Anda di halaman 1dari 18

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL

Makalah ini disusun guna

memenuhi tugas

Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu: Nor Hadi, M. Pd

Disusun Oleh:

Stiyan Majid Nur Rosyid (14030460100)

Umi Nur Fadhilah (1403046088)

Aisatul Maghfiroh (1403046096)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2014

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Dalam upaya mencapai tujuan nasionalnya, Bangsa Indonesia telah
memilih dan menentukan konsepsi wawasan nasionalnya. Wawasan
nasional yang merupakan pedoman dalam melakukan kegiatan berbangsa
dan bernegara itu adalah wawasan nusantara.
Wawasan nusantara pada satu sisi adalah sebuah konsepsi yang
dijadikan sebagai pedoman, arah atau kompas untuk mencapai tujuan
nasional. Namun pada sisi lain, untuk mewujudkan wawasan nusantara
sebagai sebuah wawasan bagi bangsa Indonesia juga memerlukan waktu
panjang. Pada posisi ini, wawasan nusantara dipandang sebagai tujuan
yang untuk mencapainya juga dibutuhkan proses.
Untuk mencapai tujuan wawasan nusantara tersebut disusunlah
konsepsi ketahanan nasional yang meliputi segala aspek kehidupan
nasional. Ketahanan nasional akan terwujud melalui aktifitas yang disebut
dengan pembangunan nasional. Pembangunan yang harus dilaksanakan
secara konsisten dan konsekuen itu meliputi seluruh aspek kehidupan
nasional. Dengan pembangunan ini, akan tercapai tujuan nasional bangsa
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4.
Sebagai sebuah proses, pembanguna nasional juga merupakan
kinerja sepanjang masa tiada henti. Hal ini disebabkan sifat dari tujuan
nasional itu semu. Maksudnya titik tolak ukur secara kuantitif dan
kualitatif, kapankah tujuan nasional itu tercapai. Didalam kerangka
meningkatkan Ketahanan Nasional sebagai upaya bangsa Indonesia
mengisi Kemerdekaan, diperlukan kinerja yang lebih praktis. Hal inilah
yang dikenal sebagai Politik Nasional dan Strategi Nasional (Polstranas).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana politik masa orde lama?
2. Bagaimana politik masa orde lama dan arah strategi nasionalnya?
3. Bagaimana politik masa orde baru?

2
4. Bagaimana politik orde baru dan arah strategi nasionalnya?
5. Bagaimana politik masa reformasi?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Politik dan Strategi Nasional

Kata “politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani


Politeia, yang akar katanya adalah Polis, berarti kesatuan masyarakat yang
berdiri sendiri, yaitu Negara dan Teia, berarti urusan. Dalam bahasa
Inggris, politic adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, dan
alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu.
Sedangkan policy dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebgai
kebijaksanaan, adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan yang
dianggap dapat lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita atau
tujuan yang dikehendaki. Pengambilan kebijaksanaan biasanya dilakukan
oleh seorang pemimpin.1

Strategi berasal dari Bahasa Yunani strategia yang diartikan


sebagai “the art of the general” atau seni seorang panglima yang biasanya
digunakan dalam peperangan. Dalam pengertian umum, strategi adalah
cara untuk mendapatkan kemenangan atau pencapaian tujuan.

Strategi nasional adalah seni dan ilmu mengembangkan dan


menggunakan kekuatan nasional untuk mencapai tujuan yang ditentukan
oleh politik nasional. Strategi nasional berisi perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan untuk mencapai tujuan sehingga harus elastis dan berkembang
dinamis sesuai dengan situasi dan kemampuan.2

Proses politik dan strategi nasional pada infrastruktur politik


merupakan sasaran yang akan dicapai oleh rakyat Indonesia. Sesuai
1
Syahrial Syarbaini, Aliaras Wahid, H.A Djasli, Sugeng Wibowo. Membangun Karakter
dan Keprbadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Graha Ilmu: Yogyakarta. 2006. Hlm. 97-
98.
2
Samsul Wahidin. Pokok-Pokok Pendidikan Kewarganegaraan.Pustaka
Pelajar:Yogyakarta. 2010. Hlm. 190-191

3
dengan kebijakan politik nasional, penyelenggaraan negara harus
mengambil langkah-langkah pembinaan terhadap semua lapisan
masyarakat dengan mencantumkan sasaran sektoralnya.

Melalui pranata-pranata politik, masyarakat ikut berpartisipasi


dalam kehidupan politik nasional. Dalam reformasi saat ini, masyarakat
memiliki peran yang sangat besar dalam mengontrol jalannya politik dan
strategi nasional yang ditetapkan oleh MPR maupun yang dilaksanakan
presiden.

Berikut adalah hal-hal yang dibicarakan dalam politik:

1. Negara
Merupakan suatu organisasi dalam satu wilayah yang memiliki
kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh rakyatnya. Atau Negara
merupakan bentuk masyarakat dan organisasi politik yang paling
utama dalam suatu wilayah yang berdaulat.
2. Kekuasaan
Adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi
tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginannya.
3. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah aspek pertama politik. Dalam
pengambilan keputusan perlu diperhatikan siapa pengambil
keputusan itu dan untuk siapa keputusan itu dibuat.
4. Kebijakan umum
Kebijakan (policy) merupakan suatu kumpulan keputusan yang
diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam memilih
tujuan dan cara mencapai tujuan itu.
5. Distibusi
Yaitu pembagian dan pengalokasian nilai-nilai dalam masyarakat.
Nilai adalah sesuatu yang diinginkan dan penting. Ia harus dibagi

4
secara adil. Politik membicarakan bagaimana pembagian dan
pengalokasian nilai secara mengikat.3

B. Politik Masa Orde Lama (1959-1965)

Orde lama mulai pada tanggal 5 Juli 1959 hingga 11 Maret 1966,
saat diserahkannya Supersemar oleh Presiden kepada Letjen Soeharto.
Ciri-ciri orde lama adalah sebagai berikut:

1. Mempunyai landasan idiil Pancasila dan landasan stuktual UUD


1945.
2. Mempunyai tujuan:
a. Membentuk NKRI yang berbentuk kesatuan dan
kebangsaan yang demokratis.
b. Membentuk suatu masyarakat yang adil dan makmur baik
materal maupun spiritual dalam wadah NKRI.
c. Membentuk kerja sama yang baik dengan semua Negara di
dunia, terutama dengan Negara-Negara di kawasan Asia-
Afrika.
d. Melaksanakan dengan meluruskan segala cara.4

Pada bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan


pemilihan umum, masing-masing untuk memilih anggota-anggota Dewan
Perwalilan Rakyat (DPR) dan anggota Konstituante. Tugas Konstituante
adalah untuk membuat Rancangan Undan-Undang Dasar (RUUD) sebagai
pengganti UUDS 1950, yang menurut pasal 134 akan ditetapkan selekas-
lekasnya bersama-sama dengan Pemerintah.

Untuk mengambil putusan mengenai UUD maka pasal 137 UUDS


1950 menyatakan bahwa:

1. Untuk mengambil keputusan tentang RUUD baru maka sekurang-


kurangnya 2/3 jumlah anggota konstituante yang hadir;
3
Op. Cit., Hlm. 99-100.
4
Hamid Darmadi. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan. Alfabeta: Bandung. 2010.
Hlm. 390-391

5
2. Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir;
3. Rancangan yang telah diterima oleh konstituante dikirimkan
kepada presiden untuk disahkan oleh pemerintah.
4. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta
mengumumkan undang-undang itu dengan keluhuran.

Dekrit oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 tentang kembali pada
UUD 1945. Dalam keadaan seperti itu, yang menurut Kepala Negara
menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan
keselamatan negara, nusa, dan bangsa. Maka, tindakan Presiden
menegeluarkan Dekrit Presiden tersebut dibenarkan berdasarkan hukum
darurat negara (staatnoodrecht).

Diktum Dekrit Presiden itu berbunyi:

1. Menetapkan pembubaran konstituante;


2. Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai
tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlaku lagi UUDS 1950;
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara
yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-
utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), akan diselenggarakan
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Sejak 5 Juli 1959 UUD 1945 berlaku lagi bagi Bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sejak itu telah cukup banyak
pengalaman yang kita peroleh dalam melaksanakan UUD 1945. Apabila
dilihat dari pelaksanaan UUD 1945 dalam kurun waktu antara 1959-1966,
lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA, BPK belum dibentuk
berdasarkan undang-undang seperti yang ditentukan dalam UUD 1945.
Lembaga-lembaga negara tersebut masih dalam bentuk sementara. Belum

6
lagi jika kita mengupas tentang berfungsinya lembaga-lembaga negara
tersebut telah sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD 1945. 5

C. Politik Masa Orde Lama dan Arah Strategi Nasional

Dalam masa Orde Lama itu, Presiden, selaku pemegang kekuasaan


eksekutif, dan pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR
telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya. Presiden telah
mengeluarkan produk legislatif yang pada hakikatnya adalah Undang-
Undang (sesuai UUD 1945 harus dengan persetujuan DPR) dalam bentuk
penetapan Presiden, tanpa persetujuan DPR. Selain itu terdapat pula
penyimpangan-penyimpangan lain, antara lain:

1. MPR, dengan ketetapan No. I/MPRS/1960 telah mengambil


putusan menetapkan pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang
berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang lebih dikenal
dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) sebagai
GBHN bersifat tetap, yang jelas bertentangan dengan ketentuan
UUD 1945.
2. MPRS telah mengambil keputusan mengangkat Ir. Soekarno
sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan
ketentuan UUD 1945 yang menetapkan masa jabatan Presiden lima
tahun.
3. Hak budget DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960
pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapat
persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang
bersangkutan. Dalam tahun 1960, karena DPR tidak dapat
menyetujui Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RPBN)
yang diajukan oleh Pemerintah, maka Presiden waktu itu
membubarkan DPR hasil Pemilu tahun 1955 dan membentuk DPR-
Gotong Royong (DPR-GR).

5
Syahrial Syarbaini, Aliaras Wahid, H.A Djasli, Sugeng Wibowo. Membangun Karakter
dan Keprbadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Graha Ilmu: Yogyakarta. 2006. Hlm. 89

7
4. Pimpinan Lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri
negara, sedangkan Presiden sendiri menjadi anggota DPA, yang
semuanya tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

Penyimpangan ini jelas bukan saja mengakibatkan tidak


berjalannya sistem yang ditetapkan dalam UUD 1945, melainkan juga
telah mengakibatkan memburuknya keadaan politik dan keamanan serta
terjadinya kemerosotan ekonomi yang mencapai puncaknya dengan
pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 (G30S PKI).
Pemberontakan tersebut dapat digagalkan melalui kekuatan-kekuatan yang
melahirkan pemerintahan Orde Baru.6

D. Politik Masa Orde Baru

Orde Baru lahir setelah gagalnya pemberontakan G30S/ PKI pada


tanggal 30 September 1965.

Pemberontakan PKI yang puncaknya pada tanggal 30 September


1965 itu adalah yang kedua kali dilakukan mereka, tetapi kali ini
merupakan pemberontakan yang terbesar yang dialami Bangsa Indonesia
sejak kemerdekaan. Dikatakan demikian karena resonansinya dirasakan
oleh seluruh Bangsa Indonesia sampai ke daerah-daerah pedalaman
sekalipun.

Setelah membangkitkan isu-isu tentang perbedaan jurang pemisah


antara si kaya dan si miskin, kemudian menyebarluaskan program sama
rata sama rasa. Lalu pada puncaknya melakukan pembantaian di lubang
buaya, Jakarta. Sasaran utama mereka adalah para Jenderal yang semula
paling keras menentang dipersenjatainya Angkatan Kelima Buruh Tani
PKI oleh pemerintah.

Gempa politik yang terjadi pada akhir tahun 1965 dan awal tahun
1966 ini menampilkan Letjen Soeharto (Mantan Panglima Mandala) itu ke
latar depan sejarah bangsa. Karena mengetahui dari Latif, anak buahnya
bahwa Yani dan Nasution akan dibunuh, lalu memanfaatkan keadaan,
6
Op. Cit., Hlm. 90-91

8
dengan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat yang lowong dengan
tewasnya Jenderal Ahmad Yani. Lalu mulailah operasi yang gencar dan
sistematis, menumpas G30S/PKI dan Orde Lama.7

E. Politik Orde Baru dan Arah Strategi Nasioanal

Sejak awal kelahirannya, Orde Baru (Orba) selalu menyebut


dirinya sebagai suatu kekuatan yang bersifat korektif atas orde
sebelumnya. Dalam jargon-jargon yang muncul pada awal kebangkitan
Orba juga masih bertahan sampai sekarang, selalu ditanyakan bahwa orba
bertekad melaksanakan kehidupan politik yang konstitusional serta
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Secar implisit maupun eksplisit, jargon-jargon tersebut memperlihatkan
bahwa kehidupan politik pada masa sebelum Orba adalah kehidupan
politik yang inkonstitusional serta menyimpang dari ideologi negara. Orba
lahir untuk mengoreksi penyimpangan konstitusi dan ideologi serta
menegakkan Orde Pembangunan.

Di balik jargon-jargon tersebut, Orba mengacu kepada kondisi-


kondisi empiris yang menyebabkan situasi kondusif untuk kemunculan
Orba. Kondisi empiris tersebut meliputi krisis ekonomi dan krisis politik.

Krisis politik pada umumnya mengacu pada apa yang disebut


sebagai periode Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi
Terpimpin (1959-1965). Periode demokrasi Parlementer ditandai dengan
ketidakstabilan politik sebagai akibat persaingan antar partai serta
pemberontakan-pemberontakan. Jumlah partai politik sangat banyak
dengan perbedaan ideologi yang tajam antara yang satu partai dengan
partai lain. Peranan partai politik yang demikian besar dianggap Presiden
Soekarno sebagai penyebab kemacetan sistem politik. Pada Juli 1959
Presiden Sukarno, atas dukungan militer, memberlakukan kembali UUD
1945. Sejak itu, selesailah era Demokrasi Parlementer.

7
Inu Kencana Syafiie. Sistem Pemerintahan Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta: 2011.
Hlm. 34-35

9
Periode Demokrasi Terpimpin ditandai dengan peningkatan peran
politik Partai Komunis Indonesia (PKI), serta merosotnya peranan partai-
partai politik di luar PKI. Pada 1960, Presiden membubarkan DPR karena
DPR menolak anggaran belanja negara yang diusulkan Presiden. Presiden
Sukarno juga mengangkat ketua DPR sebagai menteri, ikut campur dalam
bidang legislatif dan yudikatif serta membiarkan diri diangkat sebagai
Presiden seumur hidup.

Selain krisis politik, Presiden Sukarno juga ditandai oleh krisis


ekonomi. Dalam banyak hal, Sukarno cenderung mengabaikan
pembangunan ekonomi dan menekankan program-program politik yang
bersifat revolusioner. Sukarno bahkan membatalkan program-program
ekonomi pada 1963. Krisis moneter jadi tak terhindarkan lagi. Harga-
harga naik, inflasi naik, serta defisit terus membengkak. Ditambah lagi
dengan hutang luar negeri yang semakin besar. Kedua krisis tersebut
mengundang ketidakpuasan militer atas kekuasaan sipil.

Sejak awal, militer di Indonesia memang berakar pada situasi


revolusi fisik. Sebagai akibatnya, militer mempersepsikan diri sebagai
kekuatan yang harus ikut serta dalam kehidupan politik. Sejak 1954,
Nasution telah membentuk Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI) sebagai upaya untuk ikut serta dalam politik, minimal dalam
pemilu 1955. Pada pertengahan 1950-an militer juga mulai mencoba
mengelola sumber-sumber ekonomi di luar anggaran pemerintah. Sampai
menjelang Demokrasi Terpimpin, kedudukan militer dalam politik sudah
demikian kuat sehingga mampu bersaing dengan Sukarno maupun dengan
PKI. Melihat konteks kompetisi politik antara Sukarno, militer, dan PKI
pada 1960-an, kemunculan militer pada panggung politik tinggal masalah
waktu saja.

Suatu aksi dramatis yang dilancarkan PKI pada September 1965


memicu militer untuk benar-benar tampil sebagai pemegang kendali
kekuasaan. Dalam peristiwa tersebut, yang kemudian dikenal dengan
Gerakan 30 September/PKI, sejumlah militer tewas. Militer segera

10
memiliki alasan kuat untuk mematahkan PKI secara total sekaligus
mengkooptasi kepemimpinan Sukarno. Sejak peristiwa G-30-S/PKI
tersebut, militer semakin mantab menapaki tangga kekuasaan politik
sampai di anak tangga terakhir.8

Gagalnya memperebutkan kekuasaan oleh G30S PKI itu telah


diungkapkan dan dibuktikan, baik melalui sidang pengadilan maupun
bahan dan keterangan lainnya, bahwa PKI lah yang mendalangi secara
sadar dan berencana coup d’eat itu. Keadaan semakin meruncing, keadaan
ekonomi dan keaamanan makin tidak terkendalikan. Dengan dipelopori
oleh pemuda/mahasiswa, rakyat menyampaikan “Tri Tuntutan Rakyat”
(Tritura), yaitu:

1. Bubarkan PKI;
2. Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur PKI;
3. Turunkan harga-harga atau perbaiki ekonomi.

Pengemban Supersemar telah membubarkan PKI dan ormas-


ormasnya dan mengadakan koreksi terhadap penyimpangan dalam
berbagai bidang selama pemerintahan Orde Lama dengan konstitusional,
yaitu melalui sidang MPRS yang telah menghasilkan:

1. Pengukuhan Supersemar (Tap. No.IX/MPRS/1960)


2. Pembubaran PKI dan Ormas-ormasnya (Tap. No.XXV/MPR/1966)
3. Penegasan kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri
RI (Tap. No.XII/MPRS/1966)
4. Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Bidang Ekonomi,
Keuangan, dan Pembangunan (Tap. No.XXIII/MPRS/1966)
5. Pencabutan kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden
Soekarno (Tap. No.XLV/MPRS/1968).

Konsensus Nasional ini telah mewarnai pelaksanaan demokrasi di


negara Republik Indonesia sepanjang pemerintahan Orde Baru (Orba)
sehingga pelaksanaan UUD 1945 lebih cenderung berpihak kepada rezim

8
Anggota IKAPI. Evaluasi Pemilu Orde Baru. Mizan: Bandung. 1997. Hlm. 75-77

11
yang berkuasa apabila dibandingkan menegakkan kedaulatan rakyat sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 itu sendiri.
Pemerintahan Orba telah banyak melakukan penyimpangan dalam
pelaksanaan pemilu, antara lain:

1. Campur tangan birokrasi terlalu besar dalam memengaruhi pilihan


rakyat,
2. Panitia pemilu tidak independen, memihak salah satu kontestan,
3. Kompetisi antar kontestan tidak leluasa,
4. Rakyat tidak bebas mendiskusikan dan menentukan pilihan,
5. Penghitungan suara tidak jujur,
6. Kontestan tidak bebas kampanye karena dihambat aparat
keamanan/perizinan.

Mengingat pemilu adalah titik awal dari pembentukan sebuah


pemerintahan demokrasi, maka kelemahan dan praktek pemilu membawa
kinerja sisitem politik, yaitu tercipta perwakilan politik yang kurang
kondusif bagi demokrasi. Wakil rakyat lebih cenderung loyal kepada
parpol yang menunjuknya menjadi rakyat ketimbang pada rakyat pemilih
(tipe partisan). Akibat pemilu orde baru kepada DPR menyokong
pembatasan kapabilitas politik legislatif itu. Sehingga penggunaan hak-hak
DPR, seperti hak inisiatif dan fungsi pengawasan menjadi lemah.
Kenyataan ini makin memperkuat eksekutif sebagai pemihak pusat
kekuasaan yang mengatasi legislatif.

Ekeses pemilu yang juga fundamental adalah terbentuknya format


“demokrasi” ala orde baru yang khas. Sebuah model “demokrasi
terpimpin” yang dicirikan oleh sentralisasi kekuasaan politik pada puncak
kekuasaan. Pada saat yang sama struktur kekuasaan macam itu melebur
kekuasaan eksekutif dan pengontrolannya (legislatif dan yudikatif) ke
dalam satu saluran kekuasaan. Model demokrasi seperti ini dapat dinamai
model “Demokrasi terpimpin konstitusional”. Sebuah reinkarnasi model
demokrasi terpimpin yang telah direparasi aspek yuridis formalnya

12
sehingga menjadi konstitusional. Demokrasi pun cenderung berhenti di
tingkat slogan dan simbolik, lalu tercegah untuk bekerja di tingkat praksis.

Alokasi nilai di bidang politik dalam melaksanakan UU No. 1


tahun 1983 tentang susunan dan kedudukan MPR/DPR Presiden Suharto
melakukan:

1. Menerapkan penelitian khusus (Litsus) kepada segenap calon


anggota MPR/DPR dengan kriteria hanya mono loyalitas terhadap
dirinya, yang diijinkan menjadi calon resmi dari Partai dan Golkar.
2. Menetapkan keluarga Presiden, para pejabat eksekutif beserta
beberapa keluarganya dan orang-orang yang berkaitan dengan
bisnis keluarga Presiden sebagai calon resmi dari Partai Politik dan
Golkar.

Dalam pelaksanaan UU No. 2 tahun 1983 tentang Pemilu:

1. Presiden Suharto secara subyektif mencoret dan mengganti calon


yang tidak memenuhi persyaratan subyektif dari Partai Politik dan
Golkar.
2. Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibuat di kantor-kantor dan
waktu pelaksanaan pemungutan suara ditetapkan bukan pada hari
libur tetapi hari kerja.
3. Pelaksanaan pemungutan suara, sejumlah pemilih pendukung
Golkar diberi formulir A-B sampai 5-10 lembar seorang.

Dalam pelaksanaan UU No. 3 tahun 1983 tentang Partai Politik


dan Golkar, ketentuan yang melarang kegiatan politik partai politik hanya
sampai kabupaten, sedangkan Golkar secara terbuka melakukan kegiatan
politik sampai desa-desa. Semua Pegawai Negeri dan ABRI yang masih
aktif maupun pensiun pada semua tingkat jabatan terbuka melakukan
pemaksaan dengan sanksi pada segenap anggota jajarannya untuk memilih
Golkar. Sedangkan Organisasi Masyarakat (Ormas) menurut UU No. 5
tahun 1985 tidak dibolehkan beralifiasi kepada Partai Politik, tetapi
banyak Ormas yang diperbolehkan berafiliasi kepada Golkar. UU No. 5

13
tahun 1985 tentang Referendum mengatur tidak memungkinkannya
diselenggarakannya referendum karena mempersyaratkan suara 90% dari
seluruh peserta referendum.9

F. Politik Masa Reformasi

Reformasi merupakan suatu perubahan yang bertujuan untuk


memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diwariskan oleh Orde Baru atau
merombak segala tatanan politi, ekonomi, social dan budaya yang berbau
Orde baru. Atau membangun kembali, menyusun kembali.10

Era Reformasi atau Era Pasca Soeharto di Indonesia disebabkan


karena tumbangnya orde baru sehingga membuka peluang terjadinya
reformasi politik di Indonesia pada pertengahan 1998, tepatnya saat
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 karena adanya
wacana suksesi yang sengaja dibuat oleh Amien Rais untuk menjatuhkan
rezim Soeharto dimana didalamnya terdapat tuntutan untuk melakukan
reformasi dan juga desakan dari parlemen beserta mundurnya beberapa
menteri dari kabinet saat itu. Sehingga bangsa Indonesia bersepakat untuk
sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem
politik Indonesia dimana kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat
dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat
dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).11

Tujuan Reformasi adalah terciptanya kehidupan dalam bidang


politik, ekonomi, hukum, dan sosial yang lebih baik dari masa
sebelumnya. Adapun faktor-faktor pendorong terjadinya reformasi adalah
sebagai berikut:

1. Faktor politik;
1. Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
9
Syahrial Syarbaini, Aliaras Wahid, H.A Djasli, Sugeng Wibowo. Membangun Karakter
dan Keprbadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Graha Ilmu: Yogyakarta. 2006. Hlm. 91-
95
10
http://kibilqueen.blogspot.com/2013/03/perjalanan-orde-lamaorde-baru-
dan.html
11
http://sistempolitikerareformasi.blogspot.com/2012/11/sistem-politik-era-
reformasi.html

14
2. Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintahan masa Orba.
3. Kekuasaan Orba dibawah Soeharto otoriter tertutup.
4. Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
5. Mahasiswa menginginkan perubahan.
2. Faktor ekonomi;
a. Adanya krisis mata uang rupiah.
b. Naiknya harga kebutuhan masyarakat.
c. Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.
3. Faktor sosial: adanya kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998 yang
melumpuhkan perekonomian masyarakat.
4. Faktor hukum: belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang
sama diantara warga negara.
Diantara strategi Nasional antara lain:

1. Reformasi dibidang ideologi negara dan konstitusi.


2. Pemberdayaan DPR, MPR, DPRD maksudnya agar lembaga
perwakilan rakyat bener-benar melaksanakan fungsi perwakilannya
sebagai aspek kedaulatan rakyat dengan langkah sebagai berikut;
a. Anggota DPR harus benar-benar dipilih dalam pemilu yang jurdil.
b. Perlu diadakan perubahan tata tertib DPR yang menghambat
kinerja DPR>
c. Memperdayakan MPR.
d. Perlu pemisahan jabatan ketua MPR dengan DPR.
3. Reformasi lembaga kepresidenan dan kabinet melalui hal-hal berikut;
a. Menghapus kewenangan khusus presiden yang berbentuk
keputusan presiden dan instruksi presiden.
b. Membatasi penggunaan hak prerogatif.
c. Menyusun kode etik kepresidenan.
4. Pembaharuan kehidupan politik yaitu memperdayakan partai poltik
untuk menegakan kedaultan rakyat, maka harus dikembangkan sistem
multipartai yang demokratis tanpa intervensi pemerintah.
5. Penyelengaraan pemilu.

15
6. Birokrasi sipil mengarah pada terciptanya institusi birokrasi yang
netral dan profesional yang tidak memihak.
7. Militer dan dwifungsi ABRI mengarah kepada mengurangi peran
sosial politik secara bertahap sampai akhirnya hilang sama sekali,
sehingga ABRI beroknsentrasi pada fungsi Hankam.
8. Sistem pemerintah daerah dengan sasaran memperdayakan otonomi
daerah dengan asas desentralisasi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Strategi nasional adalah seni dan ilmu mengembangkan dan
menggunakan kekuatan nasional untuk mencapai tujuan yang
ditentukan oleh politik nasional.
2. Orde lama mulai pada tanggal 5 Juli 1959 hingga 11 Maret 1966, saat
diserahkannya Supersemar oleh Presiden kepada Letjen Soeharto.
3.
4.
5.
B. Saran

Demikian makalah yang kami buat, kami menyadari bahwa


makalah kami belum bisa dianggap sebagai makalah yang sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan sebagai pelajaran kami
dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah kami bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya dan pemakalh khususnya. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

16
Anggota IKAPI. 1997. Evaluasi Pemilu Orde Baru. Bandung: Mizan.

Darmadi, Hamid. 2010. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung:


Alfabeta.

Syafiie, Inu Kencana. 2011. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Rineka


Cipta.

Syarbaini, Syahrial, dkk. 2006. Membangun Karakter dan Keprbadian melalui


Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wahidin, Samsul. 2010. Pokok-Pokok Pendidikan Kewarganegaraan.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

http://kibilqueen.blogspot.com/2013/03/perjalanan-orde-lamaorde-baru-dan.html

http://sistempolitikerareformasi.blogspot.com/2012/11/sistem-politik-era-
reformasi.html

Pertanyaan:

17
1. Apa yang dimaksud politik praktis? (Zulfikar Boyke)
2. Contoh program politik yang bersifat revolusioner? (Duwi Ayu Arimbi)
3. Apakah akan ada lagi perubahan politik setelah politik reformasi? (Ainul
Bahar)

18

Anda mungkin juga menyukai