Anda di halaman 1dari 12

Septiana Noor Malinda

17/409869/SP/27714

Etika Komunikasi-UAS

1. Sejauh mana kode etik jurnalistik yang ada di Indonesia (boleh memilih salah satu kode etik
jurnalistik) mampu mengakomodir berbagai persoalan terkini terkait dengan munculnya
praktik jurnalistik multiplatform terutama terkait dengan posisi jurnalis? Jelaskan dan berilah
ilustrasi!
Jawab : Salah satu kode etik jurnalistik (KEJ) yang berlaku di Indonesia adalah KEJ dari Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI). KEJ PWI menjadi landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman
operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta
profesionalisme wartawan. Lebih detail, KEJ berfungsi menjadi pedoman pers dalam
melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranan memberikan informasi dan sarana
berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan
manusia bagi masyarakat (pwi.or.id).
KEJ PWI terdiri dari 4 Bab dan 17 Pasal dengan rincian garis besar sebagai berikut :
1. Bab I tentang Kepribadian dan Integritas
2. Bab II tentang Cara Pemberitaan dan Menyatakan Pendapat
3. Bab III tentang Sumber Berita
4. Bab IV tentang Kekuatan Kode Etik Jurnalistik
Selanjutnya pembahasan mengenai kode etik jurnalistik dalam konteks KEJ PWI serta kaitannya
dengan persoalan jurnalistik multiplatform, terutama perihal posisi jurnalis. Untuk itu perlu
diurai terlebih dahulu mengenai jurnalisme multiplatform serta persoalan-persoalan di
dalamnya. Setelahnya, dapat dilihat sejauh mana KEJ PWI mampu mengakomodir berbagai
persoalan jurnalisme multiplatform yang ada.
 Jurnalisme Multiplatform
Jurnalisme multiplatform atau jurnalisme multimedia oleh Mark Deuze dalam What is
Multimedia Journalism, Journalism Studie DOI Dictionary of Media Studies (2004) diidentikkan
dengan konvergensi dan cross platform serta cross ownership. Deuze menggambarkan
jurnalisme multiplatform yang bersinggungan dengan pengerucutan pemilik media di suatu
negara. Peleburan media menjadi satu perusahaan atau sebaliknya satu perusahaan mendirikan
beberapa perusahaan media dengan beragam jenis platform yang akan memenuhi kebutuhan
informasi publik. Sehingga, dapat diartikan bahwa bisa jadi seorang pemilik media cetak (pers)
juga memiliki saluran televisi maupun frekuensi radio. Terlebih lagi di era kemutakhiran
teknologi internet, maka berkembang pula media siber (Dewan Pers, 2013) atau biasa disebut
media online. Keberadaan media yang terkonvergensi ini tidak hanya membuat akses informasi
semakin luas dan beragam, namun juga timbul berbagai persoalan yang menuntut penyelesaian,
salah satunya terkait etika jurnalisme.
 Persoalan-Persoalan Jurnalisme Multiplatform
Berikut akan dipaparkan beberapa persoalan yang akan dipaparkan merujuk pada buku
jurnal Dewan Pers Indonesia (2013).
Persoalan dari Sisi Teknis
Dari sisi teknis, jurnalisme di era jurnalisme multiplatform dituntut untuk
memiliki berbagai kemampuan serta keterampilan guna dapat melakukan multitasking.
Multitasking yang dimaksud berupa rangkap pekerjaan, misalnya menjadi jurnalis
sekaligus penyiar berita. Tidak hanya itu, jurnalis juga perlu memiliki keterampilan
dalam mengemas berita ke dalam berbagai bentuk, baik teks, gambar, audio, dan audio
visual, disesuaikan dengan platformnya. Karena bisa saja terjadi ketika jurnalis surat
kabar bekerja di radio, jurnalis radio bekerja di televisi, atau jurnalis televisi menulis
berita online. Padahal, tiap platform memiliki kompleksitas yang menuntut etika
penyampaian berita yang berbeda, misalnya tv sebagai platform audio visual lebih
kompleks dibading dengan media cetak atau radio yang berupa teks dan audio saja.
Oleh karena itu, etika jurnalistik bagi jurnalis televisi karenanya lebih kompleks
dibanding jurnalis media cetak dan radio.
Persoalan dari Sisi Etika
Persoalan selanjutnya berhubungan dengan kemudahan akibat kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi beserta internet, seperti plagiarisme serta
manipulasi data dan informasi. Ini bisa terjadi karena informasi yang begitu banyak
bertebaran di internet, entah dari portal berita online atau jurnalisme warga. Tanpa
melakukan liputan langsung, kini jurnalis dapat membuat berita dengan
menggabungkan berita satu dengan yang lain. Atau bahkan mengklaim tulisan orang lain
menjadi tulisannya. Bukan hanya tulisan, mungkin pengambilan gambar, audio, atau
video, tanpa izin kini bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.
Berita yang ditulis tanpa adanya verifikasi juga rawan menyebabkan kerugian
bagi pihak yang bersangkutan. Maka dari itu, jurnalis dalam membuat berita memang
harus turun ke lapangan dan melakukan verifikasi. Hal ini sesuai dengan pasal 3 Kode
Etik Jurnalistik bahwa “wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan
secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga tak bersalah”.

Media Siber dan Jurnalisme Warga

Masih berhubungan dengan kemudahan akibat kemajuan IPTEK, media siber


dan jurnalisme waga adalah satu buahnya. Mdia siber adalah segala bentuk media yang
menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, serta memenuhi
persyaratan Undang Undang Pers (UU No. 40/1999) dan Standar Perusahaan Pers yang
ditetapkan Dewan Pers. Media siber ini juga ternyata tidak hanya ditulis oleh wartawan
media, melainkan oleh warga atau yang basa disebut citizen journalist. Dengan
demikian, internet turut mendorong demokrasi yakni kebebasan berpendapat karena
telag menciptakan ruang-ruang redaksi yang ditulis oleh warga sipil. Namun, hal ini
menimbulkan pertanyaan apakah jurnalisme warga ini termasuk ke dalam aktivitas
jurnalisme?

KEJ PWI dan Muatannya dalam Mengakomodir Berbagai Persoalan

KEJ PWI merupakan landasan moral dan landasan etika profesi bagi wartawan di Indonesia.
Meskipun demikian, sesuai dengan Pasal 16 Kode Etik PWI bahwa “wartawan Indonesia menyadari
sepenuhnya bahawa penataan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-
masing”, meskipun terdapat sanksi yang diberikan jika memang terjadi pelanggaran. Namun, melihat
posisi jurnalis saat ini yang tidak hanya terdiri dari wartawan media tapi juga warga beserta
kompleksitas dari sisi teknis dan etika maka hal tersebut dikembalikan kepada masing-masing pribadi
jurnalis. Karena, pengawasan tanpa kesadaran akan menjadi hal yang kurang efektif dan efisien. Oleh
karena itu, perlu adanya pendefinisian ulang terkait apa itu wartawan dan siapa saja yang termasuk ke
dalamnya. Kemudian, sosialisasi menjadi langkah berikutnya untuk dilakukan agar orang-orang yang
mengakus sebagai jurnalis ini mengerti posisi serta pedoman dari apa yang dilakukannya tersebut. Dari
sisi substansi, KEJ PWI telah memuat kepribadian dan integritas macam apa yang seharusnya dimiliki
wartawan yang bisa dilihat pada pasal-pasal di Bab I KEJ PWI.
Selanjutnya terkait masalah media siber dan jurnalisme warga yang sebenarnya dalam Pasal 5
Bab II KEJ PWI telah dituliskan bahwa “wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan
adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini
sendiri”. Tidak hanya itu, wartawan juga dituntut tidak merugikan pihak lain (selain karena kepentingan
umum), adil jujur, dan menggunakan asas praduga tak bersalah dalam memberitakan produk jurnalistik
(teks, audio, audio visual, gambar). Maka dari itu, secara substansi KEJ PWI sudah menuntut dan
mengakomodir jurnalis dan posisinya di berbagai media untuk berperilaku demikian entah apapun
format produk yang dihasilkan. Kemudian, posisi media siber dan jurnalisme warga memang belum
terakomodir secara langsung dalam bahasan pasal-pasal KEJ PWI sehingga pemunculan kesadaran
bahkan keterikatan dalam upaya menangani persoalan etika dan pelrindungan jurnalis warga belum
dalam diatasi dengan KEJ PWI.

Referensi

Deuze, Mark. 2004. What is Multimedia Journalism, Journalism Studie DOI Dictionary of Media Studies.
Amerika Serita : Open University Press. Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT).
ISSN : 2085-6199

Dewan Pers. 2013. Jurnal Dewan Pers Konvergensi & Independensi Tren Media Jelang Pemilu 2014.

PWI. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI). [Online]. Tersedia di https://pwi.or.id/index.php/uu-kej
2. Apa arti penting keberadaan Standar Program Siaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran terkait
dengan profesi penyiaran? Apakah kedua dokumen ini bisa disebut sebagai kode etik profesi?
Jelaskan pendapat Anda dan berilah ilustrasi!
Jawab : Secara umum, kode etik dapat diartikan sebagai “a code of ethics is a set of
principles of conduct within an organization that guide decision making and behavior. The
purpose of the code is to provide members and other interested persons with guidelines for
making ethical choices in the conduct of their work. Professional integrity is the cornerstone of
many employees' credibility. Member of an organization adopt a code of ethics to share a
dedication to ethical behavior and adopt this code to declare the organization's principles and
standards of practice” (definitions.USLegal.com).
Sedangkan, pengertian etika profesi adalah suatu sikap etis yang dimiliki seorang profesional
sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengemban tugasnya serta menerapkan norma-
norma etis umum pada bidang-bidang khusus (profesi) dalam kehidupan manusia
(maxmanroe.com). Etika yang sendiri merupakan nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Mufid, 2009: 173). Dari kedua
definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kode etik profesi dibentuk melalui konsesus atas nilai
dan norma terhadap suatu bidang.
 Pedoman Program Penyiaran (3P) dan ) Standar Program Siaran (SPS) oleh KPI
Pedoman Program Siaran
Pasal 1 Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Pedoman Perilaku Penyiaran didefinisikan
sebagai ketentuan-ketentuan bagi lembaga penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi
Penyiaran Indonesia sebagai panduan tentang batasan perilaku penyelenggaraan
penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional.
Standar Program Siaran
Pasal 1 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Standar Program Siaran mendefiniskan bahwa
Standar Program Siaran adalah standar isi siaran yang berisi tentang batasan-batasan,
pelarangan, kewajiban, dan pengaturan penyiaran,serta sanksi berdasarkan Pedoman
Perilaku Penyiaran yang ditetapkan oleh KPI.
SPS merupakan penjabaran teknis atas P3 yang dibuat oleh KPI dengan muatan
atas batasan, aturan, larangan, kewajiban serta sanksi guna menciptakan iklim
penyiaran yang baik dari sisi manajemen, administrasi, maupun konten siaran. Muatan
keduanya berorientasi secara luas baik dari sisi pekerja sebagai subjek pelaksana profesi
serta konten media penyiaran yang seharusnya dijalankan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa SPS serta P3 merupakan bagian dari kode etik karena bertujuan
menjaga iklim profesional serta integritas dan kredibilitas suatu profesi, yakni pekerja
media penyiaran diikuti dengan produk yang dihasilkan.

Referensi

KPI. Pedoman Program Penyiaran (P3) dan Standar Program Penyiaran (SPS). [Online]. Tersedia
di http://www.kpi.go.id/download/regulasi/P3SPS_2012_Final.pdf
Maxmanroe. Etika Profesi: Pengertian, Fungsi, Prinsip, dan Contohnya. [Online]. Tersedia di
https://www.maxmanroe.com/vid/karir/etika-profesi.html
Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta.
US Legal. Codes of Ethics Law and Legal Definition. [Online]. Tersedia di
https://definitions.uslegal.com/c/code-of-ethics/
3. Sebagai satu-satunya kode etik periklanan di Indonesia, apakah Etika Pariwara Indonesia
mampu mengakomodasi berbagai persoalan etika periklanan terkait dengan semakin
banyaknya wahana iklan di era digital ini! Jelaskan argument Anda dan berikan ilustrasi!
Jawab : Membicarakan pariwara tentu tidak terlepas dengan kreativitas. Etika pariwara dibuat
agar para insan kreatif mampu mengembangkan kreativitasnya dalam bidang pariwara tanpa
berbenturan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Satu-satunya etika pariwara di
Indonesia adalah Etika Pariwara Indonesia (EPI) yangdibuat oleh Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (P3I).
EPI oleh P3I terdiri dari lima bab, yakni :
 Bab I berisi pendahuluan
 Bab II berisi pedoman
 Bab III berisi ketentuan
 Bab IV berisi penegakan
 Bab V berisi penjelasan

Berkaitan dengan pelanggaran etika pariwara, maka perlu diketahui mengenai apa-apa saja
yang menyebabkan suatu pariwara melanggar etika. Secara garis besar, Dewan Pariwara
merangkum pelanggaran-pelanggaran etika pariwara yang terjadi meliputi bahasa, isi, serta
ragam (jenis). Selanjutnya, kedatangan era digital karena kemajuan IPTEK mendorong adanya
konvergensi media sehingga akan ada model komunikasi terpadu, tak terkecuali pariwara. Era
digital akan menciptakan iklan-iklan baru dalam berbagai bentuk dan platform. Oleh sebab itu,
maka P3I memutuskan untuk melakukan amandemen terhadap EPI agar mampu
mengakomodir berbagai persoalan etika pariwara di era digital dengan penekanan pada “Tata
Krama” dan ”Tata Cara” yang dijadikan dalam sub bab III EPI mengenai Ketentuan.

Tata Krama terbagi ke dalam isi, ragam, pemeran, dan wahana iklan. Pada bagian wahana
iklan inilah terdapat iklan media digital sebaga konsekuensi perkembangan teknologi yang juga
diatur di dalamnya. Selanjutnya, Tata Cara berfokus pada penerapan umum, produksi
periklanan, serta media periklanan. Dengan demikian, EPI sebagai satu-satunya etika pariwara
yang ada di Indonesia secara susbtansial telah cukup mampu mengakomodir persoalan
pariwara, terlebih di era digital yang penerapan dan pelaksanaannya kembali lagi pada hati
nurani para insan kreatif.
Contoh pelanggaran etika pariwara yakni ditunjukkan pada representasi senioritas yang
berlebihan tampak pada Iklan BSI STIMK Nusa Mandiri. Sajian iklan audio visual yang
menampilkan kondisi perkantoran dan kegiatan antara bos (atasan) dan bawahannya tersebut
menuai kritik karena dianggap terlalu berlebihan dan merendahkan perguruan tinggi lain. Hal
tersebut ditunjukkan dengan membandingkan dia dengan karyawan lainnya yangmerupakan
lulusan STMIK Nusa Mandiri (bagian dari BSIGroup) dan dianggap pekerjaannya lebih bagus dan
cepat dalam menangani masalah.

Referensi

Meliala, R.M. (2018). Analisis Model Super “A” pada Iklan Promosi Kampus di Televisi. Jurnal Studi
Komunikasi, 2(2). doi: 10.25139/jsk.v2i2.397

PWI. 2014. Etika Pariwara Indonesia. [Online]. Tersedia di


http://p3i-pusat.com/wp-content/uploads/2015/11/EPI-2014-Final-SK-Perubahan.pdf
4. Mengapa penting untuk mengatur ujaran kebencian dalam kode etik game? Jelaskan
Argumen Anda dan berilah contoh!
Jawab : Perkembangan teknologi sejatinya bagaikan dua sisi mata uang, yakni memiliki dampak
positif maupun negatif. Salah satu hasil dari kemajuan teknologi tersebut adalah game dengan
fitur live chat atau obrolan langsung. Fitur ini bertujuan untuk memudahkan komunikasi antar
gamer, terutama game online yang dimainkan secara bersama (berkelompok/tim). Namun, fitur
live chat ini ternyata memiliki potensi untuk dijadikan media dalam menyampaikan ujaran
kebencian (hate speech).
Ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau
kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok
yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual
kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Di Indonesia, lontaran ujaran kebencian dapat dikenai
tindakan pidana karena adanya regulasi yang mengatur, yakni Undang-Undang No. 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu, di dalam surat edaran
Kapolri NOMOR SE/06/X/2015 tentang ujaran kebencian (hate speech) dijelaskan pengertian
tentang ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang di atur dalam KUHP dan ketentuan
pidana lainnya di luar KUHP, [2] yang berbentuk antara lain: 1) Penghinaan, 2) Pencemaran
nama baik, 3) Penistaan, 4) Perbuatan tidak menyenangkan, 5) Memprovokasi, 6) Menghasut,
dan 7) Menyebarkan berita bohong.
Selain itu, ujaran kebencian akan menimbulkan iklim yang gaduh dan penuh emosi
termasuk dalam bermain game. Padahal seharusnya bermain game baik hanya sekedar
memainkannya atau ketika ingin menjadi pro gamer harus tetap menjunjung martabat manusia
dengan tidak saling merendahkan dan saling menyakiti. Maka dari itu penting untuk dibuat kode
etik game guna membangun kesadaran etis dan moral mengenai batasan, aturan, serta hak dan
kewajiban moral, yang harus dilakukan saat bermain game agar tercipta iklim yang positif dan
kondusif.
Referensi

Nockleby, John T. (2000). Hate Speech dalam Encyclopedia of the American Constitution, ed.
Leonard W. Levy and Kenneth L. Karst, vol. 3. (2nd ed.), Detroit: Macmillan Reference
US, pp. 1277–79.
Surat Edaran Kapolri NOMOR SE/06/X/2015
Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
5. Sebutkan nama kelompok Anda dan kode etik apa yang dibahas! Jelaskan inti materi
kelompok Anda dan jelaskan pula metode presentasinya! Berilah evaluasi terhadap metode
yang dipilih dan bagaimana teman lain di kelas dapat merespon dan menangkap susbstansi
materi!
Jawab : Kelompok KEJ PWI dengan tema bahasan Kode Etik Jurnalistik dari Persatuan
Wartawan Indonesia. Inti dari materi yang dibawakan yakni terkait batasan, aturan, hak dan
moral, yangs seharusnya dilakukan wartawan yang dirngkum dalam KEJ PWI. Penekanannya
terdapat pada integritas dan kredibilitas yang berusaha ditanamkan PWI kepada wartawan di
Indonesia mengingat wartawan pada zaman penjajahan memiliki du fungsi, yakni sebagai
pencerah (memberikan informasi) serta aktivis politik.
Metode Presentasi
Terinspirasi dari program televisi “Are You Smarter than a Fifth Grader”, kelompok kami
menggunakan model presentasi seperti lomba cerdas cermat. Kontestan harus memilih satu
kategori pelajaran, lalu menjawab pertanyaan seputar kategori pelajaran itu. Ada
sepuluh kategori pelajaran yang harus dijawab dengan benar untuk dapat memasuki babak
bonus. Namun kami menyingkat babak tersebut menjadi dua babak besar. Total pertanyaan
yang akan diajukan pun hanya enam.

Evaluasi Presentasi

Teman-teman mendapat materi KEJ PWI melalui pertanyaan yang diajukan yang diikuti
penjabaran dari murid yang dipilih untuk mendampingi Andara (sebagai orang dewasa) serta
penjelasan MC. Namun, ada beberapa penjabaran materi yang juga dijelaskan oleh orang
dewasa. Maka, setiap dialog dari metode presentasi kami adalah materi yang berusaha
disampaikan kepada penonton. Selanjutnya, evaluasinya sendiri berkaitan dengan bagaimana
jeda dari setiap materi yang diberikan. Materi terdiri dari beberapa sub bab, seperti sejarah,
regulator dan sanksi, kasus, serta kelebihan dan kekurangan kode etik. Penyampaian kelompok
kami terkesan terburu-buru tanpa jeda yang dirasa cukup bagi teman-teman untuk bisa
menyerap satu sub bab untuk dilanjutkan ke sub bab lain.

Anda mungkin juga menyukai