Dalam sistem demokrasi, pemimpin itu tidak dilahirkan secara biologis
melainkan ditempa secara ideologis. Artinya, seorang pemimpin berkembang dan dibentuk dari basis latar belakang sosial budaya dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, kondisi lingkungannyalah yang membentuk karakter kepemimpinan dalam sebuah masyarakat. Semakin kompleks sebuah sistem kehidupan masyarakat, semakin dibutuhkan kepemimpinan yang mampu beradaptasi dan mengatasi berbagai tantangan kompleksitas tersebut.
Kepemimpinan juga berkaitan erat dengan kekuasaan. Pemikir besar
sosiologi klasik, Max Weber, mengatakan bahwa authority (otoritas) adalah kekuasaan yang legitimit yang bisa digunakan seseorang untuk memerintah orang lain. Weber membagi kekuasaan (otoritas) ini menjadi tiga yakni (1) otoritas tradisional, (2) otoritas kharismatik, dan (3) otoritas legal-rasional. Dalam otoritas trasidional, kekuasaan dilegitimasi oleh budaya dan tradisi dalam sebuah masyarakat tertentu. Seringkali, kepemimpinan yang lahir dalam otoritas tradisional ini adalah berbentuk monarkhi, dimana kepemimpinan dipegang oleh seseorang yang mendapatkan kekuasaan secara turun-temurun dan dilegitimasi secara tradisional oleh masyarakat tertentu dan berbasis pada kepercayaan (beliefs), nilai-nilai (values) dan norma (norms) dalam masyarakat tersebut.
Untuk otoritas kharismatik, kekuasaan mendapatkan legitimasi berbasis
pada kemampuan individual yang luar biasa sehingga menghasilkan kharisma di hadapan masyarakat dan pendukungnya. Kharisma tidaklah lahir secara mendadak pada seorang pemimpin, melainkan terbentuk dari capaian dan kualitas personal yang luar biasa serta hadir secara gemilang dalam menghadapi tantangan yang ada dalam masyarakatnya. Kita sering mendengar bagaimana pemimpin-pemimpin kharismatik hadir membawa perubahan.
Pada masa kemerdekaan kita mengenal nama-nama kharismatik seperti
Sukarno, Hatta, Syahril, Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari dan sebagainya. Mereka selain mempunyai kualitas pribadi yang luar biasa, kemampuan intelektual di atas rata-rata orang lain, juga mempunyai keberanian dan komitmen kuat untuk membawa Indonesia menuju negara merdeka. Pemimpin-pemimpin karismatik ini tidak hanya pemimpin formal, tetapi juga pemimpin informal seperti tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat lainnya yang mempunyai karisma di depan pendukungnya.
Sedangkan otoritas legal-rasional merupakan kekuasaan yang dilegitimasi
dalam sebuah negara modern yang diatur dalam konstitusi. Kepemimpinan dalam otoritas legal-rasional ini dihasilkan dari proses pemilihan umum, baik untuk pemilihan presiden, gubernur, maupun bupati dan walikota. Para pemimpin formal ini belum tentu seorang yang mempunyai karisma, namun pemimpin yang lahir dari proses elektoral sesuai konstitusi. Karena itu seringkali kita mendapatkan bahwa pemimpin formal yang lahir dari proses elektoral tidak karismatik dan tidak mempunyai kapasitas memadai sebagai pemimpin.