Anda di halaman 1dari 86

PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT DIPLOMATIK DALAM

MELAKSANAKAN TUGAS DIPLOMATIKNYA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM


INTERNASIONAL (STUDI KASUS PENGANIYAYAAN TERHADAP TKI OLEH DUTA
BESAR ARAB SAUDI DI JERMAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum

OLEH:

HANNA SAFIRA NASUTION

NIM: 130200198

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT DIPLOMATIK DALAM
MELAKSANAKAN TUGAS DIPLOMATIKNYA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM
INTERNASIONAL (STUDI KASUS PENGANIYAYAAN TERHADAP TKI OLEH DUTA
BESAR ARAB SAUDI DI JERMAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

HANNA SAFIRA NASUTION

NIM: 120200165

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Diketahui/ Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Abdul Rahman, S.H., M.H.

NIP. 195710301984031002

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum Dr. Sutiarnoto,S.H.,M.Hum

NIP. 195612101986012001 NIP. 195610101986031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAKSI
*Hanna Safira Nasution
**Chairul Bariah, S.H, M.Hum
***Dr. Sutiarnoto,S.H.,M.Hum

Salah satu bentuk kerja sama antar negara di dunia adalah dalam bentuk Hubungan
Internasional dengan menempatkan perwakilan diplomatik di berbagai negara. Perwakilan
Diplomatik ini memiliki hak kekebalan dan hak istimewa terhadap hukum Yurisdiksi
negara penerima serta kekebalan sipil dan kriminal terhadap saksi. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui penyalahgunaan hak kekebalan dan hak istimewa yang
dilakukan oleh Pejabat diplomatik Arab Saudi terhadap pelayan pribadinya di Jerman.
Metode normatif digunakan dalam penelitian ini yang fokus pada legalitas Norma
hukum Positif hak Imunitas dan hak istimewa yang diberikan oleh Konvensi Wina tahun
1961 untuk memastikan Pelaksanaan fungsi diplomatik, tapi bukan berarti pejabat
diplomatik bisa bebas Untuk bertindak di Negara penerima. Sebagai wakil dari negara
pengirim, dia harus menghormati undang-undang tersebut Dan peraturan negara penerima
(Pasal 41 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1961).
Satu dari Kekebalan yang dinikmati oleh agen diplomatik adalah kekebalan dari
yurisdiksi pidana penerimaan Negara Bagian (Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1961).
Jika agen diplomatik melanggar hukum Dan peraturan negara penerima, dia tidak dapat
dikenakan sanksi berdasarkan hukum nasional untuk menerima Negara karena ia
menikmati imunitas seperti yang ditemukan dalam Pasal 31 ayat 1. Dalam kasus yang
terjadi Pada tahun 2009, seorang diplomat Arab Saudi dan keluarganya menyiksa pelayan
pribadinya di Jerman.
Pelayan pribadi diplomat tersebut adalah seorang pekerja migran asal Indonesia,
namanya bernama Dewi. Diplomat Dari Arab Saudi dan keluarganya tidak membayar
upah sesuai kesepakatan, Dewi disiksa secara fisik, dan paspornya ditahan. Tindakan
diplomat dan keluarganya melanggar ketentuan Pasal 41 Konvensi Wina tahun 1961.
Sebagai wakil negara pengirim (negara Arab Saudi), Diplomat tersebut tidak dapat
dihukum dengan hukum nasional Jerman menurut pasal 31 ayat 1 Pada Konvensi Wina
tahun 1961.

Kata kunci: Imunitas dan hak istimewa, pejabat diplomatik, Konvensi Wina tahun
1961.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I
***Dosen Pembimbing II

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Hanna Safira Nasution

NIM : 130200198

Judul : PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT DIPLOMATIK


DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DIPLOMATIKNYA DITINJAU
DARI ASPEK HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS
PENGANIYAYAAN TERHADAP TKI OLEH DUTA BESAR ARAB
SAUDI DI JERMAN)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah benar hasil karya saya sendiri

dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,

maka saya bersedia mempertanggunjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku

termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Medan, Juli 2017

Hanna Safira Nasution

NIM: 130200198

KATA PENGANTAR

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi ini

sebagai syarat untuk penyelesaian studi strata satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Skripsi ini berjul “Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pejabat Diplomatik

Dalam Melaksanakan Tugas Diplomatiknya Ditinjau Dari Aspek Hukum Internasional (Studi

Kasus Penganiyayaan Terhadap TKI Oleh Duta Besar Arab Saudi Di Jerman)”. Dengan

selesainya penulisan skripsi ini, tentu merupakan kebahagian dan kenikmatan tersendiri bagi

penulis. Walaupun selama menempuh studi penulis tidak luput dari berbagai hambatan.

Namun berkat kesabaran dan bantuan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulis sadar akan ketidaksempurnaan penulisan skripsi ini sehingga berharap agar

semua pihak dapat memberikan kritik dan saran yang membangun agar di kemudian hari

Penulis dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik, baik dari segi substansi

maupun dari segi cara penulisannya. Penulis menyadari sepenuhnya, tanpa bantuan dan

partisipasi dari berbagai pihak, maka penulisan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MHum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Abdul Rahman, S.H, M.H selaku Ketua Departemen Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Chairul Bariah, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, Terima kasih atas

bantuan dan bimbingan beliau yang bermanfaat.

8. Bapak Dr. Sutiarnoto,S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak Muhammad Husni, S.H, M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik.

10. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, serta kepada

seluruh Staf Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumaera Utara, yang sudah

membantu penulis dalam hal administrasi pada saat perkuliahan.

11. Ayah dan Mama, Drs. H Ahmad Hidayat Nasution MAP dan Hj Agustina Matondang,

yang sudah sangat sabar memfasilitasi dan memotivasi penulis selama masa kuliah

untuk bekerja keras dan segera menyelesaikan studi penulis. Terima Kasih telah

mendidik, menyayangi dan memberikan keleluasaan untuk menentukan jalan penulis

hingga dewasa. Semoga Penulis kelak dapat membuat kalian bangga.

12. Kepada seluruh keluarga , Kakak Penulis, Aldina Putri Nasution Amd, Fairuz Sofi

Nasution BCE, dan terutama kepada Sahara Nabilla Nasution BIP yang sudah

memberikan motivasi kepada Penulis.

13. Kepada teman-teman penulis, Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas

kebersamaan dan bantuannya selama ini.

14. Dan kepada seluruh pihak yang ikut membantu, baik secara langsung maupun tidak

langsung.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Demikianlah yang dapat Penulis sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan

mendapatkan Balasan dari Allah SWT. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen

pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan

skripsi ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2017

Penulis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... iv

Abstraksi .............................................................................................................................. vii

Daftar Isi ............................................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................................................................... 8

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ................................................................... 9

D. Keaslian Penulisan ...................................................................................................... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ............................................................................................... 10

F. Metode Penelitian ...................................................................................................... 14

G. Sistematika Penulisan ................................................................................................ 14

BAB II TUGAS DAN FUNGSI PEJABAT DIPLOMATIK ........................................... 16

A. Tinjauan Umum mengenai Diplomatik .................................................................... 16

B. Sejarah dan Sumber Hukum Diplomatik ................................................................... 24

C. Pengangkatan dan Penerimaan Perwakilan Diplomatik ............................................ 36

BAB III HAK KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN PEJABAT DIPLOMATIK ... 41

A. Teori-teori Kekebalan Diplomatik ............................................................................ 41

B. Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Diplomatik ........................................... 45

C. Mulai dan Berakhirnya Kekebalan Diplomatik ........................................................ 54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV PENYELESAIAN KASUS PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH

PEJABAT DIPLOMATIK ................................................................................................. 58

A. Latar Belakang Kasus Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pejabat Diplomatik Arab

Saudi di Jerman Kepada Tenaga Kerja Indonesia ..................................................... 58

B. Kebijakan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi terhadap tindak Pidana yang

dilakukan Diplomatnya ............................................................................................. 60

C. Tindakan Pemerintah Jerman dan Indonesia terhadap perwakilan Diplomatik Arab

Saudi yang melakukan tindak Pidana kepada TKI di Berlin .................................... 65

BAB V PENUTUP ............................................................................................................... 71

A. Kesimpulan ............................................................................................................... 72

B. Saran .......................................................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan untuk berhubungan dengan negara lain mempunyai arti yang

penting dalam masyarakat internasional karena merupakan suatu bukti atas

kemampuan suatu negara dalam menjaga integritas teritorialnya. Kemampuan

tersebut dapat menumbuhkan persamaan kedudukan dan persamaan derajat antar

negara, sekaligus merupakan refleksi adanya kemerdekaan dan kedaulatan yang

dimiliki oleh suatu negara.

Hubungan diplomatik dianggap sebagai salah satu instrumen hubungan luar

negeri yang kemudian menjadi kebutuhan bagi setiap negara. Banyak negara yang

melakukan kerjasama diplomatik dengan mengirimkan perwakilan diplomatiknya ke

negara lain untuk memperlancar hubungan negaranya dengan negara lain. Kerjasama

dipandang sebagai solusi terbaik untuk mengatasi berbagai permasalahan bagi negara

dan suatu cara untuk mencapai kepentingan nasional.

Kerjasama yang dilakukan oleh suatu negara ke negara lain tersebut kemudian

menimbulkan suatu hubungan diplomatik dengan kehadiran seorang diplomat dari

negara pengirim ke negara penerima. Diplomat adalah perwakilan dari sebuah

pemerintahan negara yang melakukan hubungan dengan pemerintahan negara lain

yang didasari atas kepentingan nasional suatu negara. Seorang diplomat memiliki

kewajiban yaitu mengutamakan kepentingan negara di atas segalanya, menjaga nama

baik negara, dan mencerminkan diplomat yang professional.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

Diplomat berfungsi untuk mewakili negara asalnya dengan membawa tujuan-

tujuan negaranya. Dalam Pasal 3 Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan

Diplomatik menyebutkan bahwa misi diplomatik memiliki fungsi sebagai representasi

negara pengirim, proteksi kepentingan negara pengirim termasuk melindungi warga

negara pengirim, negosiasi, observasi dan hubungan persahabatan. Dalam melakukan

diplomasi, wakil-wakil negara agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan

efisien perlu untuk diberikan hak kekebalan dan hak keistimewaan.1

Status perwakilan diplomatik sebenarnya telah mendapat pengakuan dari

bangsa-bangsa pada zaman lampau yaitu bangsa-bangsa kuno.2 Meskipun pada zaman

dahulu belum dikenal adanya hukum internasional yang modern, namun duta-duta

besar diberikan kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa tertentu, meskipun tidak

oleh hukum, akan tetapi oleh agama, sehingga di mana-mana seorang Duta Besar

dianggap sebagai orang suci (Sacrosanct).3

Pengakuan kekebalan diplomatik pada mulanya didasarkan atas hukum

kebiasaan internasional semata-mata, yaitu kebiasaan dalam praktek hubungan antar

negara yang berlangsung dengan tukar menukar perwakilan diplomatik. 4 Lama

kelamaan kebutuhan akan adanya peraturan hukum tertulis mengenai pengakuan

kekebalan diplomatik yang dapat dipergunakan secara umum oleh semua negara

dirasakan mendesak.5

Akhirnya setelah dengan Konggres Wina Tahun 1815 yang disusul dengan

Konggres Aix-La-Chapelle Tahun 1818, maka pada tahun 1961 asas kekebalan

1
Teori Kekebalan Diplomatik dan Keistimewaan Pejabat Misi Diplomatik, dalam
http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-kekebalan-diplomatik-dan.html?m=1, diakses pada 8 Januari 2017.
2
Edy Suryono, 1992, Perkembangan Hukum Diplomatik, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm. 9.
3
Ibid.
4
Ibid., hlm. 11.
5
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

diplomatik sebagai hukum internasional dikukuhkan dalam sebuah Konvensi yaitu

Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.6 Dalam Protokol II Pedoman

Tertib Diplomatik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, diatur bahwa istilah

kekebalan terkandung dua pengertian, yaitu kekebalan (immunity) dan tidak dapat

diganggu-gugat (inviolability).7

Tidak dapat diganggu-gugat atau inviolabilitas (inviolability) adalah kekebalan

diplomat terhadap alat-alat kekuasaan Negara penerima dan kekebalan terhadap

segala gangguan yang merugikan, sedangkan kekebalan (immunity) diartikan sebagai

kekebalan terhadap yurisdiksi hukum perdata, hukum acara, maupun hukum pidana.8

Keistimewaan yang dimaksud ialah berbagai hak istimewa (previlege) yang melekat

pada perwakilan diplomatik asing (sebagai institusi) dan anggota missi (sebagai

individu) di Negara penerima.9

Semua agen diplomatik harus memperoleh jaminan keamanan dan

kesejahteraannya pada masa dinas aktif, salah satunya atas prinsip timbal balik. 10

Kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang diberikan kepada perwakilan

diplomatik sesuai Konvensi Wina 1961 dapat dikelompokkan menjadi kekebalan

kantor perwakilan dan tempat kediaman diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 22,

kekebalan tempat tinggal resmi diplomat diatur dalam Pasal 30, kekebalan diplomat

dalam melaksanakan tugas kedinasan diatur dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 29, Pasal

31.

6
Ibid.
7
Widodo, 2009, Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, Laks Bang Justitia, Surabaya,
hlm. 115.
8
Ibid.
9
Ibid., hlm. 116.
10
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, dalam
Syahmin,Ak., 2008, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 119.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

Keistimewaan misi diplomatik dalam bidang pajak dan iuran diatur dalam

Pasal 23, Pasal 28, Pasal 34, pembebasan dari bea cukai diatur dalam Pasal 36, hak-

hak agen diplomatiknya diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 33. 11 Pemberian hak

kekebalan dan keistimewaan tersebut didasarkan atas tiga teori, yaitu exterritoriality

theory, representative theory, dan functional necessity theory.

Bagi mereka yang menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik dari

Negara penerima, tetap mempunyai kewajiban tidak hanya saja untuk menghormati

hukum dan peraturan-peraturan Negara penerima, tetapi juga untuk tidak mencampuri

urusan dalam negeri Negara tersebut. 12 Oleh karena itu, Konvensi Wina 1961

memberikan batasan-batasan secara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ,

36, 41 ayat (1), dan 42.13

Pasal 27 Konvensi Wina Tahun 1961 berisi:

1) Negara penerima harus mengijinkan dan melindungi kemerdekaan

berkomunikasi pada pihak misi untuk tujuan-tujuan resminya. Di dalam

berkomunikasi dengan Pemerintah, misi-misi dan konsulat-konsulat, dari

Negara pengirim, dimanapun beradanya, misi boleh menggunakan semua

sarana yang pantas, termasuk kurir diplomatik dan pesan-pesan dengan sandi

atau kode. Namun demikian, misiboleh menggunakan dan memasang

pemancar radio hanya dengan persetujuan dari Negara penerima.

2) Korespondensi resmi daripada misi tidak dapat diganggu gugat.

Korespondensi resmi adalah semua korespondensi yang berhubungan dengan

misi dan fungsi-fungsinya.

11
Widodo, 2009, Op.Cit., hlm. 123-161.
12
Syahmin,Ak., Op.Cit., hlm.99
13
Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum Diplomatik teori dan Kasus, Penerbit Alumni, Bandung,
hlm.124.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

3) Tas diplomatik tidak boleh dibuka atau ditahan.

4) Paket yang ada di dalam tas diplomatik harus memperlihatkan tanda yang jelas

dapat terlihat dari luar yang menunjukkan sifatnya dan hanya boleh berisi

dokumen-dokumen diplomatik atau barang-barang yang diperuntukkan bagi

kegunaan resmi daripada misi.

Pasal 36 Konvensi Wina Tahun 1961 berisi: “Pembebasan dari bea cukai untuk misi

diplomatik dan agen-agen dan keluarga mereka.” Sedangkan dalam Pasal 41 ayat (1)

Konvensi Wina Tahun 1961 yang menyebutkan mengenai kewajiban seseorang yang

menikmati hak-hak keistimewaan dan kekebalan untuk menghormati hukum dan

peraturan Negara penerima.14

Hak-hak yang dimiliki seorang diplomat seperti hak kekebalan (immunity) dan

hak keistimewaan (privileges) dapat memudahkan mereka dalam menjalankan tugas-

tugasnya sebagai perwakilan negara pengirim di negara penerima. Hak-hak tersebut

juga dapat melindungi mereka dari sebuah gangguan yang ada termasuk tindakan

penahanan yang dilakukan oleh penguasa ditempat negara penerima. Hak kekebalan

tersebut memberikan banyak keuntungan kepada setiap pejabat diplomat.

Meskipun demikian kekebalan diplomatik tersebut juga dapat ditanggalkan

atau dihapus. Hal ini dapat saja terjadi apabila dalam hubungan diplomatik tersebut

diwarnai adanya ketegangan yang timbul antara Negara penerima dan Negara

pengirim. Kemungkinan dikarenakan adanya penyalahgunaaan kekebalan dan

keistimewaan yang dimiliki oleh pejabat diplomatik.Hak untuk menegakkan

kekebalan diplomatik adalah nagara pegirim tetapi biasanya terlebih dahulu diajukan

permohonan yang dilakukan oleh Negara penerima. Baik itu dengan adanya

14
Wasito, Sm.Hk., Sm.Hk, 1984, Konvensi-Konvensi Tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan
Konsuler Dan Hukum Perjanjian/Traktat, Andi Offset, Yogyakarta, hlm. 34.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

pengesahan khusus dari Negara pengirim atau hanya diwakilkan kepala perwakilan

diplomatik.

Seiring banyaknya hak, baik itu kekebalan ataupun keistimewaan yang

diberikan kepada mereka, semakin tinggi pula angka kemungkinan terjadinya

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para Diplomat tersebut. Kekebalan

diplomatik itu juga yang dapat menjadi ancaman bagi seorang diplomat, adakalanya

para pejabat diplomat menyalahgunakan hak kekebalan mereka itu sendiri untuk

kepentingan pribadi.

Salah satu kasus yang akan saya bahas disini yaitu mengenai penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh seorang pejabat diplomatik dari Arab Saudi dengan

melakukan tindak pidana terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari Indonesia di

negara penerimanya yaitu di Berlin, Jerman. Seorang tenaga kerja Indonesia bekerja

pada seorang Pejabat Diplomat Arab Saudi dan ia akan dibawa ke Berlin. Ia

menandatangani perjanjian kerja yang mengatur upah minimal pembantu rumah

tangga bagi diplomat di Jerman, yaitu 750 (tujuh ratus lima puluh) Euro sebulan

untuk 40 (empat puluh) jam kerja perminggu, sekitar 6 (enam) jam perhari, dan cuti

tahunan selama satu bulan. Keluarga diplomat tersebut hanya membayar upahnya

sekali, yaitu sebesar 150 (seratus lima puluh) Euro (Rp 1,8 juta) saat Ramadhan.

Tenaga kerja asal Indonesia tersebut bekerja bagi ketujuh anggota keluarga

diplomat, dari pukul 06.00 pagi sampai larut malam, dalam tujuh hari dalam

seminggu. Ia bekerja untuk membersihkan rumah, memasak, melayani keperluan istri

diplomat yang lumpuh, melayani anak- anaknya termasuk membukakan sepatu

mereka, dan tidur di atas lantai. Pelayan pribadi diplomat tersebut mendapatkan

perlakuan yang tidak semestinya dari keluarga diplomat tersebut, seperti paspornya

yang disita, gajinya tak dibayar, ia tak boleh meninggalkan rumah, tidak boleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

menghubungi keluarga, bahkan ia sering mendapatkan pukulan dan hinaan dari

keluarga Diplomat Arab Saudi tersebut.

Kemudian ia meminta bantuan pada organisasi Hak Asasi Manusia yaitu

Organisasi Ban Ying yang merupakan organisasi perlindungan pekerja perempuan di

Jerman dan berhasil menyelamatkan diri dari apa yang telah dialaminya sekitar 19

(sembilan belas) bulan pada Oktober 2010. Organisasi Ban Ying, aktivis buruh dan

perempuan Heide Pfarr serta pengacara Klaus Bertelsmann mengajukan kasus

pelayan pribadi Diplomat Arab Saudi ke pengadilan tenaga kerja di Berlin, dengan

tuntutan gaji, uang lembur dan uang ganti rugi total 70.000 (tujuh puluh ribu) Euro,

sekitar 840 (delapan ratus empat puluh) juta rupiah.

Selain itu diajukan tuntutan karena melakukan eksploitasi tenaga kerja. Pada

tanggal 14 (empat belas) bulan Juni tahun 2011, Pengadilan Tenaga Kerja Jerman

memutuskan menolak tuntutan itu, dengan alasan kekebalan hukum diplomatik si

majikan. Dewi Ratnasari, nama samaran dari pelayan pribadi Diplomat Arab Saudi

yang juga digunakan dalam pengaduan, sudah kembali ke tanah air, tetapi tuntutannya

ke pengadilan berjalan terus, ia percayakan kepada aktivis buruh dan perempuan

Heide Pfarr.

Disamping itu, Tenaga Kerja Wanita dari Indonesia yang menjadi korban

tindak pidana oleh Diplomat Arab Saudi di Jerman tersebut dapat dikatakan sebagai

salah satu anggota keluarga Pejabat Diplomatik tersebut. Sesuai dengan yang diatur

dalam Pasal 37 ayat 1 Konvensi Wina 1961 yang berisi sebagai berikut :

“The members of family of diplomatik agent forming part of his household shall, if

they are not nationals of the receiving immunities specified in articles 29 to 36.” 15

15
Setyo Widagdo dan Hanif Nur W, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayumedia Publishing, Malang,
2008, hlm 38.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

Artinya, Anggota-anggota keluarga agen diplomatik yang membentuk rumah

tangganya, jika mereka ini bukan warga negara Negara penerima, mendapat hak-hak

istimewa dan kekebalan hukum yang disebutkan di dalam Pasal 29 sampai 36.

Sesuai dengan Uraian diatas, penulis berminat meneliti lebih dalam mengenai

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Pejabat Diplomatik dalam melaksnakan

tugasnya. Skripsi ini akan menguraikan tentang seorang Diplomat yang

menyalahgunakan Hak-hak yang diberikan kepadanya saat Menjalankan tugasnya

sebagai Perwakilan Diplomatik dari Negara Pengirim di Negara Penerima. Oleh sebab

itulah penulis memilih judul, “Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

Diplomatik dalam melaksanakan Tugas Diplomatiknya ditinjau dari Aspek

Hukum Internasional (Studi Kasus Penganiyayaan terhadap TKI oleh Duta

Besar Arab Saudi di Jerman).”

B. Rumusan Masalah

Dalam melaksanakan tugasnya, para pejabat diplomat tersebut seingkali

melakukan suatu tindak pelanggaran. Namun mereka mengandalkan hak-hak

kekebalan yang diberikan kepada mereka untuk melakukan penyalahgunaan

tanggungjawab tersebut.

Yang menjadi permasalahan disini adalah :

1. Bagaimana Tugas dan fungsi pejabat diplomatik serta bagaimana

pengangkatan seorang pejabat diplomatik itu?

2. Bagaimana Hak Kekebalan dan hak keistimewaan yang diberikan kepada

pejabat diplomatik?

3. Bagaimana penyelesaian kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan

pejabat diplomatik Arab Saudi ditinjau dari aspek Hukum Internasional?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan

Tujuan Penulisan :

Adapun yang merupakan tujuan dari penulisan ini yaitu :

1. Untuk mengetahui secara teoritis dan faktual mengenai apa yang sebenarnya

menjadi kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki pejabat diplomatik

2. Untuk mengetahui penyalahgunaan hak kekebalan dan keistimewaan apa yang

dilakukan oleh pejabat diplomatik Arab Saudi

3. Untuk mengetahui bagaimana cara penyelesaian kasus penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi terhadap

pelayan pribadinya.

Manfaat Penulisan :

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi suatu sumber informasi

tambahan bagi mahasiswa Fakultas Hukum yang ingin tahu lebih dalam

mengenai Hukum Diplomatik. Penulisan ini juga memberikan wawasan pada

penulis dan diharapkan juga pada pembacanya dalam menanggapi kekebalan

diplomatik yang dimiliki seorang diplomat dengan melibatkan negara ketiga

atau negara luar.

D. Keaslian Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak ada meniru ataupun melihat dari

skripsi pihak-pihak yang lain. Dengan demikian, skripsi adalah murni dari hasil

pemikiran penulis dan Judul yang digunakan dalam skripsi ini telah diperiksa di

perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan dinyatakan bahwa

skripsi yang ditulis oleh pihak penulis tidak ada atau belum ada yang pernah menulis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

skripsi tentang judul ini. Dengan demikian skripsi ini memang benar dapat

dipertanggungjawabkan oleh penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pejabat Diplomatik

Dalam Pasal 1 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik,

disebutkan:

a) Kepala pewakilan ialah orang yang ditugaskan oleh Negara pengirim untuk

bertindak dalam kedudukannya itu;

b) Anggota-anggota perwakilan ialah kepala perwakilan dan anggota-anggota

staf perwakilan;

c) Anggota-anggota staf perwakilan ialah anggota-anggota staf diplomatik,

administrasi, teknis, dan pelayanan dari perwakilan ;

d) Anggota-anggota staf diplomatik ialah anggota-anggota staf perwakilan yang

adalah perbuatan menyalahgunakan mempunyai gelar diplomatik;

e) Seorang wakil diplomatik ialah kepala perwakilan atau seorang anggota staf

diplomatik dari perwakilan.

Sugeng Istanto berpendapat bahwa perutusan diplomatik adalah petugas

negara yang dikirim ke negara lain untuk menyelenggarakan hubungan resmi antar

negara. 16 Menurut Jawahir Thontowi, Duta Besar (General Embassy) adalah wakil

diplomatik setingkat kepala negara yang mewakili suatu negara untuk tinggal dan

16
Sugeng Istanto, 2010, Hukum Internasional, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

melaksanakan tugas kenegaraan di Negara penerima (receiving countries), dengan

berkantor di Ibukota Negara.17

Berdasarkan Oxford Dictionary, diplomat is a person whose job is to

represent his or her country in a foreign country; a person who is skilled at dealing

with other people.18

Mengenai pembagian kepala misi, dalam Satow's Guide to Diplomatik

Practice: Today heads of mission are devided, as stated in Article 14 of the Vienna

Convention on Diplomatik Relation of 1961, into three classes :

a. Ambassadors or nuncios accredited to head of the state, and other heads of

mission (such as High Commissioner in the Commonwealth) of equivalent

rank;

b. Envoys, ministers and internuncios accredited to head of the state;

c. Charges d'affaires accredited to ministers of foreign affairs. 19

2. Penyalahgunaan Hak Kekebalan dan Keistimewaan

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penyalahgunaan adalah


20
proses, cara, perbuatan menyalahgunakan; penyelewengan. Kekebalan

(immunity) diartikan sebagai kekebalan terhadap yurisdiksi hukum perdata, hukum

acara, maupun hukum pidana. Keistimewaan yang dimaksud ialah berbagai hak

istimewa (previlege) yang melekat pada perwakilan diplomatik asing (sebagai

17
Jawahir Thontowi, 2016, Hukum dan Hubungan Internasional, Penerbit UII Press Yogyakarta,
Yogyakarta.
18
Oxford Advanced Learner’s Dictionary 7th Edition.
19
Lord Gore-Booth, Desmon Pakenham, 1979, Satow's Guide to Diplomatik Practice, Published by
Logman Inc., New York.
20
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dalam http://kbbi.web.id/salah%20guna.menyalahgunakan,
diakses pada 23 Januari 2017.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

institusi) dan anggota missi (sebagai individu) di Negara penerima. Jadi,

penyalahgunaan hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik adalah perbuatan

menyalahgunakan yang diberikan atas dasar prinsip timbal balik untuk menjamin

terlaksananya tugas- tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama tugas

negara yang diwakilinya. Terdapat tiga teori yang membahas mengenai alasan

pembenar pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik, yaitu :

a. Exterritoriality theory (Teori Eksterritorialitas)

Teori ini menganggap bahwa meskipun para diplomat secara konkret ada atau

tinggal di Negara penerima, tetapi secara yuridis dianggap ada di luar wilayah

Negara penerima yaitu tetap tinggal di Negara pengirim. Teori ini sulit untuk

diterapkan dalam kehidupan dan terdapat kejanggalan, misalnya andaikata para

diplomat dianggap tinggal di Negara pengirim, maka tidak perlu memperoleh

kekebalan dan keistimewaan karena tidak ada satupun negara di dunia yang

memberi kekebalan dan keistimewaan mutlak pada warga negaranya sendiri di

wilayahnya.

b. Representative Character Theory (Teori Representatif)

Menurut teori ini, diplomat dianggap sebagai simbol atau lambang Negara

pengirim sekaligus wakil Negara pengirim di Negara penerima, karena itu segala

perbuatan diplomat harus dianggap sebagai perbuatan dari kepala negara atau

setidaknya dianggap sebagai pencermin kehendak Negara pengirim. Teori ini juga

sulit untuk diterapkan karena sampai saat ini orang yang mendapatkan kekebalan

diplomatik bukan hanya diplomat, tetapi termasuk anggota keluarga diplomat yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

membentuk rumah tangganya dan tinggal di Negara penerima, padahal bukan

berstatus diplomat yang mewakili Negara pengirim.

c. Functional Necessity Theory (Teori Kebutuhan Fungsional)

Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik perlu diberikan

kepada diplomat agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga hasil

pekerjaannya memuaskan Negara penerima dan Negara pengirim. Teori ini

merupakan dasar teori yang paling benar dalam menjelaskan dasar pemberian

kekebalan dan keistimewaan diplomatik karena tanpa adanya kekebalan dan

keistimewan diplomatik, diplomat tidak dapat melaksanakan fungsi di Negara

penerima. Hal tersebut terdapat pada Pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961

Alinea 4 (empat). 21

3. Status Pelayan Pribadi

Berdasarkan Pasal 1 huruf h Konvensi Wina 1961, pelayan pribadi adalah

orang yang di dalam pelayanan domestik dari seorang anggota missi dan yang

bukan pegawai Negara pengirim missi. Kekebalan dan keistimewaan tersebut

diatur dalam Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yaitu

kekebalan dan keistimewaan pun juga dapat dinikmati oleh para pelayan pribadi

anggota missi.

Para pelayan pribadi anggota missi, apabila mereka bukan warga negara atau

penduduk tetap dalam Negara penerima, akan dibebaskan dari pungutan dan pajak

21
Widodo, 2009, Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, Laks Bang Justitia, Surabaya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

atas pendapatan yang mereka terima karena mereka dipekerjakan. Mengenai hal

lain, mereka boleh menikmati hak-hak istimewa hanya terbatas pada yang

diperkenankan oleh Negara penerima.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian

kepustakaan (library research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan

metode pengumpulan data pustaka. Penelitian kepustakaan (library research) yang

dimaksud disini ialah penelitian yang mengunakan cara untuk mendapatkan data

informasi dengan menempatkan fasilitas yang ada di perpustakaan, seperti Buku,

Literatur, Diktat, dan Konvensi yang berhubungan dengan skripsi ini yang selanjutnya

dijadikan sebagai landasan untuk berpikir dan landasan dalam pembahasan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk melihat lebih jelas dan terarah maksud dari penulisan ini, maka

sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab dan didalam bab terdiri dari atas

sub bab demi bab. Adapun gambaran isi penulisan ini ialah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TUGAS DAN FUNGSI PEJABAT DIPLOMATIK

Didalam bab ini menguraikan tentang Tugas dan Fungsi

Pejabat Diplomatik, yang menjelaskan mengenai Tinjauan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

Umum mengenai Diplomatik, Sejarah dan Sumber Hukum

Diplomatik, dan Pengangkatan dan Penerimaan Perwakilan

Diplomatik.

BAB III : HAK KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN PEJABAT

DIPLOMATIK

Yang akan dibahas dalam bab ini adalah hak kekebalan dan

keistimewaan Pejabat Diplomatik yang terdiri dari Teori-teori

Kekebalan Diplomatik, Hak Kekebalan dan Keistimewaan

Pejabat Diplomatik serta Mulai dan Berakhirnya Kekebalan

Diplomatik.

BAB IV : PENYELESAIAN KASUS PENYALAHGUNAAN

WEWENANG OLEH PEJABAT DIPLOMATIK

Bab ini memaparkan mengenai Penyelesaian Kasus

Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pejabat Diplomatik yang

berisi Latar Belakang Kasus Penyalahgunaan Wewenang Oleh

Pejabat Diplomatik, Kebijakan yang dilakukan Pemerintah

Arab Saudi serta Tindakan Pemerintah Jerman dan Indonesia

terhadap Perwakilan Diplomatik Arab Saudi.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

BAB II

TUGAS DAN FUNGSI PEJABAT DIPLOMATIK

A. Tinjauan Umum mengenai Diplomatik

1. Pengertian Diplomatik

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan

dampak terhadap hubungan antar negara dan perkembangan didalam anggota

masyarakat internasional, maka dirasakan adanya dorongan untuk mengembangkan

lagi kodifikasi Hukum Diplomatik secara luas. Pengembangan itu tidak saja ditujukan

untuk memperbaharui tetapi juga dalam rangka melengkapi prinsip-prinsip dan

ketentuan Hukum Diplomatik yang sudah ada sebelumnya.

Jika membahas mengenai hukum diplomatik, tentunya tidak dapat terpisah

dari yang dinamakan diplomasi. Diplomasi sudah dikenal sejak masa jayanya

Romawi di Eropa dan Afrika Utara beberapa abad yang lalu sebagai alat kepercayaan

yang fungsinya untuk digunakan pemegangnya bila ingin masuk ke wilayah Negara

lain karena mempunyai kepentingan dari wilayah asalnya. Seiring berjalannya waktu,

sekarang ini perkembangan diplomasi diartikan sebagai suatu cara bernegosiasi atau

berunding yang di lakukan antara para pejabat Negara ataupun para kepala Negara

yang berkaitan dengan kepentingan negaranya masing-masing.

Beberapa ahli mencoba untuk memberikan definisi dari Diplomasi, beberapa

diantaranya adalah :

1) Random House Dictionary :

“The conduct by goverment officials of negotiations and other

relations between nationas; the art of science of conducting such negotiations;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

skill in managing negotiations, handling of people so that there is little or no

ill-will tact”.

2) Sir Ernest Satow :

“Diplomacy is the application of intelligence and tact to the conduct of

official relations between the Goverments of Independent States, extending

sometimes also to their relations with vassal states; or more briefly still, the

conduct of business between States by peaceful means”.22

3) Quincy Wright

Disini Quincy Wright memberikan batasan dalam 2 cara, yaitu :

a. The employment of tact, shrewdness, and skill in any negotiation or

transaction.

b. The art of negotiation in order to achieve the maximum of cost, within a

system of politics in which war is a possibility.23

4) Harold Nicholson :

a. The management of internal relations by means of negotiation.

b. The method by which these relations are adjusted and manage by

ambassadors and envoys.

c. The business of art of the diplomatist.

d. Skill or address in the conduct of international intercourse and negotiations.

22
Gore - Booth, D. Pakenham, Satow‟s Guide to Diplomatik Practice, Fith Edition, Longman Group
Ltd. London , 1979, hal. 3.
23
Quincy Wright, The Study of International Relations, New York: Appleton-Century-Croffs, 1955,
hal. 28-29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

5) Brownlie :

“...diplomacy comprises any means by which states establish or maintain

mutual relations, communicate with each other, or carry out political or legal

transactions, in each case through their authorized agents”. 24

Jika dilihat dari pengertian yang sudah dideskripsikan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa diplomasi adalah hubungan antar bangsa yang dilakukan untuk

membangun suatu kerjasama dan mempererat persahabatan. Hubungan tersebut

dilakukan melalui pertukaran misi diplomatik para pejabatnya. Sebelumnya, para

pejabat tersebut harus diakui dahulu statusnya sebagai pejabat diplomatik agar mereka

dapat melakukan tugas diplomatiknya dengan efektif. Setelah mereka sudah sah

menjadi seorang pejabat diplomatik, mereka akan diberikan hak-hak istimewa dan

kekebalan yang didasarkan atas aturan-aturan dalam hukum kebiasaan internasional

serta perjanjian-perjanjian lainnya yang menyangkut tentang hubungan diplomatik

antar negara.

Jika ditinjau dari pengertian secara tradisionalnya, hukum diplomatik

digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang mengatur

tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara

yang telah membina hubungan diplomatik. Pengertian hukum diplomatik secara

tradisional itu kini telah meluas karena hukum diplomatik sekarang bukan sekedar

mencakup hubungan diplomatik dan konsuler antar negara, akan tetapi juga meliputi

keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional.

Ada beberapa faktor penting yang didapatkan dari pengertian-pengertian yang

telah disebutkan sebelumnya diatas, yaitu :

24
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford University Press, Third Edition; 1979,
hal. 345.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

1) Hubungan antar bangsa untuk merintis kerja sama dan persahabatan.

2) Hubungan itu dilakukan dengan pertukaran misi diplomatik.

3) Para pejabat yang bersangkutan harus diakui statusnya sebagai wakil

diplomatik.

Dari faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas, maka pengertian hukum

diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum

internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan

atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut

dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi

hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum

internasional.

2. Tugas dan Fungsi Pejabat Diplomatik

Tugas seorang duta besar dan para diplomatik adalah mewakili kepentingan

negara pengirim di negara penerima (akreditas) dan sebagai penghubung antar

pemerintahan kedua negara. Di negara penerima, mereka mengikuti perkembangan

yang terjadi serta melaporkannya ke negara pengirin dan juga bertugas untuk

melindungi warga negaranya serta berbagai kepentingan warga negaranya di negara

penerima. Tugas-tugas perwakilan diplomatik ini, sebagai berikut:

The function of a diplomatik mission consist inter alia in:

a) Representing the sending state in the receiving state (mewakili negara

pengirim di negara penerima);

b) Protecting in the receiving state the interests of the sending state and of its

nationals, withinthe limits permitted by international law (melindungi

kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara

penerima dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum internasional);

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

c) Negotiating with the government of the receiving state (melakukan

perundingan dengan pemerintah negara penerima);

d) Ascertaining by all lawful means conditions and developments in the receiving

state, and reporting there on to the government of the sending state

(memperboleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan

perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah

negara pengirim);

e) Promoting friendly relations between the sending state and receiving state,

and developing their economic, cultural and scientific relations

(meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara

penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu

pengetahuan).25

Dewasa ini, teknologi semakin pesat membuat hubungan kerjasama

antarnegara dan antarbangsa menjadi mudah. Banyaknya organisasi pemerintah

maupun non pemerintah yang melakukan kerjasama dalam berbagai aspek untuk

tercapainya tujuan yang bersama. Hal inilah mendorong para diplomatik dalam

mengemban tugasnya bukan hanya untuk hal-hal regional tetapi juga hal-hal yang

berhubungan internasional dan bukan hanya berhubungan dengan hal bilateral

melainkan bersama dengan negara pengirim bertukar pemikiran untuk mengatur

masalah global yang bersifat demi kepentingan umum.

a) Representasi

Fungsi perwakilan para diplomatik dapat kita lihat dalam pasal 3 Konvensi

Wina 1961 yaitu “mewakili negara pengirim di Negara penerima”. Namun kata

mewakili disini memiliki pengertian yang berbeda-beda dari para ahli hukum. Seperti

25
Pasal 3 Konvensi Wina 1961

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

dikemukakan oleh Gerhard von Glahn, “seorang wakil diplomatik itu selain mewakili

pemerintah negaranya, ia juga tidak hanya bertugas dalam kesempatan serelonial saja,

melainkan juga dapat melakukan protes atau mengadakan penyelidikan „inquires‟

atau meminta penjelasan pada pemerintah setempat. Ia mewakili kebijaksanaan

politik pemerintah Negara pengirimnya”. 26

Sementara menurut B.Sen, batasan mewakili adalah:

“Fungsi yang utama dari seorang wakil diplomatik adalah mewakili negara

pengirim di negara penerima dan bertindak sebagai saluran penghubung

resmi antarpemerintah kedua negara. Bertujuan untuk memelihara hubungan

diplomatik antarnegara yang menyangkut fasilitas komunikasi kedua negara.

Pejabat diplomatik sering kali melaksanakan tugas, mengadakan

perundingan, dan menyampaikan pandangan pemerintahnya di beberapa

kesempatan yang penting dan berharga kepada pemerintah negara

penerima.”27

b) Proteksi

Sesuai dengan Konvensi Wina 1961 pasak 3 ayat 1,b Gerhard von Glahn

mengartikan istilah proteksi disini adalah:

“The diplomatik has a duty to look after the interest person and property of citizens of

his own state in the receiving state. He must be ready to assist them, they get into

trouble abroad, my have to take charge of their bodies and effects if they happen to

die on a trip amd in general act as a trouble shooter for his fellow nationals in the

receiving state.”28

26 Gerhard von Glahn, Law among Nations, hal 385.


27 B.Sen, A Diplomat Handbook of International Law and Practice, Nijhoff The Haque, 1979
hal. 47.
28 Gerhard van Glahn, Op.Cit, hal 386.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

Dari apa yang coba dijelaskan Von Glahn disini tentang istilah proteksi adalah

setiap perwakilan diplomatik memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan-

kepentingan negara pengirim dan warga negaranya yang berada di negara penerima

untuk itu sudah menjadi kewajiban negara penerima untuk melindungi para pejabat

diplomatik di dalam menjalankan tugas-tugasnya dan bukan hanya negara penerima

namun negara ketiga dimana para pejabat diplomatik in transit, negara ketiga harus

melindungi para diplomatik tersebut.

Perlindungan terhadap para pejabat diplomatik harus memiliki ketegasan, hal

ini dikarenakan seringnya terjadi pelanggaran hukum diplomatik yang banyak

menyerang para pejabat diplomatik, keluarga pejabat diplomatik serta gedung-gedung

kedutaan. Terutama dengan banyaknya aksi terorisme yang banyak mengancam para

diplomatik. Hal ini dikarenakan tugas-tugas yang dibebankan kepada para pejabat

diplomatik serta misinya maka negara penerima disini memiliki tangggung jawab

untuk melindungi para diplomatik yang berada di negaranya.

c) Negosiasi

Setiap antarnegara sering melakukan negosiasi dalam melakukan hubungan

antarnegara. Negosiasi ataupun perundingan dapat dilakukan oleh dua negara atau

lebih. Negosiasi ini merupakan salah satu misi diplomatik, seperti dalam ketentuan

Konvensi Wina pasal 3 ayat 1c, “Negotiating with the government of the receiving

state”. Diplomatik disini mewakili negaranya dalam melakukan perundingan di

negara penerima. Oleh karena itu, dikatakan oleh Von Glahn: “The original reason

for the rise of diplomats the intention of having a representative in a foreign capital

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

compowered to negotiable agreements with the receiving states, was to “deal”

directly with the foreign government.”29

Dengan demikian, maksud diadakan perundingan antarnegara beraneka ragam

baik urusan ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan, serta untuk suatu perjanjian

mengenai hal – hal penting bagi antarnegara bersahabat yang bersangkutan.

d) Mengumpulkan Data dengan Cara yang Sah dan Melaporkannya kepada

Pemerintah Negara Pengirim

Para pejabat diplomatik memiliki kewajiban untuk melaporkan segala yang

terjadi di negara penerima kepada negara pengirim. Hal ini dapat kita lihat dalam

Konvensi Wina pasal 3 ayat 1d. Perlunya pelaporan ini adalah berfungsi untuk

memperlancar kepengurusan dan kepentingan negaranya di luar negeri. Seperti

perkataan Von Glahn, yaitu: “The basic duty of a diplomat is to report to his

government on political event, policies, and other related matters”. Tugas yang

paling mendasar dari seorang pejabat diplomatik adalah melaporkan kepada

pemerintahannya mengenai peristiwa politik, kebijakan - kebijakan, dan masalah

lainnya yang sedang terjadi di negara penerima kepada pemerintahannya. Segala

pelaporan yang dilakukan pejabat diplomatik adalah sah asalkan dalam membuat

laporan tersebut dalam mengumpulkan datanya tidak dilakukan secara diam-diam

atau disebut dengan „spionase‟, atau data yang diperoleh secara tidak sah menurut

hukum dan kebiasaan internasional.

e) Meningkatnya Hubungan Persahabatan Antarnegara

Fungsi seorang diplomatik salah satu yang terpenting adalah meningkatkan

hubungan persahabatan antarnegara. Hal ini tegas ditulis dalam Konvensi Wina pasal

29
Ibid, hal 385.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

3 ayat 1e. dengan meningkatkan hubungan persahabatan dengan negara lain, hal ini

dapat memudahkan didalam:

1) Memadukan seluruh potensi kerja sama daerah agar tercipta sinergi dalam

penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri (coordinator);

2) Mencari terobosan baru (inisiator);

3) Menyediakan data yang diperlukan (informatory);

4) Mencari mitra kerja diluar negeri (mediator);

5) Mempromosikan potensi daerah di luar negeri (promotor);

6) Memfasilitasi penyelenggaraan Hubungan luar Negeri (fasilitator);

7) Memberi perlindungan kepada semua kepentingan nasional di luar negeri

(protector);

8) Mengarahkan kerjasama agar lebih efektif (supervisor).

Untuk itu, para diplomatik sebagai wakil Negara di luar negeri harus

membangun persahabatan yang baik dengan Negara penerima maupun Negara lain.

B. Sejarah dan Sumber Hukum Diplomatik

Awal hukum diplomatik dimulai dengan hukum kebiasaan yang telah berlaku

sebelumnya. Sebagai contohnya sebuah kebiasaan yang telah menjadi ketentuan

mengenai keistimewaan dan kekebalan para duta besar. Hal ini dikarenakan duta

besar dianggap sebagai orang suci, yang perlu diperlakukan dengan istimewa.

Sejarah hukum diplomatik sendiri bermula pada masa zaman Mesir, India dan

Cina kuno. Pada saat itu sudah ditemukan beberapa bukti tentang adanya utusan

diplomatik dan konsuler yang memiliki berbagai fungsi dan keistimewaan. Pada tahun

1179 SM, sudah ada perjanjian perdamaian yang dibuat oleh Ramses II dari Mesir

dengan Hattusili II dari Kerajaan Kheta (Asia kecil) dengan menggunakan bahasa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

Akkadi atau Babylon. Raja Iskandar Agung juga pernah menjalin hubungan

diplomatik dengan Kerajaan Maurya di India.

Di saat yang bersamaan, beberapa duta besar dari Yunani ditempatkan atau

dipercayakan pada Raja Pataliputra. Kemudian, ada pula pertukaran utusan antara

Maharaja Ashoka dengan pemerintah di negara-negara lain, seperti Syria, Macedonia,

Cyprus dan juga Mesir. Kaidah-kaidah pokok hukum diplomatik dibentuk oleh

negara-negara seperti Romawi, Perancis, Yunani dan Turki. Selain itu kerajaan-

kerajaan di wilayah Indonesia juga telah sejak lama melakukan hubungan diplomatik

dan perdagangan dengan Cina, India dan negara-negara kawasan timur tengah

lainnya.

Sejarah hukum diplomatik kemudian bergulir dengan adanya perjanjian

Whesphalia, yang merupakan awal perkembangan hukum diplomatik, sebab sejak

saat itu pula perwakilan-perwakilan diplomatik kemudian bersifat permanen, utusan-

utusan diplomatik kemudian mulai diangkat, dikirimkan dan dipercayakan kepada

Negara lain. Sebelum didirikannya badan Perserikatan Bangsa-Bangsa perkembangan

kodifikasi hukum diplomatik tidak begitu pesat. Sejak Kongres Wina 1815, para

anggota diplomatik telah diberikan pengggolongan dan beberapa tata cara sementara

yang telah pula dibicarakan, namun tidak ada suatu usaha untuk merumuskan prinsip-

prinsip hukum diplomatik dalam suatu kodifikasi yang dapat diterima secara luas oleh

masyarakat internasional. Peraturan yang telah disetujui pada waktu itu oleh Kongres

hanyalah didasarkan oleh hukum kebiasaan internasional dan juga diambil dari

praktek-praktek yang kemudian diberlakukan di kalangan negara-negara.30

30
G.V.G. Krishnamurty, Modern Diplomacy, Dialectic and Dimensions, First Edition, Bhupender
Sagar, New Delhi, 1980, hal. 89

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

Adapun hasil dari Kongres Wina 1815 mengenai penggolongan kepala

perwakilan diplomatik sebagai berikut :

1) Duta-duta besar dan para utusan (ambassadors and legate),

2) Minister plenipoteniary dan envoys extraordinary, dan

3) Kuasa Usaha (charge d‟ affaires).

Kongres Wina tersebut pada dasarnya merupakan tonggak sejarah dalam

sejarah diplomasi baru, karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip

secara sistematik termasuk praktek-praktek atau cara-cara yang umum dibidang

diplomasi. Kongres Wina 1815 telah menetapkan tingkatan secara umum mengenai

penggolongan kepala-kepala perwakilan diplomatik secara mutakhir. Menurut

Protokol Wina, 19 Maret 1815:

“diplomatik agens are devided into there clases : that are ambassadors, legates, or

nuncios; that of envoys, ministers, or other persons accredited to sovereigns; that of

charges d‟ affaires accredited to ministers of foreign affairs”.31

Kemudian penggolongan itu diperluas lagi dalam Kongres Aix la Chapelle

pada tanggal 12 Nopember 1818 dimana telah ditetapkan lagi pangkat lainnya yaitu

“minister resident”, yang merupakan pangkat diantara “ministers” dan “charge d‟

affaires”. Sedangkan “Legates” dan “Nuncios” sebagaimana ditetapkan dalam

Protokol Wina merupakan wakil-wakil dari Pope.32

Usaha untuk mengadakan kodifikasi terhadap prinsip-prinsip diplomasi

selanjutnya dipandang cukup berarti adalah dalam tahun 1927, pada masa Liga

Bangsa-Bangsa. Sesuai dengan resolusi Dewan Liga Bangsa-Bangsa telah dibentuk

Komite Ahli untuk membahas perkembangan kodifikasi perkembangan Hukum

31
Pasal 6 Protokol
32
Satow, A Guide to Diplomatik Practice, 1979, hal. 162.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

Internasional dimana telah dilaporkan bahwa dalam subyek hukum diplomatik yang

meliputi dari cabang-cabang pergaulan diplomatik antar bangsa haruslah diatur secara

internasional. Dewan Liga Bangsa-Bangsa tidak menerima rekomendasi Komite Ahli

tersebut dan karena itu memutuskan untuk tidak memasukkan masalah yang sama

dalam agenda Konferensi Den Haag yang diadakan dalam tahun 1930 untuk

kodifikasi Hukum Internasional.

Sementara itu Konferensi Negara-Negara Amerika yang diadakan di Havana

tahun 1928 tidak saja telah menganggap bahwa masalah itu sangat penting, tetapi

setelah dibahas secara panjang lebar telah menetapkan dua konvensi, satu mengenai

Pejabat Diplomatk dan yang lainnya mengenai Pejabat Konsuler. Dua Konvensi itu

telah diratifikasi oleh 12 negara Amerika, dimana Amerika Serikat cenderung untuk

tidak meratifikasinya dengan alasan bahwa dicantumkannya ketentuan mengenai

pemberian suaka diplomatik dianggap tidak tepat dan dapat menimbulkan keberatan.

Namun demikian Konferensi Havana itu kemudian tidak saja dapat merintis tetapi

juga lebih dari itu telah berhasil untuk pertama kalinya dalam usaha mengadakan

kodifikasi Hukum Diplomatik.33

Setelah PBB didirkan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk

Komisi Hukum Internasional. 34 Selama tiga puluh tahun (1949-1979) komisi telah

menangani 27 topik dan sub topik Hukum Internasional, 7 diantaranya menyangkut

Hukum Diplomatik yaitu :

1) Pergaulan dan kekebalan diplomatik.

2) Pergaulan dan kekebalan konsuler.

33
Khrisnamurty, hal. 90
34
Pembentukan Komisis Hukum Internasional ini pada hakekatnya untuk memenuhi Pasal 13 ayat 1,
Piagam PBB yang antara lain “Majelis Umum diminta untuk memprakarsai studi-studi dan memberikan
rekomendasi dalam rangka mendorong perkembangan kemajuan internasional beserta kodifikasinya”.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

3) Misi-misi khusus.

4) Hubungan antar negara dengan organisasi internasional.

5) Masalah perlindungan dan tidak diganggu gugatnya para pejabat diplomatik

dan orang-orang lainnya yang berhak memperoleh perlindungan khusus

menurut Hukum Internasional.

6) Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang tidak diikutsertakan pada

kurir diplomatik.

7) Hubungan antar negara dengan organisasi internasional.

Dengan kegiatan komisi Hukum Internasional selama ini (khususnya dalam

rangka kodifikasi hukum diplomatik) telah banyak permasalahan yang menyangkut

hukum diplomatik antara lain adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur

pembentukan misi-misi diplomatik, konsuler, misi-misi khusus, pencegahan dan

penghukuman kejahatan terhadap orang-orang yang secara internasional perlu

dilindungi, termasuk para pejabat diplomatik dan lain sebagainya.

Sebagaimana tersebut diatas, Komisi Hukum Internasional bertujuan untuk

tidak saja meningkatkan pengembangan kemajuan hukum internasional, tetapi juga

kodifikasinya, termasuk didalamnya hukum diplomatik. Pengembangan kemajuan

hukum internasional diartikan sebagai “persiapan rancangan konvensi mengenai

masalah-masalah yang belum diatur oleh hukum internasional atau mengenai hukum

yang belum cukup berkembang dalam praktek negara-negara”. Sedangkan yang

diartikan dengan kodifikasi hukum internasional adalah “perumusan yang lebih tepat

dan sistematisasi dari peraturan hukum internasional di berbagai bidang yang sudah

secara luas menjadi praktek, teladan dan doktrin negara”.35

35
Pasal 15, Statuta Komisi Hukum Internasional

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

Rancangan-rancangan yang dihasilkan oleh Komisi Hukum Internasional itu

merupakan paduan antara kenyataan-kenyataan yang ada di dalam hukum

internasional (de lege-ferenda) dan saran untuk pengembangannya. Dalam praktek,

baik kodifikasi maupun pengembangan kemajuan pada hakekatnya saling

berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. 36 Jika rancangan tersebut

diperiksa oleh suatu konferensi internasional, biasanya mengalami perubahan yang

kadang-kadang perubahan itu bersifat substansial. Namun sebelumnya, rancangan itu

disampaikan kepada semua pemerintah negara anggota untuk memperoleh tanggapan

baik selama dibahas didalam Komisi Hukum Internasional maupun sebelum

disampaikan ke Majelis Umum PBB.

Catatan panjang sejarah hukum diplomatik adalah bukti keseriusan hubungan

antara negara-negara di tengah kehidupan masyarakat internasional. Karena adanya

beragam kepentingan antar negara, membuat peran diplomat amat diperlukan. Tentu

saja yang paling utama, para diplomat tersebut harus mau melindungi kepentingan

negara asalnya, khususnya para warga negaranya baik saat mereka di negeri sendiri

ataupun di negeri orang.

Jika membicarakan tentang sumber hukum diplomatik sama sekali tidak dapat

dilepaskan dari sumber hukum internasional, apalagi sebagaimana diuraikan terdahulu

bahwa hukum diplomatik pada hakekatnya merupakan bagian dari hukum

internasional. Bagaimana hukum diplomatik ini diciptakan, sedangkan tidak terdapat

batasan pembuat hukum bagi masyarakat internasional. Barangkali hanya Majelis

Umum PBB saja selama ini yang telah mengesahkan semua rancangan konvensi

36
N.A. Maryan Green, International Law, Law of Peace, Mac Donald & Evans Ltd, London, 1973, hal.
26-27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

mengenai peraturan-peraturan hukum diplomatik yang telah dikembangkan dan

dikodifikasikan oleh Komisi Hukum Internasional.

Dalam membahas sumber hukum diplomatik sebagaimana pembahasan

terhadap sumber-sumber dari setiap sistem hukum tidak dapat dipisahkan dari apa

yang tersebut dalam Pasal 38 dari Statuta Mahkamah Internasional, bahwa :

The Court, whose function is to decide in accordance with international law such

disputes as are submitted to it, shall apply :

1. International convention, whether general or particular, establishing rules

expressly recognize by the contesting states;

2. International custom, as evidence of a general practice accepted as law;

3. The general principles of law recognized by civilized nations;

4. Subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the teachings of

the most highly qualified publicists of the various nationa, as subsidiary

means for the determination or rules of law”

Konvensi internasional yang jga merupakan perjanjian dalam arti “umum”

(general) pada hakekatnya melibatkan banyak negara sebagai pihak karena itu lazim

disebut konvensi atau perjanjian yang bersifat multilateral. Sedangkan dalam arti

“tertentu” (particular) tidak lain merupakan konvensi atau perjanjian dimana hanya

beberapa negara yang menjadi pihak. Jika hanya terdiri dari dua pihak maka konvensi

itu bersifat bilateral seperti “Treaty of Extradition and Consular” antara Amerika

Serikat dan Sri Lanka.

Bagaimanakah hubungan antara konvensi atau perjanjian yang besifat

multilateral dengan yang bersifat bilateral seperti hubungan konsuler yang dilakukan

oleh Amerika Serikat dengan Sri Lanka tersebut dalam kaitannya dengan Konvensi

Wina tahun 1963 mengenai hubungan konsuler ?. Pembuatan perjanjian mengenai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

hubungan konsuler antar negara di luar perjanjian internasional mengenai masalah

yang sama dimungkinkan selama ketentuan-ketentuan yang disetujui itu hanya

bersifat penegasan, memperlengkapi dan memperluas ketentuan-ketentuan yang

sudah ada dalam Konvensi Wina 1963.37 Hal ini juga jelas tercermin di dalam Pasal

73 ayat 2 yang berbunyi :

“nothing in the present convention shall presclude States from concluding

international agreements confirming or supplementing or extending or amplifying the

provisions thereof”.

Konvensi atau perjanjian internasional, tidak sebagaimana dalam masa-masa

yang silam, sekarang secara umum telah dapat diterima sebagai sumber pokok dari

Hukum Internasional. Namun demikian banyak perjanjian khususnya yang dilakukan

secara bilateral tidak menciptakan satu peraturan umum dalam hukum internasional,

kecuali hanya bersifat pernyataan mengenai peraturan-peraturan yang sudah ada.

Dengan demikian hanyalah ada satu jenis khusus dari perjajian yang dapat

dianggap sebagai satu hukum internasional yaitu apa yang disebut perjanjian yang

menciptakan hukum (law making treaty), kecuali diadakan oleh sejumlah negara yang

bertindak atas kepentingan bersama juga ditujukan untuk menciptakan suatu peraturan

baru. Perjanjian tersebut kemudian diakui oleh negara-negara lainnya, baik melalui

langkah resmi menurut ketentuan dalam perjanjian tersebut seperti aksesi dan

ratifikasi. Negara-negara yang menolak secara khusus untuk menerima peraturan baru

37
“Consular Convention between Government of the United States of America and the Government of
the Union of Soviet Socialist Republic 1964” & “European Convention on Consular Function 1964” termasuk
“Optional Protocol” nya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

atau menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut biasanya tidak terikat oleh

peraturan, azas, maupun penafsiran yang dipermasalahkan.38

Lebih dari 150 tahun telah banyak dicapai perjanjian-perjanjian yang

menciptakan hukum. Khususnya dalam rangka hukum diplomatik adalah sebagai

berikut :

1. The Final Act of the Congress of Vienna (1815) on Diplomatik Ranks;

2. Vienna Convention on Diplomatik Realtions and Optional Protocols (1961),

termasuk didalamnya :

a. Vienna Convention of Diplomatik Relations;

b. Optional Protocol Concerning acquisition of Nationality;

c. Optional Protocol Concerning the Compuklsary Settlement of

Disputes.

3. Vienna Convention on Diplomatik Realtions and Optional Protocols (1963),

termasuk didalamnya :

a. Vienna Convention on Consular relations;

b. Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality;

c. Optional Protocol Concerning the Compulsary Settlemet of Disputes.

4. Convention on Special Missions and Optional Protocol (1969):

a. Convention on Special Missions;

b. Optional Protocol Concerning the Compulsary Settlement of Disputes.

5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against

Internationally Protected Person, including Diplomatik Agents (1973);

6. Vienna Convention on the Representation of State in Their Relations with

38
M.M. Whiteman, Digest of International Law, Vol. I, N.S. Government Printing Office, 1963-1973,
hal. 70-74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

International Organizations of a Universal Character (1975).

Disamping Konvensi-konvensi tersebut, adapula resolusi atau deklarasi yang

dikeluarkan terutama oleh Majelis Umum PBB yang menimbulkan permasalahan

apakah keduanya itu dapat dianggap mempunyai kewajiban-kewajigan hukum yang

mengikat. Secara tradisional resolusi atau deklarasi yang tidak memiliki sifat-sifat

seperti perjanjian haruslah dianggap tidak mempunyai kekuatan wajib, karena tidak

menciptakan hukum. Dilain pihak nampaknya kini berkembang adanya kecendrungan

“teori” dari kesepakatan sampai kepada konsensus yang menjadi dasar bagi negara-

negara untuk terikat pada kewajiban-kewajiban hukum.39

Adanya kekuatan yang mengikat bagi sesuatu resolusi memang masih belum

jelas batasannya. Persoalannya, apakah suatu resolusi yang disetujui secara mayoritas

negara anggotanya mempunyai kekuatan yang mengikat ?. Majelis umum bukanlah

suatu badan yang menciptakan hukum. Resolusi yang dihasilkan dengan jalan biasa

tidak akan menjadikan, merumuskan atau mengubah resolusi itu menjadi hukum

internasional baik secara maju atau surut.

Didalam hal-hal yang luar biasa dimana resolusi majelis umum PBB dapat

memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional, dapat dianggap

mempunyai kekuatan mengikat jika resolusi itu benar-benar memperoleh dukungan

secara universal atau jika nggota majelis Umum PBB mempunyai maksud untuk

menyatakan sebagai hukum dan jika isi resolusi itu tercermin di dalamnya kebiasaan-

kebiasaaan umum negara.40

39
Richard A. Falk, “On the Quasi-Legislative Competence of the General Assembly”, 60 American
Journal of International Law 1966, hal.782-791.
Jorge Castaneda, Legal Effects of United Nations Resolutions, New York: Columbia University Press, 1970).
Whitman, vol I, hal. 68-70.
40
72 American Journal of International Law (1978), hal. 377

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

41
Sebagai contoh dapat diambil resolusi 3166 (XXVIII) yang memuat

“Konvensi mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan-Kejahatan terhadap

Orang-Orang yang secara International dilindungi, termasuk Para Pejabat

Diplomatik:”. Demikian juga Resolusi 34/146 yang telah disetuji oleh Majelis Umum

PBB secara Konsensus pada tanggal 17 desember 1979 “Konvensi International

Untuk Melawan Penyanderaan” yang merupakan lampiran resolusi tersebut. Contoh

lain yaitu dalam hubungannya dengan letak markas besar PBB di New York, Majelis

Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 1947 telah pula menyetujui satu resolusi

tentang persetujuan antara PBB dan Amerika Serikat yang telah ditanda tangani

sebelumnya oleh Sekretaris Jenderal PBB George C. marshall pada tanggal 26 Juni

1947.42

Persetujuan maupun penerimaan suatu resolusi secara konsensus oleh semua

nggota majelis Umum PBB pada hakekatnya dapat merupakan suatu proses transisi

atau langkah pertama kearah terciptanya suatu aturan baru dalam hukum

konvensional, apalagi jika resolusi atau deklarasi itu menyangkut prinsip-prinsip

unum hukum internasional maka dapat mendorong perkembangan kemajuan hukum

internasional dan usaha kodifikasi aturan-aturan kebiasaan internasional.

Mengenai “kebiasaan internasional” sendiri sebagimana dinyatakan di dalam

Pasal 38 Statuta mahkamah Internasional dianggap sebagai kenyataan dari praktek-

praktek umum yang diterima sebagai hukum. Namun dasar hukum dari kebiasaan

internasional ini sebelumnya banyak menimbulkan pertentangan terutama bagi

negara-negara yang baru timbul. Pada waktu masalah ini diperdebatkan di Komisi

41
Resolusi tersebut telah disetujui secara konsensus oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 14
desember 1973, yang ketentuan-ketentuan didalamnya berhubungan erat dengan konvensi yang dilampirkan
padanya dan selalu akan dicantumkan keduanya.
42
Resolusi Majelis Umum PBB 169 (II)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

Hukum Internasional dan di Komite VI majelis Umum PBB terutama pada saat

merumuskan rancangan Pasal 24 Statuta Komisi Hukum Internasional telah disepakati

bersama bahwa :

“a general recognition among states a certain practice as obligatory”, the

emergence of a principle or rule costomary international law would seem to

require presence of the following elements :

1) concordant practice by a number of States with reference to a type of

situation falling within the domain of international relations;

2) continuation or repetation of the practice over the considerable period of

time;

3) conception that the practice is required buy, or consistent with, prevailing

international law; and

4) general acquiescence in the practice by other States.43

Disamping kebiasaan dan perjanjian yang keduanya dapat merupakan sumber

pokok dalam hukum diplomatik, masih ada sumber lainnya yang bersifat subsider

seperti prinsip-prinsip umum dalam hukum yang diakui oleh negara-negara dan

keputusan-keputusan mahkamah. Khusus mengenai keputusan mahkamah ini pada

hakekatnya tidak mempunyai kekuatan yang mengikat kecuali bagi pihak-phak

tertentu terhadap sesuatu kasus. Sebagai contoh 6 keputusan mahkamah International

pada tanggal 24 Mei 1980 mengenai kasus staf diplomatik dan konsuler di Teheran

yang anatara lain dengan perbandingan suara 13 menyetuji dan 2 menolak telah

memutuskan sebagai berikut :

... that the Islamic republic of Iran, by the conduct which the Court has set out

in this Judgment, has violated in several respects, and isi still violating,

43
Lihat Dokumen PBB (Majelis Umum) A/CN.4/16 (1950)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

obligations ownwd by it to the United States of America under international

conventions in force between the two countries, as well as under long

established rules of general international law;

C. Pengangkatan dan Penerimaan Perwakilan Diplomatik

Menurut ketentuan pasal 29 UU No.37/1999 tentang hubungan luar negeri,

Duta Besar adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden

selaku kepala negara. Hal ini dikarenakan Duta Besar merupakan wakil pribadi

presiden di suatu negara atau organisasi internasional. dalam hal pengangkatan

walapun presiden berperan mengangkat namun presiden juga mempertimbangkan

Dewan Perwakilan Rakyat. Bila penunjukan calon Duta Besar telah diputuskan maka

namanya akan dikirimkan kepada pemerintah negara penerima untuk mendapatkan

agreement. Permintaan agreement kepada pemerintah negara penerima dilakukan

secara konfidensial mengingat kemungkinan ditolaknya calon yang diajukan.

Dalam melakukan pertukaran diplomatik maupun konsuler, harus ada suatu

kesepakatan antara kedua belah pihak. Berdasarkan Pasal 2 Konvensi Wina 1961

yang di tuangkan dalam bentuk persetujuan bersama (joint agreement) dan

komunikasi bersama (joint declaration). Mematuhi prinsip – prinsip hukum

internasional yang berlaku, yaitu setiap negara dapat melakukan hubungan atau

pertukaran perwakilan diplomatik dan konsuler berdasarkan atas prinsip – prinsip

hubungan yang berlaku dan prinsip timbal balik (reciprocity).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

Kronologi pengangkatan perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler

adalah sebagai berikut :

1. Kedua belah pihak saling menukar informasi tentang akan dibukanya

perwakilan (pada umumnya di urus oleh Departemen Luar Negeri masing –

masing).

2. Mendapat persetujuan (demende, aggreration) dari negara yang menerima.

3. Diplomat yang akan di tempatkan menerima surat kepercayaan (lettre de

credance) yang di tandatangani oleh kepala negara pengirim.

4. Surat kepercayaan diserahkan kepada kepala negara penerima (lettre de

rapple) dalam suatu upacara dimana seorang diplomat tersebut berpidato.

Kepres RI bab V No.108 Tahun 2003 Tentang Kepegawaian, Pengangkatan,

Pemberhentian, dan Pendidikan. Bab ini terdiri dari pasal 12 – 17 yaitu :

• Pasal 12

Formasi kepegawaian pada Perwakilan ditetapkan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

• Pasal 13

Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh dan Wakil Tetap Republik

Indonesia pada Perwakilan Diplomatik dan Konsul Jenderal dan Konsul pada

Perwakilan Konsuler diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

• Pasal 14

Wakil Kepala Perwakilan Diplomatik dan Kuasa Usaha Tetap pada

Perwakilan Diplomatik diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Luar Negeri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

• Pasal 15

a. Pejabat Diplomatik dan Staf Non Diplomatik diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri Luar Negeri.

b. Atase Pertahanan, Atase Teknis, dan Staf Teknis diangkat dan diberhentikan

oleh Menteri Luar Negeri atas usul Pimpinan Departemen atau Pimpinan

Lembaga Pemerintah Non Departemen.

c. Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian dalam masa

tugas bagi Pejabat Diplomatik, Atase Pertahanan, Atase Teknis, Staf Non

Diplomatik, dan Staf Teknis diatur lebih lanjut oleh Menteri Luar Negeri.

• Pasal 16

Tata cara penerimaan, pendidikan dan pelatihan khusus diplomatik dan

konsuler serta pengaturan penugasan, pengembangan, dan pemberhentian Pejabat

Dinas Luar Negeri diatur lebih lanjut oleh Menteri Luar Negeri dengan

memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

• Pasal 17

Pembinaan karir dan jenjang kepangkatan pejabat Diplomatik dilakukan

melalui jabatan fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Pembinaan karir dan jenjang kepangkatan Atase Pertahanan, Atase Teknis,

dan Staf Teknis ditetapkan oleh masing-masing Departemen atau Lembaga

Pemerintah Non Departemen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Negara penerima berhak menolak seorang calon diplomat, apakah didasarkan

atas perilaku maupun kebijakan profesionalnya di masa lalu, memungkinkan apabila

calon diplomat mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda dengan negara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

penerima dan dalam hal ini calon diplomat dapat ditolak negara penerima. Alasan lain

apabila calon diplomat melakukan tindakan-tindakan maupun kegiatan-kegiatan yang

antinegara penerima. Bila calon diplomat ditolak, maka negara penerima tidak perlu

memberikan alasan penolakan secara resmi, namun hanyalah isyarat secara halus. Hal

ini dilakukan untuk menghindari menyinggung kehormatan negara pengirim.

Berikut beberapa contoh penolakan calon diplomat yang terjadi :

1) Penolakan Iran terhadap Walter Cutler sebagai calon Duta Besar Amerika

Serikat pada 1979, yang dituduh mencampuri urusan dalam negeri Zaire saat

bertugas di negara tersebut.

2) Penolakan Kuwait terhadap Brandon H.Grove, sebagai calon Duta Besar

Amerika Serikat pada Agustus 1983 karena sebelumnya bertugas di Israel

sebagai konsul jenderal di Jerusalem, kota yang dituntut Israel sebgai

ibukotanya.

3) Penolakan Australia terhadap H.B.L.Mantiri, sebagai calon Duta Besar

Indonesia, karena tragedi di Timor Timur akibat kasus yang menelan banyak

korban dan menurut pemerintahan Australia melakukan pelanggaran Hak

Asasi Manusia.

4) Pada 1968 Raja Faisal menarik agreement atas pengangkatan Sir Horace

Philip dari Inggris sebagai duta besar untuk Saudi Arabia dengan alasan dia

keturunan Yahudi.

5) Penolakan Yunani terhadap Mr. William Schaufele sebagai calon Duta Besar

Amerika Serikat pada 1977, hanya karena ucapannya pada debat pendapat di

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

Komite Luar Negeri Senat mengenai sengketa antara Yunani dan Turki

tentang Lat Aegean.44

44
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.
Bandung: PT. Alumni,2003 hal. 483.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

BAB III

HAK KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN PEJABAT

DIPLOMATIK

A. Teori Kekebalan Diplomatik

Pengertian Kekebalan Diplomatik adalah hal yang penting bagi wakil dari

Negara-negara dalam melakukan hubungannya dengan negara lain. Dalam melakukan

diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut. Agar wakil-wakil

negara tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik dan efisien, maka para wakil-

wakil negara dalam berdiplomasi tersebut diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan.

Sehubungan dengan itu terdapat 3 teori mengenai landasan hukum pemberian

kekebalan dan keisitimewaan diplomatik luar negeri, yaitu sebagai berikut :

1. Teori Ekstrateritorialitas (Exterritotiality Theory)

Menurut teori ini, seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak

meninggalkan negaranya, ia hanya berada diluar wilayah negara penerima, walaupun

pada kenyataannya ia sudah jelas berada diluar negeri sedang melaksanakan tugas-

tugasnya dinegara dimana ia ditempatkan. Demikian juga halnya gedung perwakilan,

jadi pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu disebabkan faktor

eksterritorialitas tersebut. Oleh karena itu, seorang diplomat itu dianggap tetap berada

dinegaranya sendiri, ia tidak tunduk pada hukum negara penerima dan tidak dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

dikuasai oleh negara penerima. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik tersebut

adalah dikuasai oleh hukum dari negara pengirim. 45

Dalam praktiknya, teori eksterritorialitas sangat berat untuk diterima karena

dianggap tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan atas suatu fiksi dan bukan realita

yang sebenarnya.46 Jadi, teori eksterritorialitas dalam arti, seorang wakil diplomatik

dianggap tetap berada di wilayah negaranya sendiri. 47 Teori ini didalam kehidupan

sangat sullit diterapkan, dan mayoritas ahli hukum menyangkal kebenarannya.

Kejanggalan teori tersebut dapat disimak dalam ilustrasi berikut :48

1) Seorang diplomat dalam kesehariannya sulit memaksakan diri untuk

melaksanakan ketentuan hukum negara pengirim di negara penerima,

misalnya diplomat Indonesia tidak dapat mengendarai mobil pribadi pada

jalan raya untuk jalur dua arah di negara Saudi Arabia dengan menerapkan

peraturan lalu lintas Indonesia. Apabila diplomat Indonesia mengemudikan

kendaraan di jalan lajur sebelah kiri maka pasti bertabrakan dengan

pengendara lain, karena di Saudi Arabia pengguna jalan raya harus

mengendarai kendaraan pada lajur sebelah kanan.

2) Apabila terdapat anggapan bahwa kantor perwakilan diplomatik beserta

tempat tinggal diplomat dianggap berada diwilayah negara pengirim, para

diplomat setiap bulan atau setiap tahun wajib membayar berbagai pajak dan

iuran (misalnya pajak bumi dan bangunan, retribusi pengelolaan sampah),

padahal dalam praktik mereka tidak melakukan kewajiban tersebut. Andaikata

45
Sigit Fahrudin, Hak istimewa Dan Kekebalan Diplomatik, sumber:
http://mukahukum.blogspot.com/2009/04/hak-istimewa-dan-kekebalan-diplomatik.html., diakses pada 23 Januari
2017
46
Edy Suryono, dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya,
Bandung, Angkasa, 1991. Halaman: 31
47
Syahmin, Op.Cit., hlm. 117
48
Widodo, Op.Cit., hlm. 117-118

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

mereka harus membayar, negara pengirim harus membuka dinas-dinas terkait

dinegara diplomat. Meskipun demikian bukan berarti kantor kedutaan terbebas

dari pembayaran biaya, karena dalam praktik ada beberapa rekening kantor

kedutaan dan rumah kediaman resmi diplomat yang wajib dibayar pihak

kedutaan asing kepada negara penerima, misalnya rekening telepon, air, dan

listrik.

3) Andaikata para diplomat dianggap tinggal dinegara pengirim maka tidak perlu

memperoleh kekebalan dan keistimewaan mutlak pada warga negaranya

sendiri diwilayahnya.

2. Teori Diplomat sebagai wakil negara berdaulat atau wakil kepala negara

(Representative Character)

Teori ini mengajarkan bahwa baik pejabat diplomatik maupun perwakilan

diplomatik, mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas itulah

pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan

kepada pejabat-pejabat diplomatik asing juga berarti bahwa negara penerima

menghormati negara pengirim, kebesaran dan kedaulatan serta kepala negaranya.

Teori ini berasal dari era kerjaan masa lalu dimana negara penerima

memberikan semua hak, kebebasan, dan perlindungan kepada utusan-utusan raja

sebagai penghormatan terhadap raja itu sendiri. Namun seperti halnya dengan teori

eksterritorialitas, pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik ini tidak

mempunyai batas yang jelas dan menimbulkan kebingungan hukum. 49

Teori ini sulit juga diterapkan Karena sampai saat ini orang yang mendapat

kekebalan diplomatik bukan hanya diplomat, tetapi termasuk anggota keluarga

49
Syahmin, Op.Cit., Halaman: 118

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

diplomat yang membentuk rumah tangganya dan tinggal di negara penerima, padahal

bukan berstatus diplomat yang mewakili negara pengirim. Dalam praktik juga sulit

dibedakan antara perbuatan seorang diplomat dalam kapasitasnya sebagai wakil

negara atau wakil kepala negara, dengan perbuatan diplomat dalam kapasitasnya

sebagai pribadi. Padahal menurut hukum diplomatik seluruh perbuatan diplomat baik

perbuatan atas nama negara maupun atas nama pribadi memperoleh kekebalan dan

keistimewaan.50

3. Teori kebutuhan fungsional

Teori ini mengajarkan bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan

diplomatik dan misi diplomatik hanya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan fungsional

agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnnya dengan baik dan

lancar. Dengan memberikan tekanan pada kepentingan fungsi, terbuka jalan bagi

pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan sehingga dapat diciptakan

keseimbangan antara kebutuhan negara pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori

ini kemudian didukung untuk menjadi ketentuan dalam Konvensi Wina 1961.

Dalam muadimah Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik

dirumuskan “...that the purpose of such privilages and immunities is not to benefit

individuals but to ensure the efficient performance of the function of diplomatik

missions as representing states.” Artinya, bahwa tujuan pemberian kekebalan dan

keistimewaan tersebut bukan untuk meenguntungkan orang perseorangan, tetapi

untuk menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-fungsi missi diplomatik sebagai

wakil dari negara.

Maka dari itu, jelaslah bahwa landasan yuridis pemberian semua kemudahan,

hak-hak istimewa dan kekebalan yang diberikan kepada para agen diplomatik asing di

50
Widodo, Op.Cit., Halaman : 119

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

suatu negara adalah untuk memperlancar atau memudahkan pelaksanaan kegiatan-

kegiatan para pejabat diplomatik dan bukan atas pertimbangan-pertimbangan lain.51

B. Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Diplomatik

Dalam abad ke 16- dan 17 pada waktu pertukaran duta-duta besar secara

permanen antarnegara-negara di Eropa, sudah mulai menjadi umum, kekebalan dan

keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan bahkan

telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti bahwa

seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan atau penghianatan melawan

kedaulatan negara penerima. Seorang duta besar dapat diusir, tetapi tidak dapat

ditangkap dan diadili.52

Kekebalan duta besar dari yurisdiksi pidana di negara penerima telah mulai

dilakukan oleh banyak negara dalam abad ke-17 sebagai kebiasaan internasional.

Kemudian pada pertengahan abad ke-18 aturan-aturan kebiasaan hukum internasional

mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan, termasuk

harta milik, gedung dan komunikasi para diplomat.

1) Kekebalan Pejabat Missi Diplomatik

Bahwa didalam istilah kekebalan terkandung dua pengertian, yaitu kekebalan

(immunity), dan tidak dapat diganggugugat atau inviolabilitas (Inviolability) adalah

kekebalan diplomat terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan

terhadap segala gangguan yang merugikan. Sedangkan immunity diartikan sebagai

kekebalan terhadap Juridiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun

hukum perdata.

51
Syahmin, Op.Cit. Halaman: 118
52
Hans Kelsen , Principles of Internatioonal Law, New York, 1952. Halaman: 97

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

1. Kekebalan pribadi

Ketentuan-ketentuan yang bermaksud melindungi diri pribadi seorang wakill

diplomatik atau kekebalan-kekebalan memngenai diri pribadi seorang wakil

diplomatik diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “the Person

of a diplomatik agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrest

or detention. The receiving state shall terat him with due respect and shall tahe all

propriate steps to prevent ant attack on his person, freedom or dignity”.53 Berarti

bahwa pejabat diplomatik adalah inviolable. Ia tidak dapat ditangkap dan ditahan.

Jadi, sesuai dengan pengertian inviolabilitiy sebagai kekebalan terhadap alat-

alat kekuasaan dari negara penerima, maka pejabat diplomatik atau seorang wakil

diplomatik mempunyai hak untuk tidak dapat dikenakan tindakan kekuasaan oleh

alat-alat kekuasaan negara penerima yaitu misalnya berupa penahanan dan

penangkapan.

a. Yurisdiksi Pidana

Kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan pidana yang dapat dinikmati oleh

para pejabat diplomatik ditentukan didalam Konvensi Wina 1961 sebagai berikut:

“seorang pejabat diplomatik kebal dari yurisdiksi pidana negara penerima” 54 (Pasal 31

ayat 1 Konvensi Wina 1961)

Apabila seorang pejabat diplomatik membuat kesalahan yang dapat

mengganggu keamanan atau ketertiban dalam negeri atau turut dalam suatu

komplotan yang ditujukan kepada negara penerima, maka untuk menjaga agar

tindakan-tindakannya itu tidak akan membawa akibat yang tidak diinginkan, negara

penerima untuk sementara dapat menahan, walaupun kemudian ia masih harus

53
Konvensi Wina 1961
54
Article 31 Konvensi Wina 1961

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

dikirim pulang kembali ke negrinya. Dan menurut hukum kebiasaan internasional

bahwa negara penerima tidak mempunyai hak, dalam keadaan yang menuntut dan

menghukum seorang pejabat diplomatik.55

b. Yurisdiksi Perdata dan Administrasi

Hukum kebiasaan internasional tidak saja memberikan kekebalan dari

yurisdiksi pidana dari negara penerima, tetapi juga para pejabat diplomatik kebal dari

yurisdiksi perdata dan administrasi. Ketentuan yang mengatur adanya kekebalan

seorang pejabat diplomatik dari yurisdiksi perdata atau sipil, terdapat dalam ketentuan

pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961, sebagai berikut: “he shall also enjoy immunity

from its civil and administrative jurisdiction”.

Tuntutan perdata dan administrasi dalam bentuk apapun tidak dapat dilakukan

terhadap seorang pejabat diplomatik dan tidak ada tindakan atau eksekusi apapun

yang berhubungnan dengan hutang-hutang dan lain-lainnya yang serupa dapat

diajukan terhadap para pejabat diplomatik didepan pengadian perdata atau pengadilan

administrasi negara penerima.56

2. Kekebalan Keluarga seorang Wakil Diplomatik

Kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa yang diberikan pada seorang

wakil diplomatik tidaklah berbatas pada diri pribadi saja melainkan juga anggota-

anggota keluarganya turut pula menikmati kekebalan dan hak-hak istimewa tersebut.

Ketentuan mengenai kekebalan keluarga pejabat diplomatik terdapat dalam

Pasal 37 ayat (1) Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “the members of family of a

diplomatik agent forming part of his household shall, if they are not nationals of the

55
Edy Suryono, Op.Cit, Halaman : 47-48
56
Ibid. Halaman : 49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

receiving state, enjoy the privileges and immunities specifies in article 29 to 36”.

Yang artinya anggota keluarga dari seorang wakil diplomatik yang merupakan bagian

dari rumah tangganya, yang bukan berwarganegara penerima akan meikmati hak-hak

istimewa dan kekebalan sebagaimana diatur dalam pasal 29 sampai 36.57

Dengan demikian agar seorang dapat dianggap sebagai anggota keluarga

pejabat diplomatik, maka tidak hanya adanya sesuatu hubungan darah atau

perkawinan yang mencantumkan kedudukan anggota keluarganya, tetapi ia harus

bertempat tinggal bersama pejabat diplomatik atau merupakan bagian dari rumah

tangganya dan bahkan pula bukan berwarganegara Negara penerima. Keluarga

pejabat diplomatik yang dapat menerima kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini,

termasuk pula pelayanan-pelayanan perwakilan dan pelayan rumah tangga.

3. Kekebalan dari Kewajiban menjadi Saksi

Dalam pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuaan yang

berbunyi sebagai berikut. “a diplomatik agent is not obliged to give as a withness”

maka seeorang wakil diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk menjadi saksi di muka

pengadilan negara setempat, baik yang menyangkut perkara perdata maupun

menyangkut perkara pidana, dan administasi.58

Seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksanakan untuk bertindak sebagai

seorang saksi dan untuk memberikaan kesaksiannya di depan pengadilan, hal mana

termasuk pula anggota keluarga dan pengikut-pengikutnya, juga tidak dapat dipaksa

untuk bertindak sebagai saksi didepan pengadilan.

57
Ayunika, Op.Cit, Halaman :73
58
Edy, Suryono, Op.Cit. Halaman : 51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

Kemungkinan yang terjadi dalam hubungannya dengan persolan kekebalan

seorang wakil diplomatik dari kewajiban untuk menjadi saksi wakil diplomatik

tersebut secara sukarela (voluntarily) memberikan kesaksiannya didepan peradilan

atas perintah dan persetujuan dari pemerintahnya.

4. Kekebalan Korespondensi

Kekebalan korespondensi adalah kekebalan dari pihak perwakilan asing

sesuatu negara yaitu pejabat diplomatiknya untuk mengadakan komunikasi dengan

bebas guna kepentingan tujuan-tujuan resmi atau official purposes dari perwakilan

asing tersebut, tanpa mendapat halangan yang berupa tindakan pemeriksaan atau

tindakan penggeledahan yang dilakukan oleh negara-negara lainnya.

Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi

perwakilan asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak untuk

berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan

surat-menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubunngan komunikasi.

Hubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik tersebut dengan

pemerintahnya sendiri, dengan pemerintah negara penerima, maupun dengan

perwakilan diplomatik asing lainnya. 59

Selanjutnya di dalam pasal 27 ayat 2 Konvensi Wina 1961 ditetapkan bahwa

korespondansi didalam arti yang luas atau resmi adalah dinyatakan kebal atau tidak

dapat diganggu gugat. Tetapi harus dingat bahwa kebebasan hubungan komunikasi

tersebut haruslah dijalankan didalam hubungan yang resmi dan berkaitan dengan misi

perwakilan dan fungsinya.

59 Ayunika, Op.cit, Halaman: 78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

5. Kekebalan Kantor perwakilan Asing dan tempat kediaman seorang Wakil

Diplomatik

Dalam Konvensi Wina 1961 telah dicantumkan mengenai pengakuan secara

universal tentang kekebalan diplomatik yang meliputi tempat kediaman dan tempat

kerja atau kantor perwakilan pejabat diplomatik. Secara jelas terdapat di dalam pasal

22 dan 30 Konvensi Wina 1961. Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas

kantor perwakilan dan tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina

1961. Namun, hak kekebalan disini diartikan sebagai suatu hak dari gedung

perwakilan atau tempat kerja dan tempat kediaman seorang pejabat diplomatik utnuk

mendapatkan perlindungan special dari negara penerima, gedung perwakilan dan

tempat kediaman dari pejabat diplomatik dinyatakan tidak dapat diganggu gugat atau

inviolable.60

6. Kekebalan para Pejabat Diplomatik pada waktu Transit

Secara substansial kekebalan para pejabat diplomatik in transit biasanya

diberikan. Masalah itu sebelumnya tidak diberikan namun beberapa negara seperti

Belanda dan Perancis telah meneytujui untuk memasukkan ketentuan-ketentuan

dalam perundang-undangan masing-masing mengenai perlakuan para diplomat yang

ditempatkan di negara tersebut.

Didalam Konvensi Wina 1961 telah mengambil pendekatan Fungsional secara

tegas dalam memberikan hak kekebalan dan keistimewaan bagi pada diplomat yang

berpergian melalui negara ketiga baik menuju atau dari posnya. Negara ketiga hanya

wajib memberikan hak tidak diganggu gugatnya dan kekebalan-kekebalan lainnya

yang diperlukan dalam rangka menjamin perjalanan diplomat itu dalam transit atau

60 Widodo, Op.Cit. Halaman: 125

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

kembali. Hak-hak yang sama juga diperlukan dalam hal anggota keluarga diplomat

yang menyertainya atau kepergian secara terpisah untuk bergabung dengannya atau

dalam perjalanan kembali ke negaranya. Para diplomat beserta anggota keluarganya

yang dalam perjalanan transit juga memperoleh perlindungan khusus dan bebas dari

penahanan sesuai dengan haknya yang tidak dapat diganggu-gugat, tetapi dapat pula

kepada mereka diadakan tuntutan terhadap perkara perdata dengan ketentuan bahwa

tuntutan ini tidak melibatkan penahana mereka dan mereka tidak mempunyai

keistimewaan seperti bebas dari pemeriksaan koper milik mereka.61

7. Perjalanan Karena Force Majeure

Seorang diplomat diberikan kekebalan terbatas semacam itu tanpa melihat

hubungan antara penerima dan pengirim di satu pihak dan negara ketiga di lain pihak.

Kewajiban-kewajiban di dalam ketentuan Konvensi Wina 1961 tersebut dapat

diterapkan bahwa dalam hal diplomat itu terpaksa harus transit karena force majeure

antara lain adanya pesawat yang dipaksakam harus mendarat dinegara ketiga. Dalam

kasus R.v. Governer of Pentoville Prison pada tahun 1971. Pengadilan di inggris

menolak untuk memberikan kekebalan terhadap proses ekstradisi kepada seorang

mata-mata dari Costa Rica yang bernama Dr. Teja, pemegang paspor diplomatik,

dimana ia tidak ditempatkan atau tidak menjadi tamu pemerintah sesuatu negara.

Penting pula bahwa diplomat harus diangkat oleh pemerintahnya yang

pengangkatannya juga diakui oleh negara ketiga. 62

61 Edy Suryono, Op.Cit, Halaman: 70


62 Ibid. Halaman: 73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

2) Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik

Pengertian keistimewaan adalah berbagai hak istimewa privilege yang

melekat pada perwakilan diplomatik (sebagai institusi) dan anggota misi (sebagai

individu) di negara penerima.63

1. Pembebasan Pajak

Keistimewaan pembebasan pajak-pajak ini dapat dinikmati oleh pejabat

diplomatik beserta keluarganya, staf administrasi dan teknik, staf pelayanan,

pembantu-pembantu rumah tangga berdasarkan daftar yang diserahkan kepada

kementerian luar negeri setempat. Pada umumnya keistimewaan dalam perpajakan ini

meliputi pembebasan pajak-pajak langsung, pajak penghasilan, pajak atas barang

pribadi bergerak seperti kendaraan bermotor, perabot, bagasi dan sebagainya. 64

Dalam Konvensi Wina 1961 dikatakan bahwa, seorang pejabat diplomatik

akan dibebaskan dari semua pajak pribadi baik regional, nasional kecuali:

1) Pajak tidak langsung, sehingga tak berlaku pada pembelian barang di toko

umum yang pajak penjualannya telah diperhitungkan didalamnya.

2) Pajak atas barang-barang yang tidak bergerak yang terletak didalam daerah

negara penerima, misalnya rumah, tanah, kecuali yang dikuasai oleh

pejabat-pejabat diplomatik tersebut atas nama negara pengirim untuk

keperluan dan maksud yang resmi dari misi perwakilan.

3) Pajak untuk jasa-jasa pelayanan yang diberikan.

4) Registrasi, pembayaran pengafilan, hipotek, pajak perangko sehubungan

dengan barang-barang bergerak.

63 Wasito, Konvensi-Konvensi Wina, Andi Offset, Yogyakarta, 1999, Halaman: 5


64 Ibid. Halaman: 64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

2. Pembebasan dari Bea Cukai dan Bagasi

Pada umumnya pembebasan bea cukai dan bagasi ini meliputi barang-barang

yang diimpor untuk keperluan perwakilan diplomatik dan keperluan rumah tangga

para pejabat diplomatik. Dalam hubungan ini pula bagasi-bagasi milik para pejabat

diplomatik bebas dari pemeriksaan petugas-petugas doane.

Pembebasan bea cukai dan bagasi ini diakui pula dalam Konvensi Wina 1961,

yang memberikan pembebasan bea cukai dan bagasi, baik bea masuk maupun bea

keluar dari pajak-pajak lainnya yang mempunyai hubungan dnegan itu, tanpa

memasukkan biaya penyimpangan atau pajak yang ada hubungannya dengan

pelayangan terhadap:65

• Barang-barang keperluan dinas perwakilan diplomatik

• Barang-barang untuk keperluan pribadi dari pejabat diplomatik atau anggota

keluarganya sebagai barang keperluan rumah tangga, termasuk barang-barang

yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga.

3. Pembebasan dari Kewajiban Keamanan Sosial

Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial dimaksudkan bahwa para

pejabat diplomatik bebas daripada ketentuan kewajiban kemanan sosial yang mungkin

berlaku di dalam negara penerima, seperti kewajiban siskamling, jaga malam dan lain

lain. Pembebasan demikian juga berlaku untuk pelayan-pelayan pribadi yang turut

serta didalam melayani kepentingan seorang pejabat diplomatik.66

4. Pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer.

Pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer disini

dijamin oleh Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa negara penerima harus

65 Ibid. Halaman: 65
66 Ibid. Halaman: 66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

memmbebaskan para pejabat diplomatik dari semua pelayanan pribadi, pelayanan

umum macam apapun dan dari kewajiban militer seperti yang berhubungan dengan

pengambilalihan, sumbangan militer.67

5. Pembebasan dari kewarganegaraan

Dalam protokol opsional Konvensi Wina 1961 mengenai hal memperoleh

kewarganegaraan mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan diplomatik yang

bukan warga negara Negara penerima dan keluarganya tidak akan memperoleh

kewarganegaraan Negara penerima tersebut semata-mata karena berlakunya hukum

negara penerima tersebut.

Dengan demikian terhadap kelahiran anak seorang pejabat diplomatik

dinegara penerima maka anak tersebut tidak akan memperoleh kewarganegaraan

negara penerima yang semata-mata karena berlakunya negara penerima, anak tersebut

tetap mengikuti kewarganegaraann orang tuanya.68

C. Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

1. Mulai dinikmatinya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

Kekebalan dan Keistimewaan pejabat missi diplomatik ini mulai berlaku sejak

mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses menempati pos

kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya, atau jika sebelum diangkat oleh

negara pengirim untuk menduduki jabatan diplomatik tertentu mereka telah

berkedudukan di negara penerima maka awal berlakunya kekebalan hukum dan hak-

hak istimewa diplomatik dianggap telah ada sejak mereka diangkat oleh negara

pengirim atau dapat dikatakan pula sejak calon diplomat mendapatkan letter of

67 Ibid. Halaman: 67
68 Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

credentials dari pemerintahnya maka hak kekebalan dan keistimewaan pejabat missi

diplomatik sudah dapat diberikan kepada calon diplomat tersebut. Pengangkatan

pejabat tersebut harus diberitahukan oleh negara pengirim kepada negara penerima

melalui kementrian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang ditunjuk.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Konvensi Wina 1961 secara jelas

berbunyi “Setiap orang yang berhak akan kekebalan hukum dan hak-hak istimewa

akan mendapatnya sejak saat ia memasuki wilayah Negara penerima dalam proses

menempati posnya, atau jika ia sudah di dalam wilayahnya, sejak saat

pengangkatannya itu diberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri atau

kementerian lainnya yang disetujui.”

Adapun maksudnya adalah, setiap orang berhak atas hak istimewa dan

menikmati kekebalan (immunities) dari saat dia memasuki wilayah negara penerima

dan melanjutkan untuk mengambil pos itu, atau jika sudah dalam wilayah, dari saat

ketika itu adalah janji diberitahukan kepada Departemen Luar Negeri lain atau

departemen yang akan disepakati. Hak istimewa dan kekebalan diplomatik akan tetap

berlangsung sampai diplomat mempunyai waktu sepantasnya menjelang

keberangkatannya setelah menyelesaikan tugasnya di suatu negara penerima.

Ketentuan mengenai awal dinikmatinya kekebalan dan keistimewaan

diplomatik bagi orang-orang yang berhak menikmati ini sesuai dengan ketentuan

Pasal 22 Konvensi Havana tahun 1928 tentang Diplomatik Officer Pasal 14

menyebutkan petugas diplomatik harus terhormat untuk orang-orang mereka, tempat

tinggal mereka, swasta atau pejabat, dan harta benda mereka. Diganggu gugat ini

meliputi:

a. Semua kelas petugas diplomatik;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

b. Seluruh personil resmi misi diplomatik;

c. Para anggota keluarga masing-hidup di bawah atap yang sama;

d. Kertas, arsip dan korespondensi misi.

Serta pada Pasal 22 Konvensi Havana tahun 1928 tentang kapan hak

diplomatik officer dapat dinikmati “Petugas diplomatik dapat kenikmatan kekebalan

mereka dari saat mereka melewati perbatasan negara di mana mereka akan menjalani

misinya dan dimana posisi mereka telah diketahui. Hak kekebalan akan terus ada

selama periode misi dan bahkan setelah itu akan dihentikan, untuk waktu yang

diperlukan bagi petugas diplomasi dalam misi. Sehingga dapat dikatakan bahwa

keistimewaan dan kekebalan diplomatik berlaku sejak diplomat memasuki wilayah

negara penerima dalam rangka melaksanakan fungsi resminya. Dengan diberlakukan

pemberitahuan terlebih dahulu terhadap negara penerima.69

2. Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

Pada Pasal 39 ayat (2) menegaskan, jika fungsi-fungsi dari orang-orang yang

memperoleh kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu berakhir maka kekebalan

dan keistimewaan yang melekat padanya secara normal akan berakhir, yaitu pada saat

ia meninggalkan negara penerima, atau pada saat berakhirnya suatu periode yang

layak, akan tetapi kekebalan dan keistimewaan akan terus ada sampai saat

berakhirnya periode yang dimaksud tersebut, bahkan dalam hal terjadinya konflik

bersenjata antara negara penerima dengan negara pengirim pun kekebalan dan

keistimewaan tetap ada.

Namun, atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut

dalam rangka pelaksanaan fungsinya sebagai seorang anggota misi, kekebalan dan

69 Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

keistimewaannya akan terus disandang. Untuk menentukan berapa lama rentang

waktu yang dianggap sebagai suatu periode yang layak sangat sulit karena Konvensi

Wina sendiri tidak menjelaskan kuantitasnya, karena itu untuk menentukan lamanya

waktu berdasarkan kesepakatan negara terkait, dan pemberian waktu tersebut

didasarkan pada kebiasaan serta sopan santun internasional. Lalu berakhirnya hak

tersebut dapat juga diakibatkan atas penanggalan hak kekebalan dan keistimewaan

oleh negara pengirim.

Menurut Pasal 32 ayat (1), kekebalan dan keistimewaan harus ditanggalkan

oleh negara penerima. Penanggalan atas hak tersebut harus dilakukan secara tegas

(Pasal 32 ayat (2)). Kekebalan dan keistimewaan diplomatik bersumber pada hukum

internasional sehingga yang mempunyai hak untuk memberi dan menanggalkannya

adalah subjek hukum internasional, sehingga dalam konteks ini subjek hukum

internasional adalah negara, bukan diplomat karena posisi diplomat dalam hal ini

sebagai alat negara, bukan individu.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa kekebalan dan hak-hak istimewa kepala

perwakilan, penanggalan dapat dilakukan oleh kepala negara pengirim melalui

menteri luar negeri, karena untuk pengurusan perwakilan diplomatik ini kepala negara

telah mempercayakan pada menteri luar negeri. Sedangkan yang memutuskan apakah

penanggalan kekebalan dan keistimewaan diplomatik atas kepala perwakilan tersebut,

tetap berada pada kewenangan kepala negara berdasar pada kewenangan kepala

negara berdasar pada pengaduan negara penerima dan pertimbangan-pertimbangan

yang diberikan oleh menteri luar negeri negara pengirim dan mungkin berdasarkan

saran dan pendapat anggota parlemen negara terkait.70

70 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

BAB IV

PENYELESAIAN KASUS PENYALAHGUNAAN WEWENANG

OLEH PEJABAT DIPLOMATIK

A. Latar Belakang Kasus Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pejabat

Diplomatik Arab Saudi di Jerman Kepada Tenaga Kerja Indonesia

Kasus penyalahgunaan hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik

terjadi di Jerman pada bulan April tahun 2009. Seorang Tenaga Kerja Indonesia

bekerja pada seorang Pejabat Diplomat Arab Saudi dan ia akan dibawa ke Berlin. Ia

menandatangani perjanjian kerja yang mengatur upah minimal pembantu rumah

tangga bagi diplomat di Jerman, yaitu 750 (tujuh ratus lima puluh) Euro sebulan

untuk 40 (empat puluh) jam kerja perminggu, sekitar 6 (enam) jam perhari, dan cuti

tahunan selama satu bulan. Keluarga diplomat tersebut hanya membayar upahnya

sekali, yaitu sebesar 150 (seratus lima puluh) Euro (Rp 1,8 juta) saat Ramadhan.

Tenaga kerja asal Indonesia tersebut bekerja bagi ketujuh anggota keluarga

diplomat, dari pukul 06.00 pagi sampai larut malam, dalam tujuh hari dalam

seminggu. Ia bekerja untuk membersihkan rumah, memasak, melayani keperluan istri

diplomat yang lumpuh, melayani anak-anaknya termasuk membukakan sepatu

mereka, dan tidur di atas lantai.

Pelayan pribadi diplomat tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak

semestinya dari keluarga diplomat tersebut, seperti paspornya yang disita, gajinya tak

dibayar, ia tak boleh meninggalkan rumah, tidak boleh menghubungi keluarga,

bahkan ia sering mendapatkan pukulan dan hinaan dari keluarga Diplomat Arab Saudi

tersebut. Kemudian ia meminta bantuan pada organisasi Hak Asasi Manusia yaitu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

Organisasi Ban Ying yang merupakan organisasi perlindungan pekerja perempuan di

Jerman dan berhasil menyelamatkan diri dari apa yang telah dialaminya sekitar 19

(sembilan belas) bulan pada Oktober 2010.

Organisasi Ban Ying, aktivis buruh dan perempuan Heide Pfarr serta

pengacara Klaus Bertelsmann mengajukan kasus pelayan pribadi Diplomat Arab

Saudi ke pengadilan tenaga kerja di Berlin, dengan tuntutan gaji, uang lembur dan

uang ganti rugi total 70.000 (tujuh puluh ribu) Euro, sekitar 840 (delapan ratus empat

puluh) juta rupiah.

Selain itu diajukan tuntutan karena melakukan eksploitasi tenaga kerja. Pada

tanggal 14 (empat belas) bulan Juni tahun 2011, Pengadilan Tenaga Kerja Jerman

memutuskan menolak tuntutan itu, dengan alasan kekebalan hukum diplomatik si

majikan. Dewi Ratnasari, nama samaran dari pelayan pribadi Diplomat Arab Saudi

yang juga digunakan dalam pengaduan, sudah kembali ke tanah air, tetapi tuntutannya

ke pengadilan berjalan terus, ia percayakan kepada aktivis buruh dan perempuan

Heide Pfarr.

Diplomat Arab Saudi di Jerman yang telah melakukan penyiksaan terhadap

Dewi Ratnasari memang mempunyai kekebalan atas rumah kediamannya beserta

keluarganya (Konvensi Wina Tahun 1961 Pasal 29,30,31,37). Namun, dalam hal ini

diplomat tersebut telah melakukan pelanggaran HAM atas pelayan pribadi (private

servant). Dalam hal ini maka yang dapat dilakukan adalah mengembailkan diplomat

tersebut ke negaranya (Arab Saudi). Ketentuan selanjutnya adalah tergantung

kebijakan dari Negara Arab Saudi tersebut, bisa diadili di negaranya sendiri ataupun

di Negara Jerman. Akan tetapi biasanya setelah dikembalikan di negaranya, maka

yang berwenang untuk mengadili adalah pengadilan Arab Saudi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

B. Kebijakan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi terhadap Tindak

Pidana yang dilakukan Diplomatnya

Pemerintah Arab Saudi selaku Negara pengirim diplomatiknya wajib

bertanggungjawab pada Negara Jerman. Hal tersebut dikarenakan Negara Arab Saudi

memenuhi unsur-unsur timbulnya pertanggungjawaban negara, dimana tindakan

organ Negara dalam kapasitas resmi jabatanya (dalam hal ini pejabat diplomatik asal

Arab Saudi) telah melakukan tindakan yang tidak sesuai hukum nasional dan

internasional yakni yang tertuang dalam Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang

Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, pejabat

diplomatik asal Arab Saudi itu telah melanggar pasal-pasal yang berisi pemenuhan

hak yang dimiliki dan wajib diberikan kepada buruh migran (termasuk tenaga kerja

wanita asal Indonesia). Pasal-pasal itu antara lain:

a. Pasal 10 Konvensi Internasional Tahun 1990, yang berbunyi “ Tidak

seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya akan mengalami

penyiksaan atau kekejaman, tidak manusiawi atau merendahkan martabat atau

hukuman ”. Kaitanya pasal ini dengan kasus penganiayaan dan pelanggaran

HAM yang dilakukan oleh pejabat diplomatik asal Arab Saudi terhadap TKW

Indonesia di Jerman ialah, TKW tersebut mendapat siksaan berupa pukulan

dengan tangan maupun tongkat oleh majikannya yang merupakan seorang

pejabat diplomatic asal Arab Saudi, TKW itu dilempar botol parfum yang

melukai kepalanya, selain itu ia hanya tidur dilantai beralas kasur tipis dan

tidak bekali pakaian hangat. Kejadian itu berlangsung di Jerman, Negara

dimana pejabat diplomatic itu ditugaskan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

b. Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Internasional Tahun 1990, yang berbunyi “ Tidak

seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya akan diperbudakan atau

diperhambakan ”. Pada kasus diatas TKW itu diharuskan bekerja penuh tujuh

hari dalam sepekan, dari pagi hingga tengah malam, gajinya pun tidak

dibayarkan, hal tersebut tidak sesuai dengan kotrak kerja yang dibuat. Dimana

dalam kotrak kerja dituliskan bahwa TKW itu hanya diwajibkan bekerja

selama 40 jam dalam seminggu dan mendapat upah 750 Euro perbulan.

c. Pasal 21 Konvensi Internasional Tahun 1990 yang berbunyi : “ Adalah

melanggar hukum bagi siapapun, selain seorang pejabat publik yang diberi

kewenangan oleh hukum, untuk menyita, menghancurkan atau mencoba

menghancurkan dokumen identitas, dokumen yang memberi ijin masuk atau

tinggal, tempat tinggal atau pembentukan dalam wilayah nasional atau ijin

kerja. Dalam hal apapun tidak diizinkan untuk menghancurkan paspor atau

dokumen setara dari buruh migran dan anggota keluarganya ”. Pada kasus

diatas TKW tersebut paspornya disita majikannya dimana majikannya itu

tidak memiliki wewenang untuk menyita paspor tersebut.

d. Pasal 25 Ayat (1) bagian (a) Konvensi Internasional Tahun 1990, yang

berbunyi “ Buruh migran tidak harus menerima perlakuan yang kurang

menguntungkan dari negara tempatnya bekerja dalam hal remunerasi dan

kondisi lain dari pekerjaan, yang mengatakan, lembur, jam kerja, istirahat

mingguan, liburan dengan gaji, keselamatan, kesehatan, pemutusan hubungan

kerja dan kondisi kerja yang lain, menurut hokum dan praktek nasional, yang

dicakup dalam istilah ini ”. Pada kasus diatas TKW itu diharuskan bekerja

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

penuh tujuh hari dalam sepekan, dari pagi hingga tengah malam, gajinya pun

tidak dibayarkan.

Perlakuan yang tidak manusiawi dan melanggar HAM oleh pejabat diplomatik

berupa pemukulan, pelemparan dengan botol parfum, membiarkan tidur dilantai,

tidak memberikan pakaian hangat, memforsir jam kerja TKW dalam sehari-harinya,

tidak membolehkan TKW itu keluar rumah dan tidak membayarkan gaji yang

harusnya diterima oleh TKW juga merupakan pelanggaran atas Pasal 5 Universal

Declaration of Human Rights 1948 yang berbunyi :

“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or

punishment”. Artinya, tidak ada yang harus dikenai peyiksaan atau perlakuan kejam,

tidak manusawi atau merendahkan atau hukuman.

Perlakuan tidak manusiawi diatas juga melanggar Pasal 7 International

Covenanton Civiland Political Rights 1966, yang berbunyi :

“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or

punishment. Inparticular, no one shall be subjected without his free consent to

medical or scientific experimentation”. Artinya, Tidak ada yang dikenai penyiksaan

atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman. Diwaktu

tertentu, tidak ada yang akan dikenakan tanpa persetujuan bebas untuk experimen

medis atau ilmiah.

Sementara dari perlindungan TKI/TKW Indonesia yang tertuang di The Basic

Law of Government of Saudi Arabia 1992, diatur secara jelas pada Pasal 18 yang

menetapkan bahwa negara akan menjamin kebebasan dan tak dapat diganggu

gugatnya kepemilikan pribadi tidak akan disita, kecuali untuk kepentingan umum dan

penyitaan akan dikompensasi secara wajar. Berdasarkan pasal tersebut maka tindakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

pejabat diplomatik atau sebagai majikan yang menyita paspor milik TKW itu

merupakan salah satu bentuk pelanggaran yang telah dilakukannya.

Dengan adanya hal-hal tersebut pejabat diplomatik itu telah gagal dalam

melaksanakan fungsi misi diplomatiknya di negara penerima, untuk itu ia juga telah

melanggar Pasal 41 ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang

menyebutkan bahwa wakil diplomatik diharapkan untuk menghormati dan

memperhatikan undang-undang dan peraturan hukum negara penerima. Hal-hal

demikian berimplikasi pada pemberian sanksi terhadap pejabat diplomatik yang

bersangkutan.

Tindakan Pemerintah Arab Saudi terhadap Diplomatnya yang melakukan

tindak pidana kepada Tenaga Kerja Wanita Indonesia adalah dengan melakukan

pengembalian pejabat diplomat tersebut ke Arab Saudi. Ketentuan selanjutnya adalah

tergantung kebijakan dari Negara Arab Saudi tersebut, dapat diadili di negaranya

sendiri ataupun Negara Jerman. Akan tetapi, biasanya setelah dikembalikan di

negaranya, maka yang berwenang untuk mengadili adalah pengadilan Arab Saudi.

Sehingga, diplomat Arab Saudi di Jerman yang telah melakukan penyiksaan terhadap

Tenaga Kerja Wanita Indonesia tersebut dapat dihukum atau tidaknya dengan hukum

Negara Jerman tergantung dari negosiasi Negara pengirim dan Negara penerima.

Diplomat Arab Saudi yang telah melakukan pelanggaran memiliki kekebalan

hukum (immunity) sehingga tanpa adanya penyerahan kewenangan Arab Saudi untuk

menghukum diplomatnya, maka berlaku Kekebalan terhadap yuridiksi pengadilan

Negara penerima yang diatur dalam pasal 31 Konvensi Wina 1961 yang berisi :

1. Seorang agen diplomatik kebal dari yurisdiksi kriminil Negara penerima. Dia

juga kebal dari yurisdiksi sipil dan administratif kecuali dalam hal :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

a) Suatu perkara yang berhubungan dengan barang-barang tetap yang

terletak di dalam wilayah Negara penerima, tanpa ia memegangnya itu

untuk pihak Negara pengirim untuk tujuan-tujuan misi;

b) Suatu perkara yang berhubungan dengan suksesi di mana agen diplomatik

termasuk sebagai eksekutor, administrator, ahli waris atau legate sebagai

orang privat dan tidak untuk pihak Negara Pengirim;

c) Suatu perkara yang berhubungan dengan setiap kegiatan professional atau

dagang yang dijalankan oleh agen diplomatik di dalam Negara penerima

dan diluar fungsi resminya.

2. Seorang agen diplomatik tidak berkewajiban menjadi saksi untuk memberikan

bukti.

3. Tiada tindakan eksekusi boleh diambil terhadap agen diplomatik kecuali di

dalam hal-hal yang masuk di dalam sub ayat (a), (b) dan (c) dari ayat 1 pasal

ini, dan dengan syarat bahwa tindakan itu dapat diambil tanpa melanggar

inviolabilitas orangnya atau tempat kediamannya.

4. Kekebalan agen diplomatik dari yurisdiksi Negara penerima tidak

membebaskannya dari yurisdiksi Negara pengirim.

Jika penyerahan kewenangan diberikan kepada Negara Jerman maka Negara

Arab Saudi harus menanggalkan kekebalan utusan diplomatiknya terlebih dahulu,

penanggalan kekebalan diplomatnya berdasarkan Pasal 32 Konvensi Wina 1961,

sebagai berikut :

1. The immunity from jurisdiction agents and of persons enjoying immunity

under…. May be waived by the sending state.

2. Waiver must always be express.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

Setelah penanggalan kekebalan oleh Negara Arab Saudi, kemudian Negara

Jerman berhak menerapkan hukum atas pejabat diplomatik itu terkait dengan

peraturan yang ada di Negara Jerman. Jika pejabat diplomatik yang melanggar hukum

tersebut tidak diadili oleh Negara penerima, bukan berarti bebas begitu saja dari

segala tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh peradilan

negaranya.

Sebagian besar, hukum pidana Negara memberikan wewenang kepada

peradilan-peradilannya untuk mengadili dan menghukum kejahatan-kejahatan yang

dilakukan warga negaranya di luar negeri. Disamping itu pemerintah Arab Saudi

bertanggungjawab untuk mengajukan permintaan maaf secara resmi kepada

Pemerintah Indonesia dan memberikan kompensasi terhadap korban yang merupakan

seorang Tenaga Kerja Wanita asal Indonesia tersebut.

C. Tindakan Pemerintah Jerman dan Indonesia terhadap Perwakilan

Diplomatik Arab Saudi yang melakukan Tindak Pidana kepada Tenaga

Kerja Indonesia di Berlin, Jerman

Setiap negara bertindak berdasarkan peraturan yang berlaku, yang mana dalam

hal ini hukum internasional merupakan satu-satunya patokan atau dasar hukum dalam

pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah penyalahgunaan kekebalan

yang dilakukan oleh diplomatik asing. Disebutkan tindakan negara penerima karena

reaksi yang pertama kali timbul akibat perbuatan diplomatik asing tersebut lebih dulu

dilakukan oleh negara penerima, yaitu dengan melakukan pengusran atau persona non

grata terhadap pejabat diplomatik yang melakukan penyalahgunaan kekebalan

diplomatik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

Deklarasi persona non grata yang dikenakan kepada seorang diplomat

khususnya terhadap mereka yang sudah tiba di negara tujuan, melibatkan kepada

kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam

Konvensi Wina, yaitu:

1. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap

bersifat politis maupun subversif dan bukan saja dapat juga merugikan

kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima.

2. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu jelas-jelas melanggar peraturan hukum

dan perundang-undangan Negara

3. Kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan spionase yang

dapat dianggap dapat mengganggu baik stabilitas maupun keamanan nasional

negara penerima.71

Terhadap tindakan penyalahgunaan kekebalan diplomatik, negara Jerman

disini dapat melakukan pengusiran atau persona non grata terhadap pejabat

diplomatik, yang mana hal ini di atur dalam Konvensi Wina 1961, pada Pasal-Pasal

sebagai berikut:

1. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi Wina 1961, yang berbunyi:

1) Negara penerima, setiap waktu dan tanpa harus memberikan penjelasan atas

keputusannya, dapat memberitahukan kepada negara pengirim bahwa

kepala perwakilan atau salah seorang anggota staf diplomatik dari

perwakilannya adalah persona non grata atau bahwa salah seorang staf

perwakilan tersebut tidak dapat diterima baik. Dalam keadaan demikian,

negara pengirim, sepatutnya, harus memanggil kembali orang yang

bersangkutan atau mengakhiri tugasnya pada perwakilan. Seseorang dapat

71
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit, halaman 122

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

dinyatakan persona non grata atau tidak dapat diterima bak sebelum tiba di

wilayah negara penerima.

2) Jikalau negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam jangka waktu

yang pantas untuk melaksanakan kewajibannya tersebut dalam ayat (1) dari

Pasal ini, negara penerima dapat menolak untuk mengakui orang tersebut

sebagai seorang anggota perwakilan.

Akan tetapi, apabila pemerintah Arab Saudi sebagai Negara pengirim tidak

melakukan re-called kepada diplomatnya, dan telah memberikan wewenang

sepenuhnya kepada Jerman untuk mengadili diplomatnya atas tindak pidana yang

dilakukan diplomatnya sesuai dengan yuridiksi pengadilan Jerman selaku Negara

penerima yang diatur dalam pasal 31 Konvensi Wina 1961. Penyerahan

kewenangan oleh Negara Arab Saudi kepada Negara Jerman sebelumnya diawali

dengan tindakan Negara Arab Saudi yang menanggalkan kekebalan utusan

diplomatiknya terlebih dahulu, penanggalan kekebalan diplomatnya berdasarkan

Pasal 32 Konvensi Wina 1961.

2. Pasal 41 ayat (1), yang berbunyi:

“Tanpa mengurangi hak-hak istimewa dan kekebalan mereka, maka menjadi

kewajiban semua orang yang mempunyai hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan

demikian untuk menghormati hukum dan peraturan-peraturan dari negara penerima.

Mereka jua mempunyai kewajiban untuk tidak mencampuri urusan-urusan dalam

negara dari negara itu”.

Dasar hukum di dalam penyelesaian penyalahgunaan kekebalan diplomatik

dapat disebut juga dengan dasar hukum dari tindakan negara penerima di dalam

melakukan pengusiran atau persona non grata terhadap pejabat yang dilakukan oleh

negara penerima terhadap pejabat diplomatik yang menyalahgunaan kekebalan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

diplomatik. Di mana setiap negara bertindak berdasarkan peraturan yang berlaku,

yang mana dalam hal ini hukum internasional merupakan satu-satunya patokan atau

dasar hukum dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah

penyalahgunaan kekebalan yang dilakukan oleh diplomatik asing.

Disebutkan tindakan negara penerima karena reaksi yang pertama kali timbul

akibat perbuatan diplomatik asing tersebut lebih dulu dilakukan oleh negara penerima,

yaitu dengan melakukan pengusran atau persona non grata terhadap pejabat

diplomatik yang melakukan penyalahgunaan kekebalan diplomatik.

Berdasarkan hal di atas, terdapat klasifikasi terhadap unsur-unsur dari apa

yang disebut dengan persona non grata. Dalam hal persona non grata ini negara

penerima mengusir diplomat asing yang ada di negaranya karena tindakan dari

diplomat asing tersebut bertentangan dengan hukum internasional ataupun

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional negara penerima.

Prosedur atau tata cara penyelesaian masalah penyalahgunaan kekebalan

diplomatik yang dilakukan oleh wakil diplomatik asing dengan mempersona non

gratakannya ini adalah dengan cara pemberitahuan dan meminta kepada negara

pengirim untuk me-recall diplomatnya oleh negara penerima. Dan oleh kepala negara

pengirim akan disampaikan surat panggilan pulang atau letter of recall yang

disampaikan kepada kepala negara penerima. Dari kepala negara penerima diplomat

itu akan menerima kembali paspor-paspornya dan sebuah surat yang dinamakan letter

de recreance yang di dalamnya disebutkan penerimaan letter of recall yang tadi.

Mengenai pemanggilan kembali seorang wakil diplomatik ini dapat terjadi

dengan beberapa cara, yaitu:

a. Beliau dapat di-recall oleh pemerintahnya sendiri atas kehendak atau

keputusan pemerintahanya sendiri;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

b. Atas permintaan pemerintah dari negara di mana diplomat itu ditempatkan.

Pada kenyataannya jarang sekali terjadi seorang wakil diplomatik asing suatu

negara disuruh pulang atau kembali atas perintah langsung dari pemerintah negara

pengirim, karena biasanya pemerintah negara itu akan memberitahukan atau meminta

kepada negara pengirim itu untuk me-recallnya.

Jika pemerintah negara Arab Saudi menolak permintaan recall tadi maka

pemerintah Jerman akan menolak untuk mengakui diplomat yang bersangkutan

sebagai wakil diplomatik negara Jerman, dinyatakan persona non grata oleh karena

tindakannya yang menyalahgunakan kekebalan diplomatik yang diberikan oleh

negara penerima. Yang mana tindakan dari diplomat Arab Saudi tersebut menerjang

hukum nasional negara Jerman ataupun melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur

dalam hukum internasional.

Apabila kasus tersebut dikaitkan dengan aturan yang berlaku di Indonesia

maka pejabat diplomatik yang bersangkutan telah melanggar Pasal 352 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penganiayaan ringan. Bahwa

menganiaya adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja membuat orang lain luka-

luka atau menimbulkan rasa sakit. Pada kasus diatas TKW itu mengalami tindakan

pemukulan menggunakan tangan, tongkat, dan melempar botol oleh pejabat

diplomatic itu dan melukai kepala TKW asal Indonesia tersebut.

Tidak hanya itu, pejabat diplomatik tersebut melanggar beberapa pasal dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diantaranya:

a. Pasal 55, yang mengatur bahwa perjanjian kerja yang dibuat antara TKW dan

majikannya itu tidak dapat diubah sewaktu-waktu tanpa persetujuan para

pihaknya. Pada kenyataan yang terjadi TKW itu diharuskan bekerja tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

sesuai dengan waktu yang disepakati antara keduanya dan gaji TKW pun tidak

dibayarkan.

b. Pasal 79, yang mengatur bahwa majikan TKW itu wajib memberikan waktu

istirahat kepada TKW nya.

c. Pasal 86, yang mengatur bahwa setiap TKW itu memiliki hak untuk

memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral

kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia

serta nilai-nilai agama.

Upaya hukum yang seharusnya dilakukan Pemerintah Indonesia adalah

memberikan bantuan hukum yang dapat diwakilkan pada Diplomat Indonesia

khususnya Atase Ketenagakerjaan KBRI di Jerman. Melalui diplomatnya/Atase

Ketenagakerjaan dapat melakukan negosiasi dengan pemerintah Arab Saudi untuk

menyelesaikan kasus tersebut dengan membawa pejabat diplomatik yang melakukan

penganiayaan dan pelanggaran HAM itu ke dalam pengadilan Arab Saudi. Jika

Pemerintah Arab Saudi menolak melakukan negosiasi, maka Pemerintah Indonesia

dapat meminta bantuan terhadap Pemerintah Jerman sebagai pihak ketiga yang dapat

membantu menyelesaikan kasus ini.

Pemerintah Indonesia juga dapat mengupayakan perlindungan hukum dengan

meminta Dewi Ratnasari untuk melayangkan gugatan yang ditujukan kepada mantan

majikannya tersebut. Selanjutnya gugatan itu diserahkan pada Pengadilan Umum

Riyadh sebagai pengadilan tingkat pertama yang memiliki kompetensinya dalam

upaya penyelesaian kasus pidana yang melibatkan warga Negara Arab Saudi.

Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi juga sebaiknya segera membangun

Memorandum of Understanding (MoU) yang menjamin hak-hak buruh migran asal

Indonesia. Dengan adanya perlindungan dan pendampingan hukum yang maksimal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

ini nantinya diharapkan tidak ada lagi kejadian buruk yang menimpa warga Negara

Indonesia sebagai TKI diluar negeri.

Menghadapi kasus tindak pidana yang dilakukan oleh diplomat Arab Saudi

terhadap tenaga kerja wanita Indonesia (Dewi Ratnasari), bahwa Pemerintah Jerman

terus membantu Dewi Ratnasari melalui pengacara dan organisasi Ban Ying

menyangkut tentang kekebalan diplomatik. Ketika permasalahan Dewi Ratnasari

menghangat di Jerman, Duta Besar Republik Indonesia segera mengutus staf untuk

memberikan bantuan kekonsuleran, terutama hak-hak dasar Dewi dan hak gaji,

jaminan social, dan biaya kepulangan dapat diperoleh.

Disamping itu, staf Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jerman telah

bertemu dengan organisasi Ban Ying dan telah mengadakan kontak dengan para

pengacara Dewi. Staf Kedutaan Besar Republik Indonesia juga telah bertemu dengan

pejabat konsuler Kedutaan Besar Arab Saudi di Berlin membahas tentang proses

pengadilan Dewi dan meminta kerjasama Kedutaan Besar Arab Saudi untuk

menyelesaikan kasus tersebut dengan baik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan penjelasan yang telah dijabarkan oleh penulis, maka

dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu :

1. Bahwa menurut Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik sebagai

Negara pengirim Pemerintah Arab Saudi wajib bertanggung jawab terhadap

negara penerima yakni dengan menanggalkan hak kekebalan dan

keistimewaan lalu memanggil pulang pejabat diplomatik yang bersangkutan

kemudian menjatuhi sanksi yang sesuai dengan hukum nasional yang berlaku

di Arab Saudi.

2. Ketentuan hukum tentang penyalahgunaan kekebalan diplomatik bahwa

meskipun diplomat diberikan hak kekebalan berupa inviolability maupun

immunity, seperti yang tercantum dalam Konvensi Wina. Namun jika

melakukan pelanggaran, terutama yang bersinggungan dengan tindak pidana,

ditentukan di dalam Konvensi Wina 1961 menyatakan Seorang pejabat

diplomatik kebal dari yurisdiksi pidana negara penerima.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

3. Terhadap tindakan penyalahgunaan kekebalan diplomatik, Jerman selaku

sebagai negara penerima dapat melakukan pengusiran atau persona non grata

terhadap pejabat diplomatik Arab Saudi, yang mana hal ini di atur dalam

Konvensi Wina 1961. Tindakan yang diambil suatu negara terhadap

penyalahgunaan kekebalan diplomatik adalah berupa tindakan pengusiran

terhadap diri wakil diplomatik asing tersebut. Hal ini disebabkan dari adanya

hak-hak kekebalan yang melekat pada diri setiap wakil diplomatik asing.

B. SARAN

1. Sebagai negara hukum, Indonesia hendaknya dapat lebih berhati-hati terhadap

pengiriman diplomat asing ke negara Indonesia agar dapat meminimalkan

tindakan penyalahgunaan kekebalan diplomatik ini.

2. Agar penegakan hukum internasional dapat lebih ditegakkan, maka kepada

pihak Indonesia sebagai salah satu peserta Konvensi Wina agar lebih

memperhatikan mengenai sanksi hukum terhadap penyalahgunaan kekebalan

diplomatik ini.

3. Pemerintah Indonesia sebaiknya perlu mempertegas dan lebih memperinci

undang-undang dalam peraturan ketenagakerjaan Tenaga Kerja Indonesia di

luar negeri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Suryono, Edy. Perkembangan Hukum Diplomatik. Bandung: Penerbit Mandar Maju,

1992.

Widodo. Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi. Surabaya: Laks

Bang Justitia, 2009

Ak, Syahmin. Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: Penerbit

Rajawali Pers, 2008.

Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Diplomatik teori dan Kasus. Bandung: Penerbit

Alumni, 1995.

Sm.Hk., Wasito. Konvensi-Konvensi Tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan

Konsuler Dan Hukum Perjanjian/Traktat. Yogyakarta: Andi Offset, 1984.

Widagdo, Setyo dan Hanif Nur W. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Malang:

Bayumedia Publishing, 2008.

Istanto, Sugeng. Hukum Internasional. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, 2010.

Thontowi, Jawahir. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Penerbit UII

Press Yogyakarta, 2016.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

Lord Gore-Booth, Desmon Pakenham. Satow's Guide to Diplomatik Practice. New

York: Published by Logman Inc, 1979.

Wright, Quincy. The Study of International Relations. New York: Appleton-Century-

Croffs, 1955.

Brownline, Ian. Principles of Public International Law. Oxford University Press,

Third Edition; 1979.

Krishnamurty, G.V.G. Modern Diplomacy, Dialectic and Dimension. New Delhi:

First Edition, Bhupender Sagar, 1980.

Green, Maryan N.A. International Law, Law of Peace. London: Mac Donald & Evans

Ltd, 1973.

M.M, Whiteman. Digest of International Law, Vol. I, N.S. Government Printing

Office, 1963-1973.

Falk, Richard A. On the Quasi-Legislative Competence of the General Assembly. 60

American Journal of International Law 1966.

Castaneda, Jorge. Legal Effects of United Nations Resolutions. New York: Columbia

University Press, 1970.

Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni,2003.

B.Sen. A Diplomat Handbook of International Law and Practice. Nijhoff The Haque,

1979.

Suryono, Edy dan Moenir Arissoendha. Hukum Diplomatik Kekebalan dan

Keistimewaannya. Bandung: Angkasa, 1991.

Kelsen, Hans. Principles of Internatioonal Law. New York, 1952.

Wasito. Konvensi-Konvensi Wina. Yogyakarta: Andi Offset,1999.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


76

INSTRUMEN HUKUM

Vienna Convention tentang hubungan Diplomatik. Mulai berlaku Sejak 18 April


1961.
Dokumen PBB (Majelis Umum) A/CN.4/16. Mulai berlaku Sejak 1950.
Resolusi Majelis Umum PBB 169 (II). Mulai berlaku Sejak 14 Desember 1973.
Statuta Komisi Hukum Internasional Tahun 1920. Mulai berlaku Sejak 1920.
Consular Convention between Government of the United States of America and the
Government of the Union of Soviet Socialist Republic 1964” & “European
Convention on Consular Function 1964” termasuk “Optional Protocol”. Mulai
berlaku sejak 1964.

INTERNET

_____. ”Teori Kekebalan Diplomatik dan Keistimewaan Pejabat Misi Diplomatik”, 8

Januari 2017

http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-kekebalan-diplomatik-

dan.html?m=1,

_____. “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”, 23 Januari 2017

http://kbbi.web.id/salah%20guna.menyalahgunakan,

Fahrudin, Sigit. “Hak istimewa Dan Kekebalan Diplomatik”, 23 Januari 2017

http://mukahukum.blogspot.com/2009/04/hak-istimewa-dan-kekebalan-

diplomatik.html

Kemlu. “Undang-undang Republik Indonesia nNomor 1 Tahun 1982 tentang

Pengesahan Konvensi WINA mengenai Hubungan Diplomatik”, 12 Februari

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

http://pih.kemlu.go.id/files/UU%20No.01%20Tahun%201982%20Tentang%2

0Pengesahan%20Konvensi%20Wina.pdf

Sumadi. “Terjemahan Konvensi WINA 1961 mengenai Hubungan Diplomatik”, 12

Februari 2017

https://sites.google.com/site/publishedbysumadi/vienna1961

_____. “Oxford Dictionary”, 13 Maret 2017

https://www.oxforddictionaries.com/

JURNAL

72 American Journal of International Law Tahun 1978.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai