SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
OLEH:
NIM: 130200198
FAKULTAS HUKUM
2017
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
NIM: 120200165
NIP. 195710301984031002
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
FAKULTAS HUKUM
2017
Salah satu bentuk kerja sama antar negara di dunia adalah dalam bentuk Hubungan
Internasional dengan menempatkan perwakilan diplomatik di berbagai negara. Perwakilan
Diplomatik ini memiliki hak kekebalan dan hak istimewa terhadap hukum Yurisdiksi
negara penerima serta kekebalan sipil dan kriminal terhadap saksi. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui penyalahgunaan hak kekebalan dan hak istimewa yang
dilakukan oleh Pejabat diplomatik Arab Saudi terhadap pelayan pribadinya di Jerman.
Metode normatif digunakan dalam penelitian ini yang fokus pada legalitas Norma
hukum Positif hak Imunitas dan hak istimewa yang diberikan oleh Konvensi Wina tahun
1961 untuk memastikan Pelaksanaan fungsi diplomatik, tapi bukan berarti pejabat
diplomatik bisa bebas Untuk bertindak di Negara penerima. Sebagai wakil dari negara
pengirim, dia harus menghormati undang-undang tersebut Dan peraturan negara penerima
(Pasal 41 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1961).
Satu dari Kekebalan yang dinikmati oleh agen diplomatik adalah kekebalan dari
yurisdiksi pidana penerimaan Negara Bagian (Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1961).
Jika agen diplomatik melanggar hukum Dan peraturan negara penerima, dia tidak dapat
dikenakan sanksi berdasarkan hukum nasional untuk menerima Negara karena ia
menikmati imunitas seperti yang ditemukan dalam Pasal 31 ayat 1. Dalam kasus yang
terjadi Pada tahun 2009, seorang diplomat Arab Saudi dan keluarganya menyiksa pelayan
pribadinya di Jerman.
Pelayan pribadi diplomat tersebut adalah seorang pekerja migran asal Indonesia,
namanya bernama Dewi. Diplomat Dari Arab Saudi dan keluarganya tidak membayar
upah sesuai kesepakatan, Dewi disiksa secara fisik, dan paspornya ditahan. Tindakan
diplomat dan keluarganya melanggar ketentuan Pasal 41 Konvensi Wina tahun 1961.
Sebagai wakil negara pengirim (negara Arab Saudi), Diplomat tersebut tidak dapat
dihukum dengan hukum nasional Jerman menurut pasal 31 ayat 1 Pada Konvensi Wina
tahun 1961.
Kata kunci: Imunitas dan hak istimewa, pejabat diplomatik, Konvensi Wina tahun
1961.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I
***Dosen Pembimbing II
NIM : 130200198
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah benar hasil karya saya sendiri
dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
NIM: 130200198
KATA PENGANTAR
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi ini
sebagai syarat untuk penyelesaian studi strata satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Skripsi ini berjul “Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pejabat Diplomatik
Dalam Melaksanakan Tugas Diplomatiknya Ditinjau Dari Aspek Hukum Internasional (Studi
Kasus Penganiyayaan Terhadap TKI Oleh Duta Besar Arab Saudi Di Jerman)”. Dengan
selesainya penulisan skripsi ini, tentu merupakan kebahagian dan kenikmatan tersendiri bagi
penulis. Walaupun selama menempuh studi penulis tidak luput dari berbagai hambatan.
Namun berkat kesabaran dan bantuan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat
Penulis sadar akan ketidaksempurnaan penulisan skripsi ini sehingga berharap agar
semua pihak dapat memberikan kritik dan saran yang membangun agar di kemudian hari
Penulis dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik, baik dari segi substansi
maupun dari segi cara penulisannya. Penulis menyadari sepenuhnya, tanpa bantuan dan
partisipasi dari berbagai pihak, maka penulisan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MHum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
6. Bapak Abdul Rahman, S.H, M.H selaku Ketua Departemen Hukum Internasional
7. Ibu Chairul Bariah, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, Terima kasih atas
10. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, serta kepada
seluruh Staf Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumaera Utara, yang sudah
11. Ayah dan Mama, Drs. H Ahmad Hidayat Nasution MAP dan Hj Agustina Matondang,
yang sudah sangat sabar memfasilitasi dan memotivasi penulis selama masa kuliah
untuk bekerja keras dan segera menyelesaikan studi penulis. Terima Kasih telah
12. Kepada seluruh keluarga , Kakak Penulis, Aldina Putri Nasution Amd, Fairuz Sofi
Nasution BCE, dan terutama kepada Sahara Nabilla Nasution BIP yang sudah
13. Kepada teman-teman penulis, Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas
14. Dan kepada seluruh pihak yang ikut membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
mendapatkan Balasan dari Allah SWT. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen
pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan
skripsi ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
B. Kebijakan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi terhadap tindak Pidana yang
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 72
B. Saran .......................................................................................................................... 73
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
negeri yang kemudian menjadi kebutuhan bagi setiap negara. Banyak negara yang
negara lain untuk memperlancar hubungan negaranya dengan negara lain. Kerjasama
dipandang sebagai solusi terbaik untuk mengatasi berbagai permasalahan bagi negara
Kerjasama yang dilakukan oleh suatu negara ke negara lain tersebut kemudian
yang didasari atas kepentingan nasional suatu negara. Seorang diplomat memiliki
tujuan negaranya. Dalam Pasal 3 Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan
diplomasi, wakil-wakil negara agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan
bangsa-bangsa pada zaman lampau yaitu bangsa-bangsa kuno.2 Meskipun pada zaman
dahulu belum dikenal adanya hukum internasional yang modern, namun duta-duta
oleh hukum, akan tetapi oleh agama, sehingga di mana-mana seorang Duta Besar
kekebalan diplomatik yang dapat dipergunakan secara umum oleh semua negara
dirasakan mendesak.5
Akhirnya setelah dengan Konggres Wina Tahun 1815 yang disusul dengan
Konggres Aix-La-Chapelle Tahun 1818, maka pada tahun 1961 asas kekebalan
1
Teori Kekebalan Diplomatik dan Keistimewaan Pejabat Misi Diplomatik, dalam
http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-kekebalan-diplomatik-dan.html?m=1, diakses pada 8 Januari 2017.
2
Edy Suryono, 1992, Perkembangan Hukum Diplomatik, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm. 9.
3
Ibid.
4
Ibid., hlm. 11.
5
Ibid.
Tertib Diplomatik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, diatur bahwa istilah
kekebalan terkandung dua pengertian, yaitu kekebalan (immunity) dan tidak dapat
diganggu-gugat (inviolability).7
kekebalan terhadap yurisdiksi hukum perdata, hukum acara, maupun hukum pidana.8
Keistimewaan yang dimaksud ialah berbagai hak istimewa (previlege) yang melekat
pada perwakilan diplomatik asing (sebagai institusi) dan anggota missi (sebagai
kesejahteraannya pada masa dinas aktif, salah satunya atas prinsip timbal balik. 10
kantor perwakilan dan tempat kediaman diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 22,
kekebalan tempat tinggal resmi diplomat diatur dalam Pasal 30, kekebalan diplomat
dalam melaksanakan tugas kedinasan diatur dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 29, Pasal
31.
6
Ibid.
7
Widodo, 2009, Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, Laks Bang Justitia, Surabaya,
hlm. 115.
8
Ibid.
9
Ibid., hlm. 116.
10
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, dalam
Syahmin,Ak., 2008, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 119.
Keistimewaan misi diplomatik dalam bidang pajak dan iuran diatur dalam
Pasal 23, Pasal 28, Pasal 34, pembebasan dari bea cukai diatur dalam Pasal 36, hak-
hak agen diplomatiknya diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 33. 11 Pemberian hak
kekebalan dan keistimewaan tersebut didasarkan atas tiga teori, yaitu exterritoriality
Negara penerima, tetap mempunyai kewajiban tidak hanya saja untuk menghormati
hukum dan peraturan-peraturan Negara penerima, tetapi juga untuk tidak mencampuri
urusan dalam negeri Negara tersebut. 12 Oleh karena itu, Konvensi Wina 1961
sarana yang pantas, termasuk kurir diplomatik dan pesan-pesan dengan sandi
11
Widodo, 2009, Op.Cit., hlm. 123-161.
12
Syahmin,Ak., Op.Cit., hlm.99
13
Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum Diplomatik teori dan Kasus, Penerbit Alumni, Bandung,
hlm.124.
4) Paket yang ada di dalam tas diplomatik harus memperlihatkan tanda yang jelas
dapat terlihat dari luar yang menunjukkan sifatnya dan hanya boleh berisi
Pasal 36 Konvensi Wina Tahun 1961 berisi: “Pembebasan dari bea cukai untuk misi
diplomatik dan agen-agen dan keluarga mereka.” Sedangkan dalam Pasal 41 ayat (1)
Konvensi Wina Tahun 1961 yang menyebutkan mengenai kewajiban seseorang yang
Hak-hak yang dimiliki seorang diplomat seperti hak kekebalan (immunity) dan
juga dapat melindungi mereka dari sebuah gangguan yang ada termasuk tindakan
penahanan yang dilakukan oleh penguasa ditempat negara penerima. Hak kekebalan
atau dihapus. Hal ini dapat saja terjadi apabila dalam hubungan diplomatik tersebut
diwarnai adanya ketegangan yang timbul antara Negara penerima dan Negara
kekebalan diplomatik adalah nagara pegirim tetapi biasanya terlebih dahulu diajukan
permohonan yang dilakukan oleh Negara penerima. Baik itu dengan adanya
14
Wasito, Sm.Hk., Sm.Hk, 1984, Konvensi-Konvensi Tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan
Konsuler Dan Hukum Perjanjian/Traktat, Andi Offset, Yogyakarta, hlm. 34.
pengesahan khusus dari Negara pengirim atau hanya diwakilkan kepala perwakilan
diplomatik.
diplomatik itu juga yang dapat menjadi ancaman bagi seorang diplomat, adakalanya
para pejabat diplomat menyalahgunakan hak kekebalan mereka itu sendiri untuk
kepentingan pribadi.
Salah satu kasus yang akan saya bahas disini yaitu mengenai penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh seorang pejabat diplomatik dari Arab Saudi dengan
melakukan tindak pidana terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari Indonesia di
negara penerimanya yaitu di Berlin, Jerman. Seorang tenaga kerja Indonesia bekerja
pada seorang Pejabat Diplomat Arab Saudi dan ia akan dibawa ke Berlin. Ia
tangga bagi diplomat di Jerman, yaitu 750 (tujuh ratus lima puluh) Euro sebulan
untuk 40 (empat puluh) jam kerja perminggu, sekitar 6 (enam) jam perhari, dan cuti
tahunan selama satu bulan. Keluarga diplomat tersebut hanya membayar upahnya
sekali, yaitu sebesar 150 (seratus lima puluh) Euro (Rp 1,8 juta) saat Ramadhan.
Tenaga kerja asal Indonesia tersebut bekerja bagi ketujuh anggota keluarga
diplomat, dari pukul 06.00 pagi sampai larut malam, dalam tujuh hari dalam
mereka, dan tidur di atas lantai. Pelayan pribadi diplomat tersebut mendapatkan
perlakuan yang tidak semestinya dari keluarga diplomat tersebut, seperti paspornya
yang disita, gajinya tak dibayar, ia tak boleh meninggalkan rumah, tidak boleh
Jerman dan berhasil menyelamatkan diri dari apa yang telah dialaminya sekitar 19
(sembilan belas) bulan pada Oktober 2010. Organisasi Ban Ying, aktivis buruh dan
pelayan pribadi Diplomat Arab Saudi ke pengadilan tenaga kerja di Berlin, dengan
tuntutan gaji, uang lembur dan uang ganti rugi total 70.000 (tujuh puluh ribu) Euro,
Selain itu diajukan tuntutan karena melakukan eksploitasi tenaga kerja. Pada
tanggal 14 (empat belas) bulan Juni tahun 2011, Pengadilan Tenaga Kerja Jerman
majikan. Dewi Ratnasari, nama samaran dari pelayan pribadi Diplomat Arab Saudi
yang juga digunakan dalam pengaduan, sudah kembali ke tanah air, tetapi tuntutannya
Heide Pfarr.
Disamping itu, Tenaga Kerja Wanita dari Indonesia yang menjadi korban
tindak pidana oleh Diplomat Arab Saudi di Jerman tersebut dapat dikatakan sebagai
salah satu anggota keluarga Pejabat Diplomatik tersebut. Sesuai dengan yang diatur
dalam Pasal 37 ayat 1 Konvensi Wina 1961 yang berisi sebagai berikut :
“The members of family of diplomatik agent forming part of his household shall, if
they are not nationals of the receiving immunities specified in articles 29 to 36.” 15
15
Setyo Widagdo dan Hanif Nur W, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayumedia Publishing, Malang,
2008, hlm 38.
tangganya, jika mereka ini bukan warga negara Negara penerima, mendapat hak-hak
istimewa dan kekebalan hukum yang disebutkan di dalam Pasal 29 sampai 36.
Sesuai dengan Uraian diatas, penulis berminat meneliti lebih dalam mengenai
sebagai Perwakilan Diplomatik dari Negara Pengirim di Negara Penerima. Oleh sebab
B. Rumusan Masalah
tanggungjawab tersebut.
pejabat diplomatik?
Tujuan Penulisan :
1. Untuk mengetahui secara teoritis dan faktual mengenai apa yang sebenarnya
pelayan pribadinya.
Manfaat Penulisan :
tambahan bagi mahasiswa Fakultas Hukum yang ingin tahu lebih dalam
D. Keaslian Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak ada meniru ataupun melihat dari
skripsi pihak-pihak yang lain. Dengan demikian, skripsi adalah murni dari hasil
pemikiran penulis dan Judul yang digunakan dalam skripsi ini telah diperiksa di
skripsi yang ditulis oleh pihak penulis tidak ada atau belum ada yang pernah menulis
skripsi tentang judul ini. Dengan demikian skripsi ini memang benar dapat
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pejabat Diplomatik
disebutkan:
a) Kepala pewakilan ialah orang yang ditugaskan oleh Negara pengirim untuk
staf perwakilan;
e) Seorang wakil diplomatik ialah kepala perwakilan atau seorang anggota staf
negara yang dikirim ke negara lain untuk menyelenggarakan hubungan resmi antar
negara. 16 Menurut Jawahir Thontowi, Duta Besar (General Embassy) adalah wakil
diplomatik setingkat kepala negara yang mewakili suatu negara untuk tinggal dan
16
Sugeng Istanto, 2010, Hukum Internasional, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta
represent his or her country in a foreign country; a person who is skilled at dealing
Practice: Today heads of mission are devided, as stated in Article 14 of the Vienna
rank;
acara, maupun hukum pidana. Keistimewaan yang dimaksud ialah berbagai hak
17
Jawahir Thontowi, 2016, Hukum dan Hubungan Internasional, Penerbit UII Press Yogyakarta,
Yogyakarta.
18
Oxford Advanced Learner’s Dictionary 7th Edition.
19
Lord Gore-Booth, Desmon Pakenham, 1979, Satow's Guide to Diplomatik Practice, Published by
Logman Inc., New York.
20
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dalam http://kbbi.web.id/salah%20guna.menyalahgunakan,
diakses pada 23 Januari 2017.
menyalahgunakan yang diberikan atas dasar prinsip timbal balik untuk menjamin
terlaksananya tugas- tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama tugas
negara yang diwakilinya. Terdapat tiga teori yang membahas mengenai alasan
Teori ini menganggap bahwa meskipun para diplomat secara konkret ada atau
tinggal di Negara penerima, tetapi secara yuridis dianggap ada di luar wilayah
Negara penerima yaitu tetap tinggal di Negara pengirim. Teori ini sulit untuk
kekebalan dan keistimewaan karena tidak ada satupun negara di dunia yang
wilayahnya.
Menurut teori ini, diplomat dianggap sebagai simbol atau lambang Negara
pengirim sekaligus wakil Negara pengirim di Negara penerima, karena itu segala
perbuatan diplomat harus dianggap sebagai perbuatan dari kepala negara atau
setidaknya dianggap sebagai pencermin kehendak Negara pengirim. Teori ini juga
sulit untuk diterapkan karena sampai saat ini orang yang mendapatkan kekebalan
diplomatik bukan hanya diplomat, tetapi termasuk anggota keluarga diplomat yang
Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik perlu diberikan
kepada diplomat agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga hasil
merupakan dasar teori yang paling benar dalam menjelaskan dasar pemberian
penerima. Hal tersebut terdapat pada Pembukaan Konvensi Wina Tahun 1961
Alinea 4 (empat). 21
orang yang di dalam pelayanan domestik dari seorang anggota missi dan yang
diatur dalam Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yaitu
kekebalan dan keistimewaan pun juga dapat dinikmati oleh para pelayan pribadi
anggota missi.
Para pelayan pribadi anggota missi, apabila mereka bukan warga negara atau
penduduk tetap dalam Negara penerima, akan dibebaskan dari pungutan dan pajak
21
Widodo, 2009, Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, Laks Bang Justitia, Surabaya.
atas pendapatan yang mereka terima karena mereka dipekerjakan. Mengenai hal
lain, mereka boleh menikmati hak-hak istimewa hanya terbatas pada yang
F. Metode Penelitian
dimaksud disini ialah penelitian yang mengunakan cara untuk mendapatkan data
Literatur, Diktat, dan Konvensi yang berhubungan dengan skripsi ini yang selanjutnya
G. Sistematika Penulisan
Untuk melihat lebih jelas dan terarah maksud dari penulisan ini, maka
sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab dan didalam bab terdiri dari atas
sub bab demi bab. Adapun gambaran isi penulisan ini ialah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Diplomatik.
DIPLOMATIK
Yang akan dibahas dalam bab ini adalah hak kekebalan dan
Diplomatik.
BAB V : PENUTUP
BAB II
1. Pengertian Diplomatik
lagi kodifikasi Hukum Diplomatik secara luas. Pengembangan itu tidak saja ditujukan
dari yang dinamakan diplomasi. Diplomasi sudah dikenal sejak masa jayanya
Romawi di Eropa dan Afrika Utara beberapa abad yang lalu sebagai alat kepercayaan
yang fungsinya untuk digunakan pemegangnya bila ingin masuk ke wilayah Negara
lain karena mempunyai kepentingan dari wilayah asalnya. Seiring berjalannya waktu,
sekarang ini perkembangan diplomasi diartikan sebagai suatu cara bernegosiasi atau
berunding yang di lakukan antara para pejabat Negara ataupun para kepala Negara
diantaranya adalah :
ill-will tact”.
sometimes also to their relations with vassal states; or more briefly still, the
3) Quincy Wright
transaction.
4) Harold Nicholson :
22
Gore - Booth, D. Pakenham, Satow‟s Guide to Diplomatik Practice, Fith Edition, Longman Group
Ltd. London , 1979, hal. 3.
23
Quincy Wright, The Study of International Relations, New York: Appleton-Century-Croffs, 1955,
hal. 28-29
5) Brownlie :
mutual relations, communicate with each other, or carry out political or legal
Jika dilihat dari pengertian yang sudah dideskripsikan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa diplomasi adalah hubungan antar bangsa yang dilakukan untuk
pejabat tersebut harus diakui dahulu statusnya sebagai pejabat diplomatik agar mereka
dapat melakukan tugas diplomatiknya dengan efektif. Setelah mereka sudah sah
menjadi seorang pejabat diplomatik, mereka akan diberikan hak-hak istimewa dan
antar negara.
tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara
tradisional itu kini telah meluas karena hukum diplomatik sekarang bukan sekedar
mencakup hubungan diplomatik dan konsuler antar negara, akan tetapi juga meliputi
24
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford University Press, Third Edition; 1979,
hal. 345.
diplomatik.
internasional.
Tugas seorang duta besar dan para diplomatik adalah mewakili kepentingan
yang terjadi serta melaporkannya ke negara pengirin dan juga bertugas untuk
b) Protecting in the receiving state the interests of the sending state and of its
(memperboleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan
negara pengirim);
e) Promoting friendly relations between the sending state and receiving state,
pengetahuan).25
maupun non pemerintah yang melakukan kerjasama dalam berbagai aspek untuk
tercapainya tujuan yang bersama. Hal inilah mendorong para diplomatik dalam
mengemban tugasnya bukan hanya untuk hal-hal regional tetapi juga hal-hal yang
a) Representasi
Fungsi perwakilan para diplomatik dapat kita lihat dalam pasal 3 Konvensi
Wina 1961 yaitu “mewakili negara pengirim di Negara penerima”. Namun kata
mewakili disini memiliki pengertian yang berbeda-beda dari para ahli hukum. Seperti
25
Pasal 3 Konvensi Wina 1961
dikemukakan oleh Gerhard von Glahn, “seorang wakil diplomatik itu selain mewakili
pemerintah negaranya, ia juga tidak hanya bertugas dalam kesempatan serelonial saja,
“Fungsi yang utama dari seorang wakil diplomatik adalah mewakili negara
penerima.”27
b) Proteksi
Sesuai dengan Konvensi Wina 1961 pasak 3 ayat 1,b Gerhard von Glahn
“The diplomatik has a duty to look after the interest person and property of citizens of
his own state in the receiving state. He must be ready to assist them, they get into
trouble abroad, my have to take charge of their bodies and effects if they happen to
die on a trip amd in general act as a trouble shooter for his fellow nationals in the
receiving state.”28
Dari apa yang coba dijelaskan Von Glahn disini tentang istilah proteksi adalah
kepentingan negara pengirim dan warga negaranya yang berada di negara penerima
untuk itu sudah menjadi kewajiban negara penerima untuk melindungi para pejabat
namun negara ketiga dimana para pejabat diplomatik in transit, negara ketiga harus
kedutaan. Terutama dengan banyaknya aksi terorisme yang banyak mengancam para
diplomatik. Hal ini dikarenakan tugas-tugas yang dibebankan kepada para pejabat
diplomatik serta misinya maka negara penerima disini memiliki tangggung jawab
c) Negosiasi
antarnegara. Negosiasi ataupun perundingan dapat dilakukan oleh dua negara atau
lebih. Negosiasi ini merupakan salah satu misi diplomatik, seperti dalam ketentuan
Konvensi Wina pasal 3 ayat 1c, “Negotiating with the government of the receiving
negara penerima. Oleh karena itu, dikatakan oleh Von Glahn: “The original reason
for the rise of diplomats the intention of having a representative in a foreign capital
baik urusan ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan, serta untuk suatu perjanjian
terjadi di negara penerima kepada negara pengirim. Hal ini dapat kita lihat dalam
Konvensi Wina pasal 3 ayat 1d. Perlunya pelaporan ini adalah berfungsi untuk
perkataan Von Glahn, yaitu: “The basic duty of a diplomat is to report to his
government on political event, policies, and other related matters”. Tugas yang
pelaporan yang dilakukan pejabat diplomatik adalah sah asalkan dalam membuat
atau disebut dengan „spionase‟, atau data yang diperoleh secara tidak sah menurut
hubungan persahabatan antarnegara. Hal ini tegas ditulis dalam Konvensi Wina pasal
29
Ibid, hal 385.
3 ayat 1e. dengan meningkatkan hubungan persahabatan dengan negara lain, hal ini
1) Memadukan seluruh potensi kerja sama daerah agar tercipta sinergi dalam
(protector);
Untuk itu, para diplomatik sebagai wakil Negara di luar negeri harus
membangun persahabatan yang baik dengan Negara penerima maupun Negara lain.
Awal hukum diplomatik dimulai dengan hukum kebiasaan yang telah berlaku
mengenai keistimewaan dan kekebalan para duta besar. Hal ini dikarenakan duta
besar dianggap sebagai orang suci, yang perlu diperlakukan dengan istimewa.
Sejarah hukum diplomatik sendiri bermula pada masa zaman Mesir, India dan
Cina kuno. Pada saat itu sudah ditemukan beberapa bukti tentang adanya utusan
diplomatik dan konsuler yang memiliki berbagai fungsi dan keistimewaan. Pada tahun
1179 SM, sudah ada perjanjian perdamaian yang dibuat oleh Ramses II dari Mesir
dengan Hattusili II dari Kerajaan Kheta (Asia kecil) dengan menggunakan bahasa
Akkadi atau Babylon. Raja Iskandar Agung juga pernah menjalin hubungan
Di saat yang bersamaan, beberapa duta besar dari Yunani ditempatkan atau
dipercayakan pada Raja Pataliputra. Kemudian, ada pula pertukaran utusan antara
Cyprus dan juga Mesir. Kaidah-kaidah pokok hukum diplomatik dibentuk oleh
negara-negara seperti Romawi, Perancis, Yunani dan Turki. Selain itu kerajaan-
kerajaan di wilayah Indonesia juga telah sejak lama melakukan hubungan diplomatik
dan perdagangan dengan Cina, India dan negara-negara kawasan timur tengah
lainnya.
kodifikasi hukum diplomatik tidak begitu pesat. Sejak Kongres Wina 1815, para
anggota diplomatik telah diberikan pengggolongan dan beberapa tata cara sementara
yang telah pula dibicarakan, namun tidak ada suatu usaha untuk merumuskan prinsip-
prinsip hukum diplomatik dalam suatu kodifikasi yang dapat diterima secara luas oleh
masyarakat internasional. Peraturan yang telah disetujui pada waktu itu oleh Kongres
hanyalah didasarkan oleh hukum kebiasaan internasional dan juga diambil dari
30
G.V.G. Krishnamurty, Modern Diplomacy, Dialectic and Dimensions, First Edition, Bhupender
Sagar, New Delhi, 1980, hal. 89
sejarah diplomasi baru, karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip
diplomasi. Kongres Wina 1815 telah menetapkan tingkatan secara umum mengenai
“diplomatik agens are devided into there clases : that are ambassadors, legates, or
pada tanggal 12 Nopember 1818 dimana telah ditetapkan lagi pangkat lainnya yaitu
selanjutnya dipandang cukup berarti adalah dalam tahun 1927, pada masa Liga
31
Pasal 6 Protokol
32
Satow, A Guide to Diplomatik Practice, 1979, hal. 162.
Internasional dimana telah dilaporkan bahwa dalam subyek hukum diplomatik yang
meliputi dari cabang-cabang pergaulan diplomatik antar bangsa haruslah diatur secara
tersebut dan karena itu memutuskan untuk tidak memasukkan masalah yang sama
dalam agenda Konferensi Den Haag yang diadakan dalam tahun 1930 untuk
tahun 1928 tidak saja telah menganggap bahwa masalah itu sangat penting, tetapi
setelah dibahas secara panjang lebar telah menetapkan dua konvensi, satu mengenai
Pejabat Diplomatk dan yang lainnya mengenai Pejabat Konsuler. Dua Konvensi itu
telah diratifikasi oleh 12 negara Amerika, dimana Amerika Serikat cenderung untuk
pemberian suaka diplomatik dianggap tidak tepat dan dapat menimbulkan keberatan.
Namun demikian Konferensi Havana itu kemudian tidak saja dapat merintis tetapi
juga lebih dari itu telah berhasil untuk pertama kalinya dalam usaha mengadakan
Setelah PBB didirkan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk
Komisi Hukum Internasional. 34 Selama tiga puluh tahun (1949-1979) komisi telah
33
Khrisnamurty, hal. 90
34
Pembentukan Komisis Hukum Internasional ini pada hakekatnya untuk memenuhi Pasal 13 ayat 1,
Piagam PBB yang antara lain “Majelis Umum diminta untuk memprakarsai studi-studi dan memberikan
rekomendasi dalam rangka mendorong perkembangan kemajuan internasional beserta kodifikasinya”.
3) Misi-misi khusus.
6) Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang tidak diikutsertakan pada
kurir diplomatik.
masalah-masalah yang belum diatur oleh hukum internasional atau mengenai hukum
diartikan dengan kodifikasi hukum internasional adalah “perumusan yang lebih tepat
dan sistematisasi dari peraturan hukum internasional di berbagai bidang yang sudah
35
Pasal 15, Statuta Komisi Hukum Internasional
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. 36 Jika rancangan tersebut
beragam kepentingan antar negara, membuat peran diplomat amat diperlukan. Tentu
saja yang paling utama, para diplomat tersebut harus mau melindungi kepentingan
negara asalnya, khususnya para warga negaranya baik saat mereka di negeri sendiri
Jika membicarakan tentang sumber hukum diplomatik sama sekali tidak dapat
Umum PBB saja selama ini yang telah mengesahkan semua rancangan konvensi
36
N.A. Maryan Green, International Law, Law of Peace, Mac Donald & Evans Ltd, London, 1973, hal.
26-27
terhadap sumber-sumber dari setiap sistem hukum tidak dapat dipisahkan dari apa
The Court, whose function is to decide in accordance with international law such
4. Subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the teachings of
(general) pada hakekatnya melibatkan banyak negara sebagai pihak karena itu lazim
disebut konvensi atau perjanjian yang bersifat multilateral. Sedangkan dalam arti
“tertentu” (particular) tidak lain merupakan konvensi atau perjanjian dimana hanya
beberapa negara yang menjadi pihak. Jika hanya terdiri dari dua pihak maka konvensi
itu bersifat bilateral seperti “Treaty of Extradition and Consular” antara Amerika
multilateral dengan yang bersifat bilateral seperti hubungan konsuler yang dilakukan
oleh Amerika Serikat dengan Sri Lanka tersebut dalam kaitannya dengan Konvensi
sudah ada dalam Konvensi Wina 1963.37 Hal ini juga jelas tercermin di dalam Pasal
provisions thereof”.
yang silam, sekarang secara umum telah dapat diterima sebagai sumber pokok dari
secara bilateral tidak menciptakan satu peraturan umum dalam hukum internasional,
Dengan demikian hanyalah ada satu jenis khusus dari perjajian yang dapat
dianggap sebagai satu hukum internasional yaitu apa yang disebut perjanjian yang
menciptakan hukum (law making treaty), kecuali diadakan oleh sejumlah negara yang
bertindak atas kepentingan bersama juga ditujukan untuk menciptakan suatu peraturan
baru. Perjanjian tersebut kemudian diakui oleh negara-negara lainnya, baik melalui
langkah resmi menurut ketentuan dalam perjanjian tersebut seperti aksesi dan
ratifikasi. Negara-negara yang menolak secara khusus untuk menerima peraturan baru
37
“Consular Convention between Government of the United States of America and the Government of
the Union of Soviet Socialist Republic 1964” & “European Convention on Consular Function 1964” termasuk
“Optional Protocol” nya
atau menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut biasanya tidak terikat oleh
berikut :
termasuk didalamnya :
Disputes.
termasuk didalamnya :
38
M.M. Whiteman, Digest of International Law, Vol. I, N.S. Government Printing Office, 1963-1973,
hal. 70-74
mengikat. Secara tradisional resolusi atau deklarasi yang tidak memiliki sifat-sifat
seperti perjanjian haruslah dianggap tidak mempunyai kekuatan wajib, karena tidak
“teori” dari kesepakatan sampai kepada konsensus yang menjadi dasar bagi negara-
Adanya kekuatan yang mengikat bagi sesuatu resolusi memang masih belum
jelas batasannya. Persoalannya, apakah suatu resolusi yang disetujui secara mayoritas
suatu badan yang menciptakan hukum. Resolusi yang dihasilkan dengan jalan biasa
tidak akan menjadikan, merumuskan atau mengubah resolusi itu menjadi hukum
Didalam hal-hal yang luar biasa dimana resolusi majelis umum PBB dapat
secara universal atau jika nggota majelis Umum PBB mempunyai maksud untuk
menyatakan sebagai hukum dan jika isi resolusi itu tercermin di dalamnya kebiasaan-
39
Richard A. Falk, “On the Quasi-Legislative Competence of the General Assembly”, 60 American
Journal of International Law 1966, hal.782-791.
Jorge Castaneda, Legal Effects of United Nations Resolutions, New York: Columbia University Press, 1970).
Whitman, vol I, hal. 68-70.
40
72 American Journal of International Law (1978), hal. 377
41
Sebagai contoh dapat diambil resolusi 3166 (XXVIII) yang memuat
Diplomatik:”. Demikian juga Resolusi 34/146 yang telah disetuji oleh Majelis Umum
lain yaitu dalam hubungannya dengan letak markas besar PBB di New York, Majelis
Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 1947 telah pula menyetujui satu resolusi
tentang persetujuan antara PBB dan Amerika Serikat yang telah ditanda tangani
sebelumnya oleh Sekretaris Jenderal PBB George C. marshall pada tanggal 26 Juni
1947.42
nggota majelis Umum PBB pada hakekatnya dapat merupakan suatu proses transisi
atau langkah pertama kearah terciptanya suatu aturan baru dalam hukum
praktek umum yang diterima sebagai hukum. Namun dasar hukum dari kebiasaan
negara-negara yang baru timbul. Pada waktu masalah ini diperdebatkan di Komisi
41
Resolusi tersebut telah disetujui secara konsensus oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 14
desember 1973, yang ketentuan-ketentuan didalamnya berhubungan erat dengan konvensi yang dilampirkan
padanya dan selalu akan dicantumkan keduanya.
42
Resolusi Majelis Umum PBB 169 (II)
Hukum Internasional dan di Komite VI majelis Umum PBB terutama pada saat
bersama bahwa :
time;
pokok dalam hukum diplomatik, masih ada sumber lainnya yang bersifat subsider
seperti prinsip-prinsip umum dalam hukum yang diakui oleh negara-negara dan
pada tanggal 24 Mei 1980 mengenai kasus staf diplomatik dan konsuler di Teheran
yang anatara lain dengan perbandingan suara 13 menyetuji dan 2 menolak telah
... that the Islamic republic of Iran, by the conduct which the Court has set out
in this Judgment, has violated in several respects, and isi still violating,
43
Lihat Dokumen PBB (Majelis Umum) A/CN.4/16 (1950)
Duta Besar adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden
selaku kepala negara. Hal ini dikarenakan Duta Besar merupakan wakil pribadi
Dewan Perwakilan Rakyat. Bila penunjukan calon Duta Besar telah diputuskan maka
kesepakatan antara kedua belah pihak. Berdasarkan Pasal 2 Konvensi Wina 1961
internasional yang berlaku, yaitu setiap negara dapat melakukan hubungan atau
masing).
• Pasal 12
• Pasal 13
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh dan Wakil Tetap Republik
Indonesia pada Perwakilan Diplomatik dan Konsul Jenderal dan Konsul pada
• Pasal 14
• Pasal 15
a. Pejabat Diplomatik dan Staf Non Diplomatik diangkat dan diberhentikan oleh
b. Atase Pertahanan, Atase Teknis, dan Staf Teknis diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Luar Negeri atas usul Pimpinan Departemen atau Pimpinan
tugas bagi Pejabat Diplomatik, Atase Pertahanan, Atase Teknis, Staf Non
Diplomatik, dan Staf Teknis diatur lebih lanjut oleh Menteri Luar Negeri.
• Pasal 16
Dinas Luar Negeri diatur lebih lanjut oleh Menteri Luar Negeri dengan
• Pasal 17
yang berlaku.
yang berlaku.
calon diplomat mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda dengan negara
penerima dan dalam hal ini calon diplomat dapat ditolak negara penerima. Alasan lain
antinegara penerima. Bila calon diplomat ditolak, maka negara penerima tidak perlu
memberikan alasan penolakan secara resmi, namun hanyalah isyarat secara halus. Hal
1) Penolakan Iran terhadap Walter Cutler sebagai calon Duta Besar Amerika
Serikat pada 1979, yang dituduh mencampuri urusan dalam negeri Zaire saat
ibukotanya.
Indonesia, karena tragedi di Timor Timur akibat kasus yang menelan banyak
Asasi Manusia.
4) Pada 1968 Raja Faisal menarik agreement atas pengangkatan Sir Horace
Philip dari Inggris sebagai duta besar untuk Saudi Arabia dengan alasan dia
keturunan Yahudi.
5) Penolakan Yunani terhadap Mr. William Schaufele sebagai calon Duta Besar
Amerika Serikat pada 1977, hanya karena ucapannya pada debat pendapat di
Komite Luar Negeri Senat mengenai sengketa antara Yunani dan Turki
44
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.
Bandung: PT. Alumni,2003 hal. 483.
BAB III
DIPLOMATIK
Pengertian Kekebalan Diplomatik adalah hal yang penting bagi wakil dari
diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut. Agar wakil-wakil
negara tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik dan efisien, maka para wakil-
wakil negara dalam berdiplomasi tersebut diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan.
pada kenyataannya ia sudah jelas berada diluar negeri sedang melaksanakan tugas-
eksterritorialitas tersebut. Oleh karena itu, seorang diplomat itu dianggap tetap berada
dinegaranya sendiri, ia tidak tunduk pada hukum negara penerima dan tidak dapat
dikuasai oleh negara penerima. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik tersebut
dianggap tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan atas suatu fiksi dan bukan realita
yang sebenarnya.46 Jadi, teori eksterritorialitas dalam arti, seorang wakil diplomatik
dianggap tetap berada di wilayah negaranya sendiri. 47 Teori ini didalam kehidupan
jalan raya untuk jalur dua arah di negara Saudi Arabia dengan menerapkan
diplomat setiap bulan atau setiap tahun wajib membayar berbagai pajak dan
45
Sigit Fahrudin, Hak istimewa Dan Kekebalan Diplomatik, sumber:
http://mukahukum.blogspot.com/2009/04/hak-istimewa-dan-kekebalan-diplomatik.html., diakses pada 23 Januari
2017
46
Edy Suryono, dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya,
Bandung, Angkasa, 1991. Halaman: 31
47
Syahmin, Op.Cit., hlm. 117
48
Widodo, Op.Cit., hlm. 117-118
dari pembayaran biaya, karena dalam praktik ada beberapa rekening kantor
kedutaan dan rumah kediaman resmi diplomat yang wajib dibayar pihak
kedutaan asing kepada negara penerima, misalnya rekening telepon, air, dan
listrik.
3) Andaikata para diplomat dianggap tinggal dinegara pengirim maka tidak perlu
sendiri diwilayahnya.
2. Teori Diplomat sebagai wakil negara berdaulat atau wakil kepala negara
(Representative Character)
diplomatik, mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas itulah
pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan
Teori ini berasal dari era kerjaan masa lalu dimana negara penerima
sebagai penghormatan terhadap raja itu sendiri. Namun seperti halnya dengan teori
Teori ini sulit juga diterapkan Karena sampai saat ini orang yang mendapat
49
Syahmin, Op.Cit., Halaman: 118
diplomat yang membentuk rumah tangganya dan tinggal di negara penerima, padahal
bukan berstatus diplomat yang mewakili negara pengirim. Dalam praktik juga sulit
negara atau wakil kepala negara, dengan perbuatan diplomat dalam kapasitasnya
sebagai pribadi. Padahal menurut hukum diplomatik seluruh perbuatan diplomat baik
perbuatan atas nama negara maupun atas nama pribadi memperoleh kekebalan dan
keistimewaan.50
agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnnya dengan baik dan
lancar. Dengan memberikan tekanan pada kepentingan fungsi, terbuka jalan bagi
keseimbangan antara kebutuhan negara pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori
ini kemudian didukung untuk menjadi ketentuan dalam Konvensi Wina 1961.
dirumuskan “...that the purpose of such privilages and immunities is not to benefit
Maka dari itu, jelaslah bahwa landasan yuridis pemberian semua kemudahan,
hak-hak istimewa dan kekebalan yang diberikan kepada para agen diplomatik asing di
50
Widodo, Op.Cit., Halaman : 119
Dalam abad ke 16- dan 17 pada waktu pertukaran duta-duta besar secara
telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti bahwa
seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan atau penghianatan melawan
kedaulatan negara penerima. Seorang duta besar dapat diusir, tetapi tidak dapat
Kekebalan duta besar dari yurisdiksi pidana di negara penerima telah mulai
dilakukan oleh banyak negara dalam abad ke-17 sebagai kebiasaan internasional.
kekebalan terhadap Juridiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun
hukum perdata.
51
Syahmin, Op.Cit. Halaman: 118
52
Hans Kelsen , Principles of Internatioonal Law, New York, 1952. Halaman: 97
1. Kekebalan pribadi
diplomatik diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “the Person
of a diplomatik agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrest
or detention. The receiving state shall terat him with due respect and shall tahe all
propriate steps to prevent ant attack on his person, freedom or dignity”.53 Berarti
bahwa pejabat diplomatik adalah inviolable. Ia tidak dapat ditangkap dan ditahan.
alat kekuasaan dari negara penerima, maka pejabat diplomatik atau seorang wakil
diplomatik mempunyai hak untuk tidak dapat dikenakan tindakan kekuasaan oleh
penangkapan.
a. Yurisdiksi Pidana
para pejabat diplomatik ditentukan didalam Konvensi Wina 1961 sebagai berikut:
“seorang pejabat diplomatik kebal dari yurisdiksi pidana negara penerima” 54 (Pasal 31
mengganggu keamanan atau ketertiban dalam negeri atau turut dalam suatu
komplotan yang ditujukan kepada negara penerima, maka untuk menjaga agar
tindakan-tindakannya itu tidak akan membawa akibat yang tidak diinginkan, negara
53
Konvensi Wina 1961
54
Article 31 Konvensi Wina 1961
bahwa negara penerima tidak mempunyai hak, dalam keadaan yang menuntut dan
yurisdiksi pidana dari negara penerima, tetapi juga para pejabat diplomatik kebal dari
seorang pejabat diplomatik dari yurisdiksi perdata atau sipil, terdapat dalam ketentuan
pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961, sebagai berikut: “he shall also enjoy immunity
Tuntutan perdata dan administrasi dalam bentuk apapun tidak dapat dilakukan
terhadap seorang pejabat diplomatik dan tidak ada tindakan atau eksekusi apapun
diajukan terhadap para pejabat diplomatik didepan pengadian perdata atau pengadilan
wakil diplomatik tidaklah berbatas pada diri pribadi saja melainkan juga anggota-
anggota keluarganya turut pula menikmati kekebalan dan hak-hak istimewa tersebut.
Pasal 37 ayat (1) Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “the members of family of a
diplomatik agent forming part of his household shall, if they are not nationals of the
55
Edy Suryono, Op.Cit, Halaman : 47-48
56
Ibid. Halaman : 49
receiving state, enjoy the privileges and immunities specifies in article 29 to 36”.
Yang artinya anggota keluarga dari seorang wakil diplomatik yang merupakan bagian
dari rumah tangganya, yang bukan berwarganegara penerima akan meikmati hak-hak
pejabat diplomatik, maka tidak hanya adanya sesuatu hubungan darah atau
bertempat tinggal bersama pejabat diplomatik atau merupakan bagian dari rumah
pejabat diplomatik yang dapat menerima kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini,
Dalam pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuaan yang
maka seeorang wakil diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk menjadi saksi di muka
seorang saksi dan untuk memberikaan kesaksiannya di depan pengadilan, hal mana
termasuk pula anggota keluarga dan pengikut-pengikutnya, juga tidak dapat dipaksa
57
Ayunika, Op.Cit, Halaman :73
58
Edy, Suryono, Op.Cit. Halaman : 51
seorang wakil diplomatik dari kewajiban untuk menjadi saksi wakil diplomatik
4. Kekebalan Korespondensi
bebas guna kepentingan tujuan-tujuan resmi atau official purposes dari perwakilan
asing tersebut, tanpa mendapat halangan yang berupa tindakan pemeriksaan atau
perwakilan asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak untuk
berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan
Hubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik tersebut dengan
korespondansi didalam arti yang luas atau resmi adalah dinyatakan kebal atau tidak
dapat diganggu gugat. Tetapi harus dingat bahwa kebebasan hubungan komunikasi
tersebut haruslah dijalankan didalam hubungan yang resmi dan berkaitan dengan misi
Diplomatik
universal tentang kekebalan diplomatik yang meliputi tempat kediaman dan tempat
kerja atau kantor perwakilan pejabat diplomatik. Secara jelas terdapat di dalam pasal
22 dan 30 Konvensi Wina 1961. Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas
kantor perwakilan dan tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina
1961. Namun, hak kekebalan disini diartikan sebagai suatu hak dari gedung
perwakilan atau tempat kerja dan tempat kediaman seorang pejabat diplomatik utnuk
tempat kediaman dari pejabat diplomatik dinyatakan tidak dapat diganggu gugat atau
inviolable.60
diberikan. Masalah itu sebelumnya tidak diberikan namun beberapa negara seperti
tegas dalam memberikan hak kekebalan dan keistimewaan bagi pada diplomat yang
berpergian melalui negara ketiga baik menuju atau dari posnya. Negara ketiga hanya
yang diperlukan dalam rangka menjamin perjalanan diplomat itu dalam transit atau
kembali. Hak-hak yang sama juga diperlukan dalam hal anggota keluarga diplomat
yang menyertainya atau kepergian secara terpisah untuk bergabung dengannya atau
yang dalam perjalanan transit juga memperoleh perlindungan khusus dan bebas dari
penahanan sesuai dengan haknya yang tidak dapat diganggu-gugat, tetapi dapat pula
kepada mereka diadakan tuntutan terhadap perkara perdata dengan ketentuan bahwa
tuntutan ini tidak melibatkan penahana mereka dan mereka tidak mempunyai
hubungan antara penerima dan pengirim di satu pihak dan negara ketiga di lain pihak.
diterapkan bahwa dalam hal diplomat itu terpaksa harus transit karena force majeure
antara lain adanya pesawat yang dipaksakam harus mendarat dinegara ketiga. Dalam
kasus R.v. Governer of Pentoville Prison pada tahun 1971. Pengadilan di inggris
mata-mata dari Costa Rica yang bernama Dr. Teja, pemegang paspor diplomatik,
dimana ia tidak ditempatkan atau tidak menjadi tamu pemerintah sesuatu negara.
melekat pada perwakilan diplomatik (sebagai institusi) dan anggota misi (sebagai
1. Pembebasan Pajak
kementerian luar negeri setempat. Pada umumnya keistimewaan dalam perpajakan ini
akan dibebaskan dari semua pajak pribadi baik regional, nasional kecuali:
1) Pajak tidak langsung, sehingga tak berlaku pada pembelian barang di toko
2) Pajak atas barang-barang yang tidak bergerak yang terletak didalam daerah
Pada umumnya pembebasan bea cukai dan bagasi ini meliputi barang-barang
yang diimpor untuk keperluan perwakilan diplomatik dan keperluan rumah tangga
para pejabat diplomatik. Dalam hubungan ini pula bagasi-bagasi milik para pejabat
Pembebasan bea cukai dan bagasi ini diakui pula dalam Konvensi Wina 1961,
yang memberikan pembebasan bea cukai dan bagasi, baik bea masuk maupun bea
keluar dari pajak-pajak lainnya yang mempunyai hubungan dnegan itu, tanpa
pelayangan terhadap:65
pejabat diplomatik bebas daripada ketentuan kewajiban kemanan sosial yang mungkin
berlaku di dalam negara penerima, seperti kewajiban siskamling, jaga malam dan lain
lain. Pembebasan demikian juga berlaku untuk pelayan-pelayan pribadi yang turut
dijamin oleh Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa negara penerima harus
65 Ibid. Halaman: 65
66 Ibid. Halaman: 66
umum macam apapun dan dari kewajiban militer seperti yang berhubungan dengan
bukan warga negara Negara penerima dan keluarganya tidak akan memperoleh
negara penerima yang semata-mata karena berlakunya negara penerima, anak tersebut
Kekebalan dan Keistimewaan pejabat missi diplomatik ini mulai berlaku sejak
mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses menempati pos
kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya, atau jika sebelum diangkat oleh
berkedudukan di negara penerima maka awal berlakunya kekebalan hukum dan hak-
hak istimewa diplomatik dianggap telah ada sejak mereka diangkat oleh negara
pengirim atau dapat dikatakan pula sejak calon diplomat mendapatkan letter of
67 Ibid. Halaman: 67
68 Ibid.
credentials dari pemerintahnya maka hak kekebalan dan keistimewaan pejabat missi
pejabat tersebut harus diberitahukan oleh negara pengirim kepada negara penerima
melalui kementrian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang ditunjuk.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Konvensi Wina 1961 secara jelas
berbunyi “Setiap orang yang berhak akan kekebalan hukum dan hak-hak istimewa
akan mendapatnya sejak saat ia memasuki wilayah Negara penerima dalam proses
Adapun maksudnya adalah, setiap orang berhak atas hak istimewa dan
menikmati kekebalan (immunities) dari saat dia memasuki wilayah negara penerima
dan melanjutkan untuk mengambil pos itu, atau jika sudah dalam wilayah, dari saat
ketika itu adalah janji diberitahukan kepada Departemen Luar Negeri lain atau
departemen yang akan disepakati. Hak istimewa dan kekebalan diplomatik akan tetap
diplomatik bagi orang-orang yang berhak menikmati ini sesuai dengan ketentuan
tinggal mereka, swasta atau pejabat, dan harta benda mereka. Diganggu gugat ini
meliputi:
Serta pada Pasal 22 Konvensi Havana tahun 1928 tentang kapan hak
mereka dari saat mereka melewati perbatasan negara di mana mereka akan menjalani
misinya dan dimana posisi mereka telah diketahui. Hak kekebalan akan terus ada
selama periode misi dan bahkan setelah itu akan dihentikan, untuk waktu yang
diperlukan bagi petugas diplomasi dalam misi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
Pada Pasal 39 ayat (2) menegaskan, jika fungsi-fungsi dari orang-orang yang
dan keistimewaan yang melekat padanya secara normal akan berakhir, yaitu pada saat
ia meninggalkan negara penerima, atau pada saat berakhirnya suatu periode yang
layak, akan tetapi kekebalan dan keistimewaan akan terus ada sampai saat
berakhirnya periode yang dimaksud tersebut, bahkan dalam hal terjadinya konflik
bersenjata antara negara penerima dengan negara pengirim pun kekebalan dan
dalam rangka pelaksanaan fungsinya sebagai seorang anggota misi, kekebalan dan
69 Ibid.
waktu yang dianggap sebagai suatu periode yang layak sangat sulit karena Konvensi
Wina sendiri tidak menjelaskan kuantitasnya, karena itu untuk menentukan lamanya
didasarkan pada kebiasaan serta sopan santun internasional. Lalu berakhirnya hak
tersebut dapat juga diakibatkan atas penanggalan hak kekebalan dan keistimewaan
oleh negara penerima. Penanggalan atas hak tersebut harus dilakukan secara tegas
(Pasal 32 ayat (2)). Kekebalan dan keistimewaan diplomatik bersumber pada hukum
adalah subjek hukum internasional, sehingga dalam konteks ini subjek hukum
internasional adalah negara, bukan diplomat karena posisi diplomat dalam hal ini
menteri luar negeri, karena untuk pengurusan perwakilan diplomatik ini kepala negara
telah mempercayakan pada menteri luar negeri. Sedangkan yang memutuskan apakah
tetap berada pada kewenangan kepala negara berdasar pada kewenangan kepala
yang diberikan oleh menteri luar negeri negara pengirim dan mungkin berdasarkan
70 Ibid
BAB IV
terjadi di Jerman pada bulan April tahun 2009. Seorang Tenaga Kerja Indonesia
bekerja pada seorang Pejabat Diplomat Arab Saudi dan ia akan dibawa ke Berlin. Ia
tangga bagi diplomat di Jerman, yaitu 750 (tujuh ratus lima puluh) Euro sebulan
untuk 40 (empat puluh) jam kerja perminggu, sekitar 6 (enam) jam perhari, dan cuti
tahunan selama satu bulan. Keluarga diplomat tersebut hanya membayar upahnya
sekali, yaitu sebesar 150 (seratus lima puluh) Euro (Rp 1,8 juta) saat Ramadhan.
Tenaga kerja asal Indonesia tersebut bekerja bagi ketujuh anggota keluarga
diplomat, dari pukul 06.00 pagi sampai larut malam, dalam tujuh hari dalam
semestinya dari keluarga diplomat tersebut, seperti paspornya yang disita, gajinya tak
bahkan ia sering mendapatkan pukulan dan hinaan dari keluarga Diplomat Arab Saudi
tersebut. Kemudian ia meminta bantuan pada organisasi Hak Asasi Manusia yaitu
Jerman dan berhasil menyelamatkan diri dari apa yang telah dialaminya sekitar 19
Organisasi Ban Ying, aktivis buruh dan perempuan Heide Pfarr serta
Saudi ke pengadilan tenaga kerja di Berlin, dengan tuntutan gaji, uang lembur dan
uang ganti rugi total 70.000 (tujuh puluh ribu) Euro, sekitar 840 (delapan ratus empat
Selain itu diajukan tuntutan karena melakukan eksploitasi tenaga kerja. Pada
tanggal 14 (empat belas) bulan Juni tahun 2011, Pengadilan Tenaga Kerja Jerman
majikan. Dewi Ratnasari, nama samaran dari pelayan pribadi Diplomat Arab Saudi
yang juga digunakan dalam pengaduan, sudah kembali ke tanah air, tetapi tuntutannya
Heide Pfarr.
keluarganya (Konvensi Wina Tahun 1961 Pasal 29,30,31,37). Namun, dalam hal ini
diplomat tersebut telah melakukan pelanggaran HAM atas pelayan pribadi (private
servant). Dalam hal ini maka yang dapat dilakukan adalah mengembailkan diplomat
kebijakan dari Negara Arab Saudi tersebut, bisa diadili di negaranya sendiri ataupun
bertanggungjawab pada Negara Jerman. Hal tersebut dikarenakan Negara Arab Saudi
organ Negara dalam kapasitas resmi jabatanya (dalam hal ini pejabat diplomatik asal
Arab Saudi) telah melakukan tindakan yang tidak sesuai hukum nasional dan
internasional yakni yang tertuang dalam Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang
diplomatik asal Arab Saudi itu telah melanggar pasal-pasal yang berisi pemenuhan
hak yang dimiliki dan wajib diberikan kepada buruh migran (termasuk tenaga kerja
HAM yang dilakukan oleh pejabat diplomatik asal Arab Saudi terhadap TKW
pejabat diplomatic asal Arab Saudi, TKW itu dilempar botol parfum yang
melukai kepalanya, selain itu ia hanya tidur dilantai beralas kasur tipis dan
b. Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Internasional Tahun 1990, yang berbunyi “ Tidak
diperhambakan ”. Pada kasus diatas TKW itu diharuskan bekerja penuh tujuh
hari dalam sepekan, dari pagi hingga tengah malam, gajinya pun tidak
dibayarkan, hal tersebut tidak sesuai dengan kotrak kerja yang dibuat. Dimana
dalam kotrak kerja dituliskan bahwa TKW itu hanya diwajibkan bekerja
selama 40 jam dalam seminggu dan mendapat upah 750 Euro perbulan.
melanggar hukum bagi siapapun, selain seorang pejabat publik yang diberi
tinggal, tempat tinggal atau pembentukan dalam wilayah nasional atau ijin
kerja. Dalam hal apapun tidak diizinkan untuk menghancurkan paspor atau
dokumen setara dari buruh migran dan anggota keluarganya ”. Pada kasus
d. Pasal 25 Ayat (1) bagian (a) Konvensi Internasional Tahun 1990, yang
kondisi lain dari pekerjaan, yang mengatakan, lembur, jam kerja, istirahat
kerja dan kondisi kerja yang lain, menurut hokum dan praktek nasional, yang
dicakup dalam istilah ini ”. Pada kasus diatas TKW itu diharuskan bekerja
penuh tujuh hari dalam sepekan, dari pagi hingga tengah malam, gajinya pun
tidak dibayarkan.
Perlakuan yang tidak manusiawi dan melanggar HAM oleh pejabat diplomatik
tidak memberikan pakaian hangat, memforsir jam kerja TKW dalam sehari-harinya,
tidak membolehkan TKW itu keluar rumah dan tidak membayarkan gaji yang
harusnya diterima oleh TKW juga merupakan pelanggaran atas Pasal 5 Universal
punishment”. Artinya, tidak ada yang harus dikenai peyiksaan atau perlakuan kejam,
atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman. Diwaktu
tertentu, tidak ada yang akan dikenakan tanpa persetujuan bebas untuk experimen
Law of Government of Saudi Arabia 1992, diatur secara jelas pada Pasal 18 yang
menetapkan bahwa negara akan menjamin kebebasan dan tak dapat diganggu
gugatnya kepemilikan pribadi tidak akan disita, kecuali untuk kepentingan umum dan
penyitaan akan dikompensasi secara wajar. Berdasarkan pasal tersebut maka tindakan
pejabat diplomatik atau sebagai majikan yang menyita paspor milik TKW itu
Dengan adanya hal-hal tersebut pejabat diplomatik itu telah gagal dalam
melaksanakan fungsi misi diplomatiknya di negara penerima, untuk itu ia juga telah
melanggar Pasal 41 ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang
bersangkutan.
tindak pidana kepada Tenaga Kerja Wanita Indonesia adalah dengan melakukan
tergantung kebijakan dari Negara Arab Saudi tersebut, dapat diadili di negaranya
negaranya, maka yang berwenang untuk mengadili adalah pengadilan Arab Saudi.
Sehingga, diplomat Arab Saudi di Jerman yang telah melakukan penyiksaan terhadap
Tenaga Kerja Wanita Indonesia tersebut dapat dihukum atau tidaknya dengan hukum
Negara Jerman tergantung dari negosiasi Negara pengirim dan Negara penerima.
hukum (immunity) sehingga tanpa adanya penyerahan kewenangan Arab Saudi untuk
Negara penerima yang diatur dalam pasal 31 Konvensi Wina 1961 yang berisi :
1. Seorang agen diplomatik kebal dari yurisdiksi kriminil Negara penerima. Dia
juga kebal dari yurisdiksi sipil dan administratif kecuali dalam hal :
bukti.
dalam hal-hal yang masuk di dalam sub ayat (a), (b) dan (c) dari ayat 1 pasal
ini, dan dengan syarat bahwa tindakan itu dapat diambil tanpa melanggar
sebagai berikut :
Jerman berhak menerapkan hukum atas pejabat diplomatik itu terkait dengan
peraturan yang ada di Negara Jerman. Jika pejabat diplomatik yang melanggar hukum
tersebut tidak diadili oleh Negara penerima, bukan berarti bebas begitu saja dari
segala tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh peradilan
negaranya.
dilakukan warga negaranya di luar negeri. Disamping itu pemerintah Arab Saudi
Setiap negara bertindak berdasarkan peraturan yang berlaku, yang mana dalam
hal ini hukum internasional merupakan satu-satunya patokan atau dasar hukum dalam
yang dilakukan oleh diplomatik asing. Disebutkan tindakan negara penerima karena
reaksi yang pertama kali timbul akibat perbuatan diplomatik asing tersebut lebih dulu
dilakukan oleh negara penerima, yaitu dengan melakukan pengusran atau persona non
diplomatik.
khususnya terhadap mereka yang sudah tiba di negara tujuan, melibatkan kepada
bersifat politis maupun subversif dan bukan saja dapat juga merugikan
negara penerima.71
disini dapat melakukan pengusiran atau persona non grata terhadap pejabat
diplomatik, yang mana hal ini di atur dalam Konvensi Wina 1961, pada Pasal-Pasal
sebagai berikut:
1. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi Wina 1961, yang berbunyi:
1) Negara penerima, setiap waktu dan tanpa harus memberikan penjelasan atas
perwakilannya adalah persona non grata atau bahwa salah seorang staf
71
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit, halaman 122
dinyatakan persona non grata atau tidak dapat diterima bak sebelum tiba di
2) Jikalau negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam jangka waktu
yang pantas untuk melaksanakan kewajibannya tersebut dalam ayat (1) dari
Pasal ini, negara penerima dapat menolak untuk mengakui orang tersebut
Akan tetapi, apabila pemerintah Arab Saudi sebagai Negara pengirim tidak
sepenuhnya kepada Jerman untuk mengadili diplomatnya atas tindak pidana yang
kewenangan oleh Negara Arab Saudi kepada Negara Jerman sebelumnya diawali
dapat disebut juga dengan dasar hukum dari tindakan negara penerima di dalam
melakukan pengusiran atau persona non grata terhadap pejabat yang dilakukan oleh
yang mana dalam hal ini hukum internasional merupakan satu-satunya patokan atau
Disebutkan tindakan negara penerima karena reaksi yang pertama kali timbul
akibat perbuatan diplomatik asing tersebut lebih dulu dilakukan oleh negara penerima,
yaitu dengan melakukan pengusran atau persona non grata terhadap pejabat
yang disebut dengan persona non grata. Dalam hal persona non grata ini negara
penerima mengusir diplomat asing yang ada di negaranya karena tindakan dari
diplomatik yang dilakukan oleh wakil diplomatik asing dengan mempersona non
gratakannya ini adalah dengan cara pemberitahuan dan meminta kepada negara
pengirim untuk me-recall diplomatnya oleh negara penerima. Dan oleh kepala negara
pengirim akan disampaikan surat panggilan pulang atau letter of recall yang
disampaikan kepada kepala negara penerima. Dari kepala negara penerima diplomat
itu akan menerima kembali paspor-paspornya dan sebuah surat yang dinamakan letter
Pada kenyataannya jarang sekali terjadi seorang wakil diplomatik asing suatu
negara disuruh pulang atau kembali atas perintah langsung dari pemerintah negara
pengirim, karena biasanya pemerintah negara itu akan memberitahukan atau meminta
Jika pemerintah negara Arab Saudi menolak permintaan recall tadi maka
sebagai wakil diplomatik negara Jerman, dinyatakan persona non grata oleh karena
negara penerima. Yang mana tindakan dari diplomat Arab Saudi tersebut menerjang
maka pejabat diplomatik yang bersangkutan telah melanggar Pasal 352 Kitab
menganiaya adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja membuat orang lain luka-
luka atau menimbulkan rasa sakit. Pada kasus diatas TKW itu mengalami tindakan
Tidak hanya itu, pejabat diplomatik tersebut melanggar beberapa pasal dalam
a. Pasal 55, yang mengatur bahwa perjanjian kerja yang dibuat antara TKW dan
pihaknya. Pada kenyataan yang terjadi TKW itu diharuskan bekerja tidak
sesuai dengan waktu yang disepakati antara keduanya dan gaji TKW pun tidak
dibayarkan.
b. Pasal 79, yang mengatur bahwa majikan TKW itu wajib memberikan waktu
c. Pasal 86, yang mengatur bahwa setiap TKW itu memiliki hak untuk
kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
penganiayaan dan pelanggaran HAM itu ke dalam pengadilan Arab Saudi. Jika
dapat meminta bantuan terhadap Pemerintah Jerman sebagai pihak ketiga yang dapat
meminta Dewi Ratnasari untuk melayangkan gugatan yang ditujukan kepada mantan
upaya penyelesaian kasus pidana yang melibatkan warga Negara Arab Saudi.
ini nantinya diharapkan tidak ada lagi kejadian buruk yang menimpa warga Negara
Menghadapi kasus tindak pidana yang dilakukan oleh diplomat Arab Saudi
terhadap tenaga kerja wanita Indonesia (Dewi Ratnasari), bahwa Pemerintah Jerman
terus membantu Dewi Ratnasari melalui pengacara dan organisasi Ban Ying
menghangat di Jerman, Duta Besar Republik Indonesia segera mengutus staf untuk
memberikan bantuan kekonsuleran, terutama hak-hak dasar Dewi dan hak gaji,
bertemu dengan organisasi Ban Ying dan telah mengadakan kontak dengan para
pengacara Dewi. Staf Kedutaan Besar Republik Indonesia juga telah bertemu dengan
pejabat konsuler Kedutaan Besar Arab Saudi di Berlin membahas tentang proses
pengadilan Dewi dan meminta kerjasama Kedutaan Besar Arab Saudi untuk
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan penjelasan yang telah dijabarkan oleh penulis, maka
kemudian menjatuhi sanksi yang sesuai dengan hukum nasional yang berlaku
di Arab Saudi.
sebagai negara penerima dapat melakukan pengusiran atau persona non grata
terhadap pejabat diplomatik Arab Saudi, yang mana hal ini di atur dalam
terhadap diri wakil diplomatik asing tersebut. Hal ini disebabkan dari adanya
hak-hak kekebalan yang melekat pada diri setiap wakil diplomatik asing.
B. SARAN
pihak Indonesia sebagai salah satu peserta Konvensi Wina agar lebih
diplomatik ini.
luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
1992.
Widodo. Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi. Surabaya: Laks
Ak, Syahmin. Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: Penerbit
Alumni, 1995.
Widagdo, Setyo dan Hanif Nur W. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Malang:
Yogyakarta, 2010.
Croffs, 1955.
Green, Maryan N.A. International Law, Law of Peace. London: Mac Donald & Evans
Ltd, 1973.
Office, 1963-1973.
Castaneda, Jorge. Legal Effects of United Nations Resolutions. New York: Columbia
Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
B.Sen. A Diplomat Handbook of International Law and Practice. Nijhoff The Haque,
1979.
INSTRUMEN HUKUM
INTERNET
Januari 2017
http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-kekebalan-diplomatik-
dan.html?m=1,
http://kbbi.web.id/salah%20guna.menyalahgunakan,
http://mukahukum.blogspot.com/2009/04/hak-istimewa-dan-kekebalan-
diplomatik.html
2017
http://pih.kemlu.go.id/files/UU%20No.01%20Tahun%201982%20Tentang%2
0Pengesahan%20Konvensi%20Wina.pdf
Februari 2017
https://sites.google.com/site/publishedbysumadi/vienna1961
https://www.oxforddictionaries.com/
JURNAL