Anda di halaman 1dari 22

CINTA KEDUA ROSE

Pengetahuanku tentang Rose memang tidak pernah sampai


di angka 2. Baru nyaris menyentuh angka 1, lalu aku tersadar
sepertinya hanya selalu berhenti di angka 0. Aku tidak mengenal
dengan jelas seluk beluk Rose.
Pernah kutanya sekali waktu apakah dia memiliki
pasangan, dan jawabannya adalah “Aku kadang bertanya-tanya
apakah pria bisa tumbuh? Mereka terlihat seperti selalu menjadi
laki-laki.” Dapatkah kusimpulkan sesuatu dari itu? Sekarang bisa.
Tapi lain hal empat tahun lalu.
Pertanyaan itu muncul secara tiba-tiba ketika kami makan
malam di kondominium milik Rose. Salad buah adalah hidangan
yang istimewa untukku yang sedang diet, sementara Rose
menyantap Sirloin Medium Rear dengan lahap.
“Kurasa, pekerjaan tambahan akan menyenangkan
untukku, Lavie. Pekerjaan yang tidak bersinggungan dengan
manusia-manusia lain. Adakah ide pekerjaan apa yang tepat
untukku? Uang bukan tujuannya. Aku hanya ingin ada sedikit
variasi dalam hidup.” Pertanyaan yang membuatku berpikir keras.
“Maka temukanlah pasangan, Rose” godaku.
“Hahaha, adakah pria yang sanggup denganku, Lavie?
Bila kau menemukannya, maka akan kupertimbangkan.”
Jawabnya. Aku tersedak.
“Hati-hati Lavie, tidak akan lucu bila besok ada kabar
bahwa penyebab kematianmu karena tersedak sepotong melon.”
Ucap Rose sambil mengunyah dengan anggun. Aku heran
mengapa seringkali hal-hal aneh, rumit, dan sedikit gila muncul
dari kepalanya yang cantik itu.
Begitulah kira-kira dugaanku kalau Rose tak memiliki
pasangan, hingga pada suatu malam, di bulan September yang
dingin, Rose justru terlihat ceria. Sedikit bahagia kubayangkan
mungkin dia akan pergi berkencan? Atau entahlah bagaimana dia
menyebutnya.
Hal itu bukan tanpa alasan. Rose memang selalu terlihat
menawan dengan berbagai riasan. Terkadang kupikir-pikir, apa dia
berkepribadian ganda? Karena riasannya berubah-ubah. Meski
begitu jujur saja tetap sama-sama misterius. Banyak yang dia
persiapkan sebelum pergi. Dia tidak memintaku bersiap-siap, tidak
juga dengan Brian.
“Apapun yang ada di kepala cantikmu itu, Lavie. Sama
sekali tidak benar.”
“Memangnya apa yang kupikirkan?”
“Aku akan pergi ke Naked (sebuah nama asing entah
tempat apa itu), dan bukannya ke Vosco. Mengapa dia selalu bisa
menebak apa yang kupikirkan? Sungguh mengherankan, pikirku.
Terhentilah percakapan kami sampai di situ, dan Rose
pergi. Aku mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah
pada sekitar pukul 01.00 dini hari. Rupanya Rose yang datang.
Dia pulang dengan baju dan riasan yang berbeda. Tadi dia
mengenakan setelan jas berwarna hijau tosca gelap dan lipstick
merah menyelimuti bibirnya. Sekarang yang kulihat dari balik
jendela kamarku di lantai 1, adalah dia mengenakan dress bermotif
bunga dan rambut yang terurai. Pemandangan ini lumayan jarang
kulihat. Dan siapa yang mengantarnya pulang? Lagi-lagi tidak
biasanya.
Kudengar Langkah kaki Rose kian dekat, dan suara pintu
dibuka lalu ditutup. Lalu tak terdengar apapun lagi. Aku tidak bisa
tidur, jadi kuputuskan untuk menonton reality show kesukaanku.
Pukul 03.22, aku mulai agak mengantuk dan memutuskan untuk
tidur tanpa mematikan tv. Tidur yang kepagian membuatku
bangun terlambat. Sudah pukul 08.10 ketika aku terbangun, tetapi
tidak ada yang membangunkanku. Kemana orang-orang? Biasanya
Bibi Marry akan mengetuk kamarku, bila aku terlambat bangun
dan bertanya apa aku baik-baik saja.
Hanya dalam waktu kurang lebih 10 menit, aku telah siap
untuk turun dan menyapa Rose. Ketika kucari-kucari di mana
gerangan bosku satu itu, dan kemana pula Bibi Mary, yang
kudapati hanyalah kekosongan. Namun sayup-sayup kudengar
suara percakapan dari arah taman samping. Kuikuti arah suara itu,
dan mendapati Rose tengah menyiram koleksi tanamannya. Ini
bukan hari minggu, tidak biasanya lagi-lagi Rose pagi hari sudah
bersibuk ria dengan tanamannya.
Kuhampiri dia, dan dia mendengarku mendekat.
“Morning, Lavie!”, sapanya. “Morning, Rose. Tumben sekali?” dia
mengerti yang kumaksud.
“Ah yaaaa, hari ini cerah dan aku lelah dengan pasien-
pasienku. Ingin rehat sejenak saja hari ini. Setelah ini aku akan
pergi ke suatu tempat. Mau ikut?” ujarnya sembari melepas sarung
tangan lateks tanda dia sudah selesai berkebun.
“Sure. Aku juga sudah rapi dan siap menemanimu pergi
kemanapun.” Jawabku.
Sebuah perpaduan yang terlampau anggun dan mewah
dikenakan Rose pagi ini. Dia berjalan melewatiku sambil
tersenyum dan melempar sarung tangan ke keranjang.
“Aku akan pergi menemui seseorang yang spesial, Lavie.
Dia adalah mantan kekasihku yang mungkin akan jadi kekasihku
lagi?” godanya. Aku terkejut sekali. Tapi aku tidak langsung
percaya pada ucapannya. Bisa saja dia hanya sedang bermetafora.
Aku tidak berkomentar apapun, tapi sangat antusias
dengan arah perjalanan kami hari ini. Rose pun pasti dapat melihat
itu dengan jelas, karena aku bukanlah orang yang sulit ditebak
seperti dirinya. Kepribadian kami sangat bertolak belakang.
Beberapa menit kemudian, tibalah kami di sebuah
showroom bergaya klasik, dengan koleksi mobil-mobil klasik yang
kutaksir harganya sangat mahal berjejer dengan cantik. Dugaanku
benar: pasti pemilik showroom ini adalah laki-laki yang dimaksud
Rose. Ternyata benar. Saat kami turun dari mobil, ada seorang
laki-laki dengan setelan jas serba hitam tidak dikancingkan, tanpa
dasi, lengkap dengan kacamata hitam menghampiri kami.
Percakapan di antara dia dengan beberapa orang di sini
mengisyaratkan dengan jelas, dia adalah boss. Wah bukan main
bila dia adalah mantan kekasih Rose. Pantas saja dia sulit kagum
dengan laki-laki, rupanya seleranya memang seperti dia. Berkelas.
“Dia bukan mantan kekasih yang kau pikirkan, Lavie.
Kami berpisah karena sesuatu yang sangat krusial dan membuatku
tidak bisa bersamanya lagi, dulu. Lalu kini dia ada masalah, dan
aku akan mencoba membantunya.”
“Ah begitu rupanya. Lantas mengapa kita bertemu di
sini?” bisikku pada Rose. Kami membicarakan sosok di depan
kami. Namanya Adam. Kira-kira tingginya 178 cm. tangannya
sangat kuat, terbukti dari caranya menjabat tanganku tadi. Meski
lembut, tetap ada kekuatan yang tidak bisa ditahan. Badannya
tegap dan atletis. Kini sangat dekat kuperhatikan jujur saja
punggungnya adalah idaman wanita-wanita yang kesepian.
Kucium aroma sangat menyengat keluar dari tubuhnya. Wangi
chypre berbaur dengan coklat atau mungkin ada sedikit aroma
woody, menguar lebih pekat seiring kami memasuki ruangannya
yang ber-Ac.
“Kau akan tahu sendiri, Lavie. Dia bukanlah orang biasa.”
Ucapan Rose jujur saja membuatku berspekulasi. Tapi lagi-lagi,
aku tidak pernah terlampau percaya diri menerka apa maksud dari
ucapannya yang berbau peringatan macam barusan.
“Oke.” Hanya itu yang keluar dari bibirku.
Adam adalah pribadi yang ramah. Dia mempersilakan
kami duduk di sofa beludru abu-abu di tengah ruangan.
Menuangkan sendiri segelas soda dan meminta kami meminumnya
selagi masih dingin. Rose sama sekali tidak canggung dengan
sikap Adam, tapi kulihat ada sesuatu yang dia sembunyikan atau
tahan di depanku.
“Thank you. Kedatanganmu dan temanmu sangat berarti
bagiku, Rose. Aku sudah tidak tahu lagi harus membicarakan ini
dengan siapa. Aku tidak lagi percaya pada siapapun termasuk
dokter yang merawatku selama ini.” Ucap Adam dengan tenang.
Merawatnya? Kulihat dia tidak tampak sakit baik fisik maupun
psikis. Apa maksudnya? Kini kami duduk berhadapan dan
kuperhatikan dengan saksama, dia memang tipe ideal untuk wanita
seperti Rose. Wajahnya tampan. Tentu saja bukan tertampan, tapi
jenis wajah yang tidak akan membuatmu bosan melihatnya. Makin
diperhatikan, makin membuat kagum dan penasaran.
“Tenang saja, aku akan datang selagi bisa dan kamu
memang membutuhkanku.” Sebuah pernyataan yang sepanjang
aku mengenal dan bekerja dengan Rose, tak pernah mendengarnya.
Kubiarkan mereka bercakap-cakap tentang kondisi saat ini,
beberapa hal tentang masa lalu yang mungkin tidak perlu
kutuliskan di sini karena bersifat sangat personal. Reputasi Rose
sangat kujaga. Meski sejujurnya tidak ada aib, hanya saja bagiku
beberapa hal yang kudengar lebih baik hanya kami bertiga yang
tahu.
“Aku tidak akan malu dan menutupi apapun dari kalian.
Sekarang aku sangat membutuhkan pertolongan. Bisa saja dia
muncul kapan saja. Intensitasnya semakin sering dan sangat tidak
terkondisi. Aku bahkan harus mempercayakan perusahaanku pada
paman Alex, dan perkebunan pada Robi karena aku tidak bisa
menemui client. Aku takut sekali mengganggu image bisnis yang
sudah kubangun dan berpengaruh buruk pada rekan-rekan
lainnya.”
“Sudah berapa lama sejak terakhir kali kamu berkonsultasi
dengan dokter Peto?” tanya Rose penuh perhatian.
“Mungkin sekitar 8 bulan. Aku lelah, Rose. Aku ingin
menjadi orang normal yang biasa-biasa saja. Aku ingin bisa
mencintai orang dengan wajar, hidup bahagia, tenang dan mati
dengan damai. Aku lelah minum obat yang tidak bisa
menyembuhkan. Aku bosan dengan dia yang muncul tanpa
kuminta. Aku sudah berusaha keras mengubur dia dari diriku, tapi
ternyata tidak semudah itu.” Tutur Adam dengan emosional. Dia
masih tenang dan tidak bergeming sedikitpun dari posisi
duduknya.
Tetapi dapat kulihat dari sorot matanya ada ketakutan yang nyata.
Kedua tangannya kini bertaut. Menggenggam satu sama lain,
seolah itu mampu menguatkan dirinya.
Setidaknya ada hal yang terlintas di benakku. Apakah dia
punya keluarga yang sakit jiwa? Karena sedari tadi Adam
menyebut dia. Siapa dia ini?
“Aku mengerti, Adam. Oke, ceritakan secara detail
bagaimana sifat, dan segalanya yang kamu ingat tentang dia. Agar
aku tahu cara menanganinya ketika tiba-tiba dia muncul.”
“Baiklah. Seperti yang akhirnya kamu tahu 6 tahun lalu.
Dia muncul di hidupku pertama kali saat aku marah besar melihat
ibuku dianiaya orang tidak bertanggung jawab itu. Aku tidak sudi
menyebutnya ayah lagi. Kuanggap sudah mati.” Dia berhenti
sejenak dan melirikku. “Silakan lanjutkan, saya memang asisten
Rose. Jadi saya yang akan me-record laporan untuk agenda resmi
kami. Anda tidak perlu khawatir.” Ujarku meyakinkan tanpa
diminta.
Adam melihat ke arah Rose, dan Rose mengangguk tanda
setuju. “Aku tidak pernah menggubris saat Bibi Lea mengatakan
bahwa terkadang sifatku sangat berbeda, makanan kesukaanku
berbeda, atau cara berpakaianku berbeda. Kuanggap mungkin saja
waktu itu Bibi Lea hanya lupa. Tapi lama kelamaan, ada hal aneh
yang terjadi. Aku lupa saat kata Bibi Lea aku meminta semangkuk
sup daging pedas, padahal kamu pun tahu aku tidak terlalu suka
makan pedas. Aku juga menjadi bingung mengapa di lemariku ada
beberapa baju yang aku bahkan merasa tidak pernah membelinya.
Bukan aku. Itu bukan aku, dan semakin yakin kusadari, ketika ada
seorang wanita yang bukan dirimu, berada di sampingku pada
suatu pagi tanggal 17 Desember. Demi Tuhan aku tidak
mengenalnya. Aku terus mengatakan padanya bahwa aku tidak
ingat siapa dia dan bagaimana bisa kami tidur seranjang di sebuah
hotel yang sangat jauh dari rumahku. Perempuan itu tentu saja
marah dan pergi. Tapi aku tidak peduli tentang pemikirannya
padaku. Aku hanya peduli perasaanmu, dan bagaimana aku harus
menjelaskan padamu. Akankah kamu percaya padaku? Bahwa
memang yang kucintai hanya kamu, Rose. Hingga kuberanikan
diri mengatakan padamu, bahwa ada sosok lain dari diriku yang
sesekali mengambil alih kesadaranku dan aku tidak berdaya
mengendalikannya.”
Sebuah cerita yang memukauku. Sangat mencengangkan.
Rupanya ini maksud dari ucapan Rose di depan tadi. Mereka
mengalami hubungan yang sangat berbeda.
“Lalu, kita berpisah. Aku telah mempercayaimu, Adam.
Kita berpisah dengan baik-baik karena kamu jujur dan mengatakan
dengan berani karena memikirkan keselamatan dan perasaanku.
Bagaimanapun, keputusan kita saat itu adalah keputusan terbaik.
Tapi aku juga tidak dapat memungkiri, bahwa perpisahan kita
membuatku belum bisa mempercayai laki-laki manapun bahkan
tidak berencana menjalin hubungan baru.”
“Aku pun begitu. Dia tidak akan mengizinkanku mencintai
satu pun wanita dengan setia. Aku sangat kesal dengan situasi ini,
tapi aku tidak tahu harus apa lagi. Tolong aku, Rose. Aku ingin
menghilangkan dia dari diriku untuk selamanya. Aku mengisolasi
diri di villa selama 5 bulan terakhir dan meminta Bibi Lea yang
mengurusku. Hanya dia. Untungnya dia juga setuju dengan hal itu,
menurut pada ucapan Bibi Lea pula. Setidaknya, ketika dia muncul
selama beberapa waktu, aku tidak berkeliaran mengencani
sembarang wanita. Itu sangat menjijikkan.”
“Oke oke. Aku akan ikut denganmu ke villa itu. Aku akan
menunggu dia muncul dan berbicara dengannya. Sekarang,
tenangkan dirimu dan aku sudah mengerti apa yang harus
kulakukan. Kamu tunggu saja di villa. Aku perlu berkemas dan
langsung ke sana. Aku akan mengajak Lavie dan satu supir kami
bernama Brian, bila kamu tidak keberatan.”
“Tentu saja aku sangat senang bila kamu mau
menemaniku di saat-saat seperti ini Rose. Sudah terlalu lama aku
sendiri dan menahan diri tidak menghubungimu, karena aku cukup
tahu diri untuk tidak mengganggumu lagi.”
“Tidak perlu merasa mengganggu. Aku masih
menganggapmu orang terdekatku. Tidak ada pria yang
menggantikan posisimu meski kita sudah tidak bersama. Jadi, kami
pamit dulu ya. Tunggu di villa. Dan oh, jangan terlalu memikirkan
macam-macam. Makanlah sesuatu yang manis dan tidurlah sejenak
di mobil dalam perjalanan. Aku tahu kamu tidak mau tidur
beberapa hari karena ini.”
Rose berdiri, aku pun refleks ikut berdiri. Rose berjalan
menuju pintu, dan dengan sigap Adam meraih handle pintu dan
mempersilakan Rose lewat. Aku pun ikut keluar. Kulihat dengan
jelas masih ada cinta di antara mereka padahal hubungan itu telah
berakhir begitu lama. Pantas saja Rose masih sendiri sampai
sekarang. Sungguh tidak kuduga.
Di depan gedung, Adam meraih tangan Rose dan aku tahu
sebenarnya sedari tadi dia telah menahan diri namun kini sudah
tidak kuasa lagi. Rose tidak menolak. Mereka berpegangan tangan
beberapa menit, saling menatap, dan itulah cara mereka saling
menguatkan. Hanya itu. Lalu Adam menggandeng tangan Rose
dan membukakan pintu mobil dengan tangan kiri. Mereka saling
melepaskan pegangan setelah pintu tertutup. Aku melihat dari
dekat, dan merasakan Rose menghela napas dalam-dalam dan
berusaha menyembunyikan keresahannya dari balik kacamata
hitamnya sepanjang jalan pulang.
Kami berkemas dengan cepat. Sore hari sekitar pukul
16.20, kami tiba di lokasi yang disebut villa tadi. Villanya sangat
mewah. Bergaya minimalis namun sangat rimbun karena
dikelilingi tanaman-tanaman yang besar. Ada monstera raksasa,
beberapa bunga mawar merah dan kuning, bonsai yang terawat,
dan tanaman lain yang tidak kutahu apa namanya. Antara rumah
satu dengan lainnya berjarak lumayan jauh, karena luas
bangunannya. Ini kompleks elit yang dihuni para konglomerat.
Rupanya Adam begitu gelisah menunggu kedatangan
kami. Dia terkejut agak berlebihan sampai hampir tersedak begitu
tahu kami datang. “Aku pikir, kalian berubah pikiran dan tidak jadi
datang. Syukurlah kalian tetap datang. Lega.”
“Tentu saja tidak. Kamu sudah makan?” tanya Rose
sembari menatap lurus ke arah dapur. Tidak ada apapun di meja
makan, dan dapur terlihat kosong dari jauh. Rose sangat suka
memasak. Dia tidak hanya suka, dia jago memasak. Tidak ada
makanan yang tidak enak bila dia yang memasak.
Adam hanya menggeleng lemah, dan Rose tampak tidak
suka dengan jawabannya itu. Bergegas Rose berjalan ke arah dapur
di ujung ruangan, dan menguncir rambutnya. Aku pun ikut di
belakang Adam yang juga bingung dengan tingkah Rose yang tiba-
tiba. Ruangan di lantai satu saja sudah luas. Bagaimana di atas ya?
“Apa ada bahan makanan di kulkas?” Rose hanya bertanya
lebih kepada dirinya sendiri, karena dia sudah membuka kulkas
dan memperhatikan isinya dengan serius.
“Sepertinya ada. Tapi entahlah, Bibi Lea yang mengurus
keperluan rumah tangga. Aku pun juga lebih sering memesan
makanan cepat saji.” Jawab Adam tanpa basa-basi.
“Aku akan memasak untuk makan malam. Tunggulah.
Tidur lebih baik sekarang. Aku akan membangunkanmu ketika
sudah siap. Apa ada yang ingin kamu makan?” Rose mengatakan
itu seolah dia adalah nyonya di rumah ini. Pemandangan yang
lucu.
“Apapun buatanmu, adalah makanan terlezat yang selalu
ingin kunikmati. Jadi lakukan sesukamu. Dapur ini milikmu.”
Adam rupanya pernah mengajak Rose ke sini saat dulu mereka
masih bersama. Terlihat dari sikap Rose yang familiar dengan
letak perkakas di dapur, tidak meminta dikirimkan alamat, dan
tidak canggung lagi memasak di sini.
Selama Rose sibuk memasak, aku memperhatikannya. Dia
menyuruhku beristirahat, tetapi aku lebih tertarik melihatnya
mengolah bahan masakan. Dia terlihat seperti orang lain saat
mencincang daging, mengiris bawang, dan lain-lain. Cekatan dan
sangat wanita. Itulah yang kulihat sekarang. Di dapapan client dan
pasien, dia seorang psikolog. Tapi di hadapanku kini dia adalah
chef cantik.
“Sebenarnya siapa yang kalian bahas sedari tadi, Rose?”
tanyaku yang sudah sangat penasaran.
“Dia adalah diri Adam yang lain.”
“Wait. Adam berkepribadian ganda?! What???!” pekikku
tertahan lalu tersadar menoleh ke kanan-kiri. Rose mengangguk
pelan tanpa menoleh. Dia hanya melambat dalam menumis bumbu.
Aku yakin dia pun terguncang karena kenyataan ini dulu saat
pertama kali mengetahuinya.
“Aku harap kamu benar-benar menjaga rahasia ini, Lavie.
Aku sungguh tidak tahu awalnya, sampai dia mengatakannya
sendiri kepadaku dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan
kami 6 tahun lalu. Padahal waktu itu, kami sedang mempersiapkan
pernikahan. Pertengahan November.”
Wah pantas saja Rose selalu merayakan ulang tahunnya
dengan mewah. Dia ingin menutupi memori yang menyakitkan di
bulan November. Sedikit-sedikit, rahasia hidup pilu yang dialami
Rose, aku tahu. Hanya aku. Bulu kudukku berdiri. Merinding.
Makanan tersaji di meja makan dengan cantik. Rose
bahkan memetik bunga mawar di taman dan menatanya di dalam
vas bunga lalu meletakkannya di tengah meja. Dia pun melipat tisu
berbentuk angsa, seolah ini sebuah perayaan yang megah untuk
hari jadi mereka. Aku semakin yakin dia begitu mencintai Adam.
Kami makan malam dengan tenang. Tidak ada
perbincangan tentang Adam maupun mereka. Adam mengenakan
kemeja berwarna navy dan celana hitam. Sedangkan Rose
mengenakan dress berwarna ungu pucat. Meski tidak sama,
mereka tampak serasi. Ada sesuatu yang berbeda dari Adam.
Sikapnya masih sama ramahnya, dia bahkan menawarkan pada
kami sebotol wisky, tapi Rose menolak. Aku pun tidak meminum
alkohol lagi.
Rose mengerti yang kurasakan. Dia bertanya beberapa kali
apa Adam baik-baik saja, dan kami terkejut saat Adam meletakkan
gelas dengan keras. “Aku tidak apa-apa, Rose. Berhenti bertanya
dan habiskan saja daging pucat ini. Kurang pedas! Tidak ada
rasanya selain gurih. Membosankan.” Ucap Adam dengan sinis.
Dia tidak mampu lagi menutupi jati dirinya.
“Aku tahu sejak awal kamu bukan Adam. Tidak perlu
berpura-pura.” Rose menyilangkan garpu dan pisau dengan anggun
sambil tersenyum. Dia sudah tidak selera makan, meski steak kali
ini sangat enak. Komentar Adam sangat aneh. Untuk apa steak
pedas?
“Aku Adam. Apa yang kamu maksud?” Dia masih
berkilah.
“Kalau benar kamu Adam, coba jelaskan mengapa kami
sampai berada di sini.” Rose memang pintar menjebak.
“Ya karena kita lama tidak bertemu, dan aku
mengundangmu.” Aku merinding saat dia mengatakan
kebohongan itu. “Sudahlah mengaku saja, Rose menuang Red
Wine ke gelas Adam. Mempersilakan Adam meminumnya.
Adam tersenyum. Senyum yang misterius. Menyimpan
sejuta makna. “Ok. Let me introduce myself. Andrew. Call me
Andrew. Aku semakin merinding saat dia membuka dua kancing
kemejanya yang teratas. Meminum wine sekali teguk, dan berdiri.
Dia sama sekali tidak mengacuhkanku. Dia fokus pada Rose.
Sangat fokus sampai dapat kulihat Andrew, ya Andrew
menelanjangi Rose. Rose tidak bergeming. Dia menatap lurus ke
arah kolam renang di ujung luar depan meja makan.
Kudengar jantung Rose berdegup kencang, namun tak
terlihat sedikitpun dari wajahnya. Aku hampir saja berdiri, ketika
Andrew mendekati Rose yang masih duduk dengan anggun.
Tangan besarnya itu sudah merangkul Rose. Aku tercekat. Tapi
sungguh bukan Rose apabila tidak mampu mengatasi segala
situasi.
“Jangan sentuh aku. Sejengkal saja kau lanjutkan, akan
kupatahkan semua jarimu tanpa sisa.” Ujar Rose dengan nada
setenang dialog dalam drama. Air mukanya tak terbaca.
“Wah, seleranya Adam sangat menarik dan kuakui kau
berkelas. Sayangnya kau milik Adam. Dan aku tidak pernah
mengganggu apapun milik Adam. Ok. Aku tidak akan
mengganggumu, Rose. Bahkan namamu saja sexy.” Bisik
Andrew sebelum kembali ke tempat duduknya. Seketika lututku
terasa lemas. Aku begitu tegang sampai kaku.
“Aku merasa tidak cukup hanya dengan tidak diganggu.
Jaga sikapmu di depanku. Aku bukan seperti mainanmu yang lain.
Aku datang karena aku masih peduli pada Adam. Mari kita bicara
sambil minum teh? Jangan mabuk di depanku. Aku tidak suka
bicara dengan orang yang sedang meracau.” Rose berdiri dan
menuangkan secangkir teh untuknya dan untuk Andrew.
“Dia asistenku. Tidak perlu memedulikannya. Dia hanya
bekerja denganku.” Aku tahu deskripsi Rose tentangku agak blak-
blakan, tapi itu karena dia ingin melindungiku, dan agar aku bisa
tetap menemaninya berbincang dengan Andrew.
Aku mengangguk dan meminum air mineral. Tiba-tiba
rasanya sangat haus ketika Andrew menatapku tanpa ekspresi. Dia
hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Tapi rupanya dia
sudah mulai jaga sikap.
Rose berjalan melewati Andrew, yang juga ikut berdiri
dan mereka pergi ke arah kamar Adam. Well, aku sangat kagum
ketika melihat betapa megahnya kamar itu. Ketika kami masuk,
penerangan dari berbagai sisi otomatis menyala. Megah, namun
juga sederhana. Perpaduan kemewahan dan kerendahan hati.
Koleksi jam mahal seperti Rolex, berjejer rapi di etalase kaca.
Lengkap pula dengan kacamata dan kunci mobil yang ditata
dengan sangat rapi.
Di sisi kanan ruangan aku lihat lemari besar menjulang
dari kayu akasia namun dipernis dengan sentuhan beberapa ukiran
di setiap sudutnya. Tidak ada yang terlalu mencolok sesungguhnya
dari semua benda di kamar ini. Semua berpadu dengan selaras.
Meski begitu, tatapanku akhirnya tertuju pada sebuah lukisan di
atas ranjang. Tampak jelas Jaguar duduk dengan yang anggun di
sana. Seorang diri dengan tatapan tajam ke arah kami. Sempurna
seperti aslinya.
Suasananya semakin syahdu, ketika Rose memutar lagu
dari tape recorder yang baru kusadari kontras dengan semua
barang modern di sini. Ternyata kecil saja memang ukurannya, ada
di sudut ruangan dekat single sofa. Lagu klasik yang asing bagiku,
mengalun. Mungkin lagu era 80-an? Penyanyi wanita.
…..Oh Kiss me like, like you just did . Oh baby do that to
me once again.
Semakin kudengar semakin syahdu. Ketika kutulis cerita
ini, kutahu judulnya adalah Do That to Me One More Time. Enak
sekali.
Tiba-tiba Andrew membuyarkan lamunanku dengan
suaranya yang besar itu.
“Jadul. Aku tidak tahu kenapa Adam dan kau sangat
suka.” Jelas lebih enak lagu-lagu terbaru. Sangat ketinggalan
zaman. Seru Andrew sambil menyalakan pembuka tirai. Aku
duduk di sisi lurus jendela, sehingga dapat kulihat pemandangan
indahnya malam secara leluasa.
“Lavie, ya itu kan namamu? Apa kamu sanggup melihat
adegan dewasa?” ucapan Andrew membuatku terkejut. Hello, apa
maksudnya?
Belum sempat kujawab, Rose menyela “Jangan ganggu
dia, And. Yang butuh berbicara denganmu hanyalah aku. Dan
tentunya Adam.”
“Oke…oke. Langsung saja.” Andrew duduk di ranjang
dan menatap Rose dengan tatapan seperti tadi. Mendamba. Dia
rupanya sangat suka dengan Rose. Atau memang dia begitu pada
semua wanita? Tatapan player.
Rose duduk di single sofa dan menatap ke lurus ke arah
Adam. Kini auranya berbeda sekali. Dia dingin. Bahkan aku jadi
merinding melihatnya.
“Dengarkan aku mulai sekarang. Kau sudah melampaui
batas kesabaranku. Melihatmu bertingkah dan mengambil alih
kesadaran Adam, bertindak seolah kau benar-benar ada, dan
menjadi pemisahku dengan dia rupanya belum cukup? Kau terus
menyiksanya hingga sekarang. Aku tidak akan memintamu pergi.
Kaulah yang akan pergi sendiri setelah ini.”
“Well, kuakui pesonamu memabukkan Rose. Tapi kau
tidak punya kendali untuk mengusirku. Haha” Andrew terkekeh.
“Mari kita coba saja. Siapapun yang kalah kali ini, harus
pergi meninggalkan Adam. Entah kau, atau aku.” Tantang Rose.
“Berani kau menantangku? Sudah siap kehilangan Adam
untuk selamanya? Oke. Aku juga penasaran.” Andrew
membetulkan letak duduknya. Dia meremehkan Rose, pikirku.
“Dengarkan ucapanku tanpa berkilah apapun, tanpa
menjawab. Dari situ kau akan tahu apa yang kumaksud.”
“Oke. Malah enak, aku hanya perlu diam mendengarkan
ceramahmu.” Balas Andrew.
“Kau pikir, kehadiranmu membuat aku pergi dari Adam?
No. Aku hanya membiarkan Adam yang terlalu baik dan tentunya
kucintai, melakukan upaya melindungiku. Kami saling mencintai.
Aku yakin sekali dia sangat mengenalmu sampai-sampai setakut
itu aku bertemu atau bahkan mencintaimu. Nyatanya benar. Kau
brengsek.”
Andrew terkejut. Dia tampak kesal dengan ucapan Rose.
Tapi dia diam saja. itulah perjanjiannya. Rasakan itu, pikirku.
“Aku, menjauhi Adam karena Adam yang meminta. Maka
kuturuti. Kubiarkan dia menanganimu. Waktu itu kupikir kau tidak
seberingas ini. Masih punya etika, dan logika yang tidak jauh dari
Adam. Kau tahu kan Adam sangat sopan, pemaaf, ramah, dan
semua orang suka padanya. Jadi aku tenang-tenang saja, meski ada
kekhawatiran, karena tidak bisa memastikan.”
Andrew makin tercekat. Dia rupanya tidak suka saat Rose
memuji Adam. Apa yang membuatnya begitu ya? Bukannya
mereka sebenarnya orang yang sama. Oooh rupanya orang
berkepribadian ganda memang sangat berbeda begini sampai ke
jiwa dan pemikiran.
Rose masih menatap Andrew, meski Andrew kini melihat
ke arah luar jendela dan duduk membeku.
“Setelah Adam memintaku datang tadi, aku sadari dari
getar suara dan sorot matanya bahwa dia terganggu dengan
kehadiranmu. Sekarang jawab aku. Apa pernah Adam memintamu
pergi?”
Andrew ragu dan berpikir, lalu menjawab dengan lesu
“Kurasa tidak.”
“Nah! Itulah dia. Bahkan pada pengganggu, dia pun tak
tega dan berlaku baik.” Rose memberi penekanan pada kata
pengganggku yang membuat Andrew makin menunduk. Dia kini
memainkan kancing lengan kemejanya.
“Aku tidak ingin kau terus membuat Adam menderita. Dia
meminta tolong padaku, tapi meminta untuk tidak menyakitimu.
Jadi, sekarang apa yang harus kulakukan kalau kau terus begini.”
“Adam bicara begitu?”
“Ya. Dia bahkan mengatakan padaku bahwa kau adalah
pria yang juga baik dan lebih kuat darinya. Lalu untuk apa kau
menjadi dia? Jadilah dirimu sendiri di pribadimu yang
sesungguhnya. Tidak perlu bersembunyi di tubuh Adam.” Rose
mulai memberikan afirmasi yang positif kepada Andrew. Kurasa
Andrew terpengaruh.
“Apa yang harus aku lakukan agar Adam tidak
menderita?” dengan ragu Andrew bertanya dan menatap Rose.
“Tinggalkan dia. Adam baik-baik saja tanpamu. Dia bisa
mencintaiku lagi, dan aku akan mencintai dia.”
“Tapi Adam itu lemah. Dia bisa mudah terlukai kalau
tidak kujaga. Terlalu baik. aku harus menjaganya.”
“Kau hadir karena ingin menjaganya?” tanya Rose.
Andrew berjalan ke arah jendela dan menatap nanar ke depan. Dia
bergumam, “Jauh sebelum ada aku, dia kesepian. Tertindas di
batin, dan selalu mengalah. Dia tidak bisa melawan karena hatinya
lemah. Lalu aku datang, dan membantunya bersikap sebagai
sejatinya pria. Membuatnya sadar bahwa pria itu kuat dan tidak
bisa disakiti siapapun. Sepanjang hidupnya dia merasakan trauma.
Laki-laki yang seharusnya jadi panutan tidak bisa diandalkan.
Sangat bobrok. Apalagi wanita. Ibunya tidak bisa membela diri.
Lemah. Dia tidak boleh seperti mereka.”
Rose tampak berpikir sejenak. Dia mengatakan sesuatu
yang tidak kusangka-sangka. “Rupanya karena itu. Meski begitu,
maafkan aku, Adam. Rupanya yang membuat dirimu seperti ini
adalah aku. Aku tidak tahu jika akulah yang menyakitimu.
Maafkan aku.” Rose menunduk dan jatuhlah air mata yang
sepanjang aku mengenalnya tak pernah nampak. Wah sungguh aku
takut harus bersikap bagaimana, karena kini Rose tampak begitu
sedih.
Andrew mendekati Rose. Dia berdiri di samping Rose dan
membelai rambut Rose. Rose semakin sedih dan terus menunduk.
Lalu, tiba-tiba Andrew berbisik pada Rose namun tetap dapat
kudengar dengan samar.
“Aku mencintaimu, Rose. Jangan biarkan Adam tersakiti
atau bahkan disakiti siapapun lagi. Biarkan dia mencintai dan
dicintai olehmu dengan cara yang paling damai dan indah. Jaga
dia, seperti aku menjaganya.”
Rose menatap ke arah Andrew tanpa berkedip. Lalu sikap
Andrew berubah. Dia tiba-tiba bersimpuh di hadapan Rose. Dia
menggenggam tangan Rose. “Aku kembali, Rose. Aku kembali!”
dia begitu senang.
Rose memeluk Andrew, dan oh bukan. Itu adalah Adam!
Mereka berpelukan dan Rose terlihat lega sekali. Dia tidak
mengatakan apapun. Adam pun bertanya berkali-kali kepada Rose
dan hanya dibalas dengan senyuman. Rose pun tersenyum padaku
dari kejauhan sambil memeluk Adam. Aku balas tersenyum dan
tak terasa air mataku mengalir deras.
“Apa sih yang kalian lakukan. Berpelukan di depanku
begitu! Kan aku sendirian.” Mereka tertawa mendengar ucapanku.
Kutinggalkan mereka berdua. Dari luar dapat kudengar:
“Terima kasih, Rose. Terima kasih. Kini aku bisa kembali
mencintai dan melindungimu” dari Adam.
“Kini aku bisa mencintaimu lagi. Dan Maaf.” dari Rose.
Lalu lagu tadi berlanjut dan mengalun lebih syahdu.
Menjadi latar belakang pemantik kerinduan yang berjarak
bertahun-tahun di antara mereka.
Sebuah pengalaman yang unik sepanjang karirku menjadi
asisten Rose. Malam itu, aku habiskan dengan menyantap steak
yang sudah dingin. Tapi entah mengapa hatiku terasa sangat
hangat. Mungkin karena baru saja kulihat rekan kerja dan juga
teman baikku mendapatkan cinta keduanya lagi. Selamat, Rose!
Berbahagialah sekarang.
Do that to me one more time
Once is never enough with a man like you
…..
Oooooh
Do that to me one more time
I can never get enough for a man like you
Lagu yang sangat indah dan pas untuk kisah cinta kedua
Rose, yang ternyata sekaligus cinta pertama Rose: Adam.

Anda mungkin juga menyukai