Anda di halaman 1dari 111

BUDAYA MARITIM MASYARAKAT NELAYAN DI PULAU

MATALAANG KABUPATEN PANGKEP

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Geler Sarjana


Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh
Mawati
NIM. 10538316415

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
2020
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Orang yang berjiwa BESAR memiliki dua HATI.yakni satu


hati MENANGIS dan satu lagi BERSABAR

Kupersembahkan karya ini buat :

Kedua orang tuaku, dan keluargaku,

Atas keikhlasan dan doanya

dalam mendukungku Mewujudkan

harapan-harapanku

vi
ABSTRAK

MAWATI, 2020. “Budaya Maritim Masyarakat Nelayan di Pulau Matalaang


Kabupaten Pangkep”. Skripsi Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Unismuh Makassar, Dibimbing Oleh H.M. Syaiful Saleh
Sebagai pembimbing I dan Hj.Sitti Fatimah Tola sebagai Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana budaya maritim
masyarakat nelayan di pulau matalaang kabupaten pangkep. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisa Budaya Maritim Masyarakat Nelayan Di Pulau
Matalaang Kabupaten Pangkep, dan Bagaimana kerjasama antar nelayan di pulau
Matalaang Kabupaten Pangkep.
Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian sosial budaya yang
Jenis Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif
dengan cara penentuan sampel melalui teknik Purposive Sampling dengan
memilih beberapa informan yang memiliki kriteria yang telah ditentukan oleh
peneliti.yakni masyarakat atau nelayan yang mengetahui budaya maritim
masyarakat nelayan dan kerjasama antar nelayan di pulau Matalaang Kabupaten
Pangkep. Budaya maritim masyarakat nelayan di pulau matalaang, bahwa
Kegiatan yang sering dilakukan oleh masyarakat nelayan di Pulau Matalaang ini
menggunakan Budaya yang digariskan nenek moyang mereka secara turun
menurun agar aktifitas dalam kegiatan mencari ikan dan biota laut lainnya bisa
berjalan dengan lancar agar semua mala petaka yang akan terjadi menjauh dari
mereka dan akan menghasilkan hasil tangkap yang sangat banyak maka
dilakukanlah yng namanya Ma’paruru ( bersiap-siap ) kemudian setelah
masyarakat nelayan sampai di tempat tujuan atau lokasi mencari ikan dan biota
laut lainnya, adanya yang namanya Panaung Parappo ( kasi turun telur ayam
dengan daun siri yang di bungkus daun pisang) kemudian setelah semuanya
dibungkus dalam daun pisang maka bersiap-siaplah awak kapal mearuhnya dilaut
untuk dihanyutkan kedasar lau yang dipercayai akan menolak segala mala petakan
ataupun bala kepada nelayan yang akan mencari ikan dilaut. Masyarakat nelayan
Pulau Matalaang Kabupaten Pangkajene pada umumnya masih mempercayai hal-
hal mistis.
Kata Kunci: Budaya, Interaksi, Maritim

vii
ABSTRACT

MAWATI, 2020. "Maritime Culture of Fishermen Communities on Matalaang


Island, Pangkep Regency". Thesis Department of Sociology Education, Faculty of
Teacher Training and Education, Unismuh Makassar, Supervised by H.M. Syaiful
Saleh as Counselor I and Hj.Sitti Fatimah Tola as Counselor II.
This study aims to determine how the maritime culture of the fishing
community on the island of Matalaang, Pangkep Regency. This study aims to
analyze the Maritime Culture of Fishermen Communities on Matalaang Island,
Pangkep Regency, and How the cooperation between fishermen on the island of
Matalaang, Pangkep Regency.
The research carried out is a socio-cultural study. The type of research
used is a qualitative descriptive research method by determining the sample
through the purposive sampling technique by selecting several informants who
have criteria determined by the researcher. That is the community or fishermen
who know the maritime culture of the fishing community and cooperation
between fishermen on the island of Matalaang, Pangkep Regency. Maritime
culture of the fishing community on the island of Matalaang, that the activities
often carried out by the fishing community on the island of Matalaang use the
culture outlined by their ancestors down and down so that activities in fishing
activities and other marine life can run smoothly so that all the catastrophes that
will be occur away from them and will produce a lot of catching results, so do the
name Ma'paruru (get ready) then after the fishing community arrives at their
destination or location looking for fish and other marine biota, there is what is
called Panaung Parappo (egg drop) chicken with siri leaves wrapped in banana
leaves) then after everything is wrapped in a banana leaf then get ready the crew
of the vessel to go to sea to be washed away to the sea, which is believed to reject
all mala plots or reinforcements to fishermen who will look for fish at sea. The
Matalaang Island fishing community of Pangkajene Regency in general still
believes in mystical things.

Keywords: Culture, Interaction, Maritime

viii
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, demikian kata untuk

mewakili atas segala karunia dan nikmat-NYA. Jiwa ini takkan henti bertauhid atas

anugrah pada detik waktu, denyut jantung, gerak langkah dan rasio pada-Mu Sang

Khaliq.Proposal ini adalah setitik dari sederetan berkah-Mu.

Setiap orang dalam berkarya selalu mencari kesempurnaan, tetapi

terkadang kesempurnaan itu terasa jauh dari kehidupan seseorang.Demikian juga

dalam tulisan ini, kehendak hati ingin mencapai kesempurnaan, tetapi kapasitas

penulis dalam keterbatasan. Segala daya dan upaya telah penulis kerahkan untuk

membuat tulisan ini selesai dengan baik dan bermanfaat dalam dunia pendidikan,

khususnya dalam ruang lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Motivasi dari berbagai pihak sangat membantu dalam penampungan tulisan

ini. Segala rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tuaku

tercinta yang telah berjuang, berdoa, mengasuh, membesarkan, mendidik, mendukung

dan membiayai penulis dalam proses pencarian ilmu. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada para saudara-saudara dan keluarga yang tak hentinya

memberikan motivasi.Dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih

kepada Dr. Ir. M. Syaiful Saleh, M.Si selaku pembimbing I dan Dra. Hj. Sitti Fatimah

Tola, M.Si Selaku pembiming II yang selalu memberikan bimbingan motivasi serta

menuntun penulis sejak awal penyusunan proposal hingga selesainya proposal ini tak

lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada.

ix
Dr.H.Abd. Rahman Rahim, MM selaku Rektor Universitas Muhammadiyah

Makassar, Erwin Akib, S.Pd,M.Pd, Ph.D selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, dan Drs. H. Nurdin, M.Pd selaku

ketua jurusan pendidikan sosiologi, serta seluruh dosen dan staff pegawai dalam

lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah

Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaian ilmu yang bermanfaat

bagi penulis.

Dan ucapan terima kasih kepada teman-teman seperjuangannku yang telah

menemani dalam suka dan duka, sahabat-sahabatku terkasih serta serta seluruh rekan

mahasiswa Jurusan Pendidikan Sosioologi atas segala kebersamaan, motivasi, saran

dan bantuannya.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa

mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak, yang bersifat

membangun.Semoga Proposal ini dapat memberikan manfaat. Amin Yaarabbal

Alamin. Billahi fii sabilil haq fastabiqul khaerat. Wassalamu ‘alaikum

warahmatullahi wabarakatuh

Makassar, Juli 2020

MAWATI

x
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................iii

SURAT PERNYATAAN ............................................................................ iv

SURAT PERJANJIAN ................................................................................ v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN.............................................................. vi

ABSTRAK ................................................................................................. vii

ABSTRACT ...............................................................................................viii

KATA PENGANTAR................................................................................. ix

DAFTAR ISI................................................................................................ xi

DAFTAR BAGAN..................................................................................... xiv

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 6

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 6

E. Defenisi Istilah ................................................................................... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Konsep.................................................................................... 8

1. Hasil Penelitian Relevan .............................................................. 8

xi
2. Arti Kata Maritim....................................................................... 10

3. Tahap Awal Penelitian sosial budaya Maritm dan Pengalaman tentang

hak Ulayat Lauut ........................................................................ 11

4. Peningkatan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber

Daya Laut ................................................................................... 17

5. Konflik Nelayan sebagai Realitas Sosial ................................... 24

6. Pemberdayaan Nelayan ............................................................. 26

7. Penyikapan Terhadap Perubahan Iklim ..................................... 32

8. Konsep Teori.............................................................................. 37

B. Kerangka Pikir ................................................................................. 43

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian....................................................... 44

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 45

C. Informan Penelitian.......................................................................... 46

D. Fokus Penelitian ............................................................................... 48

E. Instrumen Penelitian......................................................................... 49

F. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 49

G. Teknik Pengumpulan Data............................................................... 50

H. Teknik Analisis Data........................................................................ 51

I. Teknik Keabsahan Data ................................................................... 51

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1. Sejarah singkat Kabupaten pangkep ......................................... 53

2. Keadaan geografis..................................................................... 56

xii
3. Keadaan Penduduk.................................................................... 61

4. Keadaan Penidikan.................................................................... 62

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian ............................................................................... 63

B. Pembahasan hasil penelitian ........................................................... 63

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................... 84

B. Saran .............................................................................................. 85

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiii
DAFTAR BAGAN

Bagan Kerangka Pikir .................................................................................. 43

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Keadaan Luas Wilayah Kabupaten Pangkep ........................................59

Tabel 4.2 Batas Wilayah Kabupaten Pangkep ......................................................60

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk menurut jenis kelamin .............................................61

Tabel 4.4 Jengjang Pendidikan Kepulauan Matalaang……………… .................62

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Maritim yang memiliki beribu-ribu pulau

dengan area teritorial laut yang sangat luas. Daratan Indonesia seluas 1.904.569

km2 dan lautannya seluas 3.288.683 km2yang membentang sepanjang khatulistiwa

dan terletak antara benua Asia dan Australia. Hal tersebut menunjukkan bahwa

wilayah laut lebih luas dari wilayah daratan, terdapat 5 pulau besar dan ratusan

pulau kecil lainnya, baik yang berpenghuni maupun yang tidak berpenghuni.

Sejatinya laut merupakan penghubung antara pulau yang satu dengan yang lain.

Pada dasarnya para nelayan dalam mencari ikan dilaut biasanya berlayar

menelusuri pantai, terutama dekat teluk. Dimana pada musim-musim tertentu

kawanan ikan akan mencari tempat yang tenang untuk bertelur, dan pada waktu

inilah nelayan memperoleh musim yang baik untuk menangkap ikan. Namun

sebaliknya pada waktu-waktu tertentu ikan-ikan tersebut akan sulit dijumpai

karena ikan-ikan tersebut mencari tempat yang lebih dalam karena perubahan

suhu, cuaca dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1982).

Sebagain besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan

tradisional dan nelayan buruh. Mereka adalah penyumbang utama kuantitas

produksi perikanan tangkap nasional. Walaupun demikian, posisi sosial mereka

tetap marginal dalam proses transaksi ekonomi yang timpang dan eksploitatif

sehingga pihak produsen, nelayan tidak memperoleh bagian pendapatan yang

1
2

besar. Pihak yang paling beruntung adalah para pedagang ikan berskala besar atau

pedagang perantara. Para pedagang inilah yang sesungguhnya menjadi “penguasa

ekonomi” di desa-desa nelayan.Kondisi demikian terus berlangsung menimpa

nelayan tanpa harus mengetahui bagaimana mengakhirinya (Kusnadi, 2007).

Menurut Martusubroto hampir 90% nelayan di Indonesia masih berskala

kecil. Itu artinya bahwa sebagian besar nelayan Indonesia masih merupakan

nelayan dengan pola-pola tradisional karena mereka masih menggunakan perahu-

perahu kecil dengan teknologi sederhana untuk mencari ikan, maka diasumsikan

hasil yang akan didapatkan oleh nelayan-nelayan Indonesia masih jauh dari

maksimal. Secara umum kebijakan-kebijakan pembangunan, khususnya bidang

pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat nelayan, yang bertujuan untuk

meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat nelayan, diarahkan untuk

mendorong nelayan menjadi subjek atau pelaku utama yang substansial dan

mandiri, sehingga mampu mengatasi persoalan-persoalan hidup yang mereka

hadapi setiap saat (Kusnadi, 2003).

Bagi masyarakat yang berada di pesisir atau kepulauan yang berjiwa

Maritim diperlukan kepandaian dalam menaklukkan lautan luas serta pandai

mengarungi lautan dengan melakukan pelayaran ke berbagai daerah lainnya baik

untuk berdagang maupun untuk mencari ikan. Pada hakekatnya jauh sebelum

masyarakat Indonesia memperjuangkan hak-hak kebebasan demi mencapai

kemerdekaan dari imperialisme barat, pada mulanya pengenalan dan penerapan

sistem pelayaran dan perdagangan merupakan salah satu mata pencaharian yang

utama dan hingga saat ini terus mengalami perkembangan. Masyarakat pesisir
3

pada saat itu tidak hanya mampu mengarungi perairan Nusantara, akan tetapi

lebih dari itu seperti yang diketahui oleh bahwa orang Indonesia telah mampu

berlayar sampai pada jarak terjauh. Keadaan geografis suatu daerah sangat

berpengaruh terhadap kebudayaan suatu masyarakat didaerah tersebut.

Masyarakat yang bermukim didaerah pedalaman, akan mengembangkan budaya

agraris. Demikian pula dengan masyarakat yang bermukim di daerah pesisir

pantai dan daerah kepulauan yang tentu saja akan berbudaya kelautan (maritim).

Laut adalah ajang untuk mencari kehidupan bagi kedua kelompok masyarakat.

Dari laut dapat dieksploitasi sumber daya biota dan abiota, serta banyak kegiatan

kemaritiman yang menjanjikan dan memesona. Inilah yang mendorong kedua

kelompok masyarakat itu menuju laut. Pada mulanya bertujuan mencari hidup dan

mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan,

atau dengan kata lain membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan

kemaritiman. Laut memang merupakan media pemersatu karena melalui laut

orang dari berbagai bangsa melakukan interaksi dengan berbagai macam

aktivitas. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan aktivitas

perekonomian melalui “jasa” pelayaran antar benua atau antar pulau.

Masyarakat nelayan di pulau matalaang adalah kelompok masyarakat yang

kehidupannya sangat bergantung pada sumber daya laut seperti ikan, gurita dan

soton, karena hampir semua aktivitas kehidupan mereka berkaitan dan

berhubungan dengan laut. Ciri khas kehidupan mereka adalah keras dan penuh

resiko dalam mengarungi kehidupannya, karena jarak tempuh untuk mencari ikan

yang banyak sangat jauh, yang senantiasa bertarung melawan badai, sengatan
4

matahari, guyuran hujan dan dekapan angin malam yang dingin. Keadaan seperti

inilah yang di rasakan oleh nelayan tradisional dengan perahu kecilnya berani

mengarungi lautan luas, demi menghidupi diri dan keluarganya. Untuk tetap dapat

bertahan hidup pada masa-masa yang sulit seperti itu, telah melahirkan sistem

pengetahuan dan teknologi yang mampu menaklukkan ganasnya laut dan musim

yang tidak bersahabat.

Sebelum turun kelaut masyarakat nelayan menggunakan pengetahuan

tradisional yang berperan penting karena berkaitan dengan kenelayanan, seperti

pengetahuan tentang navigasi, cuaca, lokasi ikan, gurita,soton dan sebagainya,

serta simbol-simbol, kepercayaan, dan tradisi dilakukan oleh nelayan dalam

melaut termasuk upacara adat kelautan. melalui pengetahuan tersebut masyarakat

nelayan akan mendapat hasil yang banyak. masyarakat nelayan masih banyak

mengunakan alat tangkap tradisional dengan adanya kemajuan teknologi

masyarakat sudah mempunyai beberapa alat modern. Salah satu pelabuhan

penting di Nusantara dan kemudian menjadi tempat berkumpulnya orang dari

berbagai pulau adalah pelabuhan Makassar. Kian hari jumlah orang yang datang

makin meningkat dan kepentingan mereka dalam pelayaran dan perdagangan

semakin mendesak. Karena itulah diperlukan seseorang untuk menjadi pengurus

membawa dan menjualkan hasil laut yang diperoleh nelayan yang ada di pulau-

pulau.
5

Masyarakat nelayan yang masih mnggunakan kepercayaan-kepercayaan

tentang hal mistis dan adat upacara kelautan dari nenek moyang yang difungsikan

atau dipercayai dapat melancarkan proses pencarian di laut agar menghasilkan,

hasil tangkap yang banyak. Sekiranya bisa di hilangkan agar penerus selanjutnya

tidak lagi mengikuti pengetahuan tentang kepercayaan tentang hal-hal yang

mengandung mistis dan upacara adat kelautan karena bertentangan dengan agama

dan itu termasuk musyrik, sesungguhnnya Allah tidak suka dengan orang yang

melakukan dosa musyrik, selain itu bukan kepercayaan atau pun upacara adat

yang mendatangkan rezeki tetapi Allah SWT telah mengatur rezeki setiap orang.

Mungkin sebagai solusinya para tokoh agama dan peneliti agar memberi

pemahaman terhadap semua masyarakat yang melakukan kepercayaan-

kepercyaan tentang hal-hal mistis dan adat upacara kelautan supaya bisa

dihilangkan. Kepercayaan- kepercayaan ini sulit dihilangkan di Pulau Matalaang

walaupun modernisasi dan globalisasi masuk, dikarenakan tradisi yang sudah

mendarah daging dan pemikiran jika tidak meluakukan tradisi tersebut akan

terjadi bencana atau bala

Alasan saya mengangkat judul ini karena saya ingin mengkaji lebih dalam

bagaimana budaya maritim masyarakat nelayan yang ada di kampung saya dan

ingin melihat bagaimana kerja sama antar nelayan di pulau matalaang kabupaten

pangkep itu sendiri dan saya ingin tahu masalah-masalah apa yang terjadi dalam

masyarakat nelayan dalam proses melaut, sebagai pengalaman untuk menemukan

fakta-fakta yang aktual dijaman sekarang.


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis menarik rumusan masalah yaitu :

1. Bagaimana Budaya Maritim Masyarakat Nelayan di Pulau Matalaang

Kabupaten Pangkep ?

2. Bagaimana kerjasama antar nelayan di pulau Matalaang Kabupaten Pangkep?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian dalam

proposal ini yaitu :

1. Untuk mengetahui Budaya Maritim Masyarakat Nelayan di Pulau Matalaang

Kabupaten Pangkep?

2. Untuk mengetahui kerjasama antar nelayan di pulau Matalaang Kabupaten

Pangkep?

D. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat dari penelitian ini, yaitu manfaat teoritis dan manfaat

praktis. Adapun manfaat teoritis merupakan hasil penelitian yang mana dapat

digunakan sebagai bahan pengembangan ilmu-ilmu kebudayaan, khususnya

tentang kebudayaan maritim masyarakat pulau matalaang, Sedangkan manfaat

praktisnya adalah hasil penelitian dapat digunakan :

1. Untuk menambah wawasan serta pengalaman bagi penulis khususnya dan

bagi pembaca pada umumnya.

2. Melihat dan mengkaji kembali pentingnya kajian Budaya Maritim pada

kancah nasional di era globalisasi.


7

E. Defenisi Istilah

1. Maritim merupakan segala aktivitas pelayaran dan perniagaan/perdagangan

yang berhubungan dengan kelautan atau disebut pelayaran niaga, sehingga

dapat disimpulkan bahwa maritim adalah terminologi kelautan dan maritim

dengan laut yang berhubungan dengan pelayaran perdangan laut.

2. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan

ikan.

3. Pulau adalah sebidang tanah di daratan yang ukuranya lebih kecil dari luas

suatu benua. Jenis daratan ini dikelilingi oleh air

4. Budaya adalah suatu cara hidup berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah

kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Konsep

1. Hasil Penelitian yang Relevan

a. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yunandar (2004) dengan judul

Budaya Bahari dan Tradisi Nelayan di Indonesia menjelaskan hasil

penelitian bahwa modernisasi dan globalisasi cenderung berdampak

negatif terhadap kehidupan komunitas nelayan di berbagai tempat di

Indonesia, misalnya berupa kemiskinan ekonomi sebagian terbesar

masyarakat nelayan tradisional skala kecil, konflik diantara kelompok-

kelompok nelayan, pengurasan populasi sumber daya laut, dan kerusakan

ekosistem laut terutama terumbu karang. Meskipun demikian, modernisasi

dan globalisasi belum sampai memusnahkan beberapa bentuk kearifan

lokal, diantaranya adalah sas di Maluku, Panglima laut di Aceh dann

teknik rumpon nelayan mandar serta pranata ponggawa-sawi di Sulawesi

Selatan. Yang menjadi pembeda penelitian ini dengan penelitian penulis

adalah subjek penelitian, dimana lokasi penelitian nya masih sulit di

masuki modernisasi dan globalisasi misalnya listrik yang hanya mampu

menerangi pulau selama 6 jam perhari dan jaringan komunikasi hanya

telpon tanpa internet.

b. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Fadli Husain (2011) yang

berjudul Sistem Budaya Bahari Komunitas Nelayan Lungkak, Desa

Tanjung Luar, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat” penelitian ini

8
9

menjelaskan hasil penelitian bahwa komunitas nelayan Lungkak

mempunyai sistem budaya kenelayanan berupa sistem pengetahuan

tentang kenelayanan yang sampai sekarang masih melekat erat dalam

kehidupannya. Sistem pengetahuan ini merupakan hasil berpikir dan

menyesuaikan kondisi lingkungannya di mana mereka berada.

Pengetahuan ini berupa pengetahuan tentang biota laut bernilai ekonomi,

pengetahuan tentang tempat penangkapan dan posisi rumah ikan,

pengetahuan tentang musim (pola musim dan waktu-waktu munculnya

ikan), pengetahuan tanda-tanda di laut dan di angkasa serta sistem

keyakinan/kepercayaan (upacara/ritual dan pantangan-pantangan). Yang

menjadi pembeda penelitian ini dengan penelitian penulis adalah kajian

teorinya.

c. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Masyhuri Imron dan Ary

Wahyono (2018) dengan judul Penelitian Sosial Budaya Maritim Pada

Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI Dan

Sumbangannya Pada Kebijakan Pemerintah Di Bidang Kelautan Dan

Perikanan menyatakan bahwa Penelitian sosial budaya masyarakat

maritim yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan

Kebudayaan LIPI telah menempuh perjalanan panjang dengan melihat

berbagai aspek yang terkait dengan permasalahan yang dihadapi oleh

masyarakat pesisir dan nelayan. Hasil-hasil penelitian maritim tersebut

diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi kebijakan

pemerintah di sektor kelautan dan perikanan. Penelitian tentang hak ulayat


10

laut telah memberikan sumbangan yang besar terhadap pemahaman

pemerintah mengenai otonomi masyarakat di kawasan pesisir dalam

mengelola wilayah laut di sekitarnya. Pemahaman tersebut terwujud

dalam bentuk pengakuan terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh

masyarakat adat, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 61 Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil. Meskipun demikian, dalam realitasnya pengakuan dan

penghormatan terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat

hukum adat tersebut belum diimplementasikan secara utuh. Di beberapa

wilayah, masyarakat hukum adat masih disamakan dengan entitas sosial

lainnya, sehingga mereka terpaksa harus berkompetisi dengan kelompok

masyarakat lainnya dalam pemanfaatakan sumber daya laut. Kajian hak

ulayat laut juga mengingatkan negara bahwa pengakuan dan

penghormatan masyarakat hukum adat harus dilihat dalam perspektif

communal property right, bukan individual property rights. Yang menjadi

pembeda adalah pendekatan dan subjek penelitiannya.

2. Arti Kata Maritim

Secara umum sejarah diartikan sebagai segala sesuatu yang

dilakukan oleh umat manusia di masa lalu. Untuk mengetahuinya,

sejarawan berupaya menyingkapnya melalui sumber-sumber sejarah

sebagai “duta masa lalu”, kemudian direkostruksi secara imajinatif

berdasarkan focus studinya. Istilah maritim diadopsi dari bahasa asing.

Dalam Oxford English Dictionari “maritime” (baca maaritaim) berasalh


11

dari kata myrtayne, maritayne, dan maritan, juga maritim-us (bahasa latin)

mari = mare yang artinya laut.

Arti kata maritim dalam KBBI (2011) adalah (1) segala sesuatu

yang berkenaan dengan laut dan (2) berhubungan dengan pelayaran dan

perdagangan di laut. Selanjutnya, kemaritiman bermakna hal-hal yang

menyangkut maasaah sering disinonimkan dengan kota bahari yang

bermakna (1) dahulu kala; kuna, (2) indah : elok sekali, dan (3) mengenai

laut; bahari (KBBI 2011). Dengan demikian, sejarah maritim adalah studi

tentang aktivitas manusia di masa lampau dengan aspek-aspek

kemaritiman khususnya pelayaran dan perdagangan.

Meskipun pengertian tersebut bersifat umum namun penjabarannya

dapat ditilik pada sejumlah studi yang telah dilakukan oleh peneliti dan

penulis bidang ini, seperit yang diperkealkan oleh Lapian (1997) terhadap

karya-karya sejarawan asing tentang dunia maritim Asia Tenggara.

Cakupan studiya meliputi perdangangan, pelayaran, perkapalan,

pelabuhan, dan bajak laut.

3. Tahap Awal Penelitian Sosial Budaya Maritim dan Pengenalan tentang

Hak Ulayat Laut

Penelitian aspek-aspek sosial budayamasyarakat maritim merupakan

titik awal dari penelitian tentang kelautan dan perikanan di P2KK-LIPI,

bahkan di Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK)

LIPI. Penelitian yang dilakukan di tiga daerah, yaitu Papua (Demta dan

Tobati), Maluku(Tual dan Hitu),dan Sulawesi Utara (Pulau Bebalang dan


12

Beo, Sangihe Talaud) itu dilakukan untuk mengidentifikasi beberapa

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat maritim, terutama nelayan.

Dalam penelitian yang dilaksanakan selama tiga tahun itu dipotret berbagai

permasalahan dalam kehidupan nelayan, seperti peralatan penangkapan

ikan,baik yang tradisional maupun nontradisional, akses terhadap wilayah

penangkapan, permodalan,dan pemasarannya.

Melalui penelitian ini juga diungkap masalah pengetahuan tradisional

yang berkaitan dengan kenelayanan, seperti pengetahuan tentangnavigasi,

cuaca, lokasi ikan,dan sebagainya, serta simbol-simbol, kepercayaan,dan

tradisi yang dilakukan oleh nelayan dalam melaut, termasuk upacara adat

kelautan. Melalui penelitianini juga berhasil dipotret kondisi kemiskinan yang

dihadapi oleh nelayan. Karena merupakan penelitian awal yang merupakan

pengenalan terhadap masyarakat maritim, maka permasalahan-permasalahan

yang berhasil diungkap masih berupa permasalahan umum yangbersifat

makro (Wahyono dkk., 1991).

Penelitian yang dilakukan selama tiga tahun tersebut juga diikuti

dengan program bantuan kepada masyarakat pesisir dan nelayan, bekerjasama

dengan Badan Pengkajian TeknologiTepat Guna (BP TTG)–LIPI. Kegiatan

yang dilakukan adalah membuat program perpipaan penyaluran air bersih di

tiga tempat, yaitu di Hitu (Maluku), Bebalang (Sulawesi Utara),dan Tobati

(Papua). Penentuan jenis program tersebut didasarkan pada hasil musyawarah

dengan masyarakat setempat. Menyadari bahwa untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat pesisir diperlukan pengenalan potensi masyarakat


13

pesisir baik yang ada di darat maupun di laut, maka dilakukan kegiatan

penelitian terpadu dengan Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) dan beberapa pusat

penelitian di kedeputian lain di LIPI,yaitu Pusat Penelitian Oceanografi

(P2O), Pusat penelitian Geoteknologi (P2Geo),dan Pusat Penelitian Biologi

(P2Bio). Melalui penelitian terpadu tersebut,bukan hanya masalah sosial

budaya masyarakat pesisir yang dikaji, melainkan juga potensi perikanan,

potensi lahan, potensi pertanian,dan potensi pasar yang dapat dikembangkan

di wilayah pesisir.

Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan

adanya penguasaan wilayah laut oleh kelompok-kelompok masyarakat

tertentu, terutama di wilayah Indonesia Timur, maka penelitian tentang hak

ulayat laut dilakukan. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui

lebih lanjut praktik pengelolaan wilayah laut yang dilakukan oleh suatu

komunitas, dinamika hak ulayat laut,serta fungsi hak ulayat laut, terutama

bagi ekosistem perikanan. Kajian tentang hak ulayat laut sebelumnya memang

sudah dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di

daerah, tetapimasih terbatas pada diskusi-diskusi di antara anggotanya, dan

masih terfokus pada sasi (salah satu bentuk praktik hak ulayat laut di Maluku).

Penelitian yang dilaksanakan di berbagai wilayah tersebuttelah

memotret dan memetakan hak ulayat laut di Indonesia, walaupun belum

semua praktik hak ulayat laut berhasil diidentifikasi. Kajian tentang hak ulayat

laut tersebut mengacu pada konsep Sudo tentang (sea tenure) (Sudo, 1983),

yang mendefiniskannyasebagai suatu system tempatbeberapa orang atau


14

kelompok sosial memanfaatkan wilayah laut dan mengatur tingkat eksploitasi

di wilayah tersebut. Melalui penelitian ini diketahui berbagai hal yang terkait

dengan pengelolaan wilayah laut, mulai dari wilayah laut yang dikelola dan

batas-batasnya, bentuk-bentuk pengelolaanyang dilakukan (aturan-aturan

yang diberlakukan), lembaga yang mengelola, sanksi bagi pihak yang

melanggar aturan, legalitas pengelolaan, konflik-konflik yang menyertai

pengelolaan, serta fungsi pengelolaan dalam menjaga kelestarian

ekosistemperikanan. Melalui penelitian ini juga diketahui bahwa ada beberapa

tipe hak ulayat laut yang dipraktikkan di masyarakat. Di wilayah Maluku, hak

ulayat laut didasarkan pada klaim atas wilayah laut oleh desa yang disebut

petuanan laut. Pada bagian tertentudari petuanan laut juga terdapat sumber

daya yang berada di kawasan tertentu yang dilindungi dengan sistem

sasi,yaitu larangan menangkap sumber daya tertentu pada waktu yang telah

ditentukan (Abdussomad, Supriadi,dan Indrawasih, 1994; Antariksa, 1995).

Di wilayah Papua, klaim atas wilayah laut juga dilakukan oleh desa.

Bedanya dengan di Maluku, di Papua juga terdapat klaim pemilikan wilayah

laut oleh suku-suku di dalam satu desa. Baik di Maluku maupun di Papua,

tidak ada batas yang jelas wilayah laut yang diklaim, karena batas di tengah

laut adalah sejauh mata memandang. Hal itu berbeda dengan batas wilayah

laut di darat, yang umumnya berupa pohon, sungai,atau bahkan batu yang

terdapat di pinggir laut. Dari tanda di darat itulah kemudian ditarik garis

imajiner ke tengah laut, yang merupakan batas wilayah laut yang dikelola.

Karena batas di laut hanya berupa garis imajiner, maka tidak jarang memicu
15

terjadinya konflik antara nelayan yang dipicu oleh perbedaan persepsi karena

dianggap telah memasuki wilayah orang lain (Imron, Laksonodan Surmiati

Ali, 1993; Laksono dan Surmiati, 1995).

Berbeda dengan kedua daerah tersebut, hak ulayat laut di Sulawesi

Utara didasarkan pada perpaduan antara pengelolaan wilayah dan pengelolaan

jenis sumber daya ikan tertentu.Di Desa Salurang,misalnya, dikenal istilah

malombo,yaitu penangkapan jenis ikan tudeyang terdapat di wilayah

nyareyang berdekatan dengan desa, yang penangkapannya hanya boleh

dilakukan secara bersama-sama dengan menggunakan jaring, dan dipimpin

oleh seorang onaas (Wahyono, Thufail,dan Antariksa, 1994).

Adapun di Pulau Para, dibedakan antara dua wilayah

penangkapan,yaitu wilayah penangkapan menggunakan sekedan yang khusus

menggunakan soma tatenda. Walaupun wilayah tangkap kedua alat tangkap

tersebut memiliki kondisi ekologis yang sama, tetapipenggunaan sekedi

wilayah tangkapsoma tatenda atau sebaliknya dianggap sebagai pelanggaran

berat yang harus diberi sanksi adat (Wahyono, Thufail,dan Antariksa, 1994).

Sementara di Aceh hak ulayat laut itu didasarkan pada persekutuan

hukum yang disebut lhok dan/atau muara, yang memiliki batasyang

membentang di sepanjang pesisir pantai dan/atau muara yang kedua ujungnya

ditarik garis vertikal ke arah laut. Wilayah persekutuan hukum atau lhok itu

merupakan suatu wilayah di pesisir tempat nelayan berdomisili dan

melakukan usaha penangkapan ikan. Wilayah lhok bisa terdiri dari satu desa

(gampong)atau beberapa gampong. Di setiap lhok kemudian dibuat peraturan


16

bersama (bisa tertulis bisa tidak) yang mengatur kegiatan penangkapan ikan,

yang disebut hukum adat laot, yang dibuat oleh kelembagaan adat yang

dipimpin oleh panglima laot lhok (Adhuri, Indrawasih,dan Wahyono, 2006).

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa efektivitas pengelolaan sumber

dayalaut berbasis masyarakat adat merupakan realitas sosial yang terdapat di

Indonesia yang perlu mendapat perhatian dari negara. Selama ini,pengelolaan

perikanan berbasis hukum adat tidak pernah diakomodasi dalam rezim

pemerintahanyang sentralistik, sehingga mengundang banyak kritik. Salah

satu kritik yang muncul adalah pengelolaan yang sentralistik kurang

memperhatikankondisi ekosistem dan kondisi masyarakat yang berbeda-beda

di berbagai wilayah, sehingga pengelolaan yang dijalankan kurang efektif.

Dengan diakuinya pengelolaanyang berbasis hukum adat, maka melahirkan

harapan baru terhadap efektifitas pengelolaan sumber dayalaut. Harapan ini

lahir karena ternyata asumsi Hardin (1968) yang menyatakan bahwa manusia

cenderung bergerak sendiri-sendiri tidaklah benar. Praktik hak ulayat laut oleh

masyarakat adat telah membuktikan bahwa masyarakat adat mampu bekerja

sama dan menahan diri dari tindakan eksploitasi sumber dayalaut secara

berlebihan. Beberapa kelebihan yang dapat dicatat dari penggunaan praktik

hak ulayat laut olehmasyarakat adalah: (1) Masyarakatadat lebih dekat dengan

sumber dayalaut yang diaturnya,karena itu mereka dianggap mengetahui

banyak tentang kondisi sumber dayatersebut,(2) Masyarakat adat juga mampu

membuat isntitusi yang memungkinkan mereka mengatur pemanfaatandan

pemeliharaan sumber dayalaut secara efisien dan distribusi merata (equity),(3)


17

Hubungan-hubungan personal yang terjalin antar anggota komunitas

mengarahkan pada terbentuknyapola-pola kerjasama yang baik di antara

mereka (ini juga berarti konflik lebih mudah diatasi), dan(4) Karena fungsi

manajemen dilakukan sendiri oleh komunitas masyarakat adat, maka biaya

pelaksanaan manajemen relatif rendah (Johannes, 1978; Bailey dan Zerner,

1992).

4. Peningkatan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut

Pengelolaan wilayah laut yang dilakukan oleh masyarakat merupakan

realitas sosial yang tidak boleh diabaikan begitu saja dalam pengelolaan

kelautan dan perikanan. Pengabaian terhadap hal itu dapat mengakibatkan

munculnya ke tidak pedulian masyarakat terhadap kelestarian sumber daya

yang ada di sekitar mereka, yang dalam jangka panjang berakibat pada

rusaknya lingkungan laut. Jika itu terjadi maka tragedy of the common

sebagaimana yang dikemukakan oleh Hardin (1968) itu akan terbukti

kebenarannya.

Berkaitan dengan realitas sosial dalam pengelolaan sumber daya laut

tersebut, maka penelitian tentang pengelolaan sumber daya laut secara terpadu

atau ko-manajemen merupakan konsentrasi studi yang selanjutnya dilakukan.

Dalam hal ini ko-manajemen diartikan sebagai pengelolaan bersama antar

stakeholder. Dalam penelitian ini dilihat apakah pengelolaan sumber daya

laut, termasuk pengelolaan perikanan yang selama ini dilakukan sudah

mengikuti prinsip-prinsip ko-manajemen. Dahuri (1999) menunjukkan adanya

delapan prinsip penting dalam ko-manajemen yang harus diikuti dalam


18

pengelolaan sumber daya, yaitu: (1) Pendelegasianwewenang kepada para

stakeholder; (2) Mengutamakanperan nelayan, dalam arti nelayan dan pihak

lain yang kehidupannya tergantung pada laut memiliki peran utama dalam

merumuskan kebijakan pengelolaan lingkungan laut, mulai dari perencanaan,

pelaksanaan dan pengawasannya;(3) Melibatkanmasyarakat; (4) Setiap unsur

yang terkait diaudit oleh masyarakat (mendapatkankepercayaan masyarakat);

(5) Setiap unsur yang terlibat dideskripsikan peranannya terhadap kegiatan

yang dilakukan; (6) Pengambilankeputusan dalam pengelolaan didasarkan

pada konsensus semua pihak yang terlibat; (7) Setiapkeputusan yang diambil

memperhatikan dua unsur, kelestarian lingkungandan kesejahteraan

masyarakat; dan (8) Pemanfaatan sumber daya dilakukan secara adil dan jujur

antara para pihak yang berkepentingan.

Penelitian yang dilaksanakan selama empat tahun di berbagai wilayah

itu melihat pengelolaan sumber daya yang dilakukan oleh pemerintah,

masyarakat,dan industri perikanan, dengan mengambil lokasi di Tuban dan

Bayuwangi (Jawa Timur), Rembang dan Pekalongan (Jawa Tengah), serta

Belitung. Selain itu,penelitian ini juga melakukan evaluasi praktik ko-

manajemen dalam pengelolaan model co-fish (Coastal Cummnunity

Development and Fisheries Resources Management Project), yang

dilaksanakan di Lombok Timur dan di Tegal. Fakta menunjukkan bahwa

pengelolaan sumber daya laut yang dijalankan di berbagai daerah, termasuk

sumber daya perikanan, masih belum dilaksanakan dengan pendekatan ko-

manajemen. Pengelolaan masih bertumpu pada kebijakan pemerintah, tanpa


19

melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya. Lebih celaka lagi, yang

disebut pengelolaan oleh pemerintah itu dalam realitasnya bukan oleh

pemerintah daerah yang lebih tahu tentang kondisi sumber daya di

wilayahnya, tetapi oleh pemerintah pusat. Akibatnya praktik pengelolaan yang

dijalankan tidak sesuai dengan kondisi daerah.Tersentralisasinya pengelolaan

oleh pusat mengakibatkan kontrol atas pelaksanaan kebijakanitu tidak dapat

dilakukan sepenuhnya. Kondisi demikian mengakibatkan terjadi pelanggaran

dan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dihindari. Program-program yang

disusun pemerintah juga cenderung berorientasi pada proyek dan bersifat

sektoral, sehingga hasilnya kurang optimal. Akibatnya dukungan

masyarakatterhadap kebijakan juga rendah (Adhuri,dkk., 2003).

Hal yang agak berbeda ada pada pengelolaan model co-fish, yang

berusaha melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya. Pengelolaan model

Co-Fish dilakukan dengan melibatkan stakeholderyang ada di wilayah itu di

dalam wadah yang berupa organisasi pengelola, baik di tingkat kabupaten

maupun di tingkat desa. Sebutan organisasi pengelola bisa berbeda,

tergantung pada daerahnya. Di Tegal misalnya, organisasi pengelola di tingkat

desa disebut kelompok PSBK (Pengelolaan Perikanan Berbasis Komunitas),

sedangkan di Lombok disebut KPPL (Komite Pengelola Perikanan Laut).

Organisasi pengelola itulah yang bertugas menyusun pengelolaan sumber

daya laut yang ada di wilayah desa, seperti penanaman dan pengelolaan

mangrovedengan berbagai larangan dan sanksinya, pengelolaan abrasi pantai,

pengelolaan terumbu karang, pengelolaan konflikperalatan tangkap (arad),


20

upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta pembuatan awig-awig

(peraturan) kawasan konservasi laut yang dilakukan di Lombok (Indrawasih,

2004).

Permasalahan utama dari pengelolaan model Co-Fishdilihat dari

kacamata ko-manajemen adalah terletak pada aspek keterwakilanstakeholder,

sebagaimana dikemukakan oleh Hernes dan Sandersen (tanpa tahun). Di

Tegal misalnya, lembaga pengelola yang dibentuk sebagai wadah perwakilan

para stakeholderitu dalam realitasnya dibentuk tanpa memperhatikanunsur-

unsur stakeholderyang diwakilinya, tetapi keanggotaannya bersifat terbuka.

Dengan keanggotaan seperti itu, maka anggotanya tidak lagi merupakan

representasi dari orang-orang yang memiliki komitmen terhadap

permasalahan perikanan dan lingkungan pantai, melainkan sebagian besar

justru diisi oleh orang-rang yang memiliki matapencaharian di luar sektor

perikanan. Akibatnya program yang dilakukan tidak terfokus pada

pengelolaan lingkungan laut tapi pada pembangunan desa secara umum.

Adapun di Lombok, lembaga pengelola hanya dijadikan legitimasi bagi

pemerintah dalam melakukan pengelolaan, karena dalam perjalanan waktu

keterlibatan masyarakat mulai ditinggalkan dan keputusan yang diambil oleh

lembaga pengelola itu sering diabaikan oleh pemerintah.Seiring dengan

diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, Kabupaten Kota diberi wewenang untuk mengelola laut yang ada di

wilayahnya sejauh sekitar empat mil dari garis pantai.


21

Menyikapi masalah itu,dilakukan penelitian tentang manajemen

sumber daya laut dalamperspektif otonomi daerah. Penelitian yang dilakukan

di daerah Kota Padang (Sumatera Barat), Kabupaten Lampung Selatan,

Kabupaten Buleleng (Bali), Kota Tidore (Maluku Utara), Kota Bengkulu,dan

Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan) itu bertujuan untukmengetahui

kebijakan pemerintah daerah dan implementasinya dalam mengelola sumber

daya laut di wilayahnya, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber

daya laut yang dilakukan oleh pemerintah daerah, serta dampak kebijakan

terhadap pengelolaan yang berbasis masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten dan kota

umumnya memahami pengelolaan kelautan masih terbatas pada sektor

perikanan, sehingga sektor lain di luar perikanan masih kurang diperhatikan.

Hal itu dapat dilihat pada beberapa peraturan daerah yang mengatur masalah

pesisir dan laut, yang lebih terkait dengan masalah retribusi sektor perikanan,

dengan orientasi untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Walaupun

mereka melakukan konsentrasi pengelolaan pada sektor perikanan, tetapipada

umumnya mereka tidak memiliki data tentang potensi sumber daya perikanan

yang ada di wilayah mereka, dan pengetahuan tentang potensi perikanan

hanya berdasarkan data yang dimiliki oleh provinsi. Pengelolaan perikanan

yang dilakukan juga masih mengacu pada pusat, dan tidak disesuaikan dengan

kondisi daerah. Dengan sistem pengelolaan seperti itu, maka pengelolaan

perikanan yang dilakukan bukan hanyatidak melibatkan masyarakat, bahkan

pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang sudah ada di suatu daerah


22

juga cenderung diabaikan (Imron,dkk, 2005; Imron,dkk, 2006; Imron,dkk.,

2008; Wahyono, 2007).

Sisi lain yang mengemuka dari pelaksanaan otonomi daerah di bidang

kelautan adalah timbulnya konflik-konflik kenelayanan, yang dipicu oleh

pemahaman otonomi daerah yang keliru, yaitu bahwa kewenangan yang

dimiliki daerah untuk mengelola wilayah laut itu dianggap sebagai

pengavelingan laut. Akibatnya banyak nelayan luar daerah yang tidak

diperbolehkan menangkap ikan di suatu wilayah perairan kabupaten/kota.

Walaupun larangan itu tidak dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah daerah,

tetapidilakukan oleh kelompok-kelompok nelayan yang ada di suatu daerah.

Praktik itu kemudian mengakibatkan terjadinya konflik nelayan

antardaerah (Imron, 2009). Hasil penelitian ini merekomendasikan agar

pengelolaan sumber daya laut yang dilakukan oleh pemerintah daerah lebih

melibatkan partisipasi masyarakat. Untuk itu pengelolaan kelautan harus

menggunakan prinsip-prinsip demokratisasi, partisipasi,dan transparansi,

sehingga pengelolaan yang dilakukan bisa sesuai dengan kondisi ekologis dan

kondisi sosial masyarakatnya (Imron, 2009).

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga menarik perhatian

penelitiuntuk menyikapinya, terutama dengan dicantumkannya ketentuan

tentang hak pengusahaanperairan pesisir (HP-3). Di dalam undang-undang

tersebut dinyatakan bahwa pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam

bentuk HP-3 yang meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air
23

sampai dengan permukaan dasar laut (Pasal 16). HP-3 tersebut dapat

diberikan kepada orang perorangan warga negara Indonesia, badan

hukum,dan masyarakat adat (Pasal 18), dalam jangka waktu 20 tahun dan

dapat diperpanjang 20 tahun lagi (Pasal 19). Adapun dalam Pasal 20

disebutkan bahwa HP-3 tersebut dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan

jaminan hutang dengan dibebankan hak tanggungan. Semua ketentuan tentang

HP-3 tersebut dianggap merupakan ancaman bagi masa depan kehidupan

nelayan, karena akan muncul pengavelingan laut yang dilakukan oleh

pengusaha.

Penelitian tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir di Pulau Sebatik

bertujuan untuk mengetahui persepsi, sikap dan aspirasi masyarakat terhadap

HP-3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat tidak setuju jika hak

pengelolaan diserahkan kepada investor atau kepada badan hukum, karena

bisa merugikan nelayan, yaitu berkurangnya fishing ground yang berdampak

pada berkurangnya hasil tangkapan (Imron, Wahyonodan Solihin, 2010). Hak

pengelolaan bisa saja diberikan kepada perorangan atau badan hukum jika

kawasan itu tidak dimanfaatkan nelayan untuk kegiatan produktif, tetapitetap

harus ada benefityang diperoleh nelayan. Akan tetapi, karena hampir tidak ada

wilayah laut di pesisir yang bukanmerupakan fishing groundnelayan, maka

pemberian HP-3 tidak dapat direalisasikan. Bukan itu saja, bahkan praktik

pengavelinganlaut yang sudah terjadi di beberapa daerah juga perlu ditinjau

kembali, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Walaupun HP-3

ditolak, tapi masyarakat diharapkan diberikan kewenangan mengelola wilayah


24

laut yang ada di sekitarnya, karena hal itu justru dapat membantu pemerintah

dalam mengatasi kerusakan lingkungan laut (Imron, Wahyono,dan Solihin,

2011).

5. Konflik Nelayan sebagai Realitas Sosial

Laut Indonesia dapat dipandang dari dua sisi. Dari sisi hukum

international, diakui bahwa Indonesia merupakan wilayah berdaulat dengan

wilayah laut sejauh 12 mil ditarik dari garis pantai terluar (UNCLOS, 1982).

Jika dilihat dari sisi ini,Indonesia mengakui terjadinya pengavelinganlaut oleh

negara. Namun di sisi lain, Indonesia juga menerapkan WawasanNusantara,

yang menentukan bahwa laut Indonesia itu merupakan satu kesatuan,

sehingga tidak boleh ada pengavelinganterhadap laut. Dalam konteks ini maka

laut menjadi common property resources, yaitu sebagai sumber daya milik

umum yang tidak boleh dikuasai oleh siapa pun kecuali oleh negara.

Perikanan sebagai common property resources berarti bahwasemua orang

boleh menangkaphasilnya di manapun berada, kecuali yang diatur oleh

negara. Dalam konteks itulah maka terjadi persaingan antara nelayan dalam

memperebutkan sumber daya perikanan, yang sering mengakibatkan

timbulnya konflik antarnelayan.

Di Indonesia, konflik kenelayanan sudah lama terjadi dan tampaknya

akan semakin terus meningkat. Studi-studi yang dilakukan oleh Kelompok

Studi Maritim PMB-LIPI sejak tahun 1990 juga hampir selalu menemukan
25

konflik-konflik kenelayanan di berbagai provinsi di tanah air (Wahyono,dkk,

1992, Adhuri,1993).

Demikian pula dari studi-studi setelah runtuhnya Orde Baru, tampak

bahwa konflik kenelayanan tidak mengendur tetapi semakin mengeras

(Adhuri,Wahyono,dan Sudiyono,2002; Adhuri,dkk., 2003).

Hasil studi yang dilakukan di Madura, Aceh, Maluku

Tenggara,Kupang, Nunukan,dan Kepulauan Riau menunjukkan bahwa ada

beberapa tipe konflik nelayan, yaitu konflik antara nelayan lokal dengan

nelayan asing, konflik antara nelayan lokal dengan nelayan dari daerah lain,

dan konflik antara nelayan dengan peralatan tangkap yang berbeda (baik

nelayan dari wilayah yang sama maupun dari wilayah lain).

Konflik antara nelayan lokal dengan nelayan asing biasanya terjadi di

wilayah perbatasan, baik karena masuknya nelayan dari luar ke fishing

groundmereka,seperti kasus di di Kepulauan Riau dan Aceh, atau karena

penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di wilayah laut

milik negara tetangga seperti kasus nelayan NTT dan Sumenep di Australia

(Indrawasih, Wahyono,dan Hadi, 2008). Konflik antara nelayan lokal dengan

nelayan dari daerah lain cenderung dipicu oleh perebutan wilayah tangkap

(fishing ground)sementara nelayan dari daerah lain menggunakan peralatan

tangkap yang lebih tinggi. Konflik seperti inilah yang semakin berkembang

pada era otonomi daerah. Adapun konflik antar nelayan dengan peralatan

tangkap yang berbeda selain terjadi karena nelayan lain menggunakan alat

tangkap yang lebih eksplotatif juga karena alat tangkap yang digunakan
26

bersifat merusak (destructive fishing). Alternatif solusi yang ditawarkan agar

konflik tidak berulang antara lain sebagai berikut.Pertama, dengan melihat

penyebab timbulnya konflik. Kedua,mempertemukan para pihak yang

berkonflik untuk membuat kesepakatan bersama, misalnya dengan

kesepakatanbahwa nelayan pendatang diperbolehkan menangkap di wilayah

mereka, tapi tidak di fishing ground yang menjadi favorit mereka.

Dengan demikian penyelesaian konflik tidak harus mengacu pada

aturan resmi penerintah tentang hal yang terkait dengan pemanfaatan dan

pengelolaan wilayah laut (Adhuri, Indrawasih,dan Wahyono, 2006).

Sementara itu,terkait dengan konflik karena destructive fishing,alternatif

solusinya adalah sosialisasi kepada pelaku destructive fishing dengan

menekankan pada kerugian yang dialami dalam jangka panjang dan

penegakan hukum yang adil.

Kecenderungan yang terjadi sampai saat ini adalah kesadaran perlunya

menyiasati konflik hanya lahir setelah terjadi konflik yang besar (kompleks).

Selain itu, belum tampak usaha-usaha yang sistematis untuk mencegah

timbulnya konflik yang sekecil apa pun. Padahal tidak tertutup kemungkinan

konflik-konflik yang besar itu merupakan akumulasi dari konflik-konflik yang

lebih kecil, tetapi diabaikan dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena

itu,pemahaman yang komprehensif akan sangat sulit dilakukan tanpa ada

upaya memahami dan menyelesaikan konflik-konflik yang kecil.

6. Pemberdayaan Nelayan
27

Wilayah laut Indonesia kaya akansumber daya perikanan, mulai dari

ikan, kerang-kerangan, udang, kepiting, dan berbagai sumber daya perikanan

lain yang siap untuk dieksploitasi oleh nelayan. Walaupun sumber daya

melimpah, tetapikenyataanmenunjukkan bahwa nelayan tetap miskin,

terutama nelayan kecil, sehingga bisa diibaratkan seperti ayam yang mati di

lumbung padi. Jumlah nelayan kecil itu sangat besar, sekitar 611.432 unit

perahu/kapal atau sekitar 95,57% dari jumlah seluruh kapal perikanan di

Indonesia. Mereka itu terdiri dari nelayan yang menggunakan motor tempel

dan nelayan tanpa motor serta nelayan yang menggunakan kapal berkapasitas

10 GT ke bawah. Datatahun 2013 menunjukkan bahwa dari jumlah kapal

perikanan sebanyak 639.707 unit, sebanyak 175.510 unit merupakan perahu

tanpa motor, dan 237.625 unit menggunakan motor tempel. Adapun yang

menggunakan motor dalam (inboard motor) sebanyak 198.297 memiliki

kapasitas ≤10 GT (Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014). Sudah

banyak kebijakan untuk memberdayakan nelayan, mulai dari program yang

bertujuan langsung untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan seperti

program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dan program nasional

pemberdayaan masyarakat (PNPM) Mina, maupun program penunjang

kegiatan lainnya seperti yang terdapat dalam program MCRMP (Marine and

Coastal Resources Management Project), PLBPM (Program Pengelolaan

Lingkungan Berbasis/ Pemberdayaan Masyarakat), Co-Fish(Coastal

Community Development and Fisheries Resources Management Project), dan

Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). Meskipun


28

demikian, semua itu belum mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan

secara signifikan (Imron, Wahyono,dan Solihin, 2015).

Penelitian yang dilakukan di Cirebon, Cilacap, Juwana,dan Sukabumi

menunjukkan bahwa banyak kegiatan pemberdayaan yang dilakukan tidak

sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena pendefinisian tentang kebutuhan

masyarakat dilakukan oleh pihak lain, dalam hal ini penyelenggara negara.

Padahal, satu hal penting yang perlu dipahami dalam pemberdayaan adalah

adanya analisa kebutuhan masyarakat (needs assessment). Mulai dari analisa

kebutuhan masyarakat itulah maka akan dapat dirumuskan siapa yang perlu

diberdayakan,apa yang diberdayakan dan bagaimana cara

memberdayakannya. Sebagai contoh adalah pengembangan teknologi

penangkapan. Sama-sama diketahui bahwa kunci kemiskinan nelayan adalah

teknologi penangkapan yang rendah, sehingga hasil tangkapan tidak banyak.

Namun teknologi apa yang perlu dikembangkan, tentunya nelayan akan lebih

tahu, karena mereka yang tahu persis kondisi lingkungannya (Imron,

Wahyono,dan Solihin, 2016).

Terkait dengan pengembangan teknologi penangkapan, banyak

bantuan yang sudah diberikan kepada nelayan.Namun,baik jenis maupun

kapasitasnya sering tidak disesuaikan dengan kebutuhan nelayan lokal. Oleh

karena itu,disarankan agar pengembangan alat tangkap perikanan tidak

dilakukan secara nasional, tetapi memerhatikan aspek lokalitas. Selain itu,

melihat sistem bagi hasil yang sangat timpang antara nelayan juragan dengan

buruh nelayan, maka pengembangan alat tangkap perikanan juga disarankan


29

agar pemilikannya dilakukan secara kolektif, sehingga di dalam satu kapal

tidak ada lagi buruh dan majikan. Dengan cara demikian maka disparitas

pendapatan antar nelayan semakin lama akan semakin terkurangi. Selain itu,

untuk meningkatkan kesejahteraan buruh nelayan, maka perbaikan struktur

bagi hasil juga perlu dilakukan (Wahyono, dkk., 2001).

Pemberdayaan dengan berbasis pada needs assessmentsemacam itu

tidak menempatkan masyarakat sebagai objek penerima manfaat

(beneficiaries) yang tergantungpada pemberian dari pemerintah, melainkan

dalam posisi sebagai subjek penentu masa depannya sendiri. Pandangan

tersebut sesuai dengan yang dikemukakan AdamsRobert yang mengartikan

pemberdayaan sebagai “the user participation in services and to self-help

movement generally, in which group take action on their own behalf, either in

cooperation with, or independently of, the statutory services” (Imron,

Wahyo,dan Solihin, 2015).

Senada dengan itu, Cholisin (2011) menyatakan bahwa di dalam

konsep pemberdayaan itu mengandung tiga arti, salah satunya adalah

empowering atau memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat.Selain tidak

sesuai dengan kebutuhan masyarakat, banyak juga program bantuan yang

tidak sesuai dengan pola kerja nelayan. Pembukaan akses nelayan untuk

meminjam uang melalui jalur perbankan, atau program-program bantuan yang

harus diangsur mengikuti pola perbankan, jelas tidak cocok dengan budaya

kerja nelayan. Banyaknya terjadi kredit macet pada nelayan bukan disebabkan

nelayan tidak mampu membayar, tetapi karena sistem angsuran dalam


30

pengembalian pinjaman tidak sesuai dengan budaya kerja nelayan.

Sebagaimana diketahui, dalam satu tahun nelayan tidak selalu dapat melaut

karena kendala cuaca. Dengan demikian dalam satu tahun terdapat bulan-

bulan tertentu (kadang bisa sampai dua bulan lebih) ketikanelayan tidak dapat

melaut. Dalam kondisi seperti itu nelayan tidak memperoleh penghasilan,

sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk membayar angsuran pinjaman

setiap bulannya. Oleh karena itu,pembukaan akses lembaga keuangan

terhadap nelayan tidak akan mampu memberdayakannelayan jika skema

pengembalian pinjaman tidak diubah.

Selain berisiko terjadinya kredit macet, nelayan juga akan terjebak

dalam utang yang tidak terbayarkan. Satu upaya untuk mengatasi hal tersebut

adalah dengan memberikanangsuran pinjaman dari nelayan yangdisesuaikan

dengan pola kerja nelayan, sebagaimana yang dirintis di Kabupaten

Sukabumi. Melalui jasa Lembaga Konsultan Keuangan Mitra Bank

(LKKMB),dilakukan negosiasi mekanisme angsuran yang sesuai dengan pola

kerja nelayan, antara pihak bank dengan nelayan. Hasil negosiasi adalah

pembayaran angsuran disesuaikan dengan tingkat fluktuasi pendapatan

nelayan, sehingga pada saat musim ikan nelayan akan membayar angsuran

yang besar, sedangkan jika musim paceklik pembayaran angsuran bisa

ditunda (Imron, Wahyono,dan Solihin, 2015).

Dalam kerangka itu, pihak bank akan menghitung jumlah pembayaran

angsuran yang harus dilakukan oleh nelayan peminjam dalam satu tahun,

misalnya Rp. 12.000.000. Untuk mengantisipasi musim paceklik


31

ketikanelayan sulit mendapatkan hasil tangkapan, maka jumlah angsuran per

bulan tidak dibagi 12 tetapi dibagi 9, dengan asumsi tiga bulan itu musim

paceklik (nelayan tidak bisa melaut). Dengan cara demikian, nelayan akan

bisa mengangsur secara rutin selama sembilan bulan, dan yang tiga bulan,

karena musim paceklik, tidak perlu mengangsur. Sementara itu,pihak bank

tidak dirugikan, karena jumlah angsuran yang diterima oleh bank dalam setiap

tahunnya tidak berkurang. Dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan,

aspek pemasaran juga disarankan untuk diperhatikan. Terkait dengan itu,peran

KUD Mina dan TPI juga perlu ditingkatkan, dengan cara mengintensifkan

sistem lelang, sehingga pembelian harga ikan dari nelayan bisa lebih tinggi.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberdayaan tidak semata-mata

ditujukanuntuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih dari itu,

agar masyarakatdapat mandiri dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan

demikian pemberdayaan perlu dilakukan secara serentak baik yang bersifat

ekonomi maupun yang non-ekonomi (Imron, Wahyono,dan Solihin, 2016).

Dengan demikian pemberdayaan nelayanharus dilihat secara

menyeluruh. Dalam proses pemberdayaantersebut,nelayan mesti

diperlakukansebagai subjek yang ikut mendefiniskan kebutuhan-

kebutuhannya, mulai dari kegiatan praproduksi, produksi (penangkapan ikan

maupun budidaya ikan), pascapanen, sampai pada dukungan kegiatan lainnya

seperti pembangunan dan penyediaan sarana dan prasaranaperikanan, akses

terhadap jasa lembaga keuangan, teknologi, penyuluhan, aspek pemasaran,dan

kelembagaannya.
32

Berbagai kebijakan juga perlu mempertimbangkanheterogenitas

nelayan, baik yang menyangkut alat tangkap, jumlah ABK, struktur hubungan

kelompok kerja, wilayah tangkap, status penguasaan,dan jenis sumber

dayayang diinginkan, juga hubungan antara nelayan lokal dan pendatang dan

pluralitas etnis. Kurangnya pemahaman terhadap heterogenitas nelayan

menyebabkan upaya pembangunan perikanan tidak menyentuh sasaran

program (target group).

7. Penyikapan terhadap Perubahan Iklim

Sejak tahun 1980-an, perubahan iklim telah menjadi perhatian dunia,

termasuk Indonesia. Walaupun sampai saat ini masih terjadi perdebatan

apakah saat ini sudah terjadi perubahan iklim ataukah hanya terjadi perubahan

alam yang sesaat yang belum dapat dikategorisasikan sebagai perubahan

iklim, tetapi menurut prediksi Intergovermental Panel on Climate

Change(IPCC), masyarakat pesisir memiliki potensi paling besar terkena

dampak perubahan iklim (IPCC,2007). Hal itu dapat dipahami karena

lokasimereka yang berhadapan dengan laut, yang sangat rentan terkena

terjangan angin yang besar dari arah laut. Selain itu,banyak kehidupan

masyarakat pesisir yang tergantung pada hasil laut, sehingga perubahan

kondisi laut akan mempengaruhi perubahan pendapatan mereka.Terlepas dari

perdebatan tersebut, kenyataandi lapangan menunjukkan bahwa sudah banyak

nelayan yang menderita karena terjadi perubahan lingkungan, yang

diindikasikan oleh datangnya musim hujan yang tidak menentu, juga


33

datangnya perubahan musim dari musim barat ke musim timur,dan

sebaliknya.

Perubahan-perubahan seperti itu menyulitkan kehidupan nelayan,

karena pekerjaan menangkapikan di laut yang dilakukan oleh nelayan itu

sangat sensitif terhadap terjadinya perubahan cuaca maupun perubahan

lingkungan laut. Memahami permasalahan tersebut, maka penelitian tentang

kerentanan nelayan dalam menghadapi perubahan iklim dilakukan di Lombok,

Jawa Timur (Banyuwangi, Pacitan),dan Sulawesi Utara. Dalam hal ini

kerentanan dilihat dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh

Tuller (2008), yang melihat kerentanan sosial dari tiga aspek, yaitu (1)

Exposureatau keterpaparan bencana perubahan iklim pada masyarakat, (2)

Sensitivitas masyarakatdalam menghadapi bencana perubahan iklim, dan (3)

Kapasitasadaptif, yaitu kemampuan masyarakat untuk mempertahankan

kondisinya dari bahaya perubahan iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

nelayan sudah mengalami anomali caca yang mereka sebut sebagai perubahan

musim, terutama terkait pergeseran dari musim barat ke musim timur dan

sebaliknya, walaupun belum ada kejelasan apakah perubahan tersebut sebagai

akibat dari perubahan iklim. Bagi nelayan, pergeseran perubahan musim itu

sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, karena jumlah hari melaut

dalam setahun lebih sedikit. Musim barat yang lebih panjang dari biasanya

mengakibatkan mereka tidak dapat melaut dalam jangka waktu yang lebih

lama, sehingga jika sebelumnya mungkin hanya dua bulan dalam setahun

mereka tidak dapat melaut, dengan perubahan musim tersebut bisa bertambah
34

menjadi tiga atau empat bulan. Dalam masa-masa itulah nelayan mengalami

paceklik sehingga sulit untuk memperoleh pendapatan. Walaupun secara

umum nelayan sangat peka terhadap anomali cuaca, tetapitingkat sensitivitas

mereka berbeda-beda antara satu kelompok nelayan dengan kelompok

nelayan lainnya. Tidak seperti yang diduga sebelumnya, nelayan yang

menggunakan armada penangkapanyang besar ternyata cenderung lebih

rentan dalam menghadapi perubahan iklim, karena mereka tidak dapat melaut

setiap saat. Sebaliknya,nelayan kecil ternyata justru lebih memiliki

kemampuan adaptasi dalam menghadapi perubahaniklim.

Hasil penelitian di Banyuwangi,misalnya,menunjukkan bahwa nelayan

slerekdan ijo-ijodengan armada penangkapan yang cukup besar,lebih sensitif

terhadap munculnya gelombang besar,yang terjadi pada musim barat. Hal itu

karena penangkapan yang dilakukan oleh dua jenis armada tersebut berada di

tengah lautyang gelombangnya cukup besar. Jika gelombang besar datang,

mereka tidak punya waktu untuk mencari tempat berteduh danmenyelamatkan

diri.

Oleh karena itu,pada saat terjadi perubahan musim barat yang lebih

dari enam bulan di wilayah itu, maka nelayan slerekdan ijo-ijolebih memilih

tidak melaut dan menjadi pengangguran. Hal itu berbeda dengan

nelayanjukung. Walaupun perahunya kecil, tetapikarena penangkapan ikan

hanya dilakukan di pinggir, maka tidak terpengaruh oleh angin barat yang

menimbulkan ombak besar di tengah laut. Selain itu, penangkapan

menggunakan armada jukung juga menggunakan lebih dari satu jenis alat
35

tangkap, sehingga selalu bisa melakukan penangkapan sesuai dengan jenis

ikan yang dominan pada saat itu. Kondisi demikian bukan hanya terjadi di

Banyuwangi, tetapi juga pada nelayan kecil di Pacitan dan Sulawesi Utara

(Wahyono, Imron,dan Daraini, 2014a; Wahyono,Imron,dan Daraini, 2014b).

Perahu slerek memiliki ABK antara 40-50 orang, sedangkan jumlah

ABK ijo-ijo antara 2-25 orang (Imron, 2014).Menyikapi hal tersebut,agar

nelayan memiliki resiliensi dalam menghadapi perubahaniklim,maka

direkomendasikan agar juragan perahu besar juga menyediakan armada kecil

yang bisa dioperasikan oleh ABK-nya pada saat terjadi musim barat,

sebagaimana yang dilakukan oleh nelayan slerekdan ijo-ijodi Banyuwangi.

Dengan cara demikian maka ABK yang mengelola jukungtetap akan

memperoleh pendapatan walaupun pada musim barat, dan pemilik slerekdapat

memperoleh keuntungan dari pembelian ikan yang dijual oleh jukungyang

dikelola oleh ABK yang sudah dibantu.

Selain antara satu kelompok nelayan dengan kelompok nelayan

lainnya, tingkat sensitivitas mereka juga berbeda-beda antara nelayan dalam

satu kelompok penangkapan itu sendiri, tergantung pada statusnya. Nelayan

buruh jelas lebih sensitif dalam menghadapi perubahan musim dibanding

juragan pemilik kapal, karena juragan umumnya memiliki tabungan yang

diperoleh dari akumulasi bagi hasil yang diterima, yang cenderung

menguntungkanjuragan.

Selainperbedaan sensitivitas antara nelayan buruh dengan juragan

pemilik kapal, perbedaan sensitivitas juga terjadi antara nelayan buruh itu
36

sendiri, terutama antara nelayan yang berstatus sebagai nakhoda dan ABK

lainnya. Hal itu karena bagi hasil yang diterimaoleh nakhoda lebih besar dari

ABK lainnya, sehingga seorang nakhoda masih memiliki kemampuan untuk

menabung (Wahyono, Imron,dan Daraini, 2014a).

Aspek lain yang berpengaruh terhadap sensitivitas nelayan dalam

menghadapi perubahan musim adalah keberadaan mata pencaharian alternatif

sebagai diversifikasi usaha. Nelayan di Desa Sidomulyo misalnya, kurang

terpengaruholeh perubahan musim karena selain sebagai nelayan mereka juga

memiliki usaha sampingan bertani padi dan berkebun kelapa. Hal itu berbeda

dengannelayan Desa Grajagan, yang walaupun sama-sama terpapar perubahan

musim, tetapimereka sangat tergantung pada hasil laut dan sama sekali tidak

memiliki matapencaharian lain, sehingga mereka lebih sensitif, walaupun

keduanya sama-sama di wilayah Pacitan dan mereka juga memiliki lokasi

penangkapan ikan(fishing ground) yang relatif sama (Wahyono, Imron,dan

Daraini, 2014a).

Dari tingkat sensitivitas yang berbeda tersebut dapat diketahui

kapasitas adaptif masyarakat, yaitu kemampuan masyarakat untuk

mempertahankan kondisinya dari bahaya perubahan iklim. Nelayan kecil

dengan tingkat sensitivitas yang rendah, lebih mampu melakukan adaptasi

terhadap perubahan iklim. Begitu pula nelayan yang memiliki diversifikasi

usaha, juragan pemilik kapal,dan ABK yang berstatus sebagai nakhoda.

Walaupun pendapatanmereka juga turun,tetapitidak sedrastis jika

dibandingkan dengan kelompok nelayan lainnya, terutama ABK yang bekerja


37

di kapal perikanan yang relatif besar dan tidak memiliki usaha sampingan.

Ada beberapa indikator kerentanan sosial-budaya komunitas pesisir akibat

perubahaniklim, yang dihasilkan dari penelitian ini. Indikator tersebut

merupakan kombinasi antara tingkat keterpaparan, sensitivitas,dan

kemampuanadaptasi masyarakat. Berdasarkan indikator tersebut maka akan

dapat diketahui apakah sebuah komunintas di desa pesisir termasuk dalam

kategori rentan terhadap perubahan iklim.

8. Konsep Teori

a. Teori Tindakan Sosial

Tindakan sosial merupakan salah satu konsep penting dalam ilmu sosial.

Manusia senantiasa melakukan tindakan sosial dalam hubungannya dengan orang

lain. Dalam sosiologi, Max Weber menempatkan tindakan sosial sebagai salah satu

konsep kunci untuk memahami realitas sosial. Memahami tindakan sosial yang

dilakukan oleh individu, menurutnya dapat membuka jalan untuk memahami dunia

sosial.Postingan ini akan membahas tentang tindakan sosial dengan merujuk pada

pemikiran Max Weber, salah satu tokoh besar dalam ilmu sosial khususnya sosiologi.

Pengertian tindakan sosial akan diulas secara ringkas disertai contohnya. Apa itu

tindakan sosial?Tindakan sosial atau dalam Bahasa Inggris diterjemahkan menjadi

social action adalah perilaku yang dilakukan oleh individu dengan pertimbangan

interpretatif atas situasi, intraksi, dan hubungan sosial dikaitkan dengan preferensi

nilai, kepercayaan, minat, emosi, kekasaan, otoritas, kultur, kesepakatan, ide,

kebiasaan, atau lainnya yang dimiliki oleh individu.Tindakan sosial, dengan demikian

melibatkan upaya interpretasi dan preferensi yang dimiliki oleh individu. Dalam
38

upaya melakukan interpretasi dan kaitannya dengan preferensi, individu yang

melakukan tindakan sosial berusaha menangkap makna simbolik yang bisa diperoleh

dari tindakannya tersebut.Menurut Max Weber, terdapat empat tipe tindakan sosial.

Saya akan ulas keempat tipe tersebut disertai contoh untuk agar pembaca memiliki

referensi dan mudah memahami definisi tindakan sosial secara sosiologis.

a. Tindakan rasional. Tindakan ini disebut juga tindakan instrumental

bertujuan. Kata ”rasional” mengandung makna implisit logis dan

instrumental untuk mencapai tujuan. Artinya tindakan sosial dilakukan

dengan pertimbangan untuk mencapai tujuan yang sudah dipikirkan

sebelumnya.Sebagai contoh, kamu memilih naik ojek untuk ke kantor

ketimbang angkutan umum lainnya karena ojek bisa menerobos gang-

gang sempit agar kebih cepat sampai. Ketika kamu bangun kesiangan,

dalam pikiranmu muncul ojek sebagai alternatif transportasi. Akhirnya

kamu memutuskan memilih naik ojek supaya tidak terlambat. Keputusan

naik ojek dalam situasi demikian adalah contoh tindakan sosial

intrumental bertujuan. Tujuannya jelas; agar nggak telat.

b. Tindakan berorientasi nilai.

Tindakan ini dilakukan dengan pertimbangan nilai. Artinya individu yang

bertindak mengutamakan apa yang dianggap baik, lumrah, wajar atau

benar dalam masyarakat di atas tujuan individual. Apa yang dianggap baik

bisa bersumber dari etika, agama, atau bentuk sumber nilai lain.Sebagai

contoh, kamu memilih makan dan minum dengan tangan kanan ketimbang

tangan kiri. Ketika sedang dalam jamuan makan malam dengan pejabat,
39

kamu memilih makan dengan sendok. Keputusan untuk makan dan minum

dengan tangan kanan atau dengan sendok didasarkan atas pertimbangan

nilai. Apabila tidak mempertimbangkan nilai, maka tindakan yang

dilakukan berpotensi dianggap tak wajar, aneh, bahkan mendapat persepsi

negatif dan penolakan dari masyarakat.

c. Tindakan afektif

Tipe tindakan ini didasarkan atas keterlekatan emosional. Emosional di

sini harus ditegaskan berbeda dengan rasional. Pertimbangan emosional

meliputi hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, seperti; marah, sedih,

cinta, empati, simpati, kasihan, bahagia, dan sebagainya. Perlu

digarisbawahi bahwa aspek emosional yang muncul merupakan reaksi

spontan atas apa yang dialaminya. Di sini jelas perbedaannya, apabila

rasional melibatkan pertimbangan mendalam, emosional cenderung lebih

spontan. Sebagai contoh, seseorang yang menangis ketika mendengar lagu

sedih. Tindakannya berupa menagis dilakukan spontan begitu saja ketika

mendengarkan lagu. Menangis dalam contoh ini merupakan bentuk

tindakan afektif.

d. Tindakan tradisional

Tipe tindakan ini menggunakan tradisi, custom, adat atau kebiasaan

masyarakat sebagai pertimbangannya. Biasanya tindakan tradisional

dilakukan tanpa perencanaan. Tujuan dan cara melakukannya berbentuk

repetitif atau mengulang apa yang biasanya dilakukan.


40

Sebagai contoh, beberapa kelompok masyarakat muslim di Jawa

menyelenggarakan tahlilan rutin setiap malam jumat. Upacara-upacara

adat untuk memperingati keluarga yang sudah meninggal dilakukan oleh

beberapa suku di Indonesia dengan cara yang berbeda-beda. Mereka yang

turut merayakan atas nama menjalankan tradisi, artinya melakukan

tindakan tradisional.Keempat tipe tindakan tersebut berguna untuk

menganalisis makna simbolis dari tindakan yang dilakukan individu.

Makna simbolis dapat diidentifikasi dengan cara melakukan interpretasi

dan mengklasifikasi tipe tindakan sosial apa yang dilakukan oleh

individu.Tipe tindakan di atas merupakan salah satu kontribusi penting

Max Weber dalam disiplin sosiologi. Memahami teori tindakan sosial

adalah memahami masyarakat secara interpretatif. Di sinilah sosiologi

bisa memberi penjelasan kausal mengenai fenomena sosial. Menurut

Weber:Sosiologi adalah ilmu yang menawarkan pemahaman interpretatif

terhadap tindakan sosial yang dengannya dapat menyediakan penjelasan

sebab-akibat dari fenomena sosial. Kita harus menyebut perilaku sebagai

”tindakan” sejauh itu berkaitan dengan makna subjektif yang berikan

individu, baik yang dilakuan secara sembunyi-sembunyi atau terang-

terangan. Tindakan adalah ”sosial” sejauh makna subjektifnya melibatkan

perilaku dengan yang lain dan oleh karenanya, diorientasikan untuk

tindakan tersebut”.Dengan konsep makna subjektif, sosiologi dapat

memahami orientasi, motivasi, dan penyebab dari tindakan yang

dilakukan individu meskipun motif tersebut tak bisa diobservasi.


41

e. Teori Pertukaran Sosial

Teori pertukaran sosial adalah sebuah teori psikologi sosial. Selain itu,

teori pertukaran sosial adalah sebuah perspektif sosiologi yang

menjelaskan tentang perubahan sosial dan stabilitas sebagai sebuah proses

pertukaran negosiasi antara berbagai macam pihak. Teori pertukaran

sosial menyatakan bahwa hubungan antar manusia dibentuk oleh analisis

untung-rugi subyektif dan perbandingan dari berbagai alternatif yang

tersedia.Teori pertukaran sosial memiliki akar dari ilmu ekonomi,

psikologi, antropologi, dan sosiologi. Beragamnya latar belakang disiplin

ilmu yang mendasari teori pertukaran sosial mengakibatkan beragam pula

karakteristik yang dimiliki pertukaran. Perbedaan inilah yang

menyebabkan para peneliti menggunakan teori pertukaran sosial sebagai

kerangka konseptual mereka yang terkadang berbeda dengan prinsip-

prinsip teori dan kerangka kerja yang mendasarinya.Teori pertukaran

sosial dibangun dengan beberapa asumsi yang telah memandu penelitian

dalam berbagai konteks komunikasi yaitu komunikasi interpersonal atau

kumunikasi antar pribadi dan komunikasi organisasi, utamanya terkait

dengan beberapa teori yang menitikberatkan pada proses hubungan antar

manusia seperti misalnya teori penetrasi sosial. Sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya bahwa teori pertukaran sosial memiliki akar dari

beragam disiplin ilmu. Beberapa tokoh dengan latar belakang disiplin

ilmu yang berbeda telah mengembangkan teori pertukaran sosial, yaitu

George Homans (1958), Harold Kelley dan John Thibaut (1959), Peter M.
42

Blau (1964a), Levi Strauss, dan Richard Emerson berdasarkan sudut

pandangnya masing-masing.George Homans memandang teori pertukaran

sosial dari sudut pandang sosiologi. Menurutnya, yang dimaksud dengan

pertukaran sosial adalah pertukaran kegiatan antara dua orang, baik dapat

dihitung ataupun tidak, dan kurang lebih menguntungkan atau merugikan.

Homans menitikberatkan pada perilaku individu dalam interaksinya

dengan orang lain. Homans memusatkan studinya pada pertukaran

diadik.Sementara itu, Harold Kelley dan John Thibaut menitikberatkan

studinya pada konsep-konsep teori psikologi, diadik, dan kelompok kecil.

Harold Kelley dan John Thibaut melalui model pertukaran sosial

memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang.

Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu

yang memenuhi kebutuhannya (Rakhmat, 2001 : 121).Tokoh lain yang

mengembangkan teori pertukaran sosial adalah Peter M. Blau yang

memandang teori pertukaran sosial dari sudut pandang ekonomi dan lebih

menekankan pada analisis teknis ekonomis. Menurut Blau, jika kita

terlalu fokus pada aspek individu sebagaimana yang dinyatakan dalam

sudut pandang psikologi dalam teori pertukaran sosial, maka kita tidak

dapat melihat aspek lain yang penting yaitu pertukaran sosial.Levi Strauss

seorang ahli antropologi memandang teori pertukaran sosial yang

menitikberatkan pada sistem pertukaran secara umum seperti pertukaran

sistem. Richard Emerson memandang bahwa pertukaran sosial bukanlah

sebuah teori namun sebuah kerangka kerja yang mencakup berbagai teori
43

dan dapat dibandingkan dengan fungsionalime struktural. Menurut

Emerson, teori pertukaran sosial adalah sebuah pendekatan dalam

sosiologi yang menggambarkan secara sederhana situasi-situasi sosial

non-ekonomi sebagaimana sebuah analisis ekonomi. Teori pertukaran

membawa bentuk analisis kuasi ekonomis ke dalam situasi sosial

B. Kerangka Pikir

Pola fikir yang melandasi penelitian ini adalah budaya maritim masyarakat

nelayan di pulau matalaang dimana budaya maritim itu sendiri adalah segala

aktivitas atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan turun

temurun dari nenek moyang.

Masyarakat Nelayan di Pulau


Matalaang Kabupaten Pangkep

Budaya Maritim
Masyarakat Nelayan

nn

Budaya Maritim Kerja Sama Antar


Masyarakat Nelayan

Modernisasi dan
Globalisasi

Hasil dan temuan


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

1. Jenis penelitian

Mengenai budaya maritim pada masyarakat nelayan di Pulau

Matalaang, metode penelitian yang digunakan adalah meteode penelitian

kualitatif. Karakteristik penelitian kualitatif yakni mencoba memperoleh

gambaran yang jelas, bersifat holistic dan memahami makna (Sugiyono,

2017). Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah alat pengumpul data utama.

Hal ini dilakukan karena peneliti sebagai “alat” yang sangat memungkinkan

untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan di lapangan.

Peneliti menempatkan dirinya selama peranan sebagai pelaku yang ditelitinya

dan mencoba untuk dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna

mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala social yang

diamatinya.

Penelitian ini bersifat deskriptif, karena penelitian ini dipandang

mampu menganalisa realitas sosial secara mendetail, membuka,

menggambarkan atau menguraikan sesuatu dengan apa adanya. Baik yang

berbentuk kata-kata, maupun bahasa serta bertujuan untuk memahami

fenomena dan temuan-temuan yang ditemukan ataupun oyang terjadi

dilapangan berdasarkan persepsi, motivasi, perilaku, dan lain-lain.

44
45

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian kualitatif deskriptif yaitu

pendekatan fenomenologi. Alasan peneliti menggunakan pendekatan

fenomenologi yaitu untuk mendalami dan menggambarkan berbagai

fenomena terkait budaya maritim yang saat ini masih menjadi persoalan di

kalangan masyarakat nelayan Pulau Matalaang untuk melahirkan konsep dan

pemecahan terkait fenomena yang terjadi.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian :

Terkait lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di Pulau Matalaang

Kabupaten Pangkep dan terkait dengan peristiwa dan issu yang akan di bahas

yaitu masyarakat disana memiliki budaya maritim yang unik selain itu

banyaknya anak masyarakat nelayan yag putus sekolah dan persoalan tersebut

menjadi perbincangan masyarakat sehingga peneliti tertarik meneliti lebih

dalam.

Waktu penelitian ini akan dilakasanakan di Pulau Matalaang Kabupaten

Pangkep. Pelaksanaan penelitian ini akan dilakukan pada tanggal keluarnya

izin penelitian dalam kurung waktu 2 bulan.


46

2. Waktu penelitian

Bulan I Bulan II Bulan III


No Jenis Kegiatan
I II III IV I II II IV I I III I
Pengumpulan
proposal
Penyusunan
proposal
Konsultasi
pembimbing
Seminar proposal
Pengurusan izin
penelitian
Penyusunan
instrument
Pengumpulan
Data
Analisis data
Penyusunan hasil
penelitian

C. Informan Penelitian

Informan penelitian ditentukan dengan teknik purposive sampling yaitu

penentuan informasi tidak didasarkan pedoman atau berdasrkan perwakilan,

populasi, namun berdasarkan kedalam informasi yang dibutuhkan, yaitu dengan

menentukan informan kunci yang kemudian akan dilanjutkan informan lainnya

dengan tujuan mengembangkan dan mencari informasi sebanyak-banyaknya yang

berhubungan dengan permasalahan penelitian.


47

Arikunto ( 1999:128), bahwa penempatan informan menjadi sampel dengan

tujuan tertentu disebut dengan sampel bertujuan atau purposive sampling dimana

peneliti menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu, tetapi harus memenuhi

syarat-syarat ilmiah sebagai berikut:

1. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat, atau

karakteristik tertentu, yang merupakan cici-ciri pokok populasi

2. Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang

paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat dalam populasi

3. Penentuan karakteristik dilakukan dengan cermat di dalam studi

pendahuluan

Hendrosono dalam suyanto(2005:17-172),informan peneliti ini meliputi 3

macam yaitu:

1. Informan kunci ( key informan), yaitu mereka yang mengetahui

dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam

meneliti

2. Informan utama, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam

interaksi sosial yang diteliti

3. Informan tambahan, mereka yang dapat memberikan informasi

walaupun tidak secara langsung terlibat dalam interaksi sosial yang

diteliti.

Berdasarkan uraian di atas, maka informan ditentukan dengan

teknik purposive sampling yaitu penentuan informan tidak

didasarkan pedoman atau berdasarkan perwakilan populasi, namun


48

berdasarkan kedalam informasi yang dibutuhkan, yaitu dengan

menentukan informan kunci yang kemudian akan dilanjutkan

informan lainnya dengan tujuan mengembangkan dan mencari

informasi sebanyak-banyaknya yang berhubungan dengan

permasalahan penelitian, maka dalam penelitian ini digunakan

yang terdidri dari:

1) Irforman kunci,berjumlah 4 (Empat) orang yaitu Masyarakat

Pulau Matalaang

2) Informan Utama,berjumlah 4 (Empat) orang yaitu:

a. 2 ( Dua) kepala keluarga masyarakat nelayan

b. 2 ( Dua) anggota masyarakat nelayan

3) Informan tambahan, berjumlah 4 (Empat) orang yaitu

masyarakat setempat

Orang-orang pilihan penelitian dianggap terbaik dalam

memberikan informasi yang dibutuhkan penelitian sebanyak 12

orang,dengan kriteria sebagai berikut:

a. Masyarakat nelayan pulau matalaang

b. Masyarakat asli pulau matalaang

c. Sudah menikah
49

D. Fokus Penelitian

Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan yang

tinggal di Pulau Matalaang, sehingga penelitian harus memiliki batasan yang disebut

fokus penelitian artinya intisari penelitian yang dilakukan.

E. Instrumen Penelitian

Dalam pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara

sebagai berikut :

1. Daftar pedoman wawancara digunakan sebagai pedoman dalam mengajukan

pertanyaan-pertanyaan kepada informan.

2. Buku catatan dan pena digunakan untuk mencatat seluruh keterangan yang

diberikanoleh informan.

3. Kamera digunakan untuk mendokumentasikan seluruh peristiwa yang terjadi

selama proses penelitian.

4. Dokumentasi digunakan untuk melihat melihat seluruh peristiwa yang telah

terjadi selama proses penelitian.

E. Jenis dan Sumber Data

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden baik

datadari sampel maupun informan dari penelitian. Data tersebut berkaitan

dengan budaya maritim.Pada penelitian ini data primer yang digunakan untuk

mengetahui budaya maritim masyarakat nelayan berupa observasi.


50

2. Data sekunder

Data sekunder adalah penelitian yang bersumber dari dari dokumen berupa buku,

jurnal, blog, web dan arsip yang terkait dengan tujuan penelitian.

F. Teknik PengumpulanData

Dalam penelitian ini akan menggunakan alat pengumpulan data berupa :

1. Observasi

Observasi merupakan pengamatan secara langsung apayang dilihat,

didengar dan dirasakan atas kejadian yang berlangsung. Manusia melihat dan

mengamati lingkungannya. Pengamatan berperan serta sebagai penelitian

yang bercirikan interaksi social yang memakan waktu cukup lama antara

peneliti dengan subjek dalam lingkungan subjek (Moleong, 2002).

Observasi dilakukan dengan cara mengamati segala kegiatan dan

aktivitas keluarga nelayan di Pulau Matalaang. Data yang dikumpulkan dari

kegiatan pengamatan secara garis besar yaitu mengenai keadaan fisik daerah

penelitian seperti daerah tempat tinggal atau perkampungan nelayan, data

anak putus sekolah pada keluarganelayan, dan aktivitas nelayan dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Wawancara

Wawancara yang dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih

konkrit dan pendirian seseorang yang tidak didapat melalui pengamatan.

Teknik wawancara dilakukan tanpa terikat oleh semua daftar pertanyaan yang

telah disiapkan sebelumnya dan informan diberikan kebebasan untuk

menjawab semua pertanyaan yang diberikan.Dalam melakukan wawancara


51

ini, peneliti mencoba menciptakan suasana yang nyaman dengan para informa

yang ada di Pulau Matalaang, agar selama wawancara berlangsung informan

tidak jenuh dan mau memberitahukan semua informasi yang dibutuhkan

terkait dengan topik penelitian ini. Aspek yang diwawancarai adalah

mewawancarai nelayan di Pulau Matalaang.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan pengumpulan bukti dan keterangan

seperti gambar, rekaman, kutipan materi dan berbagai bahan referensi

lain yang berada dilokasi penelitian dan dibutuhkan untuk memperoleh

data yang valid.

G. Teknik Analisis Data

Bogdam ( dalam Sugioyono, 2016; 244 ), analisa data adalah proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan cara

mengorganisasikan data kedalam kategori, penjabaran dalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan

yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh

diri sendiri dan orang lain.

Teknik analisis data yang dipakai peneliti adalah analisis data

berlangsung atau mengalir ( flow model analysis ). Ada beberapa langkah-langkah

yang dilakukan pada teknik analisis data tersebut yaitu:


52

1. Tahap Reduksi Data

Merupakan suatu bentuk analisis data yang menajamkan, menggolongkan,

mengarahakan, membuang yang tidk perlu dan mengorganisasikan data

dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan

diverifikasikan. Objek yang akan diredukasi dalam hal ini adalah data yang

diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi terkait Budaya

Maritim Masyarakat Nelayan di Pulau Matalaang Kabupaten Pangkep.

2. Tahap Penyajian Data

Tahap kedua dari prosedur analisis data adalah penyajian data yang

merupakan sekumpulan informasi yang menyatakan adanya kemungkinan

penarikan kesimpulan bahkan sampai pada pengambilan tindakan. Data yang

disajikan pada tahapan ini adalah datayang diperoleh melalui wawancara,

observasi, dan dokumentasi tentang Budaya Maritim Masyarakat Nelayan di

Pulau Matalaang Kabupaten Pangkep.

3. Menarik Kesimpulan

Kegiatan analisis data yang ketiga adalah menarik kesimpulan. Menarik

kesimpulan dilakukan setelah dilakukannya redukasi data dan penyajian data.

Penarikan kesimpulan adalah membuat kesimpulan berdasarkan data-data

yang diperoleh dan telah dilakukan redukasi serta penyajian dari data hasil

penelitian tentang Budaya Maritim Masyarakat Nelayan di Pulau Matalaang

Kabupaten Pangkep.
53

H. Teknik Keabsahan Data

Menurut Sugiyono (2016: 267), uji keabsahan data dalam penelitian

ditekankan pada uji validitas dan rehabilitas. Dalam penelitian kualitatif, kriteria

utama terhadap data hasil penelitian adalah, valid, reliable dan objektif. Data dapat

dikatan valid apabila data tidak mengalami perbedaan antara data yang dilaporkan

oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian.

Untuk melakukan pengujian terhadap keabsahan data dapat dilakukan dengan

cara uji kreabilitas. Menurut Sugiyono ( 2016: 270), dalam melakukan uji kredibilitas

data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif antara lain dilakukan

dengan cara sebagai berikut:

1. Perpanjangan Pengamatan

Perpanjangan pengamatan yaitu peneliti kembali kelapangan melakukan

pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data yang pernah ditemui

maupun baru. Dengan perpanjangan pengamatan ini berarti hubungan peneliti

dengan narasumber akan semakin akrab (tidak ada jarak lagi), semakin

terbukan, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang

disembuyikan lagi. Dalam perpanjangan pengamatan untuk menguji

kredibilitas dalam penelitian ini, sebaiknya difokuskan pada pengujian

terhadap data yang telah diperoleh, apakah data yang diperoleh itu setelah di

cek kembali kelapangan benar atau tidak, berubah atau tidak. Bila dicek

kembali ke lapangan data sudah benar berarti kredibel, maka perpanjangan

pengamatan dapat di akhiri.


54

2. Meningkarkan Ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih

cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan

uraian peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis.

3. Trianggulasi

Trianggulasi dalam pemeriksaan keabsahan data diartikan sebagai

pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai

waktu. Teknik keabsahan data dalam penelitian ini, dapat dijelaskan sebagai

berikut:

a. Trianggulasi Sumber, untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan

cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.

Sebagai contoh, untuk menguji kredibilitas tentang bagaimana

keberlanjutan perekonomian masyarakat maka pengumpulan dan

pengujian data yang telah diperoleh dilakukan kepada orang-orang yang

terlibat langsung dalam perekonomian masyarakat.

b. Trianggulasi Teknik, untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan

cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang

berbeda. Misalnya diperoleh dengan wawancara, lalu dicekdengan

observasi atau dokumentasi.

c. Trianggulasi waktu, untuk menguji kredibilitas data dapat dilakukan

dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau

teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda.


BAB IV

GAMBAR UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Lokasi Penelitian

1) Sejarah singkat Kabupaten Pangkep

Kabupaten Pangkep adalah Salah satu Kabupaten di Provinsi sulawesi

Selatan, Indonesia. Ibu Kotanya adalah Pangkejene. Kabupaten ini memiliki luas

wilayah 1.112,29 km² tetapi setelah diadakan analisis bersama Bakosurtanal,

luas wilayah tersebut direvisi menjadi 12.362,73 km² dengan luas wilayah

daratan 898,29 km² dan wilayah laut 11.464,44 km².

Asal kata Pangkajene dipercaya berasal dari sungai besar yang membelah

kota Pangkep. Pangka berarti cabang, dan Je'ne berarti air. Ini mengacu pada

sungai yang membelah kota Pangkep yang membentuk cabang.

Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan merupakan kabupaten yang struktur

wilayah terdiri atas 2 bagian utama yang membentuk kabupaten ini yaitu: 1.

Wilayah Daratan Secara garis besar wilayah daratan Kabupaten Pangkajene, dan

Kepulauan ditandai dengan bentang alam wilayah dari daerah dataran rendah

sampai pegunungan, di mana potensi cukup besar juga terdapat pada wilayah

daratan Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan yaitu ditandai dengan terdapatnya

sumber daya alam berupa hasil tambang, seperti batu bara, marmer, dan semen.

Disamping itu potensi pariwisata alam yang mampu menembah pendapatan

daerah.

55
56

Kecamatan yang terletak pada wilayah daratan Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan yaitu terdiri dari : Kecamatan Pangkajene, Kecamatan Balocci,

Kecamatan Bungoro, Kecamatan Labakkang, Kecamatan Ma’rang, Kecamatan

Segeri, Kecamatan Minasa Te’ne, Kecamatan Tondong Tallasa, dan Kecamatan

Mandalle.

Wilayah Kepulauan Wilayah kepulauan Kabupaten Pangkajene, dan

Kepulauan merupakan wilayah yang memiliki kompleksitas wilayah yang sangat

urgen untuk dibahas, wilayah kepulauan Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan

memiliki potensi wilayah yang sangat besar untuk dikembangkan secara lebih

optimal, untuk mendukung perkembangan wilayah Kabupaten Pangkajene, dan

Kepulauan. Kecamatan yang terletak di wilayah Kepulauan Kabupaten

Pangkajene dan Kepulauan yaitu:

1. Kecamatan Liukang Tupabiring

2. Kecamatan Liukang Tupabiring Utara

3. Kecamatan Liukang Kalmas

4. Kecamatan Liukang Tangaya

2) Budaya Maritim

Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dicirikan dengan wilayah

perairannya lebih luas dibandingkan daratannya dengan perbandingan 1

berbanding 17. Kabupaten Pangkep memiliki 117 pulau dan hanya 80 diantara

yang berpenghuni, terbagi dalam 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tuppabiring,

Kecamatan Liukang Kalmas dan Liukang Tangayya. Dasar hukum penetapan

perairan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep adalah


57

SK Bupati Pangkep No. 180 tahun 2009 yang ditandatangani pada tanggal 5

Januari 2009. Sarana dan prasarana transportasi yang tersedia di kecamatan

kepulauan Kabupaten Pangkep sangat terbatas, sehingga aksesbilitas masyarakat

dari dan ke wilayah kepualauan tergolong sulit. Bahkan, di beberapa pulau tidak

ada kapal angkutan penumpang, sehingga aksesibilitas masyarakat antar pulau

menggunakan perahu nelayan. Hasil tangkapan perikanan laut mencapai 7.944,3

ton dan budidaya rumput laut 7.174 ton. Adapun jenis ikan di perairan Pangkep

adalah peperek, gerot-gerot, kakap merah, kerapu, lencam, cucut, pari, layang,

selar, kuwe, tetengkek, tenggiri, belanak, teripang, tembang, lamuru, kembung,

gulama, cakalang, rajungan, udang putih, cumi-cumi, bawal putih, senanging,

udang (dogol, windu, kipas), japuh, terubuk, tuna, teri, dan lain-lain.

3) Masyarakat Nelayan di Pulau Matalaang

Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan

masyarakat maritim, cepat atau lambat pasti mengalami

dinamika / perkembangan. Dinamika tersebut meliputi wujud-wujud teknologi

dan benda/karya, perilaku dan kelembagaan, sistem-sistem budaya

kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi kenyataan pula bahwa biasanya

dalam dinamika ada tradisi bertahan (continuety), ada elemen-elemen dan tatanan

inti (struktur elementer) bertahan, yang dalam banyak hal justru ditopang oleh

atau menopang proses dinamika itu sendiri. Proses dinamika dan bertahannya

tradisi akan mempengaruhi situasi dan kondisi sosial ekonomi serta lingkungan

sumberdaya alam dimanfaatkannya.


58

Mata pencaharian sebagian besar warga Pulau Matalaang adalah sebagai

nelayan sub sisten (hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari). Alat

tangkap yang paling banyak digunakan adalah alat tangkap lanra (jaring insang

monofilamen) dan mini trawl untuk menangkap kepiting dan udang. Pukat

banyara digunakan untuk mencari ikan terbang, sedangkan pancing (kedo-kedo)

digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang dan cumi-cumi. Lokasi

penangkapan kepiting dan udang (dengan mini trawl) dan ikan terbang (dengan

banyara) relatif dekat, yaitu di sekitar pulau tempat tinggal warga. Pemancingan

ikan dan cumi-cumi dilakukan oleh masyarakat ketika musim Barat tiba, dimana

ombak relatif besar, sehingga kegiatan penangkapan tersebut tidak dilakukan di

lokasi yang jauh, tetapi di daerah terumbu karang sekitar pulau dengan

menggunakan pancing tradisional. Hasil yang didapatkan hanya diperuntukkan

bagi pemenuhan konsumsi rumah tangga sehari-hari.

B. Keadaan Geografis

Berdasarkan letak astronomis, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan berada

pada 11.00’ bujur timur, dan 040. 40’ – 080. 00’ lintang selatan.

Secara Administratif Luas wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

adalah 12.362,73 Km2 (setelah diadakan analisis Bakosurtanal) untuk wilayah

laut seluas 11.464,44 Km2, dengan daratan seluas 898,29 Km2, dan panjang garis

pantai di Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan yaitu 250 Km, yang membentang

dari barat ke timur. Di mana Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan terdiri dari 13

kecamatan, di mana 9 kecamatan ternletak pada wilayah daratan, dan 4 kecamatan

terletak di wilayah kepulauan.


59

Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan merupakan kabupaten yang struktur

wilayah terdiri atas 2 bagian utama yang membentuk kabupaten ini yaitu:

1. Wilayah Daratan Secara garis besar wilayah daratan Kabupaten

Pangkajene, dan Kepulauan ditandai dengan bentang alam wilayah dari

daerah dataran rendah sampai pegunungan, di mana potensi cukup besar

juga terdapat pada wilayah daratan Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan

yaitu ditandai dengan terdapatnya sumber daya alam berupa hasil tambang,

seperti batu bara, marmer, dan semen. Disamping itu potensi pariwisata

alam yang mampu menembah pendapatan daerah. Kecamatan yang terletak

pada wilayah daratan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yaitu terdiri

dari : Kecamatan Pangkajene, Kecamatan Balocci, Kecamatan Bungoro,

Kecamatan Labakkang, Kecamatan Ma’rang, Kecamatan Segeri,

Kecamatan Minasa Te’ne, Kecamatan Tondong Tallasa, dan Kecamatan

Mandalle.

2. Wilayah Kepulauan Wilayah kepulauan Kabupaten Pangkajene, dan

Kepulauan merupakan wilayah yang memiliki kompleksitas wilayah yang

sangat urgen untuk dibahas, wilayah kepulauan Kabupaten Pangkajene, dan

Kepulauan memiliki potensi wilayah yang sangat besar untuk

dikembangkan secara lebih optimal, untuk mendukung perkembangan

wilayah Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan. Kecamatan yang terletak

di wilayah Kepulauan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yaitu:

Kecamatan Liukang Tupabiring, Kecamatan Liukang Tupabiring Utara,

Kecamatan Liukang Kalmas, Kecamatan Liukang Tangaya


60

1. Wilayah Administratif

Wilayah kepulauan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dengan luas

wilayah laut 11.464,44 Km², dengan pulau sebanyak 115 pulau, 73 pulau

berpenghuni dan 42 yang tidak berpenghuni, merupakan wilayah yang memiliki

kompleksitas yang sangat urgen untuk dibahas, wilayah kepulauan Kabupaten

Pangkajene dan Kepulauan memiliki potensi wilayah yang sangat besar untuk

dikembangkan secara lebih optimal, untuk mendukung perkembangan wilayah

Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

Pemerintah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan sampai pada Tahun 2018,

wilayah administratifnya mencakup 13 Kecamatan, 4 Kecamatan Kepulauan,

yakni Kecamatan Liukang Tangaya, Liukang Kalmas, Liukang Tupabbiring,

Liukang Tupabbiring Utara, 9 Kecamatan Daratan yakni; Pangkajene,

Minasatene, Balocci, Tondong Tallasa, Bongoro, Labakkang, Ma’rang, Segeri,

dan Mandalle dengan jumlah desa/kelurahan sebanyak 103.

Luas wilayah dan jumlah desa di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan disajikan

padaTabel

2. Iklim dan cuaca

Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan kondisi tipe iklim ini menjadi iklim

tipe C1 dengan bulan kering < 2 bulan, iklim tipe C2 dengan bulan kering 2-3

bulan, dan iklim dengan bulan kering 3 bulan. Keduanya memiliki bulan basah

antara 5-6 bulan secara berturut-turut dalam satu tahun dengan curah hujan rata-

rata 2.500-3.000 mm/tahun. Tipe ini merupakan tipe iklim agak basah.

Temperatur udara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan berada pada kisaran


61

21 sampai dengan 31 atau rata-rata 26,4 C. Keadaan angin berada pada kecepatan

lemah sampai sedang. Tempat pendeteksiaan hujan berada di stasiun tabo-tabo,

leang lonrong dan stasiun segeri. Pada tahun 2019 curah hujan tertinggi mencapai

640/131 hari hujan berdasarkan catatan dari stasiun tabo-tabo dengan kelembapan

yang tidak merata

Namun secara umum wilayah Kabupaten Pangkajene memiliki topografi

daratan dan pulau.

Gambar 4.1. Peta admistrasi Kabupaten Pangkajene

Batas administrasi dan batas fisik Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah

sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Barru.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros.

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bone.


62

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan

Madura, Pulau Nusa Tenggara dan Pulau Bali.

Untuk lebih jelasnya wilanyah kab. Pangkajene dapat dilihat melalui batas

wilanyah sebagai berikut :

Tabel 4.2 Batas Wilayah Kabupaten Pangkajene dan Keplauan

No Batas Daerah/Wilanyah sekitar

1 Timur Kabupaten Bonne

Barat Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan

Madura, Pulau Nusa Tenggara dan Pulau

Bali.

Utara Kabupten Barru

Selatan Kabupaten Maros

Bada Pusat Statistik Kabupaten Pngkajene 2019


63

C. Keadaan Penduduk

Pada hasil Sensus tahun 2010 menyatakan penduduk Kabupaten Pangkajene, dan

Kepulauan sekitar 305.737 Jiwa yang terdiri atas 147.229 Laki-Laki, dan 158.508

Jiwa.

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

No Desa/ kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah Total

1 Matalaang 714 865 1.579

2 Sanane 455 468 923

3 Makaranganna 141 131 272

4 Sabalana 259 294 553

5 Pamolikang 118 107 225

6 Lilikang 108 111 219

Jumlah 1.795 1.976 2.193.579

Bada Pusat Catatan sipil Kabupaten Pngkajene 2019


64

D. Keadaan Pendidikan

Pendidikan merupakan aspek yang sangat urgen dalam hidup, keberadaan

pendidikan merupakan ruang ilmiah dimana berlangsungnya suatu proses

transformasi ilmu pengetahuan dari tenaga pendidik terhadap siswa Masyarakat

Manggarai Barat sudah sadar sepenuhnya bahwa pendidikan memegang peran

penting untuk kehidupan, sehingga sekarang ini di Kabupaten Pangkajene

umumnya anak-anak usia sekolah sedang dibangku pendidikan.

Tabel 4.4 jenjang Pendidikan Kepulauan Matalaang

No Tingkat pendidkan Jumlah

1. Belum Sekolah 1100 orang

2 Tamat SD/Sederajat 1022 orang

3 SLTP/Sederajat 1075 orang

4 SLTA/Sederajat 1865 orang

5 D-1 3 Orang

6 D-3 3 Orang

7 S-1 6 Orang

Sumber: Profil Kepulauan Matalaang Tahun 2019


65

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Indonesia merupakan Negara Maritim yang memiliki beribu-ribu pulau

dengan area teritorial laut yang sangat luas. Daratan Indonesia seluas 1.904.569

km2 dan lautannya seluas 3.288.683 km2 yang membentang sepanjang

khatulistiwa dan terletak antara benua Asia dan Australia.1 Hal tersebut

menunjukkan bahwa wilayah laut lebih luas dari wilayah daratan, terdapat 5 pulau

besar dan ratusan pulau kecil lainnya, baik yang berpenghuni maupun yang tidak

berpenghuni. Sejatinya laut merupakan penghubung antara pulau yang satu

dengan yang lain.

Bagi masyarakat yang berada di pesisir atau kepulauan yang berjiwa Maritim

diperlukan kepandaian dalam menaklukkan lautan luas serta pandai mengarungi

lautan dengan melakukan pelayaran ke berbagai daerah lainnya baik untuk

berdagang maupun untuk mencari ikan. Pada hakekatnya jauh sebelum

masyarakat Indonesia memperjuangkan hak-hak kebebasan demi mencapai

kemerdekaan dari imperialism barat, pada mulanya pengenalan dan penerapan

sistem pelayaran dan perdagangan merupakan salah satu mata pencaharian yang

utama dan hingga saat ini terus mengalami perkembangan. Masyarakat pesisir

pada saat itu tidak hanya mampu mengarungi perairan Nusantara, akan tetapi

lebih dari itu seperti yang diketahui oleh orang Indonesia telah mampu berlayar

sampai pada jarak terjauh seperti Madagaskar yang terletak di Samudera Hindia.

65
66

Keadaan geografis suatu daerah sangat berpengaruh terhadap kebudayaan

suatu masyarakat didaerah tersebut. Masyarakat yang bermukim didaerah

pedalaman, akan mengembangkan budaya agraris. Demikian pula dengan

masyarakat yang bermukim di daerah pesisir pantai dan daerah kepulauan yang

tentu saja akan berbudaya kelautan (maritim).

1. Budaya Maritim Masyarakat Nelayan di Pulau Matalaang Kabupaten

Pangkep

Setiap kebudayaan dan masyarakat di Indonesia terkhusus di kepulauan

yang ada disetiap daerah, tidak terkecuali kebudayaan dan masyarakat maritim,

cepat atau lambat pasti mengalami dinamika / perkembangan. Dinamika tersebut

meliputi wujud-wujud teknologi dan benda/karya, perilaku dan kelembagaan,

sistem-sistem budaya kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi kenyataan

pula bahwa biasanya dalam dinamika ada tradisi bertahan (continuety), ada

elemen-elemen dan tatanan inti (struktur elementer) bertahan, yang dalam banyak

hal justru ditopang oleh atau menopang proses dinamika itu sendiri. Proses

dinamika dan bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan kondisi sosial

ekonomi serta lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya.

Adapun bunyi pertayaan yang diajukan yaitu, Bagaimana fungsi

masyarakat Nelayan dalam meningkatkan budaya maritim di Pulau Matalaang?

Hasil wawancara dari salah satu masyarakat Ranja (32 tahun) pekerjaan

sebagai Nelayan

“masyarakat nelayan sebagai suatu kebudayaan terutama di Pulau


Matalaang, pada umumnya menjaga kelestarian laut, dan hasil tangkap
67

ikan dan biota laut lainnya akan dijual di pasar atau di kota seperti di
Makassar, jadi fungsi kami menangkap ikan agar kebutuhan masyarakat
lain dari hasil tangkap kami bisa terpenuhi dan bisa dinikmati bersama dan
meningkatkan saran prasarana seperti alat-alat tangkap ikan serta biota
laut lainnya yang akan digunakan masyarakat nelayan agar hasil mencari
bisa menjual ikan serta biota lainnya akan memuaskan bagi kami
masyarakat nelayan. (14/10/2019)”

Hasil wawancara, Peneliti menyimpulkan bahwa di pulau Matalaang

masyarakat memiliki fungsi masing-masing dan bekerja sama menjaga budaya

dan kelestarian laut agar dapat mereka nikmati hasilnya bersama-sama.

Pelabuhan merupakan salah satu rantai perdagangan sangat penting dari

seluruh proses perdagangan baik itu perdagangan antar pulau maupun

internasional. Sebagai titik temu antar transportasi darat dan laut, peranan

pelabuhan menjadi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan perekonomian

masyarakat pulau.

Seperti yang di ungkapkan oleh bapak Syarifuddin ( 31 tahun ) Pekerjaan

sebagai Masyarakat Nelayan di Pulau Matalaang, dengan pertanyaan, Bagimana

Tindakan Sosial Masyarakat Nelayan dengan budaya Maritim di Pulau

Matalaang?

“Tindakan sosial masyarakat di Pulau Matalaang ini dengan Budaya


Maritim sama-sama menjaga kelestarian laut, sehingga tidak menjadi
gangguan saat kami turun mencari di laut dan kami juga melakukan yang
namanya sedekah laut dengan tujuan agar terhalau dari mala petaka ketika
mencari dilaut, begitulah cara kami dalam tindakan sosial untuk Pulau
Matalaang dalam Budaya Maritim” ( 14/10/2019)
68

Tindakan sosial Masyarakat Nelanyan di Pulau Matalaang ini, masih

sangat toleran dalam Budaya Nenek Moyang Mereka, atau masih mempercanyai

hal-hal mistis untuk bisa menambah rezeki.

Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan

berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial

masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari

konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di

kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan .

Walaupun demikian di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya

bermata pencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudi daya perairan,

kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas

kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan. Baik nelayan, petambak,

maupun pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang

langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan.

Dalam meleksanakan kegiatan masyarakat nelayan di Pulau Matalaang,

Pemerintah juga ikut serta dalam peran budaya maritim di Pulau Matalaang,

Seperti yang disampaikan oleh Muriani (32 tahun) selaku RT di Pulau Matalaang.

“Peran pemerintah memang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat,


apata lagi masyarakat dikepulauan seperti di Pulau Matalaang ini, jadi
pemerintah juga menyediakan sarana-perasarana untuk dibagikan kepada
masyarakat disini, seperti Kapal-kapal kecil dan alat-alat tangkap ikan
serta biota laut lainnya. Bahkan ketika masyarakat mengadakan acara
sedekah laut atau acara-acara lainnya, Pemerintah juga ikut hadir dan
menyaksikan selama kegiatan berproses sampainya selesai. (16/10/2019)”
69

Hasil wawancara ini, Peneliti dapat menyimpulkan bahwa, Pemerintah

dapat melibatkan partisipasi masyarakat sekitar kawasan perikanan dalam rangka

memberdayakan perekonomian masyarakat nelayan dan meningkatkan

kesejahteraannya, dengan tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan

sumber daya alam yang dimilikinya. Kawasan perikanan sebagai sebuah sistem

tidak dibatasi oleh batasan-batasan administratif, tetapi lebih pada skala ekonomi

dan ekologi yang melingkupi kawasan tersebut sesuai dengan pola interaksi

ekonomi dan ekologinya. Pengembangan kawasan ini memerlukan penataan ruang

yang menyeluruh yang mencakup pengaturan, perencanaan, pengelolaan dan

penertiban kembali penataan ruang.

Peran pemerintah daerah dalam pemberdayaan masyarakat nelayan dapat

terlihat dari segala bentuk upaya pemerintah daerah untuk memberikan

kemudahan bagi nelayan dalam menjalankan usahanya seperti memberikan,

perhatian dan dukungan serta pcendampingan dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarkat nelayan. Sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2016,

pemerintah daerah diwajibkan melakukan penyelenggaraan pemberdayaan bagi

nelayan meliputi: pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,

kemudahan akses informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, kemitraan usaha,

dan dukungan kelembagaan.

Seperti yang dipaparkan oleh informan Sampe (55 tahun) pekerjaan

sebagai nelayan dengan pertayaan Apa faktor penghambat yang dialami

masyarakat maritim dalam kerja sama antar nelayan di Pulau Matalaang?


70

Adapun faktor penghambat yang di alami masyarakat maritim dalam kerja

sama antar nelayan yang di sampaikan informan yaitu :

“Masyarakat nelayan yang berkelompok selalu terhambat kekurangan


anggota untuk mencari ikan serta biota laut lainnya dan menjual ikan,
sehingga kerja sama antar masyarakat nelayan lain terganggu karena
adanya anggota yang tidak ikut serta dalam pelaksaan kerja sama seperti
sawi atau ABK di Pulau Matalaang ini yang tidak mencukupi dan pihak
pemerintah tidak menyediakan pasar ikan disetiap kepulauan Kab.
Pangkajene. (18/10/2019)”

Peneliti menyimpulkan bahwa Pekerjaan nelayan di Indonesia merupakan

pekerjaan informal. Hal ini menyebabkan sebagian besar nelayan Indonesia

berkualitas relatif rendah, karena menjadi nelayan tidak dibutuhkan persyaratan

atau keterampilan tertentu. Sehingga kemampuan mereka dalam hal pengetahuan

dan keterampilan dalam menangkap ikan, manajemen usaha, penanganan kualitas

ikan hingga pemasarannya, masih sangat terbatas. Selain itu, sistem upah untuk

nelayan buruh masih bersifat harian dengan cara bagi hasil. Hal ini memberikan

tingkat ketidakpastian yang tinggi terhadap kehidupan para nelayan terutama di

musim panceklik. Sementara, untuk para nelayan skala kecil yang beroperasi

secara mandiri, mereka tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk menentukan

harga ikan hasil tangkapannya. Hal tersebut karena mereka umumnya bekerja

secara sendiri-sendiri dan tidak bekerja dalam satu serikat usaha bersama.

Dengan adanya permasalahan-permasalahan yang terjadi tersebut

menyebabkan terjadinya kesulitan untuk mewujudkan optimalisasi pemanfaatan

sumberdaya ikan yang bertanggung jawab terkait dengan kurangnya kualitas

nelayan, sehingga terjadi banyak kesulitan untuk melakukan alih pemahaman


71

maupun alih teknologi. Kemudian dari sisi sosial-ekonomi, tingkat kesejahteraan

nelayan buruh dan skala kecil di Indonesia juga akan sulit untuk ditingkatkan

karena mereka mempunyai kemampuan yang terbatas dalam manajemen usaha,

sehingga di saat musim panen akan menghamburkan pendapatannya dan di musim

panceklik mencari pinjaman untuk menutupi kekurangan pendapatannya.

2. Kerja Sama Antar Nelayan di Pulau Matalaang

Daerah Kepulauan Matalaang Tepatnya di Kabupaten Pangkajene merupakan

sebuah daerah yang memiliki masyarakat berprofesi sebagai Nelayan karena

tinggal di kepulauan ataupun pesisir. Masyarakat pulau memanfaatkan pula

beberapa jenis komoditi tanaman seperti sukun, kelor, kelapa, dan pisang yang

tumbuh subur hampir memenuhi seluruh pulau, namun karena harga yang relatif

murah serta sarana transportasi yang terbatas, menyebabkan penduduk hanya

menjual ke masyarakat di pulau-pulau terdekat. Pulau Matalaang relatif masih

sangat terbatas, Kondisi ini dapat terjadi diduga karena: (1) kebijakan

pembangunan masa lalu yang lebih berorientasi ke daratan (land based oriented),

sehingga belum menyentuh pembangunan di pulau-pulau kecil, dan (2) karena

lokasinya yang relatif terisolir, menyebabkan tingginya biaya pembagunan sarana

dan prasarana dimaksud, sehingga dana pembangunan lebih diarahkan ke

pembangunan infrastruktur di daratan. DKP (2014), menyatakan bahwa peran

pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) secara khusus dalam pengelolaan

pulau-pulau kecil meliputi kebijakan umum dan fasilitasi diantaranya adalah: (1)

penyediaan sarana dan prasarana dasar dan sosial, seperti sarana, permukiman,

kesehatan dan pendidikan; (2) pengembangan prasarana perhubungan laut dan


72

udara serta wilayah strategis; (3) pengembangan kawasan pertumbuhan; dan (4)

penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi laut. Berbagai kebijakan juga

perlu mempertimbangkan heterogenitas nelayan, baik yang menyangkut alat

tangkap, jumlah ABK, struktur hubungan kelompok kerja, wilayah tangkap, status

penguasaan,dan jenis sumber daya yang diinginkan, juga hubungan antara nelayan

lokal dan pendatang dan pluralitas etnis. Kurangnya pemahaman terhadap

heterogenitas nelayan menyebabkan upaya pembangunan perikanan tidak

menyentuh sasaran program (target group).

Fungsi masyarakat di Pulau Matalaang ini, Menjaga kesetabilan ekosistim

laut dan menjaga kesetabilan laut.

Seperti juga yang di sampaikan dari Bapak sama’ ( 34 tahun ) masyarakat

Nelayan dengan pertayaan, Seperti apakah kehidupan masyarakat nelayan dengan

budaya maritim di Pulau Matalaang?

“Masyarakat di sini itu sama-sama cari ikan serta biota laut lainnya dan
sesama teman saling membantu, meskipun dari kelompok lain sama-sama
juga saling menbantu contoh yang sudah terbiasa kalau dalam suatu
kelompok itu memperbaiki perahunya, kelompok lain kalau diajak
membantu juga yang teman kelompok lain itu tidak banyak bicara
langsung ikut kerja juga karena kalau saya ikut membantu orang lain nanti
kalau saya ada keperluan saya langsung di bantu juga dan kami rukun
terus sama nalayan lain hidup harus terus berdampingan walaupun beda-
beda, kita sudah seperti saudara atau keluarga sendiri, ada yang susah satu
yang di rasakan orang banyak. Tidak usah memandang ini siapa, hartanya
berapa itu tidak usah. Saya bekerja sebagai nelayan sudah lama, saya sama
semua orang suka tolong menolong dan semua teman saya sangat dekat
sekali. Kalau mau solidaritasnya bagus saling percaya, kita nelayan di sini
73

kalau ada apa-apa saling musyawarah ki, harus saling pengertian misalnya
kalau teman ku punya masalah saya bantu, saya tidak pikir masalah hasil
yang banyak yang penting ada yang bisa dimakan, dan yang penting selalu
rukun sama teman.”(14/10/2019)

Hasil observasi, peneliti menyimpulkan bahwa, Bentuk Solidaritas gotong

royong di Pulau Matalaang ini dapat terlihat dari ativitas keseharian masyarakat

nelayan di Pulau Matalaang Kabupaten Pangkajene, terutama dalam hal

pekerjaan sehari-sehari misalnya saling membantu dalam memperbaiki perahu

yang rusak dan memperbaiki jaring yang robek, semua dikerjakan secara bersama-

sama.

Solidaritas dalam sebuah kelompok tidak memandang apa dan ini siapa

karena dalam sebuah pekerjaan atau komunitas apa saja tanpa saling rukun atau

saling membantu dan gotong royong tidak akan berjalan lancar dan bagi dirinya

juga tidak akan banyak untungnya, apalagi dalam sebuah pekerjaan nelayan yang

di situ memang sudah terbentuk kelompok jadi kalau yang namanya kelompok

tidak kompak tidak ada gunanya juga tidak sampai pada tujuannya karena yang

namanya hidup harus saling membantu dan tolong menolong hidup itu tidak

sendirian di situ ada kelompok masyarakat dan kebetulan penelitian kami yang

memang terletak didaerah pesisir yang ada di Pulau Matalaang dan biasanya

masyarakat pesisir pasti solidaritasnya sangat tinggi yang saling membantu dan

tolong menolong.

Adapun pertayaan selanjutnya yaitu, Kegiatan apa saja yang sering

dilakukan masyarakat nelayan terhadap budaya maritim di Pulau Matalaang?


74

Menurut Informan, Latif ( 40 tahun ) pekerjaan sebagai masyarakat

nelayan di Pulau Matalaang bahwa ia menyatakan:

“Sebelum masyarakat nelayan berangkat melaut ada yang namanya


Ma’paruru ( bersiap-siap ) kemudian setelah masyarakat nelayan sampai
di tempat tujuan atau lokasi mencari ikan dan biota laut lainnya, adanya
yang namanya Panaung Parappo ( kasi turun telur ayam dengan daun siri
yang di bungkus daun pisang) kemudian setelah semuanya dibungkus
dalam daun pisang maka bersiap-siaplah awak kapal mearuhnya dilaut
untuk dihanyutkan kedasar lau yang dipercayai akan menolak segala mala
petakan ataupun bala kepada nelayan yang akan mencari ikan dilaut.
( 17/10/2019)”

Hasil wawancara, Peneliti menimpulkan bahwa Kegiatan yang sering

dilakukan oleh masyarakat nelayan di Pulau Matalaang ini menggunakan Budaya

yang digariskan nenek moyang mereka secara turun menurun agar aktifitas dalam

kegiatan mencari ikan dan biota laut lainnya biasa berjalan dengan lancar agar

semua mala petaka yang akan terjadi akan menjauh dari mereka dan akan

menghasilkan hasil tangkap yang sangat banyak.

Masyarakat nelayan Pulau Matalaang Kabupaten Pangkajene pada

umumnya menggantungkan kehidupan di laut. Wilayahnya yang berpisah dengan

daratan Sulawesi khusunya Kabupaten Pangkajene memiliki sejumlah atribut

dalam konteks kehidupan sosial budaya masyarakatnya yang masih digambarkan

sebagai masyarakat yang masih mempercayai hal-hal mistis untuk

mempertahankan budayanya atau budaya maritim.


75

Lebih lanjutnya juga, yang disampaikan oleh Bapak Aswin ( 20 tahun )

dengan pertanyaan, Bagaimana partisipasi masyarakat nelayan dalam mengelolah

sumber daya laut dengan budaya maririm di Pulau Matalaang?

“Kami sebagai masyarakat nelayan di Pulau Matalaang ini selalu menjaga


kelestarian laut. Partisipasi kami sebagai masyarakat nelayan di Pulau
Matalaang ini menjaga laut agar tetap lestari dengan menggunakan alat-
alat tangkap ikan dan biota laut lainnya yang ramah lingkungan agar laut
tidak rusak. Dalam situasi ini kami sebagai masyarakat nelayan di Pulau
Matalaang berharap agar budaya yang sering di lakukan agar selalu
berpartisipasi terhadap budaya laut agar laut juga bisa memberi apa yang
menjadi kebutuhan masyarakat di Pulau Matalaang ini”. (17/10/2019)

Dari pernyataan Informan diatas, Peneliti menyimpulkan bahwa Bentuk

Partisipasi masyarakat yang lebih besar diharapkan akan berunjung pada akses

yang lebih baik pada penggunaan sumber daya laut sehingga berdampak positif

kepada kesejahtera umum masyarakat setempat.

Sistem kepercayaan merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan,

pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan keyakinan, pemahaman atau

wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam

kehidupan di dalam komunitas ekologis. Maka system kepercayaan bukan hanya

menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan

bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut

pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan

bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologi.Seluruh sistem

kepercayaan ini dihayati, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi

ke generasi lain yang sekalgus membentuk pola perilaku manusia sehari-


76

hari baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan yang gaib.

Umumnya masyarakat nelayan pesisir dan kepulauan (maritim) Sulawesi Selatan,

seperti masyarakat maritim Pulau Matalaang masih percaya sepenuhnya bahwa

lautan itu adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai dengan ajaran

Agama Islam yang mereka yakini dan anut secara resmi.

Merekapun tahu bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini, termasuk

lautan berada di bawahkekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, namun secara

tradisional warga masyarakat yang bersangkutan mempunyai pula kepercayaan,

bahwa Tuhan yang disebutnya Koraeng Allah Taala telah melimpahkan

penguasaan wilayah lautan.

Adapun informasi dari sala satu informan bapak baco (45tahun) Pekerjaan

sebagai nelayan di Pulau Matalaang dengan bunyi pertayaan yang diajukan yaitu,

Faktor apa saja yang mendukung untuk kerja sama antara masyarakat nelayan di

Pulau Matalaang?

“Faktor yang mendukung kami disini agar bisa selalu kerja sama yaitu,
adanya tradisi dimana sebelum kami pergi mencari ikan dan biota laut
lainnya, kami selalu kumpul satu tempat untuk mempersiapkan alat
tangkap dan memeriksa kembali agar alatnya bisa di gunakan tanpa ada
yang rusak dan memeriksa juga perahu atau kapal laut agar kenyamanan
dan keselamatan bisa terjaga, dan masyarakat disini tidak semua
mempunyai kapal laut sehingga ada kerjasama antara juragan yang
mempunyai kapal laut dan anak buah kapal (ABK) supanya hasil
tangkapan ikan dan biota laut lainnya dijual dan membagi hasil dengan
yang punya kapal dan anak buah kapal (ABK). ( 20/10/2019)”
77

Dari hasi wawancara Peneliti penyimpulkan bahwa, Nelayan

dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya menangkap ikan dengan

menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala dan jaring,

bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan alat

tangkap ikan. Namun dalam perkembangannya nelayan dapat pula dikategorikan

sebagai seorang yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang lebih modern

berupa kapal ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang dikenal sebagai

anak buah kapal (ABK). Selain itu juga nelayan dapat diartikan sebagai petani

ikan yang melakukan budidaya ikan di tambak dan keramba-keramba di pantai.

Masyarakat nelayan merupakan kumpulan orang-orang yang bekerja mencari ikan

di laut yang menggantungkan hidup terhadap hasil laut yang tidak menentu dalam

setiap harinya. Masyarakat nelayan cenderung mempunyai sifat keras dan terbuka

terhadap perubahan.

Masyarakat nelayan umumnya masyarakat yang memiliki etos kerja tinggi

dan mempunyai sifat kekerabatan yang erat diantara mereka. Masyarakat nelayan

umumnya masyarakat yang kurang berpendidikan. Pekerjaan sebagai nelayan

adalah pekerjaan kasar yang banyak mengandalkan otot dan pengalaman,

sehingga untuk bekerja sebagai nelayan latar belakang pendidikan memang tidak

penting. Masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, ternyata bukan hanya

masyarakat yang sudah berumur lanjut, tetapi banyak masyarakat generasi muda

yang masih berumur 17-25 tahun juga sudah bekerja sebagai nelayan. Umunya

mereka adalah anak dari keluarga nelayan yang ikut bekerja sebagai nelayan yang

terkadang masih duduk dibangku sekolah.


78

B. Pembahasan

Sebagain besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan

tradisional dan nelayan buruh. Mereka adalah penyumbang utama kuantitas

produksi perikanan tangkap nasional. Walaupun demikian, posisi sosial mereka

tetap marginal dalam proses transaksi ekonomi yang timpang dan eksploitatif

sehingga pihak produsen, nelayan tidak memperoleh bagian pendapatan yang

besar. Pihak yang paling beruntung adalah para pedagang ikan berskala besar atau

pedagang perantara. Para pedagang inilah yang sesungguhnya menjadi “penguasa

ekonomi” di desa-desa nelayan. Kondisi demikian terus berlangsung menimpa

nelayan tanpa harus mengetahui bagaimana mengakhirinya.

Bagi masyarakat yang berada di pesisir atau kepulauan yang berjiwa

Maritim diperlukan kepandaian dalam menaklukkan lautan luas serta pandai

mengarungi lautan dengan melakukan pelayaran ke berbagai daerah lainnya baik

untuk berdagang maupun untuk mencari ikan. Pada hakekatnya jauh sebelum

masyarakat Indonesia memperjuangkan hak-hak kebebasan demi mencapai

kemerdekaan dari imperialisme barat, pada mulanya pengenalan dan penerapan

sistem pelayaran dan perdagangan merupakan salah satu mata pencaharian yang

utama dan hingga saat ini terus mengalami perkembangan. Masyarakat pesisir

pada saat itu tidak hanya mampu mengarungi perairan Nusantara, akan tetapi

lebih dari itu seperti yang diketahui oleh bahwa orang Indonesia telah mampu

berlayar sampai pada jarak terjauh. Keadaan geografis suatu daerah sangat

berpengaruh terhadap kebudayaan suatu masyarakat didaerah tersebut.

Masyarakat yang bermukim didaerah pedalaman, akan mengembangkan budaya


79

agraris. Demikian pula dengan masyarakat yang bermukim di daerah pesisir

pantai dan daerah kepulauan yang tentu saja akan berbudaya kelautan (maritim).

Laut adalah ajang untuk mencari kehidupan bagi kedua kelompok

masyarakat. Dari laut dapat dieksploitasi sumber daya biota dan abiota, serta

banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan memesona. Inilah yang

mendorong kedua kelompok masyarakat itu menuju laut. Pada mulanya bertujuan

mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan

mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan

kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Laut memang merupakan media pemersatu

karena melalui laut orang dari berbagai bangsa melakukan interaksi dengan

berbagai macam aktivitas. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan

aktivitas perekonomian melalui “jasa” pelayaran antar benua atau antar pulau.

Laut adalah ajang untuk mencari kehidupan bagi kedua kelompok

masyarakat. Dari laut dapat dieksploitasi sumber daya biota dan abiota, serta

banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan memesona. Inilah yang

mendorong kedua kelompok masyarakat itu menuju laut. Pada mulanya bertujuan

mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan

mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan

kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Laut memang merupakan media pemersatu

karena melalui laut orang dari berbagai bangsa melakukan interaksi dengan

berbagai macam aktivitas. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan

aktivitas perekonomian melalui “jasa” pelayaran antar benua atau antar pulau.
80

1. Budaya Maritim Masyarakat Nelayan di Pulau Matalaang Kabupaten

Pangkep

Masyarakat nelayan di pulau matalaang adalah kelompok masyarakat yang

kehidupannya sangat bergantung pada sumber daya laut seperti ikan, gurita dan

soton, karena hampir semua aktivitas kehidupan mereka berkaitan dan

berhubungan dengan laut. Ciri khas kehidupan mereka adalah keras dan penuh

resiko dalam mengarungi kehidupannya, karena jarak tempuh untuk mencari ikan

yang banyak sangat jauh, yang senantiasa bertarung melawan badai, sengatan

matahari, guyuran hujan dan dekapan angin malam yang dingin. Keadaan seperti

inilah yang di rasakan oleh nelayan tradisional dengan perahu kecilnya berani

mengarungi lautan luas, demi menghidupi diri dan keluarganya. Untuk tetap dapat

bertahan hidup pada masa-masa yang sulit seperti itu, telah melahirkan sistem

pengetahuan dan teknologi yang mampu menaklukkan ganasnya laut dan musim

yang tidak bersahabat.

Sebelum turun kelaut masyarakat nelayan menggunakan pengetahuan

tradisional yang berperan penting karena berkaitan dengan kenelayanan, seperti

pengetahuan tentang navigasi, cuaca, lokasi ikan, gurita,soton dan sebagainya,

serta simbol-simbol, kepercayaan, dan tradisi dilakukan oleh nelayan dalam

melaut termasuk upacara adat kelautan. melalui pengetahuan tersebut masyarakat

nelayan akan mendapat hasil yang banyak. masyarakat nelayan masih banyak

mengunakan alat tangkap tradisional dengan adanya kemajuan teknologi

masyarakat sudah mempunyai beberapa alat modern. Salah satu pelabuhan

penting di Nusantara dan kemudian menjadi tempat berkumpulnya orang dari


81

berbagai pulau adalah pelabuhan Makassar. Kian hari jumlah orang yang datang

makin meningkat dan kepentingan mereka dalam pelayaran dan perdagangan

semakin mendesak. Karena itulah diperlukan seseorang untuk menjadi pengurus

membawa dan menjualkan hasil laut yang di peroleh nelayan yang ada di pulau-

pulau.

masyarakat nelayan yang masih mnggunakan kepercayaan-kepercayaan tentang

hal mistis dan adat upacara kelautan dari nenek moyang yang difungsikan atau

dipercayai dapat melancarkan proses pencarian di laut agar menghasilkan, hasil

tangkap yang banyak. Sekiranya bisa di hilangkan agar penerus selanjutnya tidak

lagi mengikuti pengetahuan tentang kepercayaan tentang hal-hal yang

mengandung mistis dan upacara adat kelautan karena bertentangan dengan agama

dan itu termasuk musyrik, sesungguhnnya Allah tidak suka dengan orang yang

melakukan dosa musyrik, selain itu bukan kepercayaan atau pun upacara adat

yang mendatangkan rezeki tetapi Allah SWT telah mengatur rezeki setiap orang.

Mungkin sebagai solusinya para tokoh agama dan peneliti agar memberi

pemahaman terhadap semua masyarakat yang melakukan kepercayaan-

kepercyaan tentang hal-hal mistis dan adat upacara kelautan supaya bisa

dihilangkan.

Tindakan sosial Masyarakat Nelanyan di Pulau Matalaang ini, masih

sangat toleran dalam Budaya Nenek Moyang Mereka, atau masih mempercanyai

hal-hal mistis untuk bias menambah rezeki. Sebagai suatu kesatuan sosial,

masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau

wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir,


82

masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun

disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang

bermata pencaharian sebagai nelayan . Walaupun demikian di desa-desa pesisir

yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan,

petambak, atau pembu di daya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar

terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara

keseluruhan. Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan

kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan

sumber daya pesisir dan kelautan.

Peran pemerintah daerah dalam pemberdayaan masyarakat nelayan dapat

terlihat dari segala bentuk upaya pemerintah daerah untuk memberikan

kemudahan bagi nelayan dalam menjalankan usahanya seperti memberikan,

perhatian dan dukungan serta pemdampingan dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarkat nelayan. Sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2016,

pemerintah daerah diwajibkan melakukan penyelenggaraan pemberdayaan bagi

nelayan meliputi: pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,

kemudahan akses informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, kemitraan usaha,

dan dukungan kelembagaan.

2. Kerja Sama Antar Nelayan di Pulau Matalaang

Daerah Kepulauan Matalaang Tepatnya di Kabupaten Pangkajene

merupakan sebuah daerah yang memiliki masyarakat berprofesi sebagai Nelayan

karena tinggal di kepulauan ataupun pesisir. Masyarakat pulau memanfaatkan

pula beberapa jenis komoditi tanaman seperti sukun, kelor, kelapa, dan pisang
83

yang tumbuh subur hampir memenuhi seluruh pulau, namun karena harga yang

relatif murah serta sarana transportasi yang terbatas, menyebabkan penduduk

hanya menjual ke masyarakat di pulau-pulau terdekat.

Penelitian aspek-aspek sosial budaya masyarakat maritim merupakan titik

awal dari penelitian tentang kelautan dan perikanan di P2KK-LIPI, bahkan di

Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI. Penelitian

yang dilakukan di tiga daerah, yaitu Papua (Demta dan Tobati), Maluku(Tual dan

Hitu),dan Sulawesi Utara (Pulau Bebalang dan Beo, Sangihe Talaud) itu

dilakukan untuk mengidentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi oleh

masyarakat maritim, terutama nelayan.

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa efektivitas pengelolaan sumber

daya laut berbasis masyarakat adat merupakan realitas sosial yang terdapat di

Indonesia yang perlu mendapat perhatian dari negara. Selama ini,pengelolaan

perikanan berbasis hukum adat tidak pernah diakomodasi dalam rezim

pemerintahanyang sentralistik, sehingga mengundang banyak kritik. Salah satu

kritik yang muncul adalah pengelolaan yang sentralistik kurang

memperhatikankondisi ekosistem dan kondisi masyarakat yang berbeda-beda di

berbagai wilayah, sehingga pengelolaan yang dijalankan kurang efektif. Dengan

diakuinya pengelolaanyang berbasis hukum adat, maka melahirkan harapan baru

terhadap efektifitas pengelolaan sumber dayalaut.

Bentuk Solidaritas gotong royong di Pulau Matalaang ini dapat terlihat

dari ativitas keseharian masyarakat nelayan di Pulau Matalaang Kabupaten

Pangkajene, terutama dalam hal pekerjaan sehari-sehari misalnya saling


84

membantu dalam memperbaiki perahu yang rusak dan memperbaiki jaring yang

robek, semua dikerjakan secara bersama-sama.

Solidaritas dalam sebuah kelompok tidak memandang apa dan ini siapa

karena dalam sebuah pekerjaan atau komunitas apa saja tanpa saling rukun atau

saling membantu dan gotong royong tidak akan berjalan lancar dan bagi dirinya

juga tidak akan banyak untungnya, apalagi dalam sebuah pekerjaan nelayan yang

di situ memang sudah terbentuk kelompok jadi kalau yang namanya kelompok

tidak kompak tidak ada gunanya juga tidak sampai pada tujuannya karena yang

namanya hidup harus saling membantu dan tolong menolong hidup itu tidak

sendirian di situ ada kelompok masyarakat dan kebetulan penelitian kami yang

memang terletak didaerah pesisir yang ada di Pulau Matalaang dan biasanya

masyarakat pesisir pasti solidaritasnya sangat tinggi yang saling membantu dan

tolong menolong.

Masyarakat nelayan umumnya masyarakat yang memiliki etos kerja tinggi

dan mempunyai sifat kekerabatan yang erat diantara mereka. Masyarakat nelayan

umumnya masyarakat yang kurang berpendidikan. Pekerjaan sebagai nelayan

adalah pekerjaan kasar yang banyak mengandalkan otot dan pengalaman,

sehingga untuk bekerja sebagai nelayan latar belakang pendidikan memang tidak

penting. Masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, ternyata bukan hanya

masyarakat yang sudah berumur lanjut, tetapi banyak masyarakat generasi muda

yang masih berumur 17-25 tahun juga sudah bekerja sebagai nelayan.
BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari penelitian yang telah dilaksanakan di Pulau Matalaang Kabupaten

Pangkep tentang budaya maritim masyarakat nelayan di pulau matalaang

kabupaten pangkep maka dapat disimpulkan:

Budaya maritim masyarakat nelayan di pulau matalaang, bahwa Kegiatan

yang sering dilakukan oleh masyarakat nelayan di Pulau Matalaang ini

menggunakan Budaya yang digariskan nenek moyang mereka secara turun

menurun agar aktifitas dalam kegiatan mencari ikan dan biota laut lainnya bisa

berjalan dengan lancar agar semua mala petaka yang akan terjadi menjauh dari

mereka dan akan menghasilkan hasil tangkap yang sangat banyak maka

dilakukanlah yng namanya Ma’paruru ( bersiap-siap ) kemudian setelah

masyarakat nelayan sampai di tempat tujuan atau lokasi mencari ikan dan biota

laut lainnya, adanya yang namanya Panaung Parappo ( kasi turun telur ayam

dengan daun siri yang di bungkus daun pisang) kemudian setelah semuanya

dibungkus dalam daun pisang maka bersiap-siaplah awak kapal mearuhnya dilaut

untuk dihanyutkan kedasar lau yang dipercayai akan menolak segala mala petakan

ataupun bala kepada nelayan yang akan mencari ikan dilaut. Masyarakat nelayan

Pulau Matalaang Kabupaten Pangkajene pada umumnya masih mempercayai hal-

hal mistis.

85
86

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di sajikan pada bab terdahulu, maka

dapat diberikan saran sebagai berikut :

1. Bagi Pemerintah daerah agar mengupayakan serta membantu

masyarakat kepulauan untuk mengembangkan hasil penangkapan

mereka

2. Kepada para peneliti sosial, terutama bagi mereka yang tertarik

meneliti masalahbudaya maritim masyarakat nelayan di pulau

matalaang kabupaten pangkep, maka tulisan ini dapat dijadikan salah

satu bahan referensi atau acuan bagi para peneliti dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Abilawa, M. Sabeth. 2010. Studi Determinan, Jakarta.Universitas Indonesia

Abdussomad, Dedi Supriadi, dan Ratna Indrawasih. 1994. Hak Ulayat Laut
Masyarakat Maritim Indonesia Bagian Timur. Hak Ulayat Laut Desa
Haruku, Maluku Tengah. Jakarta:PMB-LIPI.

Abd. Rahman Hamid, 2018. Sejarah Maritim. Yoyakarta.Ombak

Adhuri, Dedi S.,dkk. 2003. Pengelolaan Sumber Daya Alam secara Terpadu.
Pelajaran dari Praktek Pengelolaan Sumber Daya Laut di Bangka–
Belitung, Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Pengelolaan Taman
Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah. Jakarta:PMB–LIPI.

Dahuri, R. 1999. Permasalahan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pesisir. Jurnal

Hardin, G. 1968. Tragedy of the Common. Science 162: 1243-1248.

Indrawasih, Ratna (ed)., 2004. Pengelolaan Sumber Daya Laut secara Terpadu
(Co-Management: Evaluasi Pengelolaan Model Co-Fish. Jakarta :
PMB-LIPI.

Imron, Masyhuri (ed). 2009. Pengelolaan Sumber Daya Laut di Era Otonomi
Daerah. Respons Daerah terhadap Kompleksitas Permasalahan
Kenelayanan. Jakarta : LIPI Press.

Imron, Laksono dan Surmiati Ali. 1993. Aspek-Aspek Sosial Budaya Masyarakat
Maritim Indonesia Bagian Timur. Hak Ulayat Laut Desa Endokisi-
Kecamatan Demta –Jayapura. Jakarta:PMB-LIPI.

Johannes, RE. 1978. Traditional Marine Conservation Methodes in Oceania and


Their Demise, in Annual Review of Ecology and Systematics

Koentjaningrat, 1982. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru.

Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta : Lkis Pelangi Aksara

Kusnadi. 2007. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta : Lkis Pelangi Aksara

Lubis, B. 1992. Modernisasi dan Peningkatan Armada Perikanan Laut di


Indonesia. Jakarta : Dirjen Perikanan.

Rokhmani, Lisa, 2009. JPE-Volume 2, Nomor 1

87
88

Sudo, Ken-ichi. 1983. Social Organization and Types of Sea Tenure in Micronesia,
dalam Ruddle, Kenneth dan Johannes, R.E (ed): Traditional Marine
Resources Management in the Pacific Basin: an Anthology. Jakarta :
UNESCO/ROSTSEA.

Sugiyono, 2017. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, danR&D). Bandung. Alfabeta.

Wahyono, Ary, dkk. 1991. Bebalang: Memudarnya Fungsi Seke. Jakarta:PMB–


LIPI

Wahyono, Ary, Fadjar Ibnu Thufail, dan Antariksa, I GP. 1994. Hak Ulayat Laut
di Sangihe Talaud (Studi Kasus tentang Sistem Pengelolaan Sumber
Daya pada Nelayan Pulau dan Nelayan Pantai). Jakarta:PMB–LIPI

Zamzami, Lucky. 2007. Pemanfaatan Budaya Lokal terhadap Teknologi


Penangkapan Ikan pada Masyarakat Nelayan Studi KASUS DI Pasar
Labuan Kelurahan Bunus Selatan, Kecamatan Bungus TELUK Kabung,
Kota Padang.. Jurnal. 2007

https//id.m.wikipedia.org

ppid.pangkep.go.id
L
A
M
P
I
R
A
N
DAFTAR INFORMAN

Berikut ini merupakan daftar informan yang ditemui oleh peneliti dalam

melakukan penelitian di kacamatan liukang tangaya kabupaten pangkajene

NO NAMA INFORMAN UMUR KETERANGAN

1 BAPAK RANJA 32 THN Masyarakat


Nelayan
2 BAPAK SAMA’ 34 THN Masyarakat
Nelayan
3 BAPAK SYARIFUDDIN 31 THN Masyarakat
Nelayan
4 BAPAK JAHALING 50 THN Tukang Perahu

5 BAPAK LATIF 40 THN Ketua RW

6 BAPAK ASWIN 20 THN Masyarakat


Nelayan
7 IBU MURIANI 32 THN IRT

8 BAPAK SAMPE 55 THN Masyarakat


Nelayan
9 BAPAK DENSI 46 THN Ketua RT

10 BAPAK BACO 45 THN Masyarakat


Nelayan
11 IBU IRMAWATI 21 THN Mahasiswa

12 IBU JAWINA 21 THN Mahasiswa


Pedoman Wawancara

Berikut ini adalah prdoman wawancara yang digunakan dalam penelitian:

1. Bagaimana fungsi masyarakat nelayan dalam meningkatkan budaya

maritim di Pulau Matalaang ?

2. Seperti apakah kehidupan masyarakat nelayan dengan budaya maritim di

Pulau Matalaang?

3. Bagaimana tindakan sosial masyarakat nelayan dengan budaya maritim di

Pulau Matalaang?

4. Apakah pemerintah ikut serta melaksanakan kegiatan masyarakat nelayan

dengan budaya maritim di Pulau Matalaang?

5. Kegiatan apa sja yang sering dilakukan masyarakat nelayan terhadap

budaya maritim di Pulau Matalaang?

6. Bagaimana partisipasi masyarakat nelayan dalam mengelolah sumber daya

laut dengan budaya maritim di Pulau Matalaang?

7. Faktor apa sja yang mendukung untuk kerjasama antar masyarakat nelayan

di Pulau Matalaang?

8. Apa faktor penghambat yang di alami masyarakat maritim dalam kerja

sama antar nelayan di Pulau Matalaang?


DOKUMENTASI

Gambar: Kegiatan wawancara peneliti dan informan Bapak Ranja selaku


Masyarakat Nelayan Pulau Matalaang pada tanggal 20 Oktober 2019

Gambar : Kegiatan wawancara peneliti dan iforman Bapak Sampe selaku


Masyarakat Nelayan Pulau Matalaang pada tanggal 20 Oktober 2019
Gambar :Aktivitas menjual Masyarakat Nelayan di pelabuhan paotere makassar

Gambar:wawancara masyarakat nelayan


Gambar :wawancara masyarakat bukan nelayan

Gambar :Kegiatan menjual hasil tangkap

Gambar :
Gambar :wawacara masyarakat nelayan

Gambar :wawancara ketua RT


Gamba:wawancara ketua RW

Gambar:wawancara masyarakat IRT


Gambar:kapal yang digunakan masyarakat nelayan

Gambar: Pulau Matalaang


RIWAYAT HIDUP

Mawati, Lahir di PL Matalaang, pada tanggal 05


Februari 1998. Merupakan anak ke Enam dari buah
kasih sayang pasangan Sampe dengan Mina. Penulis
menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN 23
Matalaang dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Pertama di SMPN 3 Bungoro, lulus pada
pada tahun 2012. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikan di SMAN 1 Bungoro dan tamat di tahun
2015. Dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan jurusan Pendidikan Sosiologi dan berhasil lulus di Program Strata 1
(S1) Kependidikan. Pada tahun 2020 penulis menyelesaikan studi dengan gelar
sarjana pendidikan dengan menyusun karya ilmiah (skripsi) yang berjudul
“Budaya Maritim Masyarakat Nelayan di Pulau Matalaang Kabupaten Pangkep”

Anda mungkin juga menyukai