Anda di halaman 1dari 79

EKSISTENSI ADAT MOWINDAHAKO PADA MASYARAKAT TOLAKI

MEKONGGA DI KELURAHAN SAKULI KECAMATAN LATAMBAGA


KABUPATEN KOLAKA

SKRIPSI

OLEH

FITRI RAHMADANI YUSUF


A1N1 18 127

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

i
EKSISTENSI ADAT MOWINDAHAKO PADA MASYARAKAT TOLAKI
MEKONGGA DI KELURAHAN SAKULI KECAMATAN LATAMBAGA
KABUPATEN KOLAKA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Ujian Skripsi Pada
Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah
Peminatan Pendidikan IPS

OLEH

FITRI RAHMADANI YUSUF


A1N1 18 127

JURUSAN/PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


PEMINATAN PENDIDIKAN IPS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERS ITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
ii
HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

EKSISTENSI ADAT MOWINDAHAKO PADA MASYARAKAT TOLAKI


MEKONGGA DI KELURAHAN SAKULI KECAMATAN LATAMBAGA
KABUPATEN KOLAKA

OLEH

FITRI RAHMADANI YUSUF


A1N1 18 127

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II untuk


dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi pada Jurusan/Program Studi
Pendidikan Sejarah Peminatan Pendidikan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juni 2022

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd Drs. La Batia, M. Hum


NIP. 19611231 198703 1 022 NIP. 19631231 199303 1 019

Mengetahui:
Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah

Pendais Hak, S.Ag, M.Pd


NIP. 19770829 200812 1 002
iii
ABSTRAK

Fitri Rahmadani Yusuf, NIM A1N118127, “Eksistensi Adat Mowindahako


Pada Masyarakat Tolaki Mekongga di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga
Kabupaten Kolaka” yang dibimbing oleh Pembimbing I dan Pembimbing II masin
g-masing Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd dan Drs. La Batia, M.Hum.
Adapun tujuan penelitian ini adalah: Untuk mendeskripsikan (1) proses
pelaksanaan adat mowindahako di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga
Kabupaten Kolaka, (2) upaya tokoh adat dalam menjaga kelestarian adat
mowindahako di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka, dan
(3) nilai yang ada dalam adat mowindahako di Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka.
Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Informan dalam penelitian ini menggunakan 7 orang informan
yang masing-masing terdiri dari 1 orang lurah, 2 orang tokoh adat, 2 tokoh
masyarakat.. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) proses pelaksanaan adat
mowindahako di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka
yakni a) sara papalalo ine ulu sala / mbeparamesi (adat memohon izin untuk
dimulainya acara kepada pemerintah), b) sara momberahi (adat memohon restu
kepada puutobu atau toono motuo), c) sara mombepedeehi (adat bertanya) kepada
pabitara, dan d) sara mowindahako atau adat penyerahan seserahan adat, pihak
keluarga laki-laki harus menyerahkan semua hal yang telah disepakati dalam
musyawarah pinesambepeako pada tahap ke tiga tersebut diatas. (2) nilai yang ada
dalam adat mowindahako di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten
Kolaka yakni nilai religius, tanggung jawab, nilai kedisiplinan, nilai kejujuran,
nilai kerja keras, nilai toleransi, nilai kepedualian sosial. (3) upaya tokoh adat
dalam menjaga kelestarian adat mowindahako di Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka yakni a) melakukan pembinaan kepada generasi
muda dalam tata cara adat perkawinan, hal ini dimaksudkan agar generasi penerus
tetap mengetahui tata urutan dalam adat perkawinan. b) pembentukan lembaga
adat yang selalu berperan dalam mengawasi pelaksanaan setiap tahapan-tahpan
dan aturan-aturan dalam perkawinan. c) selalu dilaksanakan musyawarah antar
tokoh-tokoh adat dari keluarga, seperti menentukan hari yang baik untuk acara
perkawinan.

Kata Kunci: Eksistensi, Adat Mowindahako, Tolaki Mekongga

iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, taufik dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skipsi ini.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhamma
d SAW, serta keluarga dan sahabat-sahabat beliau.
Penulis menyadari dalam terselesaikannya penyusunan skripsi adalah
berkat motivasi dan bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada
kedua orang tua penulis tercinta Bapak Yusuf Sharif dan Alm. Ibu Halija yang
telah banting tulang demi pendidikan penulis sampai sekarang ini, memberikan
nasehat, motivasi dan kasih sayang yang tidak akan pernah di dapatkan dari orang
lain dan selalu memberikan doa dan restu demi kesuksesan penulis terimakasih
sudah menjadi orang tua yang turut berperan membantu pendidikan penulis, Ku
persembahkan ini untuk kalian sebagai hasil keringat dan jerih payahmu. Penulis
juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd dan
Drs. La Batia, M.Hum selaku Pembimbing I dan II telah meluangkan waktu untuk
memberikan pengetahuan, bimbingan, danarahan dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Si., M.Sc., selaku rektor Universitas
Halu Oleo.
2. Dr. H. Jamiludin, M.Hum, selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Halu Oleo.
3. Pendais Hak, S.Ag., M.Pd, selaku Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan
Sejarah.
4. Drs. La Batia M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan/Program Studi Pendidikan
Sejarah.
5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan/ Program Studi Pendidikan Sejarah, terimakasih
atas ilmu yang diajarkan selama dalam proses perkuliahan.

v
6. Staf administrasi di lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendididkan,
terutama kepada staf terbaik jurusan Pendidikan Sejarah Buhari La Bia, S.Pd.
M.Pd yang membantu dalam pelayanan administrasi akademik.
7. Seluruh keluarga besar saya yang telah membantu dari segi materi, waktu,
nasehat yang sangat berarti untuk saya pribadi sehingga bisa sampai di titik ini.
8. Seluruh sahabat saya di Jurusan Pendidikan Sejarah Peminatan Pendidikan IPS
angkatan 2018 khususnya Sri Arianti, S.Pd, Ayu Agung, S.Pd, Ahlan, S.Pd,
Rezki Kamalia Putri, S.Pd, Ayu Adam, Ika, Rizal Arrohman, dan lain-lain
yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu yang telah banyak
memberikan bantuan dan motivasi dalam menyusun skripsi ini.
9. Seluruh kakak tingkat di Jurusan Pendidikan Sejarah Peminatan Pendidikan
IPS angkatan 2016 dan 2017 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang
telah banyak membantu dan memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi
ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu.
Almamater tercinta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saran dan kritikan yang sifatnya membangun dari semua pihak
sangat penulis butuhkan dan harapkan.
Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, khususnya dibidang Pendidikan IPS, dan semoga ALLAH
SWT meridhoi kita semua, Amin..

Kendari, Juni 2022


Penulis,

Fitri Rahmadani Yusuf

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..................................................................................i


HALAMAN JUDUL .....................................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................iii
ABSTRAK.....................................................................................................iv
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................v
DAFTAR ISI .................................................................................................vii
DAFTAR TABEL .........................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................1
B. Rumusan Masalah .............................................................................3
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Perkawinan ........................................................................5
B. Konsep Perkawinan Adat ................................................................5
C. Konsep Nilai Karakter ....................................................................5
D. Penelitian Relevan .........................................................................16
E. Kerangka Pikir ................................................................................18

BAB III METODE PENELITIAN


A. Tempat dan Waktu Penilitian ..........................................................20
B. Jenis Penelitian ...............................................................................20
C. Sumber Data Penilitian ...................................................................20
D. Informan Penilitian .........................................................................21
E. Teknik Pengumpulan Data .............................................................21
F. Teknik Analisis Data.......................................................................22
G. Validitas Data .................................................................................23

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN


A. Keadaan Geografis .................................................................. ........ 23
B. Keadaan Demografis ..................................................................... 23
1. Keadaan Penduduk .................................................................... 24
2. Keadaan Ekonomi ..................................................................... 25
3. Keadaan Pendidikan .................................................................. 26
C. Keadaan Sosial Budaya ................................................................ 27
1. Agama ...................................................................................... 28
2. Suku Bangsa ............................................................................. 29
3. Sarana/Prasarana ....................................................................... 30

vii
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Pelaksanaan Adat Mowindahako di Kelurahan Sakuli
Kecamatan Latambaga Kabupate Kolaka. ..................................... 31
B. Nilai Karakter yang ada dalam Adat Mowindahako di Kelurahan
Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupate Kolaka. ........................... 41
C. Upaya Tokoh Adat dalam Menjaga Kelestarian Adat Mowindahako
di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupate Kolaka. ...... 52

BAB VI PENUTUP
A. Simpulan .......................................................................................... 56
B. Saran-Saran ...................................................................................... 57
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran IPS di Sekolah.... 58

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 60


DAFTAR INFORMAN ............................................................................... 61
LAMPIRAN ................................................................................................ 62

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ............................. 34


Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia .......................... 34
Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ................. 35
Tabel 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Lulusan Pendidikan Umum ........ 36
Tabel 5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama.................................... 38
Tabel 6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa........................... 39
Tabel 7. Jumlah Sarana dan Prasarana di Kelurahan Sakuli......................... 40

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Benda kalo dalam upacara mowindahako................................ 34


Gambar 2. Prosesi tolea memohon izin kepada puutobu........................... 34
Gambar 3. Prosesi mombowule’ako........................................................... 36
Gambar 4. Prosesi penyelesaian kelengkapan adat.................................... 36
Gambar 5. Proses akhir adat mowindahako............................................... 38

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian........................................................... 56


Lampiran 2. Peta Wilayah Kecamatan Latambaga...................................... 58

xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan suatu negara yang sangat kaya akan
keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku
bangsa dimana masing-masing suku bangsa tersebut memiliki perbedaan dan
keunikan baik darisegi bahasa daerah, adat istiadat,kebiasaan, dan berbagai hal
lain yang memperkaya keanekaragaman dari budaya Indonesia itu sendiri.
Sebagaimana pendapat Taylor bahwa keseluruhan dari pengetahuan,
keyakinan,kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan
kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai Kebudayaan memiliki
beberapa wujud yang meliputi: Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan,
nilai, atau norma, Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan
manusia dalam masyarakat, Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-
benda hasil karya manusia (Prayogi dan Danial 2016: 61-62).
Mengkaji budaya masyarakat selalu saja menarik terutama jika melihatnya
pada konstruksi kultural dan implikasinya bagi sistem dan struktur masyarakat itu
sendiri. Konstruksi kultural ini juga bisa dilihat melalui tradisi perkawinan dalam
masyarakat.Perkawinan adalah salah satu upacara daur hidup yang memiliki tata
cara, tahap-tahap dan persyaratan yang sangat detil bahkan ketat. Termaksud
Perkawinan dalam masyarakat suku Tolaki Mekongga merupakan upacara adat
yang mengandung ritual khusus mulai pra-perkawinan, proses perkawinan,
sampai pasca-perkawinan. Perkawinan menurut masyarakat Tolaki tidak saja
menjadi urusan calon mempelai dan keluarganya, tetapi juga melibatkan lembaga
adat, pemerintah, bahkan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat Tolaki
adalah salah satu suku besar yang sebagian besar mendiami dua kabupaten di
Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Konawe yang secara historis merupakan
bekas kerajaan Konawe dan Kabupaten Kolaka yang merupakan bekas
kerajaan Mekongga. Meskipun secara geografis orang Tolaki mendiami dua
tempat yang berbeda, namun dalam praktek dan pemahaman adat istiadat,

1
xii
2

masyarakat kedua wilayah ini memiliki persepsi yang sama, khususnya dalam
adat perkawinan. Mereka adalah sama-sama orang Tolaki yang berasal dari satu
nenek moyang (tolaki mbuupuu) yang secara kebetulan dipisahkan oleh wilayah
kekuasaan.
Masyarakat Tolaki Mekongga memiliki falsafah pernikahan yang
menganjurkan menikah dengan keluarga dekat (maatopelangguako esipi ano issue
moaru-oru kiniwia, taneonggo teposinggalako mata pute ano mata meeto)
artinya, meskipun berselisih pagi dan sore, mata putih dan mata hitam tidak akan
terpisahkan. Ungkapan ini mengandung makna bahwa dalam perkawinan
meskipun sering berselisih/bertengkar, tetapi persaudaraan di antara mereka tidak
akan terputus. Maka, asas pemlihan jodoh dengan mendahulukan keluarga dekat
(endogami) menjadi sesuatu yang dianjurkan. Perkawinan seperti ini disebut
dengan merapu ndonomeohai atau mombokai peohai’a (untuk mempererat tali
persaudaraan), dan mekaputi (ikat mengikat) (Zainal dan Suud 2018: 193)
Perkawinan dalam masyarakat Tolaki Mekongga disebut dengan
mowindahako yang berarti penyerahan materi adat (popolo, materi adat pokok,
dan lain- lain) kepada pihak perempuan melalui juru bicara. Praktiknya, sebelum
pesta perkawinan, pihak keluarga laki-laki lebih dahulu menyerahkan biaya pesta,
beras dan sapi/kerbau kepada keluarga perempuan sesuai yang disepakati dalam
acara peminangan (mowawo niwule). Materi pokok adat baru diserahkan kepada
pihak perempuan pada waktu upacara perkawinan dilangsungkan dengan
disaksikan seluruh tamu dan keluarga besar kedua belah pihak. (Zainal dan Suud
2018: 195)
Berdasarkan observasi awal peneliti terhadap keberadaan budaya
pernikahan suku Tolaki Mekongga yang ada di Kabupaten Kolaka, semakin
memudar seiring kemajuan globalisasi, di mana masyarakat suku tolaki mekongga
yang bermukim di Kabupaten Kolaka sudah mulai meniggalkan proses tradisi
sakral pernikahan yang di kenal dalam masyarakat suku tolaki mekongga adalah
mowindahako. Masyarakat mulai meninggalkan tradisi mowindahako karena
masyarakat menganggap bahwa dalam memenuhi persyaratan tradisi
mowindahako itu sangat berat dan membutuhkan banyak penyerahan materi adat
3

sementara masyarakat memiliki pendapatan ekonomi rendah sehingga tidak dapat


memenuhi persyaratan yang diminta dalam tradisi mowindohako agar tradisi
sakral mowindahako tetap dilestarikan di Kabupaten Kolaka, maka dari itu perlu
dikaji secara empiris eksistensi adat mowindahako pada Masyarakat Tolaki
Mekongga di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah
penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pelaksanaan adat mowindohako di Kelurahan Sakuli
Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka?
2. Apa saja nilai karakter yang ada pada adat mowindahako di Kelurahan Sakuli
Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka?
3. Bagaimana upaya tokoh adat dalam menjaga eksistensi adat mowindohako di
Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan pelitian


ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan adat mowindahako di Kelurahan
Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka
2. Untuk mendeskripsikan nilai karakter yang ada pada adat mowindahako di
Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka
3. Untuk menganalisis upaya tokoh adat dalam menjaga eksistensi adat
mowindahako di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan sosial, dan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya
yang akan melakukan pengkajian berkaitan dengan judul penelitian ini.
4

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat Tolaki, utamanya bagi tokoh adat, agar dapat menjadi
bahan informasi tambahan serta pengetahuan yang berkaitan dengan adat
mowindahako dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi
pada Masyarakat Tolaki.
b. Pada kalangan akademis atau peneliti dapat menjadi bahan perbandigan
dalam upaya melakukan penelitian yang relevan degan penelitian ini.
c. Bagi pemerintah, yaitu sebagai bahan acuan dalam upaya menentukan
kebijakan pemerintah daerah setempat.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Perkawinan

Adat adalah perilaku alamiah karena sudah merupakan ketetapan Tuhan


yang tidak berubah dan sudah merupakan sifat perilaku yang seharusnya dimiliki.
Pada masyarakat adat, istilah adat lebih dikenal oleh masyarakat dari pada hukum
adat. Menurut Setiady adat merupakan kebiasaan masyarakat, dan kelompok-
kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang
seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat dengan dilengkapi oleh
sanksi, sehingga menjadi hukum adat. (Hafid, dkk, 2016: 7)
Istilah kawin sebenarnya berasal dari bahasa Arab, disebut dengan kata
nikah. Al-nikah yang bermakna al-wathi dan al-dammu wa altadakhul. Ada
kalanya juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat, an al-wath wa al-
aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Secara terminologi kawin
atau nikah dalam bahasa Arab disebut juga ziwaaj, sehingga perkataan nikah
mempunyai dua pengertian, yakni dalam arti yang sebenarnya (hakikat) dan
dalam arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian sebenarnya nikah disebut dengan
dham yang berarti, menghimpit, menindih, atau berkumpul, sedangkan dalam
pengertian kiasannya disebut dengan istilah wathaa yang berarti setubuh.
Perkataan nikah dalam bahasa sehari-hari lebih banyak dipakai dalam arti kiasan
dari pada arti sebenarnya, bahkan nikah dalam arti sebenarnya jarang sekali
dipakai pada saat ini. (Erwinsyahbana, 2012: 3-4)
Pengertian perkawinan dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari
kata kawin, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan
jenis, melakukan hubungan kelamin dan bersetubuh, istilah kawin digunakan
secara umum, untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses
generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia
karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama
menurut agama. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses
pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan
6

Kabul (pernyataan menerima dari pihak laki-laki). Selain itu, nikah bisa juga
diartikan sebagai bersetubuh (Santoso, 2016: 415).
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam hidup manusia sebagai
suatu titik permulaan dari suatu mata rantai kehidupan baru. Kehidupan baru itu
pada dasarnya dimulai dengan persetujuan antara kedua belah pihak untuk
membentuk suatu keluarga, keduanya setuju untuk membagi hidup bersama dalam
membagi keadaan susah maupun senang. Mereka diharapkan dapat menyesuiakan
diri hidup bersama menuju kebahagian di dunia (Hafid dkk, 2016: 10).
Perkawinan merupakan salah satu budaya dan bagian dari siklus hidup
manusia. Hal ini merupakan landasan bagi terbentuknya suatu keluarga.Keluarga
merupakan suatu kelompok individu yang ada hubungannya, hidup bersama dan
bekerja sama di dalam satu unit. Kehidupan dalam kelompok tersebut bukan
secara kebetulan, tetapi diikat oleh hubungan darah atau perkawinan. Setiap
perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan
wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup
manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam mengandung unsur-
unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi kehidupan lahir
batin, kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu perkawinan juga berdasarkan
religius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah
tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sedangkan
dasar-dasar pengertian perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga keutuhan
yang perlu dimiliki oleh seseorang sebelum melaksanakanya, yaitu: iman, Islam
dan ikhlas.
Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar
kehidupan di alam dunia berkembang baik. Perkawinan bukan saja terjadi
dikalangan manusia,tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh
karena itu manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan merupakan
salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia
dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya
perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju
(modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka. Perkawinan merupakan
7

salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia di
dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan, maka tidak mengherankan jika
agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat
masyaarkat dan juag institusi Negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan
yang berlaku di kalangan masyarakatnya (Santoso, 2016: 413- 414).
Hadi kusuma dalam Hafid, dkk (2016: 12) hukum Islam dalam
perkawinan dapat diartikan sebagai akad nikah antara calon suami isteri untuk
memenuhi hajat jenisnya yang telah diatur dan ditentukan oleh syariat Islam.
Dengan demikian, menurut hukum islam perkawinan adalah perikatan antara wali
perempuan dengan laki-laki calon suami. Akad nikah harus diucapkan oleh wali
perempuan dengan jelas berupa ijab dan qabul oleh calon suami yang
dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
Hal ini seperti ditegaskan oleh Donald Light bahwa “ a family as two or
more person living together and related by blood, marriage oradoption”. Jadi
keluarga adalah kehidupan bersama dari dua orang atau lebih yang diikat oleh
hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Oktarina, dkk (2015, 76). dengan
demikian keluarga terbentuk dari adanya suatu tahapan dari siklus hidup manusia
yaitu perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dengan adanya ikatan perkawinan maka tujuan dari ikatan pernikahan
tersebut adalah untuk mencapai keluarga yang sakral, penuh kasih sayang,
kebajikan dan saling menyantuni, membangun, membina, dan memelihara
hubungan kekerabatan. Pelaksanaan perkawinan diperlukan suatu lembaga
perkawinan yang mengatur hubungan antara suami isteri secara yuridis maupun
religius sehingga hubungan tersebut sah menurut agama, hukum, dan tidak
melanggar norma-norma hukum kebiasaan yang berlaku di masyarakat (Oktarina,
dkk, 2015: 76).
Perkawinan di Indonesia tidak hanya di ataur oleh pemerintah tetapi
perkawinan juga masih banyak di atur oleh tradisi atau budaya tempat dimana
berlangsungnya seunitpernikahan. Terkhususnya salah satu daerah yang ada di
8

Sulawesi tenggara yaitu kabupaten kolaka yang didiami mayoritas suku tolaki
mekongga. Perkawinan masyarakat tolaki mekongga bukanlah perkara yang
cukup bisa diputuskan oleh calon pengantin itu sendiri ataupun keluarganya,
tetapi melibatkan pula para tokoh adat, bahkan masyarakat pada umumnya.
Keterlibatan keluarga dalam menentukan keputusan perkawinan menyangkut
prestise, nama baik, dan harga diri keluarga. Keterlibatan para tokoh adat menjadi
sesuatu yang penting dan sentral, sebab secara langsung mereka terlibat dimulai
saat sebelum terjadinya perkawinan sampai pada perkawinan itu sendiri, bahkan
setelah perkawinan. Hal ini didasarkan pada dasar utama perkawinan adalah
kesepakatan bersama antar keluarga, atau yang disebut dengan ano pada
poehenoki pada anamotuo, artinya haruslah atas dasar kesepakatan bulat dari
keluarga masing-masing pihak (Zainald dan Zuud, 2018: 195).
Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 6. Menyatakan (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai, (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua,
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat
2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya, (4) Dalam hal kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya, (5)
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2,
3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang
akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
2, 3 dan 4 pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini
9

berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari


yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Perkawinan dalam masyarakat Tolaki disebut dengan mowindahako yang


berarti penyerahan materi adat (popolo, materi adat pokok, dan lain- lain) kepada
pihak perempuan melalui juru bicara. Praktiknya, sebelum pesta perkawinan,
pihak keluarga laki-laki lebih dahulu menyerahkan biaya pesta, beras dan
sapi/kerbau kepada keluarga perempuan sesuai yang disepakati dalam acara
peminangan (mowawo niwule). (Zainald, 2018 : 195). Materi adat yang harus
dibawa pada acara mowindahako adalah (a) Popolo atau mas kawin yang
disesuaikan dengan derajat sosial perempuan, (b) pokok adat (puuno Sara),
terdiri atas satu pis kain kaci, satu ekor kerbau atau kiniku yang bisa diuangkan,
satu unitgong atau tawu-tawu yang bisa diuangkan, satu untai kalung adat
atau oeno yang bisa diuangkan, (c) pelengkap (tawano sara) berupa 8 atau 16
lembar sarung ( disesuaikan dengan derajat sosial perempuan yang akan
dinikahi), (d) sarapeana berupa satu unitbaskom untuk mandi bayi
(bokumbebahoa), satu unittimba air (sandusandu), satu unitlampu tembok
(sikuhulo), satu lembar kain sarung (rane-ranembaa), satu kain gendongan untuk
menggendong bayi. Berikut ini akan diuraikan satu persatu. (Zainal dan Zuud
2018: 196).
Menurut Hafid, dkk (2016: 17-18) Secara rinci terdapat 5 tujuan
pernikahan, yaitu: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. 2. Memenuhi
hasrat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih
sayangnya. 3. Memenuhi panggilan agama (ibadah), memelihara diri dari
kejahatan dan kerusakan (maksiat). 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk
bertanggung jawab menerima hak dan kewajiban, juga bersungguh- sungguh
untuk mencari dan memperoleh harta kekayaan yang halal. 5. Membangun rumah
tangga untuk mendapatkan kehidupan yang tenteram atas dasar kasih sayang
(sakinah mawaddah warahmah).
Secara rinci terdapat lima manfaat dari pernikahan, yaitu sebagai berikut:
(1) menyambung silaturrahim, (2) memalingkan pandangan yang liar, kemudian
10

(3) menghindarkan diri dari perzinaan, (4) memperoleh keturunan (generasi


hidup), dan (5) mengisi dan menyemarakkan dunia.

B. Konsep Perkawinan Adat


1. Pengertian Perkawinan Adat
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat. Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita
atau pria calon mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua mempelai,
saudara- saudaranya bahkan kedua keluarga mereka. Dalam hukum adat
perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang
masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat
berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan di ikuti oleh arwah- arwah
para leluhur kedua para pihak.
Perkawinan menurut hukum adat merupakan suatu hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan, yang membawa hubungan yang lebih luas
yaitu antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan bahkan antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain (Utomo, 2016: 89).
Perkawinan biasanya diartikan sebagai ikatan lahir bathin antara pria dan
wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan membentuk suatu keluarga
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam
bentuk perkawinan yang terjadi berdasarkan aturan- aturan dan norma- norma
yang berlaku dalam masyarakat setempat.
2. Sistem Perkawinan Adat
Menurut hukum adat, sistem perkawinan ada 3 macam yaitu:
a. Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan
seseorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini jarang
terjadi di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah
saja secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja.
Tapi sekarang di daerah ini pun sistem akan lenyap dengan sendirinya
kalau hubungan darah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih
11

mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya
terdapat secara praktis saja, lagi pula endogami sebetulnya tidak sesuai
dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu Parental
(Soekanto, 1992: 132).
b. Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain.
Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian,
seiring berjalannya waktu, dan berputarnya zaman lambat laun
mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, sehingga larangan
perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang
sangat kecil saja. Sistem ini dapat di jumpai daerah Gayo, Alas, Tapanuli,
Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram ((Soekanto, 1992: 132).
c. Sistem Eleutherogami
Sistem Eleutherogami berbeda dengan kedua sistem diatas, yang
memiliki larangan-larangan dan keharusan- keharusan. Eleutherogami
tidak mengenal larangan- larangan dan keharusankeharusan tersebut.
Larangan- larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang
terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan
ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan) seperti kawin
dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung,
saudara bapak atau ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-
iparan) seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, anak tiri (Soekanto, 1992:
132-133). Dalam sistem ini dapat di jumpai hampir di seluruh masyarakat
Indonesia.
3. Bentuk Perkawinan Adat
Di Indonesia dapat di jumpai tiga bentuk perkawinan adat, antara lain:
a. Bentuk perkawinan jujur (bridge-gif marriage)
Kawin jujur merupakan bentuk perkawinan di mana pihak laki-laki
memberikan jujur kepada pihak perempuan. Benda yang dapat dijadikan
sebagai jujur biasanya benda- benda yang memiliki magis. Pemberian
jujur diwajibkan adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis yang
12

semula menjadi goyah, oleh karena terjadinya kekosongan pada keluarga


perempuan yang telah pergi karena menikah tersebut. Perkawinan jujur di
jumpai pada masyarakat Patrineal. Ciri- ciri perkawinan jujur adalah
patrilokal, artinya isteri bertempat tinggal di kediaman suami atau
keluarga suami (Wignjodipoero, 1989: 128). Di samping itu perkawinan
jenis ini bersifat exogami yaitu larangan untuk menikah dengan warga
yang se-clan atau se-marga.
b. Bentuk perkawinan semendo (suitor service marriage)
Perkawinan semendo pada hakikatnya bersifat matrilokal dan
exogami. Matrilokal berarti bahwa isteri tidak berkewajiban untuk
bertempat tinggal di kediaman suami. Dalam perkawinan ini biasa
dijumpai dalam keadaan darurat, di mana perempuan sulit mendapatkan
jodoh atau karena laki- laki tidak mampu untuk memberikan jujur
(Wignjodipoero, 1989: 24).
c. Bentuk perkawinan bebas (exchange marriage)
Dalam bentuk kawin bebas tidak menentukan secara tegas dimana
suami atau isteri akan tinggal, hal ini tergantung pada keinginan masing-
masing pihak. Bentuk kawin bebas ini bersifat endogami, artinya suatu
anjuran untuk kawin dengan warga kelompok kerabat sendiri
(Wignjodipoero, 1989: 25).
4. Tujuan Perkawinan Adat
Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat adat yang bersifat
kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan
menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk
kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilainilai
adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarasan. Oleh
karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang
satu dan lain berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat
juga berbeda antara suku bangsa yang satu dan daerah yang lain, begitu juga
dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya (Hadikusuma, 1990: 23).
13

Dalam masyarakat Patrineal, perkawinan bertujuan untuk


mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki (tertua)
harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan pembayaran
uang jujur), dimana setelah terjadi perkawinan, istri ikut (masuk) dalam
kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan
kekerabatan bapaknya. Sebaliknya dalam masyarakat matrineal, perkawinan
bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak
perempuan (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami
(semando) dimana setelah terjadinya perkawinan suami ikut (masuk) dalam
kekerabatan isteri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan
kekerabatan orangtuanya (Hadikusuma, 1990: 23).

C. Konsep Nilai Karakter

Menurut Gordon Alport dalam Saputro, (2015: 67). Nilai adalah


keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Menurut
Fraenkel, bahwa nilai dapat diartikan sebagai seunit pikiran (idea) atau konsep
mengenai apa yang dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya. Selain
itu, kebenaran seunit nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik,
namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak
dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Pengertian nilai yang
dipaparkan para tokoh tersebut, dapat diartikan bahwa nilai adalah suatu
keyakinan yang mendasar bagi seseorang atau kelompok orang untuk menentukan
atau memilih tindakannya atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna
bagi kehidupannya.
Koesoema dalam Pratiwi (2017: 47) Orang berkarakter berarti orang yang
berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan makna
seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian
merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya
keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir.
14

Cukup banyak pakar pendidikan karakter yang memberikan tawaran


tentang nilai-nilai dasar yang harus dikembangkan untuk membangun karakter
seseorang. Dengan merujuk berbagai pakar pendidikan karakter, Ary Ginanjar
kemudian menetapkan tujuh nilai utama untuk membangun karakter, yaitu
kejujuran, tanggung jawab, visioner, kedisiplinan, kerja sama, keadilan, dan
kepedulian (Pratiwi, 2017: 47).
Mifta dalam Hafid (2020: 23) Karakter adalah cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan
dan siap mempertanggung jawabkan akibatnya. Pembentukan karakter merupakan
amanah UU Sisdiknas Tahun 2003 agar pendidikan tidak hanya membentuk insan
indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter sehingga
dapat melahirkan bangsa yang berkarakter dan bernafas nilai-nilai luhur bangsa
dan agama.
UU sisdikan Tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan berbentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Hafid (2020: 23) menyatakan bahwa karakter adalah watak, tabiat, ahlak,
atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi sebagai
kebijakan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang,
berpikir, besikap dan bertindak. Kebijakan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan
norma, seperti nilai religius, demokratis, keputusan terhadap aturan-aturan sosial,
dan menghargai keberagaman. Interaksi seseorang dengan orang lain
menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu,
pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan
karakter individu seseorang.
Nilai-nilai karakter menurut Irawaty, dkk. (2018: 9-12) sebagai berikut:
15

1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin: Tindakan yang menunjukan perilaku tertip patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras: Tindakan yang menunjukan perilaku tertip dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
6. Kreatif: Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis: Cara berfikirdan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang di pelajarinya, dilihat, dan
didengar.
10. Semangat Kebangsaan: Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
11. Cinta Tana Air: Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
12. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komunikatif: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
16

14. Cinta Damai: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebijakan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-
upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibanya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap dirinya sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang
Maha Esa.

D. Penelitian Relevan
Beberapa penelitian relevan yang telah dilakukan diantaranya penelitian
yang dilakukan Zainal (2018: 207) menyimpulkan bahwa: kekerasan simbolik ini
disebabkan salah satunya oleh konflik laten yang tidak langsung terlihat secara
kasat mata, sebab ia bekerja di dalam konstruksi kultural atas nama stabilitas dan
keteraturan dalam masyarakat. Korban tidak merasakan langsung sebagai
seunitkekerasan, oleh karena ada proses pelemahan secara sistematik (systematic
dispowerment). Ia disebut sebagai kekerasan struktural yang berlindung dibalik
simbol-simbol adat dan tradisi. Kekerasan simbolik atau kekerasan struktural
dalam kasus perkawinan masyarakat tolaki di sulawesi tenggara dapat ditemui
dalam beberapa bentuk, yaitu pertama, tidak mendapatkan kesempatan yang sama
bagi semua level masyarakat; dan kedua penolakan terhadap prosedur dan tatacara
perkawinan. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan kelas sosial dalam masyarakat
tolaki yang berkonsekwensi pada perbedaan penetapan materi dan syarat
perkawinan; tidak ada legitimasi atas hak dan peluang yang sama untuk menikahi
perempuan dari kelas sosial manapun; perbedaan kepentingan antara pihak-pihak
17

yang terlibat dalam perkawinan; dan dominasi elit adat yang secara langsung
memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perkawinan.
Penelitian yang dilakukan Ramlin (2018: 47-48) berdasarkan kesimpulan
pertama, berdasarkan bentuk ungkapan proses penyelesaian adat mombolasuako
dalam masyarakat Tolaki di Kecamatan Tongauna, memiliki bentuk ungkapan
dalam proses penyelesaian adat perkawinan mombolasuako yaitu pada
rembinggare, mesokei dan mowindahako. Kedua, makna ungkapan proses
penyelesaian adat mombolasuako dalam masyarakat tolaki memiliki dua makna.
Pertama, makna denotatif yaitu makna yang sesungguhnya dan kedua makna
konotatif (konotasi) yaitu makna kiasan. Ungkapan- ungkapan tersebut terdapat
dalam adat perkawinan mombolasuako yaitu: rembinggare, mesokei dan
mowindahako. Ketiga, proses perkawinan mombolasuako adalah perkawinan
yang tidak sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku pada masyarakat tolaki. Hal
ini terjadi karena tidak ingin mengalokasikan uang untuk pernikahan besar-
besaran, biaya pernikahan sangatlah mahal, tidak menginginkan adanya argument
antar pihak mempelai yaitu masalah perbedaan pendidikan dan derajat tingkat
kasta silsila keluarga yang dipertahankan, serta umur dari kedua mempelai belum
matangnya dan bentuk yang inilah yang sering menimbulkan konflik.
Penelitian yang dilakukan oleh Kusnan (2015: 72 ) menyimpulkan bahwa
ungkapan dalam mesarapu, mesokei, danumo’api sebagai media komunikasi
dalam adat perkawinan suku Tolaki sangat sarat dengan makna. Untuk memahami
makna yang terkandung dalam ungkapan mesarapu, mesokei, danumo’api
dibutuhkan pengetahuan bahasa dan pengalaman yang luas bagi para pelakon dan
pendengar. Bahasa yang dipakai dalam ungkapan mesarapu, mesokei, danumo’api
penuh dengan bahasa kias,dan simbolik,yang tidak mampu dijangkau maknanya
oleh sebagian orang awam. Dalam adat mesarapu terbagi atas empat tahap dalam
penyelesaian adatnya yakni(1) morake rakepi (meninjau calon istri), (2) tahap
monduutudu (pelamaran penjajakan), (3) tahap mowawoniwule (pelamaran
sesungguhnya), (4) tahap mowindahako (tahap penyelesaian adat). Sedangkan
dalam adat mesokei terbagi atas tiga tahap yakni (1) tahap morembinggare
(pemberitahuan kepada orangtua perempuan). (2) tahap mesokei (artinya datang
18

“membentengi” untuk suatu upaya membujuk pihak keluarga wanita yang


dipermalukan itu dengan membayar sejumlah ganti rugi), yang langsung
dilanjutkan dengan ijab kabul atau pernikahan. (3) tahap mowindahako (tahap
penyelesaian adat).

E. Kerangka Pikir.
Kerangka pikir bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam
mengumpulkan dan menjelaskan bentuk permasalahan yang ada, peneliti
mengacu pada bagan kerangka pikir, maka dapat dijelaskan bahwa masyarakat
suku tolaki mekongga di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten
Kolaka mempunyai suatu tradisi adat pernikahan yaitu adat Mowindahako. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka pikir berikut ini:

Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka

Ekesistensi Adat Mowindahako

Proses Pelaksanaan Adat Nilai-Nilai Karakter yang Upaya Masyarakat


Mowindahako Pada ada pada adat Dalam Menjaga
Masyarakat Tolaki Mowindahako di Di eksistensi Adat
Mekongga Di Kelurahan Kelurahan Sakuli Mowindahako Di
Sakuli Kecamatan Kecamatan Latambaga Kelurahan Sakuli
Latambaga Kabupaten Kabupaten Kolaka Kecamatan
Kolaka Latambaga
Kabupaten Kolaka

Penerapan Adat Mowindahako Pada Masyarakat Tolaki Mekongga


Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka
19

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga


Kabupaten Kolaka sebagai lokasi penelitian. Pemilihan Lokasi ini sesuai keadaan
masyarakat yang mayoritas berstatus sebagai Suku Tolaki Mekongga sehingga
nantinya akan mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian yang berkaitan
dengan tradisi pernikahan Suku Tolaki yaitu mowindahko Adapun waktu
penelitiannya dilaksanakan pada bulan September sampai Oktber 2021.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, jenis penelitian yang


menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat di capai (diperoleh) dengan
menggunakan prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran).
Pendekatan kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang
kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi, aktivitas sosial.
(Sujarweni, 2014: 6).
Peneliti ini mengunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif
dikarenakan penilitian kualitatif deskriptif lebih menekankan pendekatan pada
informan dalam lingkungan kehidupan sehari-harinya untuk itu peniliti dapat
berinteraksi secara dekat dengan informan, mengamati dan mengikuti alur
kehidupan informan untuk memperoleh data yang akurat.

C. Informan Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik menentukan informan secara
Purposive Sampling (Sugiyono, 2017: 85). Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
tertentu adalah orang tersebut yang dianggap paling tahu, atau memahami objek
yang diteliti. Informan dalam penelitian ini menggunakan 7 orang yakni 1 orang
lurah, 2 orang tokoh adat (tolea dan pabitara), dan 4 orang tokoh masyarakat.
20

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi Non Partisipasi
Peneliti tidak terlibat secarah langsung dengan aktivitas informan yang
sedang diamati tetapi observasi dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan
yang sistematis untuk memahami persoalan yang ada pada informan, serta
memperoleh data tentang keadaan lingkungan kelurahan dan keadaan sosial
dan budaya masyarakat (Sujarweni, 2014: 56).
2. Wawancara Mendalam
Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara mendalam. dimana
dalam teknik wawancara mendalam peneliti terlibat langsung secara mendalam
dengan tanya jawab yang dilakukan berkali-kali. Wawancara mendalam
disebut juga dengan wawancara tidak terstruktur (Sujarweni, 2014: 57).
3. Studi Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data sekunder yang
dilakukan dengan menyimpan data dari hasil penelitian meliputi buku-buku
serta data-data yang relevan dengan penelitian ini (Sujarweni, 2014: 57).

E. Teknik Analisis Data


Langka-langka analisis dalam penelitian ini dilakukan selama dan setelah
pengumpulan data. Data yang dikumpulka berupa kata-kata dan bukan berupa
angka. Analisis data dilakukan menggunakan model Miles dan Huberman bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Sugiyono,
2017: 247).
1. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu
maka perlu di catat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan, semakin
lama peneliti ke lapangan,maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks
dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi
21

data.Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan


pada hal-hal yang penting, di cari tema dan polanya.
2. Penyajian Data
Setelah data di reduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan
data. Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini dapat dilakukan
data. Kalau dalam penelitian kuantitif penyajian data ini dapat dilakukan dalam
bentuk table, grafik, phi chard, pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian
data tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan,
sehingga akan semakin mudah dipahami.
3. Verifikasi Data
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif Miles and Huberman adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan
masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti
yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi
apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-
bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kesimpulan yang kredibel.

F. Validitas Data
Dalam penelitian ini untuk mencari validitas data, digunakan teknik
triangulasi, member chek, dan megamati lebih tekun (Sugiyono, 2017: 273)
1. Trianggulasi
a. Trianggulasi Sumber
Trianggulasi sumber untuk menguji kredibilitas data yang
dilakukan dengan mengecek pemilihan informan data yang telah diperoleh
melalui beberapa sumber. Pengecekan kembali data-data yang diperoleh
dari informan dengan cara menanyakan kebenaran data atau informasi
kepada informan satu dengan informan lainya, dari kondisi tertentu, atau
dari sumber yang berupa catatan atau arsip dan dokumen.
22

b. Trianggulasi Teknik
Trianggulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan
dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik
yang berbeda Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu di cek
dengan observasi, dokumentasi, atau kusioner. Bila dengan tiga teknik
pengujian kredibilitas data tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda,
maka melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang
bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data mana yang dianggap
benar. Atau mungkin semuanya benar, karena sudut pandang berbeda-beda.
2. Member Chek
Hasil temuan lapagan yang telah ditulis bentuk disertasi, diserahkan
kepada informan yang terlibat dengan judul yang sedang diteliti untuk
mengecek kebenaranya sesuai dengan pengalaman informan.
3. Melakukan Pengamatan Secara Tekun
Ketekunan pengamatan dilakuka dengan peneliti tinggal serta
mengikuti kegiatan masyarakat yang menjadi objek penelitian agar peneliti
betul-betul memperoleh kebenaran berdasarkan apa yang menjadi tujuan
peneliti.
23

BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Keadaan Geografis
Keluraan Sakuli merupakan seunit wilayah yang tak dapat dipisahkan dari
pemerintahan Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka. Kelurahan Sakuli
terletak di wilayah barat Kabupaten Kolaka yang secarah geografis berada pada
ketinggian 0 S/D 36 meter DPL, dan terbentang seluas 100,22 KM dengan
interval jarak 2 KM dari pusat ibu kota Kabupaten dengan jumlah penduduk
sebanyak 2,694 jiwa dari 320 kk.
Secara administratif, batas-batas wilayah Kelurahan Sakuli adalah sebagai
berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kolakaasi
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Latambaga
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Watuliandu
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Sea
Kelurahan Sakuli yang di bagi menjadi 5 lingkungan yaitu Lingungan I
Kayanga, Lingkungan II Morini, Lingkungan III Petondoa, Lingkungan IV
Puundoho dan Lingkungan V Daimoapo.

B. Keadaan Demografis
Penduduk yang bermukim di Kelurahan Sakuli didiami berbagai macam
suku bangsa yang dimana 60 % di kelurahan Sakuli didiami oleh suku Tolaki
Mekongga, kemudian Bugis, Makassar, Jawa, dan Toraja. Kelurahan Sakuli
merupakan wilayah pegunungan yang sebagian besar penduduknya bekerja
sebagai Petani dan Karyawan swasta, Interaksi antar suku terjalin dengan sangat
baik yang dikarenakan mereka saling bergotong royong ketiaka ada kegiatan dan
tidak hanya itu, interaksi sosial bisa terjalin sangat baik karena adanya perpaduan
antar budaya dari proses perkawinan, baik antara suku Tolaki Mekongga yang
kawin dengan orang suku Bugis, Makassar, Jawa, dan Toraja, sehingga diantara
mereka terjalin keakraban dalam menjalin interaksi antar suku.

23
24

1. Penduduk
a. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk Kelurahan Sakuli berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Komposisi Penduduk Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Jumlah Persentatse(%)
1. Laki-Laki 583 49,28
2. Perempuan 600 50,72
Jumlah 1.183
100
Sumber Data : Kantor Kelurahan Sakuli Tahun 2021
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Kelurahan Sakuli
berjumlah sebanyak 1,183 jiwa yang terdiri berdasarkan laki-laki
berjumlah 583 jiwa dengan jumlah persen (50. 71 %), dan perempuan
berjumlah 600 jiwa dengan jumlah persen (49.28 %) jiwa. Berdasarkan hasil
data yang diperoleh dari pemerintahan Kantor Kelurahan Sakuli jumlah
penduduk perempuan lebih banyak ketimbang dengan jumlah penduduk
laki-laki.
b. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia.
Jumlah Penduduk Kelurahan Sakuli berdasarkan kelompok usia
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2 . Komposisi Penduduk Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Berdasarkan Kelompok Usia
No. Kelompok Usia Jumlah Penduduk Persentase (%)
1. 0-5 108 9.13
2. 6-11 321 27.13
3. 12-17 465 39.31
4. 18-keatas 289 24.43
Jumlah 1.183 100
Sumber Data : Kantor Kelurahan Sakuli Tahun 2021
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa penduduk usia 12-17
tahun itu lebih banyak. Hal ini dapat dilihat secara seksama pada tabel 2.
Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia dimana jumlah usia 12-17
tahun itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah usia lainnya.
25

2. Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi pada dasarnya tidak terlepas dari pekerjaan ataupun
mata pencarian setiap penduduk. Karena dari pekerjaan segalah kebutuhan
akan terpenuhi. Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi ekonominya, untuk
itu bekerja merupakan suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya
yang terdiri pakaian, sadang dan pangan. Adapun mata pencaharian penduduk
di Kelurahan Sakuli diantaranya sebagai Petani, Pedagang, Pengusaha, PNS,
Pegawai Honorer, Karyawan Swasta, Pertukangan,TNI dan POLRI. Adapun
jenis mata pencaharian penduduk di Kelurahan Sakuli dapat dilihat pada Tabel
berikut:

Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga


Berdasarkan Mata Pencaharian

No Jenis Pekerjaan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)


1 Petani 218 51,17
2 Pedagang 18 4,23
3 Pengusaha 2 0,47
4 PNS 109 25,59
5 Pegawai Honorer 11 2,58
6 Karyawan Swasta 29 6.81
7 Pertukangan 16 3,76
8 TNI 1 0,23
9 Polri 22 5,16
Jumlah 426 100
Sumber Data: Kantor Kelurahan Sakuli Tahun 2021
Berdasarkan tabel di atas, jumlah penduduk Kelurahan Sakuli yang
bermata pencaharian terbanyak didominasi oleh penduduk Petani dengan
jumlah jiwa sebanyak 218 orang dengan jumlah persentase (51,17 %),
kemudian didominasi oleh PNS dengan jumlah jiwa 109 orang dengan jumlah
persentase (25,59 %), Karyawan Swasta dengan jumlah sebanyak 29 orang
dengan jumlah persentase (6,81 %), Polri dengan jumlah sebanyak 22 orang
dengan jumlah persentase (5,16 %), Pedagang dengan jumlah sebanyak 18
orang dengan jumlah persentase (4.23 %), Pertukanan dengan jumlah
sebanyak 16 orang dengan jumlah persentase (3.76 %), Pegawai Honorer
dengan jumlah sebanyak 11 orang dengan jumlah persentase (2,58 %),
26

Pengusaha dengan jumlah sebanyak 2 orang dengan jumlah persentase (0.47


%), dan TNI dengan jumlah sebanyak 1 orang dengan jumlah persen.

3. Keadaan Pendidikan
Pendidikan berperan penting dalam kehidupan manusia karena dengan
pendidikan diharapkan seseorang dapat membuka pikiran masyarakat.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga
Berdasarkan Lulusan Pendidikan Umum
Lulusan Pendidikan Umum Jumlah Persentase (%)
No. (Jiwa)
1. Belum sekolah 19 2.10
2. Taman Kanak-Kanak 54 7.10
3. Sekolah Dasar 319 27.75
4. SMP/Sederajat 193 12.55
5. SMA/Sederajat 245 19.25
6. Diploma/Sarjana 26 3.30
7. Tidak Sekolah 327 27.95
Jumlah 1.183 100
Sumber Data : Kantor Kelurahan Sakuli Tahun 2021
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui tingkat pendidikan
penduduk Kelurahan Sakuli yang terbesar adalah tamatan Sekolah Dasar
sebanyak 319 jiwa dengan jumlah persentase sebesar 27.75%, kemudian SMA
Sederajat sebanyak 245 dengan jumlah persentase 19.25%, SMP Sederajat
sebanyak 193 jiwa dengan jumlah persentase 12.55%, Diploma/Sarjana
sebanyak 26 jiwa dengan jumlah persentase 3.30%. Kemudian terdapat jumlah
penduduk yang tidak bersekolah sebanyak 327 jiwa dengan persentase 27.95%,
serta yang belum sekolah berjumlah 19 dengan persentase 2.10%

C. Keadaan Sosial Budaya

Ada banyak keanekaragaman budaya yang ada di Kelurahan Sakuli mulai


dari segi agama suku, ras dan budaya, Masyarakat di kelurahan sakuli dikenal
masih memegang teguh rasa kekeluargaan dan gotong royong, adapun kegiatan
sosial budaya masyarakat Kelurahan Sakuli yang masih sering dilakukan dalam
kehidupan sehari- hari adalah sebagai berikut:
27

1. Pepokolapasia yang artinya pelepasan, dimana pada masyarakat Tolaki


biasanya melaksanakan upacara kematian yang akrab di kenal dengan sebutan
pelepasan 40 hari setelah meninggal dunia. dalam kegiatan upacara tersebut
keluarga yang ditinggalkan menggelar acara doa bersama dan melamtumkan
Ayat-ayat suci Al-qur’an untuk sanak saudara atau kerabat yang telah
meninggal dunia.
2. Pesta panen kelurahan sakuli dikenal sebagai daerah perkebunan, yang dimana
masyarakatnya bermayoritas sebagai petani ketika musim panen tiba seluruh
masyarakat mengumpulkan hasil panennya lalu digelarlah acara doa bersama
setelah itu seluruh hasil panen yang dikumpulkan di makan bersama-sama,
acara tersebut biasanya digelar di tepian sungai Sakuli jadi acara tersebut tidak
hanya semata mata pesta panen tetapi juga sekaligus ajang rekreasi bagi
masyarakat Kelurahan Sakuli di sungai.
3. Mosehe wonua atau dikenal dalam masyarakat tolaki adalah upacara ritual
pengsucian negeri, upacara tersebut biasa dirangkaikan dengan acara pesta
panen.
4. Pestival musik dan budaya bagi masyarakat Kolaka kiranya sudah tidak asing
lagi dengan acara tahunan yang biasa masyarakat Sakuli gelar, masyarakat
Sakuli memiliki acara tahunan yang rutin digelar setiap bulan november
dimana dalam acara tersebut diadakan pertunjukan nyanyian lagu-lagu daerah,
drama parodi, seni Tari-tarian daerah dan masih banyak lagi pertunjukan seni
lainnya yang ditampilkan.
5. Berbagi sembako setiap menjelang lebaran idul fitri pemuda pemudi kelurahan
sakuli mengumpulkan dananya masing-masing untuk membeli berbagai
macam jenis sembakoh, lalu kemudian di bagikan ke kaum-kaum yang
membutuhkan seperti anak yatim, janda, langsia dan orang-orang yang tidak
mampu lainnya dan dibagian padasaat malam takbiran sekaligus Pemuda
Pemudi tersebut melangsungkan pawai Takbir keliling.
28

1. Agama
Agama yang di anut oleh masyarakat Kelurahan Sakuli berbeda- beda
yang terdiri dari agama Islam, dan Kristen. Namun penganut agama terbesar di
Kelurahan Sakuli yaitu agama Islam bisa dilihat dengan adanya 1 rumah
ibadah agama islam yang berupa masjid berdirih kokoh di Kelurahan Sakuli
dan 1 rumah ibadah agama Kristen yang berupa Gereja, meskipun berbagai
macam agama yang ada di Kelurahan Sakuli masyarakat tetap saling
menghargai dan menjunjung tinggi toleransi dari setiap perbedaan kepercayaan
yang ada.
Tabel 5. Komposisi Penduduk Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah (jiwa) Persentase (%)


1 Islam 1,163 98,31
2 Kristen 20 1,69

Jumlah 1.183 100


Sumber Data: Kantor Kelurahan Sakuli Tahun 2021

Berdasarkan tabel diatas maka sudah jelas dapat diketahui bahwa


penduduk di Kelurahan Sakuli sebagian besar penduduknya menganut ajaran
Islam sebanyak 1,177 jiwa dengan persentase (99,49%) dan ajaran Kristen
Sebanyak 6 jiwa dengan presentase (0,49%).
2. Suku Bangsa
Suku Bangsa merupakan golongan sosial yang ada di masyarakat yang
digunakan sebagai pembeda suatu golongan dengan golongan yang lainnya.
Golongan mereka pada umumnya mempunyai ciri khasnya tersendiri yang
dapat digunakan untuk membedakan golongannya antara golongan lainnya
yang berdasarkan tempat dan asal usulnya serta kebudayaanya. Kelurahan
Sakuli memiliki beragam suku bangsa yang meliputi:Tolaki Mekongga, Bugis,
Makassar Jawa, dan Toraja. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6
mengenai etnis/suku bangsa yang dalam masyarakat Kelurahan Sakuli.
29

Tabel 6. Jumlah Penduduk Kelurahan Sakuli Kecamatan


Latambaga Berdasarkan Suku Bangsa
No Suku Jumlah ( Jiwa) Persentase (%)
1 Tolaki Mekongga 880 74,20

2 Bugis 113 9,54

3 Makassar 107 9,02

4 Jawa 43 3,88

5 Toraja 40 3,37

Jumlah 1.183 100

Sumber Data: Kantor Kelurahan Sakuli Tahun 2021

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa jumlah suku yang terbanyak


yakni Suku Tolaki Mekongga dengan jumlah penduduknya 880 jiwa dengan
persentase (74,20%) suku Bugis sebanyak 113 jiwa dengan persentase (9,54%)
selanjutnya suku Makassar sebanyak 107 jiwa dengan persentase (9,02%) suku
Jawa sebanyak 46 jiwa dengan persentase (3,88%) dan suku Toraja sebanyak
40 jiwa dengan persentase (3,37%).

3. Sarana / Prasarana

Sarana/Prasarana yang ada di wilayah Kelurahan Sakuli antara lain


Masjid, Gereja, Warung, Kantor Kelurahan, Lapangan Sepak Bola, Posyandu,
Pos kambling, Bendungan, perkebunan,Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar,
SMP, Tugu Perjuangan, Gerbang batas kelurahan, dan Jembatan , untuk lebih
jelas dapat dilihat pada tabel 7 dibawah ini :
30

Tabel 7. Jumlah Sarana/Prasarana di Kelurahan Sakuli Kecamatan


Latambaga

No. Sarana/Prasarana Jumlah Persentase (%)


1 Masjid 1 0,51
2 Gereja 1 0,51
3 Warung 87 45,54
4 Kantor Kelurahan 1 0,52
5 Lapangan Sepak bola 2 1,03
6 Posyandu 1 0,52
7 Pos Kambling 1 0,52
8 Bendungan 2 1,03
9 Perkebunan 91 47,64
10 Taman anak-anak 1 0,37
11 Sekolah Dasar 1 0,52
12 SMP 1 0,52
13 Tugu Perjuangan 1 0,52
14 Jembatan 2 1,03
15 Gerbang Batas Kelurahan 1 0,52
Jumlah 194 100
Sumber Data : Kantor Kelurahan Sakuli Tahun 2021
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa jumlah sarana/prasarana
yang ada di Kelurahan Sakuli yaitu jembatan sebanyak 2 unit dengan jumlah
persentase (1,03%), bendungan sebanyak 2 unit dengan jumlah persentase
(1,03%), lapangan sepak bola sebanyak 2 unit dengan jumlah persentase
(1,03%), masjid sebanyak 1 unit dengan jumlah persentase (0, 52%), gereja
sebanyak 1 unit dengan jumlah (0,52%), posyandu sebanyak 1 unit dengan
jumlah presentase (0,52%), pos kambling sebanyak 1 unit dengan jumlah
persentase (0,37%), Taman Kanak-anak sebanyak 1 unit, dengan jumlah
persentase (0,52%), Sekolah Dasar sebanyak 1 unit dengan jumlah persentase
(0,52%), SMP sebanyak 1 unit dengan jumlah persentase (0,52%), Kantor
Kelurahan sebanyak 1 unit dengan jumlah (052%).
31

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Pelaksanaan Adat Mowindahako di Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka
1. Tahap-Tahap Pelaksanaan Adat Mowindahako
Mowindahako dapat diterjemahkan pesta perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan kesepakatan bersama sebelumnya antara kedua belah pihak
keluarga. Pelaksanaan mowindahako bagi seorang laki-laki, merupakan seunit
pengukuhan dirinya di mata lembaga adat, pemerintah dan masyarakat yang
ditandai dengan penyerahan pokok adat dan kelengkapan lainnya yang
dipersyaratkan. Pokok adat dan kelengkapan lainnya yang diserahkan
menggunakan tersebut menggunakan media bahasa lisan. Pelaksanaan adat
mowindahako dalam suku Tolaki Mekongga, bentuk penyajiannya terdiri dari
gabungan kata-kata dan perbuatan. Perbuatan yang dipahami dalam adat
mowindahako adalah aktivitas pelaku, dalam hal ini para pemangku adat
seperti toonomotuo, pabitara, pu’u pe’ana, tolea, dan o disi pamarenda, serta
seluruh hadirin yang turut menyaksikan upacara adat mowindahako tersebut.
Pada masyarakat Tolaki Mekongga di Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka terdapat sistem adat yang disebut perkawinan
“morumbadoleesi” yang artinya melaksanakan dua macam acara dalam waktu
bersamaan yakni acara “mendutudu” dan acara “mondongo niwule”.
Perkawinan “morumbadoleaha” yakni melaksanakan tiga macam acara dalam
waktu yang bersamaan yaitu acara (1) “mondutudu, (2) mondongoniwule dan
(3) mowindahako”. Disinilah adat perkawinan Tolaki dapat mengikuti
perkembangan zaman. Jika 5 tahapan dapat dilakukan disaat “mowindahako”
waktu bersamaan 4 tahapan tersebut. Adapun tahap-tahap pelaksanaan adat
mowindahako pada suku Tolaki Mekongga di Kelurahan Sakuli Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka adalah sebagai berikut:
a. Pengantaran pengantin laki-laki ke tempat upacara perkawinan dengan
usungan (sinamba ulu) atau kendaraan lain. Setelah semua sudah siap,
maka tibalah waktunya calon mempelai laki- laki bersama rombongan
menuju rumah kediaman pihak mempelai perempuan. Pada zaman dahulu
32

pengantin laki-laki diusung dalam tandu, namun sekarang karena telah


banyak kendaraan maka, pengantin sudah menggunakan kendaraan mobil.
Dalam perjalanan diupayakan supaya jangan sampai mengalami
keterlambatan tiba di rumah mempelai perempuan karena akan mendapat
denda. Rombongan keluarga mempelai laki-laki terdiri dari calon mempelai
laki- laki, orang tua mempelai laki-laki, kepala d esa, puutobu atau
toonomotuo, tolea, ahli rias, keluarga, tamu dan undangan serta para
pembawa perlengkapan isi pokok adat turut dalam iring-iringan tersebut
(Yusuf Tahoraro, wawancara 5 November 2021).
b. Di depan gerbang rumah pengantin perempuan telah berdiri sejumlah
gadis-gadis yang ayu menyambut rombongan keluarga pihak laki-laki dan
biasanya gadis-gadis ini membentangkan kain menghalangi jalan masuk
rombongan mempelai laki-laki (momborei), dan rombongan tersebut tidak
boleh masuk sebelum membayar sejumlah uang sebagai pembuka jalan.
Jika itu sudah dilakukan maka rombongan mempelai laki-laki sudah boleh
memasuki rumah calon pengantin perempuan (Ambrin Bana, wawancara25
Oktober 2021).
c. Rombongan pengantin laki-laki dalam memasuki ruang upacara utama,
pintu pagar, pintu utama, pintu kamar tidur, pembuka kelambu dan mata
pengantin perempuan masih tertutup. Untuk membuka hal-hal tersebut
diatas, maka pihak laki-laki harus menebusnya sesuai dengan kesepakatan
dengan masing-masing penjaga. Hal ini dimaksudkan agar memeriahkan
acara perkawinan, serta sebagai simbol ketulusan dari pihak laki-laki. Pada
saat upacara perkawinan ini dimulai semua kesepakatan peminangan harus
dipenuhi serta ditampilkan secara transparan di depan masing-masing juru
bicara (Hasan Lapadoe, Wawancara 9 November 2021).
d. Setelah pihak keluarga mempelai laki-laki maupun keluarga mempelai
perempuan mengambil tempat duduk saling berhadap-hadapan, sesaat
tampak suasana hening, hanya tolea yang terlihat sibuk mempersiapkan
bahan-bahan yang ia pergunakan untuk melakukan peletakan adat atau
mombesara dalam tahapan mowindahako (penyelesaian adat) di hadapan
33

keluarga mempelai perempuan yaitu pondine (talam anyam persegi empat),


kemudian ia meletakan kalo di tengah talam dan daun sirih, di atas daun
sirih diletakkan pula pinang muda dan uang dalam amplop serta di atasnya
diletakkan uang sepuluh ribu rupiah sebagai sara pombesanggarino atau
ungkapan penghormatan tolea terhadap pemerintah setempat (Ambrin
Bana, wawancara 25 Oktober 2021).

Gambar 1. Benda kalo dalam upacara mowindahako (Dokumentasi


Penulis, 25 Oktober 2022)

e. Tolea mengubah posisi duduk menjadi duduk bersila atau metemba setelah
itu ia menghadap di depan kepala desa, dengan hati-hati mengangkat talam
anyam serata dengan alis sebanyak 4 kali kemudian menyorongkan pada
kepala desa, sebelum kepala desa menyentuh talam tersebut tolea belum
boleh melepaskan pegangannya. Setelah semua itu kemudian tolea kembali
mengubah posisi duduknya (Yusuf Tahoraro, wawancara 5 November
2021).
34

Gambar 2. Prosesi tolea memohon izin kepada Puutobu (Dokumentasi


Penulis, 1 November 2022)

f. Tolea berhadapan dengan puutobu atau toonomotuo. Kembali tolea


mengubah posisi duduknya menjadi duduk bersila, mengambil uang yang
yang diletakkan di dalam talam lalu menaruhnya di bawah tikar dan
mengisinya lagi dengan amplop berisi uang sepuluh ribu rupiah sebagai
ungkapan penghargaan yang tinggi kepada lembaga adat yang diletakkan di
atas amplop. Kemudian tolea mengangkat talam sebanyak 3 kali serata alis
dan menyorong ke hadapan puutobu dengan menyentuh kedua sudut talam
tersebut. Sesudah itu tolea mengubah posisi duduknya menjadi duduk
tahiyat dan ia kemudian bertutur (Ambrin Bana, wawancara 25 Oktober
2021).
g. Tolea mengambil o’ golo (keris) untuk melakukan ritual mohue o sara atau
melakukan ritual tolak bala terhadap kalosara yang baru saja di angkat,
dihadapan khalayak. Tolea mencelupkan kerisnya di dalam gelas dan
meletakan kerisnya menyentuh sudut talam lalu bertutur. Sementara, orang
yang berada di belakang tolea memegangi bajunya secara berangkaian
dibelakang, demikian pula pada pihak pabitara, makna yang terkandung di
dalamnya adalah kiranya apa yang baru saja dilakukan semuanya terhindar
35

dari bala dan petaka kalosara (Yusuf Tahoraro, wawancara 5 November


2021).
h. Jika pabitara telah mengatakan bahwa isi pokok adat yang dibawa
mempelai laki-laki telah diterima, maka tolea kemudian kembali mengubah
posisi duduknya, mengambil uang dalam talam dan mengisinya kembali
dengan sejumlah uang untuk kemudian melaksanakan penutup adat atau
biasa disebut pondutu o sara. Talam tidak lagi diangkat namun antara tolea
dan pabitara hanya saling memegang talam dan tolea kembali bertutur.
Tuturan tolea dalam hal ini adalah menegaskan kepada semua hadirin
bahwa pihak mempelai laki-laki sangat bersyukur atas diterimanya adat
tersebut (Hasan Lapadoe, Wawancara 9 November 2021).
i. Pabitara bersama tolea masing-masing mengambil air minum di gelas
yang telah disediakan dan secara bersama-sama meminumnya. Kemudian
anggota keluarga kedua mempelai saling menyuguhkan minuman sebagai
pertanda upacara perkawinan telah selesai. Pada zaman dulu air yang
diminum oleh dan Tolea dan Pabitara merupakan minuman arak atau
sejenis minuman yang diperoleh dari pohon aren lalu di fermentasi dan
diolah untuk disajikan ketika pada saat selesai pelaksanaan adat
mowindahako. Tetapi saat ini hal tersebut sudah tidak diberlakukan lagi
sebab perkembangan zaman dan juga tidak relevan lagi dengan ajaran
agama (Yusuf Tahoraro, wawancara 5 November 2021).

Gambar 5. Proses akhir adat Mowindahako (Dokumentasi Penulis, 11


November 2022)
36

Setelah acara adat mowindahako selesai, selanjutnya dilakukan akad


nikah oleh wali yang disaksikan oleh Pegawai Pencatat Nikan (PPN) yang
didahului penyerahan perwalian dari orang tua perempuan kepada imam
(pemuka agama Islam) yang akan menikahkan. Tahapan berikutnya adalah
membawa pengantin laki-laki ke kamar pengantin perempuan untuk
pembatalan wudhu. Dalam acara pembatalan wudhu, jempol kanan pengantin
laki-laki ditempelkan diantara kedua kening atau di bawah tenggorokan
pengantin (Ambrin Bana, wawancara 25 Oktober 2021).
Kedua pengantin keluar kamar menuju kedua orang tua untuk
melaksanakan meanamotuo atau sembah sujud sebagai tanda syukur dan
hormat kepada kedua orang tua yang telah melahirkan dan memelihara mereka.
Setelah itu dilakukan acara resepsi dan hiburan yang diisi dengan tarian lulo.
Pada zaman dahulu tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti
pernikahan, pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh
alat musik pukul yaitu gong (Hasan Lapadoe, Wawancara 9 November 2021).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti dapat menyatakan bahwa
proses rangkaian pelaksanaan adat perkawinan mowindahako pada suku Tolaki
Mekongga yakni (1) Sara papalalo ine ulu sala / mbeparamesi (adat memohon
izin untuk dimulainya acara kepada pemerintah) yang disertai dengan
penyerahan uang dalam amplo sebesar Rp. 10.000 . disini tidak ada lagi
penyerahan uang yang ditujukan untuk kas desa seperti ada acara mowawo
niwule di atas. (2) Sara momberahi (adat memohon restu) kepada puutobu atau
toono motuo disertai dengan menyerahkan uang dalam amplop dari tolea
kepada puutobu atau toono motuo sebesar Rp. 50.000 atau sesuai kesepakatan
keluarga kedua belah pihak. (3) Sara mombepedeehi (adat bertanya) kepada
pabitara dengan menyerahkan uang dalam amplop sebesar Rp. 50.000. (4)
Sara mowindahako atau adat penyerahan seserahan adat, pihak keluarga laki-
laki harus menyerahkan semua hal yang telah disepakati dalam musyawarah
pinesambepeako pada tahap ke tiga tersebut diatas. Sehingga dapat
dideskripsikan bahwa pada pelaksanaan adat mowindahako tersebut
37

merupakan suatu proses adat yang setiap tahapannya merupakan pelaksanaan


yang sifatnya sakral dan memiliki makna simbolis di dalamnya.
2. Pelaku Adat Mowindahako
Pada upacara adat mowindahako perkawinan suku Tolaki Mekongga
terdapat pelaku adat yang perannya sangat penting dalam keberlangsungan
prosesi adat mowindahako. Pelaku adat tersebut yakni tolea, puutobu, dan
pabitara. Posisi mereka mulai berperan sebagai “sutradara” mengatur jalannya
“mombesara”, menegakkan hukum adat “selewatano” atau “tetenggona
osara” artinya sesuai urutan-urutan adat yang harus ditempuh, seperti apa dan
bagaimana tata cara upacara mowindahako yang diperankan kedua perangkat
adat tersebut. Mereka harus tampil sukses membawa misi, tanggung jawab
yang terletak dipundak mereka, seperti kemampuan “negosiasi”, cara duduk,
pakaian yang digunakan, teknik berkomunikasi. Semua ini harus dikuasai
secara baik, sebelum maupun sesudah upacara mowindahako, sebabnya aturan
adat itu sudah baku, tidak boleh dibolak-balik atau dilangkahi terutama keluar
dari koridor aslinya.
a. Tolea
Tolea merupakan penutur adat dari pihak calon pengantin laki-laki.
Tolea juga dapat dikatakan sebagai duta atau wakil dari pihak orang tua
laki-laki yang akan menyampaikan maksud dan tujuannya dalam suatu
urusan adat. Tolea adalah sebuah jabatan dalam lembaga adat yang harus
dijalankan sesuai aturan dan tata urutannya. Tolea tidak dipilih namun
ditunjuk langsung oleh yang memiliki kewenangan, namun untuk menjadi
seorang tolea harus memiliki garis keturunan. Akan tetapi, jika garis
keturunan tidak memungkinkan dalam arti sudah tidak ada pewaris maka
tolea bisa berasal dari orang yang bukan keturunan tolea pula, asalkan dia
di sumpah oleh sang guru tempatnya ia belajar menjadi tolea.
Tolea ketika menjadi duta mempelai laki-laki dalam urusan
perkawinan. Di dalamnya telah terbentuk peristiwa teater di mana di
dalamnya terdapat tiga komponen dasar pembentuknya yakni terdapat
pemain dalam hal ini tolea, pabitara, puutobu, kepala desa, dan lain-lain.
38

Kemudian ada tempat atau ruang digelarnya peristiwa yaitu di atas


panggung pelaminan dan ada penonton atau audiens yaitu para tamu,
undangan yang hadir dalam pesta pernikahan tersebut.
Berdasarkan pelaksanaan perkawinan adat Tolaki Mekongga tersebut
telah tergolong sebagai adat perkawinan yang telah mengikuti
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi komunikasi
bahwa “mowindahako” orang Tolaki Mekongga itu, semua bisa diatur
asal isi pokoknya adat wajib dipenuhi. Di sinilah peranan tolea sebagai
“negosiator”. Boleh jadi popolo bisa ringan, berlaku asas musyawarah
mufakat kedua belah pihak, terutama bila pihak keluarga perempuan
memahami “siapa” calon mantu tersebut.
b. Pabitara
Pabitara merupakan penutur adat dari pihak perempuan. Apabila
semua sudah dijelaskan di hadapan pabitara, tolea menunggu keputusan
pabitara apakah benda-benda perlengkapan isi pokok adat telah lengkap
dan dinyatakan diterima atau belum. Jika belum, maka pihak mempelai
laki-laki melalui tolea harus mencukupkan saat itu pula, akan tetapi bila
sudah cukup maka akan segera diterima oleh pabitara.
c. Puutobu
Puutobu merupakan pemangku adat yang fungsinya juga sangat penting
dalam menjalankan prosesi adat mowindahako.
3. Perlengkapan Pelaksanaan Adat Mowindahako
Alat dan bahan yang dimaksud dalam pelaksanaan adat mowindahako
yakni berupa berbagai perlengkapan yang perlu dipersiapkan oleh calon
mempelai pegantin laki-laki untuk diserahkan kepada pihak calon mempelai
perempuan. Seandainya dijumpai tidak terpenuhi benda-benda adat tetapi
bukan empat isi pokok adat itu, maka berlaku semangat kekeluargaan yaitu
prinsip “mesambepe meambo” artinya musyawarah mufakat melalui kalosara
sebagaimana jati diri dan karakter suku bangsa Tolaki. Berikut deskripsi
masing-masing alat dan bahan pelaksanaan adat mowindahako:
39

a. Ibu dari mempelai laki-laki dan seorang ibu dari mempelai perempuan
saling menyorongkan kotak atau lopa-lopa yang berisi sirih, pinang, dan
tembakau atau rokok. Keduanya saling membuka kotak tersebut
memperlihatkan sesaat dan tolea mengisi kedua kotak tersebut dengan
sejumlah uang. Selain itu, yang wajib dipahami adalah “isi adat” disebut
“polopo” untuk ditunaikan pada saat “mowindahako”.

Gambar 3. Prosesi Mombowule’ako (Dokumentasi Penulis, 5 November


2022)

b. Tolea menyediakan kelengkapan isi pokok adat yang dibawa mempelai


laki-laki yaitu 4 bagian masing-masing pu’uno patonggasu yang terdiri
dari:
1. Satu pis kain kaci (aso ndumbu o kasa);
2. 1 ekor kerbau (aso kiniku),
3. 1 lingkar kalung emas (aso otuwe o eno),
4. 1 unit gong (aso lawa tawa-tawa)
5. 12 lembar sarung
Semua kelengkapan bisa disubtitusi dengan cara diganti dengan uang Rp.
50.000 atau sesuai kesepakatan) (Ambrin Bana, wawancara 25 Oktober
2021).
40

Gambar 4. Prosesi penyerahan kelengkapan adat (Dokumentasi Penulis, 9


November 2022)

c. Perlengkapan adat diletakkan di samping kanan tolea beserta dengan


tawano atau daunnya yaitu terdiri dari 12 lembar kain sarung dan juga
amplop mas kawin. Kemudian barang-barang yang disebelah kiri tolea
adalah sara pe’ana atau kelengkapan yang diberikan kepada calon
mempelai perempuan sebagai persiapan untuk melahirkan jabang bayi yang
terdiri dari:
1. rane-ranembaa aso mata (1 lembar sarung)
2. boku mbebaho’ano aso mata (loyang pemandian bayi 1 buah)
3. sandu-sandu aso mata (1 unit gayung), dan
4. siku-siku hulo aso mata (1 unit lampu tempel) (Ambrin Bana,
wawancara 25 Oktober 2021).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti dapat mendeskripsikan
bahwa seluruh perlengkapan adat mowindahako perlu dipersiapkan secara
detail dan rinci. Sehingga pihak laki-laki dituntut untuk melengkapinya agar
proses pelaksanaan adat dapat berjalan dengan lancar.
41

B. Nilai Karakter yang Ada Pada Adat Mowindahako di Kelurahan Sakuli


Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka
Terdapat beberapa nilai karakter yang terkandung dalam upacara adat
perkawinan mowindahako pada suku Tolaki Mekongga yang ada di Kelurahan
Sakuli Kecamatan Latambaga diantaranya nilai religius, nilai tanggungjawab, dan
nilai peduli sosial.
1. Nilai Religius
Ungkapan kesucian pada masyarakat
Tolaki Mekongga dikenal dengan atepute penao moroha. Atepute berarti hati
yang putih atau bersih dan penao moroha berarti jiwa atau diri yang adil. Nilai
kesucian dan keadilan dalam kearifan lokal kalo disimbolkan dengan kain
putih (okati) sebagai atribut dan alas langsung benda kalo. Kain putih (okati)
menyiratkan suatu makna filosofis bahwa segenap yang hadir dalam
lingkungan upacara tradisi masyarakat Tolaki Mekongga hendaknya berangkat
dari hati yang suci atau bersih (Arianto Madia, wawancara 1 November 2021).
Nilai kesucian budaya kalo dalam wujudnya sebagai norma-norma telah
melandasi kehidupan sosial masyarakat Tolaki Mekongga. Nilai kesucian
kearifan lokal kalo pada pemaknaan sakral melandasi intensi atau jiwa dari
seluruh penyelenggaraan upacara adat tradisional keagamaan/kepercayaan
masyarakat Tolaki Mekongga. Intensi atau jiwa utama adanya penyelenggaraan
ritual sakral masyarakat Tolaki Mekongga menurut norma moralitas kalosara
berfungsi untuk mensucikan atau membersikan hati orang Tolaki Mekongga
dan juga lingkungan wilayahnya sehingga Allah Swt dan sangia berkenan
menghindarkan mara bahaya dan memberikan keberkahan bagi kehidupan
pribadi maupun sosial (Yusuf Tahoraro, wawancara 5 November 2021).
Masyarakat Tolaki Mekongga mempunyai kepercayaan bahwa roh-roh
orang yang telah wafat tidak dapat langsung pulang ke sisi tuhannya apabila
kondisi roh masih kotor atau najis. Roh-roh itu mendapat kesucian atau
kebersihan lagi sehingga dapat langsung pulang di sisi tuhannya niscahaya
akan kembali ke dunia fana ini dan memasuki tubuh anggota keluarganya
untuk menjalani proses kehidupannya yang baru.
42

Menurut Tarimana (1993: 230) bahwa siklus kehidupan manusia yang


demikian itu akan berlangsung terus menerus (tiada henti), hingga rohnya
benar-benar telah mendapatkan kekudusannya kembali dan dapat pula
langsung di sisi tuhannya. Cara roh mendapatkan kekudusannya adalah dengan
mengamalkan nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam kearifan
kalo sebagai ajaran kesusilaan nenek moyang orang Tolaki juga petunjuk etis
agama, baik dalam manifestasi upacara keagamaan maupun dalam manifestasi
tingkah laku sehari-hari.
Fenomena kepercayaan masyarakat Tolaki Mekongga mengenai siklus
penyucian roh orang yang telah mati yakni proses roh atau jiwa dalam upaya
membersikan eksistensinya, menurut kepercayaan masyarakat Tolaki dapat
menempuh salah satu dari tiga cara berikut, yakni mesarungga (menumpang di
tubuh anggota keluarganya). Tanda-tanda atau petunjuk bahwa roh atau jiwa
seseorang telah mengalami mesarungga atau sumoso dalam tubuh keluarganya
dapat mengenalnya melalui beberapa media, seperti peristiwa mimpi, bau
kemenyan, serta bunyi-bunyian yang biasa almarhum/almarhuma lakukan.
Sedangkan pada kepulangan roh ditengah keluarganya dengan siklus toro
mbendua (hidup kembali) dapat diamati serta diyakini pada ciri-ciri fisik dan
tingkah laku seorang bayi atau anak yang identik dengan mendiang semasa
hidupnya (Arianto Madia, wawancara 1 November 2021).
Upacara adat perkawinan mowindahako sebagai tujuan penyucian dan
pematangan jiwa serta sosial bagi masyarakat Tolaki Mekongga menurut
ajaran kalo. Upacara adat perkawinan mowindahako masyarakat Tolaki
Mekongga yang bertujuan untuk penyucian, penolakan bala, dan permohonan
keberkahan diri dari wilayah kepada tuhan dan sangia. Nilai kesucian dalam
kearifan lokal kalo bagi masyarakat Tolaki Mekongga sangatlah penting
eksistensinya. Eksistensi nilai itu menurut pandangan masyarakat Tolaki
mempunyai koherensi dengan masalah keselamatan dan kebahagiaan, entah
bagi kehidupan pribadi maupun sosial. Ritual budaya kalo dalam pranata
keagamaan dan kepercayaan masyarakat Tolaki Mekongga demikian tampak
menjadi jalan utama untuk memanusiakan manusia Tolaki Mekongga.
43

Nilai kesucian pada kearifan lokal kalo dalam kehidupan profan


masyarakat Tolaki menekankan kepada kaum Tolaki agar tidak melakukan
perkawinan sesama muhrim, yakni (1) me’alo meo’ina (menikah dengan ibu
kandung/tiri), (2) me’alo meo’ama (menikah dengan ayah kandung/tiri), (3)
me’alo meo’anakia (menikah dengan anak kandung/tiri, (4) me’alo meo’naina
(menikah dengan bibi kandung, (5) me’alo meo’lakiana (menikah dengan anak
saudara kandung laki-laki, (7) me’alo meo’hine (menikah dengan saudara
kandung istri), (8) me’alo tumutuda (menikah dengan saudara kandung ipar
perempuan, (9) mosula inea (menikah secara silang), (10) me’alo meo’baisa
(menikah dengan janda mertua/anak kandung) (Yusuf Tahoraro, wawancara 5
November 2021).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat dideskripsikan bahwa
pelaksanaan adat mowindahako terdapat nilai religius sesuai dengan filosofi
kalosara telah menggambarkan kepada masyarakat Tolaki Mekongga dalam
memilih pasangan hidup secara moral. Nilai kesucian kalo dalam perkawinan
masyarakat Tolaki Mekongga, selain tampak dalam pemilihan jodoh, juga
nampak pada penataan sistem keberlangsungan pernikahan orang Tolaki
Mekongga secara etis. Sistem pernikahan masyarakat Tolaki Mekongga
lazimnya memiliki dua pola yaitu pola niwule (normal), dan pola mosuahake
(abnormal). Pola mowawo niwule adalah sistem kebiasaan perlangsungan
perkawinan di kalangan masyarakat Tolaki Mekongga yang terselenggara
secara normal dengan menempuh proses musyawarah mufakat (mesambepe)
antara pihak keluarga laki-laki (calon suami), dan pihak keluarga wanita (calon
istri) dengan tahapan sebagai berikut: (1) metiro (pengintipan/peninjauan calon
istri), (2) mondutudu (lamaran penjajakan), (3) melosoako (pelamaran yang
sesungguhnya), (4) mondongo niwule (peminangan), dan (5) mowindahako
(upacara nikah).
2. Nilai Tanggungjawab
Nilai tanggungjawab pada perta pernikahan maksudnya, orang tua yang
menikahkan anak merupakan wujud dari tanggungjawab sebagai orang tua
kepada anaknya. Sebab pernikahan bertujuan untuk melaksanakan Sunnah dan
44

perintah agama juga berfungsi untuk menyalurkan nafsu secara bermartabat.


Orang tua yang menikahkan anaknya secara tidak langsung menghindarkan
anaknya dari perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskannya ke dalam
maksiat dan dosa.
Selain orang tua yang bertanggungjawab kepada anaknya, peristiwa
pernikahan juga merupakan tanggungjawab perangkat pemerintah puutobu
serta perangkat tokoh adat yakni tolea dan pabitara. Perangkat tokoh adat
tolea dan pabitara tersebut berperan sejak dari pelaksanaan meminang, sampai
pada proses mengantar mempelai laki-laki atau menunggu mempelai laki-laki
(Yusuf Tahoraro, wawancara 5 November 2021).
Tidak hanya orang tua yang memiliki beban dan tanggung jawab dalam
melaksanakan pernikahan sang anak, lebih dari pada itu sang anak yang akan
dinikahkan memiliki tanggung jawab yang besar nantinya ketika mereka sudah
melangsungkan pernikahan. Pernikahan yang merupakan ibadah sehingga
dalam menjalankannnya baik suami maupun istri memiliki tanggung jawab
masing-masing dalam membina rumah tangga dengan baik. Terlebih nantinya
ketika dikaruniai anak maka beban tanggung jawab akan semakin besar dalam
berumah tangga (Maesura, wawancara 13 November 2021).
Sebagai elit atau pemimpin sosial perangkat tokoh adat bertanggungjawab
terhadap sukses dan tidaknya proses tersebut. Perangkat tokoh adat yang terdiri
dari tolea membawa tanda perkawinan ditemani saudara dan keluarga besar
dari pemuda yang bersangkutan, bersama pabitara dan beberapa orang tua dari
Kelurahan Sakuli dari pihak mempelai perempuan yakni seorang penghubung
antara calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Tanda penyerahan adat diterima atas nama dari perempuan yang hendak
dikawini itu, oleh puutobu, tolea, pabitara, imam desa, dan beberapa orang tua
dari Kelurahan Sakuli dari pihak mempelai perempuan tersebut. Peran
perangkat pemerintah, tokoh agama, dan tokoh adat tidak sampai di sini akan
tetapi sampai pada selesainya proses pernikahan yang di dalamnya ada proses
penyerahan adat (mowindahako). Jadi dapat dikatakan bahwa proses penikahan
45

tidak hanya menyatukan dua keluarga besar, akan tetapi juga dua wilayah dan
seluruh masyarakatnya (Arianto Madia, wawancara 1 November 2021).
Sehingga dari hasil wawancara tersebut dapat dideskripsikan bahwa dalam
pelaksanaan perkawinan adat mowindahako di Kelurahan Sakuli turut
melahirkan nilai tanggungjawab di dalamnya. Bukan hanya tanggung jawab
yang dibebankan pada mempelai laki-laki terhadap perempuan yang akan
dinikahinyamelainkan tanggungjawab yang juga dirasakan oleh seperangkat
pelaksana adat mowindahako yakni perangkat pemerintah (puutobu), tolea,
pabitara, keluarga besar masing-masing kedua mempelai pria dan wanita.
kejujuran, visioner, kedisiplinan, kerja sama, keadilan
3. Nilai Kedisiplinan
Disiplin merupakan tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan. Dalam pelaksanaan adat mowindahako
pada suku Tolaki Mekongga juga terkandung nilai kedisiplinan di dalamnya.
Sikap disiplin bukan saja wajib dilakukan pada calon mempelai laki-laki tetapi
seluruh pelaku adat dan calon mempelai perempuan wajib menunjukkan sikap
disiplin dalam melaksanakan prosesi adat mowindahako secara tuntas
Pada pelaksanaan adat mowindahako dapat dilihat nilai kedisiplinan
tersebut yakni dilakukannya seluruh rangkaian prosesi adat mulai dari tahap
mbeparamesi (prosesi memohon izin kepada pelaku adat) sampai pada tahap
sara mowindahako (prosesi penyerahan adat) (Maesura, wawancara 13
November 2021).
seluruh rangkaian proses adat tersebut wajib untuk dilakukan secara
tuntas tanpa terlewati satu tahap sekalipun sebab apabila tidak dilakukan atau
melewati salah satu tahap sekalipun maka dipercaya akan mendatangkan bala
(celaka) pada keluarga mempelai dan seluruh pelaku adat yang melaksanakan
prosesi adat mowindahako (Hasan Lapadoe, wawancara 9 November 2021).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat dideskripsikan bahwa dalam
pelaksanaan adat mowindahako terdapat nilai kedisiplinan di dalamnya. Nilai
disiplin tersebut dapat dilihat pada wajib dilakukannya seluruh rangkaian
46

prosesi adat mowindahako secara keseluruhan tanpa terlewati dan menyiapkan


seluruh perlengkapan adat.
4. Nilai Kerja Keras
Nilai kerja keras adalah bekerja secara sungguh-sungguh dan tidak
mengenal lelah. Nilai kerja keras juga dapat dilihat pada pelaksanaan adat
mowindahako pada suku Tolaki. Kerja keras dalam adat mowindahako
meliputi sikap tolong menolong, gotong royong, dan kekeluargaan.
Pada pelaksanaan adat mowindahako seluruh pelaku prosesi adat tersebut
mulai dari tolea, pabitara, puutobu, pemerintah desa, calon mempelai laki-laki
dan perempuan serta seluruh keluarga besar kedua calon mempelai dituntut
untuk bekerja keras dalam menyelesaikan segala ketentuan dalam prosesi
pelaksanaan adat mowindahako mulai dari tata urutan pelaksanaan hingga
perlengkapan adat yang perlu disediakan (Hasan Lapadoe, wawancara 9
November 2021).
Nilai kerja keras juga dapat dilihat pada usaha yang dilakukan calon
mempelai laki-laki dalam kepatuhan untuk mempersiapkan segala hal dalam
melaksanakan adat mowindahako salah satu yang paling penting adalah
persiapan secara finansial. Sebab pelaksanaan adat mowindahako
membutuhkan isi perlengkapan adat yang cukup banyak seperti beberapa kain
kaci sebanyak satu pis, satu ekor kerbau/sapi, satu unit gong, dan satu lingkar
kalung emas. Sehingga secara finansial memang menuntut laki-laki dan
seluruh keluarga besarnya mempersiapkan keuangan mereka untuk
menyelesaikan adat kepada pihak calon pengantin perempuan (Puna,
wawancara 11 November 2021).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat dideskripsikan bahwa dalam
pelaksanaan aday mowindahako perlu mempersiapkan segala halnya dengan
matang. Persiapan tersebut membutuhkan faktor finansial yang mendukung.
Calon mempelai laki-laki dan seluruh keluarga besarnya harus mematuhi
segala persyaratan yang diperlukan dalam pelaksanaan adat mowindahako.
Mempelai laki-laki disini juga perlu bekerja keras dalam mematuhi seluruh
rangkaian prosesi tersebut secara detail. Sehingga nilai kerja keras dalam
47

pelaksanaan adat mowindahako disini dapat terlihat secara jelas yang dilakukan
oleh seluruh pelaku adat maupun kedua calon mempelai pengantin yang akan
menyelesaikan prosesi adat tersebut.
5. Nilai Kejujuran
Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan. Dalam pelaksanaan adat mowindahako pada suku Tolaki Mekongga
terdapat nilai kejujuran di dalamnya. Nilai kejujuran tersebut bukan saja dilihat
dari perjanjian yang telah dinyatakan oleh pelaku adat dan kedua mempelai
laki-laki dan perempuan melainkan seluruh perbuatan dan tindakan selama
pelaksanaan adat mowindahako perlu dilakukan secara benar sesuai dengan
tata urutan yang berlaku.
Pada pelaksanaan adat mowindahako terdapat prosesi bertutur yang
dilakukan oleh pelaku adat yakni tolea yang di dalam prosesi bertutur tersebut
memuat pernyataan permohonan izin kepada pemerintah desa dan keluarga
besar calon mempelai perempuan dan seluruh hadiri untuk menyampaikan
maksud dan tujuan untuk melaksanakan penyelesaian adat mowindahako dan
secara langsung melakukan prosesi pernikahan secara agama (Maesura,
wawancara 13 November 2021
Pelaksanaan adat mowindahako pada tahap bertutur yang dilakukan oleh
tolea sebagai juru bicara pihak mempelai laki-laki bukan saja memberikan
pernyataan permohonan izin meyampaikan tujuan penyelesaian adat melainkan
didalamnya memuat perjanjian kepada keluarga calon mempelai laki-laki
untuk melangsungkan pernikahan yang dimana dalam pernikahan tersebut
nantinya mempelai laki-laki berjanji akan menjadi kepala rumah tangga dan
imam yang baik yang sesuai dengan ajaran agama dan norma yang berlaku di
masyarakat. Sehingga dalam hal ini sikap kejujuran menjadi bukti
dilakukannya seluruh perjanjian yang dinyatakan dalam prosesi adat
mowindahako dan pernikahan secara agama (Hasan Lapadoe, wawancara 9
November 2021
48

Berasarkan hasil wawancara di atas, dapat dideskripsikan bahwa dalam


pelaksanaan adat mowindahako terdapat nilai kejujuran di dalamnya. Nilai
kejujuran tersebut bukan hanya jujur dari segi perkataan tetapi juga pada
perbuatan nantinya setelah kedua mempelailaki-laki dan perempuan dalam
menjalani bahtera rumah tangga.
6. Nilai Toleransi
Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
Bangsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang besar dengan masyarakat
yang sangat plural sehingga tidak heran Indonesia memiliki beragam suku
dengan kekayaan budaya yang banyak.
Suku Tolaki Mekongga juga sama seperti suku bangsa lain yang ada di
Indonesia. Salah satu hasil kebudayaan yang masih dilakukan sampai saat ini
adalah tradisi upacara adat dalam perkawinan suku Tolaki Mekongga. Upacara
adat perkawinan tersebut adalah upacara adat mowindahako. Meskipun begitu
suku Tolaki Mekongga juga memiliki sikap toleransi terhadap suku lain yang
ada di Indonesia khususnya yang ada di Sulawesi Tenggara (Maesura,
wawancara 13 November 2021).
Nilai toleransi dalam pelaksanaan adat mowindahako dapat dilihat pada
sikap toleran yang ditunjukkan oleh pelaku adat yang memberikan keringanan
pada calon pengantin mempelai laki-laki berupa subtitusi perlengkapan dalam
pelaksanaan adat dengan nominal uang yang telah disepakati secara bersama-
sama sebelumnya. Subtitusi perlengkapan adat dengan amplop yang berisi
sejumlah uang (nominal yang telah disepakati) merupakan bentuk dari sikap
toleran yang dilakukan oleh pelaku adat dan keluarga calon mempelai
perempuan sebab tidak semua perlengkapan adat dapat dipenuhi secara detail.
Misalnya adanya persyaratan pelaksanaan adat yaitu satu ekor kerbau dan
sejumlah rumpun sagu sehingga diperlukan subtitusi barang dengan sejumlah
uang yang disepakati (Puna, wawancara 11 November 2021).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat dideskripsikan bahwa dalam
pelaksanaan adat mowindahako terdapat nilai toleransi di dalamnya. Nilai
49

toleransi tersebut dapat dilihat pada tindakan mensubtitusi sebuah


perlengkapan adat mowindahako dengan sejumlah uang yang telah disepakati
sebelumya. Tindakan mensubtitusi tersebut tidak lain merupakan bentuk
menghargai calon mempelai laki-laki dan seluruh keluarga besarnya yang telah
berusaha mempersiapkan seluruh perlengkapan pelaksanaan adat
mowindahako. Sebab pada faktanya tidak semua calon pengantin yang akan
melangsungkan adat mowindahako bersalah dari latar belakang suku yang
sama yakni Suku Tolaki Mekongga. Sehingga calon mempelai laki-laki yang
bukan berasal dari suku Tolaki Mekongga biasanya tidak melengkapi seluruh
perlengkapan adat tersebut secara rinci dan detail. Maka sikap toleran inilah
yang dilakukan oleh pelaku adat dan keluarga mempelai perempuan.
7. Nilai Peduli Sosial
Tradisi gotong royong merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dalam
segala aspek kehidupan masyarakat Tolaki Mekongga di Sulawesi Tenggara.
Hal tersebut dapat dilihat dalam melakukan kegiatan upacara adat perkawinan
mowindahako, mulai dari proses kegiatan penjajakan sampai pada proses
upacara penyelesaian adat dilakukan secara gotong royong. Oleh karena itu,
implikasi dari hasil upacara adat perkawinan mowindahako bukan hanya
dinikmati oleh keluarga yang bersangkutan tetapi juga ikut dinikmati oleh
kerabat dilingkungan tetangga dan pemerintah setempat sebagai hadiah
sekaligus ungkapan rasa terimakasinya atas bantuan yang telah diberikan.
Aktivitas upacara adat perkawinan mowindahako masyarakat Tolaki
Mekongga tradisi gotong royong (samaturu) sangat tampak saat sebelum dan
setelah proses pelamaran kepada pihak calon mempelai wanita dengan
memberikan bantuan dana kebutuhan pernikahan yang dikenal dengan sebutan
mepokoaso. Bagi masyarakat Tolaki Mekongga budaya gotong royong
(samaturu) merupakan salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk
selalu menjalin persatuan, suka menolong masyarakat lain yang sedang
membutuhkan pertolongan dengan senang hati. Ini juga merupakan wujud
gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama masyarakat Tolaki
Mekongga (Yusuf Tahoraro, wawancara 5 November 2021).
50

Dalam tatanan jenisnya, budaya gotong royong (samaturu) bersifat gotong


royong hakiki dapa dilihat pada perwujudannya melalui upacara perkawinan.
Dengan berbagai kegiatan, baik bersifat umum maupun pribadi, menjadikan
masyarakat Tolaki Mekongga memiliki rasa tanggung jawab besar dalam
melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan umum ataupun
kepentingan individu.
Nilai persatuan dan sesatuan dalam masyarakat Tolaki Mekongga di
namakan medulu atau medulu mepoko’aso yang berarti berkumpul dan bersatu
bergabung menjadi satu. Nilai persatuan dan kesatuan dalam upacara adat
perkawinan adat mowindahako dapat dilihat perwujudannya melalui
penggunaan benda adat kalosara tersimbolkan dengan eksistensi pilinan tiga
batang rotan yang kedua ujungnya saling dipertemukan lalu diperikatkan
secara erat, sehingga terbentuk seunitbundaran dan ikatan yang tampak kukuh.
Wujud kalo yang demikian itu merefleksikan suatu makna filosofis tentang tiga
lapisan masyarakat suku bangsa Tolaki Mekongga (Arianto Madia, wawancara
1 November 2021).
Nilai persatuan dan kesatuan pada kalo dalam tatanan sosialitas
masyarakat Tolaki Mekongga melandasi keutamaan etis kerjasama diantara
unsur masyarakat Tolaki Mekongga, baik dalam kerangka tolong menolong
maupun gotong royong. Keutamaan etis tolong menolong merupakan tindakan
kerjasama masyarakat untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu yang
eksistensinya berguna bagi kepentingan seseorang (keluarga) individu,
sedangkan keutamaan etis gotong royong adalah bentuk tindakan kerjasama
moralitas masyarakat Tolaki untuk menyelesaikan proyek tertentu yang
sifatnya berguna bagi kepentingan umum contoh nyatanya pada pelaksanaan
upacara perkawinan adat mowindahako.
Marsali (2005: 153) menerangkan bahwa keutamaan etis tolong menolong
adalah jenis tindak kerjasama moral baik individu maupun kelompok yang
didasarkan atas asas reciprocity, sehingga dapat dipandang sebagai pertukaran.
Keutamaan etis gotong royong sementara itu adalah tindak kerjasama moral
baik individu maupun kelompok dalam menyelesaikan suatu pekerjaan demi
51

kepentingan bersama berdasarkan prinsip komitmen terhadap kelompok.


Keutamaan etis tolong menolong dan gotong royong dalam masyarakat Tolaki
disebut dengan metealo-alo sedangkan keutamaan etis gotong royong
dinamakan dengan samaturu.
Bagi masyarakat Tolaki Mekongga, medulu mepokoaso (persatuan dan
kesatuan) merupakan bagian dari prinsip kalo itu sendiri yang berfungsi
sebagai wujud dari usaha masyarakat Tolaki dalam memelihara dan
mempertahankan hubungan sosial yang serasi, selaras, seimbang serta
berkesinambungan. Budaya medulu mepokoaso (persatuan dan kesatuan)
merupakan cikal bakal masyarakat Tolaki Mekongga dalam menghadapi setiap
permasalahan sosial dan pemerintahan salah satunya adalah berupa upacara
adat, pesta pernikahan, maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya
sebagai warga negara, yang selalu menjaga persatuan dan kesatuan,
bekerjasama, saling tolong menolong, maupun saling bantu membantu (Yusuf
Tahoraro, Wawancara 5 November 2021).
Salah satu prinsip dalam upacara adat perkawinan mowindahako menjaga
persatuan dan kesatuan (medulu mepokoaso) dalam kehidupan masyarakat
Tolaki Mekongga ialah gotong royong (samaturu), saling menghargai
(mombeka pona ako), dan saling tolong menolong (mombeka meiri ako) yakni
mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka menolong
masyarakat lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati.
Ikatan sosial masyarakat Tolaki Mekongga sampai saat ini dilihat pada
kelompok masyarakat yang akan megadakan pesta pernikahan biasanya
masyarakat Tolaki Mekongga senantiasa saling tolong menolong baik dalam
segi perbantuan tenaga maupun finansial. Oleh karena itu, prinsip tersebut
menjadi pandangan hidup utama masyarakat Tolaki Mekongga dalam menjaga,
memelihara, dan mempertahankan semangat persatuan dan kesatuan (Arianto
Madia, wawancara 1 November 2021).
Dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan keutuhan persatuan dan
kesatuan serta menciptakan suasana keseimbangan hubungan antara manusia
dengan manusia sebagai makhluk individu dan sosial, antara manusia dan
52

lingkungan alamnya, baik alam nyata maupun alam gaib, diwujudkan dengan
apa yang disebut mombulesako tononggapa berarti mengatur, menertibkan
kelompok penduduk, warga masyarakat dalam upaya memimpin, mengajak,
dan mendorong mereka untuk bersatu dalam melakukan pekerjaan dan usaha
pemenuhan kebutuhan, sehingga dapat membujuk rasa dan mendorong
semangat kerukunan dikalangan keluarga, kerabat dan masyarakat pada
umumnya agar terjalin tiga prinsip medulu (bersatu), yakni: medulu mbona
(bersatu dalam cita-cita), medulu mbenao (bersatu dalam rasa), dan medulu
mbo’ehe (bersatu dalam kehendak) (Tarimana, 1993: 191-192).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat dideskripsikan bahwa dalam
pelaksanaan upacara adat perkawinan mowindahako pada suku Tolaki
Mekongga terlihat jelas bahwa dalam pelaksanaan adat tersebut juga
mengandung nilai kepedulian sosial saling tolong menolong untuk memupuk
rasa persatuan dan kesatuan (medulu) dalam penyeleggaraan perkawinan.
Kepedulian sosial tersebut dilihat pada budaya mepokoaso yang sering
dilakukan oleh masyarakat Tolaki Mekongga dalam membantu pihak keluarga
yang akan menyelenggarakan perkawinan khususnya dalam perbantuan
keuangan. Makna sosial lain pada pelaksanaan adat mowindahako menjadi
kebutuhan dasar bagi suatu organisasi politik untuk mengatur pembinaan dan
pemeliharaan kerjasama, sehingga terjalin kebebasan dari suatu kehidupan
bermasyarakat, dan dapat memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.

C. Upaya Tokoh Adat dalam Menjaga Kelestarian Adat Mowindahako di


Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga Kabupaten Kolaka
Upaya tokoh adat yang dilakukan dalam menjaga kelestarian pernikahan
adat mowindahako antara lain adanya lembaga adat, melakukan pembinaan
kepada genersi muda, dan selalu dilaksanakan musyawarah antar tokoh-tokoh
adat.
1. Melakukan Pembinaan Kepada Generasi Muda
Para tokoh adat melakukan pembinaan terhadap kaum muda-mudi, yakni
dengan mengagendakan secara rutin kunjungan ke setiap perkampungan suku
53

Tolaki Mekongga yang letaknya tidak berjauhan. Dalam kunjungan tersebut


para muda-mudi selalu dilibatkan dalam proses adat, baik pernikahan maupun
acara adat yang lainnya. Kunjungan tersebut, biasanya dilaksanakan agar
supaya generasi muda dapat mengetahui secara mendalam terkait filosofi dan
pentingnya upacara perkawinan adat mowindahako berikut dengan tata cara
pelestariannya (Ambrin Bana, wawancara 25 November 2021).
Tokoh adat seharusnya juga mulai terbuka dengan perkembangan arus
modernisasi yang tidak bisa dihindari masyarakat dimanapun. Keterbukaan
tokoh adat ditunjukkan dengan perubahan paradigma atau pola pikir, pola sikap
terhadap hadirnya budaya baru, nilai-nilai baru. Perubahan pola pikir dalam hal
pernikahan adat mowindahako yaitu pernikahan adat tidak boleh dipaksakan
atau diharuskan menyiapkan bahan pernikahan secara lengkap seperti zaman
dulu, yang penting kedua mempelai mau menikah secara adat itu sudah sesuatu
yang bagus (Nurjannah, wawancara 9 November 2021).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti dapat mendeskripsikan
bahwa upaya yang dilakukan oleh tokoh adat Tolaki Mekongga di Kelurahan
Sakuli adalah melakukan pembinaan kepada generasi muda agar upacara adat
mmowindahako dapat eksis. Perlunya juga proses adaptasi masyarakat adat
dengan budaya baru yaitu menyesuaikan diri dengan datangnya budaya baru
yang tidak bisa dihindari, sehingga terjadi akulturasi budaya. Generasi muda
menerima budaya baru sebagai bentuk penyesuaian diri dengan lingkungan dan
menyesuaikan diri untuk kebutuhannya. Adanya keterbukaan terhadap ajaran
agama yang mengutamakan iman dan perbuatan baik, namun tidak boleh
menghilangkan substansi dari pelaksanaan pernikahan adat mowindahako
karena ada nilai yang diambil dari pernikahan adat tersebut seperti menjaga
kesucian pernikahan, mengatur kereligiusan proses pernikahan dan menjaga
etika dan moral pernikahan adat mowindahako seperti calon mempelai tidak
boleh berjalan bersama dan berhubungan suami istri sebelum menikah secara
adat.
2. Pembentukan Lembaga Adat
54

Dalam upaya menjaga kelestarian upacara adat perkawinan mowindahako


sangat penting keberadaan lembaga adat dalam menjaga eksistensi agar tidak
tergerus oleh perkembangan zaman. Lembaga adat dalam hal ini tokoh adat
masyarakat Tolaki Mekongga menjadi hal yang sangat krusial di dalam
pelestarian upacara adat perkawinan mowindahako (Ambrin Bana, wawancara
25 November 2021).
Lembaga Adat masyarakat Tolaki Mekongga berhak dan berwenang untuk
mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan
yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang
berlaku (Yusuf Tahoraro, wawancara 5 November 2021).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti dapat mendeskripsikan
bahwa lembaga adat masyarakat Tolaki Mekongga di Kelurahan Sakuli
berfungsi bersama pemerintah merencanakan, mengarahkan, mensinergikan
program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya
keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan,
ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun
represif.
3. Dilaksanakan Musyawarah Antar Tokoh-Tokoh Adat
Tokoh Adat Masyarakat Tolaki Mekongga selalu berupaya untuk memberi
kesempatan dengan para tokoh adat dalam bermusyawarah untuk menjaga
kesakralan daripada upacara adat perkawinan mowindahako. Para tokoh adat
khususnya sesama suku Tolaki Mekongga akan pentingnya menjaga tradisi
sebagai tanda penghormatan kepada nenek moyang pencetus tradisi tersebut,
hanya disesuaikan dengan keadaan zaman. Misalkan pernikahan adat
mowindahako tetap dijalankan dengan baik hanya bahan persiapan pernikahan
tidak boleh menuntut wajib dan harus dipenuhi (Yusuf Tahoraro, wawancara 5
November 2021).
Namun, menikah menurut ajaran agama juga penting sebagai persyaratan
berurusan dengan negara, karena menikah secara adat sejauh ini tidak ada surat
55

yang dikeluarkan yang sekiranya surat tersebut dapat dipergunakan untuk


berurusan dengan negara. Dalam hal ini, masyarakat selalu disarankan untuk
menikah menurut adat setempat dan juga ajaran agama. Ini berarti keduanya
sama-sama dilaksanakan, karena mengingat adat maupun agama memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia (Nurjannah, wawancara 9
November 2021).
Pola sikap terhadap pernikahan adat mowindahako seperti peduli dengan
pasangan yang mau menikah secara adat dan peduli juga dengan pasangan
yang tidak mau menikah secara adat tetapi menikah secara agama. Diutamakan
adalah kebahagiaan yang dirasakan dan dialami kedua mempelai dalam
menjalani kehidupan rumah tangga (Arianto Madia, wawancara 1 November
2021).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, menggambarkan bahwa upaya
yang dilakukan oleh tokoh adat masyarakat Tolaki Mekongga di Kelurahan
Sakuli untuk melestarikan atau mempertahankan upacara adat perkawinan
mowindahako Suku Tolaki Mekongga seperti adanya lembaga adat yang selalu
berperan dalam mengawasi pelaksanaan setiap tahapan-tahpan dan aturan-
aturan dalam perkawinan, melakukan pembinaan kepada generasi muda dalam
tata cara adat perkawinan, hal ini dimaksudkan agar generasi penerus tetap
mengetahui tata urutan dalam adat perkawinan, dan setiap
pengurusan/pengaturan pesta selalu dilaksanakan musyawarah antar tokoh-
tokoh adat dari keluarga, seperti menentukan hari yang baik untuk acara
perkawinan.
56

BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
1. Proses pelaksanaan adat mowindahako pada suku Tolaki Mekongga yakni (1)
Sara papalalo ine ulu sala / mbeparamesi (adat memohon izin untuk
dimulainya acara kepada pemerintah) yang disertai dengan penyerahan uang
dalam amplop sebesar Rp. 10.000 . disini tidak ada lagi penyerahan uang yang
ditujukan untuk kas desa seperti ada acara mowawo niwule di atas. (2) Sara
momberahi (adat memohon restu) kepada puutobu atau toono motuo disertai
dengan menyerahkan uang dalam amplop dari tolea kepada puutobu atau toono
motuo sebesar Rp. 50.000 atau sesuai kesepakatan keluarga kedua belah pihak.
(3) Sara mombepedeehi (adat bertanya) kepada pabitara dengan menyerahkan
uang dalam amplop sebesar Rp. 50.000. (4) Sara mowindahako atau adat
penyerahan seserahan adat, pihak keluarga laki-laki harus menyerahkan semua
hal yang telah disepakati dalam musyawarah pinesambepeako pada tahap ke
tiga tersebut diatas. Pelaku adat tersebut yakni tolea, puutobu, dan pabitara.
Posisi mereka mulai berperan sebagai “sutradara” mengatur jalannya
“mombesara”, menegakkan hukum adat “selewatano” atau “tetenggona
osara” artinya sesuai urutan-urutan adat yang harus ditempuh, seperti apa dan
bagaimana tata cara upacara mowindahako yang diperankan kedua perangkat
adat tersebut. Kelengkapan isi pokok adat yang dibawa mempelai laki-laki
yaitu 4 bagian masing-masing pu’uno patonggasu yang terdiri dari: Satu pis
kain kaci (aso ndumbu o kasa); 1 ekor kerbau (aso kiniku), 1 lingkar kalung
emas (aso otuwe o eno), 1 unit gong (aso lawa tawa-tawa).
2. Nilai karakter yang ada dalam adat mowindahako pada suku Tolaki Mekongga
terdapat nilai religius/kesucian sesuai dengan filosofi kalosara telah
menggambarkan kepada masyarakat Tolaki Mekongga dalam memilih
pasangan hidup secara moral. Upacara adat mowindahako tersebut juga
mengandung nilai tanggung jawab bukan hanya tanggungjawab terhadap kedua
mempelai laki-laki dan perempuan melainkan tanggungjawab kepada tiap
peyelenggara adat mowindahako yakni perangkat pemerintah (puutobu),
57

perangkat tokoh adat (tolea dan pabitara). Dalam pelaksanaan adat


mowindahako terdapat nilai kedisiplinan di dalamnya. Nilai disiplin dapat
dilihat pada wajib dilakukannya seluruh rangkaian prosesi adat mowindahako
secara keseluruhan tanpa terlewati dan menyiapkan seluruh perlengkapan adat.
Nilai kerja keras juga dapat dilihat pada usaha yang dilakukan calon mempelai
laki-laki dalam kepatuhan untuk mempersiapkan segala hal dalam
melaksanakan adat mowindahako salah satu yang paling penting adalah
persiapan secara finansial. Nilai kejujuran dalam adat mowindahako tersebut
bukan hanya jujur dari segi perkataan tetapi juga pada perbuatan nantinya
setelah kedua mempelai laki-laki dan perempuan dalam menjalani bahtera
rumah tangga. Nilai toleransi tersebut dapat dilihat pada tindakan mensubtitusi
sebuah perlengkapan adat mowindahako dengan sejumlah uang yang telah
disepakati sebelumya. Selain itu terdapat nilai kepedulian sosial saling tolong
menolong untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan (medulu) dalam
penyeleggaraan perkawinan.
3. Upaya tokoh adat dalam menjaga kelestarian adat mowindahako pada suku
Tolaki Mekongga upaya untuk melestarikan adat perkawinan mowindahako
yang merupakan warisan dari leluhur dan merupakan aset dalam bidang
kebudayaan, tokoh adat maka usaha yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki
Mekongga di Kelurahan Sakuli untuk melestarikan atau mempertahankan
upacara adat perkawinan mowindahako Suku Tolaki Mekongga adalah sebagai
berikut: 1) adanya lembaga adat yang selalu berperan dalam mengawasi
pelaksanaan setiap tahapan-tahpan dan aturan-aturan dalam perkawinan. 2)
melakukan pembinaan kepada generasi muda dalam tata cara adat perkawinan,
hal ini dimaksudkan agar generasi penerus tetap mengetahui tata urutan dalam
adat perkawinan. 3) Setiap pengurusan/pengaturan pesta selalu dilaksanakan
musyawarah antar tokoh-tokoh adat dari keluarga, seperti menentukan hari
yang baik untuk acara perkawinan.

B. Saran
Adapun saran dalam penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
58

1. Kepada Tokoh Adat, yaitu agar tetap melakukan pelestarian terhadap


pelaksanaan upacara adat perkawinan mowindahako sebagai bentuk dalam
menjaga identitas budaya masyarakat Tolaki Mekongga.
2. Bagi Pemerintah Daerah, yaitu diharapkan agar selalu bersinergi dengan
kelompok masyarakat dan pemerhati budaya khususnya pada budaya suku
Tolaki Mekongga agar upacara adat perkawinan mowindahako tidak luntur dan
tetap dipertahankan di tengah masyarakat dan sebagai bahan acuan dalam
upaya menentukan kebijakan pemerintah daerah setempat terkait perkawinan
secara adat.
3. Untuk para peneliti berikutnya yang masih relevan dengan judul skripsi ini
agar dapat mengembangkan hasil penelitiannya, supaya lebih akurat sesuai
dengan fakta yang ada.

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran IPS di Sekolah


Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa
proses pelaksanaan adat mowindahako pada suku Tolaki Mekongga adalah terdiri
dari beberapa tahapan yakni a) sara papalalo ine ulu sala / mbeparamesi b) sara
momberahi, c) sara mombepedeehi, dan d) sara mowindahako. Nilai yang ada
dalam adat mowindahako yakni nilai religius/kesucian, nilai tanggung jawab, dan
nilai kepedualian sosial. Upaya tokoh adat dalam menjaga kelestarian adat
mowindahako yakni a) adanya lembaga adat, b) melakukan pembinaan kepada
generasi muda dalam tata cara adat perkawinan, dan c) setiap
pengurusan/pengaturan pesta selalu dilaksanakan musyawarah antar tokoh-tokoh
adat dari keluarga. Merujuk pada uraian tersebut maka program pelestarian
budaya dan adat istiadat masyarakat lokal pada generasi muda khususnya pelajar
sangat penting dalam memberikan pengetahuan terkait pengenalan budaya dan
adat istiadat masyarakat lokal yang diikuti dengan menerapkan nilai-nilai karakter
yang terdapat pada adat istiadat tersebut.
Implikasi hasil penelitian “Eksistensi Adat Mowindahako Pada
Masyarakat Tolaki Mekongga Di Kelurahan Sakuli Kecamatan Latambaga
Kabupaten Kolaka” terhadap pembelajaran IPS di sekolah berdasarkan susunan
59

materi yang terdapat dalam kurikulum 2013 (K13), serta kaitannya dengan materi
atau pokok bahasan perubahan sosial budaya dan globalisasi dengan sub pokok
bahasan bentuk perubahan sosial budaya yang diajarkan pada siswa SMP kelas IX
semester ganjil pada petemuan ke-8 dengan standar kompetensi menganalisis
perubahan sosial budaya dengan kompetensi dasar menganalisis bentuk-bentuk
perubahan sosial budaya. Indikatornya yaitu mampu mendeskripsikan perubahan
sosial budaya. Untuk membahas materi pelajaran ini diperlukan waktu 2x45 menit
60

DAFTAR PUSTAKA
Erwinsyahbana, Tengku. 2012. Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara
Hukum.Berdasarkan Pancasila.Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3 No. 1
Hafid, Anwar dkk. 2016. Adat Perkawinan Suku Bugis di Perantauan (Studi Di
Kabupaten Bombana). Kendari: HISPISI Sultra

Irawaty, dkk. 2018. Pendidikan Karakter Pada Anak Usia Dini. Sidoarjo: Meja
Tamu.

Kusnan. 2015 Ungkapan Bermakna Budaya Dalam Adat Perkawinan Suku Tolaki
Di Sulawesi Tenggara. Pascasarjana Universitas Samratulangi.

Oktarina, dkk. 2015. Pemaknaan Perkawinan. Jurnal Analisa Sosiologi. Vol. 4


No. 1

Pratiwi, Eka dan Hak, Pendais. 2017. Tradisi Karia Pada Masyarakat Muna Di
Kecamatan Wakorumba Selatan Kabupaten Muna. Jurnal Penelitian
Pendidikan Sejarah. Vol 2. No 3

Prayogi, Ryan dan Danial, Endang. 2016. Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Pada
Suku Bonai Sebagai Civic Culture Di Kecamatan Bonai Darussalam
Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. Jurnal Umanika Vol. 23 No.1

Ramlin. 2018. Bentuk Dan Makna Ungkapan Dalam Penyelesaian Adat


Mombolasuako Pada Masyarakat Tolaki. Jurnal Pendidikan Bahasa
Vol.7 No.1
Santoso. 2016. Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan.
Hukum Islam Dan Hukum Ada. Jurnal Yudisia, Vol. 7 No. 2
Saputro, Eko. 2015. Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Melalui
Kegiatan Cinta Alam.Jurnal Kajian Pendidikan Islam. Vol. 7 No 1

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sujarweni, V .Wiratna. 2014. Metode Penelitian Lengkap,Praktis Dan Mudah di


Pahami. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

UU nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 Tentang Syarat-Syarat Perkawinan

Zainal, Asliah dan Suud, Sudarmi. 2018. Kekerasan Simbolik Dalam Tradisi
Perkawinan Masyarakat Tolaki Sulawesi Tenggar. Jurnal Hasil-Hasil
Penelitian. Vol 13 No. 2
61

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Arianto Madia, S.Sos (Lurah)


Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 48 tahun
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS

2. Nama : Ambrin Bana (Tokoh Adat/Tolea)


Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 60 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta

3. Nama : Hasan Lapadoe (Tokoh Masyarakat)


Jenis kelamin : Laki-Laki
Usia : 59 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Petani

4. Nama : Maesura (Tokoh Masyarakat)


Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 62 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Petani

5. Nama : Yusuf Tahoraro (Tokoh Masyarakat)


Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 50 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
62

6. Nama : Nurjannah (Tokoh Masyarakat)


Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 40 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Petani

7. Nama : Puna (Tokoh Masyarakat)


Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 65 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Petani
63

LAMPIRAN-LAMPIRAN
64

Lampiran I. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Informan Arianto Madia Bersama Peneliti (Dokumentasi, tanggal 1


November 2021

Gambar 2. Informan Ambrin Bana Bersama Peneliti (Dokumentasi, tanggal 25


Oktober 2021)
65

Gambar 3. Informan Yusuf Tahoraro Bersama Peneliti (Dokumentasi, tanggal


5 November 2021

Gambar 4. Informan Nurjannah Bersama Peneliti (Dokumentasi, tanggal 9


November 2021)
66

Gambar 5. Informan Maesura Bersama Peneliti (Dokumentasi, tanggal 13


November 2021

Gambar 6. Informan Hasan Lapadoe Bersama Peneliti (Dokumentasi, tanggal


9 November 2021
67

Gambar 7. Informan Puna Bersama Peneliti (Dokumentasi, tanggal 11 November


2021
68

Lampiran II. Peta Wilayah Kecamatan Latambaga

Anda mungkin juga menyukai