PROPOSAL TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Pendidikan
OLEH
GUNAWIR
NIM. 0301520017
Proposal tesis dengan judul “Tradisi Lisan Iko-Iko Suku Bajo sebagai
Sumber Belajar IPS tingkat SMP di Kabupaten Konawe” karya,
Nama : Gunawir
NIM : 0301520017
Program Studi : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, S2
telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan proposal tesis.
Pembimbing I Pembimbing II
ii
DAFTAR ISI
iii
3.7.Uji Keabsahan Data .................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 37
INSTRUMEN PENELITIAN ..................................................................... 40
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
budaya dan bahasa Bajo tidak diajarkan di sekolah..
Jumlah penutur tradisi lisan yang merupakan satu-satunya cara untuk
melestarikan budayanya semakin menipis. Tidak mungkin membedakan antara
tuturan lisan tradisi iko-iko dengan cerita yang dikandungnya tentang kehidupan
sosial masyarakat Bajo, termasuk isu-isu sosial terkini. Pertumbuhan iko-iko
melambat dan mungkin terancam punah dari tahun ke tahun. Penutur ikos yang
masih hidup saat ini jumlahnya sangat sedikit, termasuk di Sulawesi Tenggara.
Oleh karena itu, jika ketentuan ini diterima, tradisi lisan iko iko yang dibanggakan
masyarakat Bajo akan hilang. (Hafid, 2012).
Dalam konteks globalisasi dimana generasi muda dengan mudahnya
menyerap budaya luar seperti saat ini, maka perlu dipikirkan dalam membuat
strategi yang solutif untuk melestarikan tradisi lisan iko-iko kepada generasi muda
sebagai pewaris kebudayaan Suku Bajo. Hafid (2012) menjelaskan bahwa untuk
menjaga hubungan antara masyarakat dan nilai-nilai tradisionalnya, setidaknya
ada tiga langkah yang harus dilakukan. Pertama, memilah prinsip-prinsip moral
yang tepat untuk mengatasi kesulitan yang terkait dengan budaya asli Bajo adalah
bagian dari upaya ini. Kedua, redefinisi mengacu pada upaya menempatkan teks
(nilai-nilai tradisional) dalam konteks masyarakat masa kini, yaitu masyarakat
Bajo yang berpikir ke depan dan bukan hanya masyarakat Bajo yang
mementingkan nilai-nilai tradisional tanpa didorong untuk mempertimbangkan
nilai-nilai masa depan. Ketiga, revitalisasi sebagai upaya yang disengaja,
berkelanjutan, dan diinginkan untuk membangkitkan segala bentuk kreativitas
dalam kehidupan sehari-hari untuk menghadapi berbagai kendala, bukan sekadar
memastikan bahwa pemiliknya memahami nilai-nilai budaya.
Tradisi lisan iko-iko merupakan salah satu potensi budaya suku Bajo di
Kabupaten Konawe khususnya di Desa Bokori yang belum dimanfaatkan dalam
pembelajaran di sekolah. Kesulitan guru dalam mengembangkan materi
dikarenakan mereka selama ini hanya membaca buku yang berorientasi pada
permasalahan dan fenomena yang bersifat nasional. Guru belum melihat kearifan
budaya lokal dalam hal ini budaya daerah setempat, khususnya yang berkaitan
dengan tradisi lisan, dalam hal ini warisan lisan iko-iko. Pengetahuan yang
2
dimiliki siswa tentang budaya lokal mereka sendiri tidak banyak terpengaruh oleh
hal ini. Karena tradisi lisan iko-iko sedang dihancurkan oleh globalisasi dan
modernitas, ketidaktahuan siswa terhadap budaya lokal mereka sendiri, khususnya
tradisi lisan iko-iko, menimbulkan risiko besar. mengakibatkan hilangnya identitas
budaya masyarakat Bajo sebagai suku bangsa dengan warisan tradisi yang kuat.
Melihat fakta yang berkembang di masyarakat, maka peneliti sangat
tertarik untuk menjadikan tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo sebagai sumber
belajar IPS dalam upaya pengurangan risiko semakin punahnya tradisi lisan iko-
iko akibat dari globalisasi. Penelitian tentang pelestarian tradisi lisan iko-iko Suku
Bajo belum ada yang memanfaatkan sebagai sumber belajar IPS, padahal tradisi
lisan iko-iko menjadi sangat penting untuk dilestarikan bagi generasi muda
khususnya pada peserta didik dengan cara diintegrasikan ke dalam pembelajaran
IPS baik di sekolah formal maupun di lingkungan masyarakat. Belum ada
penelitian yang menggunakan penelitian tradisi lisan sebagai sumber
pembelajaran untuk pelestarian budaya lokal, meskipun ada penelitian tentang
tradisi lisan dan kearifan lokal yang hanya membahas aspek lingkungan.
Sebaliknya, penelitian tentang tradisi lisan di Indonesia cenderung terfokus pada
tradisi lisan sebagai ilmu. Pada lembaga formal salah satunya pada jenjang
sekolah menengah pertama, pendidikan tradisi lisan sebagai budaya lokal dapat
dimasukkan sebagai sarana pembelajaran.
1.2.Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di identifikasikan masalah terkait dengan
tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo sebagai sumber belajarIPS sebagai berikut:
1. Generasi muda suku Bajo khususnya pelajar memiliki tingkat kepedulian yang
sangat minim terhadap tradisi budayanya.
3. Banyak nilai-nilai dan pesan moral yang terkandung dalam tradisi lisan iko- iko
yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3
4. Belum adanya pemanfaatan tradisi lisan iko-iko yang berkembang di
masyarakat Bajo sebagai media dan sumber belajar IPS di lingkungan
masyarakat.
1.4.Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo
sebagai sumber belajar IPS adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat menghasilkan sebuah sintesis
mengenai pelestarian tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo di tengah arus
globalisasi melalui pengintegrasian nilai-nilai tradisi ke dalam sumber belajar
IPS. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan sumber pengembangan
konsep pendidikan terhadap budaya lokal untuk kesiapsiagaan masyarakat
dalam menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang semakin pesat.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi:
a. Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe
Pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan dapat memanfaatkan
sintesis penelitian ini dalam bentuk merekomendasikannya sebagai sumber
belajar pada sekolah sekolah di Kabupaten Konawe khususnya pada daerah
pemukiman masyarakat Bajo.
5
b. MGMP IPS Kabupaten Konawe
c. Komunitas Budaya
Komunitas budaya bisa melakukan pendidikan pelestarian tradisi lisan
iko-iko masyarakat Bajo sebagai bentuk penguatan kembali budaya
masyarakat Bajo melalui pagelaran festival dan pentas seni yang diadakan
secara rutin..
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR
2.1.Kajian Pustaka
2.1.1. Tradisi Lisan
Berbagai macam pengetahuan dan tradisi diwariskan secara lisan kepada
kelompok masyarakat tertentu. Tindakan transmisi tradisi melalui media lisan
menginformasikan konsep "lisan" dalam tradisi lisan. Tradisi lisan terkait dengan
realitas awal mula suatu tempat, keberadaan dan penampilan tokoh, cerita hiburan
yang epik, dan lain-lain (Irwanto, 2012). Penutur, narasumber yang merupakan
pemilik tradisi lisan yang dikaji, termasuk pemilik atau pendukung terkait,
merupakan sumber primer yang digunakan dalam kajian tradisi lisan.
Tradisi lisan adalah kebiasaan dan praktik yang telah diwariskan secara
lisan melalui suatu peradaban. Transmisi tradisi lisan melalui bahasa, baik yang
diucapkan maupun yang tidak diucapkan (Sibarani, 2012). Sebelum tulisan
ditemukan, budaya tradisional diekspresikan melalui tradisi lisan (pra aksara).
Tradisi lisan berupa cerita rakyat, puisi, pantun, mitologi, dan legenda sangat
dikenal masyarakat Indonesia. Identitas, sistem religi dan kepercayaan, adat
istiadat, sejarah, hukum, kedokteran, kecantikan, kreativitas, akar komunitas, serta
pengetahuan ekologi dan lingkungan lokal semuanya terkandung dalam tradisi
lisan. Tulisan tentang sejarah lokal dapat mengambil makna dan isi dari tradisi
lisan. (Irwanto, 2012).
Cerita rakyat mengandung unsur tradisi lisan. Cerita rakyat dipecah
menjadi tiga kategori berdasarkan jenisnya: cerita rakyat lisan, cerita rakyat
sebagian lisan, dan cerita rakyat non-verbal. Tradisi lisan dan cerita rakyat lisan
adalah hal yang sama (Danandjaja, 1998). Cerita rakyat dengan komponen lisan
yang signifikan menggabungkan komponen lisan dan nonverbal dalam bentuknya.
Di antara ragam (genre) cerita rakyat lisan adalah: 1) ragam tuturan rakyat yang
luas, termasuk logat daerah, moniker, dan jurus tradisional; 2) ungkapan
tradisional, seperti peribahasa dan teka-teki; 3) pertanyaan tradisional; dan 4)
puisi rakyat, seperti sajak dan puisi; 5) Folklore, yang meliputi dongeng, mitos,
dan legenda (Sudikan2013).
7
Salah satu aspek tradisi lisan adalah sastra lisan, yang lain adalah
teknologi tradisional, yang ketiga adalah pengetahuan masyarakat di luar pusat
penguasa, yang keempat adalah unsur-unsur agama dan kepercayaan di luar
agama-agama besar, yang kelima adalah kesenian rakyat di luar kraton, dan yang
keenam. adalah hukum adat (Hutomo, 1991). Menurutnya, cakupan tradisi lisan
meliputi (1) sistem sejarah keluarga, (2) kosmologi dan kosmogoni, (3) sejarah,
(4) filsafat, etika, dan moralitas, (5) sistem pengetahuan lokal, dan (6) bahasa. dan
tradisi sastra (Sedyawati, 1996).
Secara umum, tradisi lisan yang muncul dalam suatu masyarakat
memiliki sifat dan tujuan yang unik. Tradisi lisan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: merupakan kegiatan budaya lisan; ia memiliki kegiatan untuk
penggunaannya; itu tradisional; itu diturunkan dari generasi ke generasi; itu
memiliki banyak versi; itu adalah milik kolektif komunitas; dan memiliki potensi
untuk dihidupkan kembali dan ditetapkan sebagai sumber budaya
industri. (Sibarani, 2012).
Menurut Bascom, cerita rakyat termasuk tradisi lisan memiliki beberapa
tujuan, antara lain 1) mencerminkan impian kolektif, 2) memvalidasi institusi dan
institusi budaya, 3) berfungsi sebagai alat pengajaran (perangkat pedagogis), dan
4) bertindak sebagai bentuk. pemaksaan untuk memastikan bahwa anggota
masyarakat menjunjung tinggi norma-normanya. Secara khusus, tradisi lisan
memiliki tujuan keagamaan maupun yang berkaitan dengan hiburan, pendidikan,
sejarah, kemasyarakatan dan kebersamaan, kontrol sosial, dan kritik sosial
(Mantra, 2014).
Pentingnya tradisi lisan sebagai kekayaan budaya tak berwujud
(intangible cultural property/ICH) telah dibuktikan dan diakui oleh UNESCO.
Oleh karena itu, harus dipertahankan dan dilanjutkan, sesuai dengan kesepakatan
tahun 2003. Pada Juli 2007, Perpres No. 78 mengesahkan tradisi lisan pemerintah
Indonesia (Kunaefi, 2015). Pelestarian ekosistem mendapat manfaat dari tradisi
lisan. Suatu wilayah dapat dilindungi dari kehancuran manusia dengan
kesuciannya sebagaimana tercermin dalam mitos-mitosnya. Mitos-mitos yang
8
muncul di masyarakat mungkin akan membangkitkan kesadaran akan suatu
wilayah yang perlu dijaga agar dapat bertahan hidup.
Tradisi lisan yang muncul dalam suatu budaya memiliki keterkaitan nilai,
konsep, konvensi, dan kepercayaan. Standar moral yang muncul dalam tradisi
lisan merupakan cerminan dari kondisi masyarakat. Menurut Bertens, nilai
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) berkaitan dengan subjek; jika tidak, tidak
akan ada nilainya; 2) muncul dalam konteks praktis; misalnya, saat subjek ingin
membuat sesuatu; dan 3) berkaitan dengan sifat-sifat yang “ditambahkan” oleh
subjek terhadap sifat atau sifat-sifat benda (Pudentia, 1999).
Di satu sisi, tradisi lisan dapat berfungsi sebagai wahana pengajaran, dan
di sisi lain dapat berfungsi sebagai gudang pengetahuan. Menggunakan cerita
rakyat sebagai alat pengajaran mengacu pada menggunakan cerita rakyat untuk
mencegah siswa belajar, menggunakan cerita rakyat sebagai sumber pengajaran
mengacu pada menggunakan informasi cerita rakyat untuk mengajar siswa. Dalam
premis dakwah cerita rakyat, tradisi lisan dapat digunakan sebagai alat
pengajaran. Cerita rakyat dipandang sebagai wahana atau pintu gerbang dakwah.
Cerita rakyat merupakan wahana yang sangat efektif untuk mengungkapkan
konsep dalam kehidupan sehari-hari. Cerita rakyat diposisikan sebagai alat, taktik,
atau mediator oleh teori propaganda. Cerita rakyat merupakan alat untuk
mencapai tujuan (Endraswara, 2013).
Folklor mengandung nilai budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber pendidikan. Nilai budaya yang terkandung dalam genre folklor merupakan
pesan-pesan sebagai sumber pengetahuan atau pendidikan bagi generasi penerus.
Pada hakikatnya genre-genre folklor merupakan bentuk ungkapan budaya yang
mengandung nilai-nilai yang dapat diteladani dan diinternalisasikan oleh generasi
penerus. Sistem nilai merupakan posisi sentral dari struktur budaya suatu
masyarakat. Sistem nilai merupakan fenomena dan problema dasar kehidupan
manusia. Nilai merupakan perangkat struktur dalam kehidupan manusia.
Tradisi lisan kadang-kadang dipandang sebagai sejarah lisan itu sendiri,
dan keberadaan tokoh-tokoh sejarah seringkali dibarengi dengan tokoh-tokoh
legendaris yang sulit dilacak kebenarannya. Tujuan sejarah lisan adalah untuk
9
menyajikan “kebenaran” sejarah sebagaimana yang sedang dialami oleh
pelakunya atau pihak lain yang terkait. Sejarah lisan dan tradisi lisan adalah istilah
yang dapat dipertukarkan saat ini. Tradisi lisan, menurut Jan Vansina, adalah
transmisi lisan kesaksian lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya atau lebih.
(Kuntowijoyo, 2003).
Tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan.
Tradisi lisan terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum
mengenal tulisan. Seperti dokumen dalam masyarakat yang sudah mengenal
tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau.
Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari tradisi lisan itu. Selain itu
tradisi lisan mengandung kejadian nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat,
cerita-cerita khayal, peribahasa, nyanyian, mantra.
Dua perspektif dapat digunakan untuk menganalisis tradisi lisan:
perspektif proses dan perspektif produk. Tradisi lisan merupakan hasil pesan yang
diwariskan melalui generasi lampau. Sedangkan sebagai prosedur, berupa
penyebaran informasi secara lisan dari mulut ke mulut dari waktu ke waktu
hingga informasi tersebut hilang. Jika seseorang menceritakan suatu peristiwa
secara lisan dan diwariskan secara lisan pula kepada individu lain, maka tradisi
lisan akan berkembang dan menyebar ke seluruh masyarakat. Tradisi lisan
berkembang sebagai hasil dari kesaksian peristiwa yang diulang-ulang
(Endraswara, 2005).
Tradisi lisan merupakan salah satu sumber sejarah karena dalam tradisi
lisan terekam masa lalu kehidupan manusia yang belum mengenal tulisan yang
berkaitan dengan kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, nilai atau pengalaman
sehari-hari (Erman, 2011). Sehingga rekonstruksi masa lalu dapat dilakukan
melalui sejarah lisan. Secara garis besar, data lisan dibedakan menjadi tiga bentuk,
yaitu: cerita yang dialami, cerita yang disaksikan, dan cerita yang diketahui.
2.1.2. Suku Bajo
2.1.2.1 Asal-Usul Suku Bajo
Selain sebagai negara kepulauan, Indonesia dipandang oleh dunia
internasional sebagai negara bahari. Sudut pandang ini didasarkan baik pada unsur
10
sejarah, seperti masa kejayaan kerajaan-kerajaan bahari yang pernah menguasai
Nusantara, maupun unsur kewilayahan, seperti kenyataan bahwa Indonesia
memiliki luas laut 5,8 juta km2, atau sekitar 70% dari luas wilayahnya. luas
keseluruhan. Hal ini menjadi salah satu penyebab sebagian besar penduduk
Indonesia bermukim di wilayah pesisir, bergantung pada air, dan mengembangkan
budaya bahari.
Hampir semua bangsa di dunia memiliki populasi yang beragam dalam hal
ras, agama, dan etnis, yang tercermin dalam keragaman budaya mereka. Suku
Bajo (Bajau) merupakan salah satu suku yang terkenal mendukung budaya bahari.
Bahkan suku Bajo disebut dengan berbagai julukan dalam karya sastra, antara lain
manusia perahu, gipsi laut, dan pengembara laut. Selat Makassar, Teluk Bone,
Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Banggai, Teluk Tomini, Maluku Utara, dan
Laut Sulawesi adalah beberapa lokasi di mana suku Bajo dapat ditemukan
(Suryanegara & Nahib, 2015).
Suku Bajo sangat bergantung pada laut sebagai sumber pendapatan utama
mereka. Setiap nelayan harus mematuhi sejumlah pantangan atau pantangan
tertentu dalam tata cara hidup Suku Bajo saat melaut. Perbuatan atau pantangan
yang dimaksud antara lain tidak diperbolehkan membuang benda ke laut, antara
lain arang kayu bekas masak, ampas kopi, air cabai, air jahe, kulit jeruk, dan abu
dapur serta rokok. Orang Bajo percaya bahwa melanggar tabu atau hukum ini
akan menghasilkan bencana yang akan berkurang drastis atau bahkan tidak ada
sama sekali (Artanto, 2017).
Kebiasaan intrinsik suku Bajo yang hidup nomaden (berpindah-pindah)
berdampak pada seberapa luas persebaran suku ini di seluruh dunia. Hal ini
terlihat, misalnya, dari sejumlah penemuan yang menunjukkan bahwa suku Bajo
telah meninggalkan jejaknya di tempat-tempat seperti Malaysia, Filipina, dan
Australia. Berdasarkan data sensus tahun 2000, populasi keseluruhan suku Bajo di
seluruh Asia Tenggara diperkirakan sekitar 1.077.020 orang, 570.857 di antaranya
tinggal di seluruh Filipina. Populasi Malaysia adalah 347.193 dan Indonesia
adalah 158.970 (Kazufumi,2013).
11
Satu-satunya suku yang bermukim dan sangat bergantung pada laut adalah
suku Bajo. Dibandingkan dengan suku lain, hal ini yang membedakan suku Bajo.
Akibatnya, orang Bajo sering disebut sebagai “orang laut”, “gipsi laut”, atau
“pengembara laut” (Suyuti, 2011). Akibat berbagai perubahan, kini banyak suku
Bajo yang menetap di daratan (Gamsir, 2014). Ada beberapa catatan berbeda
tentang awal mula suku Bajo, mulai dari mitologi sederhana hingga studi ilmiah
yang sebenarnya. Akibatnya, asal usul suku Bajo di Indonesia tidak jelas.
Basri (2014) melakukan wawancara terhadap key person di Kepulauan
Wakatobi bernama Bakri. Hasil wawancara menyatakan bahwa Suku Bajo berasal
dari Johor Malaysia. Menurut cerita rakyat, seorang putri Johor melarikan diri ke
Sulawesi untuk menikah dengan seorang pangeran Bugis. Sejumlah warga Johor
yang diutus mencari sang putri juga membuat rumahnya di daerah bernama Bajoe
di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Tome Pires, seorang pejabat
Portugis yang berada di Malaka pada tahun 1515, dan orang Bajo yang mendiami
Sulawesi Tenggara memberikan catatan lain tentang sejarah orang Bajo (Suyuti,
2011).
Tome Pires mengklaim bahwa orang Bajo yang akhirnya berubah menjadi
bajak laut berasal dari Makassar. Aksi suku tersebut selanjutnya adalah menyebar
ke beberapa pulau di Nusantara, antara lain Banda, Maluku, dan Jawa Utara.
Sedangkan suku Bajo di Sulawesi Tenggara mengaku berasal dari Desa Ussu di
Kecamatan Malili Sulawesi Selatan dan Kabupaten Luwu. Kata Bugis untuk
"bajo" adalah ta'bajo-bajo, yang artinya "dibayangi". Penduduk Bugis Desa Ussu
pernah samar-samar melihat atau membayangkan berkumpulnya orang-orang di
tengah laut (Nasruddin, 1998 dalam Suyuti, 2011).
Suku Bajo saat ini telah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Suku ini
tetap tinggal di wilayah pesisir meskipun tidak lagi di laut seperti dahulu kala. Di
Pulau Sumatra suku ini dapat ditemui di sekitar pesisir Riau hingga Tanjung
Jabung dekat Jambi. Di Pulau Sulawesi suku ini menyebar di beberapa kabupaten
pada tiga provinsi, yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi
Tenggara. Suku Bajo juga dapat ditemui di pantai utara dan timur Kalimantan,
12
Kepulauan Maluku, sepanjang Pantai Utara Sumbawa, sepanjang Pantai Barat dan
Utara Flores, Pulau Babi, serta Kelupauan Alor.
2.1.2.2. Perubahan Kehidupan Suku Bajo
Suku Bajo yang sebelumnya dikenal beraktifitas dan tinggal di laut saat ini
telah mengalami transformasi. Adanya perkembangan teknologi, desakan
ekonomi, pengaruh budaya suku lain, dan intervensi pemerintah adalah sebab
utama perubahan ini (Gamsir, 2014). Perubahan yang dialami suku Bajo terjadi
secara bertahap.
Suyuti (2011) mengidentifikasi lima periode perubahan tersebut, yaitu
sebagai berikut:
a. Mitos Sawerigading: Munculnya Orang Bajo
Mitos ini berawal dari Sawerigading yang berasal dari Ussu Cerekang,
Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Sawiragading menebang pohon besar
bernama Walenrangnge. Ketika pohon tumbang, telur burung yang bersarang
di pohon berjatuhan. Hal ini menimbulkan banjir telur. Banjir ini
menghanyutkan masyarakat Ussu beserta rumah-rumahnya ke lautan. Rumah-
rumah yang mengapung di laut ini selanjutnya disebut bido. Masyarakat Bajo
yang hanyut terbawa angin yang menyebabkan mereka tersebar dimana-mana.
b. Nomaden: Kehidupan di Atas Bido
Suku Bajo tinggal dan beraktifitas di laut dari generasi ke generasi.
Mereka mulai menganggap laut merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
yang diberikan kepada nenek moyangnya. Suku Bajo mulai mengarungi lautan
hingga ke Asia Tenggara. Ciri utama periode ini adalah segala aktifitas utama
dilakukan pada bido secara berpindah-pindah di lautan. Daratan hanyalah
tempat perlindungan sementara, semisal ketika ada badai, dan mendapatkan
kebutuhan air tawar. Periode ini juga ditandai dengan adanya aktifitas dengan
orang Bugis terutama dalam hal ekonomi, yakni sistem barter. Kehidupan Suku
Bajo yang berada di laut membuatnya harus menjalin hubungan dengan orang
darat untuk memenuhi kebutuhannya, seperti peralatan melaut, beras,
tembakau, dan gula. Interaksi dengan Suku Bugis ini nantinya berjalan semakin
intensif yang menjadi salah satu penyebab berubahnya budaya Suku Bajo.
13
c. Masa Transisi: Beranjak ke Pantai
Periode transisi dicirikan dengan berubahnya pola hidup berpindah
Suku Bajo menjadi menetap di pantai. Salah satu tempat bermukim awal suku
ini adalah di Pantai Sulaho. Tempat ini dipilih karena karakteristiknya yang
sesuai untuk menetap, yaitu lokasi dikelilingi gunung yang menjadikannya
terpencil, topografi pantai yang landai, serta adanya tanjung yang
mengelilinginya. Periode ini juga ditandai dengan mulai intensifnya suku Bajo
menggunakan bahasa Bugis. Pasukan pemberontak DI/TII yang bersembunyi
di wilayah Sulaho menjadikan Suku Bugis banyak melakukan interaksi dengan
Suku Bajo. Pondok-pondok agama yang dibuka oleh DI/TII selanjutnya
menjadikan hubungan ini semakin erat dan tentunya memengaruhi budaya
Bajo.
d. Di Darat: Berdirinya Permukiman
Tahun 1972 merupakan awal dimulainya permukiman di darat oleh
seluruh anggota suku Bajo di Sulaho. Selain bermukim di darat, ciri utama
periode ini adalah adanya kebutuhan sarana produksi dan transportasi, Hal ini
dikarenakan Suku Bajo sebagai suku yang tinggal di darat namun masih
beraktifitas di laut. Suku Bajo semakin memiliki hubungan erat atau dalam kata
lain bergantung terhadap Suku Bugis. Beragam jenis perahu mulai digunakan
Suku Bajo untuk melaut. Hal ini mulai menimbulkan adanya kelas sosial pada
masyarakat ini, sehingga Orang Bajo yang memiliki keterbatasan alat produksi
mulai beralih profesi menjadi petani.
e. Intervensi Pemerintah: Sistem Permukiman Sosial (SPS)
Tinggalnya Suku Bajo di daratan menjadikan mereka mulai merasakan
berbagai program dari pemerintah. Program tersebut dimulai dengan adanya
pembangunan 85 unit rumah semi permanen pada tahun 1996 di Kampung
Sulaho. Program ini disertai dengan jaminan hidup berupa bantuan pangan
selama lima tahun dan infrastuktur kehidupan masyarakat. Adanya program
pemerintah tersebut tentunya telah jauh merubah tatanan budaya Suku Bajo.
Hal yang paling menyolok adalah mulai ditinggalkannya dukun, mortalitas
14
menurun, kesehatan masyarakat meningkat, dan status sosial mulai
diperhatikan.
2.1.3. Sumber Belajar IPS
Sumber belajar memiliki pengertian yang sangat luas. Sumber belajar
menurut Ahmad Rohani & Abu Ahmadi (1995) adalah guru dan bahan-bahan
pelajaran berupa buku bacaan atau semacamnya. Pengertian selanjutnya dari
sumber belajar adalah segala daya yang dapat dipergunakan untuk kepentingan
proses pembelajaran baik langsung maupun tidak langsung, di luar diri peserta
didik yang melengkapi diri mereka pada saat pembelajaran
berlangsung.
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi
dalam pembelajaran. Abdul Majid (2008) mengungkapkan bahwa sumber belajar
ditetapkan sebagai informasi yang disajikan dan disimpan dalam berbagai bentuk
media, yang dapat membantu siswa dalam belajar, sebagai perwujudan dari
kurikulum. Bentuknya tidak terbatas apakah dalam bentuk cetakan, video,
perangkat lunak, atau kombinasi dari beberapa bentuk tersebut yang dapat
digunakan siswa dan guru. Sumber belajar juga dapat diartikan sebagai segala
tempat atau lingkungan, orang, dan benda yang mengandung imformasi yang
menjadi wahana bagi siswa untuk melakukan proses perubahan perilaku.
Pengertian sumber belajar sangat luas. Namun secara umum ada beberapa
klasifikasi sumber belajar. AECT (Association of Education Communication
Technology) mengklasifikasikan sumber belajar dalam enam macam yaitu
message, people, materials, device, technique, dan setting (Akhmad Rohani &
Abu Ahmadi, 1995). Enam klasifikasi sumber belajar tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Message (pesan), yaitu informasi/ajaran yang diteruskan oleh komponen
lain dalam bentuk gagasan, fakta, arti dan data.
2) People (orang), yakni manusia yang bertindak sebagai penyimpan,
pengolah, dan penyaji pesan. Termasuk kelompok ini misalnya dosen,
guru, tutor, dll.
15
3) Materials (bahan), yaitu perangkat lunak yang mengandung pesan untuk
disajikan melalui penggunaan alat/perangkat keras, ataupun oleh dirinya
sendiri. Berbagai program media 12 termasuk kategori materials, seperti
transportasi, slide, film, audio, video, modul, majalah, buku dan
sebagainya.
4) Device (alat), yakni sesuatu (perangkat keras) yang digunakan yang
digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimppan dalam bahan.
Misalnya overhead proyektor, slide, video tape/recorder, dll
5) Technique (teknik), yaitu prosedur atau acuan yang dipersiapkan untuk
penggunaan bahan, peralatan, orang, lingkungan untuk menyampaikan
pesan. Misalnya pengajaran terprogram/modul, simulasi, demonstrasi,
tanya jawab, dll.
6) Setting (lingkungan), yaitu situasi atau suasana sekitar dimana pesan
disampaikan. Baik lingkungan fisik ataupun non fisik.
Implementasi nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran IPS dapat dikaji
dari filsafat pendidikan yang mendasarinya yaitu perenialisme. perenialisme
memandang pendidikan sebagai proses yang sangat penting dalam pewarisan nilai
budaya terhadap peserta didik. Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat
sangat penting ditransfromasikan dalam pendidikan, sehingga diketahui, diterima
dan dapat dihayati oleh peserta didik. Perenialisme memandang bahwa masa lalu
adalah sebuah mata rantai kehidupan umat manusia yang tidak mungkin
diabaikan. masa lalu adalah bagian penting dari perjalanan waktu manusia dan
memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian masa kini dan masa yang akan datang.
Nilai-nilai yang lahir pada masa lalu adalah hal yang berharga untuk diwariskan
kepada generasi muda.
National Council for Social Studies (NSCC) mendefinisikan Ilmu
Pengetahuan Sosial sebagai berikut: Social studies as “the integrated study of the
social science and humanities to promote civic competence”. Within the school
program, social studies provides coordinated, systematic, study drawing upon
such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, law,
philosophy, political science, psychology, religion and sociology, as well as
16
appropriate content from the humanities, mathematic and natural sciences.
(Savage, 1996) dari definisi tersebut, dikatakan bahwa melalui pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial, peserta didik diajarkan untuk menjadi warga negara
Indonesia yang baik dan penuh kedamaian. Ilmu pengetahuan Sosial diperlukan
bagi keberhasilan transisi kehidupan menuju pada kehidupan yang lebih dewasa
dalam upaya membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan prinsip dan
semangat nasional. Dengan demikian para peserta didik dalam pembelajaran IPS
terlatih untuk menyelesaikan persoalan sosial dengan pendekatan secara holistik
dan terpadu dari berbagai sudut pandang.
Ruang kajian IPS adalah manusia, ruang, dan waktu, dimana ketiganya
jika digabungkan memiliki sifat dinamis, meskipun statis dari segi fisik. Oleh
karena kedinamisannya, pembelajaran IPS memiliki materi yang sangat padat dan
kompleks, sebab mempelajari kedinamisan manusia dari masa ke masa dan ruang
ke ruang. Sumber belajar dalam IPS tidak hanya berupa buku, tetapi perilaku
masyarakat sekitar dan kearifan lokal yang ada di sekitarnya.
2.1.4. Penelitian Terdahulu
Kajian penelitian terdahulu berguna sebagai pembanding antara penelitian-
penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu yang memiliki sisi
kesesuaian dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Hal ini sebagai bahan
rujukan peneliti melakukan penelitian dengan menganalisis pada sisi perbedaan
dan persamaan antara penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian yang
akan peneliti lakukan. Letak perbedaan dan persamaan bisa meliputi pendekatan
penelitian yang digunakan, teknik analisis data yang dilakukan serta fokus
penelitian.
Banyak penelitian tentang tradisi lisan membahas tentang makna dari
tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat. Salah satunya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Iziq Eafifi Ismail, Abdullah Sani Hj Ahmad, dan Ismail
Ibrahi (2015) menjelaskan bahwadampak masyarakat pesisir terhadap lingkungan
permukiman Suku Sama-Bajau dari segi sosial melalui perkembangan identitas.
Peneliti juga membahas interkoneksi sejarah lintas benua di nusantara yang
terbentang dari Indonesia hingga Filipina, yang merupakan rumah bagi sisa-sisa
17
terakhir diaspora etnis terbesar di dunia. Secara khusus, suku Sama-Bajau telah
bubar dari negara asalnya. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-
sama menjadikan Suku Bajo sebagai subjek penelitian. Meskipun terdapat
persamaan dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian
inipun memiliki perbedaan pada tujuan penelitian, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pemaknaan generasi muda (siswa) terhadap tradisi lisan iko-iko dan
bentuk penanaman nilai tradisi lisan tersebut dalam lingkungan keluarga di Desa
Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, sedangkan penelitian
sebelumnya bertujuan untuk mengetahui pengaruh permukiman daerah pesisir di
lingkungan pemukiman Suku Sama-Bajau dalam perspektif sosial.
Schagatay (2014) juga di dalam penelitiannya menjelaskan terkait
kehidupan Orang Bajau dimana banyak orang Bajau Laut di Filipina dan
Indonesia masih mencari nafkah sepenuhnya dari penyelaman tanpa henti untuk
spearfishing dan pengumpulan, dengan peralatan yang sangat sedikit. Sebagian
besar Suku Bajo mendapatkan beragam makanan yang diperoleh dari laut.
Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku
Bajo sebagai subjek penelitian. Terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemaknaan
generasi muda (siswa) terhadap tradisi lisan iko-iko dan bentuk penanaman nilai
tradisi lisan tersebut dalam lingkungan keluarga di Desa Bokori, Kecamatan
Soropia, Kabupaten Konawe, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk
menelaah kehidupan Suku Bajo dari perspektif ekonomi yakni melalui mata
pencahariannya di laut.
Kasim Mansur, Gusni Saat, dan Said Effendi (2009) menjelaskan bahwa
Kehidupan sosial suku Sama-Bajau telah mengalami transformasi sosial yang
signifikan akibat pengaruh urbanisasi dan globalisasi. Ada kesamaan antara
penelitian ini dan penelitian sebelumnya, menurut penelitian sebelumnya.
Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo sebagai subjek
penelitian melalui pendekatan kualitatif.Selain itu, terdapat pula perbedaan
18
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji tradisi lisan dan integrasinya ke dalam sumber pembelajaran di
masyarakat dan di sekolah, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk
mengkaji kehidupan sosial suku Bajau serta tingkat pendidikannya.
Ratna Indrawasih dan I G.P. Antariksa (2003) menjelaskan bahwa orang
Bajau atau Orang Laut yang dulu mengarungi laut dengan rumah perahu, kini
lebih memilih tinggal di darat atau di air dengan rumah panggung. Sejak abad ke-
15, proses perpindahan tempat tinggal dari laut ke darat telah didokumentasikan,
dengan tahapan mulai dari rumah panggung di air hingga rumah di darat. Ada
kesamaan antara penelitian ini dan penelitian sebelumnya, menurut penelitian
sebelumnya. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama
menjadikan Suku Bajo sebagai subjek penelitian dengan pendekatan kualitatif.
Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya,
penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tradisi lisan iko-iko Suku Bajo serta
integrasinya ke dalam sumber pembelajaran di Desa Bokori, sedangkan penelitian
sebelumnya bertujuan untuk mengkaji transformasi kehidupan sosial Suku Bajo.
Benny Baskara (2011) juga menjelaskan bahwa Aksara Lontara Assalenna
Bajo, sejenis kearifan budaya Bajo yang memuat catatan-catatan tentang
kehidupan masyarakat Bajo yang ditulis sendiri, merupakan bentuk kearifan
budaya Bajo yang mencerminkan identitas budaya suku Bajo sebagai satu
kesatuan yang terjalin dengan identitas Islam. Berdasarkan penelitian terdahulu
terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Persamaan
tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo sebagai subjek penelitian
dengan pendekatan kualitiatif.Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tradisi
lisan iko-iko Suku Bajo serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran di
masyarakat dan di sekolah di Desa Bokori, sedangkan penelitian sebelumnya
bertujuan untuk mengkaji identitas Suku Bajo secara historis melalui naskah
lontarak serta kehidupan sosial Suku Bajo yang terintegrasi dengan nilai-nilai
kehidupan Islam.
19
Dalam kebudayaan Suku Bajau juga dijelaskan dalam penelitian Halina
Sendera Mohd. Yakin (2013) bahwa Kosmologi dan pandangan dunia orang
Bajau tampak menonjolkan ciri-ciri sinkretisme, yang pada dasarnya adalah
adaptasi dan penggabungan kepercayaan kuno dan baru, seperti yang terlihat pada
perilaku budaya dalam upacara dan adat pemakaman. Adat masyarakat Bajau
dalam mengolah duang, jenazah, mayang pinang, dan barang-barang lainnya
menunjukkan bahwa hubungan seseorang dengan kerabatnya yang masih hidup
atau yang sudah meninggal tidak berakhir dengan kematian. Berdasarkan
penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo
sebagai subjek penelitian dengan pendekatan kualitatif. Selain itu, terdapat pula
perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji pemaknaan siswa dan bentuk penanaman nilai dalam tradisi lisan
iko-iko Suku Bajo serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran di masyarakat
dan di sekolah di Desa Bokori, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk
mengkaji pemaknaan masyarakat Bajau dalam mengekspresikan dan
mentransmisikan perasaan, sentimen, serta nilai-nilai kemanusiaan dan
kemasyarakatan melalui ritual kematian dalam menjaga dan memperkuat
solidaritas dan keseimbangan sosial di Kota Belud, Malaysia.
Dalam tradisi yang lain Suku Bajau dijelaskan oleh Ri’ina1, Hary
Murcahyanto, dan Muh. Jaelani Al-Pansori (2020) dalam penelitiannya bahwa
masyarakat setempat atau biasa disebut napupok merencanakan atau bernegosiasi
sebelum melaksanakan tradisi menyelam di air atau menyelamatkan laut. Naupok
tidak hanya dilakukan di tiklok, tetapi juga dilakukan sebelum prosesi Nyalamak.
Karena memenuhi berbagai persyaratan untuk suatu peristiwa tutur, napupok
(bernegosiasi) memenuhi syarat sebagai peristiwa tutur. Berdasarkan penelitian
terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo sebagai subjek
penelitian dengan pendekatan kualitatif.Selain itu, terdapat pula perbedaan
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji tradisi lisan iko-iko Suku Bajo serta integrasinya ke dalam sumber
20
pembelajaran di masyarakat dan di sekolah di Desa Bokori, sedangkan penelitian
sebelumnya bertujuan untuk mengkaji tradisi nyelamak dilaumelalui napupok
(berunding) merupakan peristiwatutur.
Riski Hamriani, Sitti Hermina, dan Salniwati (2019) menjelaskan bahwa
Ritual Bantang Suku Bajo dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, dan tahap penutup. Sebagai hasil dari pemikiran, pengalaman, dan
kepercayaan yang telah dilakukan oleh nenek moyang sebelumnya, simbol yang
memiliki makna tertentu selalu ditampilkan selama ritual bantang. Berdasarkan
penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo
sebagai subjek penelitian dengan pendekatan kualitatif.Selain itu, terdapat pula
perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji tradisi lisan iko-iko Suku Bajo serta integrasinya ke dalam sumber
pembelajaran IPS, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk mengkaji
proses pelaksanaan ritual bantang suku Bajo dan maknanya.
Hanafi Hussin, dan Judeth John Baptist (2019) menjelaskan bahwa
pementasan musik dan ritual tari suku Sama-Bajau, dimana menurut peneliti
fungsi tradisional dari tarian igal dan musik igal ini, tergeser oleh masuknya alat
dan instrumen modern melalui beberapa event dan festival. Berdasarkan
penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo
sebagai subjek penelitian melalui pendekatan kualitatif. Terdapat pula perbedaan
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pemaknaan generasi muda (siswa) terhadap tradisi lisan iko-iko pada
suku Bajo di Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, sedangkan
penelitian sebelumnya bertujuan untuk mengkaji peran dari musik dan tari
tradisional melalui perayaan ritual suku Bajau di Malaysia dan Filipina.
Susiati (2018) menjelaskan bahwa terdapat tujuh unsur budaya Suku Bajo
Sampela dalam film The Mirror Never Lies karya Kamila Andini, yakni (1) sistem
kepercayaan, masyarakat SBS masih mempercayai sandro (dukun); (2) sistem
pengetahuan, meliputi pengetahuan tentang alam, tumbuhan, binatang, sifat dan
21
tingkah laku sesama manusia, ruang dan waktu; (3) sistem teknologi, meliputi
alat-alat produksi, wadah atau tempat, senjata, makanan dan minuman, pakaian,
tempat berlindung atau rumah, dan alat transportasi. (4) sistem kemasyarakatan,
SBS sangat menjunjung kebersamaan, saling tolong menolong, dan saling
menghibur. (5) sistem mata pencaharian, Suku Bajo Sampela membudidaya
rumput laut (agar-agar), mencari ikan dan menjualnya dilingkungan SBS atau di
pasar; (6) bahasa, Suku Bajo Sampela saat berinteraksi menggunakan bahasa
Bajoe dan bahasa Indonesia; (7) kesenian, Suku Bajo Sampela mempunyai seni
suara dan tarian. Kesenian budaya Suku Bajo Sampela terlihat pada masyarakat
Suku Bajo saat duduk-duduk sambil membuat jala atau senjata untuk melaut,
mereka sering menyanyikan sebuah lagu. Hal ini bertujuan untuk menghibur diri
dari kelelahan. Selanjutnya, saat menidurkan anak-anak mereka di ayunan mereka
pun menyanyikannya. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-
sama menjadikan Suku Bajo sebagai subjek penelitian dengan pendekatan
kualitatif. Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemaknaan siswa
terhadap tradisi lisan iko-iko serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran
IPS, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan hanya untuk mendeskripsikan
nilai-nilai budaya Suku Bajo Sampel dalam film The Mirror Never Lies karya
Kamila Andini
Rizal Mahsyar (2018) menjelaskan bahwa Orang Bajo di Kepulauan
Sapeken adalah pemilik sastra lisan iko-iko, salah satu jenis pengetahuan
tradisional. Kajian tersebut selanjutnya mengatakan bahwa ada anggapan bahwa
cerita rakyat yang direpresentasikan dalam iko-iko mengandung pelajaran moral,
cita-cita pendidikan, atau standar lain yang semuanya harus dijunjung tinggi untuk
menjaga keharmonisan dalam pelestarian alam. Iko-Iko melayani sejumlah peran
penting lainnya dalam kehidupan komunal, termasuk dalam bentuk hiburan, ritual,
dan pendidikan. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama
mengkaji tradisi lisan iko-iko Suku Bajo dengan pendekatan kualitatif.Selain itu,
22
terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis pemaknaan siswa terhadap tradisi lisan iko-iko
serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran IPS, sedangkan penelitian
sebelumnya bertujuan untuk mengkaji iko-iko sebagai kearifan lokal Suku Bajo
dan nilai-nilai yang terkandung pada nyanyian iko-iko serta fungsinya.
Terkait tradisi lisan iko-iko Suku Bajo di dalam penelitiannya Adri (2019)
menjelaskan bahwaMasyarakat Bajo di Desa Bokori sering menggunakan jenis
ikos berikut ini: (a) Danring Lao (b). Putra Koda Lamannang, (c) Babawang (d).
keturunan Koda Hasang (e). etnis Bajo atau Sama. (f) Laut Sahabatku (Dilao
Seheku) (g). Darua Dolu Dayah Ngai Lagi (ikan sudah tidak seperti dulu lagi).
Tradisi lisan Iko-Iko berfungsi sebagai alat bagi masyarakat Bajo untuk berkreasi
dan melestarikan budayanya, yang tujuan keduanya sebagai alat pengajaran.
Pengkaderan suku Bajo melalui Iko-Iko dapat dijadikan pembelajaran
ekstrakurikuler karena pendidikan berbasis budaya Bajo belum tergabung dalam
sekolah formal, sehingga cara ketiga Iko-Iko digunakan dalam pendidikan.
Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama mengkaji
nyanyian iko-iko Suku Bajo dengan pendekatan kualitatif di lokasi yang sama di
Desa Bokori.Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemaknaan siswa
terhadap tradisi lisan iko-iko serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran
IPS, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk mengkaji jenis-jenis iko-
iko yang sering dilantunkan oleh masyarakat Desa Bokori serta fungsinya dalam
masyarakat.
I Ketut Suardika dan Anwar Hafid (2016) menjelaskan bahwa cerita rakyat
masyarakat Bajo yang dikenal dengan iko-iko terbagi menjadi lima kategori: cerita
tentang kehidupan sehari-hari, pekerjaan, praktik sosial budaya, dan pengalaman
remaja. Empat faktor, yaitu pendidikan, sastra Melayu, fungsi sosial, patriotisme,
dan fungsi estetis, semuanya berperan dalam iko-role iko's dalam membina
masyarakat Bajo. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama
23
mengkaji nyanyian iko-iko Suku Bajo dengan pendekatan kualitatif.Selain itu,
terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis pemaknaan siswa terhadap tradisi lisan iko-iko
serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran IPS, sedangkan penelitian
sebelumnya bertujuan untuk mengkaji jenis-jenis iko-iko serta fungsinya.
Rizal Mahsyar (2018) menjelaskan bahwa iko-iko suku Bajo Banggai
Kepulauan menyanyikan simbol dalam musik tradisional mereka. Lebih mudah
pada tahap refleksi untuk mengkaji makna simbol-simbol dalam teks lagu iko-iko
etnik Kepulauan Bajo Banggai berdasarkan beberapa bentuk makna, seperti
makna gramatikal, makna kiasan, dan makna konotatif relatif. Berdasarkan
penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama mengkaji nyanyian iko-iko
Suku Bajo.Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya yakni lokasi penelitian dan penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pemaknaan siswa terhadap tradisi lisan iko-iko serta integrasinya ke
dalam sumber pembelajaran IPS, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan
untuk menganalisis jenis-jenis makna yang ada pada nyanyian iko-iko yakni
makna gramatikal, makna kiasan dan makna konotatif.
Uniawati (2010) menjelaskan bahwa pemahaman yang utuh akan makna
teks-teks di dalamnya bermula dari interpretasi masyarakat Bajo terhadap lirik
bue-bue sebagai lagu pengantar tidur anak-anak. Berdasarkan penelitian
terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
Persamaan tersebut meliputi, sama-sama mengkaji nyanyian rakyat Suku Bajo.
Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
yakni lokasi penelitian dan penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pemaknaan siswa terhadap tradisi lisan iko-iko serta integrasinya ke dalam sumber
pembelajaran IPS, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk menganalisis
makna yang ada pada nyanyian bue-bue serta eksistensi dari nyanyian tersebut di
lingkungan masyarakat.
24
Tidak hanya penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Suku Bajo dan
tradisi lisan yang mereka miliki. Terdapat pula penelitian-penelitian yang relevan
berkaitan dengan kearifan lokal dalam hal ini tradisi lisan yang dapat dijadikan
sebagai sumber belajar seperti penelitian yang dilakukan oleh Een Syaputra
(2020) menjelaskan bahwa dalam rangka mengembangkan materi pembelajaran
Pendidikan IPS yang bermakna, tradisi lisan yang syarat akan nilai-nilai
merupakan salah satu pilihan yang dapat digunakan. Berbagai jenis tradisi lisan
yang ada, semuanya sangat mungkin untuk dijadikan sebagai bahan
pengayaan materi pembelajaran Pendidikan IPS. Akan tetapi, dari beberapa jenis
tradisi lisan yang ada, terdapat empat tradisi lisan yang paling mempunyai
relevansi dengan pendidikan IPS, yakni ungkapan tradisional, puisi rakyat, cerita
prosa rakyat dan nyanyian rakyat. Terkait dengan pemanfaatan tradisi lisan
sebagai materi ajar pendidikan IPS, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni:
1) relevansinya dengan kurikulum pendidikan IPS, terutama Kompetensi Dasar;
2) kaya akan muatan nilai; dan 3) dekat dengan lingkungan peserta didik. Selain
itu, pemanfaatan tradisi lisan sebagai materi ajar IPS dapat dilakukan melalui
tiga tahap, yakni: 1) analisis; 2) desain dan pengembangan; dan 3) implementasi.
Sitti Maryam (2020) menjelaskan bahwa penerapan tradisi lisan dalam
pembelajaran IPS dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa dan dapat
mengembangkan karakter positif siswa di kelas VIII B SMPN 5 Kendari. Aktifitas
belajar siswa dapat ditingkatkan melalui penggunaan tradisi lisan dalam pembelajaran,
yakni pada siklus I persentase aktivitas belajar siswa sebesar 58,82% kemudian
meningkat menjadi 66,40% pada siklus II dan mengalami peningkatan yang cukup
signifikan pada siklus III yakni sebesar 86,74%. Penggunaan tradisi lisan
dalam pembelajaran IPS Terpadu dapat meningkatkan karakter positif siswa kelas
VIII B di SMP Negeri 5 Kendari. Hal ini terlihat dari pelaksanaan tindakan sebanyak
tiga siklus dan terlihat peningkatan persentase yang cukup signifikan yang mana
pada pelaksanaan tindakan siklus I, siklus II, dan Siklus III terlihat bahwa selalu terjadi
perbaikan dan peningkatan terhadap 5 sikap yang diamati yakni disiplin, jujur,
tanggung jawab, peduli, dan santun untuk dikembangkan pada penelitian ini, secara
keseluruhan mengalami peningkatan.
25
Monalisa Rahman (2020) menjelaskan bahwa Sastra lisan Banjar tumbuh
dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya.
Sastra lisan Banjar dapat berbentuk pertunjukkan dan bukan pertunjukkan. Sastra
lisan Banjar yang berbentuk pertunjukan berupa madihin, lamut, bapandung,
dan mamanda. Sastra daerah Banjar yang berupa pertunjukkan ini telah sekian
lama menjadi sarana hiburan dan juga penanaman moral dan tingkah laku bagi
masyarakat Banjar itu sendiri. Lamut adalah seni tutur khas masyarakat Banjar,
Kalimantan Selatan. Kesenian lamut merupakan teater tutur tunggal dan hanya
diiringi oleh satu alat musik yang bernama tarbang lamut. Orang yang
membawakan lamut (pelamutan) biasanya hanya menurunkan keahliannya
membawakan lamut kepada keturunannya saja. Lamut dapat dipergelarkan dalam
berbagai kegiatan seperti hajatan, nazar, maupun sebagai hiburan. Pertunjukkan
atau pergelaran lamut selalu dibantu oleh sebuah alat musik tradisional yang
bernama tarbang lamut.
Sri Utami, Wahyu Widayati, dan Victor Marolitua L Tobing (2022)
sebagai suatu kearifan lokal tradisi lisan kejhung mengandung nilai- nilai budaya
yang tinggi. Nilai budaya itu adalah nilai keagamaan, nilai pendidikan, nilai
pengetahuan, nilai sosial, dan nilai gotong royong. Nilai-nilai itu sangat
bermanfaat dalam pembuntakan karakter siswa. Dengan demikian tradisi lisan
kejhung dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendidikan dalam penguatan profil
pelajar Pancasila karena banyak mengandung nilai-nilai agama, tata krama,
gotong royong, solidaritas. Nilai dan norma ini dapat dijadikan sebagai sumber
pendidikan karakter di sekolah agar peserta didik berkarakter lebih baik lagi
2.2.Kerangka Teoritis
2.2.1. Teori Hermeneutika Hans Georg Gadamer
Dalam kajian ini, sebuah tradisi lisan diberi makna dengan menggunakan
filosofi hermeneutika Hans Georg Gadamer. Hermeneutika mendapatkan
namanya secara etimologis dari kata kerja Yunani hermeneutin, yang berarti
menafsirkan kata benda. Teori atau filosofi penafsiran makna dan pemahaman
teks dikenal sebagai hermeneutika (Palmer, 2005). Membuat sesuatu yang kabur
26
menjadi sesuatu yang jelas dan dipahami adalah tujuan dari interpretasi makna
(Anshari, 2009).
Menurut Gadamer, fenomena tradisi lisan merupakan bagian dari sejarah
dan harus dikaji melalui hermeneutika. Menurut hermeneutika Gadamer, masa
lalu bukanlah kumpulan fakta yang dapat ditransformasikan menjadi objek-objek
sadar, melainkan sebuah aliran yang kita lalui dan ambil bagian dalam semua
tindakan pemahaman. Tradisi dengan demikian bukanlah sesuatu yang menentang
kita, melainkan sesuatu yang kita jalani dan akan terus kita lakukan selama kita
ada. Dalam alegori yang terkenal, ia sangat transparan sebagai mediasi yang
tampak tidak terlihat oleh kita, seperti air yang tampak tidak terlihat oleh ikan
(Palmer, 2005: 176-177).
Sementara pemahaman baru bertujuan untuk mempertahankan
pemahamannya, tradisi berfungsi sebagai landasan pengetahuan dan dapat
menginspirasi pemahaman baru (Gadamer, 1986; Sunarto: 2011). Gadamer
sependapat dengan pandangan Heidegger yang berpendapat bahwa bahasa adalah
reservoir dan sarana transmisi tradisi, untuk melihat suatu tradisi. Bahasa adalah
kendaraan bagi tradisi dan tempat di mana ia terselubung. Linguistikisasi
keberadaan dan ontologinya menjadi keberadaannya dan berfungsi sebagai
saluran kesejarahannya karena bahasa dan sejarah saling terkait dan menyatu.
Wujud adalah peristiwa bahasa yang terjadi dalam sejarah dan dibentuk oleh
dinamika kesejarahan (Palmer, 2005).
Bagi Gadamer, keseluruhan interpretasi ada dalam kebenaran spekulatif,
hermeneutika harus melihat keseluruhan keyakinan dogmatis dalam makna yang
tidak terbatas dalam dirinya sendiri. Tafsir teks merupakan produksi segar dalam
mengetahui yang dialektis dengan teks (Palmer, 2005). Menurut Gadamer
(Bertens, 2002), prasangka tidak dapat dihindari saat membaca buku. Namun, ini
tidak menyiratkan bahwa interpretasi adalah aktivitas yang murni subjektif dan
tidak kritis. Untuk membedakan antara prasangka yang sah dan tidak sah,
pertama-tama kita harus mendefinisikan apa yang dimaksud dengan prasangka
asli. Gadamer berpendapat bahwa meskipun kita menerima legitimasi sebuah
tradisi dan bahkan bergabung dengannya, ini tidak akan menghalangi kita untuk
27
memahami sebuah kitab. Tradisi, bagaimanapun, akan sangat membantu kita
dalam pencarian pemahaman kita (Bertens, 2002). Gadamer menegaskan bahwa
jurang waktu dan jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin
disatukan. Menurutnya, yang terpenting adalah dialektika atau dialog yang
produktif antara masa lalu dan masa kini.
Pentingnya pemikiran Gadamer bagi penelitian tradisi lisan untuk sumber
belajar IPS. Pemahaman Gadamer yang meleburnya latar belakang penafsir
(peneliti) dalam dunia makna akan berdampak pada pluralitas penafsiran dalam
tradisi lisan. Peneliti seharusnya tidak hanya terpaku pada satu teori ketika
memahami suatu topik atau teks dalam tradisi yang muncul di masyarakat karena
sikap Gadamer yang tidak memvalidasi interpretasi sebagai sesuatu yang benar.
Gadamer berpendapat bahwa setiap interpretasi dipengaruhi oleh keadaan
penafsir, yang mengarah ke berbagai interpretasi dan pemahaman tentang sebuah
buku. Gadamer menegaskan bahwa proses memahami dan membaca teks yang
tidak pernah berhenti akan berpengaruh pada pembaharuan pengetahuan yang
terus menerus. Pemahaman ini akan mempengaruhi ide pendidikan untuk
perubahan. Karena tujuan pendidikan adalah kemajuan bukan mempertahankan
status quo di segala bidang.
28
Teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger dipakai untuk menganalisis bentuk
penanaman tradisi iko-iko di dalam lingkungan keluarga pada kelompok
masyarakat Bajo. Bagi Berger, tidak ada seorang pun yang kebal terhadap proses
sosial atau proses internalisasi yang mengarahkan manusia untuk mencari
identitas dalam suatu sistem sosial. Menurut Berger, ada hubungan melingkar
antara masyarakat dan pribadi karena interaksi antara individu dan masyarakat
sangat bergantung secara budaya. Berger mengenal adanya proses dialektika,
yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, ketika menelaah perputaran
orang dan masyarakat yang mengakui bahwa akan selalu ada perubahan dalam
sejarah dan gerakan filsafat. Melalui proses tersebut akan muncul masyarakat
dengan berbagai jenis dan model (Sukidin, 2015).
Gejala sosial ini hadir dalam pengalaman sosial yang sedang berlangsung
dan telah terinternalisasi dalam semua aspek kehidupan sosial (kognitif,
psikomotorik, emosional dan intuitif). Dengan kata lain, realitas sosial tersirat
dalam interaksi antarpribadi dan termanifestasi secara sosial dalam berbagai
perilaku sosial termasuk mengekspresikan diri melalui bahasa dan bekerja sama
melalui struktur sosial yang berbeda. Pengalaman intersubjektif adalah tempat
bentuk realitas sosial ini dapat ditemukan. Istilah "intersubjektif" mengacu pada
cara-cara di mana komponen kesadaran individu dalam kelompok tertentu
berintegrasi dan berinteraksi satu sama lain.
29
iko-iko sebagai media dan sumber belajar baik pada lingkungan masyarakat
maupun di kelas.
30
Eksistensi Tradisi Lisan Iko-Iko
masyarakat Bajo yang tergerus
Penanaman Nilai-Nilai
Pemaknaan Siswa
Tradisi Iko-Iko dalam
terhadap Tradisi Iko-Iko
Lingkungan Keluarga
Pengintegrasian Tradisi
Lisan Iko-Iko Sebagai
Sumber Belajar IPS
Nilai Religius
Materi Pembelajaran Nilai Sosial Budaya Media Pembelajaran
IPS (KI & KD) Nilai Kiasan (Sastra) IPS (Audio/Video)
Nilai Kepahlawanan
31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.Pendekatan Penelitian
32
3.3.Fokus Penelitian
33
3.4. Data dan Sumber Penelitian
1. Data Primer
34
2. Wawancara
35
2. Penyajian Data
Setelah data reduksi,maka langkah selanjutnya mendisplaykan data.
Dalam penelitian kualitatif biasanya penyajian data mengunakan teks yang
bersifat naratif.
3. Verifikasi Data
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif yaitu penarikan kesimpulan
dan verifikasi. Kesimpulan awal yang di kemukakan masih bersifat sementara,
dan akan berubah apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan yang di kemukakan pada tahap awal, di dukung oleh bukti-bukti
yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data,
maka kesimpulan yang di kemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
3.7. Uji Keabsahan Data
Pemeriksaan terhadap keabsahan data merupakan salah satu bagian yang
sangat penting di dalam penelitian kualitatif yaitu untuk mengetahui derajat
kepercayaan dan hasil penelitian yang telah dilakukan. Untuk memeriksa
keabsahan data dalam penelitian ini digunakan triangulasi.Triangulasi dalam
pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai cara,
dan berbagai waktu.
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
2. Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
3. Triangulasi Waktu
Waktu yang sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan
dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar,
belum banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih
kredibel.
36
DAFTAR PUSTAKA
Ali, I. (2010). Pembudayaan Lepa dan Sambulayang dalam Kalangan Suku Kaum
Bajau di Semporna , Sabah , Malaysia : Satu Penelitian Semula. 3(2071),
193–208.
Amat, A., & Samad, L. A. (2013). Bajau ’ s Tekodon : A Preliminary Study. 3(7),
445–459. https://doi.org/10.5901/jesr.2013.v3n7p445
Ancung, V. M., Sutisna, S., Teknik, F., Tarumanagara, U., Teknik, F.,
Tarumanagara, U., Berhuni, P., Lautan, S. P., & Bajau, S. (2021). POLA
Pemukiman Masa Depan Masyarakat Pengembara Laut , Suku Bajau. 3(1),
261–272. https://doi.org/10.24912/stupa.v3i1.10759
Andalas, E. F. (2021). Ekologi Budaya Suku Bajau dalam Novel Mata dan
Manusia Laut Karya Okky Madasari. 6(1), 15–30.
Bahasa, L. (2012). Situasi, Peristiwa dan Lakuan Bahasa dalam Kalang Sama.
Akademika, 82(1), 3–14.
Baskara, B. (2011). Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo Dalam Naskah
Lontarak Assalenna Bajo. 1(1), 15–27.
Belud, K., Nomis, S., & Mahali, H. (1999). Mantera:Satu penelitian Awal di
kalangan Petani Bajau. Jumal Kinabalu V(1999) 51-82, 51–82.
Identity, T. (2003). The Identity and Social Mobility of Sama-Bajau. 21, 3–11.
Ilardo, M. A., Moltke, I., Korneliussen, T. S., Cheng, J., Stern, A. J., Racimo, F.,
de Barros Damgaard, P., Sikora, M., Seguin-Orlando, A., Rasmussen, S., van
den Munckhof, I. C. L., ter Horst, R., Joosten, L. A. B., Netea, M. G.,
Salingkat, S., Nielsen, R., & Willerslev, E. (2018). Physiological and Genetic
Adaptations to Diving in Sea Nomads. Cell, 173(3), 569-580.e15.
https://doi.org/10.1016/j.cell.2018.03.054
37
Ismail, I. E. (2015). Spatial Arrangement of Coastal Sama-Bajau Houses Based
on Adjacency Diagram Spatial Arrangement of Coastal Sama-Bajau Houses
Based on Adjacency Diagram. November.
https://doi.org/10.11113/ijbes.v2.n4.96
Ismail, I. E., Sani, A., Ahmad, H., & Ibrahim, I. (2015). Influences of Regional
Sama-Bajau Coastal Dwellings : Social Perspectives through Identity
Molding. 1(2). https://doi.org/10.18178/ijch.2015.1.2.022
Kajian Malaysia, Jld. XXV, No. 1, Jun 2007 Bogoo: (2007). 1.
Muslim, A., Islam, U., & Alauddin, N. (2020). Iko-Iko Siala Tangang ( Tracing
Moderatism of Religious Concept From the Oral Traditions of Bajau ) Iko-
Iko Siala Tangang (Tracing Moderatism of Religious Concept From the Oral
Traditions of Bajau). July. https://doi.org/10.4108/eai.8-10-2019.2294520
Nachrawie, M. (n.d.). No Title. 182–208.
Nisah, N., Prasetya, K. H., Musdolifah, A., Balikpapan, U., Balikpapan, U.,
Balikpapan, U., & Bahasa, P. (2020). Pemertahanan bahasa daerah suku
bajau samma di kelurahan jenebora kecamatan penajam kabupaten penajam
paser utara. 3(1), 51–65.
Nuraini, C. (2016). The intangible legacy of the Indonesian Bajo. Wacana, 17(1),
1–18. https://doi.org/10.17510/wacana.v17i1.427
Orientasi Percakapan Suku Melayu Bajau Kuala Tunggkal Jambi: Suatu Kajian
Antropol1nguistik H. Yundi Fitrah. (n.d.). 14(27).
Pariwisata, d. a. n., Media, S., Sumber, d. a. n., Ips, P., & Sd, D. I. (2018). Dwija
cendekia. 2(1), 43–51.
Pembelajaran, D., Untuk, S., & Karater, P. (n.d.). 279 | Seminar Nasional Sejarah
ke 4 Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang. 279–296.
39