Anda di halaman 1dari 64

ANALISIS BAHASA PADA UPACARA PERNIKAHAN

ADAT JAWA TENGAH DI DESA KERAMAT


GAJAH KECAMATAN GALANG
KABUPATEN DELI SERDANG
(KAJIAN SOSIOLINGUISTIK)

PROPOSAL

OLEH :

YUYUN ISNARI
NPM. 191214007

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA
AL-WASHLIYAH
MEDAN
2023
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL WASHLIYAH

TANDA PERSETUJUAN PROPOSAL

Nama : YUYUN ISNARI


NPM : 191214007
Jurusan : Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Studi : Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Jenjang Pendidikan : Strata Satu (S-1)
Judul : Analisis Bahasa Pada Upacara Pernikahan
Adat Jawa Tengah Di Desa Keramat Gajah
Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang
(Kajian Sosiolinguistik)

Disetujui oleh:

K.a. Prodi PBSI Pembimbing,

Abdullah Hasibuan, S.Pd., M.Pd. Sutikno, S.Pd., M.Pd., Ph.D., CIQaR


NIDN. 0122028504 NIDN. 0110098104
DAFTAR ISI
Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN

DAFTAR ISI................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah................................................................... 4
1.3 Batasan Masalah......................................................................... 5
1.4 Rumusan Masalah...................................................................... 5
1.5 Tujuan Penelitian....................................................................... 5
1.6 Manfaat Penelitian..................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 7


2.1 Kajian Teori............................................................................... 7
2.1.1 Pengertian Analisis........................................................... 7
2.1.2 Hakikat Bahasa................................................................. 8
2.1.3 Bahasa dan Penggunaannya............................................. 8
2.1.4 Hubungan Bahasa dengan Budaya................................... 12
2.1.5 Penggunaan Bahasa Jawa Tengah di Sumatra Utara....... 15
2.1.6 Makna Pernikahan............................................................ 18
2.1.7 Rangkaian Acara Pernikahan Adat Jawa......................... 19
2.1.8 Kajian Sosiolinguistik...................................................... 35
2.1.8.1 Pengertian Sosiolinguistik................................... 35
2.1.8.2 Ruang Lingkup.................................................... 36
2.1.8.3 Masalah-masalah Sosiolinguistik........................ 36
2.1.8.4 Tujuan dan Manfaat Sosiolinguistik.................... 38
2.1.9 Masyarakat Bahasa.......................................................... 38
2.1.10 Hubungan Pernikahan Adat Jawa dengan Kajian
Sosiolinguistik............................................................... 46
2.2 Kajian Penelitian Relevan.......................................................... 47

i
2.3 Kerangka Berpikir...................................................................... 49

BAB III METODE PENELITIAN.............................................................. 50


3.1 Desain Penelitian........................................................................ 50
3.2 Narasumber dan Informan.......................................................... 50
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian..................................................... 52
3.4 Teknik Pengumpulan Data......................................................... 53
3.5 Teknik Analisis Data.................................................................. 55

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 56
LAMPIRAN

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penelitian ini mengkaji tentang keberadaan bahasa jawa dalam perkawinan

adat jawa masyarakat jawa tengah di desa keramat gajah secara

sosiolinguistik.Kajian sosiolinguistik ini diambil sebagai salah satu menelurusi

makna kehidupan yang berlaku di kalangan masyarakat jawa dalam adat

perkawinan yang memiliki nilai dan karakter kehidupan yang diperlukan oleh

setiap manusia dalam menjalankan kehidupan dan peran sebagai manusia yang

memiliki karakter dalam pembentukan generasi berikutnya. Menurut Pudjiwati

Sayogjo bahwa sosiolinguistik merupakan salah satu cabang dari ilmu

kebahasaan atau linguistik di mana menempatkan penggunaan bahasanya

memandang kedudukan penutur bahasa dalam hubungan sosial.

Menurut Sumarsono & Partana (dalam Fadlillah Haq Dkk, 2020:19)

mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah gabungan dari dua kata yakni

sosiologi atau sosio- yang berarti masyarakat dan linguistik yang berarti kajian

bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah suatu ilmu yang pengkajian bahasanya

berhubungan erat dengan situasi serta kondisi masyarakat, dimana hubungan

tersebut didukung oleh ilmu-ilmu dan teori sosial khususnya sosiologi.

Sosiolinguistik mengkaji tataran kebahasaan yang terdapat dalam kehidupan

manusia, khususnya mahasiswa Bahasa Indonesia secara beragam seperti dialek

dan campur kode dalam berkomunikasi.

1
2

Kajian sosilinguistik dalam perkawinan masyarakat jawa ini menggunakan

Bahasa kromo injil, perlu dilakukan kajian sosiolinguistik yang di intervrestasikan

kedalam Bahasa kehidupan sehari -hari agar setiap generasi muda memiliki

pengetahuan tentang makna perkawinan yang ada dalam adat perkawinan jawa

serta sebagai prinsip hidup yang berlaku dimasyarakat.Sebagai alat komunikasi

yang paling vital, bahasa, ketika digunakan dapat dijadikan media yang paling

efektif bagi para partisipan untuk saling memperkenalkan dan menafsirkan

keunikan budayanya masing-masing. Seiring dengan perkembangan linguistik

yang semakin luas, ternyata menyebabkan perubahan pandangan mengenai

hakikat bahasa dan batasan linguistik.

Seseorang akan melakukan tindakan meminta dengan berbagai cara

tergantung dari situasi dan kondisi penutur. Jika penutur dalam situasi emosi

marah, maka dia akan berujar semaunya dan tidak perduli orang yang dihadapinya

akan berkata apa. Sebaliknya jika penutur berada dalam situasi santai, maka dia

akan berujar dengan sopan dan menyenangkan sehingga orang yang diajak

berbicara senang. Fungsi bahasa secara praktis adalah sebagai alat komunikasi

yang digunakan untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.

Fungsi bahasa dalam hal ini tidak dapat dipisahkan dari konteks situasi dan

konteks budaya yang melatarbelakangi bahasa itu. Fungsi bahasa dalam arti

pemakaian atau penggunaan bahasa oleh penuturnya merupakan suatu peristiwa

sosial. Sebagaimana halnya dengan kebudayaan jawa yang terkenal banyak dan

berneka ragam ini, seperti kesenian-kesenian rakyat, tradisi-tradisi yang dianut

masyarakat Jawa yang sangat tradisional patut untuk dikaji dan ditelusuri lebih
3

mendalam kandungan nilai-nilai etis yang terkandung dalamnya, salah satunya

yang bisa dikaji ialah pernikahan adat, khususnya upacara pernikahan adat

masyarakat suku Jawa.

Pernikahan adat sebagai awal dari perkembangan manusia yang hidup

dalam koloni adat. Upacara pernikahan adat Jawa  merupakan langkah awal

pembentukan ciri khas karakter masyarakat khususnya masyarakat Jawa. Upacara

pernikahan adat Jawa Tengah ini juga merupakan proses pelestarian budaya yang

dijaga nilai-nilai budi luhurnya. Upacara pernikahan adat Jawa Tengah yang

dijadikan objek material dan dapat di kaji dengan etika sebagai objek formal.

Upacara pernikahan adat Jawa Tengah  dengan sudut pandang filsafat nilai atau

etika karena upacara pernikahan adat Jawa Tengah  memiliki latar belakang

filsafat yang jika di dipadupadankan antara objek material dan formal akan

menghasilkan nilai-nilai yang nanti dapat ditarik relevansinya dalam kehidupan

saat ini, terutama pergaulan remaja yang hedonis, yang telah lupa akan tanggung

jawab moral sebagai pribadi timur yang menjunjung nilai-nilai moral.

Pernikahan adat jawa terdapat beberapa tahapan atau prosesi yang harus

dilalui, dimana masing-masing tahapan tersebut memiliki makna yang sangat

sakral dan khusus. Di era globalisasi yang semakin moderen ini, ternyata sangat

berpengaruh sekali terhadap budaya yang ada. Dalam perkembangannya sekarang

ini, ternyata banyak sekali suku Jawa yang menggunakan ritual pernikahan adat

Jawa, tetapi mereka tidak mengetahui makna yang terdapat didalamnya. Atau

dapat dikatakan hanya sekedar ikut-ikutan, padahal filsafah yang tertanam

didalamnya memiliki makna yang sangat bagus dan patut kita tanamkan pada
4

generasi penerus agar mereka senantiasa mengingat betapa budaya Jawa

senantiasa menjunjung tinggi ritual yang sangat sakral.

Berdasarkan identifikasi di atas, penulis tertarik untuk mengkaji makna-

makna yang terdapat pada setiap prosesi yang dijalani pada pernikahan adat jawa

yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah yang berada di Sumatra

Utara khususnya di desa Keramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli

Serdang, melalui tulisan karya ilmiah dengan judul penelitian “Analisis Bahasa

pada Upacara Pernikahan Adat Jawa Tengah di desa Keramat Gajah Kecamatan

Galang Kabupaten Deli Serdang”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi dalam penelitian ini

sebagai berikut.

1. Bahasa yang digunakan dalam upacara pernikahan adat Jawa Tengah

adalah bahasa Jawa Halus/ Kromo.

2. Setiap bahasa yang diungkapkan oleh tokoh masyarakat Desa Keramat

Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang memiliki makna

bahasa yang berbeda.

3. Ungkapan bahasa yang digunakan tokoh petuah adat Jawa dalam

pernikahan yang bernuansa Jawa Tengah di Desa Keramat Gajah

Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang memiliki fungsi yang

beragam.
5

1.3 Batasan Masalah

Mengingat banyaknya tradisi yang dilakukan dalam budaya Jawa Tengah,

maka penelitian ini dibatasi pada analisis bahasa pada upacara pernikahan adat

Jawa Tengah di Desa Keramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli

Serdang dalam kajian sosiolinguistik.

1.4 Rumusan Masalah

Zuriah (2018:35) mengatakan masalah perlu dirumuskan secara jelas

karena dengan perumusan yang jelas, peneliti diharapkan dapat mengetahui

variabel-variabel apa yang akan diukur dan apakah alat ukur yang sesuai untuk

mencapai tujuan penelitian. Agar lebih terarah maka peneliti merumuskan

masalah dalam penelitian ini yaitu: “Bagaimanakah bentuk penggunaan bahasa

pada prosesi upacara pernikahan adat Jawa Tengah yang ada di desa Keramat

Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang dalam kajian sosiolinguistik?”

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah: “Untuk menganalisis

penggunaan bahasa pada upacara pernikahan adat Jawa Tengah di desa Keramat

Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang dalam kajian sosiolinguistik”.


6

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah secara praktisnya

sebagai pendukung bahan kajian penelitian dimasa yang akan datang; sebagai

bahan latihan berpikir kritis untuk mencari dan membuktikan kebenaran suatu

masalah. Secara teoritis yaitu:

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat Jawa Tengah yang

berada di Sumatra Utara khususnya di desa Keramat Gajah Kecamatan

Galang Kabupaten Deli Serdang dalam kesantunan berbudaya.

2. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pemuda-pemudi untuk dapat

memahami makna yang terkandung dalam setiap resepsi pernikahan adat

Jawa Tengah.

3. Untuk memperkenalkan budaya masyarakat Jawa Tengah di era globalisasi

kepada generasi penerus bangsa khususnya mahasiswa dan untuk mengangkat

budaya Jawa agar tidak rusak ditelan masa.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pengertian Analisis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Analisis adalah

penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri

serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan

pemahaman arti keseluruhan”.

Menurut Nana Sudjana (dalam Mardatila, 2022), ia mengatakan bahwa

“Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-unsur atau bagian-

bagian sehingga jelas hirarkinya dan atau susunannya”. Sedangkan menurut

Abdul Majid (dalam Mardatila, 2022), “Analisis adalah (kemampuan

menguraikan) adalah menguraikan satuan menjadi unit-unit terpisah, membagi

satuan menjadi sub-sub atau bagian, membedakan antara dua yang sama, memilih

dan mengenai perbedaan ( diantara beberapa yang dalam satu kesatuan)”.

Analisis adalah suatu kegiatan untuk menemukan temuan baru terhadap

objek yang akan diteliti ataupun diamati oleh peneliti dengan menemukan bukti-

bukti yg akurat pada objek tersebut.

7
8

2.1.2 Hakikat Bahasa

Chaer (2018:41) mengemukakan adanya dua belas prinsip dasar

hakikat bahasa yaitu bahasa adalah suatu sistem, bahasa itu berwujud

lambang, bahasa itu berupa bunyi, bahasa itu bersifat arbitrer, bahasa itu

bermakna, bahasa itu bersifat konvensional, bahasa itu bersifat unik,

bahasa itu bersifat universal, bahasa itu bersifat produktif, bahasa itu

bervariasi, bahasa itu bersifat dinamis, dan bahasa itu berfungsi sebagai

alat komunikasi.

Maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi

yang arbitrer yang digunakan oleh kelompok social untuk menyampaikan ide,

pesan, perasaan, maksud, dan pendapat kepada orang lain.

2.1.3 Bahasa dan Penggunaannya

Penggunaan bahasa dapat diartikan sebagai cara-cara mempergunakan

unsur-unsur dan kaidah-kaidah bahasa yang sesuai dengan konteks komunikasi

dalam masyarakat.

Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu

makna atau pengertian. Sebagaimana dikemukakan Chaer (dalam Indriani

Dkk, 2019:34), dengan memberi contoh pemakaian bahasa dalam kalimat-

kalimat:

1. Dika belajar bahasa Inggris, Nita belajar bahasa jepang.

2. Manusia mempunyai bahasa, sedangkan binatang tidak.

3. Hati-hati bergaul dengan anak yang tidak tahu bahasa itu.


9

4. Dalam kasus itu ternyata dan camat tidak mempunyai bahasa yang sama.

5. Katakankanlah dengan bahasa bunga!

6. Permasalahan itu tidak bias diselesaikan dengan bahasa militer.

7. Kalau dia memberi kuliah bahasanya penuh dengan kata dari pada dan

akhiran kan.

8. Kabarnya, Nabi Sulaiman mengerti bahasa semut.

Kata bahasa kalimat (1) Jelas menunjukkan pada bahasa tertentu;

(2) Kata bahasa menunjukkan bahasa pada umumnya. Pada kalimat (3)

Kata berarti sopan santun; pada kalimat (4) Kata bahasa berarti kebijakan

dalam bertindak; pada kalimat (5) Kata bahasa berarti maksud-maksud

dengan bunga sebagai lambang; pada kalimat (6) Kata bahasa berarti cara;

pada kalimat (7) Kata bahasa berarti ujaran; pada kalimat (8) Kata bahasa

bersifat hipotesis. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan hanya pada

kalimat (1), (2), dan (7) saja kata bahasa itu digunakan secara harfiah,

sedangkan pada kalimat lain digunakan sebagai kias.

Kosasih (dalam Alvidril dan Ellya Ratna, 2021) mengatakan

bahwa: “Bahasa dapat diartikan sebagai rangkaian bunyi yang mempunyai

makna tertentu”. Rangkaian bunyi yang dikenal sebagai kata,

melambangkan suatu konsep. Umumnya perkataan kuda melambangkan

konsep “sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai” dan

lambang bahasa spidol melambangkan makna “sejenis alat tulis bertinta”.

Demikian halnya, dengan perkataan gunung atau burung merpati


10

sebenarnya merupakan lambang yang memberikan untuk konsep atau

objek tertentu.

Perlu disadari untuk memberikan lambang kepada suatu konsep

tidak sembarangan. Memberi nama kepada suatu objek berdasarkan

konvensi atau kesepakatan masyarakat pemakaian bahasa, misalnya dalam

pemakaian bahasa Indonesia melambangkan binatang berkaki empat yang

biasa dikendarai dengan kuda dan tidak boleh lain. Jika konvensi itu

dilanggar, misalnya dengan melambangkan konsep itu dengan akud atau

duka, maka proses komunikasi akan terhambat.

Pembendaharaan kata pada bahasa apapun pada hakikatnya

merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran masyarakat pemakai

bahasa itu. Oleh karena itu, pembendaharaan kata senantiasa bertambah

seiring dengan bertambahnya pengalaman dan pemikiran mereka.

Perkataan sputnik dan playstation belum ada dalam pembendaharaan kata

nenek moyang kita sebab pengalaman mereka belum sampai ke sana.

Kata-kata tersebut baru akhir-akhir ini saja melengkapi pembendaharaan

kata. Inilah yang menyebabkan kata-kata dalam suatu bahasa terus

berkembang yakni disebabkan pengalaman dan pemikiran manusia yang

juga terus berkembang.

Kumpulan lambang bunyi atau pembendaharaan kata, dalam

pemakaianya tidak terlepas dari yang satu dengan lainnya. Kata-kata itu

dipergunakan dalam suatu sistem yang terpola. Walaupun bunyi-bunyi

bahasa digunakan sudah benar sesuai dengan konvensi, tetapi bila


11

hubungan antara kata-katanya itu tidak terpola, maka proses komunikasi

tidak akan berjalan dengan baik. Pola-pola hubungan antar kata,

melahirkan suatu sistem bahasa yang lebih besar yang berturut-turut

disebut frase, klausa, kalimat, paragrap, dan wacana.

Bahasa merupakan alat untuk berpikir dan belajar. Bahasa

memungkinkan untuk berpikir secara abstrak. Seseorang dapat

memikirkan sesuatu meskipun objek yang dipikirkan itu tidak berada di

dekat seseorang. Dengan simbol-simbol bahasa yang abstrak, seseorang

dapat memikirkan sesuatu secara terus-menerus dan kemudian mewariskan

pengalamannya itu kepada generasi-generasi berikutnya. Dapat pula

mengkomunikasikan sesuatu yang kita pikirkan dan dapat pula belajar

sesuatu dari orang lain.

Seseorang dapat mengekspresikan sikap dan perasaan. Seseorang

dapat menyampaikan segala hal yang berkecamuk dalam pikiran dan hati,

tidak hanya dengan ekspresi dan gerak-gerik tubuh, tetapi juga dengan

bahasa. Dibandingkan dengan yang lainnya, bahasa merupakan alat

komunikasi yang paling efektif. Dengan bahasa kita dapat menyatakan

kegembiraan, kesedihan, harapan, dan perasaan-perasaan lainnya.

Menggunakan bahasa, perasaan-perasaan itu dapat dimengerti orang lain

dengan mudah.

Bahasa Indonesia dikenal adanya ragam resmi dan ragam tidak

resmi. Ragam bahasa resmi digunakan dalam situasi-situasi formal, seperti

pidato kenegaraan, berita pidato dan televisi, penulisan karya-karya ilmiah,


12

dan sejenisnya. Ragam bahasa tidak resmi digunakan dalam situasi-situasi

yang informal, seperti pada percakapan keluarga, dengan teman sebaya, di

pasar ketika sedang tawar-menawar, dan ketika menulis surat pribadi atau

buku harian.

Ragam bahasa resmi berbeda dengan ragam bahas tidak resmi.

Ragam bahasa resmi memiliki keteraturan dan kebakuan. Ragam bahasa

ini kemudian diangkat sebagai kaidan umum dalam berbahasa. Ragam

bahasa ini dijadikan patokan benar tidaknya bahasa seseorang.

Resmi tidaknya suatu penggunaan bahasa dapat diketahui melalui

kaidah atau pedoman-pedoman berbahasa baku yang ditetapkan

pemerintah ataupun oleh para ahli bahasa. Di Indonesia, pedoman

berbahasa resmi dapat mengacu pada:

1. Peraturan EYD,

2. Pedoman pembentukkan istilah,

3. Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan

4. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

Ciri-ciri di atas dapat dibedakan bahwa ragam bahasa resmi adalah

ragam bahasa yang sebagai berikut:

1. Tidak dipengaruhi oleh dialek regional, seperti kata, gua, nyapain, dan

dilihatin.

2. Terbatasnya jumlah kosakata percakapan, seperti tapi, situ, gimana, dan

gini.
13

3. Tidak dipengaruhi unsur bahasa daerah dan asing, seperti menghaturkan,

kerawuhan, you, dan ana.

4. Pemakaian imbuhan secara eksplisit.

5. Penggunaan struktur kalimat secara lengkap.

2.1.4 Hubungan Bahasa dengan Budaya

Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi bahasa dan

kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai

hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Bahasa

sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan cara berpikir manusia atau

masyarakat penuturnya. Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip

Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa

bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan

merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah

lingkup kebudayaan. Masinambouw (dalam Wiajaynti, 2021:30:)

menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang

melekat pada manusia. Jika kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur

interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu

sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Silzer

(dalam Cahyaningrum Dkk, 2018:33) mengatakan bahwa bahasa dan

kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak

kembar siam atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem

bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya. Menurut Nababan
14

(2015:21 dalam Syahputra, 2022) ada dua macam hubungan bahasa dan

kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan (filogenetik),

dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik).

Bahasa merupakan sarana pemertahanan kebudayaan. Sebuah

kebudayaan akan mampu dimengerti, dipahami, dan dijunjung oleh

penerima budaya jika mereka mengerti bahasa pengantar kebuadayaan

tersebut. Bahkan sering timbul pendapat bahwa kebudayaan lahir karena

bahasa, tanpa bahasa tidak akan pernah ada budaya. Meski begitu ternyata

bahasa suatu masyarakat ternyata sangat dipengaruhi oleh kebudayaan

masyarakatnya. Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa

bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan

budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku

untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa

lain

Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai

masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan

berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’

mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira

senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging

ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa

yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet

takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-
15

bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing

penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.

Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh

Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2019:338). Berdasarkan

penelitiannya pada tahun 2015 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang

menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua

ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek

masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai

media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan

komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-

bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu

dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap

komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek

tersebut.

2.1.5 Penggunaan Bahasa Jawa Tengah di Sumatra Utara

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa

Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Selain itu, Bahasa

Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal di beberapa daerah lain

seperti di Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon

dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara

terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon


16

dan kabupaten Cirebon, Sumatera Utara terutama kota Kisaran, kabupaten

Asahan. Penduduk Jawa yang merantau, membuat bahasa Jawa bisa

ditemukan di berbagai daerah bahkan di luar negeri. Banyaknya orang

Jawa yang merantau ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan

Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang

dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa.

Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di

berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan

luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup

signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatera Utara (32,6%), Jambi

(27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatera

Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan

di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli

sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa

Kelahiran Sumatera), dengan dialek dan beberapa kosa kata Jawa Deli.

Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program

transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.

Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam

jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara

keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba

dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah

Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong

Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah


17

sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral

dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek

Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini.

Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena

beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti

bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam

sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.

Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa),

dan krama (halus). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk

"penghormatan" (ngajekake, honorific) dan "perendahan" (ngasorake,

humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat

tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa

ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang

bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko,

namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama

andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di

Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang

memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini. Seperti halnya didaerah

Sumatera Utara bahasa Jawa yang digunakan lebih cenderung pada Jawa

ngoko. Jawa ngoko merupakan bahasa informal, yang umumnya

digunakan di antara teman sebaya dan kerabat-kerabat terdekat, serta juga

digunakan oleh orang dengan status sosial yang lebih tinggi kepada lawan
18

bicara yang memiliki status sosial yang lebih rendah. Meskipun demikian

bahasa ngoko juga memiliki tingkatan, hal tersebut dapat kita lihat dari

contoh di bawah ini:

Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya, rumah Kak Budi itu, di mana?"

1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng ndi?’

2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”

3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi

kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa

Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)

Ngoko adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa

ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya dihindari

untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih

tua.Tingkat tutur ngoko yaitu unggah- ungguh bahasa Jawa yang

berintikan leksikon ngoko. Ciri-ciri katanya terdapat afiks di-,-e dan –ake.

Ragam ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh

mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan

bicara (mitra wicara). Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu

ngoko lugu dan ngoko alus (dalam Nurjayanti, 2022).

2.1.6 Makna Pernikahan


19

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang

Maha Esa. Pernikahan adat Jawa terkenal dengan kerumitan acaranya.

Akan tetapi, pernikahan merupakan suatu upacara yang sangat penting

dalam masyarakat Jawa. Karena makna utama dari upacara pernikahan

adalah pembentukan keluarga baru yang mandiri. Selain makna tersebut,

pernikahan juga dimaknai sebagai tali persaudaraan (Nirmalasari, 2018:2).

Pernikahan bukanlah masalah seorang saja. Segala sesuatu yang

bersangkutan dengannya juga menjadi tanggung jawab bersama. Dalam

melaksanakan pernikahan tentu ada berbagai cara atau proses

pelaksanaannya. Pernikahan berdasarkan adat berarti berlangsungnya

acara pernikahan tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma adat.

Upacara pernikahan adat merupakan unsur budaya yang dihayati

dari masa ke masa yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang

sangat luas dan kuat, mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap

individu dalam masyarakat (Gunawan, 2019:20). Upacara pernikahan adat

memiliki proses. Dalam proses tersebut terdapat hal-hal yang dilakukan

oleh orang-orang yang bersangkutan. Mereka melakukan tindakan dan

sikap tertentu sesuai norma-norma yang berlaku.

Tindakan dalam bentuk gerak-gerik tubuh pasti memiliki makna tertentu, bukan

hanya kata-kata yang diucapkan.


20

Hubungan cinta kasih antara wanita dengan pria, setelah melalui

proses dan pertimbangan. Biasanya dimantapkan dalam sebuah tali

pernikahan, hubungan dan hidup bersama secara  resmi  selaku suami istri

dari segi hukum, agama dan adat. Pada prinsipnya pernikahan terjadi

karena  keputusan dua insan yang saling jatuh cinta. Meski ada juga

pernikahan yang terjadi karena dijodohkan orang tua yang terjadi dimasa

lalu.Sementara orang-orang tua zaman dulu berkilah melalui pepatah:

Witing tresno jalaran soko kulino, artinya : Cinta tumbuh karena terbiasa.

Sebuah pernikahan tentu akan mempertemukan dua buah keluarga

besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku, kedua insan yang

berkasihan  akan memberitahu keluarga masing-masing bahwa mereka

telah menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk dijadikan

suami/istrinya. Biasanya masing-masing keluarga mempertimbangkan

penerimaan seorang calon menantu berdasarkan kepada bibit, bebet dan

bobot.

(a) Bibit      : mempunyai latar kehidupan keluarga yang baik.

(b) Bebet   : calon penganten, terutama pria, mampu memenuhi kebutuhan

keluarga.

(c) Bobot   : kedua calon penganten adalah orang yang berkualitas, bermental

baik dan berpendidikan cukup.  

2.1.7 Rangkaian Acara Pernikahan Adat Jawa

1. Pinangan
21

Biasanya yang melamar adalah pihak calon penganten pria. Orang tua

calon penganten pria mengutus salah seorang anggota keluarganya untuk

meminang, atau orang tua pihak lelaki bisa langsung meminang kepada orang tua

pihak wanita . Bila sudah diterima, langsung akan dibicarakan langkah-langkah

selanjutnya sampai terjadinya upacara perkawinan. Hal-hal yang perlu

dibicarakan antara lain meliputi : tanggal dan hari pelaksanaan perkawinan,

ditentukan kapan pernikahannya, jam berapa, biasanya dicari hari baik. Dalam

pelaksanaan perkawinan adat Jawa, pihak calon penganten wanita secara resmi

adalah yang punya gawe, pihak pria membantu. Bagaimana pelaksanaan upacara

perkawinan, apakah sederhana, sedang-sedang saja atau pesta besar yang

mengundang banyak  tamu dan lengkap dengan hiburan, secara realitas itu tentu

tergantung kepada anggaran yang tersedia.

2. Siraman

Siraman berasal dari kata siram, artinya mandi. Sehari sebelum

pernikahan, kedua calon penganten disucikan dengan cara dimandikan

yang disebut Upacara Siraman. Calon penganten putri dimandikan

dirumah orang tuanya, demikian juga calon mempelai pria juga

dimandikan dirumah orang tuanya. Sebelum upacara inti Siraman dimulai,

biasanya didahului dengan upacara pemasangan Blakatepe dan Tuwuhan.

Pada upacara pemasangan Blaketepe dan Tuwuhan ini perlengkapan utama

yang harus disiapkan adalah tangga dan baki berisi padi.

1. Pasang Blaketepe
22

Tradisi membuat ’blaketepe’ atau anyaman daun kelapa untuk

dijadikan atap atau peneduh resepsi manten, merupakan ajaran Ki Ageng

Tarub, salah satu leluhur raja-raja Mataram. Saat mempunyai hajat

menikahkan anaknya Dewi Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan,

Ki Ageng membuat peneduh dari anyaman daun kelapa. Hal itu dilakukan

karena rumah Ki Ageng yang kecil tidak dapat memuat semua tamu,

sehingga tamu yang diluar rumah diteduhi dengan payon daun kelapa itu.

Dengan diberi ’payon’, maka ruang yang dipergunakan untuk para

tamu Agung menjadi luas dan menampung seluruh tamu. Kemudian payon

dari daun kelapa itu disebut ’tarub’, berasal dari nama orang yang pertama

membuatnya. Tatacara memasang tarub adalah bapak naik tangga

sedangkan ibu memegangi tangga sambil membantu memberikan

’blaketepe’ (anyaman daun kelapa). Tatacara ini menjadi perlambang

gotong- royong kedua orang tua yang menjadi pengayom keluarga.

2. Pasang Padi (melengkapi Tuwuhan)

Saudara kandung pengantin wanita membawa baki berisi padi.

Padi ini akan dipasang oleh kedua orang tua Calon Pengantin Wanita pada

tuwuhan yang sudah di pasang pada pintu gerbang rumah. Tuwuhan

mengandung arti suatu harapan kepada anak yang dijodohkan dapat

memperoleh keturunan, untuk melangsungkan sejarah keluarga. Tuwuhan

terdiri dari :

(a) Pohon pisang raja yang buahnya sudah masak, Maksud dipilih pisang

yang sudah masak adalah diharapkan pasangan yang akan menikah


23

telah memiliki pemikiran dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang

raja mempunyai makna pengharapan agar pasangan yang akan

dinikahkan kelak mempunyai kemakmuran, kemuliaan dan

kehormatan seperti raja.

(b) Tebu wulung berwarna merah tua sebagai gambaran tuk-ing memanis

atau sumber rasa manis. Hal ini melambangkan kehidupan yang serba

enak. Sedangkan makna wulung (hitam) bagi orang Jawa berarti sepuh

atau tua. Setelah memasuki jenjang perkawinan, diharapkan kedua

mempelai mempunyai jiwa sepuh yang selalu bertindak dengan

’kewicaksanaan’ atau kebijakan.

(c) Cengkir Gadhing merupakan Air kelapa muda (banyu degan), adalah

air suci bersih, dengan lambang ini diharapkan cinta mereka tetap suci

sampai akhir hayat.

(d) Daun randu dan pari sewuli. Randu melambangkan sandang,

sedangkan pari melambangkan pangan. Sehingga hal itu bermakna

agar kedua mempelai selalu tercukupi sandang dan pangannya.

(e) Godhong apa-apa (bermacam-macam dedaunan) Seperti daun beringin

yang melambangkan pengayoman, rumput alang-alang dengan

harapan terbebas dari segala halangan.

Setelah upacara pasang Blaketepe dan Tuwuhan selesai,

selanjutnya adalah prosesi Siraman. Sebelum melakukan siraman calon

pengantin harus melakukan sungkeman kepada Bapak dan Ibu pengantin.

Pada acara sungkeman ini menunjukkan tanda bakti seorang anak kepada
24

orang tua dan sekaligus menjadi ajang mencurahkan rasa terima kasih dan

permohonan maaf dan doa restu seorang anak kepada orang tuanya.

Biasanya pada saat sungkeman ini suasana sangat mengharukan. Dan pasti

calon pengantin dan orang tua akan bercucur air mata. Setelah acara

sungkeman selesai barulah dilaksanakan acara siraman.

Perlengkapan yang perlu disiapkan pada prosesi siraman ini antara

lain adalah:

1. Persiapan tempat untuk siraman, apakah dilakukan dikamar mandi atau

dihalaman rumah belakang atau samping.

2. Daftar orang-orang yang akan  ikut memandikan. Sesuai tradisi selain

kedua orang tua temanten, eyang temanten, beberapa pinisepuh.  Yang

diundang untuk ikut memandikan  adalah mereka yang sudah sepuh,

sebaiknya sudah punya cucu dan punya reputasi kehidupan yang baik

(sudah pernah mantu).

3. Sejumlah barang yang diperlukan  seperti: tempat air, gayung, kursi,

kembang setaman, kain, handuk, kendi, dan sebagainya.

4. Pihak keluarga penganten putri mengirimkan sebaskom air kepada pihak

keluarga penganten pria. Air itu disebut air suci perwitosari artinya sari

kehidupan, yaitu air yang dicampur dengan beberapa macam bunga,yang

ditaruh dalam wadah yang bagus, untuk dicampurkan  dengan air yang

untuk memandikan penganten pria. 

5. Pihak terakhir yang memandikan penganten adalah pemaes, yang

menyirami calon penganten dangan air dari sebuah kendi. Ketika kendi
25

telah kosong, pemaes atau seorang pinisepuh yang ditunjuk, membanting

kendi dilantai sambil berkata: Wis pecah pamore.artinya calon penganten

yang cantik atau gagah sekarang sudah siap untuk kawin.   

3. Upacara Ngerik

Usai siraman, rangkaian prosesi selanjutnya adalah ngerik. Tujuan dari

upacara ini adalah untuk membuang sial, agar calon pengantin sungguh-sungguh

bersih, baik secara lahir maupun batin. Ngerik artinya rambut-rambut kecil

diwajah calon pengantin wanita dengan hati-hati dikerik oleh pemaes (perias

pengantin). Adapun tata cara pelaksanaan prosesi ngerik adalah sebagai berikut:

a. Setelah masuk ke kamar pengantin, calon pengantin wanita dipersilahkan

duduk ditempat yang telah disediakan.

b. Selanjutnya, juru rias mulai mengeringkan rambut calon pengantin wanita

yang basah setelah siraman, dengan handuk.

c. Setelah kering, rambut disisir ke belakang dan diikat dengan tali kuat-kuat

agar rambut tidak lepas, lalu digulung.

d. Kemudian, juru rias mulai membersihkan wajah dan leher calon pengantin

wanita.

e. Dahi calon pengantin wanita mulai digambar penunggul, penitis, pengapit,

godhek dan cengkorongan sampai bersih.

f. Berikutnya, juru rias mengerik rambut dan bulu-bulu halus yang tumbuh di

luar cengkorongan sampai bersih.


26

g. Calon pengantin wanita pun mulai dirias.

h. Setelah selesai dirias, calon pengantin wanita mengenakan kain dan kebaya

yang sudah disiapkan dan kain batik motif Sidomukti dan Sidoasih,

melambangkan dia akan hidup makmur dan dihormati oleh sesama.

4. Upacara Midodareni

Pada upacara midodareni yang  berlangsung dimalam hari sebelum Ijab

dan Temu Manten/Panggih di keesokkan harinya, kedua orang tua calon

mempelai pria beserta calon mempelai pria, diantar oleh keluarga dekatnya,

berkunjung kerumah orang tua calon mempelai putri. Calon mempelai putri

setelah dirias dikamar pelaminan, nampak cantik sekali bagai widodari, bidadari,

dewi dari kahyangan.

Malam itu dia harus tinggal dikamar dan tidak boleh tidur dari jam enam

sore sampai tengah malam. Selama waktu itu pula, calon pengantin wanita tidak

diperbolehkan keluar dari kamar pengantin dan tidak diperkenankan pula bertemu

dengan calon pengantin pria. Begitu juga sebaliknya, apabila calon pengantin pria

sudah datang, maka ia tidak diperkenankan menjumpai calon pengantin wanita.

Selama berada dikamar pengantin, beberapa ibu sepuh menemani dan

memberikan nasihat-nasihat berharga. Apabila ada tamu yang ingin bertemu

dengan calon pengantin wanita, maka mereka harus masuk ke kamar pengantin.

Isi dari upacara midodareni ini pada dasarnya merupakan upacara

tirakatan bagi calon pengantin. Adapun maksud dari diadakannya tirakatan

adalah sebagai upaya diri untuk laku prihatin dan berlatih mengendalikan diri,
27

sekaligus sebagai permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar perkawinan yang

akan dilaksanakan mendapatkan berkah dan rahmat dari-Nya.

Dalam upacara midodareni, bisa dilakukan srah-srahan atau peningsetan. 

Peningsetan dari kata singset, artinya mengikat erat, dalam hal ini terjadinya

komitmen  akan sebuah perkawinan antara putra-putri kedua pihak  dan para

orang tua penganten yang akan menjadi besan. Orang tua dan keluarga calon

penganten pria memberikan beberapa barang kepada orang tua calon penganten

wanita. Pemberian itu berupa : Satu set suruh ayu sebagai perlambang  harapan

tulus  supaya mendapatkan keselamatan. Seperangkat pakaian untuk penganten

wanita, termasuk beberapa kain batik dengan motif yang melambangkan

kebahagiaan hidup. Tidak boleh ketinggalan sebuah stagen, ikat pinggang kain

putih  yang besar dan panjang, sebagai pertanda kuatnya  tekad.Beberapa hasil

bumi antara lain beras, gula, garam, minyak goreng, buah-buahan dan

sebagainya, sebagai pralambang hidup kecukupan dan sejahtera bagi keluarga

baru. Sepasang cincin kawin untuk kedua mempelai. Pada kesempatan ini, pihak

calon mempelai pria menyerahkan sejumlah uang, sebagai sumbangan untuk

pelaksanaan upacara perkawinan. Sesudah bersantap bersama dan saling

berkenalan, seluruh keluarga rombongan orang tua  temanten pria berpamitan

untuk pulang. Mereka perlu mempersiapkan diri untuk besok yaitu pelaksanaan 

upacara perkawinan yang penting termasuk pernikahan secara agama, upacara

adat temu manten  dan sebagainya.

Dalam tradisi Jawa, terdapat istilah lek-lekan, di mana selama prosesi

midodareni, selain didampingi orang tua dan pinisepuh, calon pengantin juga
28

didampingi oleh para tamu yang hadir. Biasanya, para tamu yang hadir itu adalah

kerabat atau saudara dekat serta tetangga dekat calon pengantin. Akan tetapi,

para tamu yang hadir tidak ikut mendampingi calon pengantin didalam kamar

pengantin, melainkan berada di luar kamar pengantin sambil duduk-duduk dan

berbincang-bincang tentang hal-hal positif.

5. Upacara Perkawinan

a. Ijab Kabul

Ijab atau akad nikah merupakan syarat yang paling penting dalam

mengesahkan pernikahan, dimana dengan ijab ini, pasangan pengantin

yang tadinya belum terikat perkawinan kini resmi menjadi suami istri.

Pelaksanaan dari Ijab sesuai dengan agama dari pasangan pengantin. Pada

saat ijab orang tua (Ayah/wali) pengantin perempuan menikahkan anaknya

kepada pengantin pria. Dan pengantin pria menerima nikahnya pengantin

wanita yang disertai dengan penyerahan mas kawin bagi pengantin wanita.

Pada saat ijab ini akan disaksikan oleh Penghulu atau pejabat pemerintah

yang akan mencatat pernikahan mereka.

Setelah ijab kabul sah secara agama dengan dihadiri dan disahkan

oleh para saksi, acara dilanjutkan dengan doa, khutbah nikah, serta

penyerahan maskawin oleh pengantin pria kepada pengantin wanita,

dengan jenis dan jumlah sebagaimana yang telah disebutkan dalam ucapan

ijab kabul tersebut. Setelah semuanya selesai, maka pengantin sekarang

sudah sah menjadi suami istri, baik secara agama ataupun negara.
29

b. Panggih

Upacara panggih dilaksanakan setelah upacara akad nikah atau ijab

kabul. Kata panggih berasal dari bahasa jawa, yang artinya

bertemu.Pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dengan pengantin

laki-laki yang tampan di depan rumah yang di hias dengan tanaman Tarub.

Pengantin laki-laki di antar oleh keluarganya, tiba di rumah dari orangtua

pengantin wanita dan berhenti di depan pintu gerbang. Pengantin wanita,

di antar oleh dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari kamar

pengantin. Orangtuanya dan keluarga dekat berjalan di belakangnya.

Selama prosesi upacara panggih , biasanya diiringi dengan gending.

Gending yang digunakan dalam setiap tahapan upacara panggih

berbeda-beda. Misalnya, Gending Bindri untuk mengiringi kedatangan

pengantin pria; Gending Ladrang pengantin untuk mengiringi upacara

panggih, mulai dari balangan (saling melempar) sirih, wijik (pengantin

wanita mencuci kaki pengantin pria), hingga memecah telur; dan Gending

Boyong atau gending Puspowarno untuk mengiringi upacara tampa kaya

(kacar-kucur) dan dahar walimah. Setelah dahar walimah selesai, bunyi

tabuhan gending tersebut dilemahkan untuk mengiringi datangnya sang

besan dan dilanjutkan dengan upacara sungkeman.

Dalam upacara Panggih,terdapat kembar mayang biasanya

berjumlah dua pasang dan diletakkan di sebelah kanan dan kiri dekor/rono.

Ketika upacara panggih akan dimulai, sepasang kembar mayang

dikeluarkan oleh seorang manggolo (yang ditunjuk untuk menjemput


30

pengantin pria), sedangkan kembar mayang yang sepasang lagi dibawa

oleh dua putri domas yang mengiringi penganten putri. Saat ritual adat

berlangsung dalam acara temu pengantin, sepasang kembar mayang yang

mengiringi pengantin pria (dari luar) ditukarkan dengan kembar mayang

yang mengiringi pengantin putri. Kedua kembar mayang dari luar tersebut

selanjutnya mengiringi kedua mempelai hingga pelaminan. Pertukaran

kembar mayang memberikan arti telah “ditukarnya” kedua mempelai dan

bergabungnya mereka dalam keluarga baru mertuanya sehingga menjadi

ibarat anak sendiri.

Kembar Mayang adalah simbol doa dan harapan keluarga terhadap

jalannya sebuah prosesi perkawinan adat Jawa.Terdapat empat jenis hiasan

janur yang terdapat dalam Kembar Mayang. Janur yang dianyam

menyerupai bentuk keris bermakna melindungi dari marabahaya, hal ini

dimaksudkan agar kedua mempelai berhati-hati dalam mengarungi

kehidupan keluarga. Janur yang dianyam seperti bentuk belalang

(walang:bahasa jawa) memiliki makna agar tidak terjadi halangan dalam

berkeluarga. Janur yang berbentuk payung bermakna pengayoman, dan

janur yang berbentuk burung melambangkan kerukunan dan kesetiaan

sebagaimana burung merpati.

Sedangkan makna yang terkandung dalam kembang panca warna

diantaranya; Beringin berarti agar kedua mempelai bisa saling

mengayomi; Daun puring, supaya dalam keluarga tidak terjadi uring-

uringan (dapat menahan amarah); Daun andong, untuk menjaga sopan


31

santun terhadap sesama; dan daun lancur, bermakna agar kedua

mempelai hendaknya mampu berpikir panjang dalam menghadapi

berbagai permasalahan hidup.Bunga yang disertakan adalah melati, kantil,

dan pudak, serta bunga merak. Buah yang biasanya digunakan adalah

nanas yang diletakkan di posisi paling atas, kadang-kadang ditambah apel

dan jeruk. Sindur (selendang pinggang berwarna merah-putih) juga

dibebatkan pada kembar mayang.

Dalam tradisi Jawa kedua kembar mayang tersebut memiliki nama,

masing-masing dinamakan Dewandaru dan Kalpandaru. Sejak dulu

Kembar mayang dipercaya sebagai pinjaman dari para dewa, sehingga

setelah upacara selesai harus dikembalikan dengan membuang di

perempatan jalan atau dilabuh (dihanyutkan) di sungai atau laut.

c. Balangan Suruh

Pengantin wanita bertemu dengan pengantin laki-laki. Mereka

mendekati satu sama lain, jaraknya sekitar tiga meter. Mereka mulai

melempar sebundel daun sirih/suruh dengan jeruk di dalamnya bersama

dengan benang putih. Mereka melakukannya dengan keinginan besar dan

kebahagian, semua orang tersenyum bahagia. Menurut kepercayaan kuno,

daun sirihlsuruh mempunyai kekuatan untuk menolak dari gangguan

buruk. Dengan melempar daun sirih/suruh satu sama lain, itu akan

mencoba bahwa mereka benar-benar orang yang sejati, bukan setan atau
32

orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin laki-laki atau

perempuan.

d.. Wiji Dadi

Upacara wiji dadi (ngidak/midak) adalah prosesi memecahkan

telur, Pengantin laki-laki menginjak telur dengan kaki kanannya.

Pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan

menggunakan air dicampur dengan bermacam-macam bunga. Itu

mengartikan, bahwa pengantin laki-laki siap untuk menjadi ayah serta

suami yang bertangung jawab dan pengantin perempuan akan melayani

suaminya dengan setia.

Setelah acara wiji dadi (injak telur), ayahanda pengantin putri

mendahului berjalan dimuka menuju kursi pengantin, ibu pengantin putri

memasang selendang (sindur) menutupi pundak kedua pengantin.

Selendang berisi kedua mempelai lalu ditarik oleh ayahanda dan didorong

oleh ibu. Gendong manten mengandung makna bahwa ayahanda pengantin

seharusnya menunjukan jalan kehidupan bagi kedua putranya sedang

ibunda mendukung dari belakang. Selain itu, acara ini juga memberikan

lambang bahwa kedua orangtua pengantin perempuan telah ngentaske atau

menyelesaikan tugas/kewajiban mereka kepada anaknya lewat

menikahkannya dengan pengantin pria.

6. Upacara Dahar Kembul


33

Pada prosesi ini, pasangan pengantin makan bersama dan

menyuapi satu sama lain. Pertama, pengantin laki-laki membuat tiga

bulatan kecil dari nasi dengan tangan kanannya dan di berinya ke

pengantin wanita. Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan

sama untuk suaminya. Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis.

Upacara itu melukiskan bahwa pasangan akan menggunakan dan

menikmati hidup bahagia satu sama lain.

7. Upacara sungkeman

Sungkeman merupakan salah satu bagian prosesi pernikahan dalam

adat pernikahan Jawa. Prosesi ini berlangsung dua kali yakni sebelum

acara pernikahan atau saat siraman dan saat pernikahan (panggih)

berlangsung. Sungkeman adalah prosesi yang sakral dimana mempelai

pengantin lelaki dan perempuan meminta ijin dan restu kepada orang tua

untuk menikah.

Dalam prosesi ini walaupun terdengar sepele atau hanya sekedar

sungkem, namun prosesi ini perlu dilakukan secara runtut. Biasanya,

dalam prosesi sungkeman akan ada pemandu acara yang akan memandu

bagaimana sungkeman tersebut berlangsung, sehingga keluarga pengantin

dan pengantin pun tidak akan mengalami kebingungan. Prosesi

sungkeman selalu diidentikkan dengan prosesi yang paling mengharukan

dalam setiap acara pernikahan. Para pengantin perempuan dan orang tua

pengantin biasanya akan menangis saat menjalani proses ini karena ini
34

merupakan proses dimana pengantin meminta maaf dan ijin kepada orang

tua, dengan menyatakan: Romo, kulo ngamuaken pangabekti, Dumateng

ibu kalian romo. Artinya: Ayah, saya mohon doa restu kepada ayah dan

ibu. Kemudian orang tuanya menjawab: oh yo ger, anakku kaki penganten

lan nini penganten mugo-mugo keparingan rahayuning widodo lan mi ing

sambekolo, mugo-mugo sineksen dayang datuk kampung kine. Artinya: oh

iya ger, anakku. Semoga kalian diberi keselamatan dan dijauhkan dari

segala marabahaya/ malapetaka, Semoga disaksikan oleh Danyang

kampung sini.

Selain sebagai prosesi untuk meminta maaf dan meminta ijin

kepada orang tua, sungkeman juga menunjukkan simbol wujud rasa

hormat dari anak kepada orangtua dan mertuanya agar saat membina

rumah tangga nanti rumah tangganya diberi keselamatan dan dapat

terhindar dari bahaya. Prosesi ini dilakukan oleh kedua pengantin

bersama-sama. Sebagai calon pengantin, mungkin anda perlu mengetahui

bagaimana sebenarnya proses tersebut berlangsung dan hal-hal apa saja

yang perlu diingat saat menjalani prosesi sungkeman tersebut. Berikut ini

beberapa hal yang perlu diperhatikan dan diingat ketika sungkeman saat

pernikahan.

(a) Prosesi Sungkeman Berlangsung Setelah Prosesi Dahar Kembul

Prosesi dahar kembul adalah prosesi dimana kedua pengantin saling

menyuapi dan makan sepiring berdua. Hal ini menyimbolkan kebersamaan


35

dan kedua pengantin akan selalu bersama baik dalam susah maupun

senang.

(b) Melepas Keris. Setelah prosesi Dahar Kembul selesai, kedua mempelai

akan melaksanakan prosesi sungkeman. Sebelum melakukan prosesi

sungkeman, keris pengantin pria harus dilepas terlebih dahulu. Keris perlu

dilepas karena ini mengibaratkan bahwa pengantin sedang menghadap

raja/sesepuh dimana raja tersebut adalah orang tua.

(c) Duduk Jengkeng (lampah dodok). Saat melakukan sungkeman baik

dengan orang tua pengantin perempuan atau orang tua pengantin pria,

kedua pengantin duduk jengkeng (lampah dodok). Kemudian memegang

dan mencium lutut orangtua sambil memohon ijin dan meminta restu.

(d) Sungkem kepada orang tua pengantin. Pertama-tama, pihak yang

disungkemi oleh kedua pengantin adalah orang tua pengantin perempuan.

Pengantin secara bergantian melakukan sungkeman kepada ayah dan ibu

dari pengantin perempuan. Kemudian kedua pengantin melakukan

sungkeman untuk kedua orang tua pengantin pria.

Itulah beberapa hal-hal yang perlu diingat dan dilakukan saat

prosesi sungkeman. Anda tidak perlu menghafalkannya karena pemandu

acara biasanya akan memandu pengantin untuk melakukan prosesi

tersebut. Namun penting bagi pengantin untuk memahami makna dan

filosofi dari setiap prosesi dalam pernikahan adat Jawa.

Sungkem dalam acara pernikahan terutama adat Jawa menjadi

suatu momen yang sakral betapa pentingnya momen ini, karena mulai saat
36

itu orang tua akan menyerahkan tanggung jawab menjaga dan mengurusi

putrinya kepada pengantin pria (suaminya), sungkem terkadang membuat

suasana menjadi sedih, kadang orang lain pun ikut merasakan kesedihan

itu, tapi sebenarnya semua itu awal dari kebahagiaan yang tak pernah hadir

dalam kehidupan sebelumnya , bukan berarti pula itu suatu perpisahan

melainkan awal bersatunya hati antara kepercayaan orang tua terhadap

anaknya. Mulai hari itu orang tua percaya bahwa anaknya telah dewasa

dan mampu menjalankan kehidupannya dengan keluarga. Orang tua

mengiringinya dengan do'a, do'a yang tak akan pernah ada habis dan putus

hingga akhir hayatnya, keikhlasanya membawa angin kehidupan baginya

walau air mata harus jatuh saat itu tapi rasa banggapun hadir melengkapi

keramaian, dengan dilanjutkannya acara selanjutnya resepsi pernikahan

terasa semakin meriah serasa dunia ada dalam rengkuhan.

Upacara penikahan adat Jawa dapat juga dikaji dengan tiga

hubungan tanda menurut teori ground triadic Pierce yaitu:

1. Tanda dasar (ground) yaitu pernikahan adat Jawa

2. Representatasi pernikahan adat yaitu makna pernikahan yang terkandung

dalam upacara pernikahan adat Jawa.

3. Interpretasi tanda-tanda/ lambang-lambang upacara pernikahan adat Jawa.

2.1.8 Kajian Sosiolinguistik

2.1.8.1 Pengertian Sosiolinguistik


37

Istilah sosiolinguistik ini muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver

C. Currie yang merupakan gabungan dari kata sosiologi dan linguistik.

Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia dalam

masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga serta proses sosial yang

terjadi dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah ilmu bahasa atau

bidang yang menjadikan bahasa sebagai objek kajian. Sebagai objek dalam

sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa

melainkan dilihat dan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di

dalam masyarakat manusia (Chaer, 2018: 3).

Sosiolinguistik adalah ilmu yang interdisipliner. Istilahnya sendiri

menunjukkan bahwa ia terdiri atas bidang sosiologi dan linguistik. Dalam

istilah linguistik-sosial (sosiolinguistik) kata sosio adalah aspek utama

dalam penelitian dan merupakan ciri umum bidang ilmu tersebut.

Linguistik dalam hal ini juga berciri sosial sebab bahasa pun berciri sosial,

yaitu bahasa dan strukturnya hanya dapat berkembang dalam suatu

masyarakat tertentu. Aspek sosial dalam hal ini mempunyai ciri khusus,

misalnya ciri sosial yang spesifik dan bunyi bahasa dalam kaitannya

dengan fonem, morfem, kata, kata majemuk, dan kalimat. Bram & Dickey,

(dalam Ardellia Dkk, 2023: 32) menyatakan bahwa Sosiolinguistik

mengkhususkan kajiannya pada bagaimana bahasa berfungsi di tengah

masyarakat. Mereka menyatakan pula bahwa sosiolinguistik berupaya

menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa

secara tepat dalam situasi-situasi yang bervariasi.


38

2.1.8.2 Ruang Lingkup

Sosiolinguistik dibagi mejadi dua bagian yaitu :

1. Mikro sosiolinguistik yang berhubungan dengan kelompok kecil, misalnya

sistem tegur sapa.

2. Makro sosiolinguistik yang berhubungan dengan maslaha perilaku bahasa dan

struktur sosial.

Ada beberapa makna sosiolinguistik, dapat digolongkan ke dalam persoalan

pokok, seperti :

a. Tentang profil sosiolinguistik, yaitu bagaimana keanekaragaman bahasa

mencerminkan keanekaragaman sosial yang biasanya bersifat statistik.

b. Dinamika sosiolinguistik yang diusahakan dengan mencari ciri-cirinya

terhadap berbagai jenis situasi sosiolinguistik yang mencakup bidang

pemakaian, sikap bahasa, proses-proses sosiolinguistik, penelitian-

penelitian tentang bahasa.

Sedangkan yang tidak merupakan persoalan pokok ialah :

a. Masalah perubahan bahasa

b. masalah bahasa kanak-kanak

c. relativisme bahasa.

2.1.8.3 Masalah -masalah Sosiolinguistik

Pada 2017, dalam konferensi sosiolinguistik yang pertama telah

dirumuskan tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik yang

merupakan masalah dalam sosiolinguistik, yaitu:


39

1. identitas sosial penutur;

2. identitas sosial dari pendengar yang terlibat;

3. lingkungan sosial tempat peristiwa tutur;

4. analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial;

5. penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap perilaku bentuk-

bentuk ujaran;

6. tingkatan variasi dan ragam linguistik; dan

7. penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.

Menurut Nababan (dalam Aslinda, 2007: 7) ada masalah lain yang intinya hampir

sama dengan masalah tersebut,yaitu :

a. bahasa, dialek, idiolek, dan ragam bahasa,

b. repertoire bahasa (repertoire: kemampuan berkomunikasi yang dimiliki

oleh penutur),

c. masyarakat bahasa,

d. kedwibahasaan atau kegandaan,

e. fungsi masyarakat bahasa dan profil sosiolinguistik,

f. penggunaan bahasa/ etnografi berbahasa,

g. sikap bahasa,

h. perencanaan bahasa,

i. interaksi sosiolinguistik, serta

j. bahasa dan kebudayaan.


40

2.1.8.4 Tujuan dan Manfaat Sosiolinguistik

Tujuan kita mempelajari sosiolinguistik, agar kita dapat memahami

lebih jauh tentang pemakaian bahasa, keanekaragaman bahasa karena

diversifikasi pemakai bahasa dan tingkat sosial pemakai bahasa, sikap

berbahasa, serta loyalitas keutuhan bahasa. Dengan mempelajari

sosiolinguistik, selain untuk menambah wawasan kita dalam linguistik

juga dapat menumbuhkan kesadaran berbahasa yang baik dan menjaga

uniformitas bahasa.

Setiap ilmu pengetahuan, tentu mempunyai manfaat dalam kehidupan

kita, begitu juga sosiolinguistik. Manfaat sosiolinguistik sangat banyak

karena bahasa sebagai objek kajiannya merupakan alat komunikasi verbal

manusia yang mempunyai aturan-aturan tertentu. Manfaat dari

pengetahuan sosiolinguistik dalam berkomunikasi, antara lain:

a. Memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan

menunjukkan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa apa yang kita gunakan

jika kita berbicara dengan orang tertentu, dan di tempat-tempat tertentu pula.

b. Dalam pengajaran, sosiolinguistik bermanfaat dalam menjelaskan

penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah sosial.

c. Sosiolinguistik juga dapat memberi sumbangan dalam mengatasi ketegangan

politik akibat persoalan pemilihan bahasa nasional di negara-negara

multilingual.

2.1.9 Masyarakat Bahasa


41

Definisi masyarakat bahasa yang dimaksudkan di sini tidak hanya

berdasarkan pada perkembangan bahasa, tetapi berdasarkan pada sejarah,

budaya, dan politik. Pada tahap abstraksi yang cukup tinggi ditempatkan

ciri-ciri kelompok yang memiliki kesamaan agama, usia, kelompok etnis,

dan di bidang linguistik terutama kesamaan bahasa atau variasi bahasa.

Pada tahap abstraksi yang lebih rendah realitas bahasa tercermin melalui

kelompok-kelompok yang bersemuka. Definisi masyarakat bahasa yang

berdasarkan kesamaan bahasa akan menjadi bermasalah jika kita akan

menjelaskan apa arti “menggunakan bahasa yang sama” dalam situasi

nyata di suatu lingkungan bahasa. Sebagai satuan dasar definisi dan

pemahaman tentang masyarakat bahasa dapat berpegang pada bahasa-

bahasa, kelompok sosial, jaringan sosial, hierarki dan individu-individu

yang sekaligus merupakan gambaran secara hierarkis tahapan-tahapan

abstraksi.

L. Bloomfield yang berdasarkan sistem bahasa yang monolitik

berpendapat bahwa masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang

menggunakan sistem tanda bahasa yang sama. Konsep linguistik yang

hampir sama, yang dipengaruhi kuat oleh pendapat bahasa yang homogen

adalah konsep Lyons tentang satuan dasar masyarakat bahasa (dalam

Malabar, 2018:53), menurut Lyons masyarakat bahasa adalah semua orang

yang menggunakan suatu bahasa tertentu (dialek), Chomsky berpendapat

bahwa Completely homogenous speech community membentuk satuan

dasar analisis bahasa. Konsep Bloomfield, Lyons, maupun Chomsky yang


42

menganggap satuan sosial dan budaya tidak penting tidak memenuhi

syarat untuk penelitian empiris deskriptif-sosiolinguistik. Namun, seperti

yang telah dikatakan, konsep-konsep dan definisi-definisi tergantung pada

minat penelitian para linguis.

Dalam pengertian sosiolinguistik, definisi-definisi bahasa hampir

tidak menyatakan sesuatu tentang keadaan sosial. Hymes (dalam Malabar,

2018:36), menyalahkan Bloomfield, Chomsky, dan juga Lyons yang telah

menyamaratakan konsep masyarakat bahasa dengan bahasa. Abstraksi

struktur yang menuntut homogenitas bahasa mungkin tepat, jika seorang

linguis bermaksud menggambarkan tipologi bahasa, keuniversalan bahasa,

sejarah suatu bahasa, atau rekonstruksi secara historis. Tetapi jika seorang

linguis akan meneliti bahasa dalam situasi sosial, ia memerlukan alat-alat

yang tepat untuk menganalisis dampak situasi sosial atau psikologis

terhadap penggunaan bahasa.

1) Masyarakat Bahasa Berdasarkan Sikap Sosial

Model paguyuban bahasa yang klasik tidak dapat mencakup

perubahan dialek perkotaan yang cepat. Bentuk yang diidealisasikan tidak

cukup mencerminkan realitas. Labov menyimpulkan bahwa anggota

masyarakat bahasa perkotaan lebih diikat oleh sikap dan prasangka yang

sama dalam berbahasa, yang luar biasa stabil dibandingkan dengan ikatan

pemakaian bahasa yang sama (2018: 293). Menurut Labov pada

kenyataannya sangat jelas bahwa masyarakat bahasa didefinisikan sebagai


43

sekelompok penutur yang memiliki sederetan sikap sosial terhadap bahasa.

Misalnya, seorang yang berasal dari New York (orang dari kota besar)

memiliki gambaran yang jelas tentang norma-norma bahasa dan ia

mengetahui jika ia menyimpang dari norma yang ada. Terdapat perbedaan

antara (1) apa yang dikatakan, (2) apa yang diyakini, dan (3) apa yang

diyakini untuk dikatakan.

Titik tolak Labov adalah orientasi ke status yang dimulai dari

kelompok sosial (kelompok makro) dan pada tiap kelompok berkembang

ke arah yang sama. Penyimpangan norma pada lapisan sosial bawah lebih

jauh dibandingkan dengan lapisan sosial menengah dan atas karena itu

mereka juga memiliki lebih banyak variasi. Seberapa jauh konep makro

kuantitatif mencerminkan realitas sosial yang masih harus didiskusikan.

Hal itu dapat dilakukan pada data empiris dalam jumlah yang besar.

Hymes (dalam Malabar, 2018:50), ) juga memberikan pendapatnya

tentang definisi dasar masyarakat bahasa. Mereka menekankan bahwa

perasaan menjadi anggota suatu paguyuban lebih menentukan daripada

definisi linguistik.

2) Masyarakat Bahasa Berdasarkan Interaksi

Gumpertz mendefinisikan masyarakat bahasa (pada masa yang

lampau) ke arah komunikatif interaksi, yang dalam analisis fungsional

berpangkal pada varietas bahasa suatu masyarakat bahasa yang khas

sebagai kelompok sosial, dan bukan dari kesatuan bahasa. Definisi


44

Gumpertz juga memungkinkan beberapa varietas bahasa hidup

berdampingan: kita definisikan masyarakat bahasa sebagai kelompok

sosial yang monolingual atau multilingual, yang merupakan satu kesatuan

karena sering terjadi interaksi sosial dan yang dipisahkan dari

sekelilingnya oleh interaksi sosial yang melemah. Masyarakat bahasa

dapat terdiri atas kelompok kecil yang hubungannya bersemuka atau

terdiri dari seluruh bahasa, tergantung dari tingkat abstraksi yang akan

dicapai (Gumpertz dalam Malabar, 2018:36).

Selanjutnya Gumpertz menyatakan bahwa dari segi fungsi tidak ada

perbedaan antara bilingualisme dengan bidialektalisme. Gumpertz dalam

definisi selanjutnya tentang masyarakat bahasa menekankan bahwa di

samping kriteria interaksi juga berperan persamaan dan perbedaan varietas

sebagai unsur sosial definisi umum analisis bahasa: masyarakat bahasa

adalah sekelompok manusia yang terbentuk melalui interaksi bahasa yang

teratur dan sering dengan bantuan persediaan tanda-tanda bahasa yang

dimiliki bersama dan yang dipisahkan dari kelompok lain karena

perbedaan-perbedaan dalam berbahasa (Gumpertz, 2015:14). Konsep

Gumpertz memiliki keuntungan sebagai berikut: a) untuk satu masyarakat

bahasa tidak hanya berlaku satu bahasa, b) penekanan pada interaksi dan

komunikasi sebagai unsur pembentuk masyarakat bahasa sebagai hasil

bilingualisme, dengan sendirinya tidak terjadi tumpang tindih, dan c)

kompleksitas masyarakat perkotaan telah diperhitungkan dalam konsep.


45

Jika kita mengemukakan satu kota besar sebagai satu masyarakat

bahasa yang penduduknya menggunakan sebagian besar dari waktu

mereka untuk berkomunikasi dan varietas bahasa tentu saja sebagai bagian

pembentuk kota dan orang selalu menunjuk pada lembaga, data dan lokasi,

pola mobilitas, bentuk-bentuk interaksi sosial yang khas untuk kehidupan

perkotaan, terlihat bahwa masyarakat bahasa merupakan satu istilah yang

sangat umum. Supaya pengertian istilah masyarakat bahasa digunakan

seperti yang dipakai oleh Gumpertz, harus kita tentukan keanggotaan tiap

kelompok, terutama yang memiliki arti bagi mereka, hal ini berarti bahwa

kita harus membentuk tahap-tahap interaksi sosial dan menganalisis

kesatuan-kesatuan yang terbentuk. Mula-mula Gumpertz untuk dapat

merealisasikan hal di atas menggunakan konsep peran sosial, kemudian ia

memakai istilah jaringan sosial untuk meneliti hubungan antaranggota

suatu jaringan sosial. Tujuan konsep jaringan sosial untuk menunjukkan

mekanisme yang mempengaruhi repertoire bahasa penutur; yang

disebabkan oleh faktor-faktor sosial-ekologi.

3) Masyarakat Bahasa Berdasarkan Jaringan Sosial

Jaringan sosial sebagai substratum paguyuban bahasa sebagai titik

tolak analisis bahasa dalam sosiolinguistik dikenalkan untuk menganalisis

komunikasi sehari-hari dan konvensi interaksi. Dalam hal ini jaringan

hubungan seorang individu termasuk di dalamnya dan kesatuan kelompok

sosialnya merupakan phenomena dalam berbagai tataran abstraksi.


46

Gumpertz memperhitungkan hal ini dan memasukkan dalam konsep

mikronya, paguyuban bahasa (pada tataran abstraksi yang terendah), dan

konsep jaringan sosial. Dengan bantuan konsep ini sebagai soerang linguis,

ia akan meneliti perilaku bahasa dalam suatu paguyuban dengan

memperhatikan interpretasi norma dan nilai yang sesuai dengan kenyataan.

Paguyuban bahasa terdiri atas sederet satuan dasar, jaringan-

jaringan yang dapat diikuti oleh seorang anggota paguyuban dalam

berbagai tingkat dan lebih dari satu peran. Salah satu penyebab utama

dikenalkannya konsep jaringan sosial dalam kerangka studi paguyuban

bahasa karena konsep makro yang tradisional untuk menganalisis

paguyuban yang berubah dengan lambat dan agak statis (suku-suku

bangsa, paguyuban-paguyuban pedesaan) tidak tepat untuk menganalisis

agregat kota yang berubah dengan cepat. Konsep jaringan sosial mencoba

mencakup variabel manusia sebagai makhluk sosial yang dipengaruhi oleh

orang lain dan mempengaruhi orang lain.

Penting untuk pembatas jaringan selain bentuk interaksi, bentuk

kunjungan, hubungan kekerabatan, hal-hal yang oleh Gumpertz disebut

self recruitment paguyuban (dalam Malabar, 2018:36). Dengan demikian,

kelompok jaringan tertutup (atau yang oleh saviller-Troike (dalam

Malabar, 2018:13) disebut hand shelled communities) cenderung seragam

dalam penggunaan bahasa, a.l. karena wilayah yang ketat daripada

jaringan terbuka (soft shelled communities) yang ikatan antaranggotanya

lebih longgar dan batas wilayah tidak ketat. Manfaat alat analisis jaringan
47

terutama karena kemungkinan yang dimilikinya untuk menggabungkan

varietas dalam struktur sosial dengan varietas dalam penggunaan bahasa,

artinya varietas yang disebabkan oleh lingkungan dan tahap abstraksi yang

rendah dihubungkan dengan varietas bahasa.

4) Masyarakat Bahasa Sebagai Interpretasi Subjektif-Psikologis

Bolinger (dalam Malabar, 2018:15) menunjukkan kompleksitas

yang bersifat psikologis dan ciri subjektif konsep paguyuban bahasa, ia

mengemukakan: tidak ada batas untuk cara manusia berkelompok guna

mencari jati diri, keamanan, keuntungan, hiburan, kepercayaan atau tujuan

lain secara bersama, sebagai akibat hal ini tidak ada batasan sehubungan

dengan jumlah dan keanekaragaman paguyuban bahasa yang kita jumpai

dalam masyarakat kita. Setiap populasi menurut definisi Bolinger dapat

terdiri atas sejumlah besar paguyuban bahasa, yang sehubungan dengan

keanggotaan dan varietas bahasanya tumpang tindih. Realitas psikologis

paguyuban bahasa yang tergantung dari interpretasi angota-anggotanya

diperhitungkan dalam pendapat Le Page (2016), baginya keberadaan

kelompok sebagai paguyuban bahasa dengan ciri-ciri khusus yang

digolongkan oleh penutur sendiri, bukan oleh sosiolog penting.

Tergantung bagaimana seorang penutur menempatkan dirinya dalam

ruang yang multidimensi (Hudson, 2020:27), ia ikut berpartisipasi dalam

berbagai paguyuban bahasa yang dimensi atau perbandingan luasnya

ditentukan oleh kelompok di sekelilingnya. Setiap penutur menciptakan


48

sistem perilaku bahasanya yang mirip dengan kelompok tempat ia ingin

mengidentifikasikan dirinya dari waktu ke waktu, dengan syarat a) ia

dapat mengidentifikasikan dirinya ke kelompok tersebut, b) ia memiliki

kesempatan dan kemampuan untuk mengamati dan menganalisis perilaku

mereka, c) memiliki motivasi yang kuat dan merasa berkewajiban untuk

memilih dan mengubah perilakunya, dan d) ia masih sanggup

menyesuaikan perilakunya.

Le Page menginterpretasikan ujaran manusia sebagai pernyataan

jati diri individu karena itu individu adalah sah sebagai titik tolak

penelitian sosiolinguistik. Le Page dapat membuktikan bahwa analisis

perilaku bahasa individu tidak berarti suatu kekacauan. Dasar pandangan

yang multidimensi diperoleh melalui kajian paguyuban yang multilingual,

dalam kajian ini perlu memperhatikan sejumlah sumber yang

mempengaruhi penggunaan bahasa seseorang. Ia menekankan bahwa

seorang penutur merupakan dasar sumber bahasa yang ada dan digunakan

untuk mengidentifikasikan dengan paguyuban-paguyuban tertentu.

2.1.10 Hubungan Pernikahan Adat Jawa dengan Kajian Sosiolinguistik

Bahasa memiliki ragam-ragam bahasa yang dibedakan berdasarkan

pemakaian bahasa tersebut, yaitu karena bahasa dipakai dalam keadaan,

keperluan dan tujuan yang berbeda-beda. Menurut Poedjo Soedarmo (dalam

Effendi, 2019:7) ragam adalah variasi bahasa yang perbedaannya ditentukan

oleh adanya situasi kebahasaan yang berbeda. Berdasarkan pendapat tersebut


49

diketahui bahwa situasi kebahasaan adalah penyebab munculnya variasi

bahasa yang berupa ragam.

Upacara pernikahan adat Jawa merupakan salah satu situasi

kebahasaan yang menimbulkan suatu ragam bahasa yang khas. Suwarna

(dalam Effendi, 2019:718) menyebut ragam bahasa pada pernikahan adat

Jawa sebagai ragam bahasa panggung. Pringgawidagda menjelaskan

bahwa penggunaan bahasa Jawa pada pernikahan adat Jawa memenuhi

karakteristik ragam bahasa panggung, yaitu: (1) menggunakan bahasa

yang indah, (2) menggunakan gaya penuturan yang indah, (3) bersifat

menghibur audiens, (4) menggunakan hiasan-hiasan tuturan seperti bahasa

figuratif, (5) bersifat retorik (mengacu pada seni berbicara).

Berdasarkan tingkat keformalannya, bahasa pada pernikahan adat

Jawa adalah ragam bahasa resmi. Ragam resmi (formal) ialah ragam

bahasa yang dipakai dalam acara resmi, pidato-pidato resmi, rapat dinas,

atau rapat resmi pimpinan suatu badan (Sartika, 2018). Kridalaksana

(2018:206) memberikan definisi yang lebih luas mengenai ragam resmi,

yaitu: ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang

dihormati oleh pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi

(misalnya Surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis),

atau bila pembicaraan dilakukan di depan umum. Menurut Nurhayati

(2019:25) ciri-ciri ragam resmi: topik pembicaraan bersifat resmi dan

serius, antar orang yang berbicara saling menghormati, bentuk kebahasaan

yang digunakan menaati kaidah, struktur dan tingkat tuturnya setingkat


50

dengan strata orang yang diajak berbicara. Berdasarkan definisi dan ciri

ragam bahasa tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ragam bahasa

pada pernikahan adat Jawa adalah ragam bahasa panggung dan ragam

bahasa resmi. Selain kedua ragam bahasa tersebut, penggunaan bahasa

pada upacara pernikahan adat Jawa pada umumnya menggunakan tingkat

tutur krama.

2.2 Kajian Penelitian Relevan

Penelitian yang berkaitan dengan adat Istiadat Masyarakat JAwa Tengah

diantaranya penelitian yang dilakukan oleh:

1. Makna Filosofi Tradisi Upacara Pernikahan Adat Jawa Kraton Surakarta

Dan Yogyakarta, yang ditulis oleh Fatkhtur Rohman. Dalam Program Studi

Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Walisongo Semarang.

Penelitian yang dilakukan oleh Fatkhur Rohman ini membahas tentang

Makna Filosofi Tradisi Upacara Prnikahan Adat Jawa Kraton Surakarta Dan

Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa tradisi upacara

pernikahan adat Surakarta dan Yogyakarta tersebut pada umumnya

mamiliki persamaan dan perbedaan baik dari segi makna maupun rangkaian

prosesi upacaranya. Ia menuturkan bahwa pernikahan di bawah tangan itu

yang membedakan adalah tidak mendapatkan buku nikah, dan

pernikahannya juga sah, karena menurut agama juga sudah sah.


51

2. Peranan Hukum Islam Terhadap Sistem Pernikahan Adat Kaili di Kelurahan

Kabonena Kecamatan Ulujadi Kota Palu. Megawati, (Mahasiswa program

Studi Megister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Tadulako). Penelitian

yang dilakukan oleh sodari Megawati yaitu membahas tentang peranan

hukum islam terhadap pernikahan adat masyarakat di kelurahan kabonena

kecamatan ulujadi sangat toleran, dimana hukum islam itu mampu

beradaptasi dengan hukum beradaptasi dengan hukum adat yang berlaku di

Kelurahan Kabonena Kecamatan Ulujadi, serta dapat menyesuaikan

keberadaanya. Hal ini dapat dilihat Pada sitem Pernikahan adat dimana

beberapa simbol-simbol adat yang telah dihilangkan sedikit demi sedikit

apabila tradisi tersebut bertentangan dengan hukum islam.

2.3 Kerangka Berpikir

Pada penelitian ini, peneliti mengangkat judul tentang “Analisis Bahasa

pada Upacara Pernikahan Adat Jawa Tengah di Desa Keramat Gajah Kecamatan
52

Galang Kabupaten Deli Serdang (Kajian Sosiolinguistik)”. Adapun metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dari pemaparan yang

telah dijelaskan di atas, maka peneliti menggambarkan tahapan-tahapan model

penelitian, seperti gambar di bawah ini :

Rangkaian prosesi Penggunaan bahasa


Upacara Pernikahan Jawa pada rangkaian
Adat Jawa kegiatan pernikahan

Analisis melalui
Kajian Sosiolinguistik

HASIL
PENELITIAN
53

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Nana (2019:99),

mengatakan penelitian kualitatif menggunakan desain penelitian studi kasus,

dalam arti penelitian difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin

dipahami dengan mengabaikan fenomena-fenomena lainnya. Dengan melakukan

penelitian dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi

masalah.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena beberapa

pertimbangan. Pertama, dengan menggunakan metode kualitatif peneliti lebih

mudah apabila berhadapan dengan kenyataan. Kedua, metode ini menyajikan

secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode

ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman

pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

3.2 Narasumber dan Informasn

1. Narasumber

Narasumber adalah orang yang memberikan informasi relevan karena ahli

atau menguasai bidang tertentu. (sumber: pexels) Menurut pengertian secara


54

umum, narasumber adalah individu atau seseorang mewakili lembaga tertentu

yang mampu menjelaskan detail tentang suatu informas

Dari uraian di atas, maka yang menjadi Narasumber penelitian ini adalah

tokoh adat, dan seluruh masyarakat yang sudah melaksanakan upacara pernikahan

adat Jawa Tengah di desa Desa Keramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten

Deli Serdang tahun 2023.

2. Informan

Informan penelitian merupakan peristilahan yang melibatkan tugas-tugas

sederhana dalam menjawab pertanyaan dari pedoman wawancara yang

dibuat, sehingga apapun kegiatan penelitian yang dilakukan tentunya

membutuhkan keterlibatan pihak lain.Keterlibatan ini sendiri haruslah

sesuai dengan tujuan penelitian yang didapatkan, artinya tidak bisa dipilih

secara asal-asalan, lantaran memerlukan teknik penentuan. Misalnya saja

untuk penelitian kualitatif biasanya teknik yang dilakukan dengan

purposive sampling ataupun snowball sampling.

Informan adalah kahdairan seseorang yang dimintai informasi terkait

objek yang diteliti ia mempunyai banyak informasi terkait dengan data dari arti

penelitian yang dilakukan, oleh karena itulah penyebutan informan lebih lekat

dengan narasumber yang biasanya ada dalam penelitian yang subjek penelitiannya

berupa “kasus” satu kesatuan unit, diantaranya yaitu yang berupa lembaga atau

organisasi atau institusi sosial.


55

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Keramat Gajah, khususnya mengkaji

tentang bahasa yang digunakan pada upacara pernikahan adat Jawa Tengah yang

ada di Desa Keramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang. Waktu

penelitian dimulai pada bulan Maret sampai Mei 2023.


56

3.4 Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi bertujuan mendapatkan gambaran yang tepat mengenai

objek penelitian, sehingga kuesioner yang tepat atau dapat menyusun suatu

desain penelitian yang cermat. Purwanto (2019:149) mengatakan observasi

adalah metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan

secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati

individu atau kelompok secara langsung. Contohnya dengan melakukan

observasi kita dapat mengetahui makna dari kembar mayang yang terdapat

pada acara pernikahan adat Jawa tersebut.

Contoh kuesioner yang disusun adalah:

1. Hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan sebelum acara temu temanten?

2. Apa makna yang terkandungdalam upacara pecah telur?

2. Wawancara

Wawancara merupakan alat utama dalam proses pengumpulan bahan berita.

Keraf (dalam Rachmawati, 2019) mengatakan wawancara atau interview adalah

suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan langsung

kepada seorang informan atau seorang autoritas (seorang ahli atau yang

berwenang dalam suatu masalah). Wawancara adalah kegiatan tanya jawab yang

dilakukan reporter atau wawancara dengan narasumber untuk memperoleh

informasi menarik dan penting.


57

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan terhadap tokoh-tokoh masyarakat

Jawa yang ada di desa Keramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli

Serdang. Di antaranya adalah Ibu Ngateni (42), Beliau adalah tokoh masyarakat

yang sering mendapatkan panggilan dalam setiap resepsi pernikahan adat Jawa.

Wawancara ini sifatnya sistematis karena menggunakan urutan pertanyaan yang

telah disusun sebelumnya dalam daftar pertanyaan.

3. Dokumentasi

Dokumentasi pada dasarnya merupakan pemberian atau pengumpulan bukti

dan keterangan (seperti gambar, kutipan, guntingan koran, dan bahan referensi

lain). Guban dan Licon dalam Riyanto (2020:103) mengatakan dokumen adalah

setiap bahan tertulis ataupun film yang sering digunakan untuk keperluan

penelitian karena alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai

berikut:

a. Dokumen merupakan sumber yang stabil

b. Berguna sebagai bukti pengujian

c. Sesuai untuk penelitian kualitatif karena sifatnya yang alamiah

d. Tidak reaktif, sehingga tidak sukar ditemukan dengan teknik kajian isi.

e. Hasil pengkajian isi akan membuka kesempatan untuk lebih memperluas

tubuh pengetahuan terhadap sesuatu yang diteliti.


58

3.5 Teknik Analisis Data

Maryaeni (2020:75) mengatakan analisis merupakan kegiatan:

1)Pengurutan data sesuai dengan rentang permasalahan atau urutan pemahaman

yang ingin diperoleh; 2) pengorganisasian data dalam formasi, kategori ataupun

unit perian tertentu sesuai dengan antisipasi peneliti; 3) interpretasi peneliti

berkenaan dengan signifikan butrir-butir ataupun satuan data sejalan dengan

pemahaman yang ingin diperoleh; 4) penilaian atas butir ataupun satuan data

sehingga membuahkan kesimpulan: baik atau buruk, tepat atau tidak tepat,

signifikan atau tidak signifikan.

Berdasarkan hal diatas, maka penulis dapat memodifikasi hasil penelitian

sesuai dengan pendapat Subanindyo (2019:52) mengatakan data yang telah

dikumpulkan diolah, dianalisa secara kualitatif dan bersifat deskriptif.

Selanjutnya data yang telah dikumpulkan akan diolah dengan langkah-langkah

sebagai berikut:

a. Untuk data yang diperoleh secara temu bual, dilakukan simplikasi

daripada bahan serta klarifikasi kumpulan sesuai dengan materi kajian.

b. Data kualitatif daripada sumber primer maupun sekunder diberikan

penafsiran secara kualitatif. Penggunaan angka hanya sebatas angka

persentase.
DAFTAR PUSTAKA

Fadlillah Ha, Siti Restu Nur dan Rochmat Tri Sudrajat dan Dida Firmansyah. 2020.
Kajian Sosiolinguistik Terhadap Ujaran Bahasa Mahasiswa. Jurnal Volume
3 Nomor 5, September 2020.
https://journal.ikipsiliwangi.ac.id/index.php/parole/article/viewFile/5385/pdf
Mardatila, Ani. 2022. Analisis Adalah Sejumlah Aktivitas Mengamati dan
Mengurai. https://www.merdeka.com/sumut/analisis-adalah-sejumlah-
aktivitas-mengamati-dan-mengurai-ini-selengkapnya-kln.html
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2018. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta : Rineka Cipta
Indriani, dkk. 2019. “Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks di SMA Negeri
Bali Mandara”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
UNDIKSHA. Volume 9. Nomor 1.
Alvidril, Anesha dan Ellya Ratna. 2021. Struktur, Isi, Dan Unsur Kebahasaan Teks
Prosedur Karya Siswa Kelas XI MIPASMA Negeri 5 Padang. Jurnal
Volume 10 Nomor 2, Tahun 2021. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/pbs
Wijayanti, Wiwik. 2021. Istilah Dalam Tradisi Pernikahan Adat Jawa Di Desa
Babak Bawo Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik. Skripsi
https://repository.unair.ac.id/109326/4/4.%20BAB%20I.pdf
Cahyaningrum, Fitria dan Andayani dan Budhi Setiawan. 2018. Realisasi
Kesantunan Berbahasa Dalam Interaksi Kelas Di Sekolah Menengah Atas
Berlatar Bahasa Jawa. Jurna
lhttps://ejournal.upgrisba.ac.id/index.php/jurnalgramatika/article/
download/2434/pdf

Pudjiwati Sayogjo .2021 Sosiologi dan budaya Jawa Bandung: .CV Reka Winata

Syahputra, Edi; DKK. 2022. Pengaruh Budaya Terhadap Bahasa Indonesia


(Pengaruh Budaya Terhadap Bahasa Indonesia Dikalangan Remaja). Jurnal
https://jurnal.unived.ac.id/index.php/mude/article/download/2536/2033/
Nurjayanti, Purwa Lalita. 2020. TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA. Universitas
Sebelas Maret. Jurnal https://osf.io/k3q7u/download/?format=pdf
Gunawan, Agus. 2019. TRADISI UPACARA PERKAWINAN ADAT SUNDA
(Tinjauan Sejarah dan Budaya di Kabupaten Kuningan). Jurnal Artefak
Vol.6 No.2 September 2019
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/article/download/2610/Indonesia
Chaer, A. (2018). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Ardellia, Rania Silva; Shafira Nur Alifah, Dan Ratna Dewi Kartikasari. 2023.
Intermeso Merubah Gaya Suasana Belajar Menjadi Segar Saat Timbulnya
Kejenuhan Dalam Proses Belajar Mengajar). 1 Universitas Muhammadiyah
Jakarta https://jurnal.umj.ac.id/index.php/SAMASTA/article/download/393-
398/8339

59
Malabar, Sayama. 2018. SOSIOLINGUISTIK. Penerbit Ideas Publishing.
Gorontalo. https://repository.ung.ac.id/get/karyailmiah/2742/sayama-
malabar-buku-sosiolinguistik.pdf

Effendi, Nasrun. 2019. Rangkaian Acara Perbelatan Pernikahan. Yogyakarta:


Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

Sartika. 2018. Penggunaan Variasi Bahasa Sosiolek Pada Masyarakat Sulawesi-


Selatan (Studi Kasus Bahasa Kotu Di Kabupaten Enrekang). Skripsi:
Universitas Muhammadiyah Makassar

Indriyani, Ni Komang Sri. 2019. Pengaruh Bahasa Daerah Terhadap Perkembangan


Bahasa Indonesia. Jurnal Universitas Negeri Gorontalo
Brodjodiningrat, K.R.M.T. Arti (makna) Peralatan Mantu, Surakarta: Naskah.
Brotosoenarno, R.M. Tata Upacara Mantu, Sukarta: Naskah

60

Anda mungkin juga menyukai