SKRIPSI
OLEH
i
EKSISTENSI ADAT MOWINDAHAKO PADA MASYARAKAT TOLAKI
MEKONGGA DI KELURAHAN SAKULI KECAMATAN LATAMBAGA
KABUPATEN KOLAKA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Ujian Skripsi Pada
Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah
Peminatan Pendidikan IPS
OLEH
SKRIPSI
OLEH
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui:
Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, taufik dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skipsi ini.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhamma
d SAW, serta keluarga dan sahabat-sahabat beliau.
Penulis menyadari dalam terselesaikannya penyusunan skripsi adalah
berkat motivasi dan bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada
kedua orang tua penulis tercinta Bapak Yusuf Sharif dan Alm. Ibu Halija yang
telah banting tulang demi pendidikan penulis sampai sekarang ini, memberikan
nasehat, motivasi dan kasih sayang yang tidak akan pernah di dapatkan dari orang
lain dan selalu memberikan doa dan restu demi kesuksesan penulis terimakasih
sudah menjadi orang tua yang turut berperan membantu pendidikan penulis, Ku
persembahkan ini untuk kalian sebagai hasil keringat dan jerih payahmu. Penulis
juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd dan
Drs. La Batia, M.Hum selaku Pembimbing I dan II telah meluangkan waktu untuk
memberikan pengetahuan, bimbingan, danarahan dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak, yaitu kepada:
1. Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Si., M.Sc., selaku rektor Universitas
Halu Oleo.
2. Dr. H. Jamiludin, M.Hum, selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Halu Oleo.
3. Pendais Hak, S.Ag., M.Pd, selaku Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan
Sejarah.
4. Drs. La Batia M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan/Program Studi Pendidikan
Sejarah.
5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan/ Program Studi Pendidikan Sejarah, terimakasih
atas ilmu yang diajarkan selama dalam proses perkuliahan.
v
6. Staf administrasi di lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendididkan,
terutama kepada staf terbaik jurusan Pendidikan Sejarah Buhari La Bia, S.Pd.
M.Pd yang membantu dalam pelayanan administrasi akademik.
7. Seluruh keluarga besar saya yang telah membantu dari segi materi, waktu,
nasehat yang sangat berarti untuk saya pribadi sehingga bisa sampai di titik ini.
8. Seluruh sahabat saya di Jurusan Pendidikan Sejarah Peminatan Pendidikan IPS
angkatan 2018 khususnya Sri Arianti, S.Pd, Ayu Agung, S.Pd, Ahlan, S.Pd,
Rezki Kamalia Putri, S.Pd, Ayu Adam, Ika, Rizal Arrohman, dan lain-lain
yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu yang telah banyak
memberikan bantuan dan motivasi dalam menyusun skripsi ini.
9. Seluruh kakak tingkat di Jurusan Pendidikan Sejarah Peminatan Pendidikan
IPS angkatan 2016 dan 2017 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang
telah banyak membantu dan memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi
ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu.
Almamater tercinta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saran dan kritikan yang sifatnya membangun dari semua pihak
sangat penulis butuhkan dan harapkan.
Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, khususnya dibidang Pendidikan IPS, dan semoga ALLAH
SWT meridhoi kita semua, Amin..
vi
DAFTAR ISI
vii
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Pelaksanaan Adat Mowindahako di Kelurahan Sakuli
Kecamatan Latambaga Kabupate Kolaka. ..................................... 31
B. Nilai Karakter yang ada dalam Adat Mowindahako di Kelurahan
Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupate Kolaka. ........................... 41
C. Upaya Tokoh Adat dalam Menjaga Kelestarian Adat Mowindahako
di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupate Kolaka. ...... 52
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan .......................................................................................... 56
B. Saran-Saran ...................................................................................... 57
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran IPS di Sekolah.... 58
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan suatu negara yang sangat kaya akan
keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku
bangsa dimana masing-masing suku bangsa tersebut memiliki perbedaan dan
keunikan baik darisegi bahasa daerah, adat istiadat,kebiasaan, dan berbagai hal
lain yang memperkaya keanekaragaman dari budaya Indonesia itu sendiri.
Sebagaimana pendapat Taylor bahwa keseluruhan dari pengetahuan,
keyakinan,kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan
kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai Kebudayaan memiliki
beberapa wujud yang meliputi: Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan,
nilai, atau norma, Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan
manusia dalam masyarakat, Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-
benda hasil karya manusia (Prayogi dan Danial 2016: 61-62).
Mengkaji budaya masyarakat selalu saja menarik terutama jika melihatnya
pada konstruksi kultural dan implikasinya bagi sistem dan struktur masyarakat itu
sendiri. Konstruksi kultural ini juga bisa dilihat melalui tradisi perkawinan dalam
masyarakat.Perkawinan adalah salah satu upacara daur hidup yang memiliki tata
cara, tahap-tahap dan persyaratan yang sangat detil bahkan ketat. Termaksud
Perkawinan dalam masyarakat suku Tolaki Mekongga merupakan upacara adat
yang mengandung ritual khusus mulai pra-perkawinan, proses perkawinan,
sampai pasca-perkawinan. Perkawinan menurut masyarakat Tolaki tidak saja
menjadi urusan calon mempelai dan keluarganya, tetapi juga melibatkan lembaga
adat, pemerintah, bahkan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat Tolaki
adalah salah satu suku besar yang sebagian besar mendiami dua kabupaten di
Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Konawe yang secara historis merupakan
bekas kerajaan Konawe dan Kabupaten Kolaka yang merupakan bekas
kerajaan Mekongga. Meskipun secara geografis orang Tolaki mendiami dua
tempat yang berbeda, namun dalam praktek dan pemahaman adat istiadat,
1
xii
2
masyarakat kedua wilayah ini memiliki persepsi yang sama, khususnya dalam
adat perkawinan. Mereka adalah sama-sama orang Tolaki yang berasal dari satu
nenek moyang (tolaki mbuupuu) yang secara kebetulan dipisahkan oleh wilayah
kekuasaan.
Masyarakat Tolaki Mekongga memiliki falsafah pernikahan yang
menganjurkan menikah dengan keluarga dekat (maatopelangguako esipi ano issue
moaru-oru kiniwia, taneonggo teposinggalako mata pute ano mata meeto)
artinya, meskipun berselisih pagi dan sore, mata putih dan mata hitam tidak akan
terpisahkan. Ungkapan ini mengandung makna bahwa dalam perkawinan
meskipun sering berselisih/bertengkar, tetapi persaudaraan di antara mereka tidak
akan terputus. Maka, asas pemlihan jodoh dengan mendahulukan keluarga dekat
(endogami) menjadi sesuatu yang dianjurkan. Perkawinan seperti ini disebut
dengan merapu ndonomeohai atau mombokai peohai’a (untuk mempererat tali
persaudaraan), dan mekaputi (ikat mengikat) (Zainal dan Suud 2018: 193)
Perkawinan dalam masyarakat Tolaki Mekongga disebut dengan
mowindahako yang berarti penyerahan materi adat (popolo, materi adat pokok,
dan lain- lain) kepada pihak perempuan melalui juru bicara. Praktiknya, sebelum
pesta perkawinan, pihak keluarga laki-laki lebih dahulu menyerahkan biaya pesta,
beras dan sapi/kerbau kepada keluarga perempuan sesuai yang disepakati dalam
acara peminangan (mowawo niwule). Materi pokok adat baru diserahkan kepada
pihak perempuan pada waktu upacara perkawinan dilangsungkan dengan
disaksikan seluruh tamu dan keluarga besar kedua belah pihak. (Zainal dan Suud
2018: 195)
Berdasarkan observasi awal peneliti terhadap keberadaan budaya
pernikahan suku Tolaki Mekongga yang ada di Kabupaten Kolaka, semakin
memudar seiring kemajuan globalisasi, di mana masyarakat suku tolaki mekongga
yang bermukim di Kabupaten Kolaka sudah mulai meniggalkan proses tradisi
sakral pernikahan yang di kenal dalam masyarakat suku tolaki mekongga adalah
mowindahako. Masyarakat mulai meninggalkan tradisi mowindahako karena
masyarakat menganggap bahwa dalam memenuhi persyaratan tradisi
mowindahako itu sangat berat dan membutuhkan banyak penyerahan materi adat
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah
penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pelaksanaan adat mowindohako di Kelurahan Sakuli
Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka?
2. Apa saja nilai karakter yang ada pada adat mowindahako di Kelurahan Sakuli
Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka?
3. Bagaimana upaya tokoh adat dalam menjaga eksistensi adat mowindohako di
Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka?
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan sosial, dan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya
yang akan melakukan pengkajian berkaitan dengan judul penelitian ini.
4
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat Tolaki, utamanya bagi tokoh adat, agar dapat menjadi
bahan informasi tambahan serta pengetahuan yang berkaitan dengan adat
mowindahako dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi
pada Masyarakat Tolaki.
b. Pada kalangan akademis atau peneliti dapat menjadi bahan perbandigan
dalam upaya melakukan penelitian yang relevan degan penelitian ini.
c. Bagi pemerintah, yaitu sebagai bahan acuan dalam upaya menentukan
kebijakan pemerintah daerah setempat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Perkawinan
Kabul (pernyataan menerima dari pihak laki-laki). Selain itu, nikah bisa juga
diartikan sebagai bersetubuh (Santoso, 2016: 415).
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam hidup manusia sebagai
suatu titik permulaan dari suatu mata rantai kehidupan baru. Kehidupan baru itu
pada dasarnya dimulai dengan persetujuan antara kedua belah pihak untuk
membentuk suatu keluarga, keduanya setuju untuk membagi hidup bersama dalam
membagi keadaan susah maupun senang. Mereka diharapkan dapat menyesuiakan
diri hidup bersama menuju kebahagian di dunia (Hafid dkk, 2016: 10).
Perkawinan merupakan salah satu budaya dan bagian dari siklus hidup
manusia. Hal ini merupakan landasan bagi terbentuknya suatu keluarga.Keluarga
merupakan suatu kelompok individu yang ada hubungannya, hidup bersama dan
bekerja sama di dalam satu unit. Kehidupan dalam kelompok tersebut bukan
secara kebetulan, tetapi diikat oleh hubungan darah atau perkawinan. Setiap
perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan
wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup
manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam mengandung unsur-
unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi kehidupan lahir
batin, kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu perkawinan juga berdasarkan
religius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah
tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sedangkan
dasar-dasar pengertian perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga keutuhan
yang perlu dimiliki oleh seseorang sebelum melaksanakanya, yaitu: iman, Islam
dan ikhlas.
Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar
kehidupan di alam dunia berkembang baik. Perkawinan bukan saja terjadi
dikalangan manusia,tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh
karena itu manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan merupakan
salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia
dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya
perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju
(modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka. Perkawinan merupakan
7
salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia di
dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan, maka tidak mengherankan jika
agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat
masyaarkat dan juag institusi Negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan
yang berlaku di kalangan masyarakatnya (Santoso, 2016: 413- 414).
Hadi kusuma dalam Hafid, dkk (2016: 12) hukum Islam dalam
perkawinan dapat diartikan sebagai akad nikah antara calon suami isteri untuk
memenuhi hajat jenisnya yang telah diatur dan ditentukan oleh syariat Islam.
Dengan demikian, menurut hukum islam perkawinan adalah perikatan antara wali
perempuan dengan laki-laki calon suami. Akad nikah harus diucapkan oleh wali
perempuan dengan jelas berupa ijab dan qabul oleh calon suami yang
dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
Hal ini seperti ditegaskan oleh Donald Light bahwa “ a family as two or
more person living together and related by blood, marriage oradoption”. Jadi
keluarga adalah kehidupan bersama dari dua orang atau lebih yang diikat oleh
hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Oktarina, dkk (2015, 76). dengan
demikian keluarga terbentuk dari adanya suatu tahapan dari siklus hidup manusia
yaitu perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dengan adanya ikatan perkawinan maka tujuan dari ikatan pernikahan
tersebut adalah untuk mencapai keluarga yang sakral, penuh kasih sayang,
kebajikan dan saling menyantuni, membangun, membina, dan memelihara
hubungan kekerabatan. Pelaksanaan perkawinan diperlukan suatu lembaga
perkawinan yang mengatur hubungan antara suami isteri secara yuridis maupun
religius sehingga hubungan tersebut sah menurut agama, hukum, dan tidak
melanggar norma-norma hukum kebiasaan yang berlaku di masyarakat (Oktarina,
dkk, 2015: 76).
Perkawinan di Indonesia tidak hanya di ataur oleh pemerintah tetapi
perkawinan juga masih banyak di atur oleh tradisi atau budaya tempat dimana
berlangsungnya seunitpernikahan. Terkhususnya salah satu daerah yang ada di
8
Sulawesi tenggara yaitu kabupaten kolaka yang didiami mayoritas suku tolaki
mekongga. Perkawinan masyarakat tolaki mekongga bukanlah perkara yang
cukup bisa diputuskan oleh calon pengantin itu sendiri ataupun keluarganya,
tetapi melibatkan pula para tokoh adat, bahkan masyarakat pada umumnya.
Keterlibatan keluarga dalam menentukan keputusan perkawinan menyangkut
prestise, nama baik, dan harga diri keluarga. Keterlibatan para tokoh adat menjadi
sesuatu yang penting dan sentral, sebab secara langsung mereka terlibat dimulai
saat sebelum terjadinya perkawinan sampai pada perkawinan itu sendiri, bahkan
setelah perkawinan. Hal ini didasarkan pada dasar utama perkawinan adalah
kesepakatan bersama antar keluarga, atau yang disebut dengan ano pada
poehenoki pada anamotuo, artinya haruslah atas dasar kesepakatan bulat dari
keluarga masing-masing pihak (Zainald dan Zuud, 2018: 195).
Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 6. Menyatakan (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai, (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua,
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat
2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya, (4) Dalam hal kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya, (5)
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2,
3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang
akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
2, 3 dan 4 pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini
9
mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya
terdapat secara praktis saja, lagi pula endogami sebetulnya tidak sesuai
dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu Parental
(Soekanto, 1992: 132).
b. Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain.
Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian,
seiring berjalannya waktu, dan berputarnya zaman lambat laun
mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, sehingga larangan
perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang
sangat kecil saja. Sistem ini dapat di jumpai daerah Gayo, Alas, Tapanuli,
Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram ((Soekanto, 1992: 132).
c. Sistem Eleutherogami
Sistem Eleutherogami berbeda dengan kedua sistem diatas, yang
memiliki larangan-larangan dan keharusan- keharusan. Eleutherogami
tidak mengenal larangan- larangan dan keharusankeharusan tersebut.
Larangan- larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang
terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan
ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan) seperti kawin
dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung,
saudara bapak atau ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-
iparan) seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, anak tiri (Soekanto, 1992:
132-133). Dalam sistem ini dapat di jumpai hampir di seluruh masyarakat
Indonesia.
3. Bentuk Perkawinan Adat
Di Indonesia dapat di jumpai tiga bentuk perkawinan adat, antara lain:
a. Bentuk perkawinan jujur (bridge-gif marriage)
Kawin jujur merupakan bentuk perkawinan di mana pihak laki-laki
memberikan jujur kepada pihak perempuan. Benda yang dapat dijadikan
sebagai jujur biasanya benda- benda yang memiliki magis. Pemberian
jujur diwajibkan adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis yang
12
1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin: Tindakan yang menunjukan perilaku tertip patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras: Tindakan yang menunjukan perilaku tertip dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
6. Kreatif: Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis: Cara berfikirdan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang di pelajarinya, dilihat, dan
didengar.
10. Semangat Kebangsaan: Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
11. Cinta Tana Air: Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
12. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komunikatif: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
16
14. Cinta Damai: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebijakan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-
upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibanya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap dirinya sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang
Maha Esa.
D. Penelitian Relevan
Beberapa penelitian relevan yang telah dilakukan diantaranya penelitian
yang dilakukan Zainal (2018: 207) menyimpulkan bahwa: kekerasan simbolik ini
disebabkan salah satunya oleh konflik laten yang tidak langsung terlihat secara
kasat mata, sebab ia bekerja di dalam konstruksi kultural atas nama stabilitas dan
keteraturan dalam masyarakat. Korban tidak merasakan langsung sebagai
seunitkekerasan, oleh karena ada proses pelemahan secara sistematik (systematic
dispowerment). Ia disebut sebagai kekerasan struktural yang berlindung dibalik
simbol-simbol adat dan tradisi. Kekerasan simbolik atau kekerasan struktural
dalam kasus perkawinan masyarakat tolaki di sulawesi tenggara dapat ditemui
dalam beberapa bentuk, yaitu pertama, tidak mendapatkan kesempatan yang sama
bagi semua level masyarakat; dan kedua penolakan terhadap prosedur dan tatacara
perkawinan. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan kelas sosial dalam masyarakat
tolaki yang berkonsekwensi pada perbedaan penetapan materi dan syarat
perkawinan; tidak ada legitimasi atas hak dan peluang yang sama untuk menikahi
perempuan dari kelas sosial manapun; perbedaan kepentingan antara pihak-pihak
17
yang terlibat dalam perkawinan; dan dominasi elit adat yang secara langsung
memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perkawinan.
Penelitian yang dilakukan Ramlin (2018: 47-48) berdasarkan kesimpulan
pertama, berdasarkan bentuk ungkapan proses penyelesaian adat mombolasuako
dalam masyarakat Tolaki di Kecamatan Tongauna, memiliki bentuk ungkapan
dalam proses penyelesaian adat perkawinan mombolasuako yaitu pada
rembinggare, mesokei dan mowindahako. Kedua, makna ungkapan proses
penyelesaian adat mombolasuako dalam masyarakat tolaki memiliki dua makna.
Pertama, makna denotatif yaitu makna yang sesungguhnya dan kedua makna
konotatif (konotasi) yaitu makna kiasan. Ungkapan- ungkapan tersebut terdapat
dalam adat perkawinan mombolasuako yaitu: rembinggare, mesokei dan
mowindahako. Ketiga, proses perkawinan mombolasuako adalah perkawinan
yang tidak sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku pada masyarakat tolaki. Hal
ini terjadi karena tidak ingin mengalokasikan uang untuk pernikahan besar-
besaran, biaya pernikahan sangatlah mahal, tidak menginginkan adanya argument
antar pihak mempelai yaitu masalah perbedaan pendidikan dan derajat tingkat
kasta silsila keluarga yang dipertahankan, serta umur dari kedua mempelai belum
matangnya dan bentuk yang inilah yang sering menimbulkan konflik.
Penelitian yang dilakukan oleh Kusnan (2015: 72 ) menyimpulkan bahwa
ungkapan dalam mesarapu, mesokei, danumo’api sebagai media komunikasi
dalam adat perkawinan suku Tolaki sangat sarat dengan makna. Untuk memahami
makna yang terkandung dalam ungkapan mesarapu, mesokei, danumo’api
dibutuhkan pengetahuan bahasa dan pengalaman yang luas bagi para pelakon dan
pendengar. Bahasa yang dipakai dalam ungkapan mesarapu, mesokei, danumo’api
penuh dengan bahasa kias,dan simbolik,yang tidak mampu dijangkau maknanya
oleh sebagian orang awam. Dalam adat mesarapu terbagi atas empat tahap dalam
penyelesaian adatnya yakni(1) morake rakepi (meninjau calon istri), (2) tahap
monduutudu (pelamaran penjajakan), (3) tahap mowawoniwule (pelamaran
sesungguhnya), (4) tahap mowindahako (tahap penyelesaian adat). Sedangkan
dalam adat mesokei terbagi atas tiga tahap yakni (1) tahap morembinggare
(pemberitahuan kepada orangtua perempuan). (2) tahap mesokei (artinya datang
18
E. Kerangka Pikir.
Kerangka pikir bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam
mengumpulkan dan menjelaskan bentuk permasalahan yang ada, peneliti
mengacu pada bagan kerangka pikir, maka dapat dijelaskan bahwa masyarakat
suku tolaki mekongga di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten
Kolaka mempunyai suatu tradisi adat pernikahan yaitu adat Mowindahako. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka pikir berikut ini:
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Jenis Penelitian
C. Informan Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik menentukan informan secara
Purposive Sampling (Sugiyono, 2017: 85). Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
tertentu adalah orang tersebut yang dianggap paling tahu, atau memahami objek
yang diteliti. Informan dalam penelitian ini menggunakan 7 orang yakni 1 orang
lurah, 2 orang tokoh adat (tolea dan pabitara), dan 4 orang tokoh masyarakat.
20
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu
maka perlu di catat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan, semakin
lama peneliti ke lapangan,maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks
dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi
21
F. Validitas Data
Dalam penelitian ini untuk mencari validitas data, digunakan teknik
triangulasi, member chek, dan megamati lebih tekun (Sugiyono, 2017: 273)
1. Trianggulasi
a. Trianggulasi Sumber
Trianggulasi sumber untuk menguji kredibilitas data yang
dilakukan dengan mengecek pemilihan informan data yang telah diperoleh
melalui beberapa sumber. Pengecekan kembali data-data yang diperoleh
dari informan dengan cara menanyakan kebenaran data atau informasi
kepada informan satu dengan informan lainya, dari kondisi tertentu, atau
dari sumber yang berupa catatan atau arsip dan dokumen.
22
b. Trianggulasi Teknik
Trianggulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan
dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik
yang berbeda Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu di cek
dengan observasi, dokumentasi, atau kusioner. Bila dengan tiga teknik
pengujian kredibilitas data tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda,
maka melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang
bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data mana yang dianggap
benar. Atau mungkin semuanya benar, karena sudut pandang berbeda-beda.
2. Member Chek
Hasil temuan lapagan yang telah ditulis bentuk disertasi, diserahkan
kepada informan yang terlibat dengan judul yang sedang diteliti untuk
mengecek kebenaranya sesuai dengan pengalaman informan.
3. Melakukan Pengamatan Secara Tekun
Ketekunan pengamatan dilakuka dengan peneliti tinggal serta
mengikuti kegiatan masyarakat yang menjadi objek penelitian agar peneliti
betul-betul memperoleh kebenaran berdasarkan apa yang menjadi tujuan
peneliti.
23
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Keadaan Geografis
Keluraan Sakuli merupakan seunit wilayah yang tak dapat dipisahkan dari
pemerintahan Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka. Kelurahan Sakuli
terletak di wilayah barat Kabupaten Kolaka yang secarah geografis berada pada
ketinggian 0 S/D 36 meter DPL, dan terbentang seluas 100,22 KM dengan
interval jarak 2 KM dari pusat ibu kota Kabupaten dengan jumlah penduduk
sebanyak 2,694 jiwa dari 320 kk.
Secara administratif, batas-batas wilayah Kelurahan Sakuli adalah sebagai
berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kolakaasi
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Latambaga
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Watuliandu
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Sea
Kelurahan Sakuli yang di bagi menjadi 5 lingkungan yaitu Lingungan I
Kayanga, Lingkungan II Morini, Lingkungan III Petondoa, Lingkungan IV
Puundoho dan Lingkungan V Daimoapo.
B. Keadaan Demografis
Penduduk yang bermukim di Kelurahan Sakuli didiami berbagai macam
suku bangsa yang dimana 60 % di kelurahan Sakuli didiami oleh suku Tolaki
Mekongga, kemudian Bugis, Makassar, Jawa, dan Toraja. Kelurahan Sakuli
merupakan wilayah pegunungan yang sebagian besar penduduknya bekerja
sebagai Petani dan Karyawan swasta, Interaksi antar suku terjalin dengan sangat
baik yang dikarenakan mereka saling bergotong royong ketiaka ada kegiatan dan
tidak hanya itu, interaksi sosial bisa terjalin sangat baik karena adanya perpaduan
antar budaya dari proses perkawinan, baik antara suku Tolaki Mekongga yang
kawin dengan orang suku Bugis, Makassar, Jawa, dan Toraja, sehingga diantara
mereka terjalin keakraban dalam menjalin interaksi antar suku.
23
24
1. Penduduk
a. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk Kelurahan Sakuli berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Komposisi Penduduk Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Jumlah Persentatse(%)
1. Laki-Laki 583 49,28
2. Perempuan 600 50,72
Jumlah 1.183
100
Sumber Data : Kantor Kelurahan Sakuli Tahun 2021
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Kelurahan Sakuli
berjumlah sebanyak 1,183 jiwa yang terdiri berdasarkan laki-laki
berjumlah 583 jiwa dengan jumlah persen (50. 71 %), dan perempuan
berjumlah 600 jiwa dengan jumlah persen (49.28 %) jiwa. Berdasarkan hasil
data yang diperoleh dari pemerintahan Kantor Kelurahan Sakuli jumlah
penduduk perempuan lebih banyak ketimbang dengan jumlah penduduk
laki-laki.
b. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia.
Jumlah Penduduk Kelurahan Sakuli berdasarkan kelompok usia
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2 . Komposisi Penduduk Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Berdasarkan Kelompok Usia
No. Kelompok Usia Jumlah Penduduk Persentase (%)
1. 0-5 108 9.13
2. 6-11 321 27.13
3. 12-17 465 39.31
4. 18-keatas 289 24.43
Jumlah 1.183 100
Sumber Data : Kantor Kelurahan Sakuli Tahun 2021
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa penduduk usia 12-17
tahun itu lebih banyak. Hal ini dapat dilihat secara seksama pada tabel 2.
Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia dimana jumlah usia 12-17
tahun itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah usia lainnya.
25
2. Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi pada dasarnya tidak terlepas dari pekerjaan ataupun
mata pencarian setiap penduduk. Karena dari pekerjaan segalah kebutuhan
akan terpenuhi. Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi ekonominya, untuk
itu bekerja merupakan suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya
yang terdiri pakaian, sadang dan pangan. Adapun mata pencaharian penduduk
di Kelurahan Sakuli diantaranya sebagai Petani, Pedagang, Pengusaha, PNS,
Pegawai Honorer, Karyawan Swasta, Pertukangan,TNI dan POLRI. Adapun
jenis mata pencaharian penduduk di Kelurahan Sakuli dapat dilihat pada Tabel
berikut:
3. Keadaan Pendidikan
Pendidikan berperan penting dalam kehidupan manusia karena dengan
pendidikan diharapkan seseorang dapat membuka pikiran masyarakat.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga
Berdasarkan Lulusan Pendidikan Umum
Lulusan Pendidikan Umum Jumlah Persentase (%)
No. (Jiwa)
1. Belum sekolah 19 2.10
2. Taman Kanak-Kanak 54 7.10
3. Sekolah Dasar 319 27.75
4. SMP/Sederajat 193 12.55
5. SMA/Sederajat 245 19.25
6. Diploma/Sarjana 26 3.30
7. Tidak Sekolah 327 27.95
Jumlah 1.183 100
Sumber Data : Kantor Kelurahan Sakuli Tahun 2021
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui tingkat pendidikan
penduduk Kelurahan Sakuli yang terbesar adalah tamatan Sekolah Dasar
sebanyak 319 jiwa dengan jumlah persentase sebesar 27.75%, kemudian SMA
Sederajat sebanyak 245 dengan jumlah persentase 19.25%, SMP Sederajat
sebanyak 193 jiwa dengan jumlah persentase 12.55%, Diploma/Sarjana
sebanyak 26 jiwa dengan jumlah persentase 3.30%. Kemudian terdapat jumlah
penduduk yang tidak bersekolah sebanyak 327 jiwa dengan persentase 27.95%,
serta yang belum sekolah berjumlah 19 dengan persentase 2.10%
1. Agama
Agama yang di anut oleh masyarakat Kelurahan Sakuli berbeda- beda
yang terdiri dari agama Islam, dan Kristen. Namun penganut agama terbesar di
Kelurahan Sakuli yaitu agama Islam bisa dilihat dengan adanya 1 rumah
ibadah agama islam yang berupa masjid berdirih kokoh di Kelurahan Sakuli
dan 1 rumah ibadah agama Kristen yang berupa Gereja, meskipun berbagai
macam agama yang ada di Kelurahan Sakuli masyarakat tetap saling
menghargai dan menjunjung tinggi toleransi dari setiap perbedaan kepercayaan
yang ada.
Tabel 5. Komposisi Penduduk Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Berdasarkan Agama
4 Jawa 43 3,88
5 Toraja 40 3,37
3. Sarana / Prasarana
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Pelaksanaan Adat Mowindahako di Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka
1. Tahap-Tahap Pelaksanaan Adat Mowindahako
Mowindahako dapat diterjemahkan pesta perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan kesepakatan bersama sebelumnya antara kedua belah pihak
keluarga. Pelaksanaan mowindahako bagi seorang laki-laki, merupakan seunit
pengukuhan dirinya di mata lembaga adat, pemerintah dan masyarakat yang
ditandai dengan penyerahan pokok adat dan kelengkapan lainnya yang
dipersyaratkan. Pokok adat dan kelengkapan lainnya yang diserahkan
menggunakan tersebut menggunakan media bahasa lisan. Pelaksanaan adat
mowindahako dalam suku Tolaki Mekongga, bentuk penyajiannya terdiri dari
gabungan kata-kata dan perbuatan. Perbuatan yang dipahami dalam adat
mowindahako adalah aktivitas pelaku, dalam hal ini para pemangku adat
seperti toonomotuo, pabitara, pu’u pe’ana, tolea, dan o disi pamarenda, serta
seluruh hadirin yang turut menyaksikan upacara adat mowindahako tersebut.
Pada masyarakat Tolaki Mekongga di Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka terdapat sistem adat yang disebut perkawinan
“morumbadoleesi” yang artinya melaksanakan dua macam acara dalam waktu
bersamaan yakni acara “mendutudu” dan acara “mondongo niwule”.
Perkawinan “morumbadoleaha” yakni melaksanakan tiga macam acara dalam
waktu yang bersamaan yaitu acara (1) “mondutudu, (2) mondongoniwule dan
(3) mowindahako”. Disinilah adat perkawinan Tolaki dapat mengikuti
perkembangan zaman. Jika 5 tahapan dapat dilakukan disaat “mowindahako”
waktu bersamaan 4 tahapan tersebut. Adapun tahap-tahap pelaksanaan adat
mowindahako pada suku Tolaki Mekongga di Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka adalah sebagai berikut:
a. Pengantaran pengantin laki-laki ke tempat upacara perkawinan dengan
usungan (sinamba ulu) atau kendaraan lain. Setelah semua sudah siap,
maka tibalah waktunya calon mempelai laki- laki bersama rombongan
menuju rumah kediaman pihak mempelai perempuan. Pada zaman dahulu
32
e. Tolea mengubah posisi duduk menjadi duduk bersila atau metemba setelah
itu ia menghadap di depan kepala desa, dengan hati-hati mengangkat talam
anyam serata dengan alis sebanyak 4 kali kemudian menyorongkan pada
kepala desa, sebelum kepala desa menyentuh talam tersebut tolea belum
boleh melepaskan pegangannya. Setelah semua itu kemudian tolea kembali
mengubah posisi duduknya (Yusuf Tahoraro, wawancara 5 November
2021).
34
a. Ibu dari mempelai laki-laki dan seorang ibu dari mempelai perempuan
saling menyorongkan kotak atau lopa-lopa yang berisi sirih, pinang, dan
tembakau atau rokok. Keduanya saling membuka kotak tersebut
memperlihatkan sesaat dan tolea mengisi kedua kotak tersebut dengan
sejumlah uang. Selain itu, yang wajib dipahami adalah “isi adat” disebut
“polopo” untuk ditunaikan pada saat “mowindahako”.
tidak hanya menyatukan dua keluarga besar, akan tetapi juga dua wilayah dan
seluruh masyarakatnya (Arianto Madia, wawancara 1 November 2021).
Sehingga dari hasil wawancara tersebut dapat dideskripsikan bahwa dalam
pelaksanaan perkawinan adat mowindahako di Kelurahan Sakuli turut
melahirkan nilai tanggungjawab di dalamnya. Bukan hanya tanggung jawab
yang dibebankan pada mempelai laki-laki terhadap perempuan yang akan
dinikahinyamelainkan tanggungjawab yang juga dirasakan oleh seperangkat
pelaksana adat mowindahako yakni perangkat pemerintah (puutobu), tolea,
pabitara, keluarga besar masing-masing kedua mempelai pria dan wanita.
kejujuran, visioner, kedisiplinan, kerja sama, keadilan
3. Nilai Kedisiplinan
Disiplin merupakan tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan. Dalam pelaksanaan adat mowindahako
pada suku Tolaki Mekongga juga terkandung nilai kedisiplinan di dalamnya.
Sikap disiplin bukan saja wajib dilakukan pada calon mempelai laki-laki tetapi
seluruh pelaku adat dan calon mempelai perempuan wajib menunjukkan sikap
disiplin dalam melaksanakan prosesi adat mowindahako secara tuntas
Pada pelaksanaan adat mowindahako dapat dilihat nilai kedisiplinan
tersebut yakni dilakukannya seluruh rangkaian prosesi adat mulai dari tahap
mbeparamesi (prosesi memohon izin kepada pelaku adat) sampai pada tahap
sara mowindahako (prosesi penyerahan adat) (Maesura, wawancara 13
November 2021).
seluruh rangkaian proses adat tersebut wajib untuk dilakukan secara
tuntas tanpa terlewati satu tahap sekalipun sebab apabila tidak dilakukan atau
melewati salah satu tahap sekalipun maka dipercaya akan mendatangkan bala
(celaka) pada keluarga mempelai dan seluruh pelaku adat yang melaksanakan
prosesi adat mowindahako (Hasan Lapadoe, wawancara 9 November 2021).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat dideskripsikan bahwa dalam
pelaksanaan adat mowindahako terdapat nilai kedisiplinan di dalamnya. Nilai
disiplin tersebut dapat dilihat pada wajib dilakukannya seluruh rangkaian
46
pelaksanaan adat mowindahako disini dapat terlihat secara jelas yang dilakukan
oleh seluruh pelaku adat maupun kedua calon mempelai pengantin yang akan
menyelesaikan prosesi adat tersebut.
5. Nilai Kejujuran
Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan. Dalam pelaksanaan adat mowindahako pada suku Tolaki Mekongga
terdapat nilai kejujuran di dalamnya. Nilai kejujuran tersebut bukan saja dilihat
dari perjanjian yang telah dinyatakan oleh pelaku adat dan kedua mempelai
laki-laki dan perempuan melainkan seluruh perbuatan dan tindakan selama
pelaksanaan adat mowindahako perlu dilakukan secara benar sesuai dengan
tata urutan yang berlaku.
Pada pelaksanaan adat mowindahako terdapat prosesi bertutur yang
dilakukan oleh pelaku adat yakni tolea yang di dalam prosesi bertutur tersebut
memuat pernyataan permohonan izin kepada pemerintah desa dan keluarga
besar calon mempelai perempuan dan seluruh hadiri untuk menyampaikan
maksud dan tujuan untuk melaksanakan penyelesaian adat mowindahako dan
secara langsung melakukan prosesi pernikahan secara agama (Maesura,
wawancara 13 November 2021
Pelaksanaan adat mowindahako pada tahap bertutur yang dilakukan oleh
tolea sebagai juru bicara pihak mempelai laki-laki bukan saja memberikan
pernyataan permohonan izin meyampaikan tujuan penyelesaian adat melainkan
didalamnya memuat perjanjian kepada keluarga calon mempelai laki-laki
untuk melangsungkan pernikahan yang dimana dalam pernikahan tersebut
nantinya mempelai laki-laki berjanji akan menjadi kepala rumah tangga dan
imam yang baik yang sesuai dengan ajaran agama dan norma yang berlaku di
masyarakat. Sehingga dalam hal ini sikap kejujuran menjadi bukti
dilakukannya seluruh perjanjian yang dinyatakan dalam prosesi adat
mowindahako dan pernikahan secara agama (Hasan Lapadoe, wawancara 9
November 2021
48
lingkungan alamnya, baik alam nyata maupun alam gaib, diwujudkan dengan
apa yang disebut mombulesako tononggapa berarti mengatur, menertibkan
kelompok penduduk, warga masyarakat dalam upaya memimpin, mengajak,
dan mendorong mereka untuk bersatu dalam melakukan pekerjaan dan usaha
pemenuhan kebutuhan, sehingga dapat membujuk rasa dan mendorong
semangat kerukunan dikalangan keluarga, kerabat dan masyarakat pada
umumnya agar terjalin tiga prinsip medulu (bersatu), yakni: medulu mbona
(bersatu dalam cita-cita), medulu mbenao (bersatu dalam rasa), dan medulu
mbo’ehe (bersatu dalam kehendak) (Tarimana, 1993: 191-192).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat dideskripsikan bahwa dalam
pelaksanaan upacara adat perkawinan mowindahako pada suku Tolaki
Mekongga terlihat jelas bahwa dalam pelaksanaan adat tersebut juga
mengandung nilai kepedulian sosial saling tolong menolong untuk memupuk
rasa persatuan dan kesatuan (medulu) dalam penyeleggaraan perkawinan.
Kepedulian sosial tersebut dilihat pada budaya mepokoaso yang sering
dilakukan oleh masyarakat Tolaki Mekongga dalam membantu pihak keluarga
yang akan menyelenggarakan perkawinan khususnya dalam perbantuan
keuangan. Makna sosial lain pada pelaksanaan adat mowindahako menjadi
kebutuhan dasar bagi suatu organisasi politik untuk mengatur pembinaan dan
pemeliharaan kerjasama, sehingga terjalin kebebasan dari suatu kehidupan
bermasyarakat, dan dapat memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
1. Proses pelaksanaan adat mowindahako pada suku Tolaki Mekongga yakni (1)
Sara papalalo ine ulu sala / mbeparamesi (adat memohon izin untuk
dimulainya acara kepada pemerintah) yang disertai dengan penyerahan uang
dalam amplop sebesar Rp. 10.000 . disini tidak ada lagi penyerahan uang yang
ditujukan untuk kas desa seperti ada acara mowawo niwule di atas. (2) Sara
momberahi (adat memohon restu) kepada puutobu atau toono motuo disertai
dengan menyerahkan uang dalam amplop dari tolea kepada puutobu atau toono
motuo sebesar Rp. 50.000 atau sesuai kesepakatan keluarga kedua belah pihak.
(3) Sara mombepedeehi (adat bertanya) kepada pabitara dengan menyerahkan
uang dalam amplop sebesar Rp. 50.000. (4) Sara mowindahako atau adat
penyerahan seserahan adat, pihak keluarga laki-laki harus menyerahkan semua
hal yang telah disepakati dalam musyawarah pinesambepeako pada tahap ke
tiga tersebut diatas. Pelaku adat tersebut yakni tolea, puutobu, dan pabitara.
Posisi mereka mulai berperan sebagai “sutradara” mengatur jalannya
“mombesara”, menegakkan hukum adat “selewatano” atau “tetenggona
osara” artinya sesuai urutan-urutan adat yang harus ditempuh, seperti apa dan
bagaimana tata cara upacara mowindahako yang diperankan kedua perangkat
adat tersebut. Kelengkapan isi pokok adat yang dibawa mempelai laki-laki
yaitu 4 bagian masing-masing pu’uno patonggasu yang terdiri dari: Satu pis
kain kaci (aso ndumbu o kasa); 1 ekor kerbau (aso kiniku), 1 lingkar kalung
emas (aso otuwe o eno), 1 unit gong (aso lawa tawa-tawa).
2. Nilai karakter yang ada dalam adat mowindahako pada suku Tolaki Mekongga
terdapat nilai religius/kesucian sesuai dengan filosofi kalosara telah
menggambarkan kepada masyarakat Tolaki Mekongga dalam memilih
pasangan hidup secara moral. Upacara adat mowindahako tersebut juga
mengandung nilai tanggung jawab bukan hanya tanggungjawab terhadap kedua
mempelai laki-laki dan perempuan melainkan tanggungjawab kepada tiap
peyelenggara adat mowindahako yakni perangkat pemerintah (puutobu),
57
B. Saran
Adapun saran dalam penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
58
materi yang terdapat dalam kurikulum 2013 (K13), serta kaitannya dengan materi
atau pokok bahasan perubahan sosial budaya dan globalisasi dengan sub pokok
bahasan bentuk perubahan sosial budaya yang diajarkan pada siswa SMP kelas IX
semester ganjil pada petemuan ke-8 dengan standar kompetensi menganalisis
perubahan sosial budaya dengan kompetensi dasar menganalisis bentuk-bentuk
perubahan sosial budaya. Indikatornya yaitu mampu mendeskripsikan perubahan
sosial budaya. Untuk membahas materi pelajaran ini diperlukan waktu 2x45 menit
60
DAFTAR PUSTAKA
Erwinsyahbana, Tengku. 2012. Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara
Hukum.Berdasarkan Pancasila.Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3 No. 1
Hafid, Anwar dkk. 2016. Adat Perkawinan Suku Bugis di Perantauan (Studi Di
Kabupaten Bombana). Kendari: HISPISI Sultra
Irawaty, dkk. 2018. Pendidikan Karakter Pada Anak Usia Dini. Sidoarjo: Meja
Tamu.
Kusnan. 2015 Ungkapan Bermakna Budaya Dalam Adat Perkawinan Suku Tolaki
Di Sulawesi Tenggara. Pascasarjana Universitas Samratulangi.
Pratiwi, Eka dan Hak, Pendais. 2017. Tradisi Karia Pada Masyarakat Muna Di
Kecamatan Wakorumba Selatan Kabupaten Muna. Jurnal Penelitian
Pendidikan Sejarah. Vol 2. No 3
Prayogi, Ryan dan Danial, Endang. 2016. Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Pada
Suku Bonai Sebagai Civic Culture Di Kecamatan Bonai Darussalam
Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. Jurnal Umanika Vol. 23 No.1
Zainal, Asliah dan Suud, Sudarmi. 2018. Kekerasan Simbolik Dalam Tradisi
Perkawinan Masyarakat Tolaki Sulawesi Tenggar. Jurnal Hasil-Hasil
Penelitian. Vol 13 No. 2
61
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
64