Anda di halaman 1dari 8

Pembiayaan Ulang (Refinancing) Syariah

Pengertian Refinancing Syariah

Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),


pembiayaan ulang (refinancing) syariah adalah pemberian fasilitas pembiayaan baru bagi
nasabah baru atau nasabah yang belum melunasi pembiayaan sebelumnya berdasarkan
prinsip syariah. Pembiayaan ulang (refinancing) syariah mencakup dua keadaan. Pertama
pembiayaan yang diberikan kepada calon nasabah yang telah memiliki asset sepenuhnya.
Kedua pembiayaan yang diberikan kepada calon nasabah yang telah menerima pembiayaan
yang belum dilunasinya.

Mekanisme Refinancing Syariah

1. Akad Musyarakah Mutanaqisah


Musyarakah mutanaqisah terdiri dari dua padanan kata, yaitu musyarakah dan
mutanaqisah. Musyarakah dapat didefinisikan sebagai bentuk kemitraan dimana dua
atau lebih orang menggabungkan modal atau usaha mereka, untuk berbagi laba, dan
dimana mereka memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Prinsip utama dalam
pembiayaan musyarakah adalah penerapan profit and loss sharing principle.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka pengembalian keuntungan dari bank tidak
didasarkan pada bunga/interest melainkan didasarkan pada prinsip bagi hasil. Pada
prakteknya di industri perbankan syariah, pembiayaan musyarakah mutanaqisah ini
adalah kepemilikan bersama antara bank dan nasabah, yang pada akhirnya dimiliki
penuh oleh nasabah setelah seluruh angsuran diselesaikan oleh nasabah. Musyarakah
mutanaqisah juga diartikan dengan musyarakah atau syirkah yang kepemilikan
asset/barang atau modal salah satu pihak berkurang disebabkan pembelian secara
bertahap oleh pihak lainnya. Porsi atau bagian salah satu pihak disebut dengan hishah.
Rukun akad musyrakah mutanaqisah
a. Pihak yang berakad, bank dan nasabah, keduanya merupakan penyedia modal
dan penyerta modal (shahibul maal) dan pemilik properti yang akan
disewakan (mu’jir) sedangkan nasabah selain sebagai pemilik modal juga bisa
sebagai penyewa property Bersama tersebut (musta’jir); dalam praktik
lembaga keuangan syariah, telah diatur ketentuan tentang para pihak yang
terlibat dalam akad, ketentuan tersebut diantaranya:
a) Para pihak dalam kontrak musyarakah mutanaqisah adalah pihak yang
diperbolehkan yang termasuk ke dalam orang-perorangan dan/atau
perusahaan/badan usaha;
b) Para pihak dalm kontrak musyarakah mutanaqisah harus mempunyai
kapasitas hukum untuk melaksanakan kontrak;
c) Kontrak musyarakah mutanaqisah harus disertai dengan penawaran
dan penerimaan dari kedua belah pihak;
d) Salah satu atau kedua belah pihak diperbolehkan melaksanakan
kontrak melalui perantara yang sah, dibuktikan dengan surat
pernyataan perwakilan yang ditandatangani oleh pihak yang
bersangkutan;
e) Para pihak harus terikat oleh ketentuan yang telah disepakati kedua
belah pihak dalm kontrak yang mana seluruh ketentuan tersebut tidak
ada satu pun yang melanggar kepatuhan prinsip syariah di dalamnya.
b. Modal/porsi/hishah masing-masing pihak bank dan nasabah menyertakan
modal dengan tujuan untuk membeli suatu property tertentu yang akan
disewakan kepada nasabah (atau pihak lain);
c. Objek akad, objek akad berupa asset property yang akan dimiliki Bersama,
disewakan dan menghasilkan keuntungan bagi para pihak;
d. Ijab Qabul, pernyataan penawaran dan penerimaan yang dinyatakan oleh para
pihak terkait untuk menunjukkan kehendak masing-masing dalam mengadakan
perjanjian (akad);
e. Nisbah bagi hasil, pembagian porsi keuntungan yang akan diperoleh para
pihak dalam bentuk persentase bukan jumlah uang yang tetap.

Skema musyarakah mutanaqisah

Dalam prakteknya di Indonesia, berpedoman pada Fatwa DSN-MUI,


refinancing syariah dengan akad musyarakah mutanaqisah secara umum
diterapkan dengan skema:

1) Calon Nasabah mengajukan pembiayaan kepada Lembaga Keuangan


Syariah dalam rangka pembiayaan ulang (refinancing);
2) Lembaga Keuangan Syariah melakukan penaksiran (taqwim al-'urudh)
terhadap barang atau aset calon nasabah untuk ditentukan harga yang
wajar, dalam rangka penentuan modal usaha (ra`sul mal) yang disertakan
nasabah dalam bersyirkah dengan Lembaga Keuangan Syariah;
3) Lembaga Keuangan Syariah menyertakan dana dalam jumlah tertentu yang
akan dijadikan modal usaha syirkah dengan nasabah; yang disertai syarat
agar Nasabah menyelesaikan kewajiban dan/atau utang atas pembiayaan
sebelumnya jika ada;
4) Lembaga Keuangan Syariah memberikan kuasa (akad wakalah) kepada
nasabah untuk melakukan usaha yang halal dan baik antara lain dengan
akad ijarah;
5) Nasabah dan Lembaga Keuangan Syariah membagi keuntungan usaha
sesuai nisbahyang disepakati atau porsi modal yang disertakan
(proporsional), dan kerugian dibagi sesuai dengan porsi modal; dan
6) Nasabah melakukan pengalihan komersil atas hishah milik Lembaga
Keuangan Syariah secara berangsur sesuai perjanjian.
2. Akad al-Bai’ wa al-Isti’jar
Selain menggunakan akad musyarakah mutanaqisah, refinancing syariah juga
bisa dilakukan dengan menggunakan akad al-Bai’ wa al-Isti’jar. Al-Bai’ wa al-Isti’jar
terdiri dari dua kata, yaitu al-Bai’ artinya menjual dan al-Isti’jar merupakan istilah
lain dari al-ijarah yang berarti sewa. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah
adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri. Jadi, al-Bai’ wa al-Isti’jar adalah jual beli suatu asset yang kemudian
pembeli menyewakan aset tersebut kepada penjual.
Pelaksanaan akad al-Bai’ wa al-Isti’jar harus sesuai dengan ketentuan berikut
ini.
1) Akad yang digunakan adalah bai’dan ijarah yang dilaksanakan secara
terpisah;
2) Dalam akad bai’, pembeli boleh berjanji kepada penjual untuk menjual
kembali kepadanya asset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan;
3) Akad ijarah baru dapat dilakukan setelah terjadi jual beli atas aset yang
akan dijadikan sebagai objek ijarah;
4) Objek ijarah adalah barang yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis;
5) Rukun dan syarat ijarah adalah sebagai berikut:
- Sighat ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah
pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk
lain;
- Pihak-pihak yang berakad terdiri dari pemberi sewa/pemberi jasa dan
penyewa/pengguna jasa;
- Objek akad ijarahberupa manfaat barang dan sewa; atau manfaat jasa
dan upah.
6) Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad;
7) Biaya-biaya yang timbul dalam pemeliharaan objek sale and lease back
diatur dalam akad.

Rukun akad al-Bai’ wa al-Isti’jar

Melakukan refinancing dengan menggunakan akad al-bai’ wa al-isti’jar


terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

1) Musta’jir/penyewa, yaitu pihak yang menyewa objek sewa


2) Mu’ajjir/pemilik barang, yaitu pemilik barang yang digunakan sebagai
objek sewa
3) Ma’jur/objek sewa, yaitu barang yang disewakan
4) Ujrah/manfaat/upah sewa, yaitu manfaat atau imbalan yang diterima oleh
mu’ajjir
5) Ijab qabul, yaitu serah terima barang

Mekanisme akad al-Bai’ wa al-Isti’jar

Mekanisme refinancing dengan akad al-Bai’ wa al-Isti’jar yaitu sebagai


berikut:

1. Calon nasabah yang memiliki barang ('urudh) mengajukan pembiayaan


kepada Lembaga Keuangan Syariah dalam rangka pembiayaan ulang
(refinancing);
2. Lembaga Keuangan Syariah membeli barang ('urudh) milik nasabah
dengan akad bai';
3. Nasabah menyelesaikan kewajiban dan/atau utang atas pembiayaan
sebelumnya jika ada;
4. Lembaga Keuangan Syariah dan Nasabah melakukan akad Ijarah
Muntahiyah bi at Tamlik; dan
5. Pengalihan kepemilikan obyek sewa (ma`jur) kepada nasabah hanya boleh
dilakukan dengan akad hibah, pada waktu akad ijarah berakhir.
3. Akad al-Bai’
Mekanisme Refinancing Syariah dengan Akad al-Bai’ dalam Rangka
Musyarakah Mutanaqisah
Sebagaimana sudah diatur dalam fatwa DSN-MUI, pelaksanaan refinancing syariah
dengan akad al-bai’ dalam rangka musyarakah mutanaqisah adalah sebagai berikut:
1. Calon nasabah yang memiliki barang ('urudh) mengajukan pembiayaan kepada
Lembaga Keuangan Syariah dalam rangka pembiayaan ulang (refinancing);
2. Lembaga Keuangan Syariah melakukan penaksiran (taqwim al-'urudh) terhadap
barang atau aset calon nasabah untuk ditentukan harga yang wajar, dalam rangka
pembelian sebagiannya oleh Lembaga Keuangan syariah;
3. Lembaga Keuangan Syariah membeli (dengan akad al-bai') atas sebagian barang
dari nasabah, sehingga terjadi syirkah atas barang dalam rangka pembentukan
modal usaha syirkah;
4. Nasabah menyelesaikan kewajiban dan/atau utang atas pembiayaan sebelumnya
jika ada;
5. Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah melakukan akad musyarakah
mutanaqisah dengan modal berupa barang yang dinyatakan dalam hishah/unit
hishah.

Berakhirnya akad musyarakah mutanaqishah disebabkan oleh jangka waktu akad


yang sudah berakhir, peristiwa cidera janji, dan nasabah mengajukan pengakhiran
akad musyarakah mutanaqishah. Ketika berakhirnya akad, maka nasabah wajib
mengembalika seluruh kewajiban modal pembiayaan yang telah diberikan oleh pihak
BUS/UUS/BPRS serta bagi hasil porsi BUS/UUS/BPRS pada periode terakhir saat
pelunasan.

Pembiayaan Sindikasi

Sindikasi yakni pemberian kredit oleh sekelompok bank kepada satu debitur yang
jumlahnya terlalu besar jika diberikan oleh satu bank saja (loan syndication). Pembiayaan
sindikasi menurut Stanley Hurn ialah pinjaman yang dibuat oleh dua atau lebih lembaga
pemberi pinjaman, dengan syarat dan kode yang sama, menggunakan dokumentasi umum
dan dikelola oleh agen umum. Secara definitif, pembiayaan sindikasi merupakan pembiayaan
yang diberikan oleh lebih dari satu lembaga keuangan bank untuk satu objek pembiayaan
tertentu. Umumnya, pembiayaan tersebut diberikan bank kepada nasabah korporasi yang
memiliki nilai transaksi yang sangat besar.

Dalam pengertian lain yang lebih spesifik tentang pembiayaan sindikasi syariah dapat
dipahami seperti apa yang tertuang dalam fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Pembiayaan
sindikasi (al-tamwil al-mashrifi al-mujamma’) merupakan sebuah akad antara beberapa
Lembaga Keuangan, baik antar sesama Lembaga Keuangan Syariah maupun antar Lembaga
Keuangan Syariah dengan Lembaga Keuangan Konvensional, dalam rangka membiayai
proyek tertentu secara bersama-sama. Sedangkan entitas sindikasi adalah kumpulan beberapa
Lembaga Keuangan Syariah, atau Lembaga Keuangan Syariah dengan Lembaga Keuangan
Konvensional, yang memberikan pembiayaan secara bersama kepada nasabah. Berdasarkan
beberapa tinjauan terhadap pengertian pembiayaan sindikasi tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa pembiayaan sindikasi syariah adalah jenis pembiayaan yang dilakukan
oleh Bank Syariah yang bermitra dengan Bank Syariah lain atau dengan bank konvensional
untuk membiayai sebuah proyek strategis perekonomian berdasarkan prinsip syariah.

Ketentuan Sindikasi Syariah Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 91
Tahun 2014

Berkenaan dengan pembiayaan sindikasi syariah DSN MUI telah mengeluarkan fatwa No. 91
Tahun 2014 yang mengatur mekanisme operasional pembiayaan sindikasi tersebut. Pada
fatwa tersebut disebutkan bahwa dalam melakukan pembiayaan sindikasi dengan lembaga
keuangan konvensional harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:

1. Akad antara sesama lembaga keuangan peserta sindikasi


Akad yang mengikat sesame peserta sindikasi dapat dilakukan skema sebagai berikut:
pertama, Akad Mudharabah, dengan akad ini para lembaga keuangan diposisikan
menjadi shohibul mal yang mengikutsertakan modalnya pada proyek tertentu, Adapun
pihak mudharib (leader) dalam hal ini tidak terlibat penyertaan modal aset namun
berperan dalam penyertaan modal berupa skill/keahlian. Kedua, Akad Musyarakah,
akad ini memposisikan peserta sindikasi dan leader bersama-sama mengikutsertakan
modal berupa asset atau ro’sul mal, melalui kesepakatan bersama diantara syarik ada
yang ditunjuk sebagai leader. Dengan akad ini pihak leader pun berhak mendapat
pendapatan tambahan dikarenakan kedudukannya sebagai manager (pengelola) dan
diakadkan secara khusus berkenaan hal tersebut. Ketiga, Akad Wakalah, dengan akad
ini semua peserta bersama leader sindikasi berperan sebagai wakil. Mengenai akad ini
berlaku akad wakalah bil al-ujroh dengan yang berhak memperoleh ujroh.
2. Akad antar peserta sindikasi dengan pihak nasabah
Berkenaan interaksi bisnis yang dilakukan antara peserta sindikasi dan nasabah dalam
diikat dengan akad sebagai berikut : Pertama, akad jual beli atau al-ba’i baik itu ba’i
al-musawamah (harga ditentukan berdasarkan tawar menawar), jual beli murabahah
(ba’i al-murabahah), jual beli salam (ba’i al-salam), atau jual beli salam secara
parelel (ba’i al-salam almuwazi), ba’i al-ishtishna’ atau ba’i alishtishna’ al-muwazi
(jual beli
istishna’ secara paralel. Kedua, ijarah (sewa menyewa) atau ijarah muntahiyah bi al-
Tamlik (sewa dengan pengalihan kepemilikan objek sewa). Ketiga, menggunakan
akad musyarakah mutanaqishah. Keempat, akad-akad bersama di sector pertanian,
yaitu musaqoh, muzaro’ah, mughorosah, dan mukhobarah.
3. Rekening dan Dokumen dalam Sindikasi Syariah
Mengenai akad pada pembiyaan ini yang dilakukan antar LKS dilakukan
menggunakan rekening, dokumen kontrak, dan dokumen lainnya disusun dalam satu
dokumen. Adapun ketka kerjasama sindikasi dilakukan antara LKS dan LKK maka
dokumennya harus dibuatkan dokumen induk (berupa perjanjian bersama) lalu
dibuatkan dokumen turunan untuk LKS dan LKK yang dibuat secara terpisah untuk
masing-masing LKS dan LKK. Selain itu juga rekening antar LKS dan LKK dibuat
secara terpisah pula.

Daftar Pustaka

Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2015). Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik.
Prenadamedia Group.

Islamy, A. R. El, Abdurrahman, N. H., & Prasetyo, Y. (2023). Pembiayaan Sindikasi Bank
Syariah Perspektif Hukum Ekonomi Syariah. SOSHUMDIK, 2 (1), 54–60.

Karim, A. A. (2010). Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. PT Raja Grafindo Persada.

Samudra, G., Sakinah, G., Nurhaeti, & Murtadho, T. R. (2022). Analisis Pembiayaan
Sindikasi Bank Syariah Perspektif Hukum Ekonomi Syariah. Jurnal Ilmu Akuntansi
Dan Bisnis Syariah, IV (1), 20–32.
Sjahdeini, S. R. (1997). Kredit Sindikasi: Proses Pembentukan dan Aspek Hukum. Midas
Surya Grafindo.

(Iqbal & Mirakhor, 2015; Islamy et al., 2023; Karim, 2010; Samudra et al., 2022; Sjahdeini,
1997)

Anda mungkin juga menyukai