Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENYEHATAN AIR - A

“Air Hujan Sebagai Sumber Air Bersih”

Dosen Pengampu :
Endang Uji Wahyuni, SKM., MKM

Disusun Oleh :
Kelompok 1 – 2 DIV
Andini Trisnaning Tias P21335119008

Fatimah Az Zahra P21335119020

Fika Humaira P21335119022

Raihan Nur Hanif P21335118052

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II
Jln. Hang Jebat III/F3 Kebayoran Baru Jakarta 12120 Telp. 021.7397641, 7397643

Fax. 021. 7397769 E-mail : info@poltekkesjkt2.ac.id Website: http://poltekkesjkt2.ac.id


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Penyehatan Air – A
yang berjudul “Air Hujan Sebagai Sumber Air Bersih”. Kami juga turut berterima kasih kepada
Ibu Endang Uji Wahyuni, SKM., MKM. selaku Dosen mata kuliah Penyehatan Air – A yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Air Tanah Sebagai Sumber Air Bersih. Kami menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sesuatu yang
membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami maupun orang yang
membacanya. Akhir kata kami menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Jakarta, Februari 2020

Penulis
PEMBAHASAN

1. Karakteristik & Kualitas Air Hujan


Air hujan berasal dari proses evaporasi (penguapan), proses kondensasi (pengembunan)
dan proses presipitasi (hujan). Dilihat dari proses terjadinya, maka air hujan adalah air yang
murni sebagai H2O dan oleh sebab itu air hujan kurang/tidak mengandung larutan garam dan
zat mineral. Dari sifat inilah maka kalau dimanfaatkan sebagai air minum, air hujan terasa
kurang segar. Sifat Air Hujan :
■ Air hujan bersifat lunak (soft water) karena kurang/tidak mengandung larutan garam dan
zat-zat mineral sehingga terasa kurang segar.
■ Dapat mengandung beberapa zat yang ada di udara seperti NH dan CO 2 agresif sehingga
bersifat korosif.
■ Dari segi bakteriologis air hujan relative lebih bersih tergantung pada tempat
penampungannya
■ Besarnya curah hujan disuatu daerah merupakan patokan yang utama dalam perencanaan
penyediaan air bagi masyarakat.

Kandungan zat kimia dalam air hujan :

1. Uap air atau H2O

Kandungan utama yang terdapat pada hujan adalah uap air atau H2O. kandungan uap air ini
adalah yang paling dominan dengan presentase sebesar 99,9% dan sisanya tergantung
pada lapisan atmosfer yang dilaluinya. Kita semua telah mengetahui tentang siklus hujan.
Penguapan membuawa uap air dan membentuklan awan- awan yang kecil. Awan- awan
tersebut kemudian terbawa angin dan menggumpal menjadi awan yang besar. Awan yang
besar inilah yang akan mengalami kejenuhan hingga menurunkan muatannya yang berisi air
ke bumi. Sebenarnya awan inilah yang mengandung uap air sehingga uap air merupakan
cikal bakal terjadinya hujan. Uap air ini sifatnya aman selama uap tersebut berasal dari
sumber air di permukaan bumi yang aman bagi manusia pula. Kandungan uap air pun
berbeda- beda tergantung sumber airnya. Uap air sendiri apabila mengenai tubuh maka masih
dalam batas aman.
2. Karbon (silika dan fly ash dalam bentuk abu ringan)

Air hujan juga mengandung zat karbon. Zat karbon yang terdapat pada air hujan  ini berupa
silika dan juga fly ash. Silika dan juga fly ash merupakan zat debu yang mengikat molekul-
molekul pada air hingga terbentuklah hujan. Hujan ini berasal dari proses presipitasi, yaitu
proses pengikatan banyak molekul- molekul di permukaan molekul lainnya sehingga
terbentuklah molekul yang dipusatnya terdapat molekul asing. Sehingga silika dan juga fly
ash ini merupakan zat yang berperan dalam proses turunnya hujan bahkan peranannya
menjadi sangat penting dan juga dominan. Kandungan karbon yang berlebih akan
menyebabkan pencemaran.

3. Asam nitrat

Hujan asam merupakan hujan yang terjadi akibat pencemaran oleh pabrik yang bersifat kotor
atau dari semburan gunung berapi. Kandungan asam nitrat yang berlebihan tidak baik dan
bisa membahayakan. Kandungan asam juga bisa dinyatakan dalam pH. Air hujan normal
memiliki pH 6, sementara hujan asam memiliki pH dibawah normal, yakni sekitar 5,7 ke
bawah. Kandungan asam yang berlebihan bisa menyebabkan besi mudah berkarat dan juga
gangguan pernapasan pada manusia.

4. Asam sulfat

Asam sulfat merupakan zat yang terkandung dalam air hujan dan apabila berlebihan maka
akan menyebabkan gangguan pada pernapasan manusia.

5. Garam

Sebenarnya kandungan garam pada air hujan ini relatif. Air hujan yang mengandung banyak
kandungan garam adalah hujan yang terjadi di daerah pantai. Hal ini karena proses terjadinya
hujan di daerah pantai akibat dari penguapan air laut yang terpanaskan oleh sinar matahari.

Air laut yang mengandung garam tersebut akan menguap dan uap airnya pun mengandung
garam. Kandungan garam yang berlebihan pada hujan akan menyebabkan besi menjadi cepat
berkarat dan mempercepat proses korosi. Sementara itu kandungan garam yang berlebih
apabila terkena kulit akan menyebabkan kusam dan kondisi yang tidak baik.
2. Pengertian Curah Hujan & Intensitas
Curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode
tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi
evaporasi, runoff dan infiltrasi. Jadi, jumlah curah hujan yangdiukur, sebenarnya adalah
tebalnya atau tingginya permukaan air hujan yangmenutupi suatu daerah luasan di permukaan
bumi/tanah.Untuk mengukur besarnya curah hujan, digunakan alat yang disebut penakar
hujan (rain gauge). Alat ini merupakan alat yang terdiri dari corong dan tabung penampung.
Curah hujan diukur dalam skala milimeter (mm) atau sentimeter (cm). Dari pengukuran curah
hujan akan didapatkan beberapa data yang kemudian diolah menjadi tiga jenis hasil
pengukuran seperti berikut:
■ Jumlah curah hujan harian, yaitu hasil pengukuran hujan selama 24 jam.
■ Jumlah curah hujan bulanan, yaitu jumlah total curah hujan harian selama sebulan.
■ Jumlah curah hujan tahunan, yaitu jumlah total curah hujan harian selama 12 bulan.

Intensitas hujan adalah jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume
hujan tiap satuan waktu. Besarnya intensitasnya berbeda-beda, tergantung dari lamanya curah
hujan dan frekuensi kejadiannya. Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis
terhadap data hujan baik secara statistik maupun empiris. Intensitas hujan dihubungkan
dengan durasi hujan jangka pendek misalnya 5 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman. Di
Indonesia alat ini belum banyak, yang lebih banyak digunakan adalah pencatat hujan biasa
yang mengukur hujan 24 jam atau disebut hujan harian. Derajat curah hujan dan dan intensitas
curah hujan dapat digolongkan sebagai berikut :

N Derajat Hujan Intensitas Kondisi


o Curah Hujan
(mm/menit)

1 Hujan sangat < 0,02 Tanah agak basahatau basah


lemah sedikit

2 Hujan lemah 0,02 – 0,05 Tanah jadi basah, tetapi


tidak membuat kubangan
3 Hujan normal 0,05 – 0,25 Dapat membuat kubangan
dan terdengar bunyi hujan

4 Hujan deras 0,26 – 1,00 Air tergenang diseluruh


permukaan tanah dan bunyi
keras hujan terdengar dari
genangan

5 Hujan sangat > 1,00 Hujan seperti ditumpahkan


deras dari saluran dan selokan
meluap

3. Hujan & Lama Hujan


Untuk memperhitungkan besar debit banjir rencana (design flood) yang ditentukan oleh
besarnya intensitas Hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi
pada suatu kurun waktu dimana air tersebut berkonsentrasi. Notasi : I (mm/jam), artinya
tinggi curah hujan yang terjadi sekian mm dalam kurun waktu perjam. Intensitas curah hujan
umumnya dihubungkan dengan kejadian dan lamanya (duration) hujan turun yang disebut
Intensitas Duration Frequency (IDF). Sehingga diperlukan data curah hujan jangka pendek,
misalnya 5 menit, 30 menit, 60 menit dll.
Diantara beberapa jenis presipitasi, hujan adalah yang paling biasa diukur. Pengukuran
dapat dilakukan secara langsung dengan menampung air hujan yang jatuh. Namun tidak
mungkin menampung hujan di seluruh daerah tangkapan air. Hujan di suatu daerah hanya
dapat diukur di beberapa titik yang ditetapkan dengan menggunakan alat pengukur hujan.
Hujan yang terukur oleh alat tersebut mewakili suatu luasan daerah di sekitarnya. Hujan
terukur dinyatakan dengan kedalaman hujan yang jatuh pada suatu interval waktu tertentu.
Di Indonesia, pengukuran hujan dilakukan oleh beberapa instansi di antaranya adalah
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Dinas Pengairan 11 Departemen Pekerjaan Umum,
Dinas Pertanian, dan beberapa instansi lain baik pemerintah maupun swasta yang
berkepentingan dengan hujan. Masing-masing instansi tersebut mengelola sendiri stasiun
hujannya. Bisa jadi dua atau lebih stasiun hujan berada pada jarak yang berdekatan.
Penakar hujan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu penakar hujan biasa (manual
raingauge) dan penakar hujan otomatis (automatic raingauge)
1) Alat penangkar hujan biasa
Alat penangkar hujan biasa yang terdiri dari corong dan botol penampung yang berada di
dalam suatu tabung silinder. Alat ini ditempatkan di tempat terbuka yang tidak dipengaruhi
pohon-pohon dan gedung-gedung yang ada do sekitarnya. Air hujan yang jatuh pada corong
akan terapung di dalam tabung silinder. Dengan mengukur volume air yang terampung dan
luas corong akan dapat diketahui kedalaman hujan. Curah hujan kurang dari 0.1 mm dicatat
sebagai 0.0 mm, yang harus dibedakan dengan tidak ada hujan yang dicatat dengan garis (-).
Pengukuran dilakukan setiap hari. Biasanya pembacaan pada pagi hari, sehingga hujan
tercatat adalah hujan yang terjadi selama satu hari sebelumnya, yang sering disebut hujan
harian. Dengan alat ini tidak dapat diketahui kederasan hujan (intensitas) hujan, durasi (lama
waktu) hujan dan kapan terjadinya.
2) Alat penangkar hujan otomatis
Alat ini mengukur hujan secara kontinyu sehingga dapat diketahui intensitas hujan dan
lama waktu hujan. Ada beberapa macam alat penangkar hujan otomatis yaitu alat penangkar
hujan jenis pelampung, alat penangkar hujan jenis timba jungkit, dan alat penangkar hujan
jenis timbangan.
a. Alat penangkar hujan jenis pelampung
Hujan yang jatuh masuk ke dalam tabung yang berisi pelampung. Jika muka air di dalam
tabung naik, pelampung bergerak ke atas dan bersamaan dengan pelampung tersebut sebuah
pena yang dihubungkan dengan pelampung melaui suatu tali penghubung juga ikut bergerak.
Gerakan pena tersebut memberi tanda pada kertas grafik yang digulung pada silinder yang
berputar. Jika tabung telah penuh, secara otomatis seluruh air akan melimpas keluar melalui
mekanisme sifon yang dihubungkan.
b. Alat penakar hujan jenis timba jungkit
Jenis alat ini terdiri dari silinder penampung yang dilengkapi dengan corong. Di bawah
corong ditempatkan sepasang timba penakar kecil yang dipasang sedemikian rupa sehingga
jika salah 13 satu timba menerima curah hujan sebesar 0.25 mm, timba tersebut akan
menjungkit dan menumpahkan isinya ke dalam tangki. Timba lainnya kemudian
menggantikan tempatnya, dan kejadian serupa akan berulang. Gerakan timba mengaktifkan
suatu sirkuit listrik dan menyebabkan suatu silinder dan berputar sesuai dengan perputaran
jarum jam.
Intensitas hujan dapat diketahui dengan alat penakar hujan otomatis. Data intensitas hujan
sangat penting untuk memperkirakan debit banjir, seperti dalam perencanaan sistem drainase
perkotaan, pengendalian banjir, perencanaan jembatan, dan sebagainya. Dengan
menggunakan hasil pencatatan hujan otomatis tersebut dapat dievaluasi jumlah hujan untuk
setiap interval waktu tertentu, misalnya setiap 5, 10, 15, menit dan seterusnya.

4. Penampungan Air Hujan


Menurut Worm dan Hattum (2006), penampungan air hujan adalah pengumpulan
limpasan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air domestik, pertanian, maupun untuk
manajemen lingkungan. Terdapat tiga alasan yang mendasari pembuatan penampungan air
hujan, yaitu :
1) Peningkatan kebutuhan air Di saat kebutuhan air semakin meningkat dan
banyaknya kerusakan pada sistem suplai air, penampungan air hujan dapat dijadikan sebagai
alternatif pemenuhan kebutuhan air.
2) Variasi ketersediaan air Ketersediaan air dari sumber air seperti danau maupun
air tanah bersifat fluktuatif. Menampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan domestik dapat
dilakukan sebagai variasi pemenuhan kebutuhan air.
3) Sumber yang lebih dekat Sumber air tradisional biasanya terletak pada jarak yang
jauh dari lokasi pemukiman. Menampung air hujan dekat dengan lokasi pemukiman dapat
mempermudah akses dalam mendapatkan air.
4) Kualitas suplai air Sumber air yang telah ada dapat terkena polusi dari industri,
limbah rumah tangga, maupun intrusi air laut. Air hujan memiliki kualitas lebih baik.
Menurut Skinner (2004, disebutkan dalam Pudyastuti, 2006) beberapa komunitas di
dunia telah mempraktekkan penampungan air hujan secara tradisional. Selain itu
penampungan air hujan bukan hanya teknologi yang sesuai untuk negara berkembang saja
namun juga dipromosikan di negara maju seperti Australia. Penerapan penampungan air hujan
sesuai ketika :
1) Adanya pola hujan yang cocok.
2) Kepala keluarga maupun komunitas mau menggunakan air hujan.
3) Sumber air yang lain tidak tersedia atau hanya tersedia musiman, terkena polusi,
berada di lokasi yang cukup jauh, atau tidak bisa diandalkan.
Menurut Worm dan Hattum (2006), beberapa kelebihan dan kekurangan dari
penampungan air hujan:
a. Kelebihan
- Konstruksi yang sederhana,
- Perawatan yang baik karena dilakukan oleh pengguna,
- Menghasilkan kualitas air yang baik,
- Tidak memberikan dampak buruk pada lingkungan,
- Penyediaan air sesuai dengan tingkat konsumsi, dan
- Tidak dipengaruhi kondisi geologi dan topografi
b. Kekurangan
- Merupakan investasi dengan biaya yang tinggi,
- Memerlukan perawatan yang rutin,
- Kualitas air dipengaruhi oleh polusi (udara),
- Pada kasus musim kering yang panjang dapat terjadi masalah dalam ketersediaan
air,
- Suplai terbatas pada ukuran atap dan tampungan.
1) Permukaan Tangkapan
Menurut Worm dan Hattum (2006) tangkapan dari sistem penampungan air hujan adalah
permukaan yang menerima hujan dan mengalirkannya ke sistem. Atap adalah permukaan
tangkapan yang ideal untuk penampungan air hujan. Semua material atap dapat digunakan
sebagai permukaan tangkapan air hujan, namun air hujan yang digunakan sebagai air minum
tidak boleh berasal dari atap jerami maupun atap dengan lapisan yang mengandung aspal.
Material timah juga tidak diperbolehkan. Galvanis, besi, plastic dan ubin merupakan material
permukaan tangkapan yang baik untuk digunakan. Atap datar yang dibuat dari cor semen juga
bisa digunakan asalkan bersih.
2) Sistem Penyaluran
Sistem penyaluran dari permukaan atap biasanya terdiri dari talang dan pipa penyalur.
Sistem penyaluran ini berguna untuk mengangkut air hujan dari atap menuju tampungan.
Menurut Worm dan Hattum (2006) untuk pengoperasian yang efektif dari sistem
penampungan air hujan, desain dan konstruksi yang cermat sangatlah penting sebab talang
dan pipa penyalur merupakan bagian yang paling lemah dalam sistem penampungan air hujan.
Lebih dari 90 % air hujan yang jatuh di atap akan berhasil ditampung oleh tangki
penampungan jika talang dan pipa penyalur berfungsi dengan baik. Umumnya talang terbuat
dari metal maupun PVC namun pada beberapa daerah talang dapat dibuat dengan
menggunakan bambu.
3) Tampungan Dalam sistem penampungan air hujan yang berasal dari atap, tangki
penyimpanan air biasanya merupakan bagian dari sistem penampungan hujan yang
membutuhkan biaya terbesar, oleh karenanya tangki penyimpanan membutuhkan desain yang
cermat untuk menghasilkan tampungan yang optimal dengan biaya yang seekonomis
mungkin. Menurut Worm dan Hattum (2006) terdapat dua kategori tampungan yaitu
tampungan yang terletak di atas tanah dan tampungan yang sebagian terletak di bawah tanah.
Material lokal seperti kayu, bambu, dan keranjang anyaman dapat digunakan sebagai
alternatif untuk memperkuat tangki yang terbuat dari semen.
4) Kebutuhan air Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga mencangkup air
minum, memasak, kebersihan pribadi, mencuci alat – alat rumah tangga, mencuci pakaian dan
membersihkan rumah. Sebagai tambahan, Skinner (2004, disebutkan dalam Pudyastuti 2006)
mencatat bahwa jumlah air yang dapat disediakan dari skema air hujan akan sangat terbatas
pada ukuran atap dan ukuran tangki penampungan yang bisa diberikan. Yang bisa diberikan
mungkin tidak cukup untuk menangkap dan menyimpan air untuk semua kebutuhan di musim
kemarau.
5) Kehilangan air Menurut Skinner (2004, disebutkan dalam Pudyastuti 2006)
kehilangan air dari sistem dapat terjadi di empat titik yaitu dari tangkapan, dari sistem
penyaluran air hujan, dari tampungan dan dari air yang terbuang ketika pengguna membuka
keran.
a) Kehilangan air dari tangkapan Skinner (2004, disebutkan dalam Pudyastuti 2006)
mencatat bahwa koefisien limpasan (C) biasanya kurang dari 1, karena air hujan hilang
terutama pada kasus tangkapan berupa tanah, air akan membasahi tangkapan maupun
terperangkap dalam cekungan yang ada di permukaan. Sebagai tambahan, dalam kasus
tangkapan yang berada di atas tanah, air hujan dapat memercik atau tertiup angin. Pada atap
jerami, air disimpan pada bahan atap yang terbuat dari daun. Jika permukaan tangkapan atap
terbuat dari logam, dan keadaan atap panas ketika terjadinya hujan akan terdapat sedikit
jumlah air yang hilang karena penguapan.
b) Kehilangan air dari talang atau pipa penyalur Menurut Skinner (2004, disebutkan
dalam Pudyastuti 2006), jika talang yang membawa air hujan dari atap terlalu kecil untuk
mengalirkan aliran air hujan pada kondisi aliran puncak ketika terjadi hujan dengan intensitas
yang tinggi, maka air hujan akan melimpas keluar dari talang. Jika konstruksi talang kurang
bagus dapat juga terjadi kebocoran ketika hujan. Kedua situasi tersebut mengurangi jumlah air
yang masuk ke dalam tampungan sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengurangi kerugian
tersebut.
c) Kehilangan air dari tampungan
Menurut Skinner (2004, disebutkan dalam Pudyastuti 2006) kehilangan air dari
tampungan dapat berupa kebocoran, penguapan, maupun kesalahan penggunaan. Banyaknya
kebocoran yang terjadi pada tangki yang dibangun dari material yang diplester dengan mortar
semen akan lebih kecil dan pengurangan nilai tampungan akibat adanya kebocoran tidak perlu
dibuat. Skinner (2004), disebutkan dalam Pudyastuti 2006) mencatat bahwa tingkat
penguapan di banyak tempat cukup tinggi, seringkali lebih dari 1200 mm tiap tahun dan di
beberapa tempat lebih dari 2000 mm per tahun. Perhitungan kehilangan air akibat penguapan
sama dengan perkalian luas permukaan tampungan dengan kedalaman penguapan, jadi jika
memungkinkan tampungan harus tertutup, namun jika hal tersebut tidak memungkinkan,
banyaknya penguapan yang terjadi perlu untuk dihitung untuk tiap bulan untuk satu tahun
sehingga sisa volume air hujan secara teori dapat secara tepat diketahui.
Terbuangnya air secara tidak sengaja juga dapat terjadi sebagai penyebab berkurangnya
jumlah air dalam tampungan, contohnya ketika air diambil dari tampungan dengan
menggunakan ember atau ketika anak – anak bermain dengan keran, sehingga menyebabkan
air terbuang percuma.
d) Pola curah hujan Menurut Skinner (2004, disebutkan dalam Pudyastuti 2006)
untuk mengetahui volume minimum dari tampungan yang dibutuhkan, perlu diketahui
besarnya kebutuhan air hujan, banyaknya kehilangan air yang terjadi, suplai air dari hujan.
Skinner (2004, disebutkan dalam Pudyastuti 2006) mencatat bahwa catatan hujan terpanjang
yang bisa didapatkan dibutuhkan untuk merencanakan sistem penampungan air hujan yang
tepat. Sebagai tambahan di beberapa tempat di dunia, pola hujan sudah berubah sehingga
catatan hujan yang terbaru juga dibutuhkan sepenting catatan historis hujan. Stasiun pencatat
hujan tidak selalu ada di daerah perancangan tampungan air hujan sehingga dapat digunakan
catatan hujan dari stasiun terdekat.
Daftar Pustaka

Worm, J., and T. van Hattum. 2006. Rainwater harvesting for domestic use. Agrodokseries No.
43. First edition. Agromisa Foundation and CTA, Wageningen.
http://www.ocw.upj.ac.id/files/Slide-CIV202-CIV202-Slide-17.pdf

http://eprints.undip.ac.id/45091/3/BAB_II.pdf

PDAM TIRTA BENTENG. 2019. Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Air Bersih.
www.pdamtirtabenteng.co.id (Diakses pada tanggal 04 April 2020)
Sujono, dkk. 2011. Buku Ajar Penyehatan Air dan Pengelolaan Limbah Cair – A. Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai