Anda di halaman 1dari 12

Analisis Perkembangan Pembiayaan Syariah Di Lembaga Keuangan Syariah Indonesia

Winna Aulia Danirmala, Bagus Asrif Pangestu, Nur Asmi Tya Fadilah, Ricky dimas prasetya,
Tasya Futukha Sa'adah
Universitas Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
*Corresponding Author E-mail: Winnaassignment@gmail.com

A. PENDAHULUAN

Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia sudah mengalami peningkatan,


dilihat dari Otoritas Jasa Keuangan yang mempublikasikan jumlah kantor lembaga keuangan
syariah, selain itu juga dapat dilihat dari sekitar tempat tinggal kita yang mana sudah mulai
dijumpai bank syariah. Perkembangan ini tidak terlepas dari fungsi utama yang harus
dijalankan yaitu sebagai penghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat yang
dilakukan sesuai prinsip-prinsip syariah (Pradesyah & Bara, 2020).

Pembiayaan di dalam lembaga keuangan juga berkaitan dalam kegiatan bisnis. Pembiayaan
sendiri merupakan Pemberian modal dari suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung
kegiatan masyarakat yang akan dilakukan. Namun di dalam islam pembiayaan sendiri
memiliki beberapa ketentuan yang berbeda dari pembiayaan lembaga keuangan
konvensional, kalau di lembaga keuangan syariah pembiayaan dilakukan berdasarkan
persetujuan dan kesepakatan antara kedua belah pihak dan saling menguntungkan antara
kedua belah pihak tanpa adanya bunga (Ilyas, 2015).

Berdasarkan akadnya, Pembiayaan dapat dibagi menjadi 4, yaitu (Nurnasrini & Putra, 2018):

1. Pembiayaan yang dilakukan menggunakan akad jual beli, akad yang digunakan yaitu
akad murobahah, salam, dan istishna.
2. Pembiayaan yang dilakukan menggunakan akad bagi hasil, akad yang digunakan yaitu
akad Mudharobah atau nasabah dengan bank sama-sama menyertakan modalnya
dalam usaha yang akan dilakukan dengan akad musyarokah.
3. Pembiayaan yang dilakukan dengan akad sewa-menyewa, didalam melakukan kegiatan
sewa-menyewa mengunakan akad ijarah dan ijarah mumtahia bi tamlik.
4. Pembiayaan yang dilakukan dengan akad pinjam meminjam berdasarkan akad qord.
Dalam melakukan kegiatan operasionalnya, pembiayaan tidak terlepas dari berbagai jenis
permasalahan yang ada, seperti permasalahan terhadap nasabah yang gagal bayar dan
permasalahan lainnya, sehingga sangat penting bagi kita untuk mempelajari bagaimana
strategi yang harus dilakukan dalam menghadapi permasalahan tersebut (Turmudi, 2016).

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Pembiayaan Syariah

Definisi dari pembiayaan syariah adalah suatu usaha brupa penyediaan dana, yaitu uang
atau usaha yang berpedoman prinsip Islam. Sistem yang digunakan dalam praktik
pembiayaan syariah ini ialah, dimana si pemberi pinjaman dan si peminjam atau nasabah
bersepakat mengenai jangka waktu pengembalian pinjamannya atau dapat berupa imbalan
bagi hasil.

Pembiayaan syariah dan pembiayaan konvensional memiliki beberapa perbedaan, salah


satunya yaitu pembiayaan syariah berpegang pada ketentuan DSN MUI. Dalam praktiknya
juga mengacu pada prinsip-prinsip yang sudah diatur dalam agama. Adapaun prinsip
tersebut dianyaranya adalah:

1. Murabahah
Pengertian dari Murabahah yaitu pembiayaan jual beli barang yang dilakukan Bank pada
nasabah. Alur dari prinsip Murabahah ini adalah Bank membeli barang dari supplier yang
sesuai dengan keinginan nasabah, selanjutnya Bank menjual kembali barang tersebut
dan mengambil keuntungan dari kesepakatan harga diawal tadi. Untuk pembayaranya
dapat dilakukan dengan mencicil, dibayar secara tunai, dan ditangguhkan ( Haq, 2015).

2. Mudharabah
Mudharabah termasuk dalam produk pembiayaan bagi hasil atau kerja sama dimana
dalam pembagaian hasil ini sudah disepakati di awal perjanjian. Fungsi Bank disini
sebagai pemilik dana yang memberikan modal secara penuh untuk usaha yang dilakukan
oleh nasabah, sedangkan nasabah bertanggung jawab penuh atas usaha yang dijalankan
tersebut. Meskipun demikian pihak Bank juga tetap melakukan pengawasan terhadap
nasabah, apabila ada kerugian atau kegagalan usaha maka Bank yang akan menanggung
kecuali kesalahan disebabkan oleh kelalaian nasabah itu sendiri. ( Haq, 2015).

3. Musyarakah
Musyarakah adalah bentuk kerja sama dari dua pihak atau lebih yang mana mereka
menyatukan dana yang dimiliki untuk melakukan usaha dengan tujuan untuk bagi hasil.
Dalam hal ini nasabah mengajukan proposal pada Bank untuk menyetujui pendanaan
suatu proyek yang akan dikerjakan. Berbeda dengan yang sudah dibahas diatas,
pendanaan yang dilakukan ada campur tangan nasabah selain itu kerugian dan
keuntungan yang didapat akan dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dibuat diawal
atau dapat diartikan bahwa keduanya bersama-sama menanggung resiko apapun yang
akan terjadi saat suatu projek berjalan ( Haq, 2015).
4. Wadiah
Wadiah dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak ke pihak lainya yang harus dijaga
dengan baik dan dapat titipan tersebut dapat diambil kapan saja saat si penyimpan
menginginkanya. Wadiah sendiri terbagi atas 2 jenis, yaitu:
1) Wadiah Yad Amanah, yaitu akad dimana pihak yang dititipi harta tidak boleh
menggunakan harta tersebut dan dia tidak bertanggung jawab atas kehilangan
atau kerusakan harta tersebut kecuali memang kelalaian dari pihak yang dititipi.
2) Wadiah Yad Dhamanah, yaitu akad dimana pihak yang dititipi harta boleh
menggunakan harta tersebut dan bertanggung jawab atas kehilangan atau
kerusakan yang mungkin terjadi (Ridawati, 2016).

5. Salam
Salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli jual beli salam adalah akad
jual beli barang pesanan diantara pembeli dengan penjual. Spesifikasi dan harga barang
pesanan harus sudah disepakati di awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan di muka
secara penuh. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menjelaskan, salam adalah akad atas
barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang ditangguhkan penyerahannya pada
waktu tertentu, dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad. Ulama
malikiyyah menyatakan, salam adalah akad jual beli dimana modal (pembayaran)
dilakukan secara tunai (di muka) dan objek pesanan diserahkan kemudian dengan jangka
waktu tertentu. Sedangkan menurut Rozalinda, salam adalah bentuk dari jual beli.
Secara bahasa menurut penduduk Hijaz (Madinah) dinamakan dengan salam sedangkan
menurut penduduk Irak diistilahkan dengan salaf. Secara bahasa salam artinya:
“Menyegerakan modal dan mengemudikan barang”. Jadi jual beli salam merupakan “jual
beli pesanan” yakni pembeli membeli barang dengan kriteria tertentu dengan cara
menyerahkan uang terlebih dahulu, sementara itu barang diserahkan kemudian pada
waktu tertentu (Saprida, 2016).

6. Ijarah
Al-ijarah berasal dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadhu (ganti). Menurut pengertian
syara, al-ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
pengganti. Al- ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Menurut Fatwa Dewan Syarah Nasional
No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad
ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari
yang menyewakan kepada penyewa. (Santoso & Anik, 2015).
7. Istishna’
Pembiayaan Al-Istishna yaitu kontrak jual beli di mana harga atas barang tersebut
dibayar lebih dulu, tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang
disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.
Selain itu, menurut Sjahdeini bahwa istisna adalah jual beli antara pemesan dan
penerima pesanan, di mana spesifikasi harga barang disepakati di awal sedangkan
pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesepakatan ( Hustia & Candera,
2019).
8. Qardh
Pembiayaan Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang
meminjamkan yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu. Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan, namun tidak
diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam perjanjian. Pembiayaan Qardh adalah
akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) yang wajib
dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Bank (Muqridh) dapat meminta
jaminan atas pinjaman kepada nasabah (Muqtaridh) yang meminjam. Pengembalian
pinjaman dapat dilakukan secara angsuran ataupun sekaligus sesuai dengan akad yang
sudah disepakati diawal perjanjian penjam meminjam ( Hustia & Candera, 2019).
9. Ijarah Muntahiya Bi Tamlik
Ijarah muntahiya bi Tamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk
menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini di akhiri
dengan alih kepemilikan objek sewa. Berbagai bentuk ahli kepemilikan sewa IMBT antara
lain:
a) Hibah di akir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa asset di hibahkan
kepada penyewa.
b) Harga yang belaku pada akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa asset
dibeli oleh penyewa dengan harga yang berlaku pada saat itu.
c) Harga ekuivalen dalam peride sewa, yaitu ketika penyewa membeli asset dalam
periode sewa sebelum kontrak sewa berakhir dengan harga ekuivalen
d) Bertahap selama periode sewa, yaitu ketika alih kepemilikan dilakukan bertahap
dengan pembayaran dicicil selama periode sewa (KARTIKA, 2016).

2. Hambatan dalam Pembiayaan Syariah

Hambatan dalam pembiayaan dengan konsep syariah ini salah satu nya adalah People
Capacity, yang artinya Sumber Daya Manusia di internal pembiayaannya masih perlu banyak
belajar terkait bisnis nasabah yang beragam. Pihak pembiaya haruslah mengetahui dan
mempelajari bisnis nasabah yang beragam, supaya tingkat kestabilan inflasi akan lebih
terkawal, putaran uang terkawal dan bisa meningkatkan lagi kestabilan perekonomian juga
terkawal. Selain itu bagi nasabah juga haruslah mengetahui, mematuhi dan mempelajari
konsep pembiayaan ini supaya menjadi nasabah yang lebih beredukasi, memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh pihak pembiaya supaya lebih berpotensi dalam berbisnis.
Dengan langkah yang diterapkan bermakna dari pihak pemberi pinjaman (pembiaya)
mempunyai konsep SOP yang di failkan sebagai bukti pelaksanaan awal, supaya pembiayaan
dapat disalurkan dengan teratur dan terdokumentasi sebagai bukti. Selain itu si pembiaya
juga menggunakan prosedur SOP turun ke lapangan dan difailkan sebagai bukti supaya lebih
efektif karena melakukan pengawalan dan pengawasan bagi memastikan pembayaran
nasabah lancar (Hirwan, 2019). Hambatan lain yang terjadi adalah macet atau tertahanya
pembiyaan.

3. STRAEGI PENYELESAIAN PEMBIAYAAN SYARIAH MACET

Secara garis besar, strategi usaha penyelesaian pembiayaan Syariah yang macet ini dapat
dibedakan kondisi hubungannya dengan nasabah-nasaah debitur, apakah bisa bersikap
kooperatif atau tidak. Maka dalam penyelesaian pembiayaan tersebut pihak debitur masih
kooperatif, sehingga usaha dapat diselesaikan dengan dilakukan secara kerjasama antara
debitur dan pihak bank, dalam hal ini disebut sebagai “penyelesaian secara damai” atau
“penyelesaian secara persuasif”. Namun jika dalam penyelesaian pembiayaan tersebut
masih ada pihak debitur tidak kooperatif, sehingga usaha penyelesaian dilakukan secara
pemaksaan dengan melandaskan pada hak-hak yang dimiliki oleh bank syariah, dalam hal ini
penyelesaian tersebut disebut “penyelesaian secara paksa” (Ubaidillah, 2018). Selain itu
strategi bagi mereka yang belum tahu mengenai produk pembiayaan syariah dapat
dilakukan dengan sosialisasi yang gencar melalui media sosial ataupun seminar yang
menarik.
Sumber-sumber penyelesaian pembiayaan antara lain berupa:

 Barang-barang yang sudah dijaminkan terhadap bank. Dalam fikih didasarkan kepada
prinsip Rahn.
 Jaminan perorangan (borgtocht), baik dari perorangan ataupun dari badan hukum.
Dalam fikih juga sudah didasarkan kepada prinsip Kafalah.
 Semua harta kekayaan debitur dan pemberi jaminan, termasuk juga dalam bentuk
piutang kepada bank sendiri (kalau ada). Dalam fikih, hal ini didasarkan kepada Hadis
Rasulullah SAW dari Ka`ab bin Malik, “Sesungguhnya Nabi SAW pernah menyita
harta milik Muaddz kemudian beliau menjualnya untuk membayar utangnya”(HR.
Imam Daruquthni).
 Pembayaran dari pihak ketiga yang mau melunasi hutang debitur. Dalam fikih sudah
didasarkan kepada prinsip Hawalah atau Kafalah.
Dasar dan prinsip-prinsip tersebut, strategi dalam penyelesaian pembiayaan yang macet
dapat ditempuh oleh Bank adalah berupa tindakan-tindakan sebagai berikut:
1) Penyelesaian Oleh Bank
Penyelesaian oleh bank sendiri biasanya dilakukan secara bertahap. Pada tahap yang
pertama biasanya penagihan pengembalian pembiayaan yang macet dilakukan oleh
bank sendiri secara persuasif, dengan kemungkinan:
 Nasabah melunasi/mengangsur kewajiban pembiayaan/ pinjamannya.
 Nasabah/pihak ketiga pemilik agunan menjual sendiri barang agunan secara
sukarela.
 Dilaksanakan perjumpaan hutang (kompensasi).
 Dilaksanakan pengalihan hutang (pembaharuan hutang/novasi subyektif) atau
 Penjualan yang terjadi di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak (Pasal 29 ayat (1)
huruf c UU No. 42/1999 tentang Fidusia).
Jika tahap pertama tidak berhasil, maka bank akan melakukan upaya-upaya tahap
kedua (secondary enforcement system) dengan melakukan tekanan psikologis kepada
debitur, seperti peringatan yang tertulis (somasi) dengan ancaman bahwa
penyelesaian pembiayaan syariah yang macet tersebut akan diselesaikan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal upaya-upaya tahap kedua belum
juga berhasil, bank dapat menempuh upaya tahap ketiga, yaitu penjualan barang
jaminan di bawah tangan atas dasar kuasa dari debitur/ pemilik agunan. Dalam
praktik, walaupun telah ada surat kuasa dari debitur, namun tidak semua bank berani
untuk melakukan penjualan di bawah tangan atas agunan tersebut. (Ubaidillah, 2018)
2) Penyelesaian Melalui Debt Collector
Berdasarkan dari ketentuan yang berlaku pada KUH Perdata, Pasal 1320 menjelaskan
mengenai syarat syahnya perjanjian dan Pasal 1792 mengenai pemberian
kuasa,pihak bank pun bisa memberikan kekuasaan pada puhak lain (debt collector),
guna melakukan penagihan hutang kepada nasabah yang tidak tertib membayar
tanggungan.

3) Penyelesaian Melalui Kantor Lelang


Penagihan juga dapat dilakukan dengan meminta bantuan kantor lelang untuk
melakukan :
a) Pihak kantor lelang dapat menjual barang jaminan yang sudah terikat
janji,berdasar dengan janji pemegang hak tanggungan yang pertama memiliki
hak guna menjual barang jaminan apabila debitor ingkar janji.
b) Penjualan agunan melalui sistem gadai atas dasar parate eksekusi (Pasal 1155
KUH Perdata).
c) Penjualan benda yang sudah menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

4) Penyelesaian Melalui Badan Peradilan (Al-qadha)


Gugatan perdata melalui Pengadilan Agama merupakan salah satu badan peradilan
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan
bagi rakyat yang sedang memperjuangkan keadilan dalam sebuah masalah tertentu
antara orang-orang yang beragama Islam, yang sebelumnya berdasarkan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya berwenang
menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,
shadaqah, maka sekarang berdasarkan Pasal 49 huruf i Undang- Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama (“UU 50/2009”), kewenangan pengadilan agama diperluas
termasuk bidang ekonomi syariah (Ubaidillah, 2018).
Adanya penegasan dan peneguhan kewenangan pengadilan agama untuk
menyelesaikan suatu perkara ekonomi syariah, dalam penyelesaian sengketa niaga
atau bisnis, yang selama ini pengadilan yang diberi tugas dan kewenangan adalah
pengadilan negeri/ niaga yang terdapat dalam lingkungan peradilan umum, maka
setelah UU No. 50/2009 disyahkan,menyangkut penyelesaian masalah sengketa
bisnis khususnya berkaitan dengan ekonomi syariah, tugas dan kewenangannya
berada pada Pengadilan Agama. Namun untuk perbankan syariah, penyelesaian
sengketa tidak hanya kompetensi Peradilan Agama tetapi juga dapat di Pengadilan
Negeri.

5) Penyelesaian Melalui Badan Arbitrase (Tahkim)


Arbitrase adalah salah satu cara penyelesaian masalah sengketa perdata di luar
peradilan umum didasarkan pada perjanjian arbitrase. Lembaga arbitrase ini dapat
dipergunakan untuk penyelesaian pembiayaan yang macet, apabila dalam perjanjian
atau akad pembiayaan terdapat klausula tentang penyelesaian sengketa melalui
arbitrase (factum de compromittendo).
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 3 UU Arbitrase, pengadilan negeri (dan pengadilan
agama) jika tidak berwenang untuk mengadili sengketa pada pihak yang telah terikat
dalam Perjanjian Arbitrase. Dengan adanya Perjanjian Arbitrase ini yang dibuat
secara tertulis bawah meniadakan hak kepada pihak untuk mengajukan suatu
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
pengadilan negeri (pengadilan agama). Masalah sengketa pada perbankan syariah
merupakan salah satu contoh sengketa perdata dalam bisnis,oleh sebab itu dalam
penyelesaian sengketa pada perbankan syariah yang berkaitan langsung dengan
nasabah ataupun pihak lain dapat melalui badan arbitrase syariah.Di Indonesia
sendiri sudah ada badan arbitrase syariah,yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) (Ubaidillah, 2018).

4. PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN SYARIAH di LEMBAGA KEUANGAN SAAT INI

Sebagaimana dalam perkembangan pembiayaan syriah, bank mempunyai peran yang


sangat besar, dalam menghimpun dana dari masyarakat dan selanjunya akan
menyalurkannya sebagai modal usaha, sehingga dapat terciptanya pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini juga menggambarkan betapa lembaga keuangan berperan sangat penting bagi
pembangunan ekonomi negara. Dengan modal, yang dapat mengubah benda yang tidak
bermanfaat menjadi benda yang bermanfaat (Singgih Muheramtohadi, 2017).
Perkembangan lembaga keuangan syariah tidak terlepas dari fungsi utama yang harus
dijalankan. Perkembangan Lembaga keuangan Syariah ini memiliki suatu kontribusi yang bisa
dilakukan kepada masyarakat, dimana kontribusi itu yang merupakan fungsi utama dari
lembaga keuangan syariah, yaitu yang menghimpun dan menyalurkan dana terhadap
masyarakat dengan cara prinsip-prinsip syariah.
Penghimpunan dan penyaluran dana yang dilakukan oleh bank Syariah ini atau lembaga
keuangan syariah juga mengalami peningkatan yang signifikan hanya saja masih banyak
masyarakat yang belum paham terhadap mekanisme penyaluran dan penghimpunan
dana yang dilakukan. Dimana masih banyak masyarakat yang bingung dengan
mekanisme pembagian hasil pada produk tabungan dan hal ini juga dirasakan hal yang
sama dengan nasabah yang melakukan pembiayaan (Riyan Pradesyah & Al Bara, 2020).
Pembiayaan pada sekor riil memiliki posisi yang paling besar dibandingkan dengan aktiva
perbankan syariah lainnya, seperti penempatan bank syariah, penetapan pada bank-bank
lain seperi surat berharga, dan lainnya. Berdasarkan pada statistik perbankan syariah tahun
2013 dana yang disalurkan kepada pembiayaan yang diberikan adalah sebesar 78,91%
penempatan di bank lain sebesar 2,5% penetapan di BI 13,69% (Fauziyah Adzimatinur, Sri
Hartoyo, & Ranti Wiliasi, 2015).
Perkembangan pembiayaan perbankan syariah dan dana pihak ketiga selalu
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Biasanya hal ini juga bisa dilihat dari
perkembangan financing to deposit ratio (FDR) yang merupakan suatu rasio pembiayaan
terhadap dana pihak ketiga mengalami peningkatan (Fauziyah Adzimatinur, Sri Hartoyo, &
Ranti Wiliasi, 2015). Apabila permintaan likuiditas semakin tinggi Hal ini juga menunjukkan
bahwa jumlah pembiayaan melebihi jumlah dana pihak ketiga Bank Indonesia mencatat
pertumbuhan pembiayaan yang diberikan (PYD) melebihi pertumbuhan dana pihak ketiga
(DPK).
Bank syariah memanfaatkan tingkat suku bunga dalam menentukan suatu tingkat imbalan
DPK. Hal tersebut dilakukan agar perbankan syariah bisa bersaing dengan bank konvensional
dalam hal tingkat return yang akan diberikan. Selain dipengaruhi penyesuaian struktur DPK
yang dilakukan untuk merespon suatu penurunan tingkat bunga, perlambatan pertumbuhan
DPK bank syariah juga dipengaruhi dengan suatu penarikan dana Haji oleh kementrian
agama yang mencapai kurang lebih dari 4,2 triliun rupiah. Dalam pengaruh kedua faktor
tersebut dapat dilihat pada kepemilikan dpk oleh nasabah institusi. Pertumbuhan DPK
institusi pada tahun 2012 lebih rendah dari pertumbuhan keseluruhan DPK. Sumber dana
bank syariah masih sangat didominasi oleh instrumen pendanaan jangka pendek sehingga
mempengaruhi fleksibilitas bang dalam mengoptimalkan pengelolaan dana (Fauziyah
Adzimatinur, Sri Hartoyo, & Ranti Wiliasi, 2015).

C. ARGUMENTASI

Menurut kami fenomena yang terjadi pada praktek bank syariah menunjukkan bahwa
syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi islam belum menunjukkan perannya yang
signifikan dalam pengembangan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi umat. Kekuatan bank
syariah selama ini hanya bertumpu pada pijakan emosional-ideologis yang memang menjadi
kekuatan yang terbesar. Namun akan sangat rentan apabila perkembangan bank syariah
tidak menunjukkan perannya yang lebih signifikan pada pengembangan ekonomi dan
kesejahteraan umat.
Dari hal-hal tersebut perlu dilakukan adalah membuka konsep-konsep pembiayaan yang
masih mungkin digulirkan, dengan prosedur yang lebih mudah dan tetap hati-hati. Beberapa
perbaikan berkaitan dengan problema di atas adalah peningkatan mutu sistem pembiayaan
yang lebih baik. Secara riil adalah menghindari transaksi jual beli fudlu dan memprioritaskan
pembiayaan kepada sektor riil yang membuka peluang lapangan pekerjaan dan bisa
memperkecil kemiskinan.
Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang kualitas pembayarannya berada dalam
kategori kurang lancar, diragukan, dan macet. Penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah
adalah karena adanya kesulitan yang dihadapi nasabah. Penyebab kesulitan keuangan
nasabah dibagi menjadi faktor internal dan eksternal, setiap pembiayaan bermasalah maka
bank syariah akan berupaya untuk menyelamatkan pembiayaan berdasarkan PBI No.
13/PBI/2011 tentang perubahan tentang rekontruksi pembiayaan bagi bak syariah.
Secara garis besar sendiri penanggulangan ataupun strategi pembiayaan syariah dapat
dilakukan melalui banyak upaya salah satunya upaya yang bersifat preventif dan yang
bersifat represif atau kurantif. Upaya yang bersifat preventif adalah sebuah pencegahan
yang dilakukan oleh bank ataupun lembaga keuangan sejak permohonan pembiayaan
diajukan oleh nasabah, pelaksanaan analisa yang akurat terhadap data pembiayaan,
pembuatan perjanjian yang benar. Sedangkan represif sendiri adalah upaya-upaya
penanggulangan yang bersifat penyelamatan atau penyelesaian terhadap pembiayaan yang
bermasalah. Maka dari itu upaya-upaya penyelesaian pembiayaan syariah yang macet,
terpenting adalah penyelesian oleh bank sendiri secara bertahap dengan pendekatan
persuasif. Bila tahap pertama tersebut telah dilakukan maka akan dilaksanakan tahap
berikutnya agar bisa mencapai penyelesaian pembiayaan syariah yang macet.
Seperti hal nya saat ini dapat kita lihat bersama dalam dunia perbankan syariah juga menjadi
pradigma umum bahwa bank syariah memiliki hakekat dalam meningkatkan sektor riil
melalui kegiatan bagi hasil di pendanaan maupun pembiayaan, selain sebagai lembaga
keuangan alternatif yang bebas bunga bagi masyarakat. Maka dari itu tersebut kementrian
koordinator perekonomian menilai bahwa sektor riil perlu didorong guna mengembangkan
mengangkat knerja pembiayaan syariah. Adapun kedua hal ini saling dibutuhkan dengan
tujuan untuk mengembangkan keuangan syariah yang lebih baik di masa mendatang.
Perbankan syariah ataupun lembaga keuangan untuk mendukung berkembangnya sektor riil
pemerintah juga telah menjalankan berbagai progam terutama pembangunan infrastruktur,
serta pemerintah juga meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan.
D. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pembiayaan syariah


dibedakan menjadi 9 prinsip dengan 3 produk pembiayaan, yaitu sebagai berikut:
9 prinsip pembiayaan syariah:
1) Murabahah
2) Mudharabah
3) Musyarakah
4) Wadiah
5) Salam
6) Ijarah
7) Istishna’
8) Qardh
9) Ijarah Muntahiya Bi Tamlik

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut dibentuklah produk pembiayaan yang dibagi menjadi 3


jenis, yaitu:
1) Jual beli
2) Kerja sama atau bagi hasil
3) Jasa atau ujroh
Dengan jumlah prinsip dan juga produk pembiayaan yang dibuat oleh lembaga keuangan
syariah tersebut seharusnya dapat membantu masyarakat secara maksimal dalam
pengolahan bisnis ataupun keuangan mereka, namun pada kenyataayan hal tersebut masih
belum dapat terjadi karena beberapa hambatan baik faktor internal maupun eksternal.
Seperti yang dituliskan diatas bahwa ada salah satu faktor internal yaitu people capacity
yang artinya sumber daya manusia di internal pembiayaannya masih perlu banyak belajar
terkait bisnis nasabah yang beragam. Sebagai pihak pembiaya perlu untuk mengetahui
bagaimana karakter dari nasabah mereka, hal tersebut karena agar tingkat kestabilan inflasi
akan lebih terkawal, putaran uang terkawal dan bisa meningkatkan, serta kestabilan
perekonomian juga terpantau dengan baik. Untuk faktor eksternal nya adalah pengenalan
lembaga keuangan syariah yang kebanyakan masih merambah di kalangan UMKM saja
sehingga hal tersebut masih kurang untuk menunjang ketenaran lembaga keuangan syariah.
Argumentasi diatas juga menunjukan bahwa memang lembaga keuangan syariah belum
dapat andil besar dalam pengembangan dan kesejateraan ekonomi.
Berdasarkan hambatan yang terjadi tentunya pasti ada strategi untuk menghadapi hal
tersebut, yaitu perlu dilakukan suatu perubahan dengan membuat konsep pembiayaan yang
lebih mudah namun tetap hati-hati. Seperti menghindari transaksi jual beli fudlu dan
memprioritaskan pembiayaan pada sektor riil yang membuka peluang lapangan pekerjaan
danbisa memperkecil kemiskinan di Indonesia saat ini. Lembaga keuangan syariah sendiri
memiliki beberapa strategi yaitu dengan sosialisasi melalui media sosial ataupun seminar,
karena saat ini media sosial adalah hal utama bagi semua kalangan sehingga hal tersebut
akan sangat membantu pihak lembaga keuangan untuk mengenalkan produk mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Fauziyah Adzimatinur, Sri Hartoyo, & Ranti Wiliasi. (2015). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Besaran
Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia. Faktor Yang Mempengaruhi Besaran
Pembiayaan, 106-121. Dipetik desember 11, 2021, dari
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jalmuzaraah/article/view/19685

Haq, R. A. (2015). PENGARUH PEMBIAYAAN DAN EFISIENSI TERHADAP PROFITABILITAS. Perbanas


Review, I(1), 107-124. Dipetik December 11, 2021, dari
http://jurnal.perbanas.id/index.php/JPR/index

Hustia, A., & Candera, M. (2019). Pengaruh Pembiayaan Qardh, Ijarah dan Istishna terhadap
Profitabilitas. JURNAL MANAJEMEN DAN KEUANGAN, VIII(1), 58-67. Dipetik December 11,
2021, dari https://ejurnalunsam.id/index.php/jmk/article/view/1183

Hirwan, M. (2019). ANALISIS IMPLEMENTASI DAN HAMBATAN. Jurnal Dinamika Penelitian: Media
Komunikasi Sosial Keagamaan, XIX(2), 307-321. Dipetik December 11, 2021, dari
http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/dinamika/article/download/2528/pdf/

Ilyas, R. (2015, February). Konsep Pembiayaan Dalam Perbangkan Syariah. Jurnal Penelitian, IX, 183-
204.
KARTIKA, S. (2016). IJARAH MUNTAHIYAH BITTAMLIK. Accelerating the world's research., 2-13.
Dipetik December 11, 2021, dari http://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jei/article/view/33

Nurnasrini, & Putra, P. (2018). Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. (Nurlaili, Penyunt.) Pekanbaru:
Cahaya Firdaus.

Pradesyah, R., & Bara, A. (2020). Analisis Pembiayaan Usaha Di Bank Syariah. Seminar Of Social
Sciences Enginnering & Humaniora, 604-609.

Ridawati, M. R. (2016). Yad Amanah Dan Yad Dhamanah. TAFAQQUH: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Dan Ahwal Syahsiyah, I(2), 24-33. Dipetik Desember 13, 2021, dari
https://core.ac.uk/download/pdf/229130365.pdf

Riyan Pradesyah, & Al Bara. (2020). ANALISIS PEMBIAYAAN USAHA DI BANK SYARIAH. Seminar of
Social Sciences Engineering & Humaniora, 606-609. Dipetik desember 11, 2021, dari
https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/scenario/article/view/3860/3564

Santoso, H., & Anik, A. (2015). ANALISIS PEMBIAYAAN IJARAH PADA PERBANKAN SYARIAH. Jurnal
Ilmiah Ekonomi Islam, I(2), 106-116. Dipetik December 11, 2021, dari http://jurnal.stie-
aas.ac.id/index.php/jei/article/view/33

Saprida, S. (2016). Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli. Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas
Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, IV(1), 121-130. Dipetik December 11, 2021, dari
https://www.jurnalfai-uikabogor.org/index.php/mizan/article/view/177/93

Singgih Muheramtohadi. (2017). Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Pemberdayaan. Jurnal
Ekonomi dan Perbankan Syariah, VIII(1), 65-77. Dipetik desember 11, 2021, dari
https://ijtihad.iainsalatiga.ac.id/index.php/muqtasid/article/view/1079/733

Turmudi, M. (2016). Manajemen Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Pada Lembaga Perbangkan


Syariah. Jurnal Studi Ekonomi Dan Bisnis Islam, I, 95-106.

Ubaidillah. (2018). PEMBIAYAAN BERMASALAHPADA BANK SYARIAH: STRATEGI PENANGANAN DAN


PENYELESAIANNYA. Jurnal Ekonomi Islam |, VI(2), 287-309. Dipetik desember 11, 2021, dari
https://www.researchgate.net/publication/333335064_Pembiayaan_Bermasalah_Pada_Ban
k_Syariah_Strategi_Penanganan_Dan_Penyelesaiannya

Widayatsari, A. (2013). Akad Wadiah dan Mudharabah dalam Penghimpunan Dana Pihak Ketiga Bank
Syariah. Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, III(1), 1-21. Dipetik December 11, 2021,
dari http://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda/index.php/economic/article/view/776

Anda mungkin juga menyukai