Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

HAL-HAL YANG BOLEH DAN TIDAK BOLEH DILAKUKAN JURNALIS DALAM


PENANGANAN BERITA (TERKAIT KODE ETIK JURNALISTIK/KEWI)

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK: 1

M. FATHUR RAMADONI (2020.05.009)

M. AULIA AZIZ (2020.05.049)

DOSEN PENGAMPU: KHOZINUL ALIM, M.Ag.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM AL QUR’AN AL-ITTIFAQIAH

INDRALAYA OGAN ILIR SUMATRA SELATAN

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kita sehingga karena itu juga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ”Hal-hal yang Boleh dan Tidak
Boleh dilakukan Jurnalis dalam Penanganan Berita (terkait Kode Etik
Jurnalistik /KEWI)”.

Tak lupa shalawat serta salam semoga Allah Swt. senantiasa melimpahkan–
Nya dan mencurahkan–Nya pada baginda kita Nabi Muhammad saw. beserta
keluarganya, para sahabatnya dan kita semua selaku umatnya semoga mendapat
syafaat di hari akhir nantinya.

Makalah ini berisikan tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan
jurnalis dalam penanganan berita (terkait kode etik jurnalistik/KEWI. Kami harap
makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua baik selaku penyusun maupun
pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran sangat kami perlukan demi kesempurnaan makalah ini.

Indralaya, 05 juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................i

Daftar Isi............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................2
C. Tujuan ....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3

A. Kode Etik Jurnalistik..............................................................................................3


B. Penerapan Kode Etik Jurnalistik.............................................................................5
C. Hal-hal yang Tidak Boleh dalam Jurnalistik.........................................................14

BAB III PENUTUP.........................................................................................................19

A. Kesimpulan............................................................................................................19
B. Saran......................................................................................................................19

Daftar Pustaka.................................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Media massa saat ini menjadi kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari
aktivitas kita. Ketika bangun tidur kita menyempatkan diri membuka laman
situs di internet, menyalakan televisi untuk mengetahui apa yang sedang terjadi
di luar sana. Kurang puas, kita bahkan bersedia menyisihkan uang saku untuk
membeli surat kabar atau majalah. Hal tersebut semata-mata kita lakukan untuk
memenuhi kebutuhan kita akan informasi. Selain berfungsi sebagai sarana
informasi, media massa juga berfungsi sebagai sarana pendidik, kontrol sosial
dan juga pemberi suguhan hiburan. Hingga saat ini, keempat fungsi tersebut
yang paling dikenal oleh masyarakat dalam menuntun aktivitas sehari-hari
mereka.
Sayangnya, ketatnya persaingan antar lembaga media massa saat ini
membuat mereka sulit menjalankan fungsi tersebut dengan baik. Beberapa
lembaga media cenderung memprioritaskan satu fungsi diatas fungsi yang
lainnya. Menurut Mursito (2006), fungsi informasi pada media cetak,
khususnya surat kabar harian masih lebih menonjol di bandingkan pada media
televisi yang lebih menonjolkan fungsi hiburan. Akan tetapi di saat kebebasan
pers dan kepentingan ekonomi menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
baik media elektronik maupun cetak sepertinya mulai melupakan urgensi
masing-masing fungsi tersebut.
Ironisnya, lembaga media seakan kehilangan esensi idealisnya karena tidak
mampu menjalankan perannya secara profesional Ketidakmampuan tersebut
dapat dilihat dari pengemasan berita yang melanggar kode etik jurnalistik.
Masih hangatdalam ingatan kita ketika Yulianis, saksi mahkota atas kasus
korupsi yang menimpa sejumlah kader Demokrat, menghadiri wawancara
eksklusif di sebuah stasiun swasta pada Maret 2013 lalu. Dituduh
mencemarkan nama baik Edhy Baskoro Yudhoyono, wanita yang pernah
bekerja untuk Nazaruddin ini justru melemparkan kesalahan kepada wartawan.

3
Menurutnya, berita yang beredar di masyarakat telah dipelintir dan dikemas
sedemikian rupa sehingga membuat kesan seolah ia yakin dengan
pernyataannya.
Pengemasan berita, perpelintiran kalimat, persepsi sepihak seakan sudah
menjadi bumbu racik berita belakangan ini. Data yang diterbitkan oleh Dewan
Pers melalui situs dewanpers.or.id menyebutkan, selama periode tahun 2000
hingga 2011, telah diterima sebanyak 3.225 pengaduan oleh masyarakat terkait
kasus pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (www.dewanpers.or.id diterbitkan
pada Selasa 22 Mei 2012 dengan judul, “Tabel Pengaduan Masyarakat ke
Dewan Pers Tahun 2000-2011”).
Kondisi ini secara tidak langsung memberikan perasaan resah pada
masyarakat terkait obyektifitas berita yang disampaikan oleh awak media.
Dewan Pers merupakan organisasi independen yang menaruh perhatian pada
aktivitas lembaga pers. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan
“Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan
kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”. Dewan Pers
memiliki fungsi sebagai pelindung pers di Indonesia. Dalam upaya melindungi
pers di Indonesia, organisasi ini membuat seperangkat pedoman bagi kinerja
wartawan di lapangan yang disebut Kode Etik Jurnalistik (KEJ).Menurut
Sukardi (2012), seorang peneliti yang juga merupakan anggota Dewan Pers,
untuk skala nasional Kode Etik Jurnalistik yang berlaku adalah yang sesuai
dengan penjelasan pasal 7 ayat 2 Undang Undang No.40 tahun 1999 tentang
Pers yang berbunyi, “yang dimaksud dengan „Kode Etik Jurnalistik‟ adalah
kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan
Pers.” Oleh karenanya semua wartawan Indonesia wajib mengikuti pedoman
yang tertuang dalam
KEJ. Selain itu, dapat dikatakan loyalitas wartawan kepada KEJ dapat menjadi
tolak profesionalismenya saat meliput dan mengolah berita. Mursito
(2012)mengungkapkan, seorang jurnalis profesional adalah jurnalis yang
memiliki kompetensi di bidang jurnalisme—dalam kesadaran etik, penguasaan
pengetahuan dan keterampilan. Melihat pada paparan fenomena yang telah

4
dijabarkan diatas, peneliti merasa penting untuk membahas penerapan kode
etik jurnalistik (KEJ) dalam sebuah lembaga media.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kode Etik Jurnalistik?
2. Bagaimana Penerapan Kode Etik Jurnalistik?
3. Bagaimana hal-hal yang Tidak Boleh dalam Jurnalistik?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian kode etik jurnalistik.


2. Untuk mengetahui penerapan kode etik jurnalistik.
3. Untuk mengetahui hal-hal yang tidak boleh dalam jurnalistik.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kode Etik Jurnalistik

Kata “kode” berasal dari bahasa inggris “code” yang berarti kumpulan
atau himpunan ketentuan atau peraturan yang tertulis. Jadi kode etik
dapatdiartikan sebagai kumpulan tertulis tentang suatu etika. Secara singkat, Kode
Etik Jurnalistik (KEJ) dapat diartikan sebagai himpunan atau sekumpulan
mengenai etika dalam bidang jurnalistik yang dibuat oleh, dari, dan untuk
wartawan (jurnalis) itu sendiri dan berlaku hanya untuk kalangan para wartawan
(jurnalis). Dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan peranannya, pers menghormati
hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut untuk profesional dan terbuka
untuk dikontrol oleh masyarakat.

Kode etik jurnalistik yang berlaku di Indonesia telah ditetapkan dalam


Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006. Dewan pers dan
masyarakat pers telah bersepakat untuk merumuskan kode etik yang ringkas tetapi
komprehensif dalam mengatur norma-norma jurnalisme. Namun pada
kenyataannya, hingga saat ini masih banyak wartawan yang tidak sepenuhnya
memahami dan menguasai kode etik jurnalistik tersebut. Bukan hanya di kalangan
wartawan saja, melainkan juga pada penanggung redaksi. Maka tidak
mengherankan jika tingkat pelanggaran kode etik jurnalistik di Indonesia terbilang
tinggi. Seperti pada Tahun 2012-2013, dari rata-rata pengaduan tentang kode etik
jurnalistik yang ditangani oleh Dewan Pers selama setahu, sebanyak 80 persen
berakhir dengan kesimpulan telah terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik
oleh media massa atau oleh wartawan.3

Jika dikalangan pers saja masih banyak yang tidak menguasai dan
memahami kode etik jurnalistik, apalagi pada kalangan umum. Pemahaman
terhadap isi dan konteks dari kode etik jurnalistik sangat diperlukan oleh
wartawan dan pihak manapun yang berinteraksi dengan pers. Karena pemahaman
mengenai kode etik jurnalistik merupakan langkah pertama yang harus dilakukan

6
oleh setiap wartawan dan badan publik agar tidak dirugikan pers. Kode etik
jurnalistik secara umum mengatur dua hal, yaitu karya jurnalistik dan perilaku
jurnalistik. Karya jurnalistik berupa berita dalam berbagai bentuk seperti surat
kabar, tajuk rencana, artikel opini, resensi buku, dan resensi dalam bentuk lainnya.
Sedangkan perilaku jurnalistik mencakup sikap dan tindakan wartawan ketika
sedang menjalankan kegiatan jurnalistik.

Ketika berhubungan dengan sumber atau subjek berita, apakah wartawan


telah bersikap profesional kepada mereka? Apakah wartawan telah
memperlakukan mereka dengan layak? Dengan kata lain, yang memiliki potensi
terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik bukan hanya pada berita, namun juga
perilaku, tindakan, sikap wartawan ketika melakukan kegiatan jurnalistiknya.
Dengan demikian, Kode etik jurnalistik sesungguhnya mengatur dua subjek yang
berbeda, yaitu institusi media dan individu wartawan. Maka dibutuhkan kehati-
hatian dalam membaca dan memahami kode etik jurnalistik.

Ada kewajiban-kewajiban jurnalistik yang dibebankan kepada media


sebagai institusi dan ada yang harus dibebankan juga kepada wartawan sebagai
individu. Dalam menjalankan fungsi, kewajiban, dan peranannya pers
menghormati hak setiap orang, karena pers dituntut untuk terbuka dan profesional
untuk dikontrol dalam masyarakat. Kode Etik adalah prinsip yang keluar dari hati
nurani setiap profesi, sehingga dalam tindakannya, seorang yang memiliki profesi
tentu membutuhkan patokan etika dan moral di dalam profesinya.

Oleh karena itu, menjadi wajar jika wartawan diharapkan mematuhi kode

etik jurnalistik karena kode etik jurnalistik diandaikan sebagai pagar moral dalam

hal konkretisasi tanggung jawab etis dan integritas profesi wartawan. Kode etik
jurnalistik pada dasarnya adalah cerminan dari perilaku etis wartawan, yang
tergabung dalam suatu organisasi kewartawanan, dalam hal menjunjung tinggi
etos kebenaran sehubungan dengan kebebasan eksistensial dan tanggung jawab
etisnya.4

7
Alasan utama yang mendasari keberadaan kode etik adalah “untuk
menjamin standar tertinggi dalam perilaku, melindungi klien, dan berkontribusi

untuk kesejahteraan publik” (Rothman, 1984:187). Tidak ada kode etik universal

yang dapat merefleksikan kesepakatan total mengenai perilaku jurnalis . Mengapa

jurnalisme membutuhkan kode etik? Karena interaksi yang berlangsung dalam

aktivitas ini menyangkut banyak pihak lain. Ada tiga pihak yang esensial dalam

komunikasi massa, yaitu pemilik media dan para editornya, jurnalis dan
profesional media lainnya, dan publik sebagai penerima.

Kode etik jurnalistik dihasilkan dalam rangka mengatur perilaku moral


anggota suatu komunitas wartawan. Seperti halnya kode etik profesi lainnya, kode
etik jurnalistik dirumuskan secara tertulis oleh para anggota komunitas wartawan
berdasarkan cita-cita dan nilai-nilai yang hidup di kalangan para anggota
komunitas itu sendiri. Pada pertengahan tahun 1980-an, tokoh wartawan
Indonesia, H. Mahbub Junaidi, menegaskan bahwa tidak ada orang yang dapat
memerintah wartawan agar menyusun kode etik dan sekaligus menaatinya, selain
disusun dengan sukarela dan senang hati.5

Maka, begitu kebebasan pers tengah digunakan berarti pada saat yang
bersamaan wartawan harus sekaligus menghayati tanggung jawab etisnya ke
berbagai segi, diantaranya; (a) terhadap hati nuraninya sendiri; (b) terhadap
sesama warga negara yang juga memiliki kebebasan; (c) terhadap kepentingan
umum yang diwakili oleh pemerintah; dan (d) terhadap rekan seprofesinya. Untuk
profesi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yangdidirikan di
Surakarta pada 9 Februari 1946, memiliki Kode Etik Jurnalistik, yang pada
awalnya disusun pada Rapat Pemimpin Redaksi Surat Kabar di Jakarta, 1-2 Mei
1954.

Setelah itu beberapa kali mengalami perubahan dan penyempurnaan,


terakhir pada sidang Gabungan Pengurus Pusat PWI di Batam, Rabu, 2
Desember1994. Sejak 1Januari 1995, berlaku Kode Etik Jurnalistik PWI yang
telah disempurnakan. Kode Etik Jurnalistik ini secara garis besar menetapkan

8
prinsip yang wajib ditaati dan diterapkan, yang seluruhnya tercakup dalam bab-
bab mengenai kepribadian dan integritas wartawan, cara pemberitaan, sumber
berita, dan kekuatan Kode etik jurnalistik. Seiring dengan perkembangan zaman,
sejak diundangkannya Undang- Undang No. 40/1999 tentang Pers, organisasi
wartawan pun mengalami perkembangan. Pada undang-undang tersebut,
khususnya Bab III, Pasal 7, ayat (1), dikatakan, “Wartawan bebas memilih
organisasi wartawan”. Maka bermunculanlah berbagai organisasi wartawan plus
masing-masing kode etiknya. Kendatipun begitu ketika naskah ini disusun,

Dewan Pers baru saja menetapkan Kode Etik Wartawan Indonesi (KEWI)
yang telah disepakati oleh 26 organisasi wartawan pada agustus 1999 sebagai
kode etik jurnalistik yang bersifat nasional.Pada era reformasi, pasca berlakunya
kode etik jurnalistik tahun 2003 yang lahir berdasarkan hasil keputusan kongres
XXI PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah,
Dewan pers menetapkan kode etik jurnalistik yang berubah menjadi KEWI (Kode
Etik Wartawan Indonesia). KEWI lahir berdasarkan SK Dewan Pers No. 1/SK-
DP/2000 yang memuat 7 pasal dan penafsiran. KEWI ini hanya bertahan sampai
24 maret 2006. Selanjutnya melalui SK. No. 03/SK-DP/III/2006, Dewan Pers
mengganti KEWI menjadi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang memuat 11 pasal dan
penafsiran, yang berlaku sejak 24 maret 2006.6Pengesahan KEJ-DP yang baru
dinilai kalangan pers memiliki makna penting dalam perkembangan pers di
Indonesia.

Karena KEJ-DP merupakan produk asli Dewan Pers yang mendapat


pengakuan luas dan disetujui oleh sebagian besar asosiasi wartawan cetak dan
elektronik, Serikat Penerbit Pers (SPS), dan Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia
(ATVSI). Beberapa rumusan dan tafsiran KEJ memberikan dimensi baru untuk
dunia pers. Salah satunya Ikhwal menulis dan menyiarkan berita wartawan harus
memiliki iktikad baik atau sebaliknya tidak boleh beriktikad buruk.Secara
substansial pasal-pasal dalam KEJ-DP berdasarkan surat keputusan Dewan Pers
Nomor: 03/SK-DP/IIV2006 sebagai berikut:

a. Pasal 1

9
Wartawan Indonesia bersikap independen , menghasilkan berita

yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

b. Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam

melaksanakan tugas jurnalistik.

c. Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan

secara berimbang, tidak mencampuradukan fakta dan opini yang

menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

d. Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis,

dan cabul

e. Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas

korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang

menjadi pelaku kejahatan.

33

f. Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak

menerima suap.

g. Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi

narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun

keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi, latar

10
belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.

h. Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita

berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas

dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan

bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin,

sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.

i. Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang

kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

j. Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki

berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan

maaf kepada pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa.

34

k. Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara

proposional.7

B. Penerapan Kode Etik Jurnalistik

Masalah kode etik, sangat penting khususnya bagi pegiat profesi jurnalis
karena mereka bukan hanya dituntut untuk mengembangkan idealisme profesinya
melainkan juga efek media yang sangat besar bagi khalayak. Kode etik
merupakan hal yang penting dilakukan karena merupakan bagian dari
profesionalistas wartawan. Sikap profesionalitas wartawan terdiri dari duaunsur

11
yaitu hati nurani dan keterampilan. Hati nurani merujuk pada penjagaan dan
kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik dan pemeliharaan kewajiban moral.

Sedangkan keterampilan menyangkut pada kemampuan teknis para


jurnalis sesuai dengan bidang profesinya.Profesionalisme dan etika merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Peneliti menilai bahwa etika perlu
mendapatkan perhatian khusus karena etika merupakan salah satu bentuk kontrol
internal dalam media massa. Kontrol sosial inilah yang sangat mempengaruhi
wartawan dalam memperlakukan fakta secara profesional.Dalam menjalankan
tugasnya, para jurnalis dituntut untuk menaati dan menjalankan kode etik
jurnalistik sesuai dengan perintah undang-undang Pasal 7 ayat 2 Undang-undang
No. 40 Tahun 1999 tentang pers yang berbunyi, 7 Mahi M. Hikmat, Ibid., h.107-
110. 35“Wartawan memiliki dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik”. Serta
bertanggung jawab dengan didasari etika penyampaian informasi yang mengarah
kepada ketertiban dan perdamaian.

C. Tujuan Filsafat Umum

1. Filsafat Jalan Memperoleh Pengetahuan

Filsafat merupakan suatu ilmu yang dapat dipergunakan dalam berbagai


bidang kehidupan dan mampu menjawab semua persoalan yang tidak mungkin
ditangkap oleh panca indra. Sesuatu yang terjadi dalam dunia ini bagi filsuf dapat
dipikirkan secara mendalam dan rasional. Antara filsafat dengan ilmu
pengetahuan selalu berjalan beriringan karena keduanya tidak dapat dilepaskan
satu sama lainnya. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencari sebuah
kebenaran. Dalam sejarahnya, filsafat dan ilmu pengetahuan merupakan satu
ikatan, namun terjadi perpecahan dalam perkembangannya karena ilmu lebih
banyak mempengaruhi pemikiran manusia. Filsafat mendorong untuk
memposisikan keduanya secara tepat sesuai dengan ruang lingkup masing-masing.
Tanpa mengisolasikan keduanya untuk melihat hubungan filsafat dan ilmu dalam
memahami khazanah intelektual manusia. Dalam konteks kajian keilmuan,
hipotesis awal diperlukan untuk memperoleh pengetahuan tertentu agar layak dan

12
dapat diterima oleh orang lain. Ilmu merupakan penjelmaan dari transendensi
manusia melalui fungsi yang dimilikinya, seperti berbahasa, berimajinasi, dan
berfikir. Ilmu juga didefinisikan sebagai daya yang paling kuat dalam semua
spektrum kebudayaan. Ilmu akan membawa manusia menjadi makhluk unggul
dan bebas dari pemasungan.1

Ilmu itu adalah sekelompok pengetahuan yang sudah dianut secara luas dalam
berbagai ensiklopedia. Ilmu mengacu pada kelompok pengetahuan tentang alam
kodrat, baik bernyawa ataupun tidak. Tetapi ilmu yang benar harus meliputi
metode-metode dan sikap yang merupakan sarana dimana kumpulan pengetahuan
tersebut terbentuk. Suatu ilmu mencakup jenis aktivitas tertentu maupun hasil dari
aktivitas tersebut.

Secara filosofis, terdapat tiga landasan pengetahuan, yaitu ontologi,


epistemologi, dan aksiologi. Ontologi adalah analisis tentang objek material dari
ilmu pengetahuan yang berupa bendabenda empiris. Epistemologi merupakan
analisis tentang proses terbentuknya ilmu pengetahuan yang biasanya disebut
dengan metode ilmiah. Aksiologi merupakan analisis tentang penerapan hasil-
hasil dan nilai dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Bila merujuk pada filsafat zaman kalsik, kebijaksanaan diperoleh dengan cara
pencarian jalan hidup yang layak dan benar untuk dijalani. Sedangkan filsafat
modern mengunakan cara berfikir dengan argumen-argumen untuk menghasilkan
kesimpulan yang diingikan. Aktivitas rasional adalah aktivitas yang menggunakan
pikiran untuk berpikir yang berasal dari kebutuhan dan keingitahuan
intelektualnya. Rangkaian pemikiran itulah yang kemudian melahirkan ilmu.
Dasar ilmu pengetahuan yang terdapat dalam masyarakat terdapat pada usaha
yang terus menerus dilakukan untuk memahami dan menguasai dunia dengan
mengunakan pemikiran yang logis/rasional. Pemikiran rasional merupakan
sebuah kegiatan berpikir dengan cara optimal, yaitu dengan cara kristis, logis, dan
sistematis2
1
3 I Gusti Bagus Rai Utama, Filsafat Ilmu dan Logika, (Denpasar, Univ Dhyana Pura
Badung, 2013), hlm. 25
2
Irawan, Pengantar Singkat Ilmu Filsafat, (Bandung: Intelekia Pratama, 2008), hlm. 69.

13
Pengetahuan dalam arti sederhana merupakan semua keterangan atau ide
yang terdapat didalam pernyataan yang sudah disusun mengenai suatu peristiwa
atau gejala yang bersifat ilmiah. Fakta adalah pengetahuan yang merujuk kepada
sesuatu isi subtansi yang terdapat didalam ilmu itu sendiri. Sumber dari
pengetahuan adalah penelaahan. Termasuk ilham. 151 Menurut kriteria,
pengetahuan dapat dibagikan dalam beberapa golongan, sebagai contoh,
membedakan pengetahuan pada manusia menjadi dua hal, yaitu pengetahuan
tentang fakta-fakta dan pengetahuan tentang hubungan-hubungan diantara fakta
tersebut. Pengetahuan dibagi lagi kedalam dua jenis, yaitu pengetahuan empiris
murni yang merujuk pada adanya benda-benda yang diketahui oleh manusia dan
pengetahuan apriori murni yang merujuk pada hubungan antara hal umum. Ilmu
selalu berdasarkan pada faktafakta yang diamati dalam kegiatan ilmiah dan fakta
tersebut kemudian dihimpun dan dicatat menjadi data. Data merupakan semua
keterangan yang dipandang baik dan relevan bagi suatu penyelidikan dan
dihimpun berdasarkan persyarakatan yang telah ditentukan dengan rinci3

2. Filsafat Menguji Kebenaran

Kebenaran merupakan keadaan yang dianggap benar dan sesuai dengan nilai
esensialnya. Kebenaran bersifat subyektif, yaitu tergantung pada sudut pandang
masing-masing orang. Ada yang mengatakan bahwa sesuatu itu adalah kebenaran,
tetapi ada juga yang mengatakan bukan kebenaran yang semua itu. Kebenaran
akan ditentukan oleh bagunan berpikir yang dimiliki oleh setiap orang. Kebenaran
adalah kesesuaian antara objek dan pengetahuan atau dengan kata lain suatu
pendapat yang sesuai dengan orang lain dan tidak merugikan diri sendiri.
Kebenaran itu ada banyak jenisnya, bahkan pengkategoriannya pun bisa
4
bermacam-macam, tergantung siapa filsuf yang menentukan

Filsafat di zaman modern ini juga semakin banyak perannya dalam


masyarakat karena kemajuan sains dan teknologi yang telah mampu menjawab

3
Irawan,Ilmu Filsafat,(Bandung:Intelektia Pratama,2008) hlm. 75.
4
Dani Vardiansyah, Filsafat ilmu Komunikasi: Suatu pengantar, (Jakarta: Indeks, 2018),
hlm. 5.

14
banyak hal yang sebelumnya dianggap tidak mungkin dibuktikan, seperti asal usul
kehidupan, bintang-bintang, proses penciptaan semesta dan sebagainya.
Sementara filsafat spritualisme telah dijawab oleh kebenaran agama. Teori-teori
kebenaran menurut filsafat yaitu:

1. Teori Korespondensi

Persoalan kebenaran menurut teori ini adalah hanya pada perbandingan


antara objek (informasi, pendapat, fakta, dan peristiwa) dengan apa yang
didapatkan oleh subjek (ide dan kesan). Apabila subjek yang dihayati sesuai
dengan kenyataan atau realita , maka sesuatu itu dapat dikatakan sebuah
kebenaran. Dalam teori ini juga diterangkan bahwa kebenaran dapat dibuktikan
apabila terdapat kesamaan arti dari suatu pernyataan dengan kenyataan
sebenarnya. Sesuai objek yang sudah ditentukan. Kebenaran merupakan
kesamaan pernyataan dengan keadaan sebenarnya yang serasi dengan situasi
aktual. Terdapat lima unsur untuk diketahui bersama, yaitu:

a. Pernyataan,
b. kesesuaian,
c. situasi,
d. kenyataan, dan
e. putusan.

Kebenaran merupakan kesesuaian anatara pikiran dengan realitas. Teori ini


dianut oleh aliran realis yang dipelopori oleh Plato, Aristoteles, dan Moore.
Kemudian dikembangkan lagi oleh Ibnu Sina (Islam), Thomas Aquinas
(Kristen), serta Berrand Russel pada abad modern. Korespondensi
menngajarkan hubungan antara kenyataan terhadap peristiwa yang terjadi5

2. Teori Konsistensi

Teori konsistensi adalah suatu usaha penguji atas arti kebenaran dan hasil
uji tersebut dianggap relible jika kesannya berturut-turut dari satu penguji
5
7 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan, (Surabaya: Pustaka Intelektual, 2006), hlm. 61.

15
dengan penguji lainnya bersifat konsisten dengan hasil uji. Dalam penelitian
pendidikan, teori ini sering dipandang sebagai teori yang ilmiah dan tidak
bertentangan dengan teori korespondensi sebelumnya. Malahan keduanya
saling melengkapi satu sama lain. Teori konsistensi ini merupakan pendalaman
serta lanjutan dari teori korespondensi.

Contoh rumusan kebenaran adalah jika A adalah B dan B adalah C, maka


A adalah C. Jadi logika matematika yang deduktif ini menggunakan teori
korehensi yang menjelaskan bahwa apabila premispremisnya benar, maka
kesimpulannya juga benar. Sejak zaman pra Socrates teori ini sudah digunakan
oleh aliran metafisika rasional dan idealis. Apabila suatu kebenaran dapat
dibuktikan kebenarannya dan tahan uji, maka dianggap benar dan apabila
bertentangan dengan temuan yang baru dan benar, maka akan gugur atau batal
dengan sendirinya6

3. Teori Religius Kebenaran

Ialah suatu subjek mengenai kenyataan dan perbandingannya dengan


kesan dari realitas objek. Apabila keduanya sama dan sesuai, maka dianggap
benar, tetapi kebenaran ini tidak hanya diukur melalui akal saja, melainkan
harus berguna dan bermanfaat bagi seluruh manusia dan bersifat objektif. Nilai
kebenaran yang absolut yang berasal dari Tuhan sangatlah objektif dan bersifat
superrasional. Kaum agamais menganggap bahwa kebenaran Ilahi sebagai
kebenaran tertinggi. Sedangkan kebenaran melalui pancaindra, ilmiah, dan
filosofis berada dibawah kebenaran ini. Sesuatu dianggap benar apabila sesuai
dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama
dengan kitab suci dan hadist dapat memberikan jawaban atas segala persoalan
manusia dalam kehidupan ini.7

3. Titik Temu Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

6
Irmayanti M. Budianto, Realitas dan Objektivitas, (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra,2005), hlm. 40.
7
0 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1995), hlm. 20

16
Filsafat dengan ilmu pengatahuan (sains) mempunyai hubungan yang sangat
penting. Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang menguji segala sesuatu
dengan mencari sebab-sebab secara mendalam berdasarkan kekuatan rasional dari
manusia. Filsafat juga dapat disebutkan sebagai metode mencari hakikat dari
segala sesuatu secara radikal. Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan kumpulan
pengetahuan tentang sesuatu hal yang merupakan satu kesatuan yang sistematis,
menjelaskan, utuh, dan bisa dipertanggung jawabkan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Menurut bahasa, Filsafat (bila merujuk pada bahasa Arab disebut falsafah,
sedangkan pada bahasa Inggris disebut philosophy) bersumber dari bahasa
Yunani. Adapun kata ini terdiri dari dua kata yaitu ‘philein’ yang
bermakna cinta (love) dan ‘sophia’ yang memiliki arti kebijaksanaan
(wisdom). Jadi, secara etimologi, filsafat dapat didefenisikan sebagai cinta
kebijaksanaan dalam arti yang mendalam. Sorang filsuf (philosopher)
adalah pecinta, pendamba dan pencari kebijaksanaan (kebenaran).8
2. Ruang lingkup filsafat adalah sebagai berikut:
a. Metafisika
b. Ontologi
c. Epistologi
d. Aksiologi

3. Tujuan filsafat adalah sebagai berikut:

a. Filsafat jalan memperoleh pengetahuan

8
Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum, (Medan: Perdana Publishing, 2015), hlm. 5.

17
b. Filsafat menguji kebenaran
c. Titik temu filsafat dan ilmu pengetahuan

B. Saran

Demikian makalah yang dapat kami susun. Apabila ada kesalahan dan
kekhilafan kami memohon maaf yang sebesar-besarnya, kepada yang
terhormat dosen pengampu dan rekan-rekan sekalian kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar kedepan bisa lebih baik lagi, sekian

DAFTAR PUSTAKA

Aceng Rahmat. (2011) Filsafat Ilmu Lanjutan Jakarta, Prenada Media Grup

Ahmad Tafsir.(2001) .Filsafat Umum Bandung : Rosdakarya

Amsal Bakhtiar. (2012) Filsafat Ilmu Depok : Rajagrafindo Persada

Dani Vardiansyah, (2018 ) Filsafat ilmu Komunikas Jakartai: Suatu pengantar


Indeks

I Gusti Bagus Rai Utama (2013) Filsafat Ilmu dan Logika. Denpasar, Univ
Dhyana Pura Bandung

Irmayanti M. Budianto (2005) Realitas dan Objektivitas, Jakarta: Wedatama


Widya Sastra.

Irawan .(2008) Ilmu Filsafat Bandung, Intelektia Pratama

Irawan. (2008) Pengantar Singkat Ilmu Filsafat Intelekia Pratama,Bandung.

Jujun S. Suriasumantri,(1995) Filsafat Ilmu,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Lasiyo dan Yuwono. (1985) Pengantar Ilmu Filsafat Cet.I Yogyakarta: Liberty

Lubhis, Fadhil. (2015). Pengantar Filsafat Umum. Medan. Perdana Publishing

18
Mohammad Adi.(2006) Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu Pengetahuan,Surabaya: Pustaka Intelektual

Mohammad Adib. (2006) Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan


Logika Ilmu Pengetahuan ,Surabaya: Pustaka Intelektual..

Muhammad muslih.(2004) Filsafat Ilmu,Yogyakarta: Belukar

Muhammad muslim. (2004) Filsafat Ilmu,Yogyakarta: Belukar.

Muzairi, (2009). Filsafat Umum .Yogyakarta

Paul Edwards (1972) The Encylopedia Of Philosophy New York : Milan


Publishing

19
.

20

Anda mungkin juga menyukai