh ke permukaan tanah dalam suatu rangkaian
proses siklus hidrologi yang dinyatakan dalam satuan
mm.
 Presipitasi berasal dari hujan dan salju/es.
 Presipitasi merupakan parameter yang mudah diamati
dalam siklus hidrologi suatu DAS.
 Seorang ahli hidrologi hanya dapat menentukan
karakteristik curah hujan suatu DAS berdasarkan
hasil pengumpulan data selama periode tertentu dan
analisis data tersebut.

2
PRESIPITASI
 Bentuk-bentuk Presipitasi
◦ Hujan, merupakan bentuk yang paling penting
◦ Embun, hasil kondensasi di permukaan
tanah/tumbuh-tumbuhan dan kondensasi di dalam
tanah
◦ Kondensasi di atas lapisan es, yang terjadi jika ada
massa udara panas bergerak di atas lapisan es
◦ Kabut, partikel-partikel air yang diendapkan di
atas permukaan tanah dan tumbuh-tumbuhan
◦ salju dan es
PRESIPITASI
 Secara hidrologis, bentuk-bentuk presipitasi yang ada
di bumi dapat dibedakan menjadi:
1. Hujan, merupakan bagian utama dari presipitasi.
2. Embun, merupakan hasil kondensasi di atas
permukaan tanah dan tumbuh-tumbuhan.
Sejumlah air yang mengembun di malam hari
akan diuapkan pada pagi harinya. Bagi tumbuh-
tumbuhan tentunya embun menjadi faktor yang
sangat penting, namun tidak dalam siklus
hidrologi karena jumlahnya yang sangat kecil dan
penguapan yang terjadi cenderung pada dini hari.

4
PRESIPITASI
3. Kondensasi dalam tanah, umumnya terjadi hanya
pada beberapa centimeter di bawah permukaan
tanah.
4. Kabut, merupakan faktor yang sangat penting
bagi pertumbuhan hutan. Pada saat terjadi kabut,
partikel-partikel air diendapkan di atas
permukaan tanah dan tumbuh-tumbuhan.
5. Salju dan es.
 Presipitasi berasal dari hujan dan salju/es.
 Indonesia, sebagai salah satu negara tropis yang
memiliki dua musim, bentuk presipitasi yang
umumnya terjadi adalah hujan.
5
PRESIPITASI
 Akibat adanya perbedaan curah hujan yang besar dari
tahun ke tahun, dari musim ke musim yang berikut,
dan juga dari wilayah ke wilayah yang lainnya, sirkulasi
air yang terjadi adalah tidak merata.
 Distribusi hujan yang tidak merata ditunjukkan oleh
besarnya pencatatan hujan yang berbeda-beda pada
beberapa lokasi stasiun hujan yang terletak menyebar
dimana nilai curah hujan yang terukur pada suatu
stasiun hujan hanya mewakili daerah di sekitar stasiun
hujan saja.
 Di beberapa wilayah di Indonesia, curah hujan
tahunan rata-rata adalah berkisar antara 2.000 –
3.000 mm.
6
PRESIPITASI
 Distribusi curah hujan u/ kawasan Bandung

7
PRESIPITASI
 Hydrological data are crucial in relation to study the
regime of hydrological factors in areas with different
hypsographic conditions.
 The quality of the observed hydrological data closely
depends upon the location of the hydrometric
stations.
 Rainfall stations are chiefly established to meet the
requirements of hydrological computations and
forecasting.
 Network will play greater role than if the stations are
individually situated. However, network density
required to observe the storms is still a key problem.
8
Beberapa Istilah yang Berhubungan dengan
Hujan
 intensitas hujan – i : laju curah hujan = tinggi air per
satuan waktu (mm/menit; mm/jam; mm/hari)
 durasi hujan – t : lamanya curah hujan yang terjadi
(menit atau jam)
 frekwensi hujan – f : frekwensi kejadian terjadinya
hujan, biasanya dinyatakan dengan waktu ulang
(return period): T (sekali dalam T tahun)
 Luas – A : l uas geografis curah hujan (km2)
 Tinggi hujan – d : jumlah hujan  ketebalan air di
atas permukaan datar (mm)
INTENSITAS CURAH HUJAN
 Intensitas curah hujan dapat didefinisikan sebagai jumlah curah
hujan yang jatuh ke permukaan tanah dalam suatu satuan
waktu (mm/jam).

Pukul Selang waktu Jumlah waktu Hujan selama Jumlah I


(menit) (menit) selang waktu (mm) hujan (mm) (mm/jam)
6.12
16 0,75 2,81
6.28 16 0,75
18 2,5 8,33
6.46 34 3,25
17 1,0 3,53
7.03 51 4,25
10 2,0 12,00
7.13 61 6,25
9 1,0 6,67
7.22 70 7,25
10
INTENSITAS CURAH HUJAN
Derajat hujan Intensitas curah hujan Kondisi
(mm/jam)
Hujan sangat lemah < 1,2 Tanah agak basah

Hujan lemah 1,2 – 3,0 Tanah menjadi basah semua,


sulit membuat puddel

Hujan normal 3 – 15 Dapat dibuat puddel dan bunyi


curah hujan kedengaran

Hujan deras 15 – 60 Air tergenang diseluruh


permukaan tanah dan bunyi
keras hujan kedengaran dari
genangan
Hujan sangat deras > 60 Hujan seperti ditumpahkan,
saluran dan drainase meluap 11
INTENSITAS CURAH HUJAN
 Butir hujan diameter > 0,5 mm: hujan
 Butir hujan diameter 0,1 – 0,5 mm: gerimis

Jenis Diameter Massa Kecepatan


Bola (mg) jatuh
(mm) (m/det)
Hujan gerimis 0,15 0,0024 0,50
Hujan halus 0,50 0,0650 2,10
Hujan normal lemah 1,00 0,5200 4,00
Hujan normal deras 2,00 4,2000 6,50
Hujan sangat deras 3,00 14,000 8,10

12
HUJAN – TOPOGRAFI & ANGIN
 Curah hujan di dataran tinggi umumnya lebih tinggi dari pada
di dataran rendah.
 Hubungan antara ketinggian (elevasi) dan curah hujan
dinyatakan sebagai:

R  a  (b  h )
R : curah hujan
h : ketinggian
a, b : koefisien
 Sebagian besar hujan cenderung jatuh di sisi lereng yang
menghadap arah angin dan sebagian kecil jatuh di sisi lereng
bagian belakang.

13
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 Pengamatan hujan dilakukan menggunakan alat pengukur curah
hujan biasa atau otomatis.
 Pengukuran ditujukan untuk mengetahui banyaknya dan
intensitas curah hujan yang turun pada permukaan tanah tanpa
memperhatikan adanya infiltrasi, pengaliran atau penguapan.
 Sebagian besar hujan cenderung jatuh di sisi lereng yang
menghadap arah angin dan sebagian kecil jatuh di sisi lereng
bagian belakang.
 Alat pengukur hujan otomatis:
◦ Weighing bucket type rain gauge
◦ Float type automatic rain gauge
◦ Tipping bucket type rain gauge
◦ Microwave RADAR

14
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 ALAT PENGUKUR HUJAN BIASA
◦ Alat terdiri atas corong dengan diameter  tertentu
(umumnya 8’’) dan sebuah gelas ukur.

Yang diukur adalah jumlah curah


hujan dalam 1 hari sebelum
pengukuran (hujan kumulatif
untuk periode 24 jam).

Ketelitian pengukuran yang


disyaratkan adalah 1/10 mm.

15
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 ALAT PENGUKUR HUJAN BIASA
Kekurangan:
◦ Pada saat hujan deras, ada kemungkinan air yang
tertampung pada tabung pengukur akan meluap dan
akhirnya memberikan hasil pengukuran salah.
◦ Intensitas tidak bisa diperoleh dengan merata-ratakan
jumlah hujan dalam 1 hari atau 24jam karena pada
umumnya hujan tidak turun terus menerus selama 24
jam.
◦ Sangat tergantung dengan kedisiplinan seorang pengamat.

16
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 ALAT PENGUKUR HUJAN BIASA
Syarat penempatan:
◦ Diletakan di tempat yang bebas halangan supaya tidak ada
pengaruh hujan tidak langsung.
◦ Umumnya <450 thd horizontal atau pada jarak antara 2-4
kali tinggi objek terdekat.
◦ Tidak boleh diletakan miring agar hujan yang jatuh dapat
secara baik tertampung. Kemiringan hingga 10% dapat
menyebabkan pengurangan 1,5% volume air hujan.
◦ Sebaiknya tidak diletakan di daerah perbukitan agar
terlindung dari pengaruh angin kencang atau arus angin
naik.

17
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 ALAT PENGUKUR HUJAN BIASA
Syarat penempatan:
◦ Bila alat diletakan pada ketinggian 1 meter atau lebih,
maka hasil pengukuran harus dikoreksi:
 vangin 9 m/s  hasil pengukuran dikalikan 1,5
 vangin 12 m/s  hasil pengukuran dikalikan 2,0
 vangin 15 m/s  hasil pengukuran dikalikan 3,0
◦ Sebaiknya dilindungi oleh pagar agar tidak terganggu oleh
hewan/manusia. Jarak alat terhadap pagar sekitar 2 - 4 kali
tinggi pagar.
◦ Diusahakan dekat dengan lokasi pengamat.
◦ Syarat-syarat teknis alat pengukur harus dipenuhi sesuai
standar yang ditentukan.
18
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 ALAT PENGUKUR HUJAN OTOMATIS
Alat pencatat hujan tipe ini dapat digunakan u/ menentukan
kecepatan atau tingkat kederasan hujan untuk suatu jangka
waktu yang pendek.
Weighing bucket type rain gauge
Alat yang paling sering digunakan.

Naik turunnya ember disebabkan oleh


pertambahan berat air yang tertampung
didalamnya.

Pergerakan ini diteruskan ke sebuah pena


pencatat di atas kertas grafik.

Silinder dan kertas grafik dikendalikan oleh


sebuah jam.
19
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 ALAT PENGUKUR HUJAN OTOMATIS
Float type automatic rain gauge (jenis sifon)
Hujan yang jatuh ke dalam corong dialirkan
masuk ke dalam tabung.

Pelampung akan naik sesuai kenaikan muka


air di dalam tabung.

Pena pada silinder dan kertas grafik


dikendalikan oleh jam.

Luapan dialirkan keluar sehingga tabung


terkosongkan.

20
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 ALAT PENGUKUR HUJAN OTOMATIS
Tipping bucket type rain gauge

Sesuai fungsinya alat ini dapat dikategorikan


sebagai penampung sekaligus pencatat.

Bagian atas: tabung dan corong.

Bagian bawah dilengkapi sebuah penampung


bergerak (tipping bucket) simetris dan
dapat bergerak pada sumbu horizontal.

Pengisian penampung kiri mengakibatkan


titik berat akan berubah sehingga air
mengalir menuju corong berikutnya.

21
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 ALAT PENGUKUR HUJAN OTOMATIS
Tipping bucket type rain gauge

Tipe ini jarang digunakan karena:

Kesulitan pengukuran laju presipitasi dalam


kertas pencatat pada interval yang pendek selama
hujan deras.

Alat ini harus dikalibrasi terhadap intensitas


dengan menggunakan alat penakar biasa.

Hujan yang tertampung cenderung mengandung


karat dan kotoran dari poros sumbunya.

Tidak ada hujan yang tercatat selama


bergeraknya penampung.

22
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 ALAT PENGUKUR HUJAN OTOMATIS
Pengukuran menggunakan Microwave RADAR
◦ Merupakan cara pengukuran modern yang dilakukan
untuk pengukuran curah hujan.
◦ RADAR digunakan untuk mendapatkan informasi kasar
dari distribusi curah hujan.
◦ Secara prinsip, alat ini bekerja dengan menggunakan layar
radar yang menginterpretasikan intensitas hujan.
◦ Jumlah refleksi energi tergantung pada ukuran butir hujan
dan jarak terhadap pemancar.

23
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 ALAT PENGUKUR HUJAN OTOMATIS
Keuntungan:
◦ Hujan tercatat secara otomatis.
◦ Dapat diletakan pada lokasi yang jauh dari pengamat.
◦ Memberikan intensitas curah hujan setiap saat.
◦ Mengurangi kesalahan pembacaan hasil pengukuran.
Kerugian:
◦ Biaya yang diperlukan relatif lebih mahal.
◦ Dapat terjadi suatu kesalahan elektrik dan mekanik.

24
PENGAMATAN CURAH HUJAN
 Kriteria pemilihan alat pengukur curah hujan
◦ Mutu/kualitas alat.
◦ Sebaiknya sebanding dengan alat-alat pengukur curah
hujan yang sudah ada/terpasang di daerah yang sama.
◦ Biaya yang diperlukan untuk pemasangan.
◦ Kesulitan pemeliharaan sehubungan dengan adanya
kemungkinan masuknya debu/kotoran.
◦ Kesulitan untuk dapat dilakukan observasi/tinjauan.
◦ Tingkat keamanannya terhadap bahaya
pencurian/pengrusakan.

25
Pengukuran Curah Hujan
 alat ukur hujan biasa  penakar hujan
(manual rain gauge):
 penakar hujan biasa
 penakar hujan rata tanah
 penakar hujan inggris
 interm reference precipitation gauge
 alat ukur hujan otomatis, dimana pencatat hujan
(recording gauge) biasanya dibuat sedemikian
sehingga dapat bekerja secara otomatis
Macam-macam Alat Ukur Penakar Hujan

Penakar hujan biasa Interm reference precipitation gauge

Penakar hujan rata tanah


Penakar hujan Inggris

Pencatat jungkit
Pencatat pelampung

Hasil catatan oleh pencatat pelampung


Dari hasil catatan (a) dapat dibuat grafik lengkung massa (b)
Hasil Catatan yang dibuat Grafik Lengkung Massa
Beberapa syarat pemasangan alat ukur hujan

 tinggi alat dibuat sedemikian rupa sehingga


pengaruh angin sekecil mungkin (Indonesia dan
WHO = 120 cm)
 penempatan alat ukur dihindarkan dari lindungan
pohon atau bangunan dan lain-lain
 terlindung dari gangguan luar (binatang, anak-anak
dan lain-lain)
 dekat dengan tenaga pengamat
 syarat teknis harus dipenuhi (terhadap bocoran,
pena macet, tinta dan lain-lain)
Memproses Data Curah Hujan
 Menentukan Curah Hujan Areal
◦ cara tinggi rata-rata,
◦ cara poligon Thiessen dan
◦ cara Isohyet
 Menambah Pencatatan Curah Hujan
◦ Menambah hasil pencatatan penakar hujan
◦ Menambah data yang hilang dalam tahun tertentu
 Trend
 Lengkung Massa Ganda (double mass
curve)
 Intensitas Hujan
CURAH HUJAN WILAYAH
 Secara hidrologi, jenis curah hujan yang diperlukan untuk
perencanaan pemanfaatan sumberdaya air dan pengendalian
banjir adalah curah hujan rata-rata wilayah yang dinyatakan
dalam mm.
 Karena distribusi hujan yang terjadi umumnya tidak merata,
besarnya curah hujan wilayah ini harus diperkirakan
berdasarkan tinggi hujan pada beberapa stasiun pengamatan
curah hujan.
 Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung
besarnya curah hujan wilayah antara lain: arimatika, poligon
Thiessen, isohiet, garis potongan antara, depth elevation, dan
mean areal elevation.

37
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Aritmatika (Rata-Rata Aljabar)
• Perhitungan curah hujan wilayah dalam metode ini dilakukan dengan
menghitung rata-rata aljabar dari tinggi hujan beberapa stasiun
pengamatan curah hujan yang digunakan pada DAS yang
bersangkutan.
• Hasil yang diperoleh dari metode ini cukup akurat khususnya apabila
topografi DAS relatif datar dan stasiun pengamatan curah hujan
tersebar merata pada DAS tersebut.

R  R1  R2  R3  ......Rn 
1
n
Rbar = curah hujan wilayah (mm)
n = jumlah stasiun pengamatan curah hujan yang digunakan
R1 = tinggi curah hujan pada stasiun 1 (sinomim untuk R2, R3, Rn)

38
Cara arithmatic mean – rata-rata aljabar

d1  d2  d3  ........  dn n
di
d 
n i1 dn

d = tinggi curah hujan rata-rata


d1, d2 .......... dn = tinggi curah hujan pada pos
penakar 1,2, ........ N
n = banyaknya pos penakar
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Aritmatika (Rata-Rata Aljabar)

40
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Poligon Thiessen
• Apabila titik-titik stasiun pengamatan curah hujan tidak tersebar
merata di dalam DAS, maka cara perhitungan curah hujan wilayah
dilakukan dengan menggunakan metode poligon Thiessen.
• Dalam metode ini, besarnya pengaruh curah hujan yang jatuh pada
suatu daerah diperhitungkan sebagai faktor bobot luas poligon
terhadap luas total.
• Diasumsikan besarnya jarak pengaruh curah hujan suatu stasiun
pengamatan adalah sebesar 50% jarak antara stasiun pengamatan
curah hujan tsb dan stasiun pengamatan curah hujan lain yang
berdekatan.
• Metode Thiessen memberikan hasil perhitungan yang lebih teliti
dibandingkan dengan metode aritmatika.

41
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Poligon Thiessen
• Kualitas hasil perhitungan tergantung kepada jaringan
stasiun hujan yang tersebar pada DAS. Pada daerah yang
relatif datar tentunya hasil yang diperoleh adalah cukup
akurat.

 A1 R1  A2 R2  A3 R3  ......... An Rn 
R   
 A1  A2  A3  ....... An 
R = curah hujan wilayah
n = jumlah stasiun pengamatan curah hujan yang digunakan
R1 = tinggi curah hujan pada stasiun 1 (sinomim untuk R2, R3, Rn)
A1 = luas daerah poligon sesuai stasiun hujan masing-masing (sinonim u/ A2, A3, An)
W1 = faktor bobot untuk luas poligon 1 (sinonim untuk W2, W3, Wn)

42
Ai
dimana  pi
A
Cara poligon Thiessen
A = luar areal
d = tinggi curah hujan rata-rata areal
d1, d2, d3 ........ dn = tinggi curah hujan pada sta 1,2,3,......n
A1, A2, A3 .......An = luas daerah pengaruh sta 1,2,3,.........n

A1d1  A 2 d2  A 3 d3  .......... ..  Andn n


Aidi n
d  atau d   p i di
A1  A 2  A 3  .......... .......  An i1 A i 1
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Poligon Thiessen

44
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Poligon Thiessen

C
E

D
F

45
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Poligon Thiessen

A A

B B

C C
E E

D D
F F

G G
sangat peka terhadap data stasiun
yang digunakan
46
ST. MARGAHAYU

CIKAPUNDUNG

ST. BENGKOK CISARUA

ST. GN. KASUR

UTARA

ST. UJUNG BERUNG

47
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Isohiet
• Metode ini merupakan metode perhitungan curah hujan
wilayah yang paling akurat meskipun bersifat subjektif dan
tergantung kepada keahlian dalam menganalisis curah
hujan dan karakteristiknya pada suatu wilayah.
• Apabila jumlah stasiun pengamatan yang digunakan relatif
banyak dan variasi tinggi curah hujan di wilayah
bersangkutan adalah cukup besar, maka dalam pembuatan
peta isohiet dapat terjadi human errors.
• Pada pembuatan peta isohiet sesungguhnya, faktor-faktor
seperti topografi, arah angin, dan sebagainya dari wilayah
bersangkutan harus ikut dipertimbangkan. Luas daerah
diantara 2 buah isohiet dapat diukur dengan
menggunakan planimeter.
48
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Isohiet
• Metode ini sangat baik digunakan apabila data curah hujan yang tersedia
cukup lengkap.

 A1 R1  A2 R2  A3 R3  ......... An Rn 
R   
 A1  A2  A3  ....... An 
Rbar = curah hujan wilayah
n = jumlah stasiun pengamatan curah hujan yang digunakan
R1 = tinggi curah hujan pada stasiun 1 (sinomim untuk R2, R3, Rn)
A1 = luas daerah diantara 2 bh isohiet (sinonim untuk A2, A3, An)

49
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Isohiet

50
Cara Isohyet

d0  d1 d1  d 2 dn1  dn
n
di1  di
A1  A 2  .......... ..  An  Ai
2
d 2 2 2  i 1
A 1  A 2  .......... ..........  A n A
A = A1+A2+..............+An = luas areal total
d = tinggi curah hujan rata-rata areal
d0,d1,d2.......................dn = curah hujan pada isohyet
A1, A2, .... An = luas areal
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Garis Potongan Antara (Intersection Line)
• Metode ini dibuat untuk menyederhanakan metode
isohiet. Namun karena metode ini merupakan bentuk
penyederhanaan dari metode isohiet, maka ketelitian hasil
yang diperoleh dari metode inipun menjadi tidak seakurat
metode isohiet.
 Metode Depth Elevation
• Pada kasus tertentu dimana tinggi curah hujan meningkat
seiring dengan bertambahnya elevasi, maka besarnya
curah hujan wilayah dapat dihitung dengan
menggambarkan diagram hubungan antara elevasi titik
pengamatan dan curah hujan.
• Metode ini cocok untuk menentukan curah hujan dengan
jangka waktu yang panjang, seperti curah hujan
bulanan/tahunan dan sebagainya. 52
CURAH HUJAN WILAYAH
 Metode Mean Areal Elevation
• Metode ini dapat digunakan apabila hubungan antara
curah hujan dan elevasi daerah yang bersangkutan dapat
dinyatakan dengan sebuah persamaan linier.
• Serupa dengan metode depth elevation, metode ini juga
cocok untuk perhitungan curah hujan dengan jangka
waktu yang panjang.

Ri  a  b  hi

Ri = tinggi curah hujan


hi = elevasi titik pengamatan
a dan b = konstanta

53
Menambah hasil pencatatan penakar hujan

Lengkung Massa dari Pencatat Hujan


Menambah data yang hilang dalam
tahun tertentu

A
1 n
A nx
d x   di 
n i1 Ani
B X

n = banyaknya pos penakar di sekitar x yang dipakai untuk mencari data x


Anx = tinggi hujan rata-rata tahunan di x
Ani = tinggi hujan rata-rata tahunan di pos-pos penakar di sekitar x yang dipakai untuk
mencari data x yang hilang
PENGISIAN DATA CURAH HUJAN
 Ketidaklengkapan data hujan seringkali dijumpai
akibat kesalahan operator atau kerusakan alat. Sebab
itu diperlukan cara untuk memperkirakan data yang
hilang tersebut.
 Pada prinsipnya data hujan yang kosong tersebut diisi
menggunakan data stasiun hujan di sekitar stasiun
yang akan diisi datanya.
 Metode yang digunakan untuk mengisi kekosongan
data tersebut adalah:
1. Normal Ratio Method
2. Inverse Square Distance Method.
56
PENGISIAN DATA CURAH HUJAN
 Normal Ratio Method
Metode ini dikemukakan oleh Linsley, Kohler, dan
Paulhus pada tahun 1958.

1  N X   NX   NX  
Rx    RA    RB    RC 
3  N A   NB   NC  

dimana:
R = curah hujan bulanan [mm]
N = curah hujan rata-rata tahunan [mm]
Subscript X, A, B, C menunjukkan stasiun hujan X, A, B, dan C

57
PENGISIAN DATA CURAH HUJAN
 Inverse Square Distance Method
Secara matematik metode ini dinyatakan sebagai
berikut.
1 1 1
2
RA  2
RB  2
RC
(dX A ) (dX B ) (dX C )
Rx 
1 1 1
 
(dX A ) 2 (dX B ) 2 (dX C ) 2

dimana:
R = curah hujan bulanan [mm]
dX = jarak antara stasiun hujan (A, B, C) dan stasiun hujan yang
ditinjau (m)
Subscript X, A, B, C menunjukkan stasiun hujan X, A, B, dan C
58
PENGISIAN DATA CURAH HUJAN
 SOAL: Apabila diasumsikan bahwa pada stasiun
penakar Bandung terdapat kehilangan data total
curah hujan bulan Maret 1990. Dengan menggunakan
data pada masing-masing stasiun basis, perkirakan
besarnya data yang hilang tersebut berdasarkan
normal ratio method dan inverse square method.
Diketahui total curah hujan untuk masing-masing
stasiun hujan lain pada bulan Maret 1990
Stasiun Sukawana : 118,0 mm
Stasiun Dago Pakar : 282,0 mm
Stasiun Ujung Brg : 84,0 mm
Stasiun Ciharalang : 114,9 mm
59
PENGISIAN DATA CURAH HUJAN
Skala peta topografi yang digunakan adalah 1:50.000.
Jarak antara stasiun Bandung dan stasiun lain sebagai
berikut
Stasiun Sukawana : 14,0 cm
Stasiun Dago Pakar : 7,0 cm
Stasiun Ujung Brg : 25,0 cm
Stasiun Ciharalang : 24,5 cm

60
PENGISIAN DATA CURAH HUJAN
 Annual Precipitation

61
PENGISIAN DATA CURAH HUJAN
 Normal Ratio Method
1  1.894,62   1.894,62   1.894,62   1.894,62  
Rx   118    282   84   114,9 
3  1.665,10   2.103,60   1.561,13   1.594,57  
R x  208mm

 Inverse Square Distance Method


1 1 1 1
2
118  2 282  2
84  2
114,9
(14) (7 ) (25) (24,5)
Rx   232,24mm
1 1 1 1
 2 
(14) (7) (25) (24,5) 2
2 2

62
KURVA MASSA GANDA
 Perubahan lokasi stasiun, kesalahan pencatatan
maupun penggantian jenis alat penakar hujan
menyebabkan perubahan yang cukup berarti terhadap
besarnya nilai hujan yang terukur/tercatat.
 Hal ini mengakibatkan data hujan tidak konsisten
(data dengan karakteristik berbeda dalam satu data
pencatatan curah hujan).
 Konsistensi pencatatan data hujan dapat diperiksa
dengan analisis kurva massa ganda.
 Solusi: membandingkan nilai curah hujan tahunan
kumulatif stasiun yang akan diperiksa dengan nilai
yang sama pada stasiun hujan basis.
63
KURVA MASSA GANDA
 Stasiun hujan basis biasanya merupakan nilai rata-rata
dari beberapa stasiun di sekitar stasiun hujan yang
diperiksa.
 Pasangan nilai kumulatif ini digambarkan pada sistem
koordinat X-Y. Jika grafik yang dihasilkan merupakan
garis linier (lurus) maka data stasiun hujan yang
diperiksa adalah konsisten.
 Bila grafiknya menunjukkan adanya perubahan
kemiringan garis, maka data stasiun tersebut tidak
konsisten dan perlu dikakukan koreksi.
 Koreksi dilakukan dengan cara melakukan koreksi
kemiringan salah satu garis tersebut, sehingga
dihasilkan satu garis linier (garis lurus) yang utuh.
64
Trend y n1 
x 1  x 2  .......... .  x n
2 n

x 2  x 3  .......... .  x n1
y n 3 
2 n

x 3  x 4  .......... .  x n 2
y n 5 
2 n

y = nilai rata-rata progresif


n = jumlah data yang dirata-ratakan]
xi = hasil pengamatan, yang disusun menurut kejadiannya
dengan i = 1,2,3,...n (misalnya: tinggi curah hujan)
Lengkung Massa Ganda
(double mass curve)
Curah hujan tahunan rata-rata akumulatip (mm)
C

C’

45/
A

Curah hujan tahunan rata-rata


beberapa pos penakar yang berdekatan (mm)
KURVA MASSA GANDA
 SOAL: Untuk mendeteksi indikasi kemungkinan
terjadinya penyimpangan dalam proses perolehan
data curah hujan dari kelima stasiun penakar hujan
(Bandung, Sukawana, Dago Pakar, Ujung Berung, dan
Ciharalang) yang akan digunakan dalam tahapan
analisis hidrologi, dengan menggunakan kurva massa
ganda periksalah apakah seri data seluruh stasiun
hujan tersebut konsisten.
Apabila ditemukan seri data hujan salah satu stasiun
adalah tidak konsisten, koreksi besarnya kesalahan
yang terjadi.

67
KURVA MASSA GANDA
 Annual Precipitation
Tahun Bandung Sukawana Dago Pakar Ujung Berung Ciharalang
1985 1,966.80 1,865.00 2,279.00 2,000.20
1986 2,866.00 2,451.00 2,894.00 2,397.00 1,610.60
1987 1,524.00 1,509.00 1,771.00 1,172.80 1,207.20
1988 1,841.00 1,225.80 2,152.90 1,085.40 1,621.20
1989 1,744.00 1,872.00 2,008.30 1,524.00 1,942.70
1990 1,973.00 1,419.00 2,001.50 1,323.40 1,886.00
1991 1,626.00 1,440.00 1,809.00 1,330.70 1,515.10
1992 2,634.00 2,336.40 3,032.00 1,898.00 2,405.80
1993 1,678.00 1,468.80 2,088.90 1,663.10 465.10
1994 1,807.00 1,521.00 2,138.30 1,598.00 1,687.80
1995 1,181.00 1,408.00 1,378.70 901.00 1,198.60
Rata-Rata 1,894.62 1,665.10 2,103.60 1,561.13 1,594.57
68
KURVA MASSA GANDA
 Stasiun Hujan Bandung
Year Bandung Bandung Cummulative Average of others Others Cummulative
1985 1,966.80 1,966.80 2,048.07 2,048.07
1986 2,866.00 4,832.80 2,338.15 4,386.22
1987 1,524.00 6,356.80 1,415.00 5,801.22
1988 1,841.00 8,197.80 1,521.33 7,322.54
1989 1,744.00 9,941.80 1,836.75 9,159.29
1990 1,973.00 11,914.80 1,657.48 10,816.77
1991 1,626.00 13,540.80 1,523.70 12,340.47
1992 2,634.00 16,174.80 2,418.05 14,758.52
1993 1,678.00 17,852.80 1,421.48 16,179.99
1994 1,807.00 19,659.80 1,736.28 17,916.27
1995 1,181.00 20,840.80 1,221.58 19,137.84

69
KURVA MASSA GANDA
 Stasiun Hujan Bandung
22,500

20,000

17,500

15,000
Bandung Cum

12,500

10,000

7,500

5,000

2,500

-
- 2,500 5,000 7,500 10,000 12,500 15,000 17,500 20,000 22,500
Others Stations Cum

70
KURVA MASSA GANDA
 Stasiun Hujan Ciharalang
Year Ciharalang Ciharalang Cummulative Average of others Others Cummulative
1985 2,000.20 2,000.20 2,036.93 2,036.93
1986 1,610.60 3,610.80 2,652.00 4,688.93
1987 1,207.20 4,818.00 1,494.20 6,183.13
1988 1,621.20 6,439.20 1,576.28 7,759.41
1989 1,942.70 8,381.90 1,787.08 9,546.48
1990 1,886.00 10,267.90 1,679.23 11,225.71
1991 1,515.10 11,783.00 1,551.43 12,777.13
1992 2,405.80 14,188.80 2,475.10 15,252.23
1993 465.10 14,653.90 1,724.70 16,976.93
1994 1,687.80 16,341.70 1,766.08 18,743.01
1995 1,198.60 17,540.30 1,217.18 19,960.18

71
KURVA MASSA GANDA
 Stasiun Hujan Ciharalang
20,000
S1 1,001
17,500 Fkoreksi    3,71
S 2 0,2687
15,000
S2= 0,2697
Ciharalang Cum

12,500

10,000
y1= 10.578
7,500
S1= 1,001
5,000

2,500 x1= 10.563


-
- 2,500 5,000 7,500 10,000 12,500 15,000 17,500 20,000 22,500
Others Stations Cum

72
KURVA MASSA GANDA
 Stasiun Hujan Ciharalang (corrected)
Year Ciharalang Ciharalang Cummulative Average of others Others Cummulative
1985 2,000.20 2,000.20 2,036.93 2,036.93
1986 1,610.60 3,610.80 2,652.00 4,688.93
1987 1,207.20 4,818.00 1,494.20 6,183.13
1988 1,621.20 6,439.20 1,576.28 7,759.41
1989 1,942.70 8,381.90 1,787.08 9,546.48
1990 1,886.00 10,267.90 1,679.23 11,225.71
1991 1,515.10 11,783.00 1,551.43 12,777.13
1992 2,405.80 14,188.80 2,475.10 15,252.23
1993 1,725.50 15,914.30 1,724.70 16,976.93
1994 1,687.80 17,602.10 1,766.08 18,743.01
1995 1,198.60 18,800.70 1,217.18 19,960.18

73
KURVA MASSA GANDA
 Stasiun Hujan Ciharalang (corrected)

20,000

17,500

15,000
Ciharalang Cum

12,500

10,000

7,500

5,000

2,500

-
- 2,500 5,000 7,500 10,000 12,500 15,000 17,500 20,000 22,500
Others Stations Cum

74
Intensitas Hujan
d
i d = tinggi hujan, dan t = waktu.
t

rumus empiris
a
Talbot (1881) i
t b

Sherman (1905) a rumus ini cocok untuk t < 2 jam


i n
t
Ishiguro a
i i = intensitas hujan
t b t = waktu (durasi) hujan,
Mononobe m menit untuk (1) – (3) dan jam untuk (4)
d24  24  a, b, m, n = konstante
i  
24  t  d24 = tinggi hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

Anda mungkin juga menyukai