&
LEASING (PEMBIAYAAN) SYARIAH
Oleh : Nida Dhiya Arkani
“Jika pemilik (wadi’ah) mengizinkan barangnya digunakan, maka ia menjadi ariyah yang
dijamin (pengembaliannya)
Sementara itu, ‘ariyah jika dalam bentuk barang yang habis dikonsumsi seperti
uang, maka statusnya menjadi qardh.
As-Sarkhasi mengatakan,
عارية الدراهم والدنانير والفلوس قرض ألن اإلعارة إذن في االنتفاع وال يتأتى االنتفاع بالنقود إال باستهالك
مأذونا في االستعمالmعينها فيصير
“Pinjaman yang berbentuk dirham dan dinar dan fulus adalah qardh, karena
pinjaman berarti memberi izin untuk menggunakan, dan itu tidak akan terwujud
pada uang, malainkan dengan mengkonsumsinya, maka penerima uang tersebut
diizikan untuk menggunakannya”.
Perbedaan mendasar antar leasing syari’ah dan konvensional, adalah baHwa yang
pertama penjual dan kedua kreditor. Leasing konvensional sebagai kreditor memberikan
pinjaman kepada konsumen (debitur), lalu dengan pinjaman itu konsumen membeli
kendaraan, kemudian membayar cicilannya kepada leasing. Praktik tersebut tidak
diperkenankan dalam Islam, karena total cicilan melebihi nilai pokok pinjaman, praktik
ini disebut riba qardh. Dalam hadits dikatakan,
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Setiap pinjaman yang mengandung manfaat/kelebihan maka ia adalah riba”
Dalam Leasing Syariah, trasaksi yang digunakan adalah jual beli, perusahaan leasing
sebagai penjual dan konsumen sebagai pembeli, sehingga margin yang didapatkan
penjual adalah halal dan bukan bunga. Akad murabahah yang digunakan dalam leasing
Syariah umumnya berbentuk murabahah lil amir bisy-syira (murabahah kepada pemesan
pembelian)
1. Tahap satu: perusahaan membeli barang sesuai pesanan konsumen kepada supplier
dengan spefisikasi tertentu, pesanan ini mengikat, jika dibatalkan oleh konsumen dan
berakibat kerugian, maka konsumen mengganti sesuai kerugian riil sebagaiman
tertuang dalam fatwa DSN MUI No 85 tentang Janji (wa’ad) dalam tranaskai
keuangan dan bisnis dan fatwa DSN MUI no 43 tentang Ta’widh (ganti rugi).
Perusahaan leasing sebagai penjual harus sudah memiliki barang yang akan dijualnya
kepada konsumen dengan membelinya dari supplier baik tunai maupun tidak tunai,
walaupun hanya ijab Kabul pembelian barang, seperti tertuang dalam fatwa DSN no 04
tentang murabahah. Jika transaksi yang terjadi adalah purchase order oleh perusahaan,
maka isi PO tersebut harus ijab Kabul jual beli sesuai syarat dan rukun yang berlaku.
2. Tahap dua: perusahaan menjual barang yang dipesan kepada konsumen dengan
harga lebih tinggi sesuai kesepakatan dengan merinci harga beli+biaya
perolehan+keuntungan. Setelah itu barang diserahkan secara tunai dan pembayaran
dilakukan secara angsuran.
Poin-poin di atas harus dicantumkan dalam akad sebagaimana tertuang dalam Fatwa
DSN MUI No 04 Tahun 2000 Tentang Murabahah dan Fatwa DSN MUI No 111 Tahun
2017 Tentang Jual Beli Murabahah, Standar AAOIFI no 8 dan keputusan Lembaga Fiqih
OKI tentang bay’ taqsith
Model transaksi murabahah yang biasa dipraktikkan masyarakat adalah dalam bentuk
bay’ taqsith/ajal (jual beli cicilan/tidak tunai)