Anda di halaman 1dari 19

BAB V

PERJUANGAN NABI MUHAMMAD SAW


PADA PERIODE MADINAH

A. Pembangunan Masjid Madinah


Menurut Dwidja Priyatno, merujuk pada teori David L Sills, kebijakan
adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan
dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau
melaksanankan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan.
Pemahaman tentang pengertian kebijakan di atas sebagai pintu masuk
bagi penulis dalam melakukan pembahasan selanjutnya mengenai kebijakan-
kebijakan yang Rasulullah terapkan di Madinah.1
Setibanya di Madinah, tugas pertama yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW adalah mendirikan masjid yang merupakan asas utama dan terpenting
dalam pembentukan masyarakat Muslim.2 Unta yang dinaiki Rasulullah
kemudian berlutut di ladang tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail
bin Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna membangun masjid. Sementara
tempat itu dibangun, dia tinggal bersama keluarga Abu Ayyub Khalid bin
Zaid al-Ansari. Dalam membangun masjid, Rasulullah juga ikut bekerja
dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan
Anshar ikut pula bersama-sama membangun. Selesai masjid dibangun, di
sampingnya dibangun pula tempat tinggal Rasulullah. Baik pembangunan
masjid maupun tempat tinggal itu tidak sampai memaksa seseorang, karena
segalanya serba sederhana, sesuai dengan ajaran-ajaran Rasulullah.
Masjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat
temboknya dibuat dari batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun
kurma dan sebagian lagi dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi
digunakan tempat kaum fakir miskin yang tidak punya tempat tinggal. Tidak

1
Dedi Mulyadi, Kebijakan Legislasi Tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di
Indonesia Dalam Persepektif Demokrasi, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hlm, 26.
2
Moh. Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2005), hlm, 42.
1
ada penerangan dalam masjid itu pada waktu malam hari. Hanya pada waktu
Isya diadakan penerangan dengan membakar jerami. Yang demikian ini
berjalan selama Sembilan tahun. Sesudah itu, kemudian baru dipasang lampu-
lampu pada batang-batang kurma yang dijadikan penopang atap itu.
Sebenarnya tempat tinggal nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya
daripada masjid, meskipun memang sudah sepatutnya lebih tertutup.3
Ketika pembangunan masjid selesai, Rasulullah SAW kemudian
menikah dengan Aisyah pada bulan Syawal. Sejak saat itulah Yatsrib dikenal
dengan nama Madinatur Rasul atau Madinah al-Munawwaroh. Kaum
Muslimin melakukan berbagai aktifitasnya di dalam masjid ini. Baik
beribadah, belajar, memutuskan sebuah perkara, berjual beli, maupun
mengadakan perayaan-perayaan. Tempat ini menjadi faktor yang
mendekatkan di antara mereka.4
Arsitektur memberi kepuasan dan kenyamanan. Dindingnya yang
terbuat dari tanah liat berfungsi multi. Di siang hari, ia menangkal sekaligus
menyerap suhu panas, di malam hari, ketika suhu dingin, ia menyebarkan
kehangatan ke seluruh ruangan. Begitu pula atapnya yang rapat dapat
menangkis terik dan pancaran cahaya matahari langsung. Dinding masjid yang
berjarak rendah dari atap memungkinkan udara mengalir alami, menyejukkan
sekeliling ruangan dalam, dan keluar masuk dalam sirkulasi yang teratur dan
terukur. Masjid jadi sejuk, ditambah embusan angin dari utara. Tiga pintu
yang ada juga membantu menyegarkan udara, sedangkan dua pintu sebelah
Barat dan Utara berfungsi sebagai pemasok udara, satu pintu sebelah Timur
berfungsi sebagai pembangunan.
Dalam keadaan seperti itulah masjid bertahan. Sampai ketika umat
Islam semakin banyak setelah Perjanjian Hudaibiyah dan Perang Khaibar, dan
masjid tidak mampu lagi menampung mereka. Ahirnya nabi memperluas area
masjid dengan tanah yang dibeli dari Utsman ibn Affan seharga sepuluh
dirham.

3
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakata: Litera Antar Nusa,
2013), hlm, 196-197.
2
4
Ahmad Al-Usairy, Op, Cit., hlm, 105.

3
Awalnya, masjid tidak memiliki mimbar tempat Nabi Muhammad
berpidato kepada orang banyak. Memasuki tahun ke-7 danke-8 Hijriyah,
ketika kaum Muslim membludak dan memadati masjid, beberapa sahabat
antara lain: Sa’d ibn Ubadah dan Tamim al-Dari, mengusulkan agar dibuat
tempat khusus untuk nabi berdiri agar terlihat sampai ke belakang. Maka pada
tahun ke-7 atau ke-8 Hijriyah, nabi mengirim utusan kepada seorang
perempuan untuk menyampaikan pesan: “Suruhlah budak Najjarmu
membuatkan aku penyangga tempat aku duduk kala berbicara kepada banyak
orang.”
Perintah Nabi Muhammad disambut dengan antusias oleh Bani Najjar.
Dibuatlah sebuah mimbar yang terbuat dari pohon Tamaris Ghabah. Setelah
selesai, nabi menunjuk tempat yang cocok untuk menempatkan mimbar itu.
Ada tiga undak dimimbar itu, dan nabi duduk di undak ketiga. Sebelum itu,
nabi bisa berpidato dengan bersandar pada batang kurma dimasjid. Begitu
nabi pindah ke mimbar, batang kurma itu menjerit layaknya seorang bayi, atau
seekor unta yang dipisah paksa dari anaknya. Nabi lalu turun, meletakkan
tangan di atasnya, kemudian suara itu langsung diam.
Suatu hari, Tamim al-Dari datang ke Madinah. Ia menyuruh budaknya
membuat pelita minyak yang ia bawa dari Syiria. Tamim masuk ke masjid,
kemudian merentangkan tali dari tiang ke tiang, lalu menggantungkan pelita-
pelita itu disana. Sebelumnya, sahabat membuat penerangan masjid dengan
membakar jerami kurma.
Kecuali kebanyakan Kaum Arab Badui, para sahabat memahami betul
tata krama masjid, mempelajarinya dan berkomitmen melaksanakannya.
Mereka selalu berusaha menjaga kebersihan masjid. Diperintahkannya pula
agar masjid diberi harum-haruman dan dupa bakar. Juga agar masjid
dibersihkan dari kotoran. Nabi sangat keras menekan tata krama di masjid ini.
Nabi ingin menegaskan bahwa masjid memiliki kesucian khusus dan sifat-
sifat istimewa dari tempat lainnya. Apa yang boleh dikerjakan di tempat lain,
kadang tidak boleh dikerjakan di masjid. Itulah mengapa nabi melarang
bersyair di masjid dan duduk-duduk berbicara di luar topik ilmu.
4
Kaum Muslimin tahu bahwa di antara tata karma di masjid adalah
merendahkan suara saat berbicara, dan tidak menyangkut urusan dunia. Sebab,
berbicara urusan dunia di masjid memusnahkan kebaikan layaknya api
melahap kayu bakar. Apalagi dengan suara gaduh, adu mulut, dan berbicara
yang tidak berguna. Nabi juga melarang anak kecil yang belum tamyiz masuk
masjid. Kemudian, anak idiot yang sekiranya menimbulkan hiruk-pikuk dan
kegaduhan, atau berbuat sesuatu yang tidak layak. Juga dilarang mencari
barang hilang di masjid. Disebutkan dalam satu atsar bahwa seorang badui
masuk ke dalam mencari untanya. Jadi, mencari barang hilang di masjid saja
dosa, apalagi jual beli, pasti lebih dosa. Jadi, tidak layak bagi seorang muslim
mencampur aduk dua perbuatan yang satu sama lain tidak sealur. Kalau tidak,
masjid akan kehilangan ciri khas kesuciannya.
Termasuk menghormati masjid yaitu menjauhkan benda-benda yang
dapat membahayakan orang lain. Jika membawa anak panah, genggamlah
mata anak panahnya. Jika membawa pedang, sarungkan ia. Masjid dibangun
bukan untuk tempat istirahat. Begitu pula diharamkan masjid bagi orang
yangjunub dan perempuan haid atau nifas sampai mereka bersuci.5
Nabi Muhammad menetapkan arah kiblat masjid yang saat dibangun
masih menghadap ke arah Baitul Maqdis. Dua pinggiran pintu masjid terbuat
dahulu dari batu, dindingnya dari batu bata yang disusun dengan lumpur
tanah, atapnya dari daun kurma, tiangnya dari batang pohon. Lantainya dibuat
menghampar dari pasir dan kerikil-kerikil kecil dan pintunya ada tiga. Panjang
bangunannya ke arah kiblat hingga ke ujungnya adalah seratus hasta dan
lebarnya hampir sama. Fondasinya kurang lebih tiga hasta.Nabi juga
membangun beberapa rumah di sisi masjid. Dinding rumah tersebut dari
susunan batu dan bata, atapnya dari daun kurma yang disangga beberapa
pohon. Itulah bilik-bilik untuk istri-istri nabi. Setelah semuanya selesai, nabi
pindah dari rumah Abu Ayyub ke rumah tersebut. Pada saat itu juga

5
Nizar Abazhah, Sejarah Madinah, Kisah Jejak Lahir Peradaban Islam, terj. Fi
Madinah ar-Rasul, (Jakarta: Zaman, 2014), hlm, 48-56.
5
diisyaratkan adzan, sebuah seruan yang menggema di angkasa, lima kali
setiap harinya. Seruan itu memenuhi seluruh plosok.6
Selain menjadi tempat ibadah, masjid yang di kemudian hari dikenal
sebagai Masjid Nabawi ini juga berfungsi sebagai Islamic Center. Seluruh
aktifitas kaum Muslimin dipusatkan di tempat ini, mulai dari tempat
pertemuan para Anggota Parlemen, sekretariat Negara, Mahkamah Agung,
markas besar tentara, pusat pendidikan dan pelatihan para juru dakwah,
hingga Baitul Mal. Dengan fungsi masjid yang sedemikian beragam tersebut,
Rasulullah SAW berhasil menghindari pengeluaran yang terlalu besar untuk
pembangunan infrastruktur bagi Negara Madinah yang baru terbentuk.7
Relevansi antara masjid dengan pendidikan pada masa permulaan
Islam di Madinah digambarkan oleh A.L. Tibawi berikut ini:
“……...The mosques, became the firs schools in Islam. It would be equally
true to say that thy Koran was the first textbook… The association of the
mosque with education remained one of its characteristics throughout history.
In the early days it was the focus of all communal activities. From its pulpit
edification and state policy were proclaimed, wthin its wall justice was
dispensed; on its floor sat preachers and teachers surrounded by adults and
children seeking learning or instruction. (… Masjid merupakan sekolah
pertama dalam Islam. Hal ini sama benarnya dengan ucapan bahwa Al-
Qur’an adalah textbook pertama… kesatuan antara masjid dan pendidikan
menjadi karakteristiknya dalam sejarah. Pada masa-masa permulaan, masjid
merupakan pusat segala aktifitas kemasyarakatan.Dari mimbarnya
pendidikan keagamaan dan kebijakan Negara dikumandangkan; di dalam
dindingnya keadilan ditegakkan; di atas lantainya da’i dan guru duduk di
kelilingi anak-anak muda dan anak-anak yang mencari ilmu dan belajar).”

Dari keterangan di atas, terlihat bahwa masjid pada masa awal Islam
permulaan mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dan bervariasi
dibandingkan dengan fungsinya sekarang. Namun, fungsi paling utamanya
adalah sebagai tempat pembinaan jiwa ketakwaan. Seperti firman Allah, “Dan
katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada

6
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Ummul
Qura’, 2012), hlm, 349.
7
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), hlm, 24-25.
6
Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu kejakan.” (QS. At-Taubah: 105).
Pembangunan masjid di Madinah oleh nabi memberikan kesempatan yang
sangat luas kepada Muslim Madinah untuk beribadah dan belajar. Di masjid
itu pula, nabi menyediakan ruang khusus bagi para sahabat nabi yang miskin,
yang disebut ahl al-suffah /ashab al-suffah.
Emperan Masjid Nabawi yang digunakan sebagai tempat bagi aktivitas
belajar itu disebut suffah, atau al-zilla. Mengenai suffah atau al-zilla ini
menurut nabi adalah universitas Islam pertama. Suffah menawarkan
pendidikan bukan hanya untuk pemondok, tapi juga untuk para ulama dan
pengunjung pada saat itu yang cukup banyak jumlahnya. Dari waktu ke
waktu, jumlah penghuni suffah berubah-ubah. Menurut catatan Ibnu Hanbal,
pada suatu saat jumlah penghuni suffah mencapai 70 orang. Mereka bekerja
pada waktu-waktu luang.8
Masjid Nabawi merupakan satu yang pertama dari tiga masjid suci
yang disebut dalam hadist. Nabi bersabda, “Jangan melakukan perjalanan
kecuali ke tiga masjid, masjidku ini, Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsa.”
Masjid ini mulia karena sejumlah hal, tinggi kedudukannya di hati kaum
Muslimin, dan lebih dari itu, dimuliakan Allah. Ia dibangun nabi dengan
tangan sendiri bersama para sahabat dan menjadi liang pembaringan terahir
jasad Nabi Muhammad SAW ini saja sudah lebih dari cukup untuk mengakui
kemegahan dan kemuliaannya. Mengenai keutamaannya, nabi bersabda,
“Antara rumahku dan mimbarku adalah sebuah taman dari taman-taman
surga.”Dan inilah masjid jamik pertama yang dibangun dalam Islam.9

B. Menyusun Piagam Madinah


Telah kami jelaskan di atas bahwa Nabi Muhammad datang ke
Madinah sebagai pemimpin. Nabi dipilih dan dilantik pada Bai’at Aqobah
oleh sejumlah pemuka Anshar mewakili kaum mereka. Inilah cikal bakal

8
Moh.Slamet Untung, Op, Cit., hlm, 42-44.
9
Nizar Abazhah, Op, Cit., hlm, 60.
7
sekaligus halaman depan sejarah bedirinya Negara Madinah. Madinah
diumpamakan seperti puncak piramid, karena terdapat sebuah komunitas
majemuk yang terdiri atas bermaam-macam kelompok. Ada kaum Yahudi,
kaum musyrik, kaum munafik, dan kaum penebar teror. Tetapi, tidak
sedikitpun ada niat di dalam hati nabi untuk mengusir atau melukai mereka.10
Suatu ketika, para Anshar mengadakan permusyawarahan di Sakifah.
Ketika berita itu sampai kepada Abu Bakar, ‘Umar dan sebagian orang
Muhajirin, mereka segera menghadirinya. Di dalam pertemuan itu, beberapa
tokoh yang besar tidak dapat menghadirinya. Orang-orang yang hadir dalam
musyawarah itu tidak merasakan bahwa mereka sedang mengadakan
pertemuan yang paling penting, atau suatu kongres di dalam sejarah Islam.
Pertemuan itu sama halnya dengan pertemuan senat, atau konstituante yang
membahas keadaan umat di masa-masa yang akan datang, serta membuat
undang-undang dasar yang menjadi sendi kehidupannya di masa yang akan
datang. Hasil yang paling terasa dalam musyawarah ini adalah menetapkan
dasar-dasar bangunnya tata aturan Khilafah.11
Nabi Muhammad SAW teringat sesuatu yang penting, yaitu sesuatu
yang sangat penting dalam konteks kehidupan di Madinah. Dialah Kaum
Yahudi. Nabi telah menyampaikan kepada mereka kedudukan dan hak-hak
mereka. Nabi juga menghormati akidah, syiar agama, dan kitab mereka,
Taurat. Bahkan, setiap muslim diwajibkan beriman kepada kitab mereka itu,
di samping kitab-kitab lain yang diturunkan Allah.
Karena itu, hati nabi tergerak untuk lebih menyempurnakan ikatan
sosial dalam tubuh Negara Madinah. Dengan terperinci disampaikan hak dan
kewajiban setiap kelompok, agar perselisihan baru tidak menyebar tanpa
petunjuk penyelesaian; agar dibuat undang-undang sehingga menjadi
pedoman para pemegang kekuasaan dalam mengambil keputusan, dan
menjadi payung hukum bila mereka dipersalahkan.

10
Nizar Abzah, Op, Cit., hlm, 381-382.
11
Haabi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1971), hlm, 14-15.
8
Nabi memerintahkan agar undang-undang menyangkut Kaum
Muhajirin, Anshar, Yahudi, dan seluruh kaum yang berada di Madinah ini
ditulis secara jelas dan transparan, dan detail. Ini adalah undang-undang
pertama bagi sebuah negara berperadaban dalam arti modern: Undang-undang
Negara Madinah yang baru tumbuh.12 Di dalamnya tertulis:
1. Nabi Muhammad SAW mengawali pembuatan undang-undang Madinah
dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
2. Kemudian, nabi menegaskan bahwa piagam Madinah adalah kesepakatan
dari nabi antara kaum Mukmin-Muslim Quraisy, penduduk Yatsrib, dan
seluruh yang memeluk Islam tanpa adanya perbedaan.
3. Selanjutnya adalah Ukhuwwah Islamiyah, yaitu persaudaraan sesama
Muslim. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin, orang-orang
yang hijrah dari Makkah ke Madinah. Dan Anshar, penduduk Madinah
yang sudah masuk Islam. Rasulullah menciptakan satu bentuk
persaudaraan baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan
persaudaraan berdasarkand darah.
4. Hubungan persahabatan dengan pihak-pihak non-Muslim. Karena, selain
Muslim juga terdapat agama lain yang tinggal di Madinah, seperti :
Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut Agama Nenek
moyang mereka. Mereka memiliki hak tertentu dalam politik maupun
keagamaan. Kebebasan beragama dijamin, namun mereka harus ikut serta
mempertahankan keamanan Negara dari serangan luar.
5. Dalam piagam Madinah, disebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah
kepala Negara, dan segala yang menyangkut peraturan dan tertib umum,
mutlak diputuskan oleh nabi.
Dengan demikian, Piagam Madinah ini merupakan kontrak politik
pertama dalam arti yang sesungguhnya. Dalam piagam tersebut, nabi berhasil
menempatkan dua kelompok Aus dan Khazraj dalam satu nota kesepakatan
untuk hidup berdampingan secara damai dan membangun hubungan ekonomi
yang sehat. Suku-suku Kaum Yahudi pun dirangkul tanpa ada yang tertinggal.

12
Nizar Abzah, Op, Cit., hlm, 383-384.
9
Yang menarik, piagam ini tidak terlilit waktu. Tidak ada ketentuan batas ahir.
Dibiarkan mengambang dan tersurat secara umum, sehingga berlaku
sepanjang semua pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut menghormati
piagam tersebut dan menganggapnya belum lapuk.
Ini membuka jalan bagi nabi untuk membangun poros utama politik
Islam, yang tumbuh secara signifikan sehingga mampu berdiri tegak di
hadapan suku-suku musyrik yang mulai berkomplot untuk membasmi
kekuasaan Islam, terutama setelah melihat kekuatan Islam semakin
meningkat. Nabi membuat perjanjian dengan suku-suku Yahudi yang
termasuk dalam wilayah federal, seperti Khaibar, Tima’, dan lainnya.
Langkah-langkah politik nabi luar biasa, karena wawasannya jauh ke
depan. Belum pernah tercatat dalam sejarah Arab sebelum itu seorang
pemimpin yang mampu mengelola pemerintahan seperti yang diterapkan nabi.
Dan, tidak akan muncul lagi pemimpin dan politikus sekelas nabi kecuali dari
mereka yang memiliki kedalaman ilmu dan ketajaman akal.13

C. Menata Administrasi Pemerintahan Madinah


Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai tata administrasi yang
Rasulullah susun dengan matang untuk memperkuat pemerintahan Madinah.
1. Memimpin Pemerintahan
Madinah adalah pusat kekuasaan yang memiliki prinsip dan diatur
melalui sistem kelembagaan unik serta tata administrasi yang rapi. Sesuatu
yang belum pernah dikenal dalam kamus peradaban Arab sebelum itu.
Nabi berhasil menunjukkan sebuah lompatan peradaban gemilang di
bidang administrasi, jauh melampaui apa yang pernah ada sebelumnya
yang sebagian besar bertolak belakang dengan tata aturan yang baru dan
visi masyarakat madani yang dicita-citakan Islam. Terhadap sebagian
yang dipertahankan dari zaman jahiliyah, nabi memberinya ruh dan pola
yang sejalan dengan peradaban Islam. Maka dibuatlah konsep pemilihan
kepala pemerintahan dan model kepemimpinan yang didasarkan atas:

13
Nizar Abazhah, Op, Cit., hlm 388-390.

10
a) Undang-undang Tuhan (al-Qur’an), yang pasti cocok bukan hanya
untuk sang pemimpin, tetapi juga bagi rakyat yang dipimpin, besar
maupun kecil.
b) Ucapan Rasulullah yang semuanya berasal dari wahyu bukan hawa
nafsu.
c) Hasil musyawaroh dengan tokoh-tokoh yang teruji ketajaman akalnya.
d) Jihad yang bersumber dari kekuatan akal dengan tetap berpijak pada
garis besar Al-Qur’an, sunnah nabi dan kias.
Dengan demikian, seorang pemimpin kekuasaan ditetapkan
berdasarkan persetujuan rakyat, memerintah berdasarkan konstitusi yang
disetujui rakyat, dan berlaku mutlak. Di depan konstitusi, seorang pemimpin
tidak berbeda dengan rakyat. Apa yang berlaku pada rakyat, berlaku juga pada
pemimpin tanpa terkecuali. Siapa pun yang melanggar konstitusi harus diadili
dan ditindak.
2. Memilih Menteri
Jabatan ini dikenal di kalangan bangsa-bangsa besar seperti Persia
dan Romawi. Di kalangan Bangsa Arab sendiri, jabatan ini tampak asing.
Hanya, bila seorang pemimpin kaum menghadapi masalah, ia akan
bermusyawarah dengan para tokoh, kemudian pendapat yang disepakati
ditindaklanjuti. Sebenarnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab adalah
menteri nabi. Keduanya tidak pernah meninggalkan nabi dalam berbagai
urusan penting. Nabi sendiri selalu minta pendapat kepada para sahabat
dan menyerahkan urusan-urusan penting, baik menyangkut kepentingan
umum maupun khusus, untuk diputuskan bersama.
Mengenai tugas menteri ini, nabi bersabda melalui riwayat Aisyah,
“Barang siapa dipercaya mengemban suatu pekerjaan, dan ia ingin
melaksanakannya dengan baik, maka ia harus mengangkat menteri yang
baik, yang mengingatkannya tatkala ia lupa, membantunya tatkala ia
sudah ingat.” Hadis lain berbunyi, “Setiap nabi, tanpa terkecuali, pasti
diberi tujuh orang pendamping agung dan cerdik serta menteri-menteri
yang baik. Tapi aku diberi empat belas orang, yaitu: Hamzah, Ja’far, Abu

11
Bakar, Umar, Ali, Hasan, Husain, Abdullah ibn Mas’ud, Salman, Ammaar
ibnYasir, Hudzaifah, Abu Dzar, Bilal dan Mus’ab…”
Para menteri di atas memahami betul jabatan ini, sehingga mereka
mengetahui pentingnya negara sepeninggal nabi dengan segala tugas
administratifnya, dan bagaimana menjalankannya sesuai dengan bentuk
dan pola yang dicita-citakan baginda yang mulia.
3. Memilih Amir
Jabatan ini sudah dikenal jauh sebelum Islam di negara-negara
besar, bahkan juga negara-negara kecil.Romawi menggunakan suku
Gassan untuk menjadi penguasa bayangan Kaisar di Syiria. Demikian pula
Kisra di Persia memiliki Amir di Hirah Irak yang diambilkan dari keluarga
al-Mundzir. Seorang dari mereka bernama Amr ibn Hind. Ia mempunyai
seorang pembantu yang baik.
Hanya perlu dicatatat bahwa konsep keamiran dalam Islam sejak
berdirinya Negara Madinah tetap diberi ruh prinsip yang kukuh. Nabi
sendiri memiliki sejumlah Amir yang bertugas sendiri-sendiri14
Adapun orang-orang yang diangkat oleh Nabi Muhammad SAW
menjadi Amir atau gubernur di berbagai Negara yang sudah takluk di
bawah pemerintahan Islam di seluruh Jazirah Arab adalah sebagai berikut:
a. Badzan bin Sasan, keturunan Bahram yang menjadi Amir di Yaman.
Badzan adalah orang dari luar Arab pertama yang menjadi Amir.
b. Syahar bin Badzan, setelah ayahnya meninggal, Nabi Muhammad
menunjukknya untuk menggantikan ayahnya dan berkedudukan di
Shan’a.
c. Khalid bin Sa’id bin bin Ash, diangkat nabi menjadi Amir di Yaman
setelah Syahar bin Badzan mati terbunuh oleh pihak musuh, juga
berkedudukan di Shan’a.
d. Muhajir bin Umaiyahal-Makhzumi diangkat oleh nabi menjadi Amir
di Kindah dan Ash-Shadaf. Sebelum ia berangkat ke tempatnya
bertugas. Kala itu, Nabi Muhamad telah wafat.

14
Nizar Abazhah, Op, Cit., hlm, 235-242.

12
e. Ziyad bin Umaiyahal-Ansharidiangkat oleh nabi menjadi Amir di
Hadhramaut.
f. Abu Musa al-Asy’aridiangkat oleh nabi menjadi Amir di Zabid,
‘Adnan, Zama’, dan as-Sahil.
g. Mu’adz bin jabal diangkat oleh nabi menjadi Amir di al-Jund.
h. Abu Sufyan bin Harb diangkat oleh nabi menjadi Amir di Najran.
i. Yazid bin Abu Sufyan diangkat nabi menjadi Amir di Taima’.
j. Attab bin Usaid diangkat nabi menjadi Amir di Makkah.
k. Ali bin Abi Thalib diangkat oleh nabi menjadi Amir di Akhmas,
daerah Yaman dan merangkap menjadi Qadhi.
l. Amir bin al-Ash diangkat oleh nabi menjadi wali negri di Oman dan
sekitarnya.15
4. Memilih Qadhi atau Hakim
Hakim sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah, tetapi bentuknya
berbeda dan ruang lingkupnya sempit. Sebab, sistem yang dipakai berasal
dari kebiasaan lama dan tradisi lokal turun-temurun. Setiap putusan
hukum hanya didasarkan pada taklid buta, sekedar mengikuti apa yang ada
sebelumnya. Baru setelah menemui jalan buntu, putusan diserahkan pada
kalangan cendikiawan.
Setelah Islam datang, ia menetapkan bagi Hakim syarat dan
patokan yang bersumber langsung dari Allah. Asas utamanya adalah
keadilan untuk semua. Apakah pembesar, apakah rakyat jelata, semua
harus tunduk dengan kekuasaan hukum.
Hakim tertinggi adalah Nabi Muhammad selaku pemangku utama
syariat. Nabilah yang berhak menetapkan keputusan setelah menerima
wahyu dari langit, menjelaskan syariat Allah, mengawasi pelaksanaannya,
penerapan hukum-hukumnya, dan penjagaannya.16

15
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, jild. 6, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), hlm, 33-34.
16
Nizar Abzah, Op, Cit., hlm, 251.

13
Orang-orang yang diangkat oleh nabi menjadi Qadhi atau Hakim
untuk melaksanakan hukum-hukum Islam di luar negeri adalah Ali bin
Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, dan Abu Musa al-Asy’ari. Ketiga orang
inilah yang dikirim nabi ke Yaman setelah Yaman di bawah kekuasaan
Islam. Nabi menugaskan kepada mereka untuk memberi hukum kepada
penduduk Yaman menurut hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya apabila
terjadi perselisihan di antara mereka.17
5. Memilih Penulis-penulis Nabi
Menurut sebuah riwayat, sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW
yang diangkat untuk menuliskan wahyu al-Qur’an, menuliskan surat-surat,
dan lain-lain adalah Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Amir bin Fuhairah,
Abdullah bin Arqam, Amr bin al-Ash, Ubay bin Ka’ab, Mughirah bin
Sya’bah, Hamzalah bin ar-Rabi’, Abdullah bin Rawahah, Khalid bin
Walid, Khalid bin Sa’id, Alla bin al-Hadhramy, Muawiyah bin Abi
Sufyan, Yazid bin Abi Sufyan, Muhamad bin Maslamah, Abdullah bin
Abdullah bin Ubay, Mu’aqib bin Abi Fatimah, Hudzaifah bin al-Yaman,
Abdullah bin Abi Sarah, Huwaithib bin Abdul Uzza, Husein bin Numair,
Tsabit bin Qais, dan Zaid bin Tsabit.
Menurut riwayat, orang yang pertama menjadi penulis Nabi
Muhammad SAW waktu di Makkah adalah Abdullah bin Abi Sarah dan
orang yang pertama menjadi penulis nabi waktu di Madinah adalah
Ubayyah bin Ka’ab. Penulis yang biasa membantu nabi di Madinah adalah
Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.18

17
Moenawar Chalil, Op, Cit., hlm, 33.
18
Moenawar Chalil, Op, Cit., hlm, 30‐31.

14
D. Mengatur operasi Militer Madinah
Keamanan meliputi, pertama, keamanan dari serangan musuh, dan
kedua, keamanan dari serangan balasan musuh jika rencana dimentahkan oleh
tindakan lawan. Sifat moral dari pasukan tempur mutlak perlu dijaga dalam
segala keadaan. Ini dapat dijalankan secara efektif; pertama, dengan formasi
yang baik, kedua dengan pertahanan yang baik dan adanya tenaga cadangan,
ketiga dengan informasi yang terus-menerus tentang gerakan, kekuatan, dan
rencana musuh, dan keempat, dengan menjaga kerahasiaan rencana, operasi,
taktik, kekuatan senjata sendiri, dan lain sebagainya.
Muhammad menyadari sepenuhnya bahaya yang mengancam mereka
dari segala jurusan terutama dari pihak Quraisy, dan nabi juga menyadari
sepenuhnya perlunya keamanan. Oleh karena itu, nabi melakukan segala
tindakan yang diperlukan yang dapat memberikan pengamanan pada kotanya,
dan terhadap pasukannya di medan tempur, dari serangan mendadak yang
dilakukan oleh musuh atau serangan balasan. Nabi mengadakan suatu sistem
patrol yang efesien yang selalu dapat memberinya informasi tentang gerakan,
rencana dan kekuatan musuh. Setiap kali ada kebutuhan untuk melakukan
tindakan pertahanan, berdasarkan informasi ini nabi segera melakukannya.
Setiap kali ada gerakan musuh di sekitar Madinah, nabi segera menyusun
suatu pasukan di bawah pimpinannya sendiri, atau di bawah pimpinan salah
seorang sahabatnya untuk memantau perkembangannya. Sembilan ekspedisi
seperti itu dikirimkan sebelum perang Badar, empat di bawah pimpinannya
sendiri setiap kali diterima informasi tentang gerakan pihak Quraisy, tetapi
tidak terjadi pertempuran dalam ekspedisi ini.19
Perang Badar adalah perang pertama yang sangat menentukan dalam
sejarah Islam. Perang ini juga dinamakan Yaumal-Furqon (hari pembeda, hari
yang menentukan), di dalamnya Allah membedakan kebenaran dari kebatilan.
Nabi Muhammad ingin mengambil kembali harta dan barang-barang
Umat Islam Muhajirin yang dirampas kaum Quraisy. Nabi ingin mencegat

19
Afzalur Rahman, Nabi Muhammad Sebagai Seorang pemimpin Militer, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1991), hlm, 247-248.

15
kafilah dagang Quraisy dari Syam yang dipimpin Abu Sufyan. Sebagian dari
mereka bergegas pergi dan sisanya lagi tetap tinggal karena mengira
peperangan tidak akan terjadi, mengingat kafilah Quraisy hanya berjumlah 40
orang. Pada tanggal 8 Ramadhan 2 Hijriyah, nabi berangkat. Nabi menunjuk
Abu Lubabah menjadi pemimpin sementara di Madinah dan Ibn Umm
Maktum menjadi imam shalat. Pada malam hari sebelum perang terjadi, nabi
terus berdoa untuk kemenangan umat Islam. Sebelum perang, nabi
menyemangati pasukan muslim.
Peperangan terjadi pada pagi hari 10 Ramadhan tahun 2 H. Hamzah
ibn Abdul Muthalib berhasil membunuh Aswad ibn Abdul Asad al-
Makhsumi, orang yang bersumpah akan mengambil air minum dari kolam
pasukan Muslim, atau menghancurkannya, atau memilih mati karenanya.
Perang terus berkecamuk di antara dua pihak hingga umat Islam
berhasilmeraih kemenangan. Kemenangan ini menjadi sangat berarti bagi
umat Islam dan pukulan telak bagi kaum Musyrik. Korban di pihak musuh 80
orang dan beberapa lagi di tawan, sementara korban syahid dipihak muslim 40
orang.20

E. Dakwah Rasulullah Kepada Raja-Raja Di Jazirah Arab


Selang tiga minggu kemudian, sekembali pribadi nabi dengan kaum
Muslim dari Hudaibiyah. Ketika nabi beserta kaum Muslim tengah berjalan
kembali dari Hudaibiyah, wahyu Allah telah turun kepada Nabi Muhammad
SAW, lalu oleh nabi dibacakan kepada mereka. Semangat yang bergelora dan
menyala-nyala dalam dada kaum Muslimin dengan sangat hebatnya itu
tidaklah dibiarkan begitu saja tetapi selalu dipikirkan dan diperhatikan.
Kemudian terpikir oleh nabi, apa yang harus diperbuat atau dilakukan nabi
guna menguatkan ketabahan dan keteguhan hati para sahabatnya dan jalan
manakah yang harus ditembuh untuk berkembang biaknya Islam di muka
bumi, karena dikala itu sudah saatnya seruan Islam kepada seluruh ummat
manusia dari segala bangsa harus segera dimulai dan digerakkan dengan arti
Qasim A. Ibrahim Dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, (Jakarta:
20

Zaman, 2014), hlm, 47-52.

16
kata yang sebenarnya. Untuk itu, sampailah pikiran nabi hendak mengirimkan
surat-surat da’wah (seruan) kepada para raja atau para wakil mereka yang
belum masuk Islam, yang sedang memegang tampuk kekuasaan disekitar
tanah Arab dan yang ada di sekeliling Negara Hidjaz, terutama kepada yang
memegang tampuk kekuasaan yang terbesar dari mereka di masa itu. Tetapi,
langkah yang sedemikian itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan arti yang
sesungguhnya, jika ada di antara para sahabat yang akan disuruh untuk
membawa surat-surat da’wah nabi itu tidak mau melaksanakannya.
Kemudian nabi menjelaskan kepada sahabat, bahwa nabi hendak
mengutus mereka dengan membawa surat da’wah kepada raja-raja yang ada di
Jazirah Arab. Kemudian dengan segera mereka melaksanakan apa yang
dikehendaki oleh nabi.
Pada waktu itu, nabi khawatir suratnya tidak akan dibaca jika tidak
disertai cap pemerintahan yang resmi. Oleh karena itu, nabi memerintahkan
agar dibuatkan sebuah cincin dari perak yang terukir tiga baris dengan kata-
kata yang berbunyi, “Muhammad Rasulullah”. Kata Muhammad diukir di
garis ketiga, kata Rasul di ukir di garis kedua, sedangkan kata Allah diukir di
garis kesatu. Diantara nama-nama sahabat yang mengantarkan surat-surat
adalah: Jalah ‘Amer bin Umayyah Adh-Dhamry, Dihyah bin Khalifah Al-
Kalby, Abdullah bin Khudzafah As-Sahmy, Hathib bin Abi Balta’ah Al-
Lachmy, dan Suja’ bin Wahab Al-Asady.21
Dakwah Islamiyah tidak hanya untuk Bangsa Arab atau hanya di
Jazirah Arab saja. Rasul diangkat sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, maka
dakwah adalah untuk seluruh umat di dunia. Terbukti sebagaimana yang telah
dilakukan Rasul, setelah menata kehidupan Jaziarah Arab secara Islami, Rasul
menyeru kepada raja-raja, penguasa yang ada di sekitar Jazirah Arab, dengan
mengirim utusan yang membawa surat seruan mengikuti dakwah Islamiyah.
Menurut Tarikh Ibnu Hisyam dan Tarikh al-Thabari, surat-surat dari
nabi itu dikirim kepada:

21
Moenawar Chalil, Op, Cit., hlm, 185-188.

17
1) Heraclius, Kaisar Romawi, yang diantar oleh duta atau utusan di bawah
pimpinan Dakhiyah ibn Khalifah al-Kalby al-Khazraji.
2) Kisra Persi, yang diantar oleh perutusan dibawah pimpinan Abdullah ibn
Huzaifah al Sahmy.
3) Negus, Maharaja Habasyah, yang diantar oleh perutusan dibawah
pimpinan Umar ibn Umayyah al-Dlamary.
4) Maqauqis, Gubernur Jendral Romawi untuk wilayah Mesir, disampaikan
oleh Khatib ibn Abi Baltaah al-Lakhmy.
5) Hamzah ibn Ali al-Hanafi, Amir negri Yamamah, diantar oleh perutusan
yang dipimpin Sulaith ibn Amr al-Amiry.
6) Al-Haris ibn Abi Syamr, Amir Ghassan, dibawa oleh Syuja’ ibn Wahab
7) Al-Mundzir ibn Sawy, Amir Ghassan, dibawa oleh Syuja’ ibn Wahab
8) Dua putera al-Jalandy, Jifar dan Ibad, yang dibawa oleh Amr ibn Ash (Asy
Syaikh Khalil Yasien; 2002; 100-103. A. Hasyimi, 1979; 69).22
Rasulullah mengutus beberapa sahabatnya untuk membawa surat ke
Raja-raja penguasa di dunia, yang isinya mengjak mereka masuk Islam.
Rasulullah mengutus : Dihyah bin Khalifah al-Kalbi ke Raja Kaisar Romawi,
Abdullah bin Hudzafah al-Sahmi ke Kisra Raja Persia, mengtus Amru bin
Umayyah al-Dhamri ke Muqauqis Raja Iskandariah, mengutus Amru bin al-
Ash al-Sahmi kepada Ja’far dan Ubbad, keduanya adalah anak al-Jalandi dan
keduanya adalah Raja Oman, mengutus Sulaith bin Amru salah satu anak dari
Bani Amir bin Luai ke Tsumamah bin Atsal dan kepada Hudzah bin Ali al-
Hanafiyyin keduanya adalah Raja Yamamah, mengutus al-‘Alla’ bin Amru al-
Khadhrami kepada al-Mundzir bin Sawi al-‘Abdi Raja Bahrain, dan mengutus
Syuja’ bin Wahab al-Asadi kepada al-Harits bin Abi Syamiral-Gassani Raja di
Wlayah Syam. Dari Ibnu Sa’ad dalam kitab ath-Thabaqat berkata,” Surat
pertama yang dikirim Rasulullah adalah kepada al-Najasyi..”23

22
Munir Subarman, Op, Cit., hlm, 39.
23
Munir Muhammad Al-Ghadban, 41 Kunci Memahami Sirah Nabawiyah, (Jakarta:
Pustaka Ikadi, 2007), hlm, 147-148.

18
Rasulullah mengirim surat-surat tersebut melalui kurir serentak dalam
satu hari pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah. Kurir dipilih dari sahabat-
sahabat yang sudah berpengalaman pergi ke negara-negara tersebut dan tahu
adat serta kebiasaan penduduknya. Tahu bagaimana sikap dan perilaku
mereka, sehingga dapat menyampaikan surat dengan baik. Dan ini jelas
merupakan langkah diplomatik yang brilian, yang digariskan nabi untuk
merintis dan memberi fondasi yang kuat bagi berdiri tegaknya negara Islam.
Sebuah contoh peradaban cemerlang, hasil asli dari pemikiran nabi tanpa
meniru siapa pun.24

24
Nizar Abazhah, Op. Cit., hlm, 398-402.

19

Anda mungkin juga menyukai