Anda di halaman 1dari 4

Pati Crosslinking

Pati yang dapat diperoleh adri berbagai sumber seperti akar, batang, buah, biji dan kacang-
kacangan. Pati yang diperoleh dari kacang-kacangan cednderung kurang diminati pada bidang
makanan bahakan industri. Hal ini dikarenakan pati dari kacang-kacangan memiliki kadar amilosa
yang cukup tinggi sampai 40% dan cenderung untuk mengalami retrogradasi setelah dipanaskan.
Sehingga setelah dimasak atau diproses di air pati akan membentuk pasta dan pasta akan
mengental menjadi gel bila didinginkan dan disimpan. Oleh karena itu modifikasi secara kimia,
fisik ataupun enzimatik menjadi penting dilakukan agar pati kacang ini dapat digunakan di bidang
makanan ataupun industri lain.

Phosphorylation merupakan teknik modifikasi membuat pati crosslinking yang sering


dilakukan untuk mendapatkan pati termodifikasi yang diaplikasikan pada makanan. Crosslinking
antar pati terjadi saat adanya ikatan fosfat yang menyambungkan dua rantai pati mensubstitusi
gugus OH pada pati. Dengan crosslinking pati akan menjadi lebih tahan terhadap enzim, asam,
panas dan gesekan, serta memiliki viskositas yang stabil. Untuk makanan fosfor yang ditambahkan
tidak boleh melebihi 0,4% dari pati kering. Reagen yang sering dipakai untuk membuat pati
crosslinking adalah phosphoryl chloride (POCl3), sodium trimetaphosphate (STMP), sodium
tripolyphosphate (STPP) dan campuran STPP STMP. Reaksi phosphorylation dilakukan pada pH
basa antara 8-12.

Ada tiga prosedur reaksi yang dilakukan. Pertama reaksi pada fasa slurry dengan reagen
POCl3 (POCl3-aqueous). Pada prosedur ini pati didispersikan di dalam air dan diaduk pada suhu
25 oC kemudian ditambahkan sodium sulfat dan pH diatur sampai 11.2 menggunakan NaOH.
Setelah itu POCl3 ditambahkan tetes demi tetes dengan pH dijaga 11.2 sambil diaduk selama 1
jam. Pati melalui tahap pencucian dengan netralisasi dan pencucian menggunakan air dan ethanol.
Prosedur kedua reaksi pada fasa semidry dengan reagen STMP/STPP (STMP-semidry). Pada
prosedur ini pati didispersikan dalam air sambil diaduk pada suhu 25 oC. Kemudian pH diatur
sampai 11 dengan NaOH sebelum ditambahkan larutan sodium sulfat dan STMP/STPP. Setelah
itu larutan dikeringkan dan dicuci sesuai prosedur. Prosedur ketiga reaksi dilakukan pada fasa
slurry dengan reagen STMP/STPP (STMP-aqueous). Pada prosedur ini pati didispersikan di
larutan air, sodium sulfat dan STMP/STPP. Kemudian pH dispersi dijaga pada pH 11,5 dengan
NaOH sambil diaduk dengan shaker water bath pada suhu 45 oC selama 3 jam. Setelah itu
dilakukan prosedur pencuciam.

Dengan menggunakan pati dari jagung (RC), faba beans (FB) dan field pea (FP) modifikasi
pati crosslinking berhasil dilakukan. Setiap produk memiliki nilai degree of crosslinking (DC)
yang bervariasi antar pati yang berbeda. Hal ini disebabkan karena perbedaan kristalinitas dari pati
tipe C (kacang-kacangan) dan tipe A (jagung) serta perbedaan panjang rantai molekul (pati kacang-
kacangan memiliki derajat polimerisasi yang tinggi). Setelah dimodifikasi pati FB dan FP yang
merupakan kacang-kacangan memiliki derajat crosslinking yang lebih tinggi dibandingkan pati
jagung hal ini kemungkinan disebabkan karena pati kacang-kacangan memiliki amilosa yang lebih
banyak sehingga ikatan crosslinking antara amilosa dan amilopektin. Dengan demikian molekul
amilopektin seperti dikelilingi oleh amilosa dan mebuat terbentuknya mono-starch esters pada
rantai amilosa lebih banyak disbanding pada pati jagung sehingga gugus fosfor yang terikat bisa
lebih banyak.

Pati dari kacang-kacangan memiliki pasting temperature yang lebih rendah dari pati jagung.
Selain itu pati dari kacang-kacangan memiliki peak viscosity, setback viscosity dan final viscosity
yang lebih tinggi dari pati jagung. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya terbentuknya
kompleks amilosa dan lemak yang membatasi swelling dari pati jagung selama pemanasan. Pasting
properties dari pati ternyata juga dipengaruhi banyak faktor seperti ukuran granula,rigidity dan
komposisi amilosa dan amilopektin. Crosslinking dapat meningkatkan swelling power dan peak
viscosity dengan menggunakan reagen crosslinking dalam jumlah sedikit, tetapi dengan reagen
crosslinking yang cukup banyak justru akan mengurangi swelling power dan peak viscosity namun
dapat meningkatkan stabilitas granula dan kekuatannya. Pati crosslinking yang didapatkan dengan
tiga prosedur yang disampaikan sebelumnya memiliki ikatan crosslinking yang cukup banyak
sehingga peak viscosity dari produknya berkurang sangat besar sampai sekitar 98%. Dengan
menambahkan reagen crosslinking nilai derajat crosslinking bertambah dan membuat
pengurangan peak viscosity bertambah. Metode reaksi POCl3-aqueous menghasilkan pengurangan
peak viscosity yang paling tinggi karena POCl3 merupakan reagen dengan reaktivitas tinggi
sehingga ikatan crosslinking terjadi pada bagian outer layer dan inner layer dari granula sehingga
menghasilkan granula yang lebih rigid. Modifikasi crosslinking pada pati jagung dapat terlihat
jelas dari pengurangan peak viscosity-nya yang cukup besar dibandingkan pati FB dan FP hal ini
kemungkinan dikarenakan adanya perbedaan distribusi gugus fosfat pada pati yang disebabkan
oleh sturktur pati yang berbeda dan kondisi reaksi phosphorylation.

Bila dilihat dari suhu gelatinisasinya, tiap pati memiliki perbedaan. Pati jagung native
memiliki onset (To), peak (Tp) dan conclusion (Tc) yang lebih rendah dibandingkan jenis kacang-
kacangan. Hal ini disebabkan karena struktur kristal yang lebih compact. Pada kacang-kacangan
yang memiliki granula tipe C terdapat gabungan tipa A dan tipa B. Tipe B ada di bagian dalam
sedangkan Tipe B ada di bagian luar. FB memiliki entalpi gelatinisasi terbesar selanjutnya FP dan
jagung. Teknik POCl3-aqueous dan STMP-semidry meningkatkan stabilitas sturktur kristal
sehingga lebih resisten terhadap gelatinisasi sedangkan STMP-aqueous tidak memberikan efek
yang signifikan pada kestabilan termalnya.

Pati jagung native menghasilkan pola difraksi XRD umum untuk pati tipe A yaitu
munculnya puncak pada 2θ 15o dan 23o serta munculnya puncak ganda pada 2θ 17o dan 18o.
Sedangkan FP dan FB memiliki pola difraksi XRD umum untuk pati tipe C yaitu munculnya
puncak pada 2θ 15o, 17o dan 23o lalu muncul puncak kecil pada 2θ 5,6o serta munculnya puncak
ganda pada 2θ 18o. Urutan derajat kristalinitas ketiga pati dari yang paling tinggi adalah jagung,
GB dan terakhir FP. Perbedaan kristalinitas ini dikarenakan susunan amilopektin pada pati tersebut.
Pada pati jagung yang dicrosslinking pola difraksinya masih sama dengan awalnya yaitu pola tipe
A, tetapi mengalami pengurangan derajat crosslinking. Sedangkan pada pati FP dan FB setelah
dicrosslinking puncak pada 2θ 5,6o menghilang dan puncak ganda pada 2θ 18o dan 23o semakin jelas
sehingga tipe krstalinitasnya lebih cenderung membentuk tipe A.

Modifikasi crosslinking bergantung dari kristalinitas pati dan prosedur reaksi


crosslinkingnya. Metode POCl3-aqueous dan STMP-aqueous tidak memberika efek signifikan
terhadap pola difraksi XRD semua pati. Akan tetapi modifikasi crosslinking mengurangi derajat
kristalinitas dan membuat pati crosslinkingnya bersifat lebih amorf dari pati nativenya. Metode
STMP-aqueous lebih mengurangi derajat kristalinitas pati jagung dibandingkan pati FB dan FP
hal ini disebabkan karena STMP/STPP lebih lambat bereaksi dengan pati dibandingkan POCl3 dan
membuat STMP/STPP harus mempenetrasi granula terlebih dahulu. Akan tetapi granula jagung
memiliki channel yang mempermudah penetrasi sehingga kristalinitas pati crosslinkingnya lebih
berkurang.
Pada semua pati native dan pati crosslinking terdapat puncak yang sama pada kurva ATR-
FTIR. Pada 3264 cm-1 menunjukkan gugus OH pada pati lalu 2926 cm-1 menunjukkan ikatan C-H
stretching. Air yang teradsorp pada pati juga bisa terlihat dengana danya puncak pada 1640 cm-1,
lalu puncak antara 1363 cm-1 dan 1338 cm-1 menunjukkan ikatan C-H alkane. Puncak pada 1242
cm-1 menunjukkan gugus C-OH pada C keenam dari monomer pati (CH2OH). Puncak pada rentang
1160-1100 cm-1 menunjukkan C-O-C stretching dan pada rentang 1077–928 cm-1 menunjukkan
C-O stretch pada ikatan C-O-H pati. Tidak ada perbedaan absorbansi yang signifikan untuk ikatan
O–H, C–H, dan C–O baik untuk pati native ataupun pati crosslinking menandakan struktur kimia
pati native dan pati crosslinking cukup mirip. Hanya ada sedikit penurunan absorbansi pada 3264
cm-1, 1640 cm-1dan 994 cm-1 untuk semua pati crosslinking. Hal ini dikarenakan adanya gugus
fosfat yang menggantikan gugus OH pada pati sehingga absorbasni gugus OH berkurang. Selain
itu ada juga peningkatan absorbansi pada 836 cm-1 dan 889 cm-1 yang menunjukkan ikatan P-O-C
dan sedikit peningkatan pada rentang 1150–1300 cm-1 menunjukkan adanya ikatan rangkap P=O.
Hal ini mengindikasikan gugus fosfat yang ada pada rantai pati hanya sedikit dan reaksi
crosslinking yang dilakukan tidak merusak struktur rantai pati. Puncak absorbansi pada 1047 dan
1022 cm-1 yang menunjukkan area kristalin dan amorf pati awalnya tidak terlalu terlihat jelas,
tetapi setelah dilakukan teknik dekonvolusi menjadi terlihat jelas. Rasio absorbansi 1047/1022
dapat mewakili perubahan pati yang strukturnya rapih (ordered starch) menjadi amorf sedangkan
1047/1035 mewakili banyaknya ordered starch. Setelah dilakukan crosslinking ternyata semua pati
mengalami penurunan rasio 1047/1022 yang menandakan molekul menjadi tidak teratur di bagian
permukaan granula akibat ikatan crosslinking. Rasio 1047/1035 juga memiliki kecenderungan
yang sama dengan rasio 1047/1022 menandakan bagian ordered starch berkurang setelah
dilakukan crosslinking. Pada metode reaksi POCl3-aqueous kedua rasio tersebut juga paling
rendah dibandingkan metode reaksi lainnya hal ini karena POCl3 yang lebih reakti dibandingkan
STMP/STPP sehingga ikatan crosslinkingnya lebih dominan pada permukaan granula pati.

Anda mungkin juga menyukai