Anda di halaman 1dari 20

PENDAPATAN NON-HALAL,

TA’ZIR, TA’WID, DAN


REFINANCING
DALAM PERSPEKTIF FIQIH

Oleh:
Kelompok 6 | AKS-A3
OUR TEAM!
1) Wafiq Pramudea (2205046010)

2) Sabeela Mustaqimah (2205046014)

3) Dinda Rahma Antika (2205046000)


01 PENDAPATAN NON-HALAL

02 PENGGUNAAN PENDAPATAN NON-HALAL

TABLE OF 03 TA’ZIR

CONTENTS 04 TA’WID

05 REFINANCING

06 SALE AND LEASING BACK


PENDAPATAN NON-HALAL
Fatwa DSN No. 123/DSN-MUI/XI/2018

 Pendapatan non-halal adalah penerimaan atau uang


masuk pada bank syariah yang berasal dari transaksi
non-halal. Salah satu contohnya adala pendapatan
bunga.

 Pendapatan non-halal merupakan pendapatan yang


diperoleh dari sumber yang bertentangan dengan
prinsip muamalah.
PENGGUNAAN PENDAPATAN NON-HALAL
Fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/III/2004

1. Dana TBDSP wajib digunakan dan disalurkan secara langsung untuk


kemaslahatan umat Islam dan kepentingan umum yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
2. Bentuk penyaluran Dana TBDSP dibolehkan bentuk bantuan
sumbangan.
3. Dana TBDSP boleh disalurkan secara langsung oleh LKS, LBS dan LPS
dan/atau melalui lembaga sosial.
4. Dana TBDSP tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan LKS, LBS, LPS.
5. Setiap penggunaan dan penyaluran Dana TBDSP harus mendapatkan
persetujuan atau opini dari Dewan Pengawas Syariah LKS, LBS dan LPS.
6. Dalam hal Dana TBDSP digunakan untuk kegiatan produktif, maka
penyalurannya harus sesuai dengan prinsip syariah dan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
TA’ZIR
Fatwa DSN No. 17/DSN-MUI/IX/2000
 Ta’zir adalah sanksi yang dikenakan oleh perbankan syariah
terhadap nasabah yang mampu membayar tetapi sengaja
menunda-nunda pembayaran dan tidak memiliki kemauan
atau i’tikad baik untuk membayar hutangnya.

 Ta’zir bentuknya berupa denda dengan tujuan mendisiplinkan


nasabah dan memberikan efek jera sehingga nasabah bisa
melaksanakan kewajibannya dengan tepat waktu.

 Pemberlakuan ta’zir harus disepakati oleh kedua belah pihak,


besarannya ditentukan diawal akad saat penandatangan
kontrak dan sifatnya tetap/konstan.

 Dana dari denda atas keterlambatan yang diterima oleh bank


akan diperuntukkan sebagai dana sosial.
TA’ZIR
Contoh Penerapan Ta’zir pada BRI Syariah
 Penetapan besaran ta’zir pada BRISyariah dengan cara
persentase.
 Besaran persentasenya ada komite khusus yang menentukan
biasanya kisaran 15% - 17% besar kecilnya persentase tergantung
berapa lama nasabah mengajukan pembiayaan.
 Besar kecilnya jumlah denda yang dikenakan BRISyariah kepada
nasabah tergantung dari berapa besar cicilan perbulan, makin
besar cicilan perbulan, maka makin besar pula jumlah yang
dikenakan kepada nasabah.
TA’ZIR
Penglokasian Dana Ta’zir pada BRI Syariah

 Pengalokasian dana ta’zir sesuai dengan fatwa DSN-MUI nomor


17/DSN-MUI/IX/2000 bahwa pendapatan dari dana ta’zir masuk
kedalam dana sosial.
 BRI Syariah sudah menggunakan dana ta’zir untuk CSR seperti
BRISyariah kerja sama dengan PMI (mobil kesehatan keliling, atau
vaksinasi anak-anak, khitanan masal).
 Selain itu, BRISyariah menjalin kerja sama dengan baznas. Baznas
mempunyai program yaitu Indonesia cendikia, Indonesia sehat.
Jadi, biasanya BRISyariah memberikan sejumlah dana yang
bersumber dari ta’zir disana. Dalam program Indonesia sehat,
kemudian bisa ditambahkan dana CSR yang terkumpul dari dana
ta’zir dan ditambahkan keprogram tersebut supaya program itu
lebih besar dan lebih besar lagi.
TA’WIDH
Fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/III/2004
 Ta’widh adalah ganti rugi dalam bentuk kompensasi berupa
uang/barang yang memiliki nilai uang yang diberikan kepada
individu atau entitas tertentu karena tidak memenuhi
kewajiban atau melakukan kesalahan.
 Penerimaan ganti rugi dalam transaksi di LKS dapat dianggap
sebagai pendapatan bagi pihak yang menerima.
 Besarnya ganti rugi harus tetap sejalan dengan nilai kerugian
yang sebenarnya.
 ata cara pembayarannya bergantung pada kesepakatan para
pihak dan harus dijelaskan dalam akad.
 Apabila terjadi ketidakpenuhan kewajiban atau perselisihan
antara kedua belah pihak maka dapat dilakukan musyawarah
terlebih dahulu. Jika tidak dapat mecapai kesepakatan, maka
penyelesaian dapat melalui Badan Abitrase Syari’ah.
TA’WIDH
Fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/III/2004
 Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang
dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
 Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian riil yang dapat
diperhitungkan dengan jelas.
 Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka
penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
 Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan kerugian rii; yang pasti
dialami dalam transaksi dan bukan kerugian yang diperkirakan akan
terjadi karena adanya peluang yang hilang.
 Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi tau akad
yang menimbulkan utang piutang seperti salam, istishna’, serta
mudharabah dan ijarah.
 Dalam akad mudharabah dan musyarakah, ganti rugi hanya boleh
dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah
apabila keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
TA’WIDH
Cotoh Penerapan Ta’widh pada BRI Syariah
 Dalam proses pengenaan ta’widh di BRISyariah hanya dikenakan kepada
nasabah yang memiliki kolekbilitas macet. Dan sudah merugikan pihak bank
syariah khususnya.
 Adapun besarannya bank syariah tidak boleh menyebutkan jumlahnya, bank
syariah hanya dapat mengatakan kepada nasabah apabila ada yang bertanya
menganai besaran ta’widh yaitu: setinggi-tingginya atau sebanyak-banyaknya.
Misalnya 100 ribu dari kelipatan pembiayaan yang diterima 1 juta. Ini hanya
indikator, nanti bank syariah akan melihat kembali berapa sebenarnya yang
terjadi. Karena konteks dari ta’widh sendiri ialah biaya yang telah dikeluarkan
oleh bank syariah.
 Dana ta’widh ini boleh dimasukan kedalam pendapatan bank syariah. Sesuai
dengan fatwa DSN-MUI No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi
REFINANCING
Fatwa DSN No. 89/DSN-MUI/XII/2013
 Refinancing (pembiayaan ulang) adalah pemberian fasilitas
pembiayaan baru bagi nasabah atau nasabah yang belum
melunasi pembiayaan sebelumnya.
 Refinancing sharia (pembiayaan ulang syariah) adalah
pembiayaan ulang berdasarkan prinsip syariah.
 Refinancing sharia mencakup dua keadaan yaitu:
1. pembiayaan yang diberikan kepada calon nasabah yang
telah memiliki aset sepenuhnya.
2. Pembiayaan yang diberikan kepada calon nasabah yang
telah menerima pembiayaan yang belum dilunasinya.
REFINANCING
MEKANISME MUSYARAKAH MUTANAQISAH
1) Calon nasbah mengajukan pembiayaan kepada LKS dalam rangka
refinancing.
2) LKS melakukan penaksiran (taqwim al-’urudh) terhadap barang atau aset
calon nasabah untuk ditentukan harga yang wajar dalam rangka modal
usaha (ra’sul mal) yang disertakan nasabah dalam bersyirkah dengan
LKS.
3) LKS menyertakan dana dalam jumlah tertentu yang akan dijadikan modal
usaha syirkah dengan nasabah yang disertai syarat agar nasabah
menyelesaikan kewajiban dana atas pembiayaan sebelumnya.
4) LKS memberikan kuasa (wakalah) kepada nasabah untuk melakukan
usaha yang halal dan baik dengan akad ijarah.
5) Nasabah dan LKS membagi keuntugan usaha sesuai nisbah yang
disepakati dan kerugian dibagi sesuai porsi modal.
6) Nasabah melakukan pengalihan komersil atas hisbah milik LKS secara
berangsur sesuai perjanjian.
REFINANCING
MEKANISME AL-BAI’ WA AL-ISTI’JAR

1) Calon nasbah memiliki barang ('urudh) untuk mengajukan


pembiayaan kepada LKS dalam rangka pembiayaan ulang.
2) LKS membeli barang milik nasabah dengan akad bai’.
3) Nasabah menyelesaikan kewajiban atas pembiayaan
sebelumnya jika ada.
4) LKS dan nasabah melakukan akad ijarah muntahiyah bit tamlik.
5) Pengalihan kepemilikan objek sewa (ma’jur) kepada nasabah
hanya boleh dilakukan dengan akad hibah pada waktu akad
ijarah berakhir.
REFINANCING
MEKANISME MUSYARAKAH MUTANAQISAH
1) Calon nasbah yang memiliki barang(‘urudh) mengajukan pembiayaan
kepada LKS dalam rangka refinancing.
2) LKS melakukan penaksiran (taqwim al-’urudh) terhadap barang atau aset
calon nasabah untuk ditentukan harga yang wajar dalam rangka modal
usaha (ra’sul mal) yang disertakan nasabah dalam bersyirkah dengan LKS.
3) LKS membeli denhgan akad bai’ atas sebagian barang dari nasabah,
sehingga terjadi syirkah atas barang dalam rangka pembentukan modal
usaha syirkah.
4) Nasabah menyelesaikan kewajiban atas pembiayaan sebelumnya jika ada.
5) LKS dan nasabah melakukan akad musyarakah mutanaqisah dengan modal
berupa barang yang dinyatakan dalam hishah atau unit hishah.
SALE AND LEASE BACK
Fatwa DSN No. 09/DSN-MUI/IV/2000

 Sale and lease back adalah jual beli suatu aset yang kemudian pembeli
menyewakan aset tersebut kepada penjual.
 Sale and lease back hukumnya boleh.
 Sale and lease back menggunakan akad bai’ dan ijarah yang
dilaksanakan sevara terpisah.
 Dalam akad bai’, pembeli boleh berjanji kepada penjual untuk menjual
kembali kepadanya aset yang dibelinya sesuai kesepakatan.
 Akad ijarah baru dapat dilakukan setelah terjadi jual beli atas aset yang
akan dijadikan sebagai objek ijarah.
 Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
 Biaya-biaya yang timbul dalam pemeliharaan objek sale and lease back
diatur dalam akad.
SALE AND LEASE BACK
Rukun dan Syarat Akad Ijarah

 Sighat ijarah (ijab dan qabul berupa pernyataan dari


kedua belah pihak yang berakad baik secara verbal
maupun dalam bentuk lain.
 Pihak-pihak yang berakad terdiri atas pemberi sewa
atau pemberi jasa dan penyewa atau pengguna jasa.
 Objek akad ijarah adalah manfaat barang dan sewa,
atau manfaat jasa dan upah
“Hiduplah seakan kamu mati
besok, belajarlah seakan kamu
hidup selamanya.”

—Reminder guys!
Any Question?
Thanks for
Your Attention!

Anda mungkin juga menyukai