Anda di halaman 1dari 43

TRADISI LISAN IKO-IKO SUKU BAJO SEBAGAI SUMBER BELAJAR

IPS TINGKAT SMP DI KABUPATEN KONAWE

PROPOSAL TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Pendidikan

OLEH
GUNAWIR
NIM. 0301520017

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN IPS


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Proposal tesis dengan judul “Tradisi Lisan Iko-Iko Suku Bajo sebagai
Sumber Belajar IPS tingkat SMP di Kabupaten Konawe” karya,

Nama : Gunawir
NIM : 0301520017
Program Studi : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, S2
telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan proposal tesis.

Semarang, Juni 2023

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Wasino, M.Hum Dr.scient.med. Fadly Husain, S.Sos., M.Si


NIP. 196408051989011001 NIP. 197701312008121001

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................ i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
1.2.Identifikasi Masalah.................................................................... 3
1.3.Cakupan Masalah ....................................................................... 4
1.4.Rumusan Masalah....................................................................... 4
1.5.Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
1.6.Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
1. Manfaat Teoritis .................................................................. 5
2. Manfaat Praktis .................................................................... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS, KERANGKA


BERPIKIR
2.1.Kajian Pustaka ............................................................................ 7
2.1.1 Tradisi Lisan ................................................................. 7
2.1.2. Suku Bajo Sulawesi ...................................................... 10
2.1.3. Sumber Belajar IPS ....................................................... 15
2.1.4. Penelitian Terdahulu ..................................................... 17
2.2. Kerangka Teoritis ..................................................................... 26
2.3. Kerangka Berpikir .................................................................... 29

BAB III METODE PENELITIAN


3.1.Pendekatan Penelitian ............................................................... 32
3.2.Desain Penelitian ...................................................................... 32
3.3.Fokus Penelitian ....................................................................... 33
3.4.Data dan Sumber Penelitian ...................................................... 34
3.5.Teknik Pengumpulan Data........................................................ 34
3.6.Teknik Analisis Data ................................................................ 35

iii
3.7.Uji Keabsahan Data .................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 37
INSTRUMEN PENELITIAN ..................................................................... 40

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Tradisi lisan suku Bajo banyak sekali dan sudah mendarah daging dalam
budaya. Tradisi lisan yang berkembang dalam budaya Bajo antara lain puisi,
pantun, dongeng, aturan adat, mitos, dan legenda. Suku Bajo yang umumnya
mendiami wilayah pesisir memiliki hukum adat yang mengatur kehidupan sehari-
hari. Praktik budaya tradisional yang dikenal sebagai tradisi lisan diwariskan oleh
media lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan dapat
berbentuk kata-kata verbal (verbal) atau tradisi lisan non-verbal (non-verbal).
(Sibarani, 2012).
Tradisi lisan merupakan manifestasi dari masyarakat tradisional yang pada
saat itu tidak menghargai tulisan. Tradisi bercocok tanam, berpuisi, dan bersajak
yang dilakukan oleh penduduk pedalaman pada hakikatnya identik dengan yang
dilakukan oleh mereka yang tinggal di daerah pesisir. Tradisi lisan yang
berkembang di suatu tempat meliputi asal-usul komunal, identitas, sistem religi,
adat istiadat, sejarah, hukum, kedokteran, kecantikan, dan pengetahuan ekologi
dan lingkungan setempat. Masyarakat menyesuaikan penggunaan tradisi lisan
dengan keadaan setempat. Tradisi lisan dipahami sebagai perilaku atau ritual yang
muncul dalam suatu masyarakat dan dilestarikan serta diwariskan secara lisan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan meliputi praktik, kejadian
sejarah, dan nilai budaya serta keagamaan (Hafid, 2015).
Banyak prinsip hidup yang baik dapat ditemukan dalam tradisi lisan iko-
iko, yang merupakan semacam warisan budaya dari nenek moyang suku Bajo.
Warisan lisan para ikos yang pernah menjadi ciri dan identitas suku Bajo itu
lambat laun mulai hilang dari ingatan. Sangat disayangkan jika warisan leluhur
harus lenyap begitu saja hanya karena orang tua dan sesepuh masyarakat gagal
mewariskan prinsip-prinsip luhur tradisi Suku Bajo kepada generasi sekarang.
Selain berbicara Bajo, orang Bajo bangga dan setia pada bahasa dan budaya
mereka. Mereka juga terus melestarikan bahasa dan sastra Melayu. Namun

1
budaya dan bahasa Bajo tidak diajarkan di sekolah..
Jumlah penutur tradisi lisan yang merupakan satu-satunya cara untuk
melestarikan budayanya semakin menipis. Tidak mungkin membedakan antara
tuturan lisan tradisi iko-iko dengan cerita yang dikandungnya tentang kehidupan
sosial masyarakat Bajo, termasuk isu-isu sosial terkini. Pertumbuhan iko-iko
melambat dan mungkin terancam punah dari tahun ke tahun. Penutur ikos yang
masih hidup saat ini jumlahnya sangat sedikit, termasuk di Sulawesi Tenggara.
Oleh karena itu, jika ketentuan ini diterima, tradisi lisan iko iko yang dibanggakan
masyarakat Bajo akan hilang. (Hafid, 2012).
Dalam konteks globalisasi dimana generasi muda dengan mudahnya
menyerap budaya luar seperti saat ini, maka perlu dipikirkan dalam membuat
strategi yang solutif untuk melestarikan tradisi lisan iko-iko kepada generasi muda
sebagai pewaris kebudayaan Suku Bajo. Hafid (2012) menjelaskan bahwa untuk
menjaga hubungan antara masyarakat dan nilai-nilai tradisionalnya, setidaknya
ada tiga langkah yang harus dilakukan. Pertama, memilah prinsip-prinsip moral
yang tepat untuk mengatasi kesulitan yang terkait dengan budaya asli Bajo adalah
bagian dari upaya ini. Kedua, redefinisi mengacu pada upaya menempatkan teks
(nilai-nilai tradisional) dalam konteks masyarakat masa kini, yaitu masyarakat
Bajo yang berpikir ke depan dan bukan hanya masyarakat Bajo yang
mementingkan nilai-nilai tradisional tanpa didorong untuk mempertimbangkan
nilai-nilai masa depan. Ketiga, revitalisasi sebagai upaya yang disengaja,
berkelanjutan, dan diinginkan untuk membangkitkan segala bentuk kreativitas
dalam kehidupan sehari-hari untuk menghadapi berbagai kendala, bukan sekadar
memastikan bahwa pemiliknya memahami nilai-nilai budaya.
Tradisi lisan iko-iko merupakan salah satu potensi budaya suku Bajo di
Kabupaten Konawe khususnya di Desa Bokori yang belum dimanfaatkan dalam
pembelajaran di sekolah. Kesulitan guru dalam mengembangkan materi
dikarenakan mereka selama ini hanya membaca buku yang berorientasi pada
permasalahan dan fenomena yang bersifat nasional. Guru belum melihat kearifan
budaya lokal dalam hal ini budaya daerah setempat, khususnya yang berkaitan
dengan tradisi lisan, dalam hal ini warisan lisan iko-iko. Pengetahuan yang

2
dimiliki siswa tentang budaya lokal mereka sendiri tidak banyak terpengaruh oleh
hal ini. Karena tradisi lisan iko-iko sedang dihancurkan oleh globalisasi dan
modernitas, ketidaktahuan siswa terhadap budaya lokal mereka sendiri, khususnya
tradisi lisan iko-iko, menimbulkan risiko besar. mengakibatkan hilangnya identitas
budaya masyarakat Bajo sebagai suku bangsa dengan warisan tradisi yang kuat.
Melihat fakta yang berkembang di masyarakat, maka peneliti sangat
tertarik untuk menjadikan tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo sebagai sumber
belajar IPS dalam upaya pengurangan risiko semakin punahnya tradisi lisan iko-
iko akibat dari globalisasi. Penelitian tentang pelestarian tradisi lisan iko-iko Suku
Bajo belum ada yang memanfaatkan sebagai sumber belajar IPS, padahal tradisi
lisan iko-iko menjadi sangat penting untuk dilestarikan bagi generasi muda
khususnya pada peserta didik dengan cara diintegrasikan ke dalam pembelajaran
IPS baik di sekolah formal maupun di lingkungan masyarakat. Belum ada
penelitian yang menggunakan penelitian tradisi lisan sebagai sumber
pembelajaran untuk pelestarian budaya lokal, meskipun ada penelitian tentang
tradisi lisan dan kearifan lokal yang hanya membahas aspek lingkungan.
Sebaliknya, penelitian tentang tradisi lisan di Indonesia cenderung terfokus pada
tradisi lisan sebagai ilmu. Pada lembaga formal salah satunya pada jenjang
sekolah menengah pertama, pendidikan tradisi lisan sebagai budaya lokal dapat
dimasukkan sebagai sarana pembelajaran.

1.2.Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di identifikasikan masalah terkait dengan
tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo sebagai sumber belajarIPS sebagai berikut:

1. Generasi muda suku Bajo khususnya pelajar memiliki tingkat kepedulian yang
sangat minim terhadap tradisi budayanya.

2. Pengenalan dan penanaman nilai-nilai tradisi iko-iko di dalam lingkungan


keluarga yang semakin berkurang.

3. Banyak nilai-nilai dan pesan moral yang terkandung dalam tradisi lisan iko- iko
yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3
4. Belum adanya pemanfaatan tradisi lisan iko-iko yang berkembang di
masyarakat Bajo sebagai media dan sumber belajar IPS di lingkungan
masyarakat.

5. Belum adanya pengintegrasian tradisi lisan iko-iko dan nilai-nilai yang


terkandung didalamnya ke dalam muatan materi pembelajaran IPS dengan
mengaitkan Kompetensi Dasar di sekolah.

1.3. Cakupan Masalah


Eksistensi tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo yang sudah punah
merupakan fenomena budaya yang bisa diambil strategi dan langkah solutif dalam
memperkuat kembali tradisi lisan tersebut sebagai bentuk penguatan identitas
Suku Bajo. Cakupan masalah dalam penelitian ini meliputi; 1) tradisi lisan yang
berkembang dalam masyarakat; 2) nilai tradisi lisan; 3) penguatan kembali budaya
lokal suku Bajo.

1.4.Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo
sebagai sumber belajar IPS adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo di Kabupaten


Konawe?

2. Bagaimana pemaknaan siswa terhadap tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo di


Kabupaten Konawe?

3. Bagaimana bentuk penanaman tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo dalam


lingkungan keluarga di Kabupaten Konawe?

4. Bagaimana potensi tradisi lisan iko-iko dan nilai-nilainya sebagai sumber


belajar IPS di tingkat SMP?

1.5. Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian tradisi lisan iko-iko masyarakat sebagai sumber
belajar IPS adalah sebagai berikut:
4
1. Mendeskripsikan bentuk tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo di Kabupaten
Konawe.

2. Menganalisis dan mendeskripsikan pemaknaan siswa terhadap tradisi lisan iko-


iko masyarakat Bajo di Kabupaten Konawe.

3. Menganalisis dan mendeskripsikan bentuk penanaman tradisi lisan iko-iko


masyarakat Bajo dalam lingkungan keluarga di Kabupaten Konawe.

4. Menganalisis dan mendeskripsikan keterkaitan potensi tradisi lisan iko-iko dan


nilai-nilainya sebagai sumber belajar IPS di Tingkat SMP.

1.6. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat
sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat menghasilkan sebuah sintesis
mengenai pelestarian tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo di tengah arus
globalisasi melalui pengintegrasian nilai-nilai tradisi ke dalam sumber belajar
IPS. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan sumber pengembangan
konsep pendidikan terhadap budaya lokal untuk kesiapsiagaan masyarakat
dalam menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang semakin pesat.

2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi:
a. Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe
Pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan dapat memanfaatkan
sintesis penelitian ini dalam bentuk merekomendasikannya sebagai sumber
belajar pada sekolah sekolah di Kabupaten Konawe khususnya pada daerah
pemukiman masyarakat Bajo.

5
b. MGMP IPS Kabupaten Konawe

MGMP dapat menerapkan konsep pembelajaran dengan tradisi lisan


iko-iko sebagai media dan sumber pembelajaran untuk penguatan kembali
identitas budaya masyarakat Bajo yang hampir punah sebagai salah satu
budaya lokal yang ada di Sulawesi Tenggara.

c. Komunitas Budaya
Komunitas budaya bisa melakukan pendidikan pelestarian tradisi lisan
iko-iko masyarakat Bajo sebagai bentuk penguatan kembali budaya
masyarakat Bajo melalui pagelaran festival dan pentas seni yang diadakan
secara rutin..

d. Organisasi Kepemudaan dan LSM


Organisasi Kepemudaan dan LSM untuk memanfaatkan konsep
tradisi lisan sebagai upaya menyadarkan masyarakat tentang perlunya
melestarikan tradisi budaya lokal agar tidak terkikis oleh budaya asing yang
justru kini banyak digemari oleh generasi muda khususnya para pelajar

6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR

2.1.Kajian Pustaka
2.1.1. Tradisi Lisan
Berbagai macam pengetahuan dan tradisi diwariskan secara lisan kepada
kelompok masyarakat tertentu. Tindakan transmisi tradisi melalui media lisan
menginformasikan konsep "lisan" dalam tradisi lisan. Tradisi lisan terkait dengan
realitas awal mula suatu tempat, keberadaan dan penampilan tokoh, cerita hiburan
yang epik, dan lain-lain (Irwanto, 2012). Penutur, narasumber yang merupakan
pemilik tradisi lisan yang dikaji, termasuk pemilik atau pendukung terkait,
merupakan sumber primer yang digunakan dalam kajian tradisi lisan.
Tradisi lisan adalah kebiasaan dan praktik yang telah diwariskan secara
lisan melalui suatu peradaban. Transmisi tradisi lisan melalui bahasa, baik yang
diucapkan maupun yang tidak diucapkan (Sibarani, 2012). Sebelum tulisan
ditemukan, budaya tradisional diekspresikan melalui tradisi lisan (pra aksara).
Tradisi lisan berupa cerita rakyat, puisi, pantun, mitologi, dan legenda sangat
dikenal masyarakat Indonesia. Identitas, sistem religi dan kepercayaan, adat
istiadat, sejarah, hukum, kedokteran, kecantikan, kreativitas, akar komunitas, serta
pengetahuan ekologi dan lingkungan lokal semuanya terkandung dalam tradisi
lisan. Tulisan tentang sejarah lokal dapat mengambil makna dan isi dari tradisi
lisan. (Irwanto, 2012).
Cerita rakyat mengandung unsur tradisi lisan. Cerita rakyat dipecah
menjadi tiga kategori berdasarkan jenisnya: cerita rakyat lisan, cerita rakyat
sebagian lisan, dan cerita rakyat non-verbal. Tradisi lisan dan cerita rakyat lisan
adalah hal yang sama (Danandjaja, 1998). Cerita rakyat dengan komponen lisan
yang signifikan menggabungkan komponen lisan dan nonverbal dalam bentuknya.
Di antara ragam (genre) cerita rakyat lisan adalah: 1) ragam tuturan rakyat yang
luas, termasuk logat daerah, moniker, dan jurus tradisional; 2) ungkapan
tradisional, seperti peribahasa dan teka-teki; 3) pertanyaan tradisional; dan 4)
puisi rakyat, seperti sajak dan puisi; 5) Folklore, yang meliputi dongeng, mitos,
dan legenda (Sudikan2013).

7
Salah satu aspek tradisi lisan adalah sastra lisan, yang lain adalah
teknologi tradisional, yang ketiga adalah pengetahuan masyarakat di luar pusat
penguasa, yang keempat adalah unsur-unsur agama dan kepercayaan di luar
agama-agama besar, yang kelima adalah kesenian rakyat di luar kraton, dan yang
keenam. adalah hukum adat (Hutomo, 1991). Menurutnya, cakupan tradisi lisan
meliputi (1) sistem sejarah keluarga, (2) kosmologi dan kosmogoni, (3) sejarah,
(4) filsafat, etika, dan moralitas, (5) sistem pengetahuan lokal, dan (6) bahasa. dan
tradisi sastra (Sedyawati, 1996).
Secara umum, tradisi lisan yang muncul dalam suatu masyarakat
memiliki sifat dan tujuan yang unik. Tradisi lisan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: merupakan kegiatan budaya lisan; ia memiliki kegiatan untuk
penggunaannya; itu tradisional; itu diturunkan dari generasi ke generasi; itu
memiliki banyak versi; itu adalah milik kolektif komunitas; dan memiliki potensi
untuk dihidupkan kembali dan ditetapkan sebagai sumber budaya
industri. (Sibarani, 2012).
Menurut Bascom, cerita rakyat termasuk tradisi lisan memiliki beberapa
tujuan, antara lain 1) mencerminkan impian kolektif, 2) memvalidasi institusi dan
institusi budaya, 3) berfungsi sebagai alat pengajaran (perangkat pedagogis), dan
4) bertindak sebagai bentuk. pemaksaan untuk memastikan bahwa anggota
masyarakat menjunjung tinggi norma-normanya. Secara khusus, tradisi lisan
memiliki tujuan keagamaan maupun yang berkaitan dengan hiburan, pendidikan,
sejarah, kemasyarakatan dan kebersamaan, kontrol sosial, dan kritik sosial
(Mantra, 2014).
Pentingnya tradisi lisan sebagai kekayaan budaya tak berwujud
(intangible cultural property/ICH) telah dibuktikan dan diakui oleh UNESCO.
Oleh karena itu, harus dipertahankan dan dilanjutkan, sesuai dengan kesepakatan
tahun 2003. Pada Juli 2007, Perpres No. 78 mengesahkan tradisi lisan pemerintah
Indonesia (Kunaefi, 2015). Pelestarian ekosistem mendapat manfaat dari tradisi
lisan. Suatu wilayah dapat dilindungi dari kehancuran manusia dengan
kesuciannya sebagaimana tercermin dalam mitos-mitosnya. Mitos-mitos yang

8
muncul di masyarakat mungkin akan membangkitkan kesadaran akan suatu
wilayah yang perlu dijaga agar dapat bertahan hidup.
Tradisi lisan yang muncul dalam suatu budaya memiliki keterkaitan nilai,
konsep, konvensi, dan kepercayaan. Standar moral yang muncul dalam tradisi
lisan merupakan cerminan dari kondisi masyarakat. Menurut Bertens, nilai
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) berkaitan dengan subjek; jika tidak, tidak
akan ada nilainya; 2) muncul dalam konteks praktis; misalnya, saat subjek ingin
membuat sesuatu; dan 3) berkaitan dengan sifat-sifat yang “ditambahkan” oleh
subjek terhadap sifat atau sifat-sifat benda (Pudentia, 1999).
Di satu sisi, tradisi lisan dapat berfungsi sebagai wahana pengajaran, dan
di sisi lain dapat berfungsi sebagai gudang pengetahuan. Menggunakan cerita
rakyat sebagai alat pengajaran mengacu pada menggunakan cerita rakyat untuk
mencegah siswa belajar, menggunakan cerita rakyat sebagai sumber pengajaran
mengacu pada menggunakan informasi cerita rakyat untuk mengajar siswa. Dalam
premis dakwah cerita rakyat, tradisi lisan dapat digunakan sebagai alat
pengajaran. Cerita rakyat dipandang sebagai wahana atau pintu gerbang dakwah.
Cerita rakyat merupakan wahana yang sangat efektif untuk mengungkapkan
konsep dalam kehidupan sehari-hari. Cerita rakyat diposisikan sebagai alat, taktik,
atau mediator oleh teori propaganda. Cerita rakyat merupakan alat untuk
mencapai tujuan (Endraswara, 2013).
Folklor mengandung nilai budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber pendidikan. Nilai budaya yang terkandung dalam genre folklor merupakan
pesan-pesan sebagai sumber pengetahuan atau pendidikan bagi generasi penerus.
Pada hakikatnya genre-genre folklor merupakan bentuk ungkapan budaya yang
mengandung nilai-nilai yang dapat diteladani dan diinternalisasikan oleh generasi
penerus. Sistem nilai merupakan posisi sentral dari struktur budaya suatu
masyarakat. Sistem nilai merupakan fenomena dan problema dasar kehidupan
manusia. Nilai merupakan perangkat struktur dalam kehidupan manusia.
Tradisi lisan kadang-kadang dipandang sebagai sejarah lisan itu sendiri,
dan keberadaan tokoh-tokoh sejarah seringkali dibarengi dengan tokoh-tokoh
legendaris yang sulit dilacak kebenarannya. Tujuan sejarah lisan adalah untuk

9
menyajikan “kebenaran” sejarah sebagaimana yang sedang dialami oleh
pelakunya atau pihak lain yang terkait. Sejarah lisan dan tradisi lisan adalah istilah
yang dapat dipertukarkan saat ini. Tradisi lisan, menurut Jan Vansina, adalah
transmisi lisan kesaksian lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya atau lebih.
(Kuntowijoyo, 2003).
Tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan.
Tradisi lisan terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum
mengenal tulisan. Seperti dokumen dalam masyarakat yang sudah mengenal
tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau.
Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari tradisi lisan itu. Selain itu
tradisi lisan mengandung kejadian nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat,
cerita-cerita khayal, peribahasa, nyanyian, mantra.
Dua perspektif dapat digunakan untuk menganalisis tradisi lisan:
perspektif proses dan perspektif produk. Tradisi lisan merupakan hasil pesan yang
diwariskan melalui generasi lampau. Sedangkan sebagai prosedur, berupa
penyebaran informasi secara lisan dari mulut ke mulut dari waktu ke waktu
hingga informasi tersebut hilang. Jika seseorang menceritakan suatu peristiwa
secara lisan dan diwariskan secara lisan pula kepada individu lain, maka tradisi
lisan akan berkembang dan menyebar ke seluruh masyarakat. Tradisi lisan
berkembang sebagai hasil dari kesaksian peristiwa yang diulang-ulang
(Endraswara, 2005).
Tradisi lisan merupakan salah satu sumber sejarah karena dalam tradisi
lisan terekam masa lalu kehidupan manusia yang belum mengenal tulisan yang
berkaitan dengan kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, nilai atau pengalaman
sehari-hari (Erman, 2011). Sehingga rekonstruksi masa lalu dapat dilakukan
melalui sejarah lisan. Secara garis besar, data lisan dibedakan menjadi tiga bentuk,
yaitu: cerita yang dialami, cerita yang disaksikan, dan cerita yang diketahui.
2.1.2. Suku Bajo
2.1.2.1 Asal-Usul Suku Bajo
Selain sebagai negara kepulauan, Indonesia dipandang oleh dunia
internasional sebagai negara bahari. Sudut pandang ini didasarkan baik pada unsur

10
sejarah, seperti masa kejayaan kerajaan-kerajaan bahari yang pernah menguasai
Nusantara, maupun unsur kewilayahan, seperti kenyataan bahwa Indonesia
memiliki luas laut 5,8 juta km2, atau sekitar 70% dari luas wilayahnya. luas
keseluruhan. Hal ini menjadi salah satu penyebab sebagian besar penduduk
Indonesia bermukim di wilayah pesisir, bergantung pada air, dan mengembangkan
budaya bahari.
Hampir semua bangsa di dunia memiliki populasi yang beragam dalam hal
ras, agama, dan etnis, yang tercermin dalam keragaman budaya mereka. Suku
Bajo (Bajau) merupakan salah satu suku yang terkenal mendukung budaya bahari.
Bahkan suku Bajo disebut dengan berbagai julukan dalam karya sastra, antara lain
manusia perahu, gipsi laut, dan pengembara laut. Selat Makassar, Teluk Bone,
Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Banggai, Teluk Tomini, Maluku Utara, dan
Laut Sulawesi adalah beberapa lokasi di mana suku Bajo dapat ditemukan
(Suryanegara & Nahib, 2015).
Suku Bajo sangat bergantung pada laut sebagai sumber pendapatan utama
mereka. Setiap nelayan harus mematuhi sejumlah pantangan atau pantangan
tertentu dalam tata cara hidup Suku Bajo saat melaut. Perbuatan atau pantangan
yang dimaksud antara lain tidak diperbolehkan membuang benda ke laut, antara
lain arang kayu bekas masak, ampas kopi, air cabai, air jahe, kulit jeruk, dan abu
dapur serta rokok. Orang Bajo percaya bahwa melanggar tabu atau hukum ini
akan menghasilkan bencana yang akan berkurang drastis atau bahkan tidak ada
sama sekali (Artanto, 2017).
Kebiasaan intrinsik suku Bajo yang hidup nomaden (berpindah-pindah)
berdampak pada seberapa luas persebaran suku ini di seluruh dunia. Hal ini
terlihat, misalnya, dari sejumlah penemuan yang menunjukkan bahwa suku Bajo
telah meninggalkan jejaknya di tempat-tempat seperti Malaysia, Filipina, dan
Australia. Berdasarkan data sensus tahun 2000, populasi keseluruhan suku Bajo di
seluruh Asia Tenggara diperkirakan sekitar 1.077.020 orang, 570.857 di antaranya
tinggal di seluruh Filipina. Populasi Malaysia adalah 347.193 dan Indonesia
adalah 158.970 (Kazufumi,2013).

11
Satu-satunya suku yang bermukim dan sangat bergantung pada laut adalah
suku Bajo. Dibandingkan dengan suku lain, hal ini yang membedakan suku Bajo.
Akibatnya, orang Bajo sering disebut sebagai “orang laut”, “gipsi laut”, atau
“pengembara laut” (Suyuti, 2011). Akibat berbagai perubahan, kini banyak suku
Bajo yang menetap di daratan (Gamsir, 2014). Ada beberapa catatan berbeda
tentang awal mula suku Bajo, mulai dari mitologi sederhana hingga studi ilmiah
yang sebenarnya. Akibatnya, asal usul suku Bajo di Indonesia tidak jelas.
Basri (2014) melakukan wawancara terhadap key person di Kepulauan
Wakatobi bernama Bakri. Hasil wawancara menyatakan bahwa Suku Bajo berasal
dari Johor Malaysia. Menurut cerita rakyat, seorang putri Johor melarikan diri ke
Sulawesi untuk menikah dengan seorang pangeran Bugis. Sejumlah warga Johor
yang diutus mencari sang putri juga membuat rumahnya di daerah bernama Bajoe
di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Tome Pires, seorang pejabat
Portugis yang berada di Malaka pada tahun 1515, dan orang Bajo yang mendiami
Sulawesi Tenggara memberikan catatan lain tentang sejarah orang Bajo (Suyuti,
2011).
Tome Pires mengklaim bahwa orang Bajo yang akhirnya berubah menjadi
bajak laut berasal dari Makassar. Aksi suku tersebut selanjutnya adalah menyebar
ke beberapa pulau di Nusantara, antara lain Banda, Maluku, dan Jawa Utara.
Sedangkan suku Bajo di Sulawesi Tenggara mengaku berasal dari Desa Ussu di
Kecamatan Malili Sulawesi Selatan dan Kabupaten Luwu. Kata Bugis untuk
"bajo" adalah ta'bajo-bajo, yang artinya "dibayangi". Penduduk Bugis Desa Ussu
pernah samar-samar melihat atau membayangkan berkumpulnya orang-orang di
tengah laut (Nasruddin, 1998 dalam Suyuti, 2011).
Suku Bajo saat ini telah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Suku ini
tetap tinggal di wilayah pesisir meskipun tidak lagi di laut seperti dahulu kala. Di
Pulau Sumatra suku ini dapat ditemui di sekitar pesisir Riau hingga Tanjung
Jabung dekat Jambi. Di Pulau Sulawesi suku ini menyebar di beberapa kabupaten
pada tiga provinsi, yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi
Tenggara. Suku Bajo juga dapat ditemui di pantai utara dan timur Kalimantan,

12
Kepulauan Maluku, sepanjang Pantai Utara Sumbawa, sepanjang Pantai Barat dan
Utara Flores, Pulau Babi, serta Kelupauan Alor.
2.1.2.2. Perubahan Kehidupan Suku Bajo
Suku Bajo yang sebelumnya dikenal beraktifitas dan tinggal di laut saat ini
telah mengalami transformasi. Adanya perkembangan teknologi, desakan
ekonomi, pengaruh budaya suku lain, dan intervensi pemerintah adalah sebab
utama perubahan ini (Gamsir, 2014). Perubahan yang dialami suku Bajo terjadi
secara bertahap.
Suyuti (2011) mengidentifikasi lima periode perubahan tersebut, yaitu
sebagai berikut:
a. Mitos Sawerigading: Munculnya Orang Bajo
Mitos ini berawal dari Sawerigading yang berasal dari Ussu Cerekang,
Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Sawiragading menebang pohon besar
bernama Walenrangnge. Ketika pohon tumbang, telur burung yang bersarang
di pohon berjatuhan. Hal ini menimbulkan banjir telur. Banjir ini
menghanyutkan masyarakat Ussu beserta rumah-rumahnya ke lautan. Rumah-
rumah yang mengapung di laut ini selanjutnya disebut bido. Masyarakat Bajo
yang hanyut terbawa angin yang menyebabkan mereka tersebar dimana-mana.
b. Nomaden: Kehidupan di Atas Bido
Suku Bajo tinggal dan beraktifitas di laut dari generasi ke generasi.
Mereka mulai menganggap laut merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
yang diberikan kepada nenek moyangnya. Suku Bajo mulai mengarungi lautan
hingga ke Asia Tenggara. Ciri utama periode ini adalah segala aktifitas utama
dilakukan pada bido secara berpindah-pindah di lautan. Daratan hanyalah
tempat perlindungan sementara, semisal ketika ada badai, dan mendapatkan
kebutuhan air tawar. Periode ini juga ditandai dengan adanya aktifitas dengan
orang Bugis terutama dalam hal ekonomi, yakni sistem barter. Kehidupan Suku
Bajo yang berada di laut membuatnya harus menjalin hubungan dengan orang
darat untuk memenuhi kebutuhannya, seperti peralatan melaut, beras,
tembakau, dan gula. Interaksi dengan Suku Bugis ini nantinya berjalan semakin
intensif yang menjadi salah satu penyebab berubahnya budaya Suku Bajo.

13
c. Masa Transisi: Beranjak ke Pantai
Periode transisi dicirikan dengan berubahnya pola hidup berpindah
Suku Bajo menjadi menetap di pantai. Salah satu tempat bermukim awal suku
ini adalah di Pantai Sulaho. Tempat ini dipilih karena karakteristiknya yang
sesuai untuk menetap, yaitu lokasi dikelilingi gunung yang menjadikannya
terpencil, topografi pantai yang landai, serta adanya tanjung yang
mengelilinginya. Periode ini juga ditandai dengan mulai intensifnya suku Bajo
menggunakan bahasa Bugis. Pasukan pemberontak DI/TII yang bersembunyi
di wilayah Sulaho menjadikan Suku Bugis banyak melakukan interaksi dengan
Suku Bajo. Pondok-pondok agama yang dibuka oleh DI/TII selanjutnya
menjadikan hubungan ini semakin erat dan tentunya memengaruhi budaya
Bajo.
d. Di Darat: Berdirinya Permukiman
Tahun 1972 merupakan awal dimulainya permukiman di darat oleh
seluruh anggota suku Bajo di Sulaho. Selain bermukim di darat, ciri utama
periode ini adalah adanya kebutuhan sarana produksi dan transportasi, Hal ini
dikarenakan Suku Bajo sebagai suku yang tinggal di darat namun masih
beraktifitas di laut. Suku Bajo semakin memiliki hubungan erat atau dalam kata
lain bergantung terhadap Suku Bugis. Beragam jenis perahu mulai digunakan
Suku Bajo untuk melaut. Hal ini mulai menimbulkan adanya kelas sosial pada
masyarakat ini, sehingga Orang Bajo yang memiliki keterbatasan alat produksi
mulai beralih profesi menjadi petani.
e. Intervensi Pemerintah: Sistem Permukiman Sosial (SPS)
Tinggalnya Suku Bajo di daratan menjadikan mereka mulai merasakan
berbagai program dari pemerintah. Program tersebut dimulai dengan adanya
pembangunan 85 unit rumah semi permanen pada tahun 1996 di Kampung
Sulaho. Program ini disertai dengan jaminan hidup berupa bantuan pangan
selama lima tahun dan infrastuktur kehidupan masyarakat. Adanya program
pemerintah tersebut tentunya telah jauh merubah tatanan budaya Suku Bajo.
Hal yang paling menyolok adalah mulai ditinggalkannya dukun, mortalitas

14
menurun, kesehatan masyarakat meningkat, dan status sosial mulai
diperhatikan.
2.1.3. Sumber Belajar IPS
Sumber belajar memiliki pengertian yang sangat luas. Sumber belajar
menurut Ahmad Rohani & Abu Ahmadi (1995) adalah guru dan bahan-bahan
pelajaran berupa buku bacaan atau semacamnya. Pengertian selanjutnya dari
sumber belajar adalah segala daya yang dapat dipergunakan untuk kepentingan
proses pembelajaran baik langsung maupun tidak langsung, di luar diri peserta
didik yang melengkapi diri mereka pada saat pembelajaran
berlangsung.
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi
dalam pembelajaran. Abdul Majid (2008) mengungkapkan bahwa sumber belajar
ditetapkan sebagai informasi yang disajikan dan disimpan dalam berbagai bentuk
media, yang dapat membantu siswa dalam belajar, sebagai perwujudan dari
kurikulum. Bentuknya tidak terbatas apakah dalam bentuk cetakan, video,
perangkat lunak, atau kombinasi dari beberapa bentuk tersebut yang dapat
digunakan siswa dan guru. Sumber belajar juga dapat diartikan sebagai segala
tempat atau lingkungan, orang, dan benda yang mengandung imformasi yang
menjadi wahana bagi siswa untuk melakukan proses perubahan perilaku.
Pengertian sumber belajar sangat luas. Namun secara umum ada beberapa
klasifikasi sumber belajar. AECT (Association of Education Communication
Technology) mengklasifikasikan sumber belajar dalam enam macam yaitu
message, people, materials, device, technique, dan setting (Akhmad Rohani &
Abu Ahmadi, 1995). Enam klasifikasi sumber belajar tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Message (pesan), yaitu informasi/ajaran yang diteruskan oleh komponen
lain dalam bentuk gagasan, fakta, arti dan data.
2) People (orang), yakni manusia yang bertindak sebagai penyimpan,
pengolah, dan penyaji pesan. Termasuk kelompok ini misalnya dosen,
guru, tutor, dll.

15
3) Materials (bahan), yaitu perangkat lunak yang mengandung pesan untuk
disajikan melalui penggunaan alat/perangkat keras, ataupun oleh dirinya
sendiri. Berbagai program media 12 termasuk kategori materials, seperti
transportasi, slide, film, audio, video, modul, majalah, buku dan
sebagainya.
4) Device (alat), yakni sesuatu (perangkat keras) yang digunakan yang
digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimppan dalam bahan.
Misalnya overhead proyektor, slide, video tape/recorder, dll
5) Technique (teknik), yaitu prosedur atau acuan yang dipersiapkan untuk
penggunaan bahan, peralatan, orang, lingkungan untuk menyampaikan
pesan. Misalnya pengajaran terprogram/modul, simulasi, demonstrasi,
tanya jawab, dll.
6) Setting (lingkungan), yaitu situasi atau suasana sekitar dimana pesan
disampaikan. Baik lingkungan fisik ataupun non fisik.
Implementasi nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran IPS dapat dikaji
dari filsafat pendidikan yang mendasarinya yaitu perenialisme. perenialisme
memandang pendidikan sebagai proses yang sangat penting dalam pewarisan nilai
budaya terhadap peserta didik. Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat
sangat penting ditransfromasikan dalam pendidikan, sehingga diketahui, diterima
dan dapat dihayati oleh peserta didik. Perenialisme memandang bahwa masa lalu
adalah sebuah mata rantai kehidupan umat manusia yang tidak mungkin
diabaikan. masa lalu adalah bagian penting dari perjalanan waktu manusia dan
memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian masa kini dan masa yang akan datang.
Nilai-nilai yang lahir pada masa lalu adalah hal yang berharga untuk diwariskan
kepada generasi muda.
National Council for Social Studies (NSCC) mendefinisikan Ilmu
Pengetahuan Sosial sebagai berikut: Social studies as “the integrated study of the
social science and humanities to promote civic competence”. Within the school
program, social studies provides coordinated, systematic, study drawing upon
such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, law,
philosophy, political science, psychology, religion and sociology, as well as

16
appropriate content from the humanities, mathematic and natural sciences.
(Savage, 1996) dari definisi tersebut, dikatakan bahwa melalui pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial, peserta didik diajarkan untuk menjadi warga negara
Indonesia yang baik dan penuh kedamaian. Ilmu pengetahuan Sosial diperlukan
bagi keberhasilan transisi kehidupan menuju pada kehidupan yang lebih dewasa
dalam upaya membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan prinsip dan
semangat nasional. Dengan demikian para peserta didik dalam pembelajaran IPS
terlatih untuk menyelesaikan persoalan sosial dengan pendekatan secara holistik
dan terpadu dari berbagai sudut pandang.
Ruang kajian IPS adalah manusia, ruang, dan waktu, dimana ketiganya
jika digabungkan memiliki sifat dinamis, meskipun statis dari segi fisik. Oleh
karena kedinamisannya, pembelajaran IPS memiliki materi yang sangat padat dan
kompleks, sebab mempelajari kedinamisan manusia dari masa ke masa dan ruang
ke ruang. Sumber belajar dalam IPS tidak hanya berupa buku, tetapi perilaku
masyarakat sekitar dan kearifan lokal yang ada di sekitarnya.
2.1.4. Penelitian Terdahulu
Kajian penelitian terdahulu berguna sebagai pembanding antara penelitian-
penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu yang memiliki sisi
kesesuaian dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Hal ini sebagai bahan
rujukan peneliti melakukan penelitian dengan menganalisis pada sisi perbedaan
dan persamaan antara penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian yang
akan peneliti lakukan. Letak perbedaan dan persamaan bisa meliputi pendekatan
penelitian yang digunakan, teknik analisis data yang dilakukan serta fokus
penelitian.
Banyak penelitian tentang tradisi lisan membahas tentang makna dari
tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat. Salah satunya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Iziq Eafifi Ismail, Abdullah Sani Hj Ahmad, dan Ismail
Ibrahi (2015) menjelaskan bahwadampak masyarakat pesisir terhadap lingkungan
permukiman Suku Sama-Bajau dari segi sosial melalui perkembangan identitas.
Peneliti juga membahas interkoneksi sejarah lintas benua di nusantara yang
terbentang dari Indonesia hingga Filipina, yang merupakan rumah bagi sisa-sisa

17
terakhir diaspora etnis terbesar di dunia. Secara khusus, suku Sama-Bajau telah
bubar dari negara asalnya. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-
sama menjadikan Suku Bajo sebagai subjek penelitian. Meskipun terdapat
persamaan dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian
inipun memiliki perbedaan pada tujuan penelitian, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pemaknaan generasi muda (siswa) terhadap tradisi lisan iko-iko dan
bentuk penanaman nilai tradisi lisan tersebut dalam lingkungan keluarga di Desa
Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, sedangkan penelitian
sebelumnya bertujuan untuk mengetahui pengaruh permukiman daerah pesisir di
lingkungan pemukiman Suku Sama-Bajau dalam perspektif sosial.
Schagatay (2014) juga di dalam penelitiannya menjelaskan terkait
kehidupan Orang Bajau dimana banyak orang Bajau Laut di Filipina dan
Indonesia masih mencari nafkah sepenuhnya dari penyelaman tanpa henti untuk
spearfishing dan pengumpulan, dengan peralatan yang sangat sedikit. Sebagian
besar Suku Bajo mendapatkan beragam makanan yang diperoleh dari laut.
Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku
Bajo sebagai subjek penelitian. Terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemaknaan
generasi muda (siswa) terhadap tradisi lisan iko-iko dan bentuk penanaman nilai
tradisi lisan tersebut dalam lingkungan keluarga di Desa Bokori, Kecamatan
Soropia, Kabupaten Konawe, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk
menelaah kehidupan Suku Bajo dari perspektif ekonomi yakni melalui mata
pencahariannya di laut.
Kasim Mansur, Gusni Saat, dan Said Effendi (2009) menjelaskan bahwa
Kehidupan sosial suku Sama-Bajau telah mengalami transformasi sosial yang
signifikan akibat pengaruh urbanisasi dan globalisasi. Ada kesamaan antara
penelitian ini dan penelitian sebelumnya, menurut penelitian sebelumnya.
Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo sebagai subjek
penelitian melalui pendekatan kualitatif.Selain itu, terdapat pula perbedaan

18
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji tradisi lisan dan integrasinya ke dalam sumber pembelajaran di
masyarakat dan di sekolah, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk
mengkaji kehidupan sosial suku Bajau serta tingkat pendidikannya.
Ratna Indrawasih dan I G.P. Antariksa (2003) menjelaskan bahwa orang
Bajau atau Orang Laut yang dulu mengarungi laut dengan rumah perahu, kini
lebih memilih tinggal di darat atau di air dengan rumah panggung. Sejak abad ke-
15, proses perpindahan tempat tinggal dari laut ke darat telah didokumentasikan,
dengan tahapan mulai dari rumah panggung di air hingga rumah di darat. Ada
kesamaan antara penelitian ini dan penelitian sebelumnya, menurut penelitian
sebelumnya. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama
menjadikan Suku Bajo sebagai subjek penelitian dengan pendekatan kualitatif.
Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya,
penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tradisi lisan iko-iko Suku Bajo serta
integrasinya ke dalam sumber pembelajaran di Desa Bokori, sedangkan penelitian
sebelumnya bertujuan untuk mengkaji transformasi kehidupan sosial Suku Bajo.
Benny Baskara (2011) juga menjelaskan bahwa Aksara Lontara Assalenna
Bajo, sejenis kearifan budaya Bajo yang memuat catatan-catatan tentang
kehidupan masyarakat Bajo yang ditulis sendiri, merupakan bentuk kearifan
budaya Bajo yang mencerminkan identitas budaya suku Bajo sebagai satu
kesatuan yang terjalin dengan identitas Islam. Berdasarkan penelitian terdahulu
terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Persamaan
tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo sebagai subjek penelitian
dengan pendekatan kualitiatif.Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tradisi
lisan iko-iko Suku Bajo serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran di
masyarakat dan di sekolah di Desa Bokori, sedangkan penelitian sebelumnya
bertujuan untuk mengkaji identitas Suku Bajo secara historis melalui naskah
lontarak serta kehidupan sosial Suku Bajo yang terintegrasi dengan nilai-nilai
kehidupan Islam.

19
Dalam kebudayaan Suku Bajau juga dijelaskan dalam penelitian Halina
Sendera Mohd. Yakin (2013) bahwa Kosmologi dan pandangan dunia orang
Bajau tampak menonjolkan ciri-ciri sinkretisme, yang pada dasarnya adalah
adaptasi dan penggabungan kepercayaan kuno dan baru, seperti yang terlihat pada
perilaku budaya dalam upacara dan adat pemakaman. Adat masyarakat Bajau
dalam mengolah duang, jenazah, mayang pinang, dan barang-barang lainnya
menunjukkan bahwa hubungan seseorang dengan kerabatnya yang masih hidup
atau yang sudah meninggal tidak berakhir dengan kematian. Berdasarkan
penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo
sebagai subjek penelitian dengan pendekatan kualitatif. Selain itu, terdapat pula
perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji pemaknaan siswa dan bentuk penanaman nilai dalam tradisi lisan
iko-iko Suku Bajo serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran di masyarakat
dan di sekolah di Desa Bokori, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk
mengkaji pemaknaan masyarakat Bajau dalam mengekspresikan dan
mentransmisikan perasaan, sentimen, serta nilai-nilai kemanusiaan dan
kemasyarakatan melalui ritual kematian dalam menjaga dan memperkuat
solidaritas dan keseimbangan sosial di Kota Belud, Malaysia.
Dalam tradisi yang lain Suku Bajau dijelaskan oleh Ri’ina1, Hary
Murcahyanto, dan Muh. Jaelani Al-Pansori (2020) dalam penelitiannya bahwa
masyarakat setempat atau biasa disebut napupok merencanakan atau bernegosiasi
sebelum melaksanakan tradisi menyelam di air atau menyelamatkan laut. Naupok
tidak hanya dilakukan di tiklok, tetapi juga dilakukan sebelum prosesi Nyalamak.
Karena memenuhi berbagai persyaratan untuk suatu peristiwa tutur, napupok
(bernegosiasi) memenuhi syarat sebagai peristiwa tutur. Berdasarkan penelitian
terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo sebagai subjek
penelitian dengan pendekatan kualitatif.Selain itu, terdapat pula perbedaan
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji tradisi lisan iko-iko Suku Bajo serta integrasinya ke dalam sumber

20
pembelajaran di masyarakat dan di sekolah di Desa Bokori, sedangkan penelitian
sebelumnya bertujuan untuk mengkaji tradisi nyelamak dilaumelalui napupok
(berunding) merupakan peristiwatutur.
Riski Hamriani, Sitti Hermina, dan Salniwati (2019) menjelaskan bahwa
Ritual Bantang Suku Bajo dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, dan tahap penutup. Sebagai hasil dari pemikiran, pengalaman, dan
kepercayaan yang telah dilakukan oleh nenek moyang sebelumnya, simbol yang
memiliki makna tertentu selalu ditampilkan selama ritual bantang. Berdasarkan
penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo
sebagai subjek penelitian dengan pendekatan kualitatif.Selain itu, terdapat pula
perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji tradisi lisan iko-iko Suku Bajo serta integrasinya ke dalam sumber
pembelajaran IPS, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk mengkaji
proses pelaksanaan ritual bantang suku Bajo dan maknanya.
Hanafi Hussin, dan Judeth John Baptist (2019) menjelaskan bahwa
pementasan musik dan ritual tari suku Sama-Bajau, dimana menurut peneliti
fungsi tradisional dari tarian igal dan musik igal ini, tergeser oleh masuknya alat
dan instrumen modern melalui beberapa event dan festival. Berdasarkan
penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama menjadikan Suku Bajo
sebagai subjek penelitian melalui pendekatan kualitatif. Terdapat pula perbedaan
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pemaknaan generasi muda (siswa) terhadap tradisi lisan iko-iko pada
suku Bajo di Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, sedangkan
penelitian sebelumnya bertujuan untuk mengkaji peran dari musik dan tari
tradisional melalui perayaan ritual suku Bajau di Malaysia dan Filipina.
Susiati (2018) menjelaskan bahwa terdapat tujuh unsur budaya Suku Bajo
Sampela dalam film The Mirror Never Lies karya Kamila Andini, yakni (1) sistem
kepercayaan, masyarakat SBS masih mempercayai sandro (dukun); (2) sistem
pengetahuan, meliputi pengetahuan tentang alam, tumbuhan, binatang, sifat dan

21
tingkah laku sesama manusia, ruang dan waktu; (3) sistem teknologi, meliputi
alat-alat produksi, wadah atau tempat, senjata, makanan dan minuman, pakaian,
tempat berlindung atau rumah, dan alat transportasi. (4) sistem kemasyarakatan,
SBS sangat menjunjung kebersamaan, saling tolong menolong, dan saling
menghibur. (5) sistem mata pencaharian, Suku Bajo Sampela membudidaya
rumput laut (agar-agar), mencari ikan dan menjualnya dilingkungan SBS atau di
pasar; (6) bahasa, Suku Bajo Sampela saat berinteraksi menggunakan bahasa
Bajoe dan bahasa Indonesia; (7) kesenian, Suku Bajo Sampela mempunyai seni
suara dan tarian. Kesenian budaya Suku Bajo Sampela terlihat pada masyarakat
Suku Bajo saat duduk-duduk sambil membuat jala atau senjata untuk melaut,
mereka sering menyanyikan sebuah lagu. Hal ini bertujuan untuk menghibur diri
dari kelelahan. Selanjutnya, saat menidurkan anak-anak mereka di ayunan mereka
pun menyanyikannya. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-
sama menjadikan Suku Bajo sebagai subjek penelitian dengan pendekatan
kualitatif. Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemaknaan siswa
terhadap tradisi lisan iko-iko serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran
IPS, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan hanya untuk mendeskripsikan
nilai-nilai budaya Suku Bajo Sampel dalam film The Mirror Never Lies karya
Kamila Andini
Rizal Mahsyar (2018) menjelaskan bahwa Orang Bajo di Kepulauan
Sapeken adalah pemilik sastra lisan iko-iko, salah satu jenis pengetahuan
tradisional. Kajian tersebut selanjutnya mengatakan bahwa ada anggapan bahwa
cerita rakyat yang direpresentasikan dalam iko-iko mengandung pelajaran moral,
cita-cita pendidikan, atau standar lain yang semuanya harus dijunjung tinggi untuk
menjaga keharmonisan dalam pelestarian alam. Iko-Iko melayani sejumlah peran
penting lainnya dalam kehidupan komunal, termasuk dalam bentuk hiburan, ritual,
dan pendidikan. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama
mengkaji tradisi lisan iko-iko Suku Bajo dengan pendekatan kualitatif.Selain itu,

22
terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis pemaknaan siswa terhadap tradisi lisan iko-iko
serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran IPS, sedangkan penelitian
sebelumnya bertujuan untuk mengkaji iko-iko sebagai kearifan lokal Suku Bajo
dan nilai-nilai yang terkandung pada nyanyian iko-iko serta fungsinya.
Terkait tradisi lisan iko-iko Suku Bajo di dalam penelitiannya Adri (2019)
menjelaskan bahwaMasyarakat Bajo di Desa Bokori sering menggunakan jenis
ikos berikut ini: (a) Danring Lao (b). Putra Koda Lamannang, (c) Babawang (d).
keturunan Koda Hasang (e). etnis Bajo atau Sama. (f) Laut Sahabatku (Dilao
Seheku) (g). Darua Dolu Dayah Ngai Lagi (ikan sudah tidak seperti dulu lagi).
Tradisi lisan Iko-Iko berfungsi sebagai alat bagi masyarakat Bajo untuk berkreasi
dan melestarikan budayanya, yang tujuan keduanya sebagai alat pengajaran.
Pengkaderan suku Bajo melalui Iko-Iko dapat dijadikan pembelajaran
ekstrakurikuler karena pendidikan berbasis budaya Bajo belum tergabung dalam
sekolah formal, sehingga cara ketiga Iko-Iko digunakan dalam pendidikan.
Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama mengkaji
nyanyian iko-iko Suku Bajo dengan pendekatan kualitatif di lokasi yang sama di
Desa Bokori.Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemaknaan siswa
terhadap tradisi lisan iko-iko serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran
IPS, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk mengkaji jenis-jenis iko-
iko yang sering dilantunkan oleh masyarakat Desa Bokori serta fungsinya dalam
masyarakat.
I Ketut Suardika dan Anwar Hafid (2016) menjelaskan bahwa cerita rakyat
masyarakat Bajo yang dikenal dengan iko-iko terbagi menjadi lima kategori: cerita
tentang kehidupan sehari-hari, pekerjaan, praktik sosial budaya, dan pengalaman
remaja. Empat faktor, yaitu pendidikan, sastra Melayu, fungsi sosial, patriotisme,
dan fungsi estetis, semuanya berperan dalam iko-role iko's dalam membina
masyarakat Bajo. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama

23
mengkaji nyanyian iko-iko Suku Bajo dengan pendekatan kualitatif.Selain itu,
terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis pemaknaan siswa terhadap tradisi lisan iko-iko
serta integrasinya ke dalam sumber pembelajaran IPS, sedangkan penelitian
sebelumnya bertujuan untuk mengkaji jenis-jenis iko-iko serta fungsinya.
Rizal Mahsyar (2018) menjelaskan bahwa iko-iko suku Bajo Banggai
Kepulauan menyanyikan simbol dalam musik tradisional mereka. Lebih mudah
pada tahap refleksi untuk mengkaji makna simbol-simbol dalam teks lagu iko-iko
etnik Kepulauan Bajo Banggai berdasarkan beberapa bentuk makna, seperti
makna gramatikal, makna kiasan, dan makna konotatif relatif. Berdasarkan
penelitian terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan tersebut meliputi, sama-sama mengkaji nyanyian iko-iko
Suku Bajo.Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya yakni lokasi penelitian dan penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pemaknaan siswa terhadap tradisi lisan iko-iko serta integrasinya ke
dalam sumber pembelajaran IPS, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan
untuk menganalisis jenis-jenis makna yang ada pada nyanyian iko-iko yakni
makna gramatikal, makna kiasan dan makna konotatif.
Uniawati (2010) menjelaskan bahwa pemahaman yang utuh akan makna
teks-teks di dalamnya bermula dari interpretasi masyarakat Bajo terhadap lirik
bue-bue sebagai lagu pengantar tidur anak-anak. Berdasarkan penelitian
terdahulu terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
Persamaan tersebut meliputi, sama-sama mengkaji nyanyian rakyat Suku Bajo.
Selain itu, terdapat pula perbedaan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
yakni lokasi penelitian dan penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pemaknaan siswa terhadap tradisi lisan iko-iko serta integrasinya ke dalam sumber
pembelajaran IPS, sedangkan penelitian sebelumnya bertujuan untuk menganalisis
makna yang ada pada nyanyian bue-bue serta eksistensi dari nyanyian tersebut di
lingkungan masyarakat.

24
Tidak hanya penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Suku Bajo dan
tradisi lisan yang mereka miliki. Terdapat pula penelitian-penelitian yang relevan
berkaitan dengan kearifan lokal dalam hal ini tradisi lisan yang dapat dijadikan
sebagai sumber belajar seperti penelitian yang dilakukan oleh Een Syaputra
(2020) menjelaskan bahwa dalam rangka mengembangkan materi pembelajaran
Pendidikan IPS yang bermakna, tradisi lisan yang syarat akan nilai-nilai
merupakan salah satu pilihan yang dapat digunakan. Berbagai jenis tradisi lisan
yang ada, semuanya sangat mungkin untuk dijadikan sebagai bahan
pengayaan materi pembelajaran Pendidikan IPS. Akan tetapi, dari beberapa jenis
tradisi lisan yang ada, terdapat empat tradisi lisan yang paling mempunyai
relevansi dengan pendidikan IPS, yakni ungkapan tradisional, puisi rakyat, cerita
prosa rakyat dan nyanyian rakyat. Terkait dengan pemanfaatan tradisi lisan
sebagai materi ajar pendidikan IPS, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni:
1) relevansinya dengan kurikulum pendidikan IPS, terutama Kompetensi Dasar;
2) kaya akan muatan nilai; dan 3) dekat dengan lingkungan peserta didik. Selain
itu, pemanfaatan tradisi lisan sebagai materi ajar IPS dapat dilakukan melalui
tiga tahap, yakni: 1) analisis; 2) desain dan pengembangan; dan 3) implementasi.
Sitti Maryam (2020) menjelaskan bahwa penerapan tradisi lisan dalam
pembelajaran IPS dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa dan dapat
mengembangkan karakter positif siswa di kelas VIII B SMPN 5 Kendari. Aktifitas
belajar siswa dapat ditingkatkan melalui penggunaan tradisi lisan dalam pembelajaran,
yakni pada siklus I persentase aktivitas belajar siswa sebesar 58,82% kemudian
meningkat menjadi 66,40% pada siklus II dan mengalami peningkatan yang cukup
signifikan pada siklus III yakni sebesar 86,74%. Penggunaan tradisi lisan
dalam pembelajaran IPS Terpadu dapat meningkatkan karakter positif siswa kelas
VIII B di SMP Negeri 5 Kendari. Hal ini terlihat dari pelaksanaan tindakan sebanyak
tiga siklus dan terlihat peningkatan persentase yang cukup signifikan yang mana
pada pelaksanaan tindakan siklus I, siklus II, dan Siklus III terlihat bahwa selalu terjadi
perbaikan dan peningkatan terhadap 5 sikap yang diamati yakni disiplin, jujur,
tanggung jawab, peduli, dan santun untuk dikembangkan pada penelitian ini, secara
keseluruhan mengalami peningkatan.

25
Monalisa Rahman (2020) menjelaskan bahwa Sastra lisan Banjar tumbuh
dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya.
Sastra lisan Banjar dapat berbentuk pertunjukkan dan bukan pertunjukkan. Sastra
lisan Banjar yang berbentuk pertunjukan berupa madihin, lamut, bapandung,
dan mamanda. Sastra daerah Banjar yang berupa pertunjukkan ini telah sekian
lama menjadi sarana hiburan dan juga penanaman moral dan tingkah laku bagi
masyarakat Banjar itu sendiri. Lamut adalah seni tutur khas masyarakat Banjar,
Kalimantan Selatan. Kesenian lamut merupakan teater tutur tunggal dan hanya
diiringi oleh satu alat musik yang bernama tarbang lamut. Orang yang
membawakan lamut (pelamutan) biasanya hanya menurunkan keahliannya
membawakan lamut kepada keturunannya saja. Lamut dapat dipergelarkan dalam
berbagai kegiatan seperti hajatan, nazar, maupun sebagai hiburan. Pertunjukkan
atau pergelaran lamut selalu dibantu oleh sebuah alat musik tradisional yang
bernama tarbang lamut.
Sri Utami, Wahyu Widayati, dan Victor Marolitua L Tobing (2022)
sebagai suatu kearifan lokal tradisi lisan kejhung mengandung nilai- nilai budaya
yang tinggi. Nilai budaya itu adalah nilai keagamaan, nilai pendidikan, nilai
pengetahuan, nilai sosial, dan nilai gotong royong. Nilai-nilai itu sangat
bermanfaat dalam pembuntakan karakter siswa. Dengan demikian tradisi lisan
kejhung dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendidikan dalam penguatan profil
pelajar Pancasila karena banyak mengandung nilai-nilai agama, tata krama,
gotong royong, solidaritas. Nilai dan norma ini dapat dijadikan sebagai sumber
pendidikan karakter di sekolah agar peserta didik berkarakter lebih baik lagi

2.2.Kerangka Teoritis
2.2.1. Teori Hermeneutika Hans Georg Gadamer
Dalam kajian ini, sebuah tradisi lisan diberi makna dengan menggunakan
filosofi hermeneutika Hans Georg Gadamer. Hermeneutika mendapatkan
namanya secara etimologis dari kata kerja Yunani hermeneutin, yang berarti
menafsirkan kata benda. Teori atau filosofi penafsiran makna dan pemahaman
teks dikenal sebagai hermeneutika (Palmer, 2005). Membuat sesuatu yang kabur

26
menjadi sesuatu yang jelas dan dipahami adalah tujuan dari interpretasi makna
(Anshari, 2009).
Menurut Gadamer, fenomena tradisi lisan merupakan bagian dari sejarah
dan harus dikaji melalui hermeneutika. Menurut hermeneutika Gadamer, masa
lalu bukanlah kumpulan fakta yang dapat ditransformasikan menjadi objek-objek
sadar, melainkan sebuah aliran yang kita lalui dan ambil bagian dalam semua
tindakan pemahaman. Tradisi dengan demikian bukanlah sesuatu yang menentang
kita, melainkan sesuatu yang kita jalani dan akan terus kita lakukan selama kita
ada. Dalam alegori yang terkenal, ia sangat transparan sebagai mediasi yang
tampak tidak terlihat oleh kita, seperti air yang tampak tidak terlihat oleh ikan
(Palmer, 2005: 176-177).
Sementara pemahaman baru bertujuan untuk mempertahankan
pemahamannya, tradisi berfungsi sebagai landasan pengetahuan dan dapat
menginspirasi pemahaman baru (Gadamer, 1986; Sunarto: 2011). Gadamer
sependapat dengan pandangan Heidegger yang berpendapat bahwa bahasa adalah
reservoir dan sarana transmisi tradisi, untuk melihat suatu tradisi. Bahasa adalah
kendaraan bagi tradisi dan tempat di mana ia terselubung. Linguistikisasi
keberadaan dan ontologinya menjadi keberadaannya dan berfungsi sebagai
saluran kesejarahannya karena bahasa dan sejarah saling terkait dan menyatu.
Wujud adalah peristiwa bahasa yang terjadi dalam sejarah dan dibentuk oleh
dinamika kesejarahan (Palmer, 2005).
Bagi Gadamer, keseluruhan interpretasi ada dalam kebenaran spekulatif,
hermeneutika harus melihat keseluruhan keyakinan dogmatis dalam makna yang
tidak terbatas dalam dirinya sendiri. Tafsir teks merupakan produksi segar dalam
mengetahui yang dialektis dengan teks (Palmer, 2005). Menurut Gadamer
(Bertens, 2002), prasangka tidak dapat dihindari saat membaca buku. Namun, ini
tidak menyiratkan bahwa interpretasi adalah aktivitas yang murni subjektif dan
tidak kritis. Untuk membedakan antara prasangka yang sah dan tidak sah,
pertama-tama kita harus mendefinisikan apa yang dimaksud dengan prasangka
asli. Gadamer berpendapat bahwa meskipun kita menerima legitimasi sebuah
tradisi dan bahkan bergabung dengannya, ini tidak akan menghalangi kita untuk

27
memahami sebuah kitab. Tradisi, bagaimanapun, akan sangat membantu kita
dalam pencarian pemahaman kita (Bertens, 2002). Gadamer menegaskan bahwa
jurang waktu dan jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin
disatukan. Menurutnya, yang terpenting adalah dialektika atau dialog yang
produktif antara masa lalu dan masa kini.
Pentingnya pemikiran Gadamer bagi penelitian tradisi lisan untuk sumber
belajar IPS. Pemahaman Gadamer yang meleburnya latar belakang penafsir
(peneliti) dalam dunia makna akan berdampak pada pluralitas penafsiran dalam
tradisi lisan. Peneliti seharusnya tidak hanya terpaku pada satu teori ketika
memahami suatu topik atau teks dalam tradisi yang muncul di masyarakat karena
sikap Gadamer yang tidak memvalidasi interpretasi sebagai sesuatu yang benar.
Gadamer berpendapat bahwa setiap interpretasi dipengaruhi oleh keadaan
penafsir, yang mengarah ke berbagai interpretasi dan pemahaman tentang sebuah
buku. Gadamer menegaskan bahwa proses memahami dan membaca teks yang
tidak pernah berhenti akan berpengaruh pada pembaharuan pengetahuan yang
terus menerus. Pemahaman ini akan mempengaruhi ide pendidikan untuk
perubahan. Karena tujuan pendidikan adalah kemajuan bukan mempertahankan
status quo di segala bidang.

2.2.2 Teori Konstruksi Sosial Peter L Berger

Teori konstruksi sosial atau realitas sosial merupakan kenyataan sosial


yang tersirat dalam pergaulan sosial, secara sosial dalam berbagai tindakan sosial
seperti berkomunikasi lewat bahasa, bekerjasama lewat bentuk-bentuk organisasi
sosial. Menurut Berger, Tidak ada seorang pun yang kebal terhadap proses sosial
atau proses internalisasi yang mengarahkan manusia untuk mencari identitas
dalam suatu sistem sosial. Menurut Berger, ada hubungan melingkar antara
masyarakat dan pribadi karena interaksi antara individu dan masyarakat sangat
bergantung secara budaya. Berger mengamati proses dialektis yang terdiri dari
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, ketika menelaah perputaran orang
dan masyarakat yang mengakui bahwa akan selalu ada perubahan dalam sejarah
dan gerakan filsafat (Sukidin, 2015).

28
Teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger dipakai untuk menganalisis bentuk
penanaman tradisi iko-iko di dalam lingkungan keluarga pada kelompok
masyarakat Bajo. Bagi Berger, tidak ada seorang pun yang kebal terhadap proses
sosial atau proses internalisasi yang mengarahkan manusia untuk mencari
identitas dalam suatu sistem sosial. Menurut Berger, ada hubungan melingkar
antara masyarakat dan pribadi karena interaksi antara individu dan masyarakat
sangat bergantung secara budaya. Berger mengenal adanya proses dialektika,
yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, ketika menelaah perputaran
orang dan masyarakat yang mengakui bahwa akan selalu ada perubahan dalam
sejarah dan gerakan filsafat. Melalui proses tersebut akan muncul masyarakat
dengan berbagai jenis dan model (Sukidin, 2015).
Gejala sosial ini hadir dalam pengalaman sosial yang sedang berlangsung
dan telah terinternalisasi dalam semua aspek kehidupan sosial (kognitif,
psikomotorik, emosional dan intuitif). Dengan kata lain, realitas sosial tersirat
dalam interaksi antarpribadi dan termanifestasi secara sosial dalam berbagai
perilaku sosial termasuk mengekspresikan diri melalui bahasa dan bekerja sama
melalui struktur sosial yang berbeda. Pengalaman intersubjektif adalah tempat
bentuk realitas sosial ini dapat ditemukan. Istilah "intersubjektif" mengacu pada
cara-cara di mana komponen kesadaran individu dalam kelompok tertentu
berintegrasi dan berinteraksi satu sama lain.

2.3. Kerangka Berpikir


Tradisi lisan iko-iko Suku Bajo di Desa Bokori kian tergerus eksistensinya
karena pesatnya arus globalisasi dan modernisasi saat ini belum menyadarkan
masyarakat tentang pentingnya pelestarian tradisi lisan tersebut sebagai bentuk
penguatan identitas Suku Bajo. Penelitian tradisi lisan iko-iko Suku Bajo
bertujuan untuk menganalisis pemaknaan siswa terhadap pentingnya tradisi lisan
iko-iko di dalam kehidupan sehari-hari, menganalisis bentuk penanaman nilai-
nilai yang terdapat pada tradisi lisan iko-iko di dalam lingkungan keluarga pada
masyarakat Bajo. Sehingga menemukan konsep edukasi pelestarian tradisi lisan
Suku Bajo melalui pengintegrasian nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lisan

29
iko-iko sebagai media dan sumber belajar baik pada lingkungan masyarakat
maupun di kelas.

Pemaknaan tradisi lisan dapat dilakukan dengan pisau analisis teori


hermeneutika Hans Georg Gadamer. Bentuk penanaman tradisi lisan iko-iko di
dalam lingkungan keluarga pada kelompok masyarakat Bajo dilakukan dengan
menganalisis menggunakan teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger. Dalam
konstruksi sosialnya, penanaman nilai-nilai tradisi lisan iko-iko terdapat proses
dialektis yakni eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Output dari penelitian
ini adalah mengaitkan tradisi lisan iko-iko dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya yang sesuai dengan kompetensi dasar untuk dijadikan sebagai sumber
belajar IPS pada tingkat SMP. Melalui analisis dan deskripsi maka potensi tradisi
lisan iko-iko sebagai sumber belajar dapat diimplementasikan dalam pembelajaran
IPS di Kabupaten Konawe. Sehingga kesadaran masyarakat menjaga kelestarian
tradisi lisan iko-iko Suku Bajo sebagai warisan budaya lokal dan penguatan
identitas suku Bajo. Untuk lebih jelasnya berikut gambar bagan berpikir penelitian

30
Eksistensi Tradisi Lisan Iko-Iko
masyarakat Bajo yang tergerus

Penanaman Nilai-Nilai
Pemaknaan Siswa
Tradisi Iko-Iko dalam
terhadap Tradisi Iko-Iko
Lingkungan Keluarga

Teori Hermeneutika; Teori Konstruksi


Hans Geog Gadamer Sosial; Peter L Berger

Pengintegrasian Tradisi
Lisan Iko-Iko Sebagai
Sumber Belajar IPS

 Nilai Religius
Materi Pembelajaran  Nilai Sosial Budaya Media Pembelajaran
IPS (KI & KD)  Nilai Kiasan (Sastra) IPS (Audio/Video)
 Nilai Kepahlawanan

Kesadaran Masyarakat dalam


menjaga Kelestarian Tradisi Lisan
Iko-Iko Sebagai Penguatan
Identitas Budaya Suku Bajo

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

31
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif


adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
lain- lain. Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengunakan
metode etnografis, yakni usaha mengadakan penelitian terhadap suatu kelompok
kebudayaan tertentu yang pengolahan data sejak mereduksi data, menyajikan data,
memverifikasi data, dan menyimpulkan data tidak menggunakan perhitungan
secara statistik matematis, penekanannya pada kajian interpretatif. Adapun
etnografis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan etnografi kritis
yang studinya diarahkan untuk meneliti sistem kultur pada tradisi lisaniko-
ikomasyarakat Bajo dengan memanfaatkan data emik (pandangan informan) dan
data etik (pandangan peneliti) pada nilai budaya tradisi iko-iko masyarakat Bajo
dan potensinya sebagai sumber pembelajaran IPS.
3.2.Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Bokori Kecamatan Soropia Kabupaten
Konawe dilingkungan masyarakat Bajo.Penelitian ini akan dilakukan dengan
estimasi waktu yakni 1 bulan. Fokus penelitian ini terletak pada interpretasi siswa
terhadap tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo, kemudian bentuk-bentuk tradisi
lisaniko-iko masyarakat Bajo di dalam lingkungan keluarga seperti seperti dalam
aktivitas melaut, serta implikasi tradisi iko-iko ini akan bermuara pada
pengintegrasian nilai-nilai dan pesan moral yang terkandung ke dalam sumber
belajar IPS.Informan dalam penelitian ini yakni peserta didik jenjang SMP dan
beberapa kelompok keluarga Masyarakat Bajo.

32
3.3.Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini dimaksudkan untuk memfokuskan studi kualitatif


penelitian guna memilih mana data yang relevan dan mana data yang tidak relevan.
Fokus dalam penelitian ini lebih didasarkan pada tingkat kepentingan/urgensi dari
masalah yang dihadapi dalam penelitian ini. Penelitian ini difokuskan pada tiga
kajian fokus penelitian.
1. Interpretasi Siswa Terhadap Tradisi Iko-Iko
Interpretasi siswa terhadap tradisi iko-iko sebagai bentuk memaknai tradisi
lisan iko-iko tersebut di dalam kehidupannya sehari-hari. Bentuk
pemaknaannya dapat dikaji dengan melakukan wawancara secara langsung
kepada informan yang dituju yakni anak-anak usia sekolah pada tingkat SMP.
2. Edukasi Nilai-Nilai Tradisi Lisan Iko-Iko dalam Lingkungan Keluarga
Edukasi pengenalan tradisi lisan iko-iko dan nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya pada lingkungan keluarga berupa habitualisasi yang dilakukan
oleh kelompok keluarga diantaranya kepala keluarga, ibu rumah tangga, dan
anak. Bentuk penanaman nilai-nilai melalui proses internalisasi, objektifikasi,
serta eksternalisasi di dalamnya. Bentuk Penanaman nilai dapat dikaji dengan
observasi yang dilakukan pada kelompok keluarga masyarakat Bajo ataupun
dengan melakukan wawancara secara mendalam terhadap anggota keluarga
pada kelompok masyarakat Bajo.
3. Pengintegrasian Tradisi Lisan Iko-Iko ke dalam Sumber Belajar IPS
pemanfaatan dan pengintegrasian nilai-nilai dan pesan moral yang
terkandung pada tradisi lisan iko-iko masyarakat Bajo berupa pengintegrasian
nilai ke dalam muatan materi pembelajaran IPS yang terdiri dari nilai dan
pesan moral tentang kepahlawanan, sosial budaya, ekonomi, dan sastra.
Pengintegrasian tersebut dengan membuat media dan modul pembelajaran
yang relevan dengan materi pembelajaran IPS sesuai dengan tingkatan kelas.
Dalam penelitian ini pengintegrasian nilai dan pesan moral tradisi lisan iko-iko
relevan dengan materi keberagaman budaya di Indonesia pada sub materi lagu
dan tarian tradisional daerah pada kelas VII.

33
3.4. Data dan Sumber Penelitian
1. Data Primer

Sumber data penelitian ini menggunakan sumber data primer yang


berupa informasi dari para informandata yang diperoleh melalui keterangan
lisan atau hasil wawancara dengan informan yang mengetahui dan bisa
memberikan gambaran tentang tradisi lisan Iko-Iko masyarakat Bajo.
Informan pada penelitian ini ditentukan dengan teknik purposive sampling,
disesuaikan dengan tema, fokus, dan tujuan penelitian. Informan dalam
penelitian terdiri daribeberapa penutur lagu iko-iko, kelompok keluarga
masyarakat Bajo, dan anak usia sekolah (jenjang SMP).
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari telaah buku-buku atau literature, skripsi,
arsip dan sumber-sumber tertulis lainnya. Sumber-sumber tersebut diperoleh
dari jurnal, perspustakaan, serta dinas pariwisata.
3. Data Tersier
Data tersier adalah data penunjang dari data primer dan sekunder.
Data ini diperoleh melalui kamus atau teks-teks terjemahan bahasa daerah,
ensiklopedia, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tradisi lisan iko-iko
masyarakat Bajo.
3.5.Teknik Pengumpulan Data
Kemudian teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
tiga tahapan, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi.
1. Observasi

Observasi dalam penelitian ini dilakukan peneliti terfokus pada kegiatan


masyarakat Bajo dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Aspek yang
diamati dalam penelitian ini antara lain adalah: (1) observasi pada aktivitas
melaut masyarakat Bajo (2) observasi pada kegiatan bertutur bait-bait yang
dinyanyikan dalam tradisi iko-iko ketika melaut dan malam hari ketika
hendak memasuki waktu tidur.

34
2. Wawancara

Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data tentang tradisi iko-iko


masyarakat Bajo, dengan jumlah informan dalam penelitian ini yaitu 7 (tujuh)
orang yang terdiri dari 3 (tiga) orang penutur iko-iko, dan 4 (empat) anak usia
sekolah pada jenjang SMP. Kegiatan wawancara dalam penelitian ini
dilakukan peneliti terhadap informan yang terfokus pada proses tanya jawab
terkait pemaknaan siswa terhadap tradisi iko-iko di dalam kehidupannya
sehari-hari, dan tanya jawab dengan kelompok keluarga penutur lagu iko-iko
sebagai bentuk penanaman nilai-nilai pesan moral yang terkandung dalam
lagu iko-iko.
3. Studi Dokumen
Dalam penelitian ini, studi dokumen digunakan sebagai bukti untuk
memperkuat hasil dari wawancara yang dilakukan dan hasil dari observasi
lapangan yang dilakukan oleh peneliti. Studi dokumen yang digunakan
peneliti terdiri dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan nyanyian lagu
iko-iko (teks lirik lagu-lagu dalam tradisi lisan iko-iko), dan muatan materi
pembelajaran IPS pada jenjang SMP.
3.6. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan
data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.
Aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Analisis data
dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak,untuk itu
maka di perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti yang telah di kemukakan,
semakin lama peneliti di lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak,
kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui
reduksi data.

35
2. Penyajian Data
Setelah data reduksi,maka langkah selanjutnya mendisplaykan data.
Dalam penelitian kualitatif biasanya penyajian data mengunakan teks yang
bersifat naratif.
3. Verifikasi Data
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif yaitu penarikan kesimpulan
dan verifikasi. Kesimpulan awal yang di kemukakan masih bersifat sementara,
dan akan berubah apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan yang di kemukakan pada tahap awal, di dukung oleh bukti-bukti
yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data,
maka kesimpulan yang di kemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
3.7. Uji Keabsahan Data
Pemeriksaan terhadap keabsahan data merupakan salah satu bagian yang
sangat penting di dalam penelitian kualitatif yaitu untuk mengetahui derajat
kepercayaan dan hasil penelitian yang telah dilakukan. Untuk memeriksa
keabsahan data dalam penelitian ini digunakan triangulasi.Triangulasi dalam
pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai cara,
dan berbagai waktu.
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
2. Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
3. Triangulasi Waktu
Waktu yang sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan
dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar,
belum banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih
kredibel.

36
DAFTAR PUSTAKA

Abu, M. (2015). Kearifan tempatan dan potensinya sebagai tarikan pelancongan


berasaskan komuniti : Kajian kes komuniti Bajau Ubian di Pulau Local
knowledge and its potential as a community-based tourism attraction : The
case of the Bajau Ubian Community in Mantanani Island , Sabah. 12(12),
112–128.

Ali, I. (2010). Pembudayaan Lepa dan Sambulayang dalam Kalangan Suku Kaum
Bajau di Semporna , Sabah , Malaysia : Satu Penelitian Semula. 3(2071),
193–208.
Amat, A., & Samad, L. A. (2013). Bajau ’ s Tekodon : A Preliminary Study. 3(7),
445–459. https://doi.org/10.5901/jesr.2013.v3n7p445
Ancung, V. M., Sutisna, S., Teknik, F., Tarumanagara, U., Teknik, F.,
Tarumanagara, U., Berhuni, P., Lautan, S. P., & Bajau, S. (2021). POLA
Pemukiman Masa Depan Masyarakat Pengembara Laut , Suku Bajau. 3(1),
261–272. https://doi.org/10.24912/stupa.v3i1.10759
Andalas, E. F. (2021). Ekologi Budaya Suku Bajau dalam Novel Mata dan
Manusia Laut Karya Okky Madasari. 6(1), 15–30.
Bahasa, L. (2012). Situasi, Peristiwa dan Lakuan Bahasa dalam Kalang Sama.
Akademika, 82(1), 3–14.
Baskara, B. (2011). Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo Dalam Naskah
Lontarak Assalenna Bajo. 1(1), 15–27.
Belud, K., Nomis, S., & Mahali, H. (1999). Mantera:Satu penelitian Awal di
kalangan Petani Bajau. Jumal Kinabalu V(1999) 51-82, 51–82.

“Bue - Bue.” (n.d.). 116–134.


Farida, L., Chin, H., Kipli, M., & Rahman, A. (2017). Berasik Healing Ritual
Performance : Illness Etiology Perspectives amongst Bajau Sama Natives
Practices. 7(11), 233–245. https://doi.org/10.6007/IJARBSS/v7-i11/3455
Hussin, H., Baptist, J. J., Advancement, S., & Scholar, I. (2019). Scaping The
Bajau Through Rituals And Celebrations In Maritime Of Malaysia. 9–25.

Identity, T. (2003). The Identity and Social Mobility of Sama-Bajau. 21, 3–11.
Ilardo, M. A., Moltke, I., Korneliussen, T. S., Cheng, J., Stern, A. J., Racimo, F.,
de Barros Damgaard, P., Sikora, M., Seguin-Orlando, A., Rasmussen, S., van
den Munckhof, I. C. L., ter Horst, R., Joosten, L. A. B., Netea, M. G.,
Salingkat, S., Nielsen, R., & Willerslev, E. (2018). Physiological and Genetic
Adaptations to Diving in Sea Nomads. Cell, 173(3), 569-580.e15.
https://doi.org/10.1016/j.cell.2018.03.054

37
Ismail, I. E. (2015). Spatial Arrangement of Coastal Sama-Bajau Houses Based
on Adjacency Diagram Spatial Arrangement of Coastal Sama-Bajau Houses
Based on Adjacency Diagram. November.
https://doi.org/10.11113/ijbes.v2.n4.96
Ismail, I. E., Sani, A., Ahmad, H., & Ibrahim, I. (2015). Influences of Regional
Sama-Bajau Coastal Dwellings : Social Perspectives through Identity
Molding. 1(2). https://doi.org/10.18178/ijch.2015.1.2.022
Kajian Malaysia, Jld. XXV, No. 1, Jun 2007 Bogoo: (2007). 1.
Muslim, A., Islam, U., & Alauddin, N. (2020). Iko-Iko Siala Tangang ( Tracing
Moderatism of Religious Concept From the Oral Traditions of Bajau ) Iko-
Iko Siala Tangang (Tracing Moderatism of Religious Concept From the Oral
Traditions of Bajau). July. https://doi.org/10.4108/eai.8-10-2019.2294520
Nachrawie, M. (n.d.). No Title. 182–208.
Nisah, N., Prasetya, K. H., Musdolifah, A., Balikpapan, U., Balikpapan, U.,
Balikpapan, U., & Bahasa, P. (2020). Pemertahanan bahasa daerah suku
bajau samma di kelurahan jenebora kecamatan penajam kabupaten penajam
paser utara. 3(1), 51–65.
Nuraini, C. (2016). The intangible legacy of the Indonesian Bajo. Wacana, 17(1),
1–18. https://doi.org/10.17510/wacana.v17i1.427

Orientasi Percakapan Suku Melayu Bajau Kuala Tunggkal Jambi: Suatu Kajian
Antropol1nguistik H. Yundi Fitrah. (n.d.). 14(27).
Pariwisata, d. a. n., Media, S., Sumber, d. a. n., Ips, P., & Sd, D. I. (2018). Dwija
cendekia. 2(1), 43–51.
Pembelajaran, D., Untuk, S., & Karater, P. (n.d.). 279 | Seminar Nasional Sejarah
ke 4 Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang. 279–296.

Penelitian, J., & Sejarah, P. (2019). Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah E-


ISSN : 2502-6674 P-ISSN: 2502-6666. 1–12.
Perikanan, S. T., & Selatan, J. (2017). Peran Kearifan Lokal Suku Bajo dalam
Mendukung Pengelolaan Kawasan Konservasi di Kabupaten Wakatobi Esti
Hasrawaty, Pigoselpi Anas , Sugeng Hari Wisudo Abstrak PENDAHULUAN
Pada tahun 1996 , Taman Nasional Wakatobi ( TNW ) ditunjuk oleh gunung
, biotal la. 11(1), 25–34.
Qodariah, L. (2013). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga
sebagai Alternatif Sumber Belajar. 10(1), 10–20.
Rahman, F., & Hasanuddin, U. (2020). Budaya Di Alam Melayu Melalui
Pendekatan Multi-Disiplin. Seminar Antarabangsa Arkeologi , Sejarah ,
Bahasa Dan Budaya Di Alam Melayu ( ASBAM ) ke-8 Port Dickson , 27-28
38
Julai 2019 Editor : Zuliskandar Ramli Akin Duli Muhlis Hadrawi
Shamsuddin Ahmad Muhamad. July 2019.
Rahman, Monalisa. (2020). Kesenian Lamut Dan Keterkaitannya Sebagai Sumber
Belajar IPS. Universitas Lambung Mangkurat.
Renddan, B., Yasran, A., Aziz, A., & Dani, N. A. (2020). Advances in Language
and Literary Studies Shifting the Dimensionality of Language : Evidence
from Bilingual Bajau Sama Kota Belud in Malaysia. 1956, 12–24.
Sains Sosial dan Kemanusiaan, F. (2017). Adat dan Kepercayaan dalam Ritual
Kematian Masyarakat Bajau Belief and Customs in the Death Ritual of The
Bajau Community Nordiana binti Mosum Mohd Yuszaidy bin Mohd Yusoff.
Jurnal Wacana Sarjana Jilid, 1(1), 18. http://tafsirq.com/62-al-jumuah/ayat-
8.
Salniwati, S., & Haluoleo, U. (2020). Ritual Bantang Pada Suku Bajo Di Desa
Tasipi Kecamatan Tiworo.
Samad, L. A. (2018). A Narrative On The Origins Of Mantra In The Bajau
Community Of Pitas , Sabah ( Naratif Asal Usul Mantera dalam Masyarakat
Bajau.
Sendera, H., & Yakin, M. (2013). Cosmology and World-View among the Bajau :
The Supernatural Beliefs and Cultural Evolution. 4(9), 184–194.
https://doi.org/10.5901/mjss.2013.v4n9p184
Universitas, F., Balitar, I., & Http, B. (2016). No Title. 8(2), 173–186.
Utami, Sri., Widayati, Wahyu., dan L Tobing, Victor Marolitua. (2022). Tradisi
Lisan Kejhung Sebagai Sumber Pendidikan Dalam Penguatan Profil Pelajar
Pancasila Berbasis Kearifan Lokal Madura. Jurnal Ilmiah Hospitality, 11 (2).
Widodo, A., Studi, P., Ilmu, P., Sosial, P., Pascasarjana, P., & Malang, U. K.
(2017). Analisis Nilai-Nilai Falsafah Jawa Dalam Buku. 11(2), 152–179.

39

Anda mungkin juga menyukai