Anda di halaman 1dari 31

PENGGUNAAN BAHASA JAWA OLEH GENERASI

MUDA DI DESA REMBUN KECAMATAN NOGOSARI


KABUPATEN BOYOLALI
(KAJIAN SOSIOLINGUISTIK)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan


guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Progam Studi Sastra Daerah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh
APRILLIA DWI SETYANI
BO119010

PROGRAM STUDI SASTRA DAERAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................1
B. Pembatasan Masalah..............................................................................................7
C. Rumusan Masalah..................................................................................................7
D. Tujuan Penelitian...................................................................................................8
E. Manfaat Penelitian..................................................................................................9
1. Manfaat Teoretis................................................................................................9
2. Manfaat Praktis..................................................................................................9
F. Landasan Teori.......................................................................................................9
1. Sosiolinguistik....................................................................................................9
2. Masyarakat Tutur.............................................................................................10
3. Kesantunan Berbahasa.....................................................................................11
4. Tingkat Tutur Bahasa Jawa..............................................................................12
5. Kode.................................................................................................................13
6. Alih Kode.........................................................................................................14
7. Campur Kode...................................................................................................16
8. Komponen Tutur..............................................................................................18
G. Data dan Sumber Data..........................................................................................19
H. Metode Penelitian.................................................................................................20
1. Jenis Penelitian.................................................................................................20
2. Metode Pengumpulan Data..............................................................................20
3. Instrumen Penelitian.........................................................................................22
4. Populasi dan sampel.........................................................................................22
5. Metode dan Teknik Analisis Data....................................................................23
6. Metode Penyajian Hasil Analisis Data.............................................................25
I. Kerangka Pikir.....................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................27

i
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan alat untuk komunikasi dan alat interaksi yang digunakan

oleh manusia. Bahasa merupakan alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan,

konsep, dan juga perasaan. Bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa

adalah milik manusia yang telah menyatu dengan pemiliknya” (Sumarlam dkk.,

2020:1). Bahasa memiliki peran penting bagi manusia dalam menjalankan

aktivitas hidup bermasyarakat karena manusia tidak pernah lepas dari kegiatan

berkomunikasi, begitu juga dengan generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan

Nogosari, Kabupaten Boyolali.

Setiap masyarakat memilih dan menggunakan kode atau bahasa sebagai sarana

berinteraksi, salah satunya bahasa Jawa. Sundaryanto (dalam Laila, 2016)

menyatakan bahwa bahasa Jawa merupakan warisan leluhur dimana terdapat

banyak variasi unggah-ungguh bahasa yang memiliki fungsi sebagai pembentuk

perilaku keseharian manusia. Ini merupakan salah satu hal yang membuat bahasa

Jawa menjadi unik, dimana bahasa Jawa memiliki tingkatan

tutur/undha-usuk/speech levels. Tingkat tutur ialah variasi bahasa yang memiliki

perbedaan antara penutur satu dengan penutur lain yang ditentukan oleh

perbedaan kesopanan penutur terhadap lawan tutur (Soepomo, 1975). Edi

Subroto, dkk (2008:13) melakukan penyederhanaan tingkat tutur atas dasar

penyederhanaan tingkat tutur sehingga menghasilkan pemilahan ngoko dan krama


2

agar tidak terlalu rumit, tetap mudah dipahami, dan tetap berpegang pada nilai-

nilai sopan santun dalam bertutur Jawa di tengah masyarakat Jawa.

Penyederhanaan tersebut menghasilkan bahwa tingkat tutur bahasa Jawa ada dua

yakni ngoko dan krama. Tingkat ngoko dipilah menjadi ngoko lugu dan ngoko

alus. Tingkat krama dipilah menjadi krama lugu, wredha krama, dan mudha

krama.

Bahasa Jawa ngoko biasanya digunakan ketika berbicara dengan orang yang

seusia atau sudah dikenal dekat. Sedangkan bahasa Jawa krama digunakan untuk

berbicara kepada orang tua atau orang yang lebih tua. Menurut Chusnul et al

(2019), dalam penggunaannya bahasa Jawa memiliki berbagai faktor, diantaranya

adalah umur, golongan, serta status sosial. Salah satu penggunaan bahasa karena

faktor umur adalah ketika berbicara dengan orang tua dan teman sebaya. Orang

tua adalah salah satu kelompok orang yang harus dihormati berdasar atas

pertimbangan usia, tingkat pengetahuan, dan lain sebagainya. Ketika berbicara

dengan orang tua biasanya menggunakan tingkat tutur bahasa Jawa krama. Dalam

Kamus Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

disebutkan beberapa arti dari orang tua yaitu (1) orang yang sudah tua; (2) ayah

ibu; (3) orang yang dianggap tua (cerdik pandai, ahli, dsb); dan (4) orang- orang

yang dihormati di kampung (2008:1092). Yang dimaksud orang tua di dalam

penelitian ini adalah (1) ayah-ibu orang tua kandung, dan (2) orang yang lebih tua

dari segi usia dengan tanpa adanya hubungan darah, Berbeda saat berkomunikasi

dengan orang tua, dalam komunikasi dengan teman sebaya umumnya digunakan

tingkat tutur ngoko. Tingkat tutur ngoko dipakai untuk mencerminkan rasa tak
3

berjarak, tidak adanya rasa segan (jiguh pekewuh), dan menyatakan keakraban

(Poedjosoedarmo, 1979:14).

Selain atas pertimbangan usia, penggunaan bahasa Jawa juga terjadi karena

faktor status sosial. Status sosial termasuk dalam salah satu faktor yang

mempengaruhi dikarenakan hal tersebut sebagai bentuk rasa menghargai terhadap

lawan berbicara. Pihak yang kelas atau status sosialnya lebih rendah

menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi (krama), sedangkan yang berstatus

sosial lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah (ngoko)

(Suwito, 1983:25).

Selain terdapat tingkat tutur dalam penggunaan bahasa Jawa oleh generasi

muda di Desa Rembun, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali saat

berkomunikasi dengan orang tua dan teman sebaya, percakapan bahasa Jawa turut

dipengaruhi oleh hadirnya bahasa Indonesia dan bahasa asing. Dalam percakapan

biasanya menggunakan lebih dari satu kode bahasa. Peristiwa semacam itu disebut

dengan alih kode dan campur kode. Alih kode adalah peralihan bahasa satu ke

bahasa lain, sedangkan campur kode adalah bercampurnya sebuah bahasa ke

bahasa lain dalam satu tuturan. Alih kode dan campur kode merupakan salah satu

fenomena sosiolinguistik. Fenomena linguistik tersebut dapat ditemukan dalam

komunikasi berbahasa Jawa oleh generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan

Nogosari, Kabupaten Boyolali. Peristiwa alih kode, campur kode, dan interferensi

yang terjadi di Pondok Pesantren Darussalamah Kabupaten Magelang tersebut

dapat dilihat pada data berikut.

Terjadinya alih kode dan campur kode tentu dilatarbelakangi oleh beberapa
4

faktor yang hidup di sekitar penutur. Adanya perbedaan faktor di daerah satu

dengan daerah lain, dari penutur satu dengan penutur lain, dari peristiwa tutur

satu dengan peristiwa tutur lain, akan menghasilkan bentuk percakapan dengan

ciri khas dan karakteristik masing-masing. Tidak terkecuali dalam penggunaan

bahasa Jawa oleh generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan Nogosari,

Kabupaten Boyolali.

Berikut ini contoh percakapan generasi muda di Desa Rembun.

Sari : Assalamualaikum, sugeng dalu bapak. Keadaannya bapak pripun

nggih?

Pak Toto : Waalaikumssalam, Alhamdulillah sae ndhuk.

Sari : Alhamdulillah, bapak benjing kontrol nggih, harus tidur cukup

supaya mboten lungkrah.

Pak Toto : Nggih ndhuk.

Data diatas merupakan dialog antara anak dan orang tua, yaitu Sari sebagai

penutur (1) dan Pak Toto sebagai penutur (2). Percakapan tersebut terjadi di

Dusun Tagung Rembun, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Situasi yang

muncul dalam dialog tersebut adalah nonformal. Bahasa yang digunakan dalam

percakapan tersebut adalah bahasa Jawa tingkat tutur krama.

Pada data tersebut terdapat peristiwa alih kode dan campur kode intern.

Bentuk alih kode pada percakapan tersebut yaitu “Alhamdulillah, bapak benjing

kontrol nggih, harus tidur cukup supaya mboten lungkrah”. Pada percakapan

tersebut terjadi alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, lalu beralih lagi

ke bahasa Jawa. Adapun bentuk campur kode berupa penyisipan kata dari bahasa
5

Indonesia yaitu keadaanya ke dalam percakapan berbahasa Jawa krama tersebut.

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa alih kode dan campur kode

pada percakapan tersebut adalah karena penutur (1) memiliki latar tempat tinggal

berbeda, yang dulunya menggunakan bahasa krama dalam berkomunikasi sehari-

hari dengan orang tuanya sekarang agak bercampur dengan sekarang berada

bahasa lain karena akibat bahasa dari penyesuaian tempat tinggalnya yaitu di

Jakarta, sehingga berusaha menyesuaikan dengan mitra tuturnya.

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, ditemukan beberapa penelitian

sebelumnya yang membahas mengenai penggunaan bahasa Jawa, khususnya

dikaji dari sosiolinguistik. Penelitian tersebut sebagai berikut.

1. “Alih Kode dan Campur Kode dalam penggunaan Bahasa Jawa Tukang Ojek

di Terminal Bus Simo Boyolali (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)” skripsi oleh

Erry Prasetya Jati (2014). Penelitian ini mengkaji pada bentuk alih kode dan

campur kode dalam penggunaan bahasa Jawa oleh tukang ojek di terminal

bus Simo Boyolali, serta fungsi dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya

alih kode dan campur kode dalam penggunaan bahasa Jawa tukang ojek di

terminal bus Simo Boyolali.

2. “Penggunaan Bahasa Jawa dalam Tuturan Masyarakat Somagede Kajian

Sosiolinguistik”, oleh Anggit fajar Pradana (2015). Penelitian ini mengkaji

bentuk-bentuk alih kode dan campur kode yang ada dalam turunan

masyarakat somagede. Selain itu, juga mengenai faktor-faktor yang

melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode dalam tuturan

masyarakat Somagede.
6

3. “Alih kode dan Campur Kode dalam Komunikasi Berbahasa Jawa di

Terminal Tirtonadi Surakarta (Kajian Sosiolinguistik)” skripsi oleh Matin

Hafidz Abdul Aziz (2018). Penelitian ini mengkaji bentuk alih kode dan

campur kode serta fungsi alih kode dan campur kode tersebut dalam

komunikasi berbahasa Jawa di terminal Tirtonadi Surakarta.

4. Analisis Penggunaan Bahasa Jawa dalam Video Singkat Berjudul “Pitutur”

sebuah jurnal oleh Herastanti Putri Agustin dan Inayah Ahyana Rohmawati

dalam Jurnal Budaya Brawijaya halaman 23-29 tahun 2021. Hasil dari

penelitian ini berupa tingkatan bahasa Jawa yang digunakan oleh remaja yang

tinggal di Jawa dan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa remaja dalam

video hanya menggunakan sedikit tutur kata dengan tingkatan yang benar

ketika berbicara dengan orang tua atau orang yang lebih tua.

5. “Alih Kode dan Campur Kode dalam Proses Pembelajaran di SD Negeri

Ketug (Kajian Sosiolinguistik)” sebuah artikel yang ditulis oleh Taufiq

Khoirurrohman dan Anny Anjany tahun 2020. Hasil dari penelitian tersebut

adalah wujud alih kode, wujud campur kode, dan factor penyebab terjadinya

alih kode dan campur kode dalam proses pembelajaran di kelas IV SD Negeri

Ketug. Alih kode yang terjadi berupa alih kode intern, yaitu alih kode

bahasa Indonesia ke Jawa dan alih kode Bahasa Jawa ke Bahasa

Indonesia. Campur kode berupa campur kode penyisipan kata, campur

kode frasa, dan campur kode klausa. Adapun faktor-faktor penyebab

terjadinya campur kode meliputi (1) akan menjelaskan sesuatu (2)

menjalin keakraban, dan (3) situasi dan kondisi.


7

Dari beberapa penelitian sebelumnya, setelah dilakukan penelusuran belum

ditemukan penelitian yang mengkaji tentang penggunaan bahasa Jawa oleh

generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali terkait

bentuk tingkat tutur, alih kode, campur kode, dan faktor yang melatarbelakangi

terjadinya alih kode dan campur kode tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini

memfokuskan pada penggunaan bahasa Jawa oleh generasi muda di Desa Rembun

Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali dalam komunikasi dengan orang tua

dan teman sebaya yang didalamnya terdapat tingkat tutur bahasa Jawa, alih kode,

dan campur kode.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah digunakan untuk membatasi masalah agar tidak terlalu

luas. Penelitian ini menekankan pada bentuk tingkat tutur, alih kode, campur

kode, dan faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam

penggunaan bahasa Jawa oleh generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan

Nogosari, Kabupaten Boyolali saat berkomunikasi dengan orang tua dan teman

sebaya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk tingkat tutur bahasa Jawa yang digunakan oleh

generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali

dalam komunikasi dengan orang tua dan teman sebaya?

2. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode yang terdapat pada
8

percakapan berbahasa Jawa oleh generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan

Nogosari, Kabupaten Boyolali dalam komunikasi dengan orang tua dan teman

sebaya?
9

3. Apa sajakah faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode pada

percakapan berbahasa Jawa generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan

Nogosari, Kabupaten Boyolali dalam komunikasi dengan orang tua dan teman

sebaya?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan bentuk tingkat tutur yang digunakan oleh generasi muda di

Desa Rembun, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali dalam komunikasi

dengan orang tua dan teman sebaya.

2. Mendeskripsikan bentuk alih kode dan campur kode yang terdapat pada

percakapan berbahasa Jawa oleh generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan

Nogosari, Kabupaten Boyolali dalam komunikasi dengan orang tua dan teman

sebaya.

3. Mendeskripsipkan faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode

pada percakapan berbahasa Jawa oleh generasi muda di Desa Rembun,

Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali dalam komunikasi dengan orang

tua dan teman sebaya.


10

E. Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik manfaat

teoretismanfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah dan memperkaya ilmu

pengetahuan dalam bidang linguistik, khususnya Sosiolinguistik.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat menambah perbendaharaan penelitian linguistik, khususnya

linguistik bahasa Jawa.

b. Dapat digunakan sebagai bahan pembanding penelitian selanjutnya.

c. Mengetahui penggunaan bahasa Jawa oleh generasi muda khususnya di

Desa Rembun dalam komunikasi lisan.

F. Landasan Teori

1. Sosiolinguistik

Sumarsono (2014:2) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian

tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Menurut Appel

(dalam Suwito, 1983:2) sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam

hubungannya dengan pemakaiannya di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa

sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem

komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu.

Sedangkan menurut Fishman (1971 dalam Alwasilah 2008:56) menyatakan bahwa

sosiolinguistic is a study of who speak what language to whom and when, yang

berarti sosiolinguistik adalah studi tentang siapa yang berbicara, bahasa apa yang
11

digunakan, serta kepada siapa dan kapan ia berbicara. Dapat dikatakan pula bahwa

sosiolinguistik adalah ilmu yang secara khusus mempelajari masalah hubungan

antar bahasa dan kaitannya dengan masyarakat.

Pengertian sosiolinguistik dari berbagai pakar dapat disimpulkan bahwa

sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan

ilmu soiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-

faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur (Abdul Chaer, 2014: 4).

Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik

merupakan kajian tentang bahasa yang berkaitan dengan masyarakat dan pemakai

bahasa, yang merupakan interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

2. Masyarakat Tutur

Fishman (dalam Abdul Chaer. 2014: 36) menyebutkan bahwa masyarakat

tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya

mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan

penggunanya. Istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut

masyarakat yang sangat luas dan dapat pula menyangkut sekelompok kecil orang.

Suwito menuturkan bahwa suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai

masyarakat tutur (speech community) jika suatu masyarakat atau sekelompok

orang mempunyai verbal repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian

yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan di dalam

masyarakat itu (1983:20).


12

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur

adalah kelompok orang-orang yang menggunakan bentuk bahasa yang relatif

sama dan mempunyai nilai yang sama dalam pemakaian bahasanya.

3. Kesantunan Berbahasa

Holmes (dalam Warsiman, 2014:20) menyatakan bahwa kesantunan

merupakan sesuatu yang sangat kompleks dalam berbahasa. Hal ini sulit dipelajari

karena tidak hanya melibatkan pemahaman aspek kebahasaan saja, tetapi juga

budaya. Agar dapat santun dalam berbahasa kita tidak hanya sekedar memahami

bagaimana mengucapkan “silahkan” dan “terima kasih” secara tepat, tetapi perlu

juga memahami nilai-nilai sosial dan kultur dari suatu masyarakat tutur.

Antropolog Brown dan Levinson (dalam Warsiman, 2014:21) memilah

persoalan kesantunan menjadi dua, yaitu strategi kesantunan positif dan

kesantunan negatif. Strategi kesantunan positif adalah strategi yang menunjukkan

kedekatan, keakraban dan penghargaan antara penutur dan pendengar, sedangkan

strategi kesantunan negatif adalah strategi yang menunjukkan jarak sosial antara

penutur dan pendengar.

Jadi dapat ditarik kesmpilan bahwa tuturan akan disebut santun apabila

peserta tutur tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan akan santun apabila

penutur memperhatikan kata-kata serta bahasa yang akan disampaikan kepada

lawan tutur (Anggraini dkk., 2019:42-54).


13

4. Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Sudaryanto (1989:103) membagi tingkat tutur bahasa menjadi empat

tingkatan, yakni ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu, dan krama alus. Begitupun

Eko Wardono dkk (1993) membagi tingkat tutur atas dua tingkatan pokok, lalu

kedua tingkatan tersebut dibagi menjadi empat, yakni ngoko lugu, ngoko alus,

krama lugu, dan krama alus.

Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2009: 101-127) membagi unggah-

ungguh bahasa Jawa ke dalam dua bentuk yaitu bentuk ngoko dan bentuk krama.

Kedua bentuk tersebut dapat diuraikan sebagai berikut

a. Ngoko

Tingkat tutur bentuk ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang

berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam tingkat tutur

ngoko adalah leksikon ngoko, bukan leksikon lain. Semua afiks yang muncul juga

merupakan bentuk ngoko yaitu afiks di-, -e, dan –ake. Bentuk ngoko dapat

dibedakan menjadi dua yaitu ngoko lugu dan ngoko alus.

b. Krama

Tingkat tutur krama adalah bentuk unggah- ungguh bahasa Jawa yang

berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam tingkat tutur

krama, bukan leksikon lain. Afiks yang digunakan dalam tingkat tutur krama yaitu

afiks dipun-, -ipun, dan –aken. Tingkat tutur krama mempunyai dua bentuk varian

yaitu krama lugu dan krama alus.

Edi Subroto, dkk (2008:30) memberikan pedoman secara umum tentang

pemakaian tingkat tutur: ngoko, krama, dan krama inggil, yakni:


14

a. Bentuk ngoko lugu dipakai oleh semua penutur yang sebaya, berteman akrab,

atau orang yang lebih tua/lebih tinggi jabatan (status sosial) kepada yang lebih

muda/lebih rendah jabatannya (status sosial). Bentuk ngoko lugu baku dipakai

untuk hal-hal penting dalam suasana tutur bersungguh-sungguh.

b. Bentuk kata krama inggil tidak boleh dipakai untuk diri sendiri atau hal-hal

yang berkaitan dengan diri sendiri.

c. Bentuk krama inggil atau mudha krama dipakai oleh penutur yang lebih muda

kepada yang lebih tua; yang lebih rendah derajadnya kepada yang lebih tinggi

atau bawahan kepada atasan; menantu kepada mertua; murid kepada guru;

santri kepada ustad.

5. Kode

Suwito mengemukakan bahwa kode dimaksudkan untuk menyebut salah satu

varian dalam hierarki kebahasaan. Masing-masing varian merupakan tingkat

tertentu dalam kebahasaan dan semuanya termasuk dalam cakupan kode,

sedangkan kode merupakan bagian dari bahasa (1983:67). Selanjutnya Suwito

memberikan ilustrasi yang menunjukkan adanya semacam hierarki kebahasaan

yang dimulai dari “bahasa” sebagai level yang paling atas disusul dengan kode

yang terdiri dari varian- varian dan ragam-ragam, serta gaya dan register sebagai

sub-sub kodenya (1983:68).

Selain itu, kode adalah salah satu sistem tutur yang penerapan dan unsur

kebahasaannya memiliki ciri khas dengan latar belakang penutur, relasi penutur

dengan lawan tutur dalam situasi yang sedang terjadi (Soepomo Poedjosoedarmo,

1986: 30).
15

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulan bahwa kode merupakan unsur

kebahasaan berupa variasi bahasa atau ragam bahasa, gaya, dialek dan lain

sebagainya yang penerapannya serta unsur kebahasaannya mempunyai ciri khas

sesuai dengan latarbelakang penutur, relasi penutur dengan lawan tuturnya dalam

suatu situasi tutur yang ada

6. Alih Kode

Alih kode (code switching) merupakan penggunaan variasi bahasa lain atau

bahasa lain dalam satu peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri

dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain (Kridalaksana,

2008: 9).

Selain itu, alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode

yang lain. Jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A

(misalnya bahasa Indonesia), dan kemudian beralih menggunakan kode B

(misalnya bahasa Jawa), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu

disebut alih kode (code switching) (Suwito, 1983:68). Selanjutnya, Suwito (1983:

69) menyatakan bahwa alih kode terdiri dari dua, yaitu alih kode intern dan alih

kode ekstern. Alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa

sendiri (satu bahasa nasional atau satu bahasa daerah atau satu dialek), sedangkan

alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri dengan bahasa asing.

Menurut Suwito (1983: 72-74) alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang

disebabkan oleh faktor-faktor di luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya

sosio-situasional. Beberapa faktor yang biasanya merupakan penyebab terjadinya

alih kode antara lain ialah (Suwito, 1983:72-75).


16

a. Penutur (O1)

Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode pada

lawan tuturnya dikarenakan maksud tertentu. Biasanya usaha tersebut dilakukan

untuk mengubah situasi, missal situasi tidak resmi menjadi resmi atau sebaliknya.

b. Lawan tutur (O2)

Setiap penutur ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan

tuturnya. Di dalam masyarakat multilingual bahwa seorang penutur mungkin saja

harus beralih kode sebanyak lawan tutur yang dihadapinya.

c. Hadirnya penutur ketiga (O3)

Dua orang dari etnik yang sama saling berinteraksi menggunakan bahasa

kelompok etniknya. Tetapi apabila kemudian hadir orang ketiga dalam

komunikasi dan orang tersebut berbeda latar kebahasaannya, biasanya dua orang

pertama beralih kode ke bahasa yang dikuasai oleh ketiganya.

d. Pokok pembicaraan (topik)

Pokok pembicaraan merupakan faktor yang termasuk dominan dalam

menentukan alih kode. Pokok pembicaraan pada dasarnya dapat dibedakan

menjadi dua golongan besar yaitu pokok pembicaraan yang bersifat formal

(baku), dan pokok pembicaraan yang bersifat informal (santai). Apabila seorang

penutur mula-mula berbicara tentang hal yang bersifat formal kemudian beralih ke

hal-hal informal, maka akan terjadi peralihan kode dari bahasa formal (baku) ke

bahasa informal (santai).


17

e. Untuk membangkitkan rasa humor

Alih kode sering dimanfaatkan oleh guru, pemimpin rapat, atau pelawak

untuk membangkitkan rasa humor. Alih kode demikian mungkin berujud alih

varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.

f. Untuk sekedar bergengsi

Sebagian penutur ada yang beralih kode hanya sekedar untuk bergengsi. Hal

tersebut terjadi apabila faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor sosio-

situasional yang lain tidak mengharuskan untuk beralih kode. Dengan kata lain,

baik fungsi kontekstual maupun situasi relevansi tidak mendukung peralihan

kodenya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode

merupakan peristiwa peralihan dari satu kode ke kode lainnya yang dapat dilihat

dalam kalimat yang dituturkan. Adapun faktor penyebab terjadinya alih kode

yaitu penutur atau O1, lawan tutur atau O2, hadirnya penutur ketiga atau O3,

pokok pembicaraan (topik), untuk membangkitkan rasa humor, dan untuk sekedar

bergengsi.

7. Campur Kode

Nababan (1984:32) mendefinisikan campur kode adalah suatu keadaan

berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa

dalam suatu tindak tutur.

Poedjosoedarmo (1996) (dalam Saaddhono, 2011: 74) menyatakan bahwa

campur kode istilah dari pinjam leksikon, yakni pemakaian kata-kata dari lain

kode. Pinjam leksikon menjelaskan bahwa campur kode merupakan percampuran


18

dengan meminjam kosa kata atau leksikon dari bahasa lain. dengan demikian

poinjam leksikon disesjajarkan dengan campur kode. Campur kode (code mixing)

merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk

memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian

kata, klausa, idiom, sapaan, dsb (Kridalaksana: 2008: 40).

Menurut Suwito, berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di

dalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam antara lain:

a. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata

b. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa

c. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster

d. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata

e. Penyisipan unsur-unsur berwujud ungkapan atau idiom

f. Penyisipan unsur-unsur berwujud klausa (1983: 78-80).

Menurut Suwito (1983: 77) campur kode dipengaruhi oleh beberapa hal,

yaitu: 1) Identifikasi peranan adalah social, registral, dan edukasional. 2)

Identifikasi ragam, dimana seorang penutur menempatkan di dalam hierarki status

sosialnya. 3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini

ketiganya saling bergantung dan tumpang tindih. Sedangkan Sarwiji Suwandi

menemukan faktor yang menyebabkan campur kode, yaitu: (1) partisipan

mempunyai latar belakang bahasa ibu yang sama, misalnya bahasa Jawa; (2)

adanya keinginan penutur untuk memperoleh ungkapan yang “pas”; dan (3)

kebiasaan dan kesantaian peserta tindak tutur dalam berkomunikasi (bercakap-

cakap) (2008: 95).


19
20

8. Komponen Tutur

Suwito menuturkan bahwa dalam setiap peristiwa interaksi verbal selalu

terdapat beberapa faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa itu. Faktor-

faktor yang terdapat dalam proses tuturan antara lain ialah: penutur (speaker),

lawan bicara (hearer, receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara

(setting), suasana bicara (situation scene) dan sebagainya.

Dell Hymes (dalam Suwito, 1983:32) mengemukakan adanya faktor-faktor

yang menandai terjadinya peristiwa tutur itu dengan singkatan SPEAKING, yang

masing-masing bunyi merupakan fonem awal dari faktor-faktor yang

dimaksudkan ialah:

S : Setting dan scene, yaitu: tempat bicara dan suasana bicara (misalnya ruang

diskusi dan suasana diskusi).

P : Partisipan, yaitu pembicara, lawan bicara dan pendengar. Dalam diskusi

adalah seluruh peserta diskusi.

E : End atau tujuan, yaitu tujuan akhir diskusi.

A :Act, yaitu suatu peristiwa di mana seorang pembicara sedang

mempergunakan kesempatan bicaranya.

K :Key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam

menyampaikan pendapatnya, dan cara mengemukakan pendapatnya.

I : Instrumen, yaitu alat untuk menyampaikan pendapat. Misalnya secara

lisan, tertulis, lewat telepon dan sebagainya.

N :Norma, yaitu aturan permainan yang mesti ditaati oleh setiap peserta

diskusi.
21

G :Genre, yaitu jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari

jenis kegiatan yang lain.

G. Data dan Sumber Data

Data merupakan semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam yang

harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh penulis (Subroto, 1992: 34). Data

dalam penelitian ini berupa data lisan, data lisan merupakan data kebahasaan yang

ada dalam masyarakat pemakai bahasa yang akan diteliti. Data lisan dalam

penelitian ini berupa percakapan berbahasa Jawa oleh generasi muda di Desa

Rembun, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali dalam berkomunikasi dengan

orang tua dan teman sebaya yang di dalamnya terdapat tingkat tutur, alih kode,

dan campur kode.

Sumber data adalah sumber untuk mendapatkan data, baik berupa sumber

lisan maupun sumber tertulis (Subroto,1992:33). Sumber data pada penelitian ini

berupa informan yaitu generasi muda dan orang tua di Desa Rembun, Kecamatan

Nogosari, Kabupaten Boyolali yang berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa

yang didalam percakapannya terdapat tingkat tutur, alih kode, ataupun campur

kode.
22

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Istilah deskriptif menyarankan

bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang

ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga

yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan

sifatnya seperti potret: paparan seperti adanya (Sudaryanto, 1988: 62). Sedangkan

penelitian kualitatif merupakan penelitian yang meneliti data yang berwujud kata-

kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar/foto, catatan harian,

memorandum, video-tipe (Subroto, 1992:7).

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk tingkat tutur, bentuk

alih kode, dan bentuk campur kode yang terdapat di dalam percakapan berbahasa

Jawa anak generasi muda di Desa Rembun Kecamatan Nogosari Kabupaten

Boyoali saat berkomunikasi dengan orang tua dan teman sebaya.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan

menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2008: 153). Metode

pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak

(pengamatan/observasi) dan metode cakap (wawancara). Metode simak adalah

metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto,

1993: 133). Teknik dasar yang dipakai adalah teknik sadap. Penelitian ini

dilakukan dengan penyimakan yang dilanjutkan dengan menyadap penggunaan


23

bahasa yang digunakan oleh generasi muda di Desa Rembun Kecamatan Nogosari

Kabupaten Boyolali.

Teknik lanjutan: 1) Teknik simak bebas libat cakap (SBLC), peneliti tidak

ikut serta dalam penelitan, peneliti hanya sebagai pengamat yang berada di luar

pembicaraan. 2) Teknik simak libat cakap (SLC), peneliti terlibat langsung dalam

pengambilan data, maksudnya peneliti terlibat dengan mitra tutur. 3) Teknik

rekam, teknik ini dilakukan bersamaan dengan teknik SBLC dan SLC yang

digunakan untuk mengabadikan data, perlu perhatian atau keterangan khusus

mengenai wakt dan tempatb terjadinya tindak tutur, identitas penutur, dan situasin

tutur. 4) Teknik catat, teknik ini dilakukan dengan mencatat data kebahasaan atau

istilah-istilah yang relevan dengan sasara dan tujuan penelitian, dan dari hasil

rekam kemudian ditranskrip kedalam bentuk tulisan yang sesuai dengan

kenyataan.

Metode Cakap (wawancara) adalah percakapan dan terjadinya kontak antara

peneliti dan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1993: 137). Yang disebut

narasumber pada metode wawancara ini adalah orang tua dari generasi muda atau

anak yang percakapannya menjadi data utama dalam penelitian dan anak itu

sendiri. Teknik yang digunakan berupa teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik

dasar berupa teknik pancing dan teknik lanjutan berupa teknik cakap semuka,

teknik rekam, dan teknik catat.


24

3. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini terdiri dari alat utama dan alat bantu. Alat utama

dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Pada penelitian ini peneliti

berperan sebagai alat utama karena kelenturan sikap peneliti mampu melengkapi

dan menilai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2006:44). Alat bantu berguna

untuk memperlancar jalannya penelitian. Alat bantu dalam penelitian ini berupa:

handphone, alat tulis, komputer/laptop, dan flashdisk.

4. Populasi dan sampel

Populasi adalah seluruh objek penelitian. Populasi ialah keseluruhan individu dari

segi-segi tertentu bahasa (Subroto, 1992:32). Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh

percakapan berbahasa Jawa generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan Nogosari,

Kabupaten Boyolali dalam komunikasi dengan orang tua dan teman sebaya yang di

dalamnya terdapat tingkat tutur, alih kode, dan campur kode.

Sampel adalah Sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian langsung yang

mewakili atau dianggap mewakili populasi secara keseluruhan (Edi Subroto, 1992: 32).

Sampel dalam penelitian ini adalah pemakaian bahasa Jawa oleh generasi muda di Desa

Rembun, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali yang mengandung tingkat tutur, alih

kode, dan campur kode dalam komunikasi dengan orang tua dan teman sebaya.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik beikut.

a. Purposive Sampling

Teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel secara selektif

dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan penelitian berdasarkan data

yang ada (Subroto, 1992:28). Percakapan yang digunakan untuk sampel pada

penelitian ini dipilih secara selektif yaitu (1) berupa percakapan berbahasa Jawa
25

oleh generasi muda di Desa Rembun ; (2) rentang usia generasi muda 16-30

tahun; (3) saat berkomunikasi dengan orang tua dan teman sebaya di dalamnya

terdapat tingkat tutur, alih kode, dan campur kode.

b. Snowball Sampling

Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data, yang

awalnya berjumlah sedikit lama-lama menjadi besar karena dari jumlah sumber

data yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan

(Sugiyono, 2019:289). Penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling

karena jumlah individu yang menjadi sumber data belum ditentukan, jumlah

sumber data yang sesuai kriteria dapat terus bertambah, disesuaikan dengan

kelengkapan data. Penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling karena

jumlah individu yang menjadi sumber data belum ditentukan, jumlah sumber data

yang sesuai kriteria dapat terus bertambah, disesuaikan dengan kelengkapan data.

5. Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah proses memilih, memilah, dan

mengorganisasikan data yang terkumpul dari catatan lapangan, hasil observasi,

wawancara mendalam dan dokumentasi, sehingga diperoleh pemahaman yang

mendalam, bermakna, unik dan temuan baru yang bersifat deskriptif, kategorisasi

dan atau pola-pola hubungan antarkategori dari objek yang diteliti (Sugiyono,

2019:348- 349).

Penelitian ini dalam menganalisis bentuk tingkat tutur, alih kode, dan campur

kode menggunakan metode distribusional dan metode padan. Metode

distribusional merupakan metode analisis data yang alat penentunya berasal dari
26

bahasa yang bersangkutan. Metode distribusional dalam penelitian ini

menggunakan teknik dasar BUL (Bagi Unsur Langsung). Teknik ini digunakan

untuk membagi satuan lingual data menjadi unsur-unsur yang bersangkutan

dengan membentuk satuan lingual. Alat penentu dalam metode distibusional itu

jelas, selalu berupa bagian atau unsur dari bahasa, seperti kata, fungsi sintaksis,

klausa, dan unsur bahasa yang lain. Metode distribusional dengan menggunakan

teknik dasar BUL hanya diterapkan untuk menganalisis bentuk alih kode, campur

kode, dan interferensi. Metode distribusional dalm penelitian ini digunakan untuk

menganalisis penggunaan bahasa Jawa oleh generasi muda di Desa Rembun,

Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali.

Selanjutnya metode padan merupakan metode analisis data yang alat

penentunya berasal dari luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa

(langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 2015: 13). Metode padan yaitu metode

yang digunakan untuk menentukan identitas satuan lingual tertentu dengan

memakai alat penentu yang berada diluar bahasa yang berupa konteks sosial

dalam peristiwa penggunaan bahasa dalam masyarakat, terlepas dari bahasa, dan

tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Edi Subroto, 1992: 55).

Metode padan digunakan untuk menganalisis faktor yang menjadi latar belakang

digunakannya suatu bentuk tingkat tutur, alih kode, maupun campur kode oleh

generasi muda di Desa Rembun, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali saat

berkomunikasi dengan orang tua dan teman sebaya. Hal ini dapat dilakukan

dengan mencermati komponen tutur .


27

6. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data pada penelitian ini adalah metode

deskriptif, formal dan informal. Deskriptif menyatakan bahwa penelitian yang

dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau

fenomena-fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya

(Sudaryanto, 2015: 62). Metode informal adalah metode penyajian hasil analisis

data yang menggunakan kata-kata sederhana agar mudah dipahami. Metode

formal adalah metode penelitian data dengan menggunakan dokumen tentang data

yang digunakan sebagai lampiran.

Dengan menggunakan metode deskriptif, formal dan informal, penyajian hasil

analisis data pada penelitian ini akan diuraikan dengan bahasa yang mudah

dipahami.
26

I. Kerangka Pikir

Penggunaan bahasa Jawa oleh


generasi muda di Desa
Rembun, Nogosari, Boyolali

Sosiolinguistik

Tingkat tutur Alih kode Campur Kode


bahasa Jawa

Bentuk tingkat faktor penyebab


Bentuk alih kode
tutur bahasa Jawa terjadinya alih kode
dan campur kode
dan campur kode
27

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, H. P., & Rohmawati, I. A. (2021). Analisis Penggunaan Bahasa Jawa


dalam Video Singkat Berjudul “Pitutur”. Jurnal Budaya Brawijaya, volume
1, Nomor 1, halaman 23-29.

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.

Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: GramediaPustaka


Umum.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Depdikbud.


Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1986. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Balai


Penelitian Bahasa.

Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2009. Unggah-ungguh Bahasa Jawa. Jakarta:
Yayasan Paramalingua.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.

Sumarlam, dkk. 2020. Pemahaman dan Kajian Psikolinguistik. Solo: bukukatta.

Suryadi, M. Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Ngoko dan Krama pada
Ranah Keluarga dan Masyarakat di Kota Semarang dan Kota Pekalongan.
Diss. UNS (Sebelas Maret University), 2013.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta:


Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.

Tim. 2018. Pedoman Skripsi Fakultas Ilmu Budaya. Surakarta: Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai