Anda di halaman 1dari 20

PENEGAKAN KODE ETIK JURNALISTIK DI KALANGAN WARTAWAN PWI

KABUPATEN TANGERANG

(Studi di PWI Kabupaten Tangerang)

PROPOSAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Penyiaran Islam (S.Sos)

Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam

Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten

Oleh :

MUHAMAD ADE FIRDIANSYAH

NIM : 143300553

FAKULTAS DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pengelolaan pers di tanah air, sesungguhnya ada aturan main yang menjadi

acuan bagi setiap wartawan yaitu melalui kode etik jurnalistik. Pedoman yang dimuat

dalam kode etik jurnalistik secara umum adalah memberi arahan kepada wartawan agar

senantiasa memperhatikan nilai-nilai etika dalam menjalankan profesi kewartawanan.

Dalam menulis berita misalnya, wartawan dituntut harus menulis berita yang jujur,

objektif dan didukung oleh fakta yang kuat. Dengan demikian, diharapkan jangan sampai

wartawan menulis berita bohong atau fitnah yang bisa berakibat fatal bagi pihak

yangdiberitakan.1

Untuk pertama kalinya tercatat bahwa kode etik jurnalistik dirumuskan pada masa

revolusi tahun 1947, yaitu pada konferensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di

Malang, Jawa Timur. Pada pertemuan tersebut, perumusan kode etik jurnalistik dibilang

belum sempura. Selanjutnya, kode etik yang masih kurang sempurna itu diperbaharui lagi

di Jakarta pada tahun 1950-an. Langkah perbaikan tersebut secara bertahap membuat

kode etik semakin baik dan berkualitas. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah

disempurnakan tersebut mulai dinyatakan berlaku secara resmi semenjak tanggal 1

Januari1995.

Pada dasarnya dunia pers sejak dari pers itu lahir sampai sekarang, telah menuntut

kompetensi tertentu bagi wartawan. Seorang wartawan dituntut untuk menjadi wartawan

yang profesional dalam menjalankan tugasnya.

Kebebasan pers ternyata tidak selalu berdampak positif pada masyarakat. Di satu

1
Hamdan Daulay, Jurnalistik dan kebebasan pers, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), h.29.
sisi memang ada dampak positif yang dirasakan dengan adanya kebebasan pers tersebut.

Ini bisa dilihat dengan adanya kebebasan bagi pers untuk menjalankan fungsi pers yaitu

sebagai media informasi, media hiburan, dan media kontrol sosial. Namun, di sisi lain,

dirasakan oleh masyarakat ada dampak negatif dari kebebasan pers tersebut. Ketika pers

memaknai kebebasan secara berlebihan, membuat pemberitaan tidak terkontrol lagi,

sehingga berita bohong dan fitnah dianggap sebagai hal biasa.

Mochtar Lubis, menjelaskan bahwa kata kunci dari tugas luhur wartawan adalah

pada aspek kejujuran. Wartawan harus senantiasa memegang prinsip kejujuran dalam

menjalankan profesinya. Karena tugas wartawan dalam rangka ikut serta mencerdaskan

kehidupan bangsa, harus didukung oleh nilai kejujuran. Sekali wartawan menulis berita

bohong, maka akan terjadilah penyesatan dan pembodohan yang luar biasa bagi

masyarakat pembaca.2

Kewajiban yang diemban oleh wartawan melahirkan tanggung jawab yang harus

mereka pikul. Akar dari tanggung jawab ini terutama berasal dari kenyataan bahwa kita

ini selain sebagai individu juga menjadi anggota masyarakat, yang dengan keputusan dan

tindakan kita, dapat mempengaruhi orang lain. Semakin besar kekuasaan atau

kemampuan kita mempengaruhi orang lain, semakin berat pula kewajiban dan moral kita.

Maka dari itu, untuk meningkatkan kualitas wartawan dan pers pada umumnya,

disusunlah kode etik jurnalistik bagi insan pers. Ini diharapkan bisa menajdi acuan dan

pedoman bagi wartawan dalam menjalankan tugasnya. Dalam setiap pembahasan tentang

kode etik akan selalu diawali dengan pemahama atas etika. Untuk menjamim akurasi dan

objektivitas dari setiap fakta yang disajikan memerlukan buku panduan etika sebagai

jalan untuk mewujudkan seorang jurnalis yang profesional.wartawan wajib menjalin

hubungan yang baik dengan narasumber atau sumber berita.3

2
Hamdan Daulay, Jurnalistik dan kebebasan pers….., h.37-38
3
Luwi ishwara, Jurnalisme Dasar, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2011). h. 28.
Pers menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers adalah

lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik

meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan

grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media

elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Pers dalam arti sempit pada umumnya

diartikan surat kabar, majalah, buku-buku, dan buletin-buletin kantor berita atau pada

prinsipnya media massa yang tercetak.4

Pers Indonesia harus memiliki komitmen yang kuat pada nilai kejujuran dalam

menjalankan kebebasan pers tersebut. Pers yang berkualitas justru ada pada aspek

kejujuran dan kekritisan dalam menyajikan berita pers di Indonesia harus menghindari

tindakan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Sesuai dengan idealismenya

pers harus bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau pers terjebak dengan pemberitaan

bohong dan fitnah, maka dengan sendirinya pers sudah ikut andil untuk membodohi

masyarakat.

Idealnya pers dituntut agar objektif dan tidak berpihak dalam pemberitaan.

Dengan demikian pers tidak boleh terpengaruh pada politik tertentu sehingga berita yang

disajikan bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.5

Media massa sesungguhnya adalah media informasi yang bersikap netral di

tengah masyarakat. Media massa menyampaikan informasi dengan didukung fakta yang

kuat sehingga diharapkan tidak ada keberpihakan di dalamnya. Namun demikian, media

massa tidak selalu objektif dalam menjalankan fungsinya. Terkadang media massa terlalu

berorientasi bisnis, sehingga perhitungan yang dipakai adalah keuntungan materi semata.

Ketika mempublikasikan berita dan foto misalnya, nilai-nilai etika kurang diperhatikan,

4
Agung Rahmanto, Kebebasan Pers, (Klaten: Penerbit cempaka putih, 2018), h.8.
5
Hamdan Daulay, Jurnalistik dan kebebasan pers….., h.140-142
yang penting secara materi media tersebut bisa memperoleh keuntungan.

Oleh karena itu berpegang teguh pada kode etik jurnalistik adalah wajib

hukumnya bagi wartawan. Tanpa kode etik sebagai acauan atau norma-norma penuntun,

bukan tidak mungkin akan menjadi praktik jurnalisme anarkis. Sebab, kode etik

merupakan rambu-rambu tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tentang apa yang

seharusnya tidak dilakukan wartawan dalam menjalankan profesinya. Jika kode etik tidak

dijadikan acuan utama, justru bisa terjadinya distorsi kemerdekaan pers atau terjadinya

penyalahgunaan profesi sehingga kebebasan pers yang kita cita-citakan bersama akan

kembali terkubur.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mengangkat judul “Penegakan Kode

EtikJurnalistik di Kalangan Wartawan PWI Kabupaten Tangerang”.

B. RumusanMasalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penegakan kode etik jurnalistik di kalangan wartawan PWI

Kabupaten Tangerang?

2. Apa saja sanksi yang diterima oleh Wartawan PWI Kabupaten Tangerang yang

melanggar Kode etik Jurnalistik?

C. TujuanPenelitian

Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui penegakan kode etik jurnalistik di kalangan wartawan PWI

KabupatenTangerang.

2. Untuk mengetahui sanksi yang diterima oleh Wartawan PWI Kabupaten

Tangerang yang melanggar kode etikjurnalistik.

D. ManfaatPenelitian
Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut :

1. Secara teoritis penelitian ini menjadi pedoman dan berguna bagi wartawan

agar terhindar dari penulisan berita-berita yang melanggar kode etikjurnalistik.

2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi peneliti-peneliti sselanjutnyaa, dan

mahasiswa yang ingin mendalami ilmu jurnalistik, terutama mahasiswa

Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sultan Maulana HasanudinBanten.

E. KerangkaPemikiran

Wartawan dinilai sebagai sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi, ia terikat kepada

kode etik dan kriteria. Kode etik dimaksudkan sebagai norma yang mengikat pekerjaan

yang ditekuninya, sedangkan kriteria dimaksudkan sebagai alat seleksi karena tidak setiap

orang dapat dengan bebas memasuki lingkaran sesuatu profesi. Bagi para jurnalis

Indonesia. Sampai sekarang masih diberlakukan apa yang disebut “Kode Etik

Jurnalistik”.6

Kode etik jurnalistik merupakan suatu hal yang dijadikan sebagai sebuah landasan

pers dalam melakukan atau menjalankan tugasnya. Landasan-landasan tersebut disebut

sebagai aturan main (rules of the games) untuk pers, yaitu terdiri dari enam landasan,

pertama adalah landasan idiil yaitu Pancasila, landasan kedua adalah landasan

konstitusional yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), landasan ketiga adalah

landasan yuridis yaitu Undang-Undang Pokok Pers, landasan keempat adalah landasan

strategis yaitu Garis Besar Haluan Negara (GBHN), landasan kelima adalah landasan

professional yaitu Kode Etik Jurnalistik, dan landasan keenam yang juga merupakan

landasan terakhir adalah landasan etis yaitu tata nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Selain diabatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40

Asep Saeful Muhtadi, M.A., Jurnalistik; Pendekatan Teori Dan Praktik, (Jakarta: PT. Logos
6

Wacana Ilmu, 1999), h. 34


Tahun 1999, wartawan sebagai salah satu pelaku kegiatan pers juga harus berpegang

kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan-wartawa tersebut

bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan

informasi.

Dalam kode etik jurnalistik terdapat prinsip-prinsip dasar umumnya bersifat sama,

diantaranya, prinsip pertama adalah kebenaran, prinsip kedua adalah akurasi , prinsip

ketiga dalah independensi, prinsip keempat adalah objektivitas (balance), prinsip kelima

adalah fairness, prinsip keenam adalah imparsialitas, prinsip ketujuh adalah

menghormati privasi, prinsip kedelapan adalah akuntabilitas kepada publik, dan prinsio

yang terakhir adalah meminimalisir kerusakan.

Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers No 03 / SK-DP / III / 2006 tentang

Kode Etik Jurnalistik, terdapat pasal-pasal di dalamnya, pasal-pasal tersebut adalah:

a. Pasal 1 ; Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang

akurat, berimbang, dan tidak beritikadburuk.

b. Pasal 2 : Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam

melaksanakan tugasjurnalistik.

c. Pasal 4 : Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan

cabul.

d. Pasal 5 : Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas

korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi

pelakukejahatan

e. Pasal 6 : Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak

menerimasuap.

f. Pasal 7 : Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber

yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai


ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai

dengankesepakatan.

g. Pasal 8 : Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan

prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras,

warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat

orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

h. Pasal 9 : Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan

pribadinya, kecuali untuk kepentinganpublik.

i. Pasal 10 : Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki

berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada

pembaca, pendengar, dan ataupemirsa.

j. Pasal 11 : Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara

proporsional.7

F. Kajian Penelitian Terdahulu

1. Skripsi berjudul “Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam Pemberitaan Kasus


Kekerasan Seksual terhadap Anak”. Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode
Etik Jurnalistik dalam Pemberitaan Kasus Kekerasan Sesual terhadap Anak oleh
Emon pada Detik.com dan Merdeka.com periode Mei 2014 ditulis oleh Ruth
Sondang Parsaulian Rajagukguk program studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Imu Politik Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2015. Persamaan pada
penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah subjek penelitian
menggunakan kode etik jurnalistik. Perbedaannya adalah penulis membahas
tentang penegakan Kode Etik Jurnalistik berikut contoh dan sanksi yang
diterima wartawan PWI Kabupaten Tangerang yang melanggar Kode Etik
Jurnalistik.

7
Marsilea wahyu, Kode Etik Jurnalistik, diakses dari https://medium.com/@marsileaaa/kode-
etik-jurnalistik-b2467608f857, pada tanggal 29 April 2020 pukul 21.09.
2. Skripsi berjudul “Tingkat Pengetahuan dan Pemahaman Wartawan terhadap
Kode Etik Jurnalistik Wartawan Makassar”. Analisis isi Kualitatif Tingkat
Pengetahuan dan Pemahaman Wartawan terhadap Kode Etik
JurnalistikWartawan Makassar ditulis oleh Harmin Hatta program studi
Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Persamaan pada penelitian
tersebut dengan penelitian penulis adalah sama-sama membahas Kode Etik
Jurnalistik terhadap wartawan. Perbedaannya adalah penulis membahas tentang
penegakan Kode Etik Jurnalistik berikut contoh dan sanksi yang diterima
wartawan PWI Kabupaten Tangerang yang melanggar Kode Etik Jurnalistik.
3. Skripsi berjudul “Penerapan Kode Etik Jurnalistik PWI oleh wartawan
infotainment Cek & Ricek. Kesimpulan dari skripsi ini adalah membaha
mengenai penerapan kode etik jurnalistik Pasal 9 oleh wartawan infotainment
Cek & Ricek serta sanksi yang melanggar Kode Etik. Persamaan pada penelitian
tersebut dengan penelitian penulis adalah sama-sama membahas Kode Etik
Jurnalistik terhadap wartawan. Sedangkan perbedaannya adalah penulis
menitikberatkan pembahasan pada penegakan Kode Etik Jurnalistik berikut
contoh dan sanksi yang diterima wartawan PWI Kabupaten Tangerang yang
melanggar Kode Etik Jurnalistik.

G. MetodologiPenelitian

Dalam melaksanakan penelitian skripsi ini, penulis melakukan langkah-langkah

sebagai berikut :

1. Jenispenelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitaif.

Penelitian kualitatif yaitu suatu prosedur penelitian yang menggunakan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati. Kualitatif

berarti sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat

dibalik fakta.8

8
Muh.Fitrah, M.pd dan Dr. Luthfiyah, M.Ag, Metode Penelitian : Penelitian Kualitatif,
Tindakan Kelas, Dan Studi Kasus, (Sukabumi : CV. Jejak, 2017), h.44.
2. LokasiPenelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kantor PWI Kabupaten Tangerang yang berlokasi

di Kel. Kadu Agung, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, ProvinsiBanten.

3. Teknik PengumpulanData

Untuk mencari dan mengumpulkan data, penulis mengumpulkam data yang

diambil dengan cara penelitian lapangan, yaitu peneliti datang langsung ke Sekretariat

PWI Kabupaten Tangerang. Mengadakan penelitian untuk memperoleh data yang akurat

atau data yangdiperlukan.

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis

menempuh beberapa tekhnik. Diantaranya:

a. Teknikwawancara

Metode wawancara sering digunakan untuk mendapatkan informasi dari orang atau

masyarakat dalam perjalanan hidupnya seseorang dapat memperoleh informasi

melalui berbagai bentuk interaksi dengan orang lainnya. Setiap interaksi orang-per-

orang di antara dua orang atau lebih individu dengan tujuan yang spesifik dalam

pikiranya disebut sebagai wawancara.9

Adapun wawancara dilakukan terhadap Ketua PWI Kabupaten Tangerang, Sekretaris

PWI Kabupaten Tangerang dan 3 anggota PWI Kabupaten Tangerang.

b. Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan salah satu bentuk pengumpulan data primer.

Observasi merupakan suatu cara yang sangat bermanfaat, sistematik, dan selektif

dalam mengamati dan mendengarkan interaksi atau fenomena yang terjadi. 10 Dalam

hal ini peneliti langsung terjun kepada objek yang dituju untuk memperkuat

9
Restu Kartiko Widi, Menggelorakan Penelitian; Pengenalan dan Penuntun Pelaksana
Penelitian, (Yogyakarta, Penerbit Depublish, 2018 ), h. 245
10
Restu Kartiko Widi, Menggelorakan Penelitian; Pengenalan dan Penuntun Pelaksana
Penelitian,……,h.244
penelitian.

H. SistematikaPembahasan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan kongkrit. Penulis mencoba

menyajikan uraian-uraian pembahasan dengan sistematika yang dapat memudahkan

dalam penerimaan dan pemahaman mengenai materi yang akan disajikan, dengan

rincian:

BAB I Pendahuluan. Penulis memaparkan Pendahuluan, yang meliputi :

Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Kerangka Pemikiran, Kajian penelitian terdahulu, Metode Penelitian, Sistematika

Pembahasan.

BAB II Objek Penelitian, yang meliputi : Profil Kabupaten Tangerang,

Sejarah singkat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Visi dan Misi, Struktur

Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Tangerang dan

Program Kerja Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Tangerang.

BAB III Landasan Teoritis, Meliputi : Pers, Jurnalistik, Kode Etik

Jurnalistik dan Wartawan.

BAB IV Pembahasan : Penulis menguraikan Penegakan Kode Etik

Jurnalistik Dikalangan Wartawan PWI Kabupaten Tangerang. Meliputi: Bagaimana

Penegakan Kode Etik Jurnalistik dikalangan Wartawan PWI Kabupaten Tangerang,

dan bentuk pelanggaran serta sanksi yang diterima oleh Wartawan PWI Kabupaten

Tangerang apabila melanggar Kode Etik Jurnalistik.

BAB V. merupakan Bab penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.


BAB II
GAMBARAN OBJEK PENELITIAN

A. Profil Kabupaten Tangerang


1. Sejarah Kabupaten
Tangerang Pada tanggal 29 April 1943 dibentuklah beberapa
organisasi militer, diantaranya yang terpenting ialah Keibodan (barisan
bantu polisi) dan Seinendan (barisan pemuda). Disusul pemindahan
kedudukan Pemerintahan Jakarta ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M.
Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah
Gubernur Djawa Madoera.
Seiring dengan status daerah Tangerang ditingkatkan menjadi
Daerah Kabupaten, maka daerah Kabupaten Jakarta menjadi Daerah
Khusus Ibu Kota. Di wilayah Pulau Jawa pengelolaan pemerintahan
didasarkan pada Undang-undang nomor 1 tahun 1942 yang dikeluarkan
setelah Jepang berkuasa. Undang-undang ini menjadi landasan
pelaksanaan tata Negara yang azas pemerintahannya militer. Panglima
Tentara Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, diserahi tugas untuk
membentuk pemerintahan militer di Jawa, yang kemudian diangkat
sebagai gunseibu. Seiring dengan hal itu, pada bulan Agustus 1942
dikeluarkan Undang-undang nomor 27 dan 28 yang mengakhiri
keberadaan gunseibu.
Berdasarkan Undang-undang nomor 27, struktur pemerintahan
militer di Jawa dan Madura terdiri atas Gunsyreikan (pemerintahan
pusat) yang membawahi Syucokan (residen) dan dua Kotico (kepala
daerah istimewa). Syucokan membawahi Syico (walikota) dan Kenco
(bupati).
Secara hirarkis, pejabat di bawah Kenco adalah Gunco (wedana),
Sonco (camat) dan Kuco (kepala desa). Pada tanggal 8 Desember 1942
bertepatan dengan peringatan Hari Pembangunan Asia Raya, pemerintah
Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta. Pada akhir 1943,
jumlah kabupaten di Jawa Barat mengalami perubahan, dari 18 menjadi
19 kabupaten. Hal ini disebabkan, pemerintah Jepang telah mengubah
status Tangerang dari kewedanaan menjadi kabupaten. Perubahan status
ini didasarkan pada dua hal; pertama, kota Jakarta ditetapkan sebagai
Tokubetsusi (kota praja), dan kedua, pemerintah Kabupaten Jakarta
dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang wilayahnya luas. Atas
dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9
November 1943 yang isinya: ”Menoeroet kepoetoesan Gunseikan tanggal
9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834 tentang
pemindahan Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka
dipermakloemkan seperti di bawah ini: Pasal 1: Tangerang Ken Yakusyo
bertempat di Kota Tangerang, Tangerang Son, Tangerang Gun,
Tangerang Ken. Pasal 2: Nama Djakarta Ken diganti menjadi Tangerang
Ken. Atoeran tambahan Oendang-Oendang ini dimulai diberlakukan
tanggal27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta, tanggal 27
boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta Syuutyookan. Sejalan
dengan keluarnya surat keputusan tersebut, Atik Soeardi yang menjabat
sebagai pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat, Raden Pandu
Suradiningrat, diangkat menjadi Bupati Tangerang (1943-1944). Semasa
Bupati Kabupaten Tangerang dijabat, H. Tadjus Sobirin (1983-1988 dan
1988- 1993) bersama DPRD Kabupaten Tangerang pada masa itu,
menetapkan hari jadi Kabupaten Tangerang tanggal 27 Desember 1943
(Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 1984 tanggal 25 Oktober 1984).
Seiring dengan pemekaran wilayah dengan terbentuknya
pemerintah Kota Tangerang tanggal 27 Februari 1993 berdasarkan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993, maka pusat pemerintahan
Kabupaten Tangerang pindah ke Tigaraksa. Pemindahan ibukota ke
Tigaraksa dinilai strategis, karena menggugah kembali cita-cita dan
semangat para pendiri untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan
masyarakat yang bebas dari belenggu penjajahan (kemiskinan,
kebodohan dan ketertinggalan) menuju masyarakat yang mandiri, maju
dan sejahtera.
2. Letak Geografis
Secara geografis, letak Kabupaten Tangerang yang merupakan
bagian dari wilayah administratif Provinsi Banten yang berada antara 6 '0
– 6 '20 Lintang Selatan dan 106 '20- 106 '43 Bujur Timur. Kabupaten
Tangerang memiliki wilayah yang cukup luas, terdiri dari 29 kecamatan,
28 kelurahan dan 246 desa dengan luas mencapai 95.961 Ha atau 959,61
km². Wilayah administrasi Kabupaten Tangerang sendiri berbatasan
dengan beberapa Kabupaten/Kota dan bentangan laut yang ada
disekitarnya, yaitu:
a) Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa
b) Sebelah timur berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Kota
Tangerang dan DKI Jakarta.
c) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor
d) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Serang dan Kabupaten
Lebak.
Jarak antara Kabupaten Tangerang dengan DKI Jakarta hanya
sekitar 30 kilometer, yang bisa ditempuh dengan waktu kurang lebih satu
jam. Kedua wilayah 17 tersebut (Tangerang dan DKI Jakarta),
dihubungkan dengan jalur lalu lintas darat bebas hambatan, yaitu Jalan
Tol Jakarta – Merak yang merupakan jalur utama lalu lintas
perekonomian antara Pulau Jawa dan Sumatera.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kecamatan dengan


luas wilayah terbesar adalah Kecamatan Rajeg seluas 53,7 Km² atau
5,6% dari luas wilayah Kabupaten Tangerang, sedangkan wilayah
terkecil adalah Kecamatan Sepatan dengan luas hanya 17,32 Km² atau
1,8%.

3. Sosial Budaya
Masyarakat Kabupaten Tangerang memiliki kultur budaya
campuran Betawi dan Priangan. Masyarakat Kabupaten Tangerang
berbahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Sunda sebagai
bahasa daerah. Ada juga bahasa Jawa yang merupakan bahasa pendatang
dari luar Kabupaten Tangerang yang umumnya para pekerja di kawasan
industri Kabupaten Tangerang. Sampai dengan tahun 2002, dari 651.254
KK yang ada di Kabupaten Tangerang, mereka yang dikategorikan
sebagai penduduk pra sejahtera sebanyak 105.245 KK, sejahtera I
sebanyak 156.953 KK, sejahtera II sebanyak 206.040 KK, sejahtera III
sebanyak 130.356 KK dan sejahtera III Plus sebanyak 52.660 KK.
Masyarakat Kabupaten Tangerang termasuk masyarakat yang
dinamis dan gemar akan kesenian. Karakter kesenian yang ada di
Kabupaten Tangerang adalah perpaduan antara seni budaya Betawi dan
Priangan. Beberapa kesenian yang berkembang sampai saat ini adalah
Seni Musik Gambang Keromong dan Tari Cokek yang merupakan tarian
pergaulan yang banyak berkembang di kawasan Teluknaga dan Kosambi.

4. Potensi Wisata
Kabupaten Tangerang memiliki beragam tempat wisata,
diantaranya wisata pantai dadap yang terletak di teluknaga sekaligus
berbatasan langsung dengan Ibu Kota Jakarta, pantai pulau cangkir yang
terletak di Kecamatan Kronjo terdapat tempat penziarahan atau makam
keramat pangeran jaga lautan. Para wisatawan selain hendak menikmati
alam pantai juga berziarah ke makam tersebut, pantai tanjung kait
terletak di Kecamatan Mauk juga banyak dikunjungi wisatawan dari
berbagai daerah, dan pantai tanjung pasir yang menyediakan resort dan
tempat pemancingan alam. Selain itu, Kabupaten Tangerang juga
terkenal dengan tempat wisata rekreasi dan belanja di Citra Raya
Kecamatan Cikupa. Para wisatawan dapat menemukan berbagai tempat
perbelanjaan di kawasan Citra Raya Kecamatan Cikupa.

Pengembangan pariwisata di Kabupaten Tangerang khususnya


untuk wisata alam dan wisata budaya belum dikelola secara Profesional
dengan skala usaha industri kepariwisataan. Kabupaten Tangerang
memiliki garis pantai sepanjang 51 km merupakan peluang bagi para
investor yang bergerak dibidang kepariwisataan dan pengembangan
industri.11

B. Sejarah Persatuan Wartawan Indonesia


Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) merupakan salah satu
organisasi wartawan yang ada di Indonesia. PWI pada dasarnya adalah
merupakan wadah atau tempat yang menghimpun para wartawan dan sebagai
wadah persatuan dan advokasi pers nasional. PWI juga merupakan organisasi
wartawan Indonesia yangindependen dan profesional tanpa memandang baik
suku, agama, dan golongan maupun keanggotaan organisasi
kemasyarakatan.Aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia
memperoleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional dengan
terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Kelahiran PWI ditengah kancah perjuangan mempertahankan
Republik Indonesia dari ancaman kembalinya penjajahan, melambangkan
kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat
patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan serta integritas bangsa
dan negara. Bahkan dengan lahirnya PWI, wartawan Indonesia menjadi
semakin teguh dalam menampilkan dirinya sebagai ujung tombak perjuangan
nasional menentang kembalinya kolonialisme dan dalam menggagalkan
negara-negara boneka yang hendak meruntuhkan Republik Indonesia.Setelah
PWI Pusat terbentuk, kondisi Republik Indonesia bergejolak, karena
masuknya kembali Belanda dengan membonceng tentara sekutu. Berbagai
aksi perlawanan terhadap sekutu. Berbagai aksi perlawanan terhadap Sekutu
pun terjadi. Tidak terkecuali para wartawan juga ikut berjuang.12
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) diyakini sebagai wadah profesi
jurnalis yang pertama berdiri di Indonesia. PWI dibentuk di Surakarta, pada 9
Februari 1946. Sejarah pembentukan PWI seiring dengan menggeloranya
perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Termasuk,
perjuangan melalui tulisan dan media yang dilakukan kalangan wartawan.

11
Profil Kabupaten Tangerang, https://biropemerintahan.bantenprov.go.id/profil-
kabupatentangerang, diakses pada tanggal 12 juni 2020 pukul 21.00
12
Rohmo Reiyanto Pinayungan, “PWI Di Kota Jambi 1963-1974”, Jurnal ISTORIA Vol 3 No.2
(September, 2019) FKIP Universitas Batanghari Jambi, h.55.
PWI menjadi wadah para wartawan untuk memperjuangkan bangsa lewat
tulisan. Sejauh ini, sebagaimana para jurnalis Indonesia di masa
penggalangan kesadaran bangsa, para wartawan dari generasi 1945 yang
masih aktif tetap menjalankan profesinya dengan semangat mengutamakan
perjuangan bangsa, kendati ada kendala menghadang kiprahnya. PWI sendiri
mempunyai keanggotaan yang berasal dari seluruh Indonesia.13
Proses pendirian PWI dimulai pada pembentukan panitia persiapan
hingga kemudian bersidang selama dua hari, tepatnya 9-10 Februari 1946 di
balai pertemuan Sono Suko, Surakarta. Kala itu, pertemuan perdana
antarwartawan tersebut berhasil dihadiri tokoh pers, pemilik surat kabar,
majalah, pewarta, dan penulis dari berbagai daerah. Dalam kongres tersebut
juga diputuskan mengangkat Sumanang Surjowinoto sebagai ketua dan
Sudarjo Tjokrosisworo sebagai sekretaris. Selain mengangkat nama-nama
untuk menduduki kepengurusan pertamanya, dalam kongres wartawan
tersebut juga disepakati pembentukan komisi yang beranggotakan;
1. Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakyat Jakarta)
2. B.M. Diah (Harian Merdeka, Jakarta)
3. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta)
4. Ronggodanukusumo (Suara Rakyat, Mojokerto)
5. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya)
6. Bambang Suprapto (Penghela Rakyat, Magelang)
7. Sudjono (Surat Kabar Berjuang, Malang)
8. Suprijo Djojosupadmo (Surat Kabar Kedaulatan Rakyat,Yogyakarta).14

Dari dulu hingga kini kiprah PWI sudah tidak diragukan lagi,
Pemerintah terkesan oleh usaha PWI yang menyelamatkan Indonesia dari
fitnah pers. Maka disepakati agar Departemen Agama RI dan PWI menjadi
panitia pelaksana musyawarah Media Massa Islam Sedunia di Jakarta bulan
September 1980. Sebagai ketua panitia ditunjuk Harmoko Ketua Umum PWI
13
15 PWI, Tentang PWI, diakses dari https://www.pwi.or.id/tentangpwi, pada tanggal 13 juni 2020
pukul 13.50.
14
Safri Andi,” Implementasi Kebebasan Wartawan Pasca Lahirnya Undang-undang Nomor 40
Tahun 1999 Tentang Pers; Studi Kasus di Kantor PWI Riau”, Skripsi pada Fakultas Syariah dan
Hukum UIN SUSKA Riau, 2019), h.35.
pusat. Ini bukan berita jempolan PWI, Melainkan fakta sejarah dimana PWI
berperan utama melestarikan pancasila sebagai tanggung jawab melekat pada
Amanah Pers Nasional 1946.15

C. Visi dan Misi Persatuan Wartawan Indonesia


1. Visi
Menjadikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai organisasi
profesional dan bermartabat di era transformasi lanskap media dengan
spirit kebangsaan,kebebasann dan kreativitas digital.
2. Misi
a) Melaksanakan program pendidikan berbasis digital
b) Perbaikan menajemen dan administrasi berbasis teknologi digital
c) Gerakan nasional wartawan masuk kampus
d) Peningkatan peran pengurus pusat untuk proaktif dalam menyelesaikan
masalah di daerah
e) PWI sebagai inisiator dan stakeholder dalam perumusann regulasi
media baru.16

D. Struktur Persatuan Wartawan Indonesia Kabupaten Tangerang

Rosihan Anwar, Sejarah Kecil , ( Jakarta : Penerbit kompas, 2009),h.5.


15

Safri Andi,” Implementasi Kebebasan Wartawan Pasca Lahirnya Undang-undang Nomor 40


16

Tahun 1999 Tentang Pers; Studi Kasus di Kantor PWI Riau”, ….,h.37.
Penasehat : H. Chaerul Jamal
Jaya Kurnia
Densi Anwar Gani
Ketua : Sangki Wahyudin

Wakil Ketua : Ahmad Saripudin

Sekretaris : Muhamad Romli

Wakil Sekretaris : Hendra Wijaya

Bendahara : Sri Mulyo

Wakil Bendahara : Romdoni

Ketua Seksi Wartawan Olahraga : M. Mulyadi

Sekretaris Seksi Wartawan Olahraga : Asep Sunaryo

Bendahara Seksi Wartawan Olahraga : Bambang Restu

E. Program Kerja PWI Kabupaten Tangerang

Program Kerja Pengurus PWI Kabupaten Tangerang Periode 2019-2022 :

A. Jangka Panjang
1. Rapat Kerja Pengurus PWI Kabupaten Tangerang
2. Menyelenggarakan KLW
3. Membuat Website PWI Kabupaten Tangerang
4. Menggelar Kegiatan di HUT Kabupaten Tangerang 2019
5. Menggelar Pelatihan Jurnalistik
6. Menggelar Kegiatan Menyongsong Hari Pers Nasional
7. Menyongsong Porwanas 2020

B. Jangka Menengah
1. PWI goes to School
2. PWI Peduli
3. Menggelar diskus 2 bulanan
4. Buka Puasa dan Santunan
5. Penerbitan karya intelektual anggota/Pengurus PWI Kabupaten
Tangerang

C. Jangka Panjang
1. PWI goes to Industri
2. Menyelenggarakan Konferensi Kepengurusan Periode 2022-
2025.

Anda mungkin juga menyukai