Anda di halaman 1dari 75

LAMPIRAN

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN


ANAK TANJUNGSARI
NOMOR :
TENTANG : PEDOMAN UPAYA KESELAMATAN
PASIEN

BAB I
KESELAMATAN PASIEN

KEGIATAN PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN

Kegiatan peningkatan mutu dan keselamatan pasien mem erlukan regulasi yang
didasarkan pada referensi ilmiah terikini. Karena ilmu pengetahuan terus berkembang,
maka rumah sakit wajib menyediakan referensi sesuai perkembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dapat dipergunakan untuk mendukung pelaksanaan program
peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

Referensi yang harus disediakan oleh rumah sakit dapat berupa literatur ilmiah
terkait asuhan pasien dan manajemen, international clinical guidelines, pedoman nasional
praktik kedokteran, panduan praktik klinis (clinical practice guidelines), panduan asuhan
keperawatan temuan penelitian dan metodologi pendidikan, fasilitas internet, bahan cetak
di perpustakaan, sumber-sumber pencarian online, bahan-bahan pribadi, dan peraturan
perundang-undangan merupakan sumber informasi terkini yang berharga.

Secara rinci referensi dan informasi terkini yang diperlukan rumah sakit dalam
meningkatkan mutu dan keselamatan pasien meliputi :
a. Literatur ilmiah dan informasi lainnya yang dapat dipergunakan untuk
mendukung asuhan pasien terkini, misalnya pedoman nasional pelayanan
kedokteran, International clinical guidelines, pedoman nasional asuhan
keperawatan dan informasi lainnya sesuai kebutuhan rumah sakit , misalnya
data indikator mutu di tingkat nasional atau internasional.
b. Literatur ilmiah dan informasi lainnya yang dapat dipergunakan untuk
mendukung terselenggaranya manajemen yang baik.
c. Literatur dan Informasi lainnya sesuai kebutuhan rumah sakit, misalnya data
indikator mutu di tingkat nasional atau internasional.
d. Peraturan perundang-undangan terkait dengan mutu dan keselamatan pasien di
rumah sakit termasuk pedoman-pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Referensi diatas agar dipergunakan dalam menyusun regulasi proses kegiatan
asuhan klinis pada pasien dan proses kegiatan manajemen yang baik.

Di sisi lain untuk melaksanakan program peningkatan mutu dan keselamatan


pasien, rumah sakit agar mempunyai regulasi peningkatan mutu dan keselamatan pasien
sebagai acuan dalam meningkatkan mutu dan keselamatan pasien rumah sakit yang dapat
dilengkapi dengan SPO sesuai kebutuhan.

PEMILIHAN DAN PENETAPAN PRIORITAS PENGUKURAN MUTU PELAYANAN

Peningkatan mutu dan keselamatan pasien dilakukan berdasarkan tersedianya


data. Penggunaan data secara efektif dapat dilakukan berdasarkan evidence-based praktik
klinik dan evidence-based praktik manajemen.

Direktur rumah sakit bersama dengan struktural, kepala unit dan komite PMKP memilih
dan menetapkan pengukuran mutu pelayanan klinis priorotas untuk dilakukan evaluasi.
Pengukuran mutu pelayanan klinis prioritas tersebut dilakukan dengan menggunakan
indikator-indikator mutu sesuai kebutuhan, sebaga berikut :
1) Indikator mutu area klinik (IAK) yaitu indikator mutu yang bersumber dari area
pelayanan
2) Indikator mutu area manajemen (IAM) yaitu indikator mutu yang bersumber dari
area manajemen
3) Indikator mutu Sasaran keselamatan Pasien yaitu indikator mutu yang mengukur
kepatuhan staf dalam penerapan sasaran keselamatan pasien dan budaya
keselamatan

Setiap tahun rumah sakit harus memilih focus perbaikan. Indikator mutu yang sudah dipilih
bila sudah tercapai terus menerus selama setahun, tidak bermanfaat untuk melakukan
perbaikan, karena sudah tidak ada lagi yang perlu diperbaiki, maka sebaiknya diganti
dengan indikator mutu baru.

Alur Penetapan Indikator :


1. Direktur RS berkoordinasi dengan struktural, kepala unit dan komite PMKP dalam
memilih dan menetapkan prioritas pengukuran mutu pelayanan klinis yang akan
dievaluasi
N DASAR PEMILIHAN PRIORITAS Y/T
o Apakah topik yang dipilih sudah sesuai dengan :
a. Misi dan tujuan strategis RS
b. Data-data permasalahan yang ada di Rumah Sakit
c. Sistem dan proses yang memperlihatkan variasi proses penerapan
pelayanan yang paling banyak,
d. Perbaikan yang berdampak pada efisiensi
e. Dampak pada perbaikan system
f. Riset klinik dan program pendidikan
Topik pelayanan yang ditingkatkan dapat ditetapkan bila minimal ada satu
jawaban : Ya

2. Berdasarkan prioritas tersebut, ditetapkan pengukuran mutu dengan menggunakan


indikator area klinis, indikator area manajemen, dan indikator sasaran keselamatan
pasien
3. Indikator prioritas dapat berfokus pada pencapaian tujuan strategis, sebagai
contoh : suatu RS menjadi pusat rujukan regional, maka direktur RS akan
meningkatkan mutu pelayanan RS tersebut sehingga mampu menjadi rujukan di
tingkat regional
4. Direktur RS dengan para pimpinan dan komite PMKP merancang upaya
peningkatan mutu pelayanan prioritas RS dengan memperhatikan :
a. Misi dan tujuan strategis RS
b. Data – data permasalahan yang ada di Rumah Sakit
c. Sistem dan proses yang memperlihatkan .ariasi proses penerapan pelayanan
dan hasil pelayanan yang paling banyak
d. Perbaikan yang berdampak pada efisiensi :
 Dampak perbaikan efisiensi dari suatu proses klinis yang kompleks
 Perbaikan suatu proses mengidentifikasi pengurangan biaya dan sumber
daya yang digunakan
 Hasil evaluasi dari dampak perbaikan terse!ut dapat menunjang
pemahaman
tentang biaya reatif yang dikeluarkan demi investasi mutu dan sumber daya
manusia, finansial dan keuntungan lain dari investasi tersebut
 Dampak pada perbaikan sistem sehingga efek dari perbaikan dapat terjadi
di seluruh Rumah Sakit
e. Dampak pada perbaikan sistem sehingga efek dari perbaikan dapat terjadi di
seluruh RS, misalnya manajemen obat di RS
5. Direktur RS membuat program peningkatan mutu pelayanan prioritas dengan
mengembangkan standarisasi proses dan hasil asuhan klinis pelayanan prioritas
serta mengembangkan pengukuran mutu klinis, manajerial, dan penerapan sasaran
keselamatan pasien

Prosedur Penetapan Area Prioritas


1. Identifikasi unit kerja di rumah sakit yang kritikal dan memiliki risiko tinggi ( high risk),
melakukan pelayanan dalam skala besar (high volume), dan cenderung memiliki
lebih banyak bermasalah (problem prone) yang langsung terkait dengan mutu
asuhan dan keamanan lingkungan.
Dapatkan informasi dari data insiden keselamatan pasien, komplain pasien, data 10
besar penyakit, atau data lain yang mendukung.
2. Tetapkan nilai dari unit kerja yang paling bermasalah dengan menggunakan 3
kriteria, diberi nilai 1-5 dari yang paling sedikit hingga yang paling banyak.
(a) high risk, dilihat dari laporan insiden dari unit
(b) high volume, dilihat dari jumlah pasien yang mendapatkan pelayanan di unit
tersebut
(c) problem prone, dilihat dari data register resiko masing-masing unit.
3. Hitung skor masing-masing unit dengan mengalikan skor ketiga kriteria tersebut.
Tetapkan area prioritasnya yaitu unit yang memiliki skor tertinggi setelah
dijumlahkan skor high risk, high volume, dan problem prone nya.
4. Tetapkan area pelayanan prioritasnya, yaitu pelayanan yang memiliki skor tertinggi
setelah dijumlahkan skor high risk, high volume, dan problem prone nya.

Prosedur Penetapan Indikator Prioritas


1. Identifikasi jenis pelayanan yang bermasalah dari area prioritas (unit yang skornya
paling tinggi) dengan melihat dari data insiden keselamatan pasien, komplain
pasien, data 10 besar penyakit, atau data lain yang mendukung.
2. Tetapkan nilai dari jenis pelayanan yang paling bermasalah dengan menggunakan
3 kriteria, diberi nilai 1-5 dari yang paling sedikit hingga yang paling banyak.
(a) high risk, dilihat dari laporan insiden dari unit
(b) high volume, dilihat dari jumlah pasien yang mendapatkan pelayanan di unit
tersebut
(c) problem prone, dilihat dari data register resiko masing-masing unit.
3. Hitung skor masing-masing unit dengan mengalikan skor ketiga kriteria tersebut.
Tetapkan area prioritasnya yaitu unit yang memiliki skor tertinggi setelah
dijumlahkan skor high risk, high volume, dan problem prone nya.
4. Tetapkan pelayanan prioritasnya, yaitu pelayanan yang memiliki skor tertinggi
setelah dijumlahkan skor high risk, high volume, dan problem prone nya.

EVALUASI PRIORITAS STANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN DI RUMAH SAKIT


Implementasi standar pelayanan kedokteran di rumah sakit berupa standar prosedur
operasional yang disusun dalam bentuk Panduan Praktik Klinik (PPK) yang dapat
dilengkapi dengan alur klinik/ Clinical Pathway, protokol, algoritme, prosedur atau standing
order. Terkait dengan pengukuran mutu pelayanan klinis prioritas, maka Direktur rumah
sakit bersama-sama dengan Struktural Medis, Komite medis, dan kelompok staf medis
terkait menetapkan paling sedikit 5 (lima) evaluasi prioritas standar pelayanan kedokteran
berupa Panduan Praktik Klinis (PPK) atau alur klinis/ Clinical Pathway atau protokol,
algoritme, prosedur atau standing order yang dimonitor implementasinya oleh Komite
Medik dan atau Sub Komite Mutu Profesi. Evaluasi prioritas standar pelayanan kedokteran
tersebut dipergunakan untuk mengukur keberhasilan dan efisiensi peningkatan mutu
pelayanan klinis prioritas rumah sakit.

Tujuan dari evaluasi adalah untuk menilai efektifitas penerapan standar pelayanan
kedokteran di rumah sakit sehingga dapat dibuktikan bahwa penggunaan standar
pelayanan kedokteran di rumah sakit telah mengurangi adanya variasi dari proses dan
hasil serta berdampak terhadap efisensi (kendali biaya).

Indikator Area Klinis (IAK), Indikator Area Manajemen (IAM), dan Indikator Sasaran
Keselamatan Pasien (ISKP) dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap
kepatuhan standar pelayanan kedokteran di rumah sakit, misalnya kepatuhan terhadap
pemberian terapi, pemeriksaan penunjang, dan lama hari rawat (LOS).

A. Penetapan PPK dan Clinical Pathway


Karena keterbatasan sumber daya dan luasnya area pelayanan, maka Rumah Sakit
Ibu dan Anak Tanjungsari memilih 5 penyakit prioritas yang akan diupayakan untuk
ditingkatkan mutunya. Untuk menentukan standar yang akan disusun dapat
digunakan 4 macam kriteria dasar untuk memilih prioritas, yaitu :
 Penyakit dengan angka kejadian besar (high volume)
 Penyakit berisiko tinggi (high risk),
 Penyakit yang memerlukan biaya tinggi (high cost),
 Penyakit tersebut relatif menjadi masalah (problem prone).

B. Kepatuhan DPJP terhadap pelaksanaan 5 Clinical Pathway


Evaluasi prioritas standar pelayanan kedokteran dapat dilakukan melalui audit
medis dan atau audit klinis, dan dapat menggunakan indikator mutu.

Audit Klinis
Audit Klinik ( Clinical Audit ) adalah suatu kegiatan peningkatan mutu proses dan
hasil dari pelayanan klinik yang dilakukan dalam bentuk telaah sistematis terhadap
pelayanan medik yang telah diberikan dibandingkan dengan kriteria / standar yang
dinyatakan secara eksplisit , dan diikuti dengan upaya perbaikan sehingga audit
klinik dapat disebut juga sebagai audit medic. Audit klinis bertujuan meningkatkan
pelayanan dan hasil pasien melalui tinjauan pelayanan secara sistematis terhadap
kriteria yang jelas dan implementasi perubahan .
Audit Klinik mencakup audit pelayanan medik, pelayanan keperawatan dan
pelayanan penunjang medik, sehingga audit klinik mengintergrasikan kegiatan audit
medik dan audit keperawatan .
Langkah Langkah Audit Klinis adalah :
1. Memilih Dan Menetapkan Topik

Penentuan topik audit dilakukan pada rapat komite medik yang dihadiri oleh
direktur rumah sakit, komite PMKP, dan sub komite mutu profesi . Dasar
penentuan topik adalah dari :

- Data kesalahan medis /medical error.

- Data observasi proses pemberian pelayanan.

- Masukan dari managemen, PPA dan unit pelayanan

Topik audit dipilih dengan kriteria sebagai berikut :


- Memenuhi 3H + 1P (high volume, high risk, high cost dan problem prone
- Dapat dilakukan perbaikan

- Mendapat dukungan / konsensus semua anggota bagian yang terlibat.

- Memiliki panduan klinik (clinical guidelines) sebagai pedoman.

2. Menentukan Latar Belakang, Tujuan Dan Sasaran Audit.

Latar belakang, tujuan dan sasaran audit harus dibuat untuk memastikan audit
yang dilakukan tetap fokus serta menggunakan waktu dan sumber daya sebaik-
baiknya.
Latar belakang berisikan :

- Rasionalitas penyakit yang dipilih.

- Pengertian singkat dari penyakit yang menjadi topik

- Data epidemiologi dari penyakit tersebut baik secara internasional, nasional,


dan dalam ruang lingkup rumah sakit
- Ketersediaan panduan dan beberapa isi pentingnya.

- Permasalahan yang ada.

Tujuan berisi gambaran yang akan dicapai dari suatu audit, yaitu untuk
memastikan dan memperbaiki mutu pelayanan kesehatan.

Sasaran berisi langkah-langkah untuk mencapai tujuan audit, yaitu dengan


menggunakan aspek dimensi mutu :
- Appropriatneness : sesuai dengan standar.
- Timeliness : tepat waktu.
- Effectiveness ; hasil sesuai harapan.

3. Menyusun Kriteria Audit.


Kriteria Audit adalah bukti yang diperlukan untuk memastikan bahwa pasien telah
diberikan pelayanan pada taraf yang seoptimal mungkin. Kriteria audit harus
bersifat SMART yaitu Spesific ( jelas dan khusus, tidak ambigu, bebas dari
kepentingan tertentu), Measureable (dapat diukur), Agreed (disetujui semua
pihak) Relevant (besangkut-paut) dan Theoretical sound (memiliki bukti klinis
yang terbaik dan terbaru)

Kriteria dapat berupa :


- Diagnosis

- Pengobatan

- Tindakan

- Reaksi penderita

- Keadaan lain terkait dengan kondisi penyakit

4. Menyusun Standar, Perkecualian, Petunjuk Pengambilan Data Dan Variasi.


- Standar dipakai untuk menentukan apakah suatu catatan medik memenuhi
kriteria pedoman audit atau tidak. Contoh pada ulukus diabetes, kriteria
pemeriksaan gula darah standarnya 100 % harus dilakukan.
- Perkecualian adalah keadaan yang mungkin merupakan alasan bagi sebuah
catatan medis untuk tidak memenuhi standar yang berhubungan dengan
kondisi pasien, misalnya pasien tidak diberikan antibiotic tertentu karena
alergi. Perkecualian tidak boleh berhubungan dengan hal diluar klinis pasien
(misalnya masalah manajemen). Contoh : criteria auditnya adalah harus
dilakukan pemeriksaan gula darah, namun tidak dilakukan karena alat
glukosameter rusak atau pasien tidak mampu bayar.
- Petunjuk pengambilan data adalah menunjukan bagian rekam medis yang
dapat diambil sebagai data.
- Variabel adalah hal-hal tertentu baik dari aspek rumah sakit, dokter, perawat,
pasien yang mempengaruhi mutu pelayanan.

5. Memilih Populasi Dan Sampel Audit.

Populasi dan sampel diambil sesuai dengan penyakit yang sudah ditentukan.
Jumlah sampel ditentukan dengan cara :
- Menetapkan jumlah populasi.
- Menentukan angka kepercayaan
- Menentukan tingkat ketidak tepatan

6. Mengumpulkan Data Audit.

Ada 2 cara pengumpulan data audit yaitu retrospektif (mengambil data yang
sudah ada / data di masa lampau) atau prospektif (mengambil data saat ini dan
masa yang akan datang sampai dengan terselesaikannya proses audit)

Langkah-langkah pengambilan data sebagai berikut :

- Ambil rekam medik yang menjadi sampel audit, pelajari apakah setiap kriteria
yang ditentukan telah terpenuhi dalam rekam medik tersebut

- Lakukan pencatatan dan penilaian kesesuaian tindakan

- Pisahkan rekam medik yang mengandung penyimpangan (tidak sesuai criteria)


berdasarkan pedoman dan instrumen audit yang telah disusun

7. Menganalisa Data Audit.

Sebelum data dianalisa dengan tools statistic, terlebih dahulu lakukan re-check
analisa penyimpangan dan perkecualian untuk memastikan apakah hasil audit
sudah benar. Analisa audit klinis umumnya dilakukan dengan statistic deskriptif
dan RCA (root cause analysis) dengan metoda diagram tulang ikan (fish bone).
Statistik deskriptif digambarkan dalam bentuk tabel maupun grafik. RCA dipakai
untuk menemukan penyebab ketidaksesuaian antara kenyataan dan criteria
standar.

8. Menetapkan Perubahan /Plan Of Action.

Bagian terpenting dari siklus audit adalah membuat rencana perubahan dan
perbaikan. Supaya efektif maka perubahan harus :

- Ditujukan pada yang kompeten, yaitu PPA yang terlibat langsung dalam
proses pelayanan
- Perubahan dilaksanakan dalam batas waktu tertentu. Jangka waktu
pelaksanaan perubahan tidak lebih dari 3 bulan untuk dilakukan re-audit.
- Dibuat rencana tindak lanjut

9. Re-Audit.
Tujuan re audit adalah untuk melihat apakah telah terjadi perubahan setelah
menerapkan POA. Proses re-audit sama dengan proses audit. Uji statistic
membandingkan proses audit dan re-audit menggunakan chi-square test.

C. Pelaporan hasil kepatuhan DPJP terhadap PPK dan Clinical Pathway


Pencatatan dibuat setiap bulan dan pelaporan hasil kepatuhan DPJP terhadap Clinical
Pathway dilakukan setiap 3 bulan sekali.

KRITERIA PEMILIHAN INDIKATOR MUTU UNIT KERJA DAN UNIT PELAYANAN


Pemilihan indikator adalah tanggungjawab dari direktur Rumah Sakit, namun semua
unit pelayanan baik klinis ataupun manajerial harus memilih indikator yang terkait dengan
priorotas unit. Pimpinan unit kerja terlibat langsung dalam pemilihan dan penetapan yang
ingin diukur di unit kerja. Indikator mutu unit kerja dapat menggunakan indikator mutu yang
tercantum di dalam standar pelayanan minimal. Indikator mutu di unit pelayanan dapat
meliputi indikator mutu klinis, area manajemen dan penerapan sasaran keselamatan
pasien, dan indikator mutu unit kerja (non pelayanan) minimal meliputi indikator area
manajemen.
Dalam memilih indikator mutu maka kepala unit kerja dan unit pelayanan agar
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Indikator mutu nasional, dimana sumber data ada di unit tersebut;
b. prioritas pengukuran mutu pelayanan klinis di rumah sakit. Indikator mutu
yang dipergunakan untuk mengukur mutu di prioritas pengukuran mutu
rumah sakit, sumber data pasti dari unit, dan menjadi indikator mutu unit;
c. fokus mengukur hal-hal yang ingin diperbaiki;
d. melakukan koordinasi dengan komite medis bila evaluasi penerapan
panduan praktik klinis dan evaluasi kinerja dokter menggunakan indikator
mutu;
e. indikator mutu yang dipergunakan untuk melakukan evaluasi kontrak
pelayanan klinis atau non klinis, bila sumber data ada di unit tersebut.

Komite PMKP akan melakukan koordinasi dan mengorganisasi pemilihan indikator


mutu di unit kerja sehingga indikator terpilih tersebut memiliki sifat berikut :
a. Valid (sahih) ; indikator benar-benar dapat dipakai untuk mengukur aspek-aspek
yang akan dinilai.
b. Reliable (dapat dipercaya) ; mampu menunjukkan hasil yang sama pada saat
yang berulang kali, untuk waktu sekarang maupun yang akan datang.
c. Sensitive (peka) ; cukup peka untuk mengukur sehingga jumlahnya tidak perlu
banyak
d. Spesifik ; memberikan gambaran prubahan ukuran yang jelas dan tidak
tumpang tindih
Pengukuran mutu juga perlu memperhatikan enam dimensi mutu dari WHO yaitu:

Setiap indikator yang sudah dipilih agar dilengkapi dengan profil indikator. Jadi
setelah kepala unit memilih indikator mutu unit, maka Komite PMKP akan membantu
menyusun profil indikatornya yang terdiri dari :
(1) Judul indikator
(2) Dasar pemikiran
(3) Dimensi mutu
(4) Tujuan
(5) Definisi operasional
(6) Jenis indikator
(7) Numerator (pembilang)
(8) Denominator (penyebut)
(9) Target pencapaian
(10) Kirterian inklusi dan eksklusi
(11) Formula
(12) Sumber daya
(13) Frekuensi pengumpulan data
(14) Periode analisia
(15) Cara pengumpulan data
(16) Sampel
(17) Rencana analisis
(18) Instrument pengambilan data
(19) Penanggungjawab

MANAJEMEN RESIKO PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN


Manajemen resiko peningkatan mutu dan Keselamatan Pasien dilakukan dengan
menggunakan pendekatan proaktif dalam melaksanakan manajemen risiko di semua
unit.
Langkah-langkah manajemen risiko:
a. Identifikasi Risiko
b. Menetapkan prioritas risiko
c. Analisis risik
d. Pengelolaan risiko
e. Evaluasi

Langkah manajemen risiko seperti yang digambarkan dibawah ini:

Gambar 5.1 Diagram Manajemen Risiko

Alat-alat manajemen risiko yang digunakan di RSIA Tanjungsari antara lain:


a. Non Statistical Tools: untuk mengembangkan ide, mengelompokkan,
memprioritaskan dan memberikan arah dalam pengambilan keputusan. Alat-alat
tersebut meliputi Fish bone, Bagan alir, RCA, FMEA.
b. Statistical Tools, lembar periksa (check sheet).
1. Fish Bone dan PDSA
Identifikasi masalah dapat dilakukan dengan menggambarkan diagram sebab akibat
atau diagram tulang ikan (fish-bone). Diagram tulang ikan adalah alat untuk
menggambarkan penyebab-penyebab suatu masalah secara rinci. Diagram tersebut
memfasilitasi proses identifikasi masalah sebagai langkah awal untuk menentukan fokus
perbaikan, mengembangkan ide pengumpulan data, mengenali penyebab terjadinya
masalah dan menganalisa masalah tersebut Diagram tulang ikan diperlihatkan pada
gambar 1.

Gambar 4.1. Diagram Tulang Ikan


Langkah-langkah menggambarkan diagram tulang ikan:
1. Masalah yang akan dianalisis diletakkan disebelah kanan (kepala tulang ikan)
2. Komponen struktur dan proses masalah diletakkan pada sirip ikan (manusia,
mesin/peralatan, metode, material, lingkungan).
3. Kemudian dilakukan diskusi untuk menganalisa penyebab masalah pada setiap
komponen struktur dan proses tersebut.
Pengendalian adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang harus dilakukan untuk
menjamin tercapainya sasaran perusahaan dalam hal kualitas produk dan jasa pelayanan
yang diproduksi. Pengendalian kualitas pelayanan pada dasarnya adalah pengendalian
kualitas kerja dan proses kegiatan untuk menciptakan kepuasan pelanggan (quality of
customer’s satisfaction).
Pengertian pengendalian kualitas pelayanan di atas mengacu pada siklus
pengendalian (control cycle) dengan memutar siklus “Plan-Do-Study-Action” (P-D-S-A) =
Relaksasi (rencanakan – laksanakan – periksa - aksi). P-D-S-A adalah alat yang
bermanfaat untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (continous improvement)
tanpa berhenti.
Konsep P-D-S-A tersebut merupakan panduan bagi setiap manajer untuk proses
perbaikan kualitas (quality improvement) secara terus menerus tanpa berhenti tetapi
meningkat ke keadaaan yang lebih baik dan dijalankan di seluruh bagian organisasi,
seperti tampak pada gambar 2.
Dalam gambar 2 tersebut, pengidentifikasian masalah yang akan dipecahkan dan
pencarian sebab-sebabnya serta penetuan tindakan koreksinya, harus selalu didasarkan
pada fakta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya unsur subyektivitas dan
pengambilan keputusan yang terlalu cepat serta keputusan yang bersifat emosional.
Selain itu, untuk memudahkan identifikasi masalah yang akan dipecahkan dan sebagai
patokan perbaikan selanjutnya perusahaan harus menetapkan standar pelayanan.
Gambar 4.2. Siklus dan Proses Peningkatan PDSA
Hubungan pengendalian kualitas pelayanan dengan peningkatan perbaikan berdasarkan
siklus P-D-S-A (Relationship between Control and Improvement under P-D-S-A Cycle)
diperlihatkan dalam gambar 3. Pengendalian kualitas berdasarkan siklus P-D-S-A hanya
dapat berfungsi jika sistem informasi berjalan dengan baik dan siklus tersebut dapat
dijabarkan dalam enam langkah seperti diperlihatkan dalam gambar 4.

Plan Do Study
Action

Follow-
Corrective up
Action

Improvement

Gambar 4.3. Relationship Between Control and Improvement


Under P-D-C-A Cycle
(1) Plan
Menentukan
Actio Tujuan dan
(6)
nn sasaran
Mengambil (2)
tindakan Menetapkan
Metode untuk
yang tepat Mencapai tujuan

Menyelenggarakan
(5) Pendidikan dan
latihan
Memeriksa
Stud (4)
akibat
y Melaksanakan
(3)
pelaksanaan
pekerjaan
Do

Gambar 4.4 Siklus PDSA


Keenam langkah P-D-S-A yang terdapat dalam gambar 4 di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Langkah 1. Menentukan tujuan dan sasaran → Plan
Tujuan dan sasaran yang akan dicapai didasarkan pada kebijakan yang ditetapkan.
Penetapan sasaran tersebut ditentukan oleh Kepala RS atau Kepala Divisi. Penetapan
sasaran didasarkan pada data pendukung dan analisis informasi.
Sasaran ditetapkan secara konkret dalam bentuk angka, harus pula diungkapkan
dengan maksud tertentu dan disebarkan kepada semua karyawan. Semakin rendah
tingkat karyawan yang hendak dicapai oleh penyebaran kebijakan dan tujuan, semakin
rinci informasi.

b. Langkah 2. Menentukan metode untuk mencapai tujuan → Plan

Penetapan tujuan dan sasaran dengan tepat belum tentu akan berhasil dicapai tanpa
disertai metode yang tepat untuk mencapainya. Metode yang ditetapkan harus
rasional, berlaku untuk semua karyawan dan tidak menyulitkan karyawan untuk
menggunakannya. Oleh karena itu dalam menetapkan metode yang akan digunakan
perlu pula diikuti dengan penetapan standar kerja yang dapat diterima dan dimengerti
oleh semua karyawan.

c. Langkah 3. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan → Do

Metode untuk mencapai tujuan yang dibuat dalam bentuk standar kerja. Agar dapat
dipahami oleh petugas terkait, dilakukan program pelatihan para karyawan untuk
memahami standar kerja dan program yang ditetapkan.

d. Langkah 4. Melaksanakan pekerjaan →Do

Dalam pelaksanaan pekerjaan, selalu terkait dengan kondisi yang dihadapi dan standar
kerja mungkin tidak dapat mengikuti kondisi yang selalu dapat berubah. Oleh karena
itu, ketrampilan dan pengalaman para karyawan dapat dijadikan modal dasar untuk
mengatasi masalah yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan karena
ketidaksempurnaan standar kerja yang telah ditetapkan.

e. Langkah 5: Memeriksa akibat pelaksanaan →Study

Manajer atau atasan perlu memeriksa apakah pekerjaan dilaksanakan dengan baik
atau tidak. Jika segala sesuatu telah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan
mengikuti standar kerja, tidak berarti pemeriksaan dapat diabaikan. Hal yang harus
disampaikan kepada karyawan adalah atas dasar apa pemeriksaan itu dilakukan. Agar
dapat dibedakan manakah penyimpangan dan manakah yang bukan penyimpangan,
maka kebijakan dasar, tujuan, metode (standar kerja) dan pendidikan harus dipahami
dengan jelas baik oleh karyawan maupun oleh manajer. Untuk mengetahui
penyimpangan, dapat dilihat dari akibat yang timbul dari pelaksanaan pekerjaan dan
setelah itu dapat dilihat dari penyebabnya.
f. Langkah 6 : Mengambil tindakan yang tepat →Action

Pemeriksaan melalui akibat yang ditimbulkan bertujuan untuk menemukan


penyimpangan. Jika penyimpangan telah ditemukan, maka penyebab timbulnya
penyimpangan harus ditemukan untuk mengambil tindakan yang tepat agar tidak
terulang lagi penyimpangan. Menyingkirkan faktor-faktor penyebab yang telah
mengakibatkan penyimpangan merupakan konsepsi yang penting dalam pengendalian
kualitas pelayanan.

Konsep PDSA dengan keenam langkah tersebut merupakan sistem yang efektif
untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk mencapai kualitas pelayanan yang akan
dicapai diperlukan partisipasi semua karyawan, semua bagian dan semua proses.
Partisipasi semua karyawan dalam pengendalian kualitas pelayanan diperlukan
kesungguhan (sincerety), yaitu sikap yang menolak adanya tujuan yang semata-mata
hanya berguna bagi diri sendiri. Dalam sikap kesungguhan tersebut yang dipentingkan
bukan hanya sasaran yang akan dicapai, melainkan juga cara bertindak seseorang untuk
mencapai sasaran tersebut.
Partisipasi semua pihak dalam pengendalian kualitas pelayanan mencakup semua
jenis kelompok karyawan yang secara bersama-sama merasa bertanggung jawab atas
kualitas pelayanan dalam kelompoknya. Partisipasi semua proses dalam pengendalian
kualitas pelayanan dimaksudkan adalah pengendalian tidak hanya terhadap outcome,
tetapi terhadap hasil setiap proses. Proses pelayanan akan menghasilkan suatu pelayanan
berkualitas tinggi, hanya mungkin dapat dicapai jika terdapat pengendalian kualitas dalam
setiap tahapan dari proses. Dimana dalam setiap tahapan proses dapat dijamin adanya
keterpaduan, kerjasama yang baik antara kelompok karyawan dengan manajemen,
sebagai tanggung jawab bersama untuk menghasilkan kualitas hasil kerja dari kelompok,
sebagai mata rantai dari suatu proses.

2. Root Causes Analysis (RCA)


Langkah-langkah melakukan RCA:
a. Investigasi kejadian
b. Rekonstruksi kejadian
c. Analisis sebab untuk mengidentifikasi penyebab masalah
d. Menyusun rencana tindakan
e. Melaporkan proses analisis dan temuan

3. Bagan alir/diagram alur/flow chart:


Digunakan untuk menggambarkan urutan langkah dari suatu proses spesifik yang
dipakai untuk mengidentifikasi masalah, menganalisis masalah serta menentukan
“ideal path” dalam perencanaan perbaikan.
Simbol-simbol yang digunakan pada Bagan Alir ditunjukan pada gambar dibawah ini:
Awal/ akhir
proses Penghubung

Kegiatan
Keput
usan

Gambar 5.2 Simbol yang digunakan

4. Failure Mode and Cause Analysis (FMEA)


Suatu alat mutu untuk mengkaji suatu prosedur secara rinci dan mengenali model-
model adanya kegagalan/kesalahan pada suatu prosedur, melakukan penilaian
terhadap tiap model kesalahan/kegagalan dan mencari solusi dengan melakukan
perubahan desain/prosedur.
Delapan tahap FMEA (JCAHO, 2005)
a. Memilih proses yang berisiko tinggi dan membentuk tim
b. Membuat diagram proses atau alur proses dengan flow chart yang
rinci
c. Untuk setiap kemungkinan kegagalan (failure mode), identifikasi
efek yang mungkin terjadi ke pasien (the effect)
d. Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dari efek tersebut ke
pasien.
e. Melakukan Root Cause Analysis dari Failure Mode
f. Desain ulang proses
g. Analisa dan uji coba proses yang baru
h. Terapkan dan awasi proses yang sudah didesain ulang tadi

Tabel 5.1 Risk Priority Numbers (RPN)


S O D
Severity (Keparahan) Occurence Detectable
(Keseringan) (Terdeteksi)
1. Minor 1. Hampir tidak pernah 1. selalu
2. Moderate terjadi terdeteksi
3. Minor Injury 2. jarang 2. sangat mungkin
4. Mayor Injury 3. kadang-kadang terdeteksi
5. Terminal 4. sering 3. Mungkin
injury/death 5. sangat sering dan terdeteksi
pasti 4. Kemungkinan
kecil terdeteksi
5. Tidak mungkin
terdeteksi

Pelaksanaan :
RS memastikan bahwa seluruh staf yang terkait mampu melakukan analisis akar
masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa masalah tersebut terjadi untuk
kemudian menyusun rencana tindak lanjutnya.
a. Analisis akar masalah (RCA) dilakukan untuk melakukan identifikasi apabila
ditemukan permasalahan dalam pemenuhan indikator mutu dan manajerial serta
pengelolaan insiden.
b. Proses mengurangi risiko dilakukan paling sedikit satu kali dalam setahun dan
dibuat dokumentasinya, dengan menggunakan FMEA (Failure Mode and Effect
Analysis). Proses yang dipilih adalah proses dengan risiko tinggi.

BAB II
KESELAMATAN ATAS RISIKO INFEKSI

A. KEGIATAN POKOK
1. Memutus mata rantai infeksi dengan menerapkan kewaspadaan isolasi
2. Mencegah terjadinya infeksi pada pemakaian alat dan tindakan operasi dengan
melaksanakan bundles pencegahan
3. Melaksanakan kegiatan surveilans HAIs untuk memperbaiki implementasi
berikutnya
4. Mencegah terjadinya resistansi antimikroba dengan menggunakan antimikroba yang
rasional
5. Meningkatkan pengetahuan seluruh staf tentang PPI melalui diklat
6. Melaksanakan program:
Program pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit ini mencakup:
a. Kebersihan tangan
b. Kebersihan lingkungan rumah sakit
c. Surveilans risiko infeksi
d. Investigasi wabah (outbreak) penyakit infeksi
e. Meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan antimikroba secara aman
f. Asesmen berkala terhadap risiko dan analis risiko, serta menyusun risk register
g. Menetapkan sasaran penurunan risiko
h. Mengukur tingkat infeksi dan mereview risiko infeksi
i. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksaan PPI

B. RINCIAN KEGIATAN
1. Kebersihan tangan/hand hygiene:
a. Melakukan sosialisasi dan edukasi
b. Memasang peralatan atau perlengkapan untuk kebersihan tangan
c. Melakukan audit kepatuhan cuci tangan
d. Melakukan monitoring dan evaluasi program kebersihan tangan
e. Membuat laporan hasil monitoring
2. Kebersihan lingkungan rumah sakit
a. Koordinasi dengan cleaning service dan IPSRS dalam pemantauan kebersihan
b. Koordinasi dengan unit cleaning service dan IPSRS dalam melakukan
pemantauan lain
c. Pemantauan pembersihan lingkungan perawatan dan membatasi peralatan dan
perlengkapan pasien yang tidak perlu
d. Koordinasi dengan unit cleaning service dan sanitarian dalam melakukan
pemantauan pengendalian binatang
e. Koordinasi dengan unit cleaning service dan sanitarian dalam melakukan
pemantauan uji kualitas udara, air, lingkungan steril
f. Evaluasi dan membuat laporan hasil pemantauan program
3. Surveilans risiko infeksi
a. Membuat perencanaan kegiatan survailans harian maupun bulanan yang
meliputi:
1) Surveilans ISK (Infeksi Saluran Kemih)
2) Surveilans IDO/ILO (Infeksi Daerah Operasi/Infeksi Luka Operasi)
3) Survailans IAD (Infeksi Aliran Darah)
4) Surveilans Plebitis
5) Surveilans Dekubitus
b. Melakukan sosialisasi pelatihan survailans kepada IPCLN atau penanggung
jawab ruangan
c. Melakukan survailans infeksi di ruangan setiap hari
d. Mengisi form survailans harian dan bulanan
e. Melakukan pengumpulan data survailans
f. Melakukan analisis data dengan cepat dan tepat
g. Membuat interpretasi data
h. Membuat laporan secara periodik dari laporan bulanan, triwulan, semesteran,
dan tahunan
i. Melakukan monitoring dan evaluasi hasil survailans
4. Investigasi wabah (outbreak) penyakit infeksi
a. Melaporkan kepada komite PPI bila ada kejadian KLB
b. Melakukan investigasi kejadian
c. Membentuk tim KLB
d. Melaporkan ke direktur dan pihak terkait
e. Menyediakan sarana dan prasarana
f. Pengawasan
g. Memberi pengumuman KLB berakhir
h. Membuat laporan lengkap KLB untuk komite PPI dan direktur
5. Meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan antimikroba secara aman
a. Membuat peta kuman. RSIA Tanjungsari mengadaptasi peta kuman di
lingkungan rumah sakit terdekat yang memiliki peta kuman
b. Koordinasi pembuatan pedoman penggunaan antimikroba yang rasional.
Berdasarkan peta kuman yang diadaptasi, pedoman penggunaan antimikroba
juga dapat diadaptasi
c. Koordinasi dengan tim PPRA dalam pengawasan terhadap penggunaan
antimikroba secara aman
6. Asesmen berkala terhadap risiko dan analis risiko, serta menyusun risk register
a. Asesmen berkala terhadap risiko dan analisis risiko, serta menyusun risk register
ICRA HAIs
b. Asesmen berkala terhadap risiko dan analisis risiko, serta menyusun risk register
ICRA prosedur dan proses invansif
c. Asesmen berkala terhadap risiko dan analisis risiko, serta menyusun risk register
ICRA pada proses kegiatan penunjang pelayanan
d. Asesmen berkala terhadap risiko dan analisis risiko, serta menyusun risk register
ICRA konstruksi
7. Menetapkan sasaran penurunan risiko
a. Pemantauan peralatan perawatan pasien (teknik dekontaminasi alat medis dan
nonmedis)
1) Sosialisasi cara penatalaksanaan perawatan peralatan pasien
2) Evaluasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan peralatan yang sudah dijalankan
setiap hari guna melakukan pembenahan program CSSD yang memenuhi
standar rumah sakit
3) Perbaikan sistem pengelolaan peralatan ruangan dan CSSD dari tata
ruangan, alur, sistem sterilisasi, dan pendistribusian
4) Pemantauan pengelolaan peralatan dan pencucian (pre cleaning-cleaning),
desinfeksi, sterilisasi, sampai dengan penyimpanan
5) Pemantauan pembersihan ruangan dan peralatan di CSSD
6) Pemantauan pengujian proses validasi sterilisasi peralatan secara berkala
7) Pemantauan uji sterilitas ruangan/kualitas udara secara berkala
8) Monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan kegiatan di ruangan maupun
CSSD
b. Manajemen linen dan laundry
1) Sosialisasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan linen di ruangan maupun di
laundry
2) Evaluasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan linen yang sudah dijalankan
setiap hari guna untuk melakukan pembenahan manajemen linen dan
laundry yang memenuhi standar rumah sakit
3) Perbaikan sistem pengelolaan linen dan laundry dari setting ruangan, alur,
dan sistem pendistribusian
4) Pemantauan pengelolaan linen dari pencucian (pre cleaning, cleaning)
distribusi, sterilisasi, sampai dengan penyimpanan
5) Pemantauan pembersihan ruangan dan peralatan di ruang laundry
6) Pemantauan uji sterilitas ruangan dan kualitas udara secara berkala
7) Monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan kegiatan di ruang laundry
c. Pengolahan limbah (tajam, infeksius, non infeksius, cairan tubuh)
1) Pengawasan pembuangan limbah sesuai jenisnya dan tempatnya
2) Audit pembuangan limbah sesuai jenisnya dan tempatnya
3) Monitoring dan evaluasi pengelolaan limbah dan Instalasi Pengolahan
Limbah (IPAL).
d. Pemakaian Alat Perlindungan Diri (APD)
1) Pemantauan penggunaan APD sesuai indikasi
2) Audit kepatuhan penggunaan APD yang benar
e. Teknik Menyuntik Yang Aman
Audit kepatuhan dalam tindakan menyuntik yang aman

8. Mengukur tingkat infeksi dan mereview risiko infeksi


a. ICRA HAIs
b. ICRA prosedur dan proses invansif
c. ICRA pada proses kegiatan penunjang pelayanan
d. ICRA konstruksi
9. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan PPI
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program

Kegiatan dilaksanakan berdasarkan hasil rapat komite PPI Rumah Sakit Ibu dan Anak
Tanjungsari yang dilaksanakan 1 (satu) kali sebulan.
1. Melakukan rapat komite PPIRS untuk membahas rencana kerja dan penentuan
kegiatan PPI Rumah Sakit Ibu dan Anak Tanjungsari
2. Melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak terkait untuk menentukan
program PPI
3. Menyiapkan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan program PPI
4. Menyusun buku pedoman atau panduan, SPO, dan kebijakan PPI
5. Melakukan sosialisasi terkait program PPI pada semua karyawan

Program dilaksanakan sesuai dengan rencana tahapan/jadwal kegiatan dan bila ada
penyimpangan perlu dilakukan revisi rencana awal. Pelaksanaan kegiatan PPIRS:
1. Kebersihan tangan (hand hygiene)
a. Melakukan sosialisasi, edukasi kebersihan tangan atau hand hygiene dengan
hand wash dan handrub, 5 moment hand hygiene kepada semua karyawan,
pasien, pengunjung, dan keluarga pasien di RSIA Tanjungsari
b. Memasang peralatan atau perlengkapan untuk kebersihan tangan meliputi
wastafel, handrub, dan gambar stiker langkah cuci tangan
c. Melakukan audit kepatuhan cuci tangan menggunakan alat ukur kepatuhan cuci
tangan dan langkah cuci tangan yang benar
d. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program kebersihan tangan
e. Membuat laporan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan program kebersihan
tangan
2. Kebersihan lingkungan rumah sakit
a. Koordinasi dengan unit cleaning service, sanitarian, serta IPSRS dalam
pemantauan kebersihan dinding, langit-langit, lantai, tralis, meja, kursi, almari,
kulkas, karpet, tirai, gorden, AC, dan kipas angin
b. Koordinasi dengan unit cleaning service, sanitarian, serta IPSRS dalam melakukan
pemantauan jaringan instalasi air minum, air bersih, air tanah, gas, dan sarana
komunikasi. Jaringan harus memenuhi persyaratan kesehatan agar aman dan
nyaman mudah dibersihkan dari tumpukan debu dan menghindari pencemaran air
minum
c. Melakukan pemantauan pengendalian lingkungan perawatan dan membatasi
peralatan dan perlengkapan pasien yang tidak perlu
d. Koordinasi dengan unit cleaning service dan sanitarian dalam melakukan
pemantauan pengendalian binatang dan serangga pengganggu di rumah sakit
e. Koordinasi dengan unit cleaning service dan sanitarian dalam melakukan
pemantauan uji kualitas udara di ruang kamar operasi, ruang HCU, maupun air
secara berkala koordinasi dengan unit cleaning service dan sanitarian. Juga
dilakukannya uji kualitas ruangan steril (swab ruangan)
f. Evaluasi dan membuat laporan hasil pemantauan program pengendalian
lingkungan
3. Survailans risiko infeksi
a. Membuat perencanaan kegiatan survailans harian maupun bulanan yang meliputi:
1) Survailans ISK (Infeksi Saluran Kencing)
2) Survailans ILO (Infeksi Luka Operasi)
3) Survailans IAD (Infeksi Aliran Darah)
4) Surveilans Plebitis
5) Surveilans Dekubitus
b. Melakukan sosialisasi pelatihan survailans kepada IPCLN atau penanggung jawab
ruangan
c. Melakukan survailans infeksi di ruangan setiap hari
d. Mengisi form/cheklist survailans harian dan bulanan
e. Melakukan pengumpulan data survailans
f. Melakukan analisis data dengan cepat dan tepat untuk mendapatkan informasi
apakah ada masalah infeksi rumah sakit yang memerlukan penanggulangan atau
investigasi lebih lanjut
g. Membuat interpretasi data yang menunjukkan informasi tentang penyimpangan
dimana terjadi kenaikan atau penurunan yang cukup tajam
h. Membuat laporan secara periodik dari laporan bulanan, triwulan, semesteran,
maupun tahunan. Laporan dilengkapi dengan rekomendasi tindak lanjut bagi pihak
terkait dengan peningkatan infeksi dan didesiminasikan
i. Melakukan monitoring dan evaluasi hasil survailans guna untuk mengevaluasi
program PPIRS, apakah sistem survailans sudah sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan
4. Investigasi wabah (outbreak) penyakit infeksi
a. Bila ada kejadian KLB yang mengetahui atau penanggung jawab ruangan harap
lapor kepada Komite PPI
b. Komite PPI melakukan investigasi kejadian
c. Membentuk tim KLB multidisiplin
d. Melakukan komunikasi, melaporkan kepada direktur dan pihak terkait untuk
menentukan langkah-langkah tindakan yang dilakukan
e. Manajemen penyediaan sarana dan prasarana
f. Melakukan pengawasan
g. Menyatakan akhir dari kejadian: mengumumkan KLB telah berakhir secepatnya
h. Membuat laporan lengkap KLB untuk komite PPI dan direktur
5. Meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan antimikroba secara aman
a. Membuat peta kuman. RSIA Tanjungsari mengadaptasi peta kuman di lingkungan
rumah sakit terdekat dan setipe yang memiliki peta kuman
b. Koordinasi pembuatan pedoman penggunaan antimikroba yang rasional.
Berdasarkan peta kuman yang diadaptasi, pedoman penggunaan antimikroba juga
dapat diadaptasi
c. Koordinasi dengan tim PPRA dalam pengawasan terhadap penggunaan
antimikroba secara aman
6. Asesmen berkala risiko dan analis risiko, serta menyusun risk register
a. Asesmen berkala terhadap risiko dan analisis risiko, serta menyusun risk register
ICRA HAIs
1) Bila terjadi peningkatan infeksi komite PPIRS melakukan rapat koordinasi
dengan pihak terkait dalam menangani ICRA HAIs
2) Komite PPIRS menentukan langkah-langkah untuk mencegah dan
menurunkan kejadian infeksi
3) Melakukan observasi kejadian infeksi
4) Membuat laporan kejadian infeksi
5) Membuat dokumen review
6) Melakukan pengukuran masalah, tingkat kesalahan/risiko sampingan
dilakukan dengan Risk Assesment tool bisa dengan Risk Matrik Grading, Root
Cause Analysis (RCA), atau Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
a) Identifikasi risiko apa penyebab terjadi infeksi, bagaimana cara transmisi,
dan siapa saja yang berisiko (pasien, petugas, dan lingkungan)
b) Analisis risiko mengapa bisa terjadi (analisis prosedur), hal-hal apa saja
yang menimbulkan risiko, dan berapa sering terjadi/konsekuensi apa?
c) Evaluasi risiko: hal-hal apa saja risiko rendah/meminimalkan risiko atau
risiko penularan (staf, pasien), tindakan aseptik, APD, dan lain-lain.
d) Perlakuan risiko, hindari risiko, dan kurangi risiko (langkah pencegahan
ada sistem dan kontrol)
7) Komite PPI melakukan rencana tindak lanjut
8) Komite PPI melaporkan hasil ICRA HAIs kepada direktur
b. Asesmen berkala terhadap risiko dan analisis risiko, serta menyusun risk register
ICRA prosedur dan proses invansif
1) Komite PPIRS mengidentifikasi risiko infeksi yang mungkin timbul
2) Komite PPIRS memberikan analisis terhadap risiko pada prosedur dan proses
invasif seperti pencampuran obat suntik, pemberian suntikan, terapi cairan,
punksi lumbal, dan lain-lain
3) Menentukan langkah-langkah atau strategi untuk mencegah dan menurunkan
kejadian infeksi
4) Melakukan monitoring kejadian infeksi
5) Membuat laporan kejadian infeksi
6) Membuat dokumen review
c. Asesmen berkala terhadap risiko dan analisis risiko, serta menyusun risk register
ICRA pada proses kegiatan penunjang pelayanan
1) Komite PPIRS mengidentifikasi risiko infeksi yang mungkin timbul
2) Komite PPIRS memberikan analisis terhadap risiko pada proses kegiatan
penunjang pelayanan seperti proses sterilisasi, manajemen linen, pengelolaan
limbah, penyediaan makanan, dan pelayanan kamar jenazah
3) Menentukan langkah-langkah atau strategi untuk mencegah dan menurunkan
kejadian infeksi
4) Melakukan monitoring kejadian infeksi
5) Membuat laporan kejadian infeksi
6) Membuat dokumen review
d. Asesmen berkala terhadap risiko dan analisis risiko, serta menyusun risk register
ICRA konstruksi
1) Setiap departemen/instalasi/unit yang akan melakukan renovasi harus
membuat surat ke komite PPIRS
2) Komite PPIRS melakukan koordinasi dengan bagian teknik, K3RS, unit
cleaning service, sanitarian, dan vendor
3) Komite PPIRS membuat kajian risiko pencegahan infeksi dan izin sebelum
dilakukan renovasi pembangunan (mengisi cheklist atau form renovasi)
4) Komite PPIRS, K3RS, unit cleaning service, dan sanitarian lingkungan
memberikan edukasi dan rencana tindak lanjut yang akan dilakukan dalam
proses renovasi/pembangunan kepada pihak perencana dan pelaksana
proyek
5) Selama dalam proses pembangunan tim pengawas proyek (bagian teknik,
komite PPIRS, K3RS, unit cleaning service, dan sanitarian lingkungan)
melakukan monitoring terhadap pelaksanaan pekerjaan sesuai surat
kesepakatan bersama antara lain: penutupan area proyek, pengumuman
adanya proyek renovasi, pemantauan aliran udara, pemantauan area sekitar
renovasi (bebas debu puing dan lain-lain), pembersihan rutin, dan
pembersihan akhir secara keseluruhan
6) Setelah pembangunan selesai komite PPIRS melakukan eveluasi kembali
melalui checklist renovasi bangunan
7. Menetapkan sasaran penurunan risiko
a. Pemantauan peralatan perawatan pasien (teknik dekontaminasi alat medis dan
nonmedis)
1) Koordinasi dengan unit CSSD dalam melakukan sosialisasi tata cara
penatalaksanaan pemrosesan peralatan perawatan pasien (non kritikal, semi
kritikal, dan kritikal) kepada semua petugas ruang perawatan, CSSD, dan
cleaning service
2) Koordinasi dengan unit CSSD dalam melakukan evaluasi pelaksanaan
kegiatan pengelolaan peralatan yang sudah dijalankan setiap hari guna untuk
melakukan pembenahan program CSSD yang memenuhi standar rumah sakit
3) Koordinasi dengan unit CSSD dalam melakukan perbaikan dalam sistem
pengelolaan peralatan dan CSSD dari setting ruangan, alur, pendistribusian,
dan sistem sterilisasi
4) Koordinasi dengan unit CSSD dalam melakukan pemantauan dalam
pengelolaan peralatan dari pencucian (pre cleaning, cleaning), desinfeksi,
sterilisasi, sampai dengan penyimpanan di semua unit pelayanan maupun
CSSD
5) Koordinasi dengan unit CSSD dalam melakukan pemantauan pembersihan
ruangan dan peralatan di CSSD
6) Pemantauan pengujian proses validasi sterilisasi peralatan secara berkala
7) Koordinasi dengan unit CSSD dalam melakukan pemantauan uji kultur kuman
dan udara, swab, ruang sterilisasi CSSD, dan swab peralatan instrumen pasca
sterilisasi tiap 6 bulan koordinasi dengan unit cleaning service dan sanitarian
8) Koordinasi dengan unit CSSD dalam melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan kegiatan di ruangan maupun di unit CSSD
9) Membuat laporan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan di
ruangan maupun CSSD
b. Pelaksanaan program manajemen linen dan laundry
1) Koordinasi dengan unit laundry dalam menentukan sosialisasi manajemen
pengelolaan linen dan laundry di ruangan maupun di laundry
2) Koordinasi dengan unit laundry dalam melakukan evaluasi pelaksanaan
kegiatan pengelolaan linen yang sudah dijalankan setiap hari guna untuk
melakukan pembenahan manajemen linen dan laundry yang memenuhi
standar rumah sakit
3) Koordinasi dengan unit laundry dalam melakukan perbaikan sistem
pengelolaan linen dan laundry dari setting ruangan, alur, dan sistem
pendistribusiannya
4) Koordinasi dengan unit laundry dalam melakukan pemantauan dalam
pengelolaan linen dari pencucian (pre cleaning, cleaning), desinfeksi,
sterilisasi, sampai dengan penyimpanan
5) Koordinasi dengan unit laundry dalam melakukan pemantauan pembersihan
ruangan dan peralatan di ruang laundry
6) Koordinasi dengan unit laundry dalam pemantauan uji sterilitas ruangan dan
kualitas udara secara berkala
7) Koordinasi dengan unit laundry dalam melakukan monitoring dan evaluasi
hasil pelaksanaan kegiatan pengelolaan linen di ruangan maupun di laundry
8) Menetapkan sasaran penurunan risiko

c. Pelaksanaan program pengolahan limbah (tajam, infeksius, non infeksius, dan


cairan tubuh)
1) Koordinasi dengan unit cleaning service dalam melakukan sosialisasi dalam
penanganan dan pembuangan limbah infeksius, non infeksius, benda tajam,
maupun cairan tubuh
2) Koordinasi dengan unit cleaning service dan sanitarian dalam menyediakan
perlengkapan untuk pembuangan sampah meliputi: bak sampah, plastik
sesuai jenis sampah, troli pengangkut sampah, dan lain-lain
3) Koordinasi dengan unit cleaning service dan sanitarian dalam melakukan audit
kepatuhan pembuangan limbah dengan menggunakan alat ukur/tool
pembuangan dan penanganan limbah yang benar
4) Koordinasi dengan unit cleaning service dan sanitarian untuk melakukan
pengawasan dalam pengiriman/pengambilan limbah dari unit penghasil limbah
sampai dengan tempat pembuangan akhir
5) Koordinasi dengan unit cleaning service dan sanitarian dalam melakukan
monitoring dan evaluasi hasil pengelolaan limbah di tempat pembuangan
sampah akhir dan Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL)
6) Membuat laporan hasil monitoring dan evalusi pelaksanaan pengelolaan
limbah RSIA Tanjungsari
d. Pelaksanaan Program Pemakaian Alat Perlindungan Diri (APD)
1) Koordinasi dengan komite K3 dalam menentukan lokasi area pemakaian APD
2) Koordinasi dengan komite K3 dalam menentukan sosialisasi dan edukasi,
indikasi, dan teknik pemakaian APD yang benar kepada semua karyawan,
pasien, pengunjung, dan keluarga
3) Koordinasi dengan komite K3 dalam menentukan pemantauan penggunaan
APD sesuai indikasi
4) Koordinasi dengan komite K3 dalam menentukan audit kepatuhan
penggunaan APD dengan cara yang benar dengan cara menggunakan alat
ukur/tool kepatuhan penggunaan APD
5) Koordinasi dengan komite K3 dalam menentukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan penggunaan APD
6) Membuat laporan hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi penggunaan
APD
e. Membuat SPO teknik menyuntik yang aman
1) Melakukan sosialisasi teknik menyuntik yang aman kepada semua petugas
medis
2) Melakukan pemantauan kepada petugas medis dalam melakukan tindakan
menyuntik yang benar dan aman
3) Melakukan audit kepatuhan dalam tindakan teknik menyuntik yang aman
dengan alat ukur/tool penyuntikan yang aman
4) Membuat laporan

8. Mengukur tingkat infeksi dan mereview risiko infeksi


a. ICRA HAIs
b. ICRA prosedur dan proses invansif
c. ICRA pada proses kegiatan penunjang pelayanan
d. ICRA konstruksi
9. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan PPI
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program
b. Membuat laporan bulanan, triwulan, semesteran, dan tahunan

Kegiatan sejalan dengan manajemen risiko fasilitas rumah sakit dan program
pencegahan dan pengendalian infeksi
1. Kegiatan sejalan dengan peraturan perundang-undangan
2. Tersedianya peralatan keamanan yang cocok dengan cara dan lingkungan kerja di
laboratorium serta bahaya yang mungkin timbul karena (contoh antara lain: spill kits)
3. Orientasi bagi staf tentang prosedur keamanan dan pelaksanaannya
4. Pelatihan tentang adanya prosedur baru terkait penerimaan dan penggunaan han
berbahaya baru

Adapun program manajemen risiko unit laboratorium meliputi:


1. Identifikasi risiko
Proses identifikasi risiko adalah usaha mengidentifikasi situasi yang dapat
menyebabkan cedera, tuntutan atau kerugian secara finansial. Identifikasi akan
membantu langkah-langkah yang akan diambil manajemen terhadap risiko tersebut.
Identifikasi risiko bisa diperoleh dari :
a. Laporan Kejadian (KTD, KNC, Kejadian Sentinel, dan lain-lain)
b. Review Rekam Medik (Penyaringan Kejadian untuk memeriksa dan mencari
penyimpangan-penyimpangan pada praktik dan prosedur)
c. Pengaduan (Complaint) pelanggan
d. Survey atau Self Assesment, dan lain-lain

2. Analisis risiko
Analisis risiko merupakan suatu proses yang sistematis untuk menentukan
seberapa sering suatu peristiwa dan dampak risiko mungkin terjadi dan seberapa
besar konsekuensi yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut. Analisis risiko merupakan
bagian dari tahap assessmen risiko dalam proses manajemen risiko dan dilakukan
terhadap risiko-risiko yang telah diidentifikasi dalam proses identifikasi risiko. Tujuan
analisis risiko adalah untuk memahami risiko yang penting untuk dikelola secara aktif
dan menyediakan data untuk membantu menentukan prioritas penanganan risiko.
Analisis risiko dapat juga dimaknai sebagai suatu proses untuk memahami
karakteristik risiko (probabilitas dan dampak) yang dapat dilakukan secara kualitatif
ataupun kuantitatif untuk menentukan Tingkat (level) risiko (level of Risk) atau
signifikansi setiap risiko. Output analisis risiko yaitu profil risiko. Dalam analisis risiko,
peran pimpinan organisasi sangat diperlukan sehingga mampu mengelola dan
mengendalikan risiko berdasarkan berapa banyak atau tingkat risiko yang dapat
diterima. Tingkat risiko yang dapat diterima adalah batas toleransi risiko dengan
mempertimbangkan aspek biaya dan manfaat.

Level risiko ditentukan oleh dua hal yaitu level frekuensi dan level konsekuensi.
Level risiko yaitu level besar kecilnya atau tingkatan suatu risiko. Level frekuensi
(probabilitas) adalah besar kecilnya kemungkinan terjadinya risiko atau kekerapan
kejadian suatu risiko. Penentuan probabilitas terjadinya suatu event sangatlah
subyektif dan lebih berdasarkan nalar dan pengalaman. Sedangkan level konsekuensi
yaitu besar kecilnya dampak negatif dari suatu risiko.
Analisis risiko mencakup analisis terhadap penyebab dan sumber risiko, dampak
positif atau negatif dari suatu risiko, dan kemungkinan suatu risiko dapat terjadi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dampak dan kemungkinan kejadian risiko harus
diidentifikasi. Efisiensi dan efektifitas pengendalian risiko yang telah diterapkan
sebelumnya juga harus dipertimbangkan. Keterkaitan yang mungkin terjadi di antara
risiko-risiko yang telah diidentifikasi juga perlu dipertimbangkan.

3. Evaluasi risiko
Evaluasi risiko dimaksudkan untuk membantu proses pengambilan keputusan
berdasarkan hasil analisis risiko. Evaluasi risiko merupakan proses pembandingan
antara level risiko yang ditemukan selama proses analisis dengan kriteria risiko yang
ditetapkan sebelumnya.
Proses evaluasi risiko akan menentukan risiko-risiko mana yang memerlukan
perlakuan dan bagaimana prioritas perlakuan atas risiko-risiko tersebut dengan
mengacu pada “kriteria risiko”. Dengan kata lain hasil dari evaluasi risiko menunjukkan
peringkat risiko yang memerlukan penanganan (mitigasi) lebih lanjut dengan mengacu
pada tingkat risiko yang dapat diterima.

4. Upaya Pengelolan Risiko


Proses untuk memodifikasi risiko menekan/ menghilangkan risiko hingga level
terendah, meminimalisir dampak yang timbul dari insiden yang sudah terjadi.
5. Penilaian Manajemen Risiko
Penilaian risiko (Risk Assesment) merupakan proses untuk membantu unit di rumah
sakit menilai tentang luasnya risiko yang dihadapi, kemampuan mengontrol frekuensi
dan dampak dari risiko. Semua risiko yang telah diidentifikasi unit-unit rumah sakit
akan dimasukan oleh direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Tanjungsari dalam Program
Risk Assessment tahunan, yakni Risk Register:

a. Risiko yang teridentifikasi dalam 1 tahun


b. Informasi insiden keselamatan pasien, klaim litigasi dan komplain, investigasi
eksternal dan internal, asesmen eksternal dan akreditasi
c. Informasi potensial risiko maupun risiko aktual (menggunakan RCA&FMEA)

Penilaian risiko dilakukan oleh seluruh unit Rumah Sakit Ibu dan Anak
Tanjungsari. Aspek yang dinilai meliputi :
a) Operasional/kegiatan unit sehari-hari
b) Finansial
c) Sumber daya manusia
d) Strategik
e) Hukum/Regulasi
f) Teknologi

6. Menyusun Prioritas Risiko


Menyusun prioritas risiko dengan menggunakan alat bantu risk matrix grading.
Dilakukan pendekatan dengan menentukan prioritas risiko pada proses-proses risiko
tinggi, mengutamakan keselamatan pasien dan staf untuk kemudian secara proaktif
melakukan analisis risiko dengan FMEA (Failure Mode and Effect Analysis). Dengan
mengikuti analisa dan hasil yang didapatkan rumah sakit menentukan rancang ulang
proses atau tindakan yang sama untukmengurangi risiko dalam proses tersebut.
Keseluruhan tahapan manajemen risiko ini dilaksanakan paling sedikit satu kali dalam
satu tahun disertai dengan pendokumentasian kegiatan yang baik.
Ketentuan dalam menyusun prioritas risiko berdasarkan besaran antara lain:
a) Besaran risiko tertinggi mendapat prioritas paling tinggi
b) Apabila terdapat lebih dari satu risiko yang memiliki besaran risiko yang
sama, maka prioritas risiko ditentukan berdasarkan urutan area dampak dari
yang tertinggi hingga terendah sesuai kriteria dampak
c) Apabila masih terdapat lebih dari satu risiko yang meiliki besaran dan area
dampak yang sama, maka prioritas risiko ditentukan berdasarkan urutan
kategori risiko yang tertinggi hingga terendah sesuai kategori risiko
Apabila masih terdapat lebih dari satu risiko yang memiliki besaran, area dampak, dan
kategori yang sama, maka prioritas risiko ditentukan berdasarkan judgement pemilik
Risiko.

Cara pelaksanaan kegiatan meliputi:


1. Pendataan sumber risiko
2. Identifikasi kemungkinan terjadinya risiko
3. Menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya risiko
4. Melaksanakan tindakan upaya pencegahan risiko
5. Merencanakan upaya tindak lanjut

PENETAPAN RISIKO SERTA PENCEGAHANNYA


No RISIKO PENYEBAB STRATEGI PENCEGAHAN
1. Tidak Ketidakpatuhan Monitoring penggunaan APD di
menggunakan penggunaan APD unit Laboratorium.
APD lengkap saat pada pemeriksaan
pemeriksaan sampel.
sampel sehingga
tertular penyakit
pasien.
2. Terjadi iritasi dan Terjadi iritasi akibat Monitoring penggunaan APD di
korosif saat terjadi tumpahan bahan unit Laboratorium.
tumpahan bahan kimia dan tidak
kimia dan tidak menggunakan
menggunakan APD.
APD
3. Mendapatkan Terpapar penyakit Pemisahan letak alat medis
infeksi dari dari pasien akibat dan non medis.
peralatan non penggunaan alat
medis yang non medis yang
terpapar spesimen terpapar spesimen
pasien. pasien.
4. Sampel pasien Tidak teliti dalam Mencocokkan identitas pasien
tertukar memberi identitas dan lebih teliti dalam memberi
pasien identitas
5. Tertusuk benda Kurang hati-hati Menggunakan
tajam dalam bekerja, APD(handschoon) dan bekerja
terlebih tidak lebih hati-hati
menggunakan
APD
6. Alat pemeriksaan -Maintenance tidak -Maintenance sesuai jadwal
di laboratorium terjadwal -Memakai UPS
error -Aliran listrik tidak -Lampu pada alat harus diganti
stabil ketika sudah mencapai batas
-Lampu pada alat waktu
sudah waktunya
ganti
7. Terkena tumpahan Tidak Monitoring penggunaan APD di
reagen berbahaya menggunakan unit Laboratorium.
APD
10. Salah identifikasi Kurang teliti dalam Lebih teliti dalam membaca
sampel membaca surat surat permintaan lab, apabila
permintaan lab kurang jelas, ditanyakan ke
DPJP
11. Pelayanan -Jaringan internet -Menghubungi IT rumah sakit
terhambat dan error
waktu tunggu lama -Sistem pusat error
karena server error
12. Salah lapor hasil Kurang teliti dalam Lebih teliti dalam membaca
via telepon membaca hasil hasil lab
laboratorium
13. Pelayanan Petugas Lebih sering mengecek stok
terhambat karena laboratorium tidak
reagen kosong mengecek stok lab
14. Sumber daya listrik Listrik dari PLN Pengadaan UPS
tidak memadai padam
(misal: mati, UPS
rusak dll)

Insiden KeselamatanPasien

Insiden keselamatan pasien terdiri dari kejadian sentinel, KTD, KNC, KTC

1. Kejadian Sentinel adalah Suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera
serius, kehilangan fungsi secara permanen yang tidak berhubungan dengan
perjalanan alamiah penyakit atau kondisi yang mendasari
No Jenis kejadian sentinel
1. Kematian yang tidak diduga ,termasuk dan tidak terbatas hanya:
a. Kematian yang tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit pasien
atau kondisi pasien(contoh,kematian setelah infeksi pasca operasi atau
emboli paru-paru
b. Kematian bayi aterm
c. Bunuh diri
2. Kehilangan permanen fungsi yang tidak terkait penyakit pasien atau kondisi
pasien
3. Operasi salah tempat,salah prosedur dan salah pasien
4. Terjangkit penyakit kronis atau penyakit fatal akibat tranfusi darah atau produk
darah atau transplantasi organ atau jaringan
5. Penculikan anak termasuk bayi dikirim kerumah bukan orang tuanya
6. Perkosaan, kekejaman di tempat kerja seperti penyerangan atau berakibat
kematian atau kehilangan fungsi secara permanen)atau pembunuhan(yang
disengaja) atas pasien, anggota staf, dokter, mahasiswa kedokteran, siswa
latihan, pengunjung atau vendor/pihak ketiga ketika berada dalam lingkungan
rumah sakit

2. KTD adalah  suatu kejadian yang tidak di harapkan yang mengakibatkan cedera
pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya di ambil,dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien.cedera
dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau kesalahan medis karena tidak dapat
dicegah.

No Jenis kejadian KTD


1. Semua reaksi tranfusi,yang sudah di konfirmasi jika sesuai untuk rumah sakit.
2. Senua kejadian serius akibat efek samping obat,jika sesuai dan sebagaimana
yang di definisikan oleh rumah sakit.
3. Semua kesalahan pengobatan yang signifikan jika sesuai.
4. Semua perbedaan besar antara diagnosis pra operasi dan diagnosis pasca
operasi.
5. Efek samping atau pola efek samping selama sedasi moderat atau mendalam
dan pemakaian anastesi .
6. Kejadian kejadian lain misalnya:
- Infeksi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan atau wabah
penyakit menular sebagaimana yang di definisikan oleh rumah sakit.
- Pasien jiwa yang melarikan diri dari ruang perawatan keluar
lingkungan rumah sakit yang tidak meninggal/tidak cedera
serius(khusus untuk rumah sakit jiwa dan rumah sakit umum yang
mempunyai ruang perawatan jiwa).

3. KNC (Kejadian Nyaris Cedera) atau Near Miss, Terjadinya insiden yang belum sampai
terpapar ke pasien Atau suatu kesalahan akibat melaksanakan tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil yang dapat mencederai pasien.
1. Darah transfusi sudah siap dipasang pada pasien yang salah tetapi kesalahan
diketahui sebelum transfusi dimulai;
2. Salah lokasi operasi, namun kesalahan tersebut diketahui sebelum operasi
dimulai;
3. Suatu obat dengan over dosis lethal akan diberikan tetapi staf yang lain
mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan;
4. Suatu obat dengan obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui secara
dini lalu diberikan anti dote nya;
5. Insiden ketidaktepatan teknik pengambilan sampel darah;
8. Kesalahan penulisan dosis obat tetapi diketahui sebelum diberikan ke pasien;
9. Kesalahan penyerahan obat pasien rawat inap tetapi diketahui oleh petugas
kesehatan(perawat, apoteker, asisten apoteker, pasien/keluarga);
10. Kesalahan menginput hasil pemeriksaan laboratorium tetapi diketahui oleh
supervisornya, hasil belum dikirim ke pengirim sample lab;
11. Kesalahan golongan darah tetapi diketahui sebelum darah ditransfusikan;
12 Kesalahan identifikasi pasien pada saat pengambilan sampel darah.

4. Kejadian Tidak Cedera (KTC): adalah insiden yang berpotensi mengakibatkan cidera
pada pasien dan sudah terpapar ke pasien, tetap ternyata tidak menimbulkan cidera
pada pasien.

1. Insiden kesalahan penyerahan obat pada pasien.


2. Insiden kelebihan atau kekurangan penyerahan obat pada pasien rawat jalan.
3. Insiden kelebihan atau kekurangan penyerahan obat pada pasien rawat inap.
4. Insiden penggunaan antibiotik ganda.
5. Insiden kesalahan posisi pemeriksaan.
6. Insiden kesalahan memberikan hasil pemeriksaan .
7. Insiden kesalahan identifikasi kegawatdaruratan.
8. Insiden kesalahan transportasi pasien.

Sistem Pelaporan Insiden


A. Sistem pelaporan insiden meliputi :
 Kebijakan pelaporan
 Alur pelaporan
 Formulir pelaporan
 Prosedur pelaporan
 Insiden yang dilaporkan
 Pembuat laporan
 Batas waktu pelaporan
Pelaporan Insiden ke Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
1. Apabila terjadi suatu insiden di rumah sakit, wajib segera ditindaklanjuti untuk
mengurangi dampak/akibat yang tidak diharapkan.
Insiden yang wajib ditindaklanjuti adalah :
 KTC
 KNC
 KTD
 Sentinel
2. Setelah ditindakIanjuti, segera buat laporan insiden dengan mengisi formulir
Laporan Insiden pada akhir jam kerja kepada atasan langsung (paling lambat 2 x 24
jam); jangan menunda laporan.

3. Semua staf RS yang pertama menemukan insiden atau yang terlibat dalam kejadian
bisa membuat laporan
4. Setelah selesai mengisi laporan, segera serahkan kepada atasan langsung pelapor
(atasan langsung disepakati sesuai Kepala Bagian/unit, Ketua Komite Medik).

5. Atasan Iangsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan.

LEVEL/BANDS TINDAKAN
EKSTREM Risiko ekstrem, dilakukan RCA paling lama 45 hari,
(SANGAT membutuhkan tindakan segera, perhatian sampai ke Direktur
TINGGI) RS
HIGH Risiko tinggi, dilakukan RCA paling lama 45 hari, kaji dng detail
(TINGGI) & perlu tindakan segera, serta membutuhkan tindakan top
manajemen
MODERATE Risiko sedang dilakukan investigasi sederhana paling lama 2
(SEDANG) minggu. Manajer/pimpinan klinis sebaiknnya menilai dampak
terhadap bahaya & kelola risiko
LOW Risiko rendah dilakukan investigasi sederhana paling lama 1
(RENDAH) minggu diselesaikan dng prosedur rutin
6. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisa yang akan dilakukan
sebagai berikut.

a. Grade Biru: Investigasi sederhana oleh Atasan Langsung, waktu maksimal 1


minggu.
b. Grade Hijau: Investigasi sederhana oleh Atasan Langsung, waktu maksimal 2
minggu.
c. Grade Kuning: Investigasi komprehensif/analisis akar masalah/Root Causa
Analysis (RCA) oleh Komite K3RS dan Komite PMKP di RS, waktu maksimal
45 hari.
d. Grade Merah: Investigasi komprehensif/analisis akar masalah/Root Causa
Analysis (RCA) oleh Komite K3RS dan Komite PMKP di RS, waktu maksimal
45 hari.
7. Untuk grade Biru / Hijau, tim keselamatan pasien di RS akan melakukan investigasi
sederhana
8. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan
laporan insiden dilaporkan ke Komite K3RS dan Komite PMKP.
9. Tim Keselamatan Pasien di RS akan menganalisa kembali hasil investigasi dan
laporan insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan
(RCA) dengan melakukan Regrading.
10. Untuk grade Kuning/Merah, tim Keselamatan Pasien di RS akan melakukan
Analisis Akar Masalah/Root Cause Analysis (RCA).

11. Setelah melakukan RCA, komite PKMP dan K3RS akan membuat laporan dan
rekomendasi untuk perbaikan serta pembelajaran berupa: Petunjuk/Safety alert
untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
12. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direktur
13. Kejadian sentinel harus dilaporkan kepada pemilik atau representasi pemilik dalam
jangka waktu 2 x 24 jam disertai hasil RCA
14. Rekomendasi untuk perbaikan dan pembelajaran diberikan sebagai umpan balik
kepada unit kerja terkait.
15. Unit kerja membuat analisis dan trend kejadian di satuan kerjanya masing - masing.
16. Monitoring dan evaluasi perbaikan oleh tim Keselamatan Pasien di RS.

Pelaporan Insiden ke Badan Khusus diluar Rumah Sakit (eksternal)

1. Laporan hasil investigasi sederhana / analisis akar masalah/ RCA yang terjadi pada
pasien dilaporkan oleh komite K3RS ke Pimpinan RS dan dilanjutkan ke Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) dan KARS dalam waktu kurang dari 5 x
24 jam dengan RCA paling lambat 45 hari dari tanggal kejadian.

2. Laporan kecelakaan kerja yang terjadi pada karyawan dilaporkan oleh Komite K3RS
kepada Pimpinan RS yang dilanjutkan kepada BPJS Ketenagakerjaan dalam waktu
kurang dari 2 x 24 jam.

Analisis Matrix Grading Resiko


Analisis risiko bertujuan untuk mengevaluasi besaran risiko kesehatan pada pekerja.
Analisis awal ditujukan untuk memberikan gambaran seluruh risiko yang ada, kemudian
disusun urutan risiko , dan prioritas diberikan kepada risiko yang cukup signifikan dapat
menimbulkan kerugian.
Analisa dilakukan dengan menentukan score risiko atau insiden untuk menentukan
prioritas penanganan dan level manajemen yang harus bertanggung jawab untuk
mengelola / mengendalikan risiko / insiden tersebut. Risiko atau insiden yang sudah
teridentifikasi harus ditentukan peringkatnya (grading).
a. Tingkat peluang / frekwensi kejadian (likelihood)
Penilaian seberapa seringnya insiden tersebut terjadi

TINGKAT FREKWENSI
RISIKO
1 Sangat jarang/ rare (> 5 tahun/kali)
2 Jarang/unlikely (> 2 – 5 tahun/kali)
3 Mungkin/ Posible (1 -2 tahun/kali)
4 Sering/Likely (beberapa kali/tahun)
5 Sangat sering/ almost certain (tiap
minggu/ bulan)

2. Tingkat dampak yang dapat/sudah ditimbulkan (consequence)


Penilaian seberapa berat akibat yang dialami pasien mulai dari tidak ada
cedera sampai meninggal
Risiko atau insiden yang sudah dianalisis akan dievaluasi lebih lanjut sesuai skor
dan grading yang didapat dalam analisis.

SKOR RISIKO = Dampak x Frekwensi


Hal ini akan menentukan evaluasi dan tata laksana selanjutnya. Untuk risiko / insiden
dengan kategori biru dan hijau maka evaluasi cukup dengan investigasi sederhana
sedangkan untuk kategori kuning dan merah perlu dilakukan evaluasi lebih mendalam
dengan metode RCA (root cause analysis – reaktif / responsive) atau HFMEA (healthcare
failure mode effect analysis – proaktif)

Resiko Terpapar Benda Tajam


Secara umum limbah medis dibagi menjadi padat, cair, dan gas. Sedangkan
kategori limbah medis padat terdiri dari benda tajam, limbah infeksius, limbah patologi,
limbah sitotoksik, limbah tabung bertekanan, limbah genotoksik, limbah farmasi, limbah
dengan kandungan logam berat, limbah kimia, dan limbah radioaktif. Limbah benda tajam
adalah limbah yang memiliki permukaan tajam dan penanganannya harus dengan cara
dimasukkan ke dalam wadah tahan tusuk dan air. Contohnya adalah jarum, spuit, ujung
infus, atau benda yang berpermukaan tajam.
RSIA Tanjungsari hanya mengelola limbah B3 dari pemilahan hingga
pengangkutan. Selanjutnya prosedur dilakukan dengan kerjasama dengan pihak ke 3 yaitu
PT PRIA dan PT BENDI.
1) Penanganan Limbah Benda Tajam/Pecahan Kaca
a. Jangan menekuk atau mematahkan benda tajam
b. Jangan meletakkan limbah benda tajam di sembarang tempat
c. Segera buang limbah benda tajam ke wadah yang tersedia (tahan tusuk
dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi)
d. Selalu buang sendiri oleh pemakai
e. Tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai (recapping)
f. Wadah benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan
g. Bila menangani limbah pecahan kaca gunakan sarung tangan rumah
tangga
h. Wadah penampung limbah benda tajam:
1. Tahan bocor dan tahan tusukan
2. Harus mempunyai pegangan yang dapat dijinjing dengan satu
tangan
3. Mempunyai penutup yang tidak dapat dibuka lagi
4. Bentuknya dirancang agar dapat digunakan dengan satu tangan
5. Ditutup dan diganti setelah ¾ bagian terisi dengan limbah
6. Ditangani bersama limbah medis

Gambar 25. Wadah Tahan Tusuk

2) Pembuangan Benda Tajam


a. Wadah benda tajam merupakan limbah medis dan harus dimasukkan
ke dalam kantong medis sebelum insinerasi
b. Idealnya semua benda tajam dapat di insinerasi, tetapi bila tidak
mungkin dapat dikubur dan dikapurisasi bersama limbah lain
c. Apapun metode yang digunakan harus tidak memberikan kemungkinan
terluka

Gambar 26. Alur Tata Kelola Limbah


3) Perlindungan Kesehatan Petugas
Lakukan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap semua petugas baik
tenaga kesehatan maupun tenaga non kesehatan. RSIA Tanjungsari harus
mempunyai kebijakan untuk penatalaksanaan akibat tusukan jarum atau
benda tajam bekas pakai pasien, yang berisikan antara lain siapa yang harus
dihubungi saat terjadi kecelakaan dan pemeriksaan serta konsultasi yang
dibutuhkan oleh petugas yang bersangkutan.
Petugas harus selalu waspada dan hati-hati dalam bekerja untuk mencegah
terjadinya trauma saat menangani jarum, scalpel, dan alat tajam lain yang
dipakai setelah prosedur, saat membersihkan instrumen dan saat membuang
jarum.
Jangan melakukan penutupan kembali (recap) jarum yang telah dipakai,
memanipulasi dengan tangan, menekuk, mematahkan, atau melepas jarum
dari spuit. Buang jarum, spuit, pisau, scalpel, dan peralatan tajam habis pakai
lainnya ke dalam wadah khusus yang tahan tusukan/tidak tembus sebelum
dimasukkan ke insenerator. Bila wadah khusus terisi ¾ harus diganti dengan
yang baru untuk menghindari tercecer.
Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti tertusuk jarum
suntik bekas pasien atau terpercik bahan infeksius, maka perlu pengelolaan
yang cermat dan tepat serta efektif untuk mencegah semaksimal mungkin
terjadinya infeksi yang tidak diinginkan.
HIV, hepatitis B, dan hepatitis C adalah patogen melalui darah yang
berpotensi paling berbahaya, dan kemungkinan pajanan terhadap patogen ini
merupakan penyebab utama kecemasan bagi petugas kesehatan di seluruh
dunia. Risiko mendapat infeksi lain yang dihantarkan melalui darah
(bloodborne) seperti hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan
mendapatkan infeksi HIV. Sehingga tatalaksana pajanan okupasional
terhadap penyebab infeksi tidak terbatas pada PPP HIV saja. Di seluruh
RSIA Tanjungsari, kewaspadaan standar merupakan layanan standar
minimal untuk mencegah penularan patogen melalui darah.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
4) Tatalaksana Pajanan
Tujuan tatalaksana pajanan adalah untuk mengurangi waktu kontak dengan
darah, cairan tubuh, atau jaringan sumber pajanan, serta untuk membersihkan
dan dekontaminasi tempat pajanan. Tatalaksananya adalah sebagai berikut:
a. Bila tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir dan sabun/cairan
antiseptik sampai bersih
b. Bila darah/cairan tubuh mengenai kulit yang utuh tanpa luka atau tusukan,
cuci dengan sabun dan air mengalir
c. Bila darah/cairan tubuh mengenai mulut, ludahkan dan kumur-kumur
dengan air beberapa kali.

d. Bila terpecik pada mata, cucilah mata dengan air mengalir (irigasi), dengan
posisi kepala miring ke arah mata yang terpercik.
e. Bila darah memercik ke hidung, hembuskan keluar, dan bersihkan dengan
air.
f. Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditekan dan dihisap dengan mulut.
BAB III
KESELAMATAN LINGKUNGAN

A. Manajemen Resiko Rumah Sakit

Manajemen Risiko Rumah Sakit merupakan upaya mengidentifikasi dan


mengelompokkan risiko serta mengendalikan dan mengelola risiko tersebut agar
memberikan dampak negatif seminimal mungkin bagi keselamatan pasien dan mutu
rumah sakit.

Komponen penting manajemen resiko adalah :


a. Identifikasi resiko
b. Analisa resiko
c. Evaluasi resiko
d. Prioritas resiko
e. Pengendalian resiko
f. Investigasi Kejadian Tidak Diinginkan

Program Manajemen Resiko Fasilitas Rumah Sakit Meliputi :


a. Pengelolaan resiko terkait bidang keselamatan dan keamanan di lingkungan
Rumah Sakit Ibu dan Anak Tanjungsari.
b. Pengelolaan resiko terkait penanganan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
dan limbahnya di lingkungan Rumah Sakit Ibu dan Anak Tanjungsari.
c. Pengelolaan resiko terkait penanggulangan bencana (emergensi) baik di
lingkungan internal maupun eksternal Rumah Sakit Ibu dan Anak Tanjungsari
d. Pengelolaan resiko terkait proteksi kebakaran (fire safety) sebagai
perlindungan pada properti dan seluruh penghuni di lingkungan Rumah Sakit
Ibu dan Anak Tanjungsari.
e. Pengelolaan resiko terkait pemilihan, pemeliharaan dan penggunaan alat
medis di lingkungan Rumah Sakit Ibu dan Anak Tanjungsari.
f. Pengelolaan resiko terkait pemeliharaan sistem penunjang (utilitas) untuk
mengurangi risiko kegagalan operasional di lingkungan Rumah Sakit Ibu dan
Anak Tanjungsari.

B. Data Insiden dan Kecelakaan

1. Insiden Keselamatan Pasien

Insiden keselamatan pasien terdiri dari kejadian sentinel, KTD, KNC, KTC

Kejadian Sentinel adalah Suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera
serius, kehilangan fungsi secara permanen yang tidak berhubungan dengan
perjalanan alamiah penyakit atau kondisi yang mendasari
No Jenis kejadian sentinel
1. Kematian yang tidak diduga ,termasuk dan tidak terbatas hanya:
- Kematian yang tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit pasien atau
kondisi pasien(contoh,kematian setelah infeksi pasca operasi atau emboli
paru-paru.
- Kematian bayi aterm
- Bunuh diri
2. Kehilangan permanen fungsi yang tidak terkait penyakit pasien atau kondisi
pasien,
3. Operasi salah tempat,salah prosedur dan salah pasien.
4. Terjangkit penyakit kronis atau penyakit fatal akibat tranfusi darah atau produk
darah atau transplantasi organ atau jaringan.
5. Penculikan anak termasuk bayi dikirim kerumah bukan orang tuanya.
6. Perkosaan,kekejaman di tempat kerja seperti penyerangan atau berakibat
kematian atau kehilangan fungsi secara permanen)atau pembunuhan(yang
disengaja) atas pasien, anggota staf, dokter, mahasiswa kedokteran, siswa
latihan, pengunjung atau vendor/pihak ketiga ketika berada dalam lingkungan
rumah sakit.

Kejadian KTD adalah  suatu kejadian yang tidak di harapkan yang mengakibatkan
cedera pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya di ambil,dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi
pasien.cedera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau kesalahan medis karena
tidak dapat dicegah.

No Jenis kejadian KTD


1. Semua reaksi tranfusi,yang sudah di konfirmasi jika sesuai untuk rumah sakit.
2. Senua kejadian serius akibat efek samping obat,jika sesuai dan sebagaimana
yang di definisikan oleh rumah sakit.
3. Semua kesalahan pengobatan yang signifikan jika sesuai.
4. Semua perbedaan besar antara diagnosis pra operasi dan diagnosis pasca
operasi.
5. Efek samping atau pola efek samping selama sedasi moderat atau mendalam
dan pemakaian anastesi .
6. Kejadian kejadian lain misalnya:
- Infeksi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan atau wabah
penyakit menular sebagaimana yang di definisikan oleh rumah sakit.
- Pasien jiwa yang melarikan diri dari ruang perawatan keluar
lingkungan rumah sakit yang tidak meninggal/tidak cedera serius
(khusus untuk rumah sakit jiwa dan rumah sakit umum yang
mempunyai ruang perawatan jiwa).

Kejadian KNC (Kejadian Nyaris Cedera) atau Near Miss, Terjadinya insiden yang
belum sampai terpapar ke pasien Atau suatu kesalahan akibat melaksanakan
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil yang dapat
mencederai pasien.

1. Darah transfusi sudah siap dipasang pada pasien yang salah tetapi kesalahan
diketahui sebelum transfusi dimulai;
2. Salah lokasi operasi, namun kesalahan tersebut diketahui sebelum operasi
dimulai;
3. Suatu obat dengan over dosis lethal akan diberikan tetapi staf yang lain
mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan;
4. Suatu obat dengan obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui secara
dini lalu diberikan anti dote nya;
5. Insiden ketidaktepatan teknik pengambilan sampel darah;
8. Kesalahan penulisan dosis obat tetapi diketahui sebelum diberikan ke pasien;
9. Kesalahan penyerahan obat pasien rawat inap tetapi diketahui oleh petugas
kesehatan(perawat, apoteker, asisten apoteker, pasien/keluarga);
10. Kesalahan menginput hasil pemeriksaan laboratorium tetapi diketahui oleh
supervisornya, hasil belum dikirim ke pengirim sample lab;
11. Kesalahan golongan darah tetapi diketahui sebelum darah ditransfusikan;
12 Kesalahan identifikasi pasien pada saat pengambilan sampel darah.

Kejadian Tidak Cedera (KTC): adalah insiden yang berpotensi mengakibatkan cidera
pada pasien dan sudah terpapar ke pasien, tetap ternyata tidak menimbulkan cidera
pada pasien.

1. Insiden kesalahan penyerahan obat pada pasien.


2. Insiden kelebihan atau kekurangan penyerahan obat pada pasien rawat jalan.
3. Insiden kelebihan atau kekurangan penyerahan obat pada pasien rawat inap.
4. Insiden penggunaan antibiotik ganda.
5. Insiden kesalahan posisi pemeriksaan.
6. Insiden kesalahan memberikan hasil pemeriksaan .
7. Insiden kesalahan identifikasi kegawatdaruratan.
8. Insiden kesalahan transportasi pasien.

2. Kecelakaan kerja
Terdapat tiga jenis kecelakaan kerja, yaitu:

a. Accident, yaitu kejadian yang tidak diinginkan yang menimbulkan kerugian baik
bagi manusia maupun terhadap harta benda.
b. Incident, yaitu kejadian yang tidak diinginkan yang belum menimbulkan
kerugian.
c. Near miss, yaitu kejadian hampir celaka dengan kata lain kejadian ini hampir
menimbulkan kejadian incident ataupun accident.
Kecelakaan kerja terjadi karena perilaku personel yang kurang hati-hati atau
ceroboh atau bisa juga karena kondisi yang tidak aman, apakah itu berupa fisik,
atau pengaruh lingkungan. Berdasarkan hasil statistik, penyebab kecelakaan kerja
85% disebabkan tindakan yang berbahaya (unsafe act) dan 15% disebabkan oleh
kondisi yang berbahaya (unsafe condition).
a. Kondisi yang berbahaya (unsafe condition) yaitu faktor-faktor lingkungan
fisik yang dapat menimbulkan kecelakaan seperti mesin tanpa pengaman,
penerangan yang tidak sesuai, Alat Pelindung Diri (APD) tidak efektif, lantai
yang berminyak, dan lain-lain. 
b. Tindakan yang berbahaya (unsafe act) yaitu perilaku atau kesalahan-
kesalahan yang dapat menimbulkan kecelakaan seperti ceroboh, tidak
memakai alat pelindung diri, dan lain-lain, hal ini disebabkan oleh gangguan
kesehatan, gangguan penglihatan, penyakit, cemas serta kurangnya
pengetahuan dalam proses kerja, cara kerja, dan lain-lain.
3. Pajanan
Pajanan yang memiliki risiko adalah pajanan yang terdapat pada perlukaan kulit ,
selaput mukosa, atau melalui kulit yang luka.
Bahan yang memberikan risiko penularan infeksi :
 Darah
 Cairan bercampur darah yang kasat mata
 Cairan yang potensial terinfeksi: semen, cairan vagina, cairan serebrospinal,
cairan sinovia, cairan pleura, cairan peritoneal, cairan perickardial,
cairanamnion
 Virus yang terkonsentrasi

Bahan pajanan yang memberikan resiko perlukaan/cidera :


 Benda tajam
 B3
 Limbah B3

Sistem pelaporan meliputi :


 Kebijakan pelaporan
 Alur pelaporan
 Formulir pelaporan
 Prosedur pelaporan
 Insiden yang dilaporkan
 Pembuat laporan
 Batas waktu pelaporan
Pelaporan Insiden ke Komite K3RS dan Komite PMKP

a. Apabila terjadi suatu insiden di rumah sakit, wajib segera ditindaklanjuti


untuk mengurangi dampak/akibat yang tidak diharapkan.
b. Setelah ditindak Ianjuti, segera buat laporan insiden dengan mengisi
formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja kepada atasan langsung
(paling lambat 2 x 24 jam); jangan menunda laporan.
c. Semua staf RS yang pertama menemukan insiden atau yang terlibat
dalam kejadian bisa membuat laporan.
d. Setelah selesai mengisi laporan, segera serahkan kepada atasan
langsung pelapor.
e. Atasan Iangsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko
terhadap insiden yang dilaporkan.
f. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisa yang akan
dilakukan sebagai berikut.

LEVEL/BANDS TINDAKAN
a. EKSTREM Risiko ekstrem, dilakukan RCA paling lama 45 hari,
(SANGAT membutuhkan tindakan segera, perhatian sampai ke Direktur
TINGGI) RS

HIGH Risiko tinggi, dilakukan RCA paling lama 45 hari, kaji dng detail
(TINGGI) & perlu tindakan segera, serta membutuhkan tindakan top
manajemen

MODERATE Risiko sedang dilakukan investigasi sederhana paling lama 2


(SEDANG) minggu. Manajer/pimpinan klinis sebaiknnya menilai dampak
terhadap bahaya & kelola risiko

LOW Risiko rendah dilakukan investigasi sederhana paling lama 1


(RENDAH) minggu diselesaikan dng prosedur rutin
Grade Biru: Investigasi sederhana oleh Atasan Langsung, waktu maksimal 1
minggu.
b. Grade Hijau: Investigasi sederhana oleh Atasan Langsung, waktu maksimal 2
minggu.
c. Grade Kuning: Investigasi komprehensif/analisis akar masalah/Root Causa
Analysis (RCA) oleh Komite K3RS dan Komite PMKP di RS, waktu
maksimal 45 hari.
d. Grade Merah: Investigasi komprehensif/analisis akar masalah/Root Causa
Analysis (RCA) oleh Komite K3RS dan Komite PMKP di RS, waktu
maksimal 45 hari.
g. Untuk grade Biru / Hijau, Komite K3RS dan Komite PMKP akan
melakukan investigasi sederhana. Setelah selesai melakukan investigasi
sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan insiden dilaporkan ke
Direktur.

Komite K3RS dan Komite PMKP di RS akan menganalisa kembali hasil


investigasi dan laporan insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan
investigasi lanjutan (RCA) dengan melakukan Regrading.

h. Untuk grade Kuning/Merah, Komite K3RS dan Komite PMKP di RS akan


melakukan Analisis Akar Masalah/Root Cause Analysis (RCA).

Setelah melakukan RCA, komite PKMP dan K3RS akan membuat


laporan dan rekomendasi untuk perbaikan serta pembelajaran berupa:
Petunjuk/Safety alert untuk mencegah kejadian yang sama terulang
kembali. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada
Direktur
i. Kejadian sentinel harus dilaporkan kepada pemilik atau representasi
pemilik dalam jangka waktu 2 x 24 jam disertai hasil RCA

j. Rekomendasi untuk perbaikan dan pembelajaran diberikan sebagai


umpan balik kepada unit kerja terkait

k. Unit kerja membuat analisis dan trend kejadian di satuan kerjanya


masing-masing

l. Komite K3RS dan Komite PMKP melakukan pencatatan angka insiden


dan membuat laporan tertulis kepada direktur setiap 3 bulan

Pelaporan Insiden ke Badan Khusus diluar Rumah Sakit (eksternal)


a. Laporan hasil investigasi sederhana/analisis akar masalah/RCA yang
terjadi pada pasien dilaporkan oleh komite K3RS ke Pimpinan RS dan
dilanjutkan ke Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) dan
KARS dalam waktu kurang dari 5 x 24 jam dengan RCA paling lambat
45 hari dari tanggal kejadian.

b. Laporan kecelakaan kerja yang terjadi pada karyawan dilaporkan oleh


Komite K3RS kepada Pimpinan RS yang dilanjutkan kepada BPJS
Ketenagakerjaan dalam waktu kurang dari 2 x 24 jam.

BAB IV
KESELAMATAN KERJA

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA RUMAH SAKIT

Dalam rangka pengelolaan dan pengendalian risiko yang berkaitan dengan


Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit agar terciptanya kondisi Rumah
Sakit yang sehat, aman, selamat, dan nyaman bagi sumber daya manusia Rumah Sakit,
pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan Rumah Sakit, maka RSIA
Tanjungsari perlu menerapkan SMK3 Rumah Sakit. SMK3 Rumah Sakit merupakan
bagian dari sistem manajemen Rumah Sakit secara keseluruhan.

Ruang lingkup SMK3 Rumah Sakit meliputi:


A. Penetapan Kebijakan K3RS
Dalam pelaksanaan K3RS, direktur RSIA Tanjungsari berkomitmen untuk
merencanakan, melaksanakan, meninjau dan meningkatkan pelaksanaan K3RS
secara tersistem dari waktu ke waktu dalam setiap aktifitasnya dengan
melaksanakan manajemen K3RS yang baik. Rumah Sakit akan mematuhi hukum,
peraturan, dan ketentuan yang berlaku. Direktur dan struktural RSIA Tanjungsari
bertanggung jawab untuk mengetahui ketentuan peraturan perundang-undangan
dan ketentuan lain yang berlaku untuk fasilitas Rumah Sakit. Adapun komitmen
RSIA Tanjungsari dalam melaksanakan K3RS diwujudkan dalam bentuk:
1. Penetapan Kebijakan K3RS Secara Tertulis
Seluruh Kebijakan Komite K3RS ditetapkan oleh Direktur RSIA Tanjugsari
dan dituangkan secara resmi dan tertulis. Kebijakan tersebut jelas dan mudah
dimengerti serta diketahui oleh seluruh SDM Rumah Sakit .Selain itu
semuanya bertanggung jawab mendukung dan menerapkan kebijakan
pelaksanaan K3RS. Kebijakan K3RS harus disosialisasikan dengan berbagai
upaya berkesinambungan.
2. Penetapan Organisasi K3RS
Dalam pelaksanaan K3RS, RSIA Tanjungsari memerlukan organisasi yang
dapat menyelenggarakan program K3RS secara menyeluruh dan berada
langsung di bawah pimpinan direktur rumah sakit. Untuk terselenggaranya
K3RS secara optimal, efektif, efesien dan berkesinambungan, RSIA
Tanjungsari membentuk satu komite K3RS yang mempunyai tanggung jawab
menyelenggarakan K3RS.
Mekanisme kerja dan tugas fungsi Komite K3 RSIA Tanjungsari adalah
sebagai berikut:

a. Mekanisme Kerja Komite K3RS:


 Ketua komite bertanggungjawab kepada pemimpin tertinggi RS
 Sekretaris merupakan petugas kesehatan yang ditunjuk oleh
pimpinan untuk bertanggung jawab dan melaksanakan tugas secara
purna waktu dalam mengelola K3RS, mulai dari persiapan sampai
koordinasi dengan anggota Komite.
 Anggota terdiri dari semua jajaran Direksi dan/atau
kepala/perwakilan setiap unit kerja, (Instalasi/Bagian/Staf Medik
Fungsional).
 Komite memiliki seksi atau sub komite sesuai dengan program yang
dibutuhkan program K3RS
 Tugas seksi adalah memberikan rekomendasi dan masalah
terhadap bagiannya kepada pemimpin komite, kemudian ketua
komite dan seksi lainnya berdiskusi untuk menentukan kebijakan
dan pelaksanaan program, hasilnya akan direkomendasikan kepada
pemimpin rumah sakit untuk di tindak lanjuti
b. Tugas Komite K3RS :
 Mengembangkan kebijakan, prosedur, regulasi internal K3RS,
pedoman, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan Standar
Prosedur Operasional (SPO) K3RS untuk mengendalikan risiko.
 Menyusun program K3RS.
 Menyusun rekomendasi untuk bahan pertimbangan pimpinan
Rumah Sakit yang berkaitan dengan K3RS.
 Memantau pelaksanaan K3RS.
 Mengolah data dan informasi yang berhubungan dengan K3RS.
 Memelihara dan mendistribusikan informasi terbaru mengenai
kebijakan, prosedur, regulasi internal K3RS, pedoman, petunjuk
teknis, petunjuk pelaksanaan dan (SPO) K3RS yang telah
ditetapkan.
 Mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya di
sebarluaskan di seluruh unit kerja Rumah Sakit.
 Membantu Kepala atau Direktur Rumah Sakit dalam
penyelenggaraan SMK3 Rumah Sakit, promosi K3RS, pelatihan
dan penelitian K3RS di Rumah Sakit.
 Pengawasan pelaksanaan program K3RS.
 Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru,
pembangunan gedung dan proses.
 Koordinasi dengan wakil unit-unit kerja Rumah Sakit yang menjadi
anggota organisasi/unit yang bertanggung jawab di bidang K3RS.
 Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan
korektif.
 Melaporkan kegiatan yang berkaitan dengan K3RS secara teratur
kepada pimpinan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan yang ada
di Rumah Sakit.
 Menjadi investigator dalam kejadian PAK dan KAK, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

3. Dukungan Pendanaan, Sarana dan Prasarana


Dalam pelaksanaan K3RS diperlukan alokasi anggaran yang memadai dan
sarana prasarana lainnya. Hal ini merupakan bagian dari komitmen RSIA
Tanjungsari. Pengalokasian anggaran pada program K3RS jangan dianggap
sebagai biaya pengeluaran saja, namun anggaran K3RS perlu dipandang
sebagai aset atau investasi dimana upaya K3RS melakukan penekanan pada
aspek pencegahan terjadinya berbagai masalah besar keselamatan dan
kesehatan yang apabila terjadi akan menimbulkan kerugian yang sangat
besar.

B. Perencanaan K3RS
RSIA Tanjungsari harus membuat perencanaan K3RS yang efektif agar tercapai
keberhasilan penyelenggaraan dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur.
Perencanaan K3RS dilakukan untuk menghasilkan perencanaan strategi yang
diselaraskan dengan lingkup manajemen Rumah Sakit.

C. Pelaksanaan Rencana K3RS


Kegiatan pokok dari program kerja K3RS adalah mengelola resiko di lingkungan
pelayanan pasien dan tempat kerja staf yang meliputi aspek aspek berikut :

1. Keselamatan dan keamanan


2. Bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbahnya
3. Penanggulangan bencana (emergency)
4. Proteksi kebakaran (Fire Safety)
5. Peralatan medis
6. Sistem Penunjang (utilitas)

Pelaksanaan rencana K3RS harus didukung oleh sumber daya manusia di bidang
K3RS, sarana dan prasarana, dan anggaran yang memadai.
Sumber daya manusia di bidang K3RS merupakan suatu komponen penting pada
pelaksanaan K3RS karena sumber daya manusia menjadi pelaksana dalam
aktivitas manajerial dan operasional pelaksanaan K3RS. Elemen lain di Rumah
Sakit, seperti sarana, prasarana dan modal lainnya, tidak akan bisa berjalan
dengan baik tanpa adanya campur tangan dari sumber daya manusia K3RS. Oleh
karena itu sumber daya manusia K3RS menjadi faktor penting agar pelaksanaan
K3RS dapat berjalan secara efisien, efektif dan berkesinambungan.

D. Pemantauan dan Evaluasi Kinerja K3RS


RSIA Tanjungsari harus menetapkan dan melaksanakan program K3RS,
selanjutnya untuk mencapai sasaran harus dilakukan pencatatan, pemantauan,
evaluasi serta pelaporan. Penyusunan program K3RS difokuskan pada
peningkatan kesehatan dan pencegahan gangguan kesehatan serta pencegahan
kecelakaan yang dapat mengakibatkan kecelakaan personil dan cidera, kehilangan
kesempatan berproduksi, kerusakan peralatan dan kerusakan/gangguan
lingkungan dan juga diarahkan untuk dapat memastikan bahwa seluruh sumber
daya mampu menghadapi keadaan darurat. Kemajuan program K3RS ini dipantau
secara periodik guna dapat ditingkatkan secara berkesinambungan sesuai dengan
risiko yang telah teridentifikasi.
E. Peninjauan dan Peningkatan Kinerja K3RS
Direktur RSIA Tanjungsari harus melakukan evaluasi dan kaji ulang terhadap
kinerja K3RS. Hasil peninjauan dan kaji ulang ditindaklanjuti dengan perbaikan
berkelanjutan sehingga tercapai tujuan yang diharapkan. Kinerja K3RS dituangkan
dalam indikator kinerja yang akan dicapai dalam setiap tahun.

Indikator kinerja K3RS yang dapat dipakai antara lain:


1. Menurunkan absensi karyawan karena sakit.
2. Menurunkan angka kecelakaan kerja.
3. Menurunkan prevalensi penyakit akibat kerja.
4. Meningkatnya produktivitas kerja Rumah Sakit

STANDAR KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Rumah sakit memiliki kewajiban dalam menjamin kondisi dan fasilitas yang aman,
nyaman dan sehat bagi sumber daya manusia Rumah Sakit, pasien, pendamping
pasien, pengunjg, maupun lingkungan Rumah Sakit melalui pengelolaan fasilitas fisik,
peralatan, teknologi medis secara efektif dan efisien. Dalam rangka melaksanakan
kewajiban tersebut harus sesuai dengan standar K3RS. Adapun standar pelaksanaan
K3RS meliputi:

A. Manajemen Risiko K3RS


1. Pengertian
Manajemen risiko K3RS adalah proses yang bertahap dan
berkesinambungan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja secara komperhensif di lingkungan Rumah Sakit. Manajemen
risiko merupakan aktifitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh Rumah
Sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko
keselamatan dan Kesehatan Kerja. Hal ini akan tercapai melalui kerja sama
antara pengelola K3RS yang membantu manajemen dalam mengembangkan
dan mengimplementasikan program keselamatan dan Kesehatan Kerja,
dengan kerjasama seluruh pihak yang berada di Rumah Sakit.
2. Tujuan
Manajemen risiko K3RS bertujuan meminimalkan risiko keselamatan
dan kesehatan di Rumah Sakit pada tahap yang tidak bermakna sehingga
tidak menimbulkan efek buruk terhadap keselamatan dan kesehatan sumber
daya manusia Rumah Sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung,
maupun lingkungan Rumah Sakit.
Dalam melakukan manajemen risiko K3RS perlu dipahami hal- hal
berikut:
1. Bahaya potensial/hazard yaitu suatu keadaan/kondisi yang dapat
mengakibatkan (berpotensi) menimbulkan kerugian
(cedera/injury/penyakit) bagi pekerja, menyangkut lingkungan kerja,
pekerjaan (mesin, metoda, material), pengorganisasian pekerjaan,
budaya kerja dan pekerja lain.
2. Risiko yaitu kemungkinan/peluang suatu hazard menjadi suatu
kenyataan, yang bergantung pada:
1) pajanan, frekuensi, konsekuensi
2) dose-response
3. Konsekuensi adalah akibat dari suatu kejadian yang dinyatakan secara
kualitatif atau kuantitatif, berupa kerugian, sakit, cedera, keadaan
merugikan atau menguntungkan. Bisa juga berupa rentangan akibat-
akibat yang mungkin terjadi dan berhubungan dengan suatu kejadian.
Rumah Sakit perlu menyusun sebuah program manajemen risiko
fasilitas/lingkungan/proses kerja yang membahas pengelolaan risiko
keselamatan dan kesehatan melalui penyusunan manual K3RS, kemudian
berdasarkan manual K3RS yang ditetapkan dipergunakan untuk membuat
rencana manajemen fasilitas dan penyediaan tempat, teknologi, dan sumber
daya. Organisasi K3RS bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan
manajemen risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja dimana dalam sebuah
Rumah Sakit yang kecil, ditunjuk seorang personil yang ditugaskan untuk
bekerja purna waktu, sedangkan di Rumah Sakit yang lebih besar, semua
personil dan unit kerja harus dilibatkan dan dikelola secara efektif, konsisten
dan berkesinambungan.
3. Langkah-langkah Manajemen Risiko K3RS

PERSIAPAN

IdentifikasiBahaya Potensial

Komunikasi Monitor dan


dan review
konsultasi

Penilaian Faktor Risiko

Evaluasi Risiko

Pengendalian Risiko

Gambar 1. Langkah–Langkah Manajemen Risiko K3RS


Keterangan gambar langkah-langkah manajemen risiko K3RS:
1. Persiapan/Penentuan Konteks
Persiapan dilakukan dengan penetapan konteks parameter (baik
parameter internal maupun eksternal) yang akan diambil dalam kegiatan
manajemen risiko. Penetapan konteks proses menajemen risiko K3RS
meliputi:
1) Penentuan tanggung jawab dan pelaksana kegiatan manajemen
risiko yang terdiri dari karyawan, kontraktor dan pihak ketiga.
2) Penentuan ruang lingkup manajemen risiko keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
3) Penentuan semua aktivitas (baik normal, abnormal maupun
emergensi), proses, fungsi, proyek, produk, pelayanan dan aset di
tempat kerja.
4) Penentuan metode dan waktu pelaksanaan evaluasi manajemen
risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja.
2. Identifikasi Bahaya Potensial
Identifikasi bahaya potensial merupakan langkah pertama
manajemen risiko kesehatan di tempat kerja. Pada tahap ini dilakukan
identifikasi potensi bahaya kesehatan yang terpajan pada pekerja,
pasien, pengantar dan pengunjung yang dapat meliputi:
1) Fisik, contohnya kebisingan, suhu, getaran, lantai licin.
2) Kimia, contohnya formaldehid, alkohol, ethiline okside,
bahan pembersih lantai, desinfectan, clorine.
3) Biologi, contohnya bakteri, virus, mikroorganisme, tikus, kecoa,
kucing dan sebagainya.
4) Ergonomi, contohnya posisi statis, manual handling,
mengangkat beban.
5) Psikososial, contohnya beban kerja, hubungan atasan dan
bawahan, hubungan antar pekerja yang tidak harmonis.
6) Mekanikal, contohnya terjepit mesin, tergulung, terpotong, tersayat,
tertusuk.

7) Elektrikal, contohnya tersengat listrik, listrik statis,


hubungan arus pendek kebakaran akibat listrik.

8) Limbah, contohnya limbah padat medis dan non medis, limbah gas
dan limbah cair.
Untuk dapat menemukan faktor risiko ini diperlukan pengamatan
terhadap proses dan simpul kegiatan produksi, bahan baku yang
digunakan, bahan atau barang yang dihasilkan termasuk hasil samping
proses produksi, serta limbah yang terbentuk proses produksi.
Pada kasus terkait dengan bahan kimia, maka perlu dipelajari
Material Safety Data Sheets (MSDS) untuk setiap bahan kimia yang
digunakan, pengelompokan bahan kimia menurut jenis bahan aktif yang
terkandung, mengidentifikasi bahan pelarut yang digunakan, dan bahan
inert yang menyertai, termasuk efek toksiknya. Ketika ditemukan dua
atau lebih faktor risiko secara simultan, sangat mungkin berinteraksi dan
menjadi lebih berbahaya atau mungkin juga menjadi kurang berbahaya.
Sumber bahaya yang ada di RS harus diidentifikasi dan dinilai untuk
menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan
terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja.

3. Analisis Risiko
Risiko adalah probabilitas/kemungkinan bahaya potensial menjadi
nyata, yang ditentukan oleh frekuensi dan durasi pajanan, aktivitas
kerja, serta upaya yang telah dilakukan untuk pencegahan dan
pengendalian tingkat pajanan. Termasuk yang perlu diperhatikan juga
adalah perilaku bekerja, higiene perorangan, serta kebiasaan selama
bekerja yang dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan. Analisis
risiko bertujuan untuk mengevaluasi besaran (magnitude) risiko
kesehatan pada pekerja. Dalam hal ini adalah perpaduan keparahan
gangguan kesehatan yang mungkin timbul termasuk daya toksisitas bila
ada efek toksik, dengan kemungkinan gangguan kesehatan atau efek
toksik dapat terjadi sebagai konsekuensi pajanan bahaya potensial.
Karakterisasi risiko mengintegrasikan semua informasi tentang bahaya
yang teridentifikasi (efek gangguan/toksisitas spesifik) dengan perkiraan
atau pengukuran intensitas/konsentrasi pajanan bahaya dan status
kesehatan pekerja, termasuk pengalaman kejadian kecelakaan atau
penyakit akibat kerja yang pernah terjadi. Analisis awal ditujukan untuk
memberikan gambaran seluruh risiko yang ada. Kemudian disusun
urutan risiko yang ada. Prioritas diberikan kepada risiko-risiko yang
cukup signifikan dapat menimbulkan kerugian.
4. Evaluasi Risiko
Evaluasi Risiko adalah membandingkan tingkat risiko yang telah
dihitung pada tahapan analisis risiko dengan kriteria standar yang
digunakan. Pada tahapan ini, tingkat risiko yang telah diukur pada
tahapan sebelumnya dibandingkan dengan standar yang telah
ditetapkan. Selain itu, metode pengendalian yang telah diterapkan
dalam menghilangkan/meminimalkan risiko dinilai kembali, apakah telah
bekerja secara efektif seperti yang diharapkan. Dalam tahapan ini juga
diperlukan untuk membuat keputusan apakah perlu untuk menerapkan
metode pengendalian tambahan untuk mencapai standard atau tingkat
risiko yang dapat diterima. Sebuah program evaluasi risiko sebaiknya
mencakup beberapa elemen sebagai berikut:
1) Inspeksi periodik serta monitoring aspek keselamatan dan higiene
industri
2) Wawancara nonformal dengan pekerja
3) Pemeriksaan kesehatan
4) Pengukuran pada area lingkungan kerja
5) Pengukuran sampel personal
Hasil evaluasi risiko diantaranya adalah:
1) Gambaran tentang seberapa penting risiko yang ada.
2) Gambaran tentang prioritas risiko yang perlu ditanggulangi.
3) Gambaran tentang kerugian yang mungkin terjadi baik dalam
parameter biaya ataupun parameter lainnya.
4) Masukan informasi untuk pertimbangan tahapan
pengendalian.
5. Pengendalian Risiko
Prinsip pengendalian risiko meliputi 5 hierarki, yaitu:
1) Menghilangkan bahaya (eliminasi)
2) Menggantikan sumber risiko dengan sarana/peralatan lain yang
tingkat risikonya lebih rendah/tidak ada (substitusi)
3) Rekayasa engineering/pengendalian secara teknik
4) Pengendalian secara administrasi
5) Alat Pelindung Diri (APD).
Beberapa contoh pengendalian risiko keselamatan dan
Kesehatan Kerja di Rumah Sakit:
1) Containment, yaitu mencegah pajanan dengan:
a) Desain tempat kerja
b) Peralatan safety (biosafety cabinet, peralatan
centrifugal)

c) Cara kerja
d) Dekontaminasi
e) Penanganan limbah dan spill management
2) Biosafety Program Management, support dari pimpinan puncak
yaitu Program support, biosafety spesialist, institutional biosafety
committee, biosafety manual, OH program, Information &
Education
3) Compliance Assessment, meliputi audit, annual review, incident
dan accident statistics.
Safety Inspection dan Audit meliputi :

a) Kebutuhan (jenisnya) ditentukan berdasarkan karakteristik


pekerjaan (potensi bahaya dan risiko)
b) Dilakukan berdasarkan dan berperan sebagai upaya
pemenuhan standar tertentu
c) Dilaksanakan dengan bantuan cheklist (daftar periksa) yang
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan jenis kedua
program tersebut

4) Investigasi kecelakaan dan penyakit akibat kerja


a) Upaya penyelidikan dan pelaporan KAK dan PAK di tempat
kerja
b) Disertai analisis penyebab, kerugian KAK, PAK dan tindakan
pencegahan serta pengendalian KAK, PAK
c) Menggunakan pendekatan metode analisis KAK dan PAK.
5) Fire Prevention Program
a) Risiko keselamatan yang paling besar & banyak ditemui pada
hampir seluruh jenis kegiatan kerja, adalah bahaya dan risiko
kebakaran
b) Dikembangkan berdasarkan karakteristik potensi bahaya &
risiko kebakaran yang ada di setiap jenis kegiatan kerja
6) Emergency Response Preparedness
a) Antisipasi keadaan darurat, dengan mencegah
meluasnya dampak dan kerugian
b) Keadaan darurat: kebakaran, ledakan, tumpahan,
gempa, social cheos,bomb treat dll
c) Harus didukung oleh: kesiapan sumber daya manusia,
sarana dan peralatan, prosedur dan sosialisasi
7) Program K3RS lainnya Pemindahan
Risiko (Risk transfer)
Mendelegasikan atau memindahkan suatu beban kerugian ke
suatu kelompok/bagian lain melalui jalur hukum, perjanjian/kontrak,
asuransi, dan lain-lain. Pemindahan risiko mengacu pada
pemindahan risiko fisik & bagiannya ke tempat lain.
6. Komunikasi dan Konsultasi
Komunikasi dan konsultasi merupakan pertimbangan penting pada
setiap langkah atau tahapan dalam proses manejemen risiko. Sangat
penting untuk mengembangkan rencana komunikasi, baik kepada
kontributor internal maupun eksternal sejak tahapan awal proses
pengelolaan risiko. Komunikasi dan konsultasi termasuk didalamnya
dialog dua arah diantara pihak yang berperan didalam proses

pengelolaan risiko dengan fokus terhadap perkembangan kegiatan.


Komunikasi internal dan eksternal yang efektif penting untuk
meyakinkan pihak pengelolaan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Persepsi risiko dapat bervariasi karena adanya perbedaan dalam
asumsi dan konsep, isu-isu, dan fokus perhatian kontributor dalam hal
hubungan risiko dan isu yang dibicarakan. Kontributor membuat
keputusan tentang risiko yang dapat diterima berdasarkan pada
persepsi mereka terhadap risiko. Karena kontributor sangat
berpengaruh pada pengambilan keputusan maka sangat penting
bagaimana persepsi mereka tentang risiko sama halnya dengan
persepsi keuntungan-keuntungan yang bisa didapat dengan
pelaksanaan pengelolaan risiko.
7. Pemantauan dan telaah ulang
Pemantauan selama pengendalian risiko berlangsung perlu
dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang bisa terjadi.
Perubahan-perubahan tersebut kemudian perlu ditelaah ulang untuk
selanjutnya dilakukan perbaikan-perbaikan. Pada prinsipnya
pemantauan dan telaah ulang perlu untuk dilakukan untuk menjamin
terlaksananya seluruh proses manajemen risiko dengan optimal.
B. Keselamatan dan Keamanan di Rumah Sakit

Standar keselamatan dan keamanan kerja di Rumah Sakit bertujuan untuk


mencegah terjadinya kecelakaan dan cidera serta mempertahankan kondisi yang aman
bagi sumber daya manusia Rumah Sakit
Langkah-Langkah Keselamatan dan Keamanan di Rumah Sakit adalah :
1. Pemetaan area berisiko terjadinya gangguan keselamatan
dan keamanan di Rumah Sakit.
2. Melakukan upaya pengendalian dan pencegahan lain pada
lingkungan kerja yang tidak aman :
1) Menghilangkan kondisi yang tidak standar, contohnya:
a) Tidak cukup batas pengaman atau pagar
b) Tidak cukup benar alat pelindung diri
c) Alat atau material rusak
d) Tempat kerja atau gerakan terbatas
e) Bahaya kebakaran atau peledakan
f) Lingkungan kerja terpapar bahaya gas, uap, asap
dan bahan B3
g) Bising, radiasi dan suhu ekstrim
h) Kurangnya penerangan
i) Kurang ventilasi
2) Menghilangkan tindakan yang tidak standar, contohnya:
a) Mengoperasikan mesin atau alat yang tidak berijin
b) Mengoperasikan mesin atau alat tanpa sertifikat
kompetensi
c) Mengoperasikan mesin atau alat tidak sesuai SOP
d) Melepas atau membuat pengaman alat tidak
berfungsi
e) Lalai memakai APD
f) Posisi kerja tidak aman
g) Kurang fokus dalam bekerja / bercanda
h) Dalam pengaruh alkohol atau narkoba
3) Mengurangi unsur kesalahan oleh manusia, contohnya:
a) Tidak cukup kemampuan fisik atau mental
b) Stres fisik atau mental
c) Kurang pengetahuan (tidak memahami SOP)
d) Kurang keterampilan
e) Tanpa kompetensi
4) Mengurangi unsur kesalahan dari pekerjaan, contohnya:
a) Tidak cukup kepemimpinan atau pengawasan
b) Tidak cukup engineering
c) Tidak cukup pembelian
d) Tidak cukup perawatan
e) Rusak atau aus (wear and tear)
f) Salah penggunaan

5) Mengurangi unsur kesalahan dari pengendalian,


contohnya:
a) Program tidak sesuai atau cukup (kurang
pengawasan dan pengarahan)
b) Standar program tidak cukup atau spesifik
c) Pelaksanaan program tidak sesuai standar
6) Memastikan prinsip kewaspadaan standar:
a) Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), sesuai
dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.
b) Cara kerja aman, dengan selalu berpedoman pada
Standar Operasional Prosedur (SOP), serta
dilindungi oleh peraturan-peraturan yang ada.
c) Pengelolaan lingkungan untuk selalu
menyesuaikan dengan lingkup pekerjaan yang
dilakukan, dengan substitusi, eliminasi dan
administrasi.
7) Melakukan pengkajian keselamatan dan keamanan
selama terdapat proyek konstruksi dan renovasi serta
penerapan strategi-strategi untuk mengurangi risiko.
8) Rencana dan anggaran Rumah Sakit disusun dengan
memperhatikan kebutuhan yang menunjang aspek
keselamatan dan keamanan.

9) Rencana dan anggaran Rumah Sakit disusun untuk


perbaikan atau penggantian sistem, bangunan, atau
komponen-komponen yang diperlukan agar fasilitas
dapat beroperasi dengan selamat, aman, dan efektif
secara berkesinambungan.
10) Pimpinan Rumah Sakit menerapkan anggaran sumber
daya yang sudah ditetapkan untuk menyediakan
fasilitas yang selamat dan aman sesuai dengan
rencana-rencana yang sudah disetujui.
11) Memastikan perlindungan setiap orang yang ada di
Rumah Sakit terhadap kerugian pribadi dan dari
kehilangan atau kerusakan properti.
12) Mengelola, memelihara dan mensertifikasi sarana,
prasarana dan peralatan Rumah Sakit, terutama
penyediaan listrik, air, pembuangan limbah, ventilasi
dan pengelolaan gas medis.

Penanganan Kekerasan di Tempat Kerja


Kekerasan di tempat kerja sebagai tindak kekerasan (termasuk ancaman dan kekerasan
fisik) yang ditujukan kepada seseorang yang sedang bekerja atau sedang bertugas..
Kekerasan di tempat kerja bisa berupa tindakan kekerasan fisik, ancaman, pelecehan,
intimidasi, atau perilaku mengganggu lainnya yang mengganggu yang terjadi di tempat
kerja.

A. Jenis Kekerasan di Tempat Kerja


Berdasarkan Pelaku
- Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki hubungan
dengan pekerja atau tempat kerja
- Kekerasan yang dilakukan oleh pasien atau pihak pihak yang mendapatkan jasa
dan bekerja sama dengan rumah sakit
- Kekerasan yang dilakukan oleh sesama pekerja atau mantan pekerja
- Kekerasan yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan dengan pekerja

Berdasarkan Tindakan
- Secara langsung
Merupakan jenis perilaku kekerasan yang dilakukan jelas dan nyata dirasakan
oleh pekerja seperti tindak kekerasan fisik, bullying, penindasan, pelecehan
hingga pembunuhan
- Secara tidak langung
Merupakan jenis perilaku kekerasan yang dilakukan secara tidak terang
terangan namun tetap memberikan perlakuan yang tidak seharusnya kepada
pekerja.

B. Pencegahan Kekerasan di Tempat Kerja


Pencegahan yang bisa dilakukan ada 2 jenis :
1. Tindakan yang dilakukan sebelum terjadinya tindak kekerasan yang bertujuan
untuk mencegah atau mengurangi angka kejadian
2. Tindakan yang dilakukan setelah tindakan kekerasan untuk meminimalisir efek
berbahaya dan mencegah terjadinya kejadian ulangan atau pembalasan
dendam.

Tindakan pencegahan kekerasan di tempat kerja mencakup hal-hal berikut :


1. Pernyataan kebijakan.
Elemen kunci untuk mencapai keberhasilan dalam pencegahan kekerasan di
tempat kerja adalah komitmen yang kuat dari seluruh sumberdaya rumah sakit.
Pernyataan kebijakan yang berkenaan dengan kekerasan adalah pesan dari
manajemen kepada seluruh karyawan yang menyatakan komitmen untuk
mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan guna menciptakan lingkungan
kerja yang aman dan kondusif. Pernyataan kebijakan harus dilakukan oleh
direktur rumah sakit selaku pimpinan tertinggi rumah sakit untuk memastikan
bahwa kebijakan diterima dan dipatuhi oleh seluruh sumber daya rumah sakit
secara keseluruhan.
Pernyataan kebijakan harus berisi peraturan yang menjelaskan mengenai bentuk
tindak kekerasan, tindakan pencegahan, tindakan penanganan, serta ancaman
hukuman bagi pelaku. Pernyataan kebijakan harus bersifat spesifik dan
menggunakan bahasa awam yang mudah dimengerti oleh semua orang.
2. Melakukan proses rekruitmen calon pekerja dengan seksama untuk
mengidentifikasi dan menyaring orang-orang yang berpotensi melakukan tindak
kekerasan
3. Melakukan indentifikasi area beresiko tindak kekerasan dan menempatkan
kamera CCTV di area beresiko
4. Memberikan pelatihan bagi seluruh anggota satuan pengawas keamanan
rumah sakit sehingga memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar mutu
pelayanan keamanan dan keselamatan
5. Melakukan identifikasi tamu yang datang ke area rumah sakit dengan meminta
menunjukkan identitas resmi kepada security
6. Mewajibkan pemakaian tanda pengenal kepada seluruh pasien, penunggu,
pengunjung ataupun tamu yang datang ke area rumah sakit.

Penanganan Kekerasan di Tempat Kerja


Penanganan dilakukan apabila telah terjadi tindak kekerasan di tempat kerja. Ada
beberapa jenis layanan yang bisa didapatkan oleh pekerja, yaitu :
1. Rehabilitasi medis yang memberikan pengobatan apabila terjadi
perlukaan atau keadaan gawat darurat pada pekerja
2. Rehabilitasi psikologis yang memberikan konseling dan bimbingan
mental, spiritual dan pendampingan
3. Bantuan hukum yang memberikan bantuan perlindungan saksi dan/atau
korban, dan pendampingan dalam segala keperluan yang berkatan
dengan hukum.

Alur penanganan dan pelaporan kejadian kekerasan di tempat kerja :


1. Saat kejadian, security yang bertugas segera mengamankan lokasi kejadian dan
pelaku tindak kekerasan jika memungkinkan
2. Segera amankan korban dan berikan pertolongan pertama jika diperlukan.
Rekam medis korban harus memuat hasil pemeriksaan yang lengkap sebagai
bahan bukti untuk kebutuhan layanan hukum.
3. Laporkan kejadian kepada struktural yang bertugas dan kepala unit terkait
4. Struktural dan kepala unit terkait melakukan investigasi sederhana dan
pengumpulan barang bukti.
5. Buat kronologi kejadian dan lengkapi form laporan kekerasan.
6. Laporkan kejadian tersebut kepada Komite K3RS dan direktur rumah sakit untuk
dilakukan invenstigasi lebih lanjut.
7. Penyelesaian masalah dapat dilakukan secara internal (kekeluargaan) ataupun
eksternal (dengan bantuan hukum) tergantung jenis kekerasan yang terjadi.
C. Pelayanan Kesehatan Kerja
Upaya pelayanan kesehatan yang diberikan pada SDM Rumah Sakit
secara paripurna meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Pelayanan Kesehatan Kerja bertujuan untuk peningkatan dan
pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-
tingginya bagi pegawai di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap
gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang
merugikan kesehatan, dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam
suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan
psikologisnya.

Jenis-jenis Kegiatan Pelayanan Kesehatan Kerja adalah :


1. Kegiatan promotif antara lain meliputi :
a. Pemberian makanan tambahan dengan gizi yang mencukupi
(extra fooding) bagi petugas yang bekerja di area berisiko tinggi
b. Pelaksanaan program kebugaran jasmani terprogram (pengukuran
kebugaran jasmani dan latihan fisik terprogram), senam kesehatan
dan rekreasi.i
c. Pembinaan mental/rohani.
d. Pengelolaan ASI di Rumah Sakit
2. Kegiatan preventif, antara lain meliputi:
a. Perlindungan spesifik dengan pemberian imunisasi pada SDM
Rumah Sakit dan pekerja yang bekerja pada area yang berisiko

b. Pemeriksaan kesehatan bagi pegawai sebelum bekerja, berkala


dan khusus sesuai dengan risiko pekerjaan.

c. Menentukan kelaikan bekerja sesuai kondisi kesehatan pegawai


(fit to work)

d. Melakukan analisis hasil pemeriksaan kesehatan pegawai secara


populasi untuk memberikan rekomendasi program Kesehatan
Kerja dan perbaikan lingkungan kerja.

e. Surveilans medik

 Menganalisis hasil pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja,


berkala dan khusus,data rawat jalan, data rawat inap seluruh
sumber daya manusia Rumah Sakit.
 Memberikan rekomendasi dan tindak lanjut hasil analisis.
f. Surveilans lingkungan kerja

 Menilai, menganalisa dan mengevaluasi hasil pengukuran


lingkungan kerja
 Memberikan rekomendasi hasil evaluasi pengukuran
lingkungan kerja
 Memantau kesehatan SDM Rumah Sakit dan pekerja yang
bekerja pada tempat kerja yang mengandung potensi bahaya
tinggi, sesuai dengan peraturan perundangan.
3. Kegiatan kuratif, antara lain meliputi:
a. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi SDM
Rumah Sakit yang menderita sakit.
b. Melakukan diagnosis dan tatalaksana Penyakit Akibat Kerja (PAK)

c. Penanganan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)


d. Penanganan pasca pemajanan (post exposure profilaksis)
4. Kegiatan rahabilitatif, antara lain meliputi:
a. Rehabilitasi medik
b. Pelaksanaan program pendampingan kembali bekerja (return to work)
bagi SDM Rumah Sakit yang mengalami keterbatasan setelah
mengalami sakit lebih dari 2 minggu/KAK/PAK, yang mana memerlukan
rehabilitasi medik dan/atau rehabilitasi okupasi/kerja.
D. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari aspek
keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah upaya meminimalkan risiko
penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) terhadap sumber daya manusia Rumah Sakit.
Untuk di Rumah Sakit, limbah medis termasuk limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3).

Berikut ini yang termasuk katagori B3 adalah :


1. Memancarkan radiasi
Bahan yang memancarkan gelombang elektromagnetik atau partikel
radioaktif yang mampu mengionkan secara langsung atau tidak langsung
materi bahan yang dilaluinya.
2. Mudah meledak
Bahan yang mudah membebaskan panas dengan cepat tanpa disertai
pengimbangan kehilangan panas, sehingga kecepatan reaksi,
peningkatan suhu dan tekanan meningkat pesat dan dapat menimbulkan
peledakan. Bahan mudah meledak apabila terkena panas, gesekan atau
bantingan dapat menimbulkan ledakan.
3. Mudah menyala atau terbakar
Bahan yang mudah membebaskan panas dengan cepat disertai dengan
pengimbangan kehilangan panas, sehingga tercapai kecepatan reaksi
yang menimbulkan nyala.
4. Oksidator
Bahan yang mempunyai sifat aktif mengoksidasikan sehingga terjadi
reaksi oksidasi, mengakibatkan reaksi keluar panas(eksothermis).
5. Racun
Bahan yang bersifat beracun bagi manusia atau lingkungan yang dapat
menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam
tubuh melalui pernapasan kulit atau mulut.
6. Korosif
Bahan yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit, menyebabkan proses
pengkaratan pada lempeng baja (SAE 1020) dengan laju korosi lebih
besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur uji 550C, mempunyai pH
sama atau kurang dari 2 (asam), dan sama atau lebih dari 12,5 (basa).
7. Karsinogenik
Sifat bahan penyebab sel kanker, yakni sel luar yang dapat merusak
jaringan tubuh.
8. Mutagenik
Sifat bahan yang dapat mengakibatkan perubahan kromosom yang
berarti dapat merubah genetika.
9. Teratogenik
Sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan
embrio.
10. Iritasi
Bahan yang dapat mengakibatkan peradangan pada kulit dan selaput
lendir.
11. Berbahaya bagi lingkungan (dangerous for environment)
Bahan kimia ini dapat merusak atau menyebabkan kematian pada ikan
atau organisme aquatic lainnya atau bahaya lain yang dapat ditimbulkan,
seperti merusak lapisan ozon
12. Gas bertekanan (pressure gas)
Bahaya gas bertekanan yaitu bahan ini bertekanan tinggi dan dapat
meledak bila tabung dipanaskan/terkena panas atau pecah dan isinya
dapat menyebabkan kebakaran.

Berikut ini yang termasuk katagori Limbah B3 adalah :


a. Infeksius;
b. Benda tajam;
c. Patologis;
d. Bahan kimia kedaluwarsa, tumpahan, atau sisa kemasan;
e. Radioaktif;
f. Farmasi;
g. Sitotoksik;
h. Peralatan medis yang memiliki kandungan logam berat tinggi;
i. Tabung gas atau kontainer bertekanan

Jenis Kegiatan Pengelolaan B3 dan Limbahnya adalah :


1. Identifikasi dan Inventarisasi B3 yang ada di Rumah Sakit
 Mengidentifikasi jenis, lokasi, dan jumlah semua Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3) dan instalasi yang akan ditangani untuk mengenal
ciri-ciri dan karakteristiknya. Diperlukan penataan yang rapi dan
teratur, hasil identifikasi diberi label atau kode untuk dapat
membedakan satu dengan lainnya.
 Mengawasi pelaksanakan kegiatan inventarisasi, penyimpanan,
penanganan, penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

2. Menyiapkan dan Memiliki Lembar Data Keselamatan Bahan (Material


Safety Data Sheet)
MSDS adalah informasi mengenai bahan-bahan berbahaya terkait
dengan penanganan yang aman, prosedur penanganan tumpahan, dan
prosedur untuk mengelola pemaparan sudah yang terbaru dan selalu
tersedia.
3. Menyiapkan sarana keselamatan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3):
 Lemari Bahan Berbahaya dan Beracun (B3);
 Penyiram badan (body wash);
 Pencuci mata (eyewasher);
 Alat Pelindung Diri (APD);
 Rambu dan Simbol Bahan Berbahaya dan Beracun (B3); dan
 Spill Kit
4. Pembuatan Pedoman dan SOP Pengelolaan B3
 Menetapkan dan menerapkan secara aman bagi petugas dalam
penanganan, penyimpanan, dan penggunaan bahan- bahan dan
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
 Menetapkan dan menerapkan cara penggunaan alat pelindung diri
yang sesuai dan prosedur yang dipersyaratkan sewaktu
menggunakannya.
 Menetapkan dan menerapkan pelabelan bahan-bahan dan limbah
berbahaya yang sesuai.
 Menetapkan dan menerapkan persyaratan dokumentasi, termasuk
surat izin, lisensi, atau lainnya yang dipersyaratkan oleh peraturan
yang berlaku.
 Menetapkan mekanisme pelaporan dan penyelidikan (inventigasi)
untuk tumpahan dan paparan, Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
 Menetapkan prosedur untuk mengelola tumpahan dan paparan.

5. Penanganan Keadaan Darurat Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)


 Melakukan pelatihan PPI dasar
 Menerapkan prosedur untuk mengelola tumpahan dan paparan Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3).
 Menerapkan mekanisme pelaporan dan penyelidikan (inventigasi)
untuk tumpahan dan paparan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

E. Kesiapsiagaan Menghadapi Kondisi Darurat atau Bencana


Tujuan dari kesiapsiagaan bencana adalah meminimalkan dampak
terjadinya kejadian akibat kondisi darurat dan bencana yang dapat
menimbulkan kerugian fisik, material, jiwa, bagi sumber daya manusia Rumah
Sakit, menyebabkan kerusakan lingkungan ataupun mengancam finansial
dan citra Rumah Sakit.
Langkah-Langkah Persiapan Bencana adalah :
1. Identifikasi risiko kondisi darurat atau bencana
Mengidentifikasi potensi keadaan darurat di area kerja yang berasal dari
aktivitas (proses, operasional, peralatan), produk dan jasa.
2. Penilaian analisa risiko kerentanan bencana
3. Menilai risiko keadaan darurat di area kerja yang berasal dari aktivitas
(proses, operasional, peralatan), produk dan jasa dan menilai analisis
kerentanan bencana terkait dengan bencana alam, teknologi, manusia,
penyakit / wabah dan hazard material.
4. Pemetaan risiko kondisi darurat atau bencana
Pemetaan risiko kondisi darurat atau bencana untuk menentukan skala
prioritas.

5. Pengendalian kondisi darurat atau bencana


- Menyusun pedoman tanggap darurat atau bencana
- Membentuk Tim Tanggap Darurat atau Bencana
- Menyusun SPO tanggap darurat atau bencana antara lain:
 Kedaruratan keamanan
 Kedaruratan keselamatan
 Tumpahan bahan dan limbah B3
 Kegagalan peralatan medik dan non medik
 Kelistrikan
 Ketersediaan air
 Sistem tata udara
 Menghadapi bencana internal dan eksternal
- Menyediakan alat/sarana dan prosedur keadaan darurat berdasarkan
hasil identifikasi.
- Menilai kesesuaian, penempatan dan kemudahan untuk mendapatkan
alat keadaan darurat oleh petugas yang berkompeten dan berwenang.
- Memasang rambu-rambu mengenai keselamatan dan tanda pintu
darurat sesuai dengan standar dan pedoman teknis.
5. Simulasi kondisi darurat atau bencana.
- Simulasi kondisi darurat atau bencana berdasarkan penilaian analisa
risiko kerentanan bencana dilakukan terhadap keadaan, antara lain:
• Darurat air;
• Darurat listrik;
• Penculikan bayi;
• Ancaman bom;
• Tumpahan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3);
• Kebocoran radiasi;
• Gangguan keamanan;
• Banjir;
• Gempa bumi.
- Memberikan pelatihan tanggap darurat atau bencana
- Melakukan uji coba (simulasi) kesiapan petugas yang bertanggung
jawab menangani keadaan darurat yang dilakukan minimal 1 tahun
sekali pada setiap gedung

Resiko Terpapar Benda Tajam


Secara umum limbah medis dibagi menjadi padat, cair, dan gas. Sedangkan
kategori limbah medis padat terdiri dari benda tajam, limbah infeksius, limbah patologi,
limbah sitotoksik, limbah tabung bertekanan, limbah genotoksik, limbah farmasi, limbah
dengan kandungan logam berat, limbah kimia, dan limbah radioaktif. Limbah benda tajam
adalah limbah yang memiliki permukaan tajam dan penanganannya harus dengan cara
dimasukkan ke dalam wadah tahan tusuk dan air. Contohnya adalah jarum, spuit, ujung
infus, atau benda yang berpermukaan tajam.
RSIA Tanjungsari hanya mengelola limbah B3 dari pemilahan hingga
pengangkutan. Selanjutnya prosedur dilakukan dengan kerjasama dengan pihak ke 3 yaitu
PT PRIA dan PT BENDI.
1. Penanganan Limbah Benda Tajam/Pecahan Kaca
a. Jangan menekuk atau mematahkan benda tajam
b. Jangan meletakkan limbah benda tajam di sembarang tempat
c. Segera buang limbah benda tajam ke wadah yang tersedia (tahan tusuk dan
tahan air dan tidak bisa dibuka lagi)
d. Selalu buang sendiri oleh pemakai
e. Tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai (recapping)
f. Wadah benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan
g. Bila menangani limbah pecahan kaca gunakan sarung tangan rumah tangga
h. Wadah penampung limbah benda tajam:
 Tahan bocor dan tahan tusukan
 Harus mempunyai pegangan yang dapat dijinjing dengan satu tangan
 Mempunyai penutup yang tidak dapat dibuka lagi
 Bentuknya dirancang agar dapat digunakan dengan satu tangan
 Ditutup dan diganti setelah ¾ bagian terisi dengan limbah
 Ditangani bersama limbah medis
Gambar 25. Wadah Tahan Tusuk

2. Pembuangan Benda Tajam


a. Wadah benda tajam merupakan limbah medis dan harus dimasukkan ke dalam
kantong medis sebelum insinerasi
b. Idealnya semua benda tajam dapat di insinerasi, tetapi bila tidak mungkin dapat
dikubur dan dikapurisasi bersama limbah lain
c. Apapun metode yang digunakan harus tidak memberikan kemungkinan terluka

Gambar 26. Alur Tata Kelola Limbah

2. Perlindungan Kesehatan Petugas


Lakukan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap semua petugas baik tenaga
kesehatan maupun tenaga non kesehatan. RSIA Tanjungsari harus mempunyai
kebijakan untuk penatalaksanaan akibat tusukan jarum atau benda tajam bekas pakai
pasien, yang berisikan antara lain siapa yang harus dihubungi saat terjadi kecelakaan
dan pemeriksaan serta konsultasi yang dibutuhkan oleh petugas yang bersangkutan.
Petugas harus selalu waspada dan hati-hati dalam bekerja untuk mencegah terjadinya
trauma saat menangani jarum, scalpel, dan alat tajam lain yang dipakai setelah
prosedur, saat membersihkan instrumen dan saat membuang jarum.
Jangan melakukan penutupan kembali (recap) jarum yang telah dipakai, memanipulasi
dengan tangan, menekuk, mematahkan, atau melepas jarum dari spuit. Buang jarum,
spuit, pisau, scalpel, dan peralatan tajam habis pakai lainnya ke dalam wadah khusus
yang tahan tusukan/tidak tembus sebelum dimasukkan ke insenerator. Bila wadah
khusus terisi ¾ harus diganti dengan yang baru untuk menghindari tercecer.
Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti tertusuk jarum suntik bekas
pasien atau terpercik bahan infeksius, maka perlu pengelolaan yang cermat dan tepat
serta efektif untuk mencegah semaksimal mungkin terjadinya infeksi yang tidak
diinginkan.

HIV, hepatitis B, dan hepatitis C adalah patogen melalui darah yang berpotensi paling
berbahaya, dan kemungkinan pajanan terhadap patogen ini merupakan penyebab
utama kecemasan bagi petugas kesehatan di seluruh dunia. Risiko mendapat infeksi
lain yang dihantarkan melalui darah (bloodborne) seperti hepatitis B dan C jauh lebih
tinggi dibandingkan mendapatkan infeksi HIV. Sehingga tatalaksana pajanan
okupasional terhadap penyebab infeksi tidak terbatas pada PPP HIV saja. Di seluruh
RSIA Tanjungsari, kewaspadaan standar merupakan layanan standar minimal untuk
mencegah penularan patogen melalui darah.
3. Tatalaksana Pajanan
Tujuan tatalaksana pajanan adalah untuk mengurangi waktu kontak dengan darah,
cairan tubuh, atau jaringan sumber pajanan, serta untuk membersihkan dan
dekontaminasi tempat pajanan. Tatalaksananya adalah sebagai berikut:
a. Bila tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir dan sabun/cairan antiseptik
sampai bersih
b. Bila darah/cairan tubuh mengenai kulit yang utuh tanpa luka atau tusukan, cuci
dengan sabun dan air mengalir
c. Bila darah/cairan tubuh mengenai mulut, ludahkan dan kumur-kumur dengan air
beberapa kali.
d. Bila terpecik pada mata, cucilah mata dengan air mengalir (irigasi), dengan posisi
kepala miring ke arah mata yang terpercik.
e. Bila darah memercik ke hidung, hembuskan keluar, dan bersihkan dengan air.
f. Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditekan dan dihisap dengan mulut.

F. Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran


Pencegahan kebakaran adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya kebakaran di Rumah Sakit. Pengendalian kebakaran adalah upaya
yang dilakukan untuk memadamkan api pada saat terjadi kebakaran dan
setelahnya.
Tujuan kegiatan :
1. Memastikan sumber daya manusia Rumah Sakit, pasien, pendamping
pasien, pengunjung, maupun lingkungan Rumah Sakit aman dan
selamat dari api dan asap.
2. Memastikan asset/properti Rumah Sakit (bangunan, peralatan,
dokumen penting, sarana) yang aman dan selamat dari api dan asap.
Jenis Kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran adalah :
1. Identifikasi Area Berisiko Bahaya Kebakaran dan Ledakan
a. Mengetahui potensi bahaya kebakaran yang ada di tempat kerja,
dengan membuat daftar potensi-potensi bahaya kebakaran yang
ada di semua area Rumah Sakit.
b. Mengetahui lokasi dan area potensi kebakaran secara spesifik,
dengan membuat denah potensi berisiko tinggi terutama terkait
bahaya kebakaran.
c. Inventarisasi dan pengecekan sarana proteksi kebakaran pasif dan
aktif. Proteksi kebakaran secara aktif, contohnya APAR, hidran,
detektor api, detektor asap, sprinkler, dan lain- lain. Proteksi
kebakaran secara pasif, contohnya jalur evakuasi, pintu darurat,
tangga darurat, tempat titik kumpul aman, ram, kompartemen, dan
lain-lain.
d. Pemetaan Area Berisiko Tinggi Kebakaran dan Ledakan
 Peta area risiko tinggi ledakkan dan kebakaran
 Peta keberadaan alat proteksi kebakaran aktif
 Peta jalur evakuasi dan titik kumpul aman
 Denah lokasi di setiap gedung
2. Pengurangan Risiko Bahaya Kebakaran dan Ledakan
 Sistim peringatan dini;
 Tanda-tanda dan/ atau rambu evakuasi;
 Akses keluar, akses evakuasi, dan area tempat titik kumpul aman;
 Penyediaan alat evakuasi untuk gedung bertingkat;
 penempatan bahan mudah terbakar aman dari api dan panas;
 Pengaturan konstruksi gedung sesuai dengan prinsip keselamatan
dan Kesehatan Kerja, sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
 Penyimpanan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang mudah
terbakar dan gas medis;
 Pelarangan bagi sumber daya manusia Rumah Sakit, pasien,
pendamping pasien, dan pengunjung yang dapat menimbulkan
kebakaran (peralatan masak-memasak);
 Larangan merokok.
 Inspeksi fasilitas/area berisiko kebakaran secara berkala
 Menyusun kebijakan, pedoman dan SPO terkait
keselamatan kebakaran
3. Pengendalian Kebakaran
Beberapa alat pengendali kebakaran yang diperlukan adalah :
 Alat pemadam api ringan

 Deteksi asap dan api

 Sistim alarm kebakaran

 Penyemprot air otomatis (sprinkler)

 Pintu darurat

 Jalur evakuasi

 Tangga darurat

 Pengendali asap

 Tempat titik kumpul aman

 Penyemprot air manual (Hydrant)

Di RSIA Tanjungsari baru memiliki APAR, fire alarm, jalur evakuasi dan
titik kumpul.
4. Pembentukan tim penanggulangan kebakaran
5. Pelatihan dan sosialisasi
Simulasi Kebakaran
Minimal dilakukan 1 tahun sekali untuk setiap gedung. Hal penting yang
perlu diperhatikan dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran:
a. Rumah Sakit perlu menguji secara berkala rencana penanganan
kebakaran dan asap, termasuk semua alat yang terkait dengan
deteksi dini dan pemadaman serta mendokumentasikan hasil
ujinya.
b. Bahaya terkait dengan setiap pembangunan di dalam/berdekatan
dgn bangunan yang dihuni pasien. Yaitu dengan melakukan :
c. Melakukan pemantauan, terutama yang terkait dengan
penggunaan bahan-bahan mudah terbakar, penggunaan sumber
panas / api dan
d. melakukan sosialisasi terhadap pihak ketiga/kontraktor terkait
pencegahan kebakaran.
e. Jalan keluar yang aman dan tidak terhalang bila tejadi kebakaran
(jalur evakuasi),
f. Sistem peringatan dini, sistem deteksi dini, smoke, heat, ion
atauflame detector, alarm kebakaran, dan patroli kebakaran,
antara lain : mekanisme penghentian/supresi (suppression) seperti
selang air, supresan kimia (chemical suppressants) atau sistem
penyemburan (sprinkler).
6. Sistem proteksi kebakaran:
a. Sarana Proteksi Pasif
Suatu upaya yang dilakukan dengan cara memisahkan bahan-
bahan yang mudah terbakar dari sumber panas atau api dan juga
mengurangi volume atau jumlah bahan yang mudah terbakar pada
area-area tertentu dimana gudang penyimpanannya cukup kecil
dan tidak tahan api.
b. Sarana Proteksi Aktif
Sistem deteksi dan alarm kebakaran, merupakan sistem yang
terdiri dari detektor panas, detektor asap, detektor nyala dan
detektor ion yang tersambung dengan manual control fire alarm.
c. Fire Safety Management, terdiri atas :
 Pemeriksaan dan pemeliharaan peralatan proteksi kebakaran,
yang harus dilakukan secara berkala sesuai ketentuan.
 Pembentukan tim fire dan emergency yang merupakan
kebijakan pimpinan dalam upaya pencegahan kebakaran dan
penanggulangan kebakaran saat kondisi darurat.
 Pembinaan dan pelatihan tim fire dan emergency yang
merupakan upaya untuk meningkatkan kompetensi dari setiap
pegawai dalam hal mencegah dan menaggulangi bahaya
kebakaran.
 Penyusunan Fire Emergency Plan (FEP) yang merupakan
pedoman bagi area atau lokasi tersebut dalam upayanya
mencegah dan pengendalian kebakaran.
 Latihan kebakaran dan evakuasi yang merupakan simulasi yang
dilakukan secara rutin yang mendekati kejadian sebenarnya
sekaligus juga dengan melakukan upaya evakuasi.
 Penyusunan SPO pelaksanaan kerja yang aman atau yang
terkait dampak kebakaran yang merupakan langkah-langkah
atau tahapan dalam melakukan kegiatan terutama yang terkait
dengan pekerjaan api terbuka.
 Pelaksanaan fire safety audit yang serupa dengan self
asessmen terkat dengan pengelolaan keselamatan kebakaran.
 Penetapan pusat kendali keadaan darurat merupakan upaya
komunikasi yang dilakukan secara terkendali dan terpusat pada
suatu area.
d. Rekomendasi untuk pencegahan kebakaran terdiri atas:
 Program termasuk pengurangan risiko kebakaran adalah suatu
program yang mengupayakan pengurangan risiko terhadap
dampak kebakaran yang terjadi.
 Program termasuk penilaian risiko kebakaran saat ada
pembangunan di atau berdekatan dengan fasilitas adalah
upaya untuk mengidentifikasi, menila besarnya risiko dan
pengendalian yang akan dilakukan berikutnya.
 Program termasuk deteksi dini kebakaran dan asap adalah
bagian dari sistem proteksi aktif dalam pemadaman kebakaran
yang dapat diketahui sejak awal sehingga penanggulangan
dapat dilakukan secepatnya.
 Program termasuk meredakan kebakaran dan pengendalian
(containment) asap. Adalah upaya yang dilakukan dalam
mengantisipasi adanya penyebaran bahaya kebakaran.
 Program termasuk evakuasi/jalan keluar yang aman dari
fasilitas bila terjadi kedaruratan akibat kebakaran dan
kedaruratan bukan kebakaran

G. Pengelolaan Peralatan Medis


Pengelolaan peralatan medis dari aspek keselamatan dan Kesehatan
Kerja adalah upaya memastikan sistem peralatan medis aman bagi sumber
daya manusia Rumah Sakit,
Tujuan Pengelolaan Alat Medis :
Melindungi sumber daya manusia Rumah Sakit, pasien, pendamping pasien,
pengunjung, maupun lingkungan Rumah Sakit dari potensi bahaya peralatan
medis baik saat digunakan maupun saat tidak digunakan.
Jenis Kegiatan Pengelolaan Alat Medis adalah :
 Memastikan tersedianya daftar inventaris seluruh peralatan
medis
 Memastikan penandaan pada peralatan medis yang digunakan dan
yang tidak digunakan.
 Memastikan dilaksanakanya Inspeksi berkala.
 Memastikan dilakukan uji fungsi dan uji coba peralatan
 Memastikan dilakukan pemeliharaan promotif dan pemeliharaan
terencana pada peralatan medis
 Memastikan petugas yang memelihara dan menggunakan
peralatan medis kompeten dan terlatih
H. Pengelolaan Sarana Prasarana Rumah Sakit

Pengelolaan prasarana Rumah Sakit dari aspek keselamatan dan


Kesehatan Kerja adalah upaya memastikan sistim utilitas aman bagi sumber
daya manusia Rumah Sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung,
maupun lingkungan Rumah Sakit.
Tujuan Pengelolaan sarana Prasarana Rumah Sakit :
Menciptakan lingkungan kerja yang aman dengan memastikan kehandalan
prasarana atau sistem utilitas dan meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi.
Aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja pada sistim utilitas mencakup
strategi-strategi untuk pengawasan pemeliharaan utilitas yang memastikan
komponen-komponen sistem kunci, seperti listrik, air, limbah, ventilasi, dan
gas medis dan lain lain diperiksa, dipelihara, dan diperbaiki secara berkala.
Kegiatan Pengelolaan Sarana Prasarana Rumah Sakit meliputi :
 Rumah sakit memastikan air bersih dan listrik tersedia 24 jam sehari,
tujuh hari dalam seminggu
 Rumah Sakit mengidentifikasi area dan layanan yang memiliki risiko
terbesar jika terjadi pemadaman listrik atau kontaminasi atau gangguan
air
 Rumah Sakit merencanakan sumber-sumber listrik dan air alternatif
dalam keadaan darurat

 Tata udara, gas medis, sistim kunci, sistim perpipaan limbah, lift, boiler
dan lain lain berfungsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Memastikan adanya daftar inventaris komponen-komponen sistem
utilitasnya dan memetakan pendistribusiannya.
 Memastikan dilakukan kegiatan pemeriksaan, pengujian dan
pemeliharaan terhadap semua komponen-komponen sistem utilitas
yang beroperasi, semua komponennya ditingkatkan bila perlu.
 Mengidentifikasi jangka waktu untuk pemeriksaan, pengujian, dan
pemeliharaan semua komponen-komponen sistem utilitas yang
beroperasi di dalam daftar inventaris, berdasarkan kriteria seperti
rekomendasi produsen, tingkat risiko, dan pengalaman Rumah Sakit.
 Memberikan label pada tuas-tuas kontrol sistem utilitas untuk membantu
pemadaman darurat secara keseluruhan atau sebagian.
 Memastikan dilakukannya dokumentasi setiap kegiatan sistem utilitas.

Anda mungkin juga menyukai