Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

RETINITIS PIGMENTOSA

Penyusun :
Timothy John Jusuf
406192011

Pembimbing :
dr. Meriana Rasyid, Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU MATA


PERIODE 15 JUNI – 21 JUNI 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................1

Daftar Isi.................................................................................................................2

Bab 1 Pendahuluan.................................................................................................3

Bab 2 Tinjauan Pustaka..........................................................................................4

2.1 Anatomi....................................................................................................4

2.2 Definisi.....................................................................................................7

2.3 Epidemiologi............................................................................................7

2.4 Etiologi.....................................................................................................7

2.5 Patofisiologi.............................................................................................9

2.6 Manifestasi Klinis...................................................................................11

2.7 Diagnosis................................................................................................12

2.8 Diagnosis banding..................................................................................13

2.9 Penatalaksanaan.....................................................................................13

2.10 Prognosis................................................................................................14

Bab 3 Kesimpulan................................................................................................16

Daftar Pustaka.......................................................................................................17

2
BAB 1

PENDAHULUAN

Retinitis pigmentosa (RP) merupakan kelainan bawaan yang mempunyai


gejala dengan penurunan bahkan kehilangan penglihatan perifer secara progresif
dan kesulitan penglihatan malam hari (nyctalopia) yang lama – kelamaan
menyebabkan kehilangan penglihatan sentral. Penelitian dalam bidang molekuler
diketahui bahwa RP merupakan kelainan pertumbuhan atau dystrophy pada epitel
pigmen retina (RPE) dystrophy yang disebabkan cacat molekul lebih dari 40 gen
yang berbeda untuk RP terisolasi dan lebih dari 50 gen yang berbeda untuk RP
sindromik.1 Retinitis Pigmentosa bukan suatu respon inflamasi, yang belum
ditemukan menjadi penyebab utama dari kondisi ini. Retinitis Pigmentosa
merupakan kelainan protein spesifik / cacat genetik. Hal ini menjadi penting
dalam penentuan prognosis dan akan menjadi pertimbangan memungkinkan
dokter untuk menggunakan pilihan terapi gen yang ditargetkan.1

Gejala pada tahap awal sering muncul pada awal masa kanak-kanak. Sel
batang pada retina (berperan dalam penglihatan pada malam hari) secara bertahap
mengalami kemunduran sehingga penglihatan di ruang gelap atau penglihatan
pada malam hari menurun. Kemudian terjadi kehilangan fungsi penglihatan tepi
yang progresif dan bisa menyebabkan kebutaan. Sedangkan stadium lanjut, terjadi
penurunan fungsi penglihatan sentral.2 Adapun untuk menegakkan diagnosis dari
retinitis pigmentosa berdasarkan temuan klinis retinitis pigmentosa (lihat gejala
klinis) yaitu berdasarkan simtom visual, perubahan pada fundus, perubahan
lapangan pandang penglihatan, perubahan elektrofisiologi.2

Saat ini belum ada tatalaksana efektif untuk retinitis pigmentosa. Penderita
dianjurkan untuk berkunjung secara teratur kepada spesialis mata untuk memantau
kelainan ini. Sebaiknya dilakukan secara teratur setiap 5 tahun termasuk untuk
menguji lapangan pandang dan evaluasi electroretinogram. Pemakaian kaca mata
gelap untuk melindungi retina dari sinar ultraviolet bisa mempertahankan fungsi
penglihatan. Baru-baru ini, muncul terapi baru (meskipun masih dalam
perdebatan)
3
seperti pemberian antioksidan (misalnya vitamin A palmitat) bias menunda
perkembangan penyakit ini.3

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi

Retina adalah bagian mata yang sensitif terhadap cahaya yang terletak di
segmen posterior mata. Retina merupakan struktur yang terorganisasi memberikan
informasi visual ditransmisikan melalui nervus optikus ke korteks visual. Retina
berkembang dari cawan optikus eksterna yang mengalami invaginasi mulai dari
akhir empat minggu usia janin (Vaughan & Asbury’s general ophthalmology,
2007).

Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm


(diameter dari depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter 16,5
mm kemudian mencapai pertumbuhannya secara maksimal sampai umur 7-8
tahun. Dari ukuran tersebut, retina menempati dua pertiga sampai tiga perempat
bagian
posterior dalam bola mata. Total area retina 1.100 mm 2. Retina melapisi bagian
posterior mata, dengan pengecualian bagian nervus optikus, dan memanjang
secara sirkumferensial anterior 360 derajat pada ora serrate. Tebal retina rata-rata
250 µm, paling tebal pada area makula dengan ketebalan 400 µm, menipis pada
fovea dengan ukuran 150 µm, dan lebih tipis lagi pada ora serrata dengan
ketebalan 80 µm (Vaughan & Asburry’s general ophthalmology, 2007).

Retina mendapatkan vaskularisasi dari arteri oftalmika (cabang pertama


dari arteri karotis interna kanan dan kiri) dan arteri siliaris (berjalan bersama
nervus optikus). Arteri siliaris memberikan vaskularisasi pada lapisan luar dan
tengah, termasuk lapisan pleksiform luar, lapisan fotoreseptor, lapisan inti luar,
dan lapisan epitel pigmen.

5
Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata

Histologi

Permukaan luar retina berhubungan dengan koroid, sedangkan permukaan

dalamnya berhubungan dengan badan vitreous. Retina memiliki 10 lapisan, yang terdiri

dari (dari luar ke dalam):

1. Epitel Pigmen

2. Batang dan Kerucut

3. Membran Limitans Eksterna

4. Lapisan Inti Luar

5. Lapisan Pleksiform Luar

6. Lapisan Inti Dalam

7. Lapisan Pleksiform Dalam

8. Lapisan Sel Ganglion

9. Lapisan Serat Saraf

10. Membran Limitans Interna (Mescher, A.L., 2010)

6
Gambar 2.2 Histologi Retina

2.3 Definisi

Retinitis pigmentosa (RP) adalah keluarga distrofi retina dan distrofi epitel

pigmen retina yang disebabkan oleh cacat molekuler pada banyak gen. Nama

"retinitis pigmentosa" tidak akurat, karena kata retinitis menunjukkan kondisi

peradangan, dan peradangan belum ditemukan sebagai fitur dominan dari kondisi

ini. Meskipun temuan klinis pada retinitis pigmentosa bervariasi dari pasien ke

pasien, penyakit ini ditandai dengan temuan retina berikut:

a) Penampilan Fundus pada Retinitis Pigmentosa Dini

1. Hiperpigmentasi retina yang dikenal sebagai “bone spicule”

2. Nervus optikus yang pucat dan seperti lilin

3. Atrofi epitel pigmen retina

7
4. Atenuasi arteriolar

Gambar 2.3 Fundus Retinitis Pigmentosa Dini

b) Penampilan Fundus di Retinitis Pigmentosa Lanjut

1. Atrofi macula sentral yang parah

2. Atenuasi arteriolar

3. Diskus optikus yang pucat dan seperti lilin

4. “Bone Spicule” yang terlihat lebih inferior

8
Gambar 2.4 Fundus Retinitis Pigmentosa Lanjut

2.3 Epidemiologi

Retinitis Pigmentosa merupakan penyakit yang sangat jarang. RP sebagai

kelompok gangguan penglihatan memengaruhi sekitar 1 dari 3.000 hingga 1

dalam

4.000 orang di dunia. Ini berarti, dengan populasi sekitar 324 juta di Amerika

Serikat sekitar 81.000 hingga 108.000 orang di Amerika Serikat memiliki RP atau

gangguan terkait.

2.4 Etiologi

Retinitis pigmentosa terjadi sebagai gangguan isolated sporadic, atau

kelainan genetik autosomal dominant (AD), autosomal recessive (AR), atau X-

Linked recessive (XL). Bentuk terbanyak kelainan gen pada retinitis pigmentosa

yaitu autosomal recessive, diikuti oleh autosom dominan. Sedangkan bentuk yang

9
sedikit yaitu X-linked resesif. Mekanisme terjadinya retinitis pigmentosa adalah

10
distrofi batang-kerucut (rodcone dystrophy) dimana terjadi defek genetic yang

menyebabkan kematian sel (apoptosis), terutama di fotoreseptor yaitu sel batang

Sekitar setengah dari semua kasus RP terisolasi (yaitu, mereka yang tidak

memiliki riwayat keluarga dengan kondisi ini). RP dapat muncul sendiri atau

bersama dengan satu dari beberapa gangguan langka lainnya. Lebih dari 60

gangguan sistemik menunjukkan beberapa jenis keterlibatan retina mirip dengan

RP.

2.5 Patofisiologi

Retina merupakan jaringan saraf berupa lembaran tipis semi transparan

dan memiliki lebih dari satu lapis yang melapisi bagian dalam 2/3 posterior

dinding bola mata. Retina melebar dari depan dan berada dekat dengan korpus

siliaris dan berakhir di tepi ora serata. Sebagian besar retina dan epitelium pigmen

retina mudah memiliki ruang hingga membentuk suatu ruang subretina yang

terjadi pada ablasio retina. Memiliki ketebalan 0,12 mm pada ora serata dan 0,23

mm pada kutub posterior.

Pada tengah kutub posterior terdapat makula yang memiliki xanthophylls

(pigmen kuning). Dalam makula terdapat fovea dimana terdapat fotoreseptor yang

berfungsi untuk ketajaman pengihatan dan penglihatan warna. Didalam fovea

terdapat foveal avascular zone. Di tengah-tengah fovea dengan diameter 0,35 dan

di dalamnya tersusun padat sel kerucut yang berperan terhadap warna merah dan

hijau dengan densitas mencapai 140.000 sel kerucut per millimeter persegi.

Fovea sentralis hanya mengandung sel kerucut dan sel muller dan tidak

ada sel batang. Semakin jauh dari fovea sentralis maka jumlah sel kerucut

berkurang
11
dan pada daerah perifer tidak ada lagi sel kerucut dan tergantikan sel batang dan

mencapai densitas tertinggi yaitu 160.000 sel per millimeter persegi.Makula

berwarna kuning karena akumulasi dari karotenoid teroksidasi khususnya lutein

dan zeaxhantine di tengah makula. Karotenoid berfungsi sebagai antioksidan dan

memfilter gelombang sinar biru yang berperan dalam retinitis solar.

Sel batang paling banyak ditemukan pada retina midperipheral, hilangnya

sel di daerah ini cenderung menyebabkan kehilangan penglihatan perifer dan

kehilangan penglihatan pada malam hari. Jarang terjadinya defek genetik akibat

pengaruh fotoreseptor epitelium pigmen retina dan kerucut. Retinitis pigmentosa

yang paling sering terjadi adalah rod-cone dystrophy.

2.6 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang paling sering pada RP adalah buta senja. Hal ini

disebabkan karena pada umumnya sel batang merupakan sel yang lebih dahulu

terdampak. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam penyesuaian penglihatan dari

cahaya terang ke cahaya yang lebih redup, bahkan bisa menyebabkan gangguan

menyetir pada malam hari.

Penglihatan perifer berkurang dan dapat menyebabkan “tunnel vision”

yang membuat penderita harus memalingkan kepalanya bila ingin melihat ke

salah satu sisi.

Pada tahap selanjutnya, sel kerucut dapat terpengaruh sehingga

menyebabkan penderita mendapatkan kesulitan dalam melakukan pekerjaan detail

dan kesulitan melihat warna.

12
2.7 Diagnosis

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis RP adalah

funduskopi dan electroretinogram (ERG). Pada funduskopi, dapat terjadi

perubahan pigmen retina. Ini adalah jenis perivaskular dan berbentuk seperti bone

spicules. Pada awalnya perubahan ini ditemukan hanya pada bagian equatorial dan

kemudian berlanjut ke bagian anterior dan posterior. Mekanisme pasti dari

degenerasi fotoreseptor belum diketahui, tetapi akhirnya dapat terjadi apoptosis

degeneratif fotoreseptor batang dengan fotoreseptor kerucut pada tingkat yang

lanjut. Retinitis pigmentosa dapat respon terhadap fotoreseptor yang atrofi dengan

proliferasi kedalam retina. Sel-sel pigmen berkumpul disekitar pembuluh darah

retina yang atrofi, yang dapat diketahui dengan fundus sebagai bentuk klasik

“bone spicule”.

Gambar 2.5 Funduskopi Retinitis Pigmentosa: Bone Spicule, Waxy Pallor Optic Nerve Head

dan Attenuated Vessels

Electroretinogram (ERG) merupakan pengukuran objektif fungsi sel

batang (rod) dan kerucut (cone) di retina yang berfokus pada evaluasi amplitudo

13
(jumlah

14
refleks sel yang merespon) dan waktu implisit (seberapa baik respon sel). Pada

ERG menunjukkan penurunan amplitudo gelombang-b yang mendominasi dalam

kondisi skotopik.

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding RP di antaranya adalah Central serous

chorioretinopathy, toksisitas klorokuin dan hidroksiklorokuin, Chronic

Progressive External Ophthalmoplegia (CPEO), Diffuse Unilateral Subacute

Neuroretinitis, Juvenile Retinoschisis, Nonexudative (Dry) Age-Related Macular

Degeneration (AMD).

2.9 Penatalaksanaan

Tatalaksana farmakologi Retinitis Pigmentosa, seperti Vitamin A/ Beta

Karoten. Antioksidan dapat bermanfaat dalam mengobati pasien dengan retinitis

pigmentosa, tetapi belum ada bukti, yang jelas pada saat ini. Sebuah studi

komprehensif terbaru epidemiologi menyimpulkan bahwa dosis harian yang

sangat tinggi dari vitamin A palmitat (15.000 U / d) memperlambat kemajuan RP

sekitar 2% per tahun

Docosahexaenoic acid (DHA). DHA adalah asam lemak tak jenuh ganda

omega-3 dan antioksidan. Penelitian telah menunjukkan korelasi ERG

(electroretinogram) amplitudo dengan konsentrasi DHA eritrosit-pasien. Studi

lainnya melaporkan adanya perubahan ERG kurang pada pasien dengan tingkat

yang lebih tinggi kadar DHA.

Acetazolamide. Edema makula dapat mengurangi penglihatan dalam tahap

lanjut dari retinitis pigmentosa. Dari banyak terapis mencoba, acetazolamide oral

15
telah menunjukkan hasil yang paling menggembirakan dengan beberapa

perbaikan dalam fungsi visual. Studi yang dilakukan oleh Fishman dkk dan Cox et

al telah menunjukkan perbaikan dalam ketajaman visual snelling dengan

acetazolamide oral untuk pasien yang memiliki retinitis pigmentosa dengan edema

makula.

Lutein / zeaxanthin. Lutein dan zeaxanthin merupakan makula pigmen

yang tubuh tidak dapat membuat melainkan berasal dari sumber makanan. Lutein

berfungsi untuk melindungi macula dari kerusakan oksidatif, dan suplementasi

oral telah terbukti meningkatkan pigmen makula. Dosis 20 mg / hari telah

direkomendasikan.

Tatalaksana non farmakologi Retinitis Pigmentosa, dapat berupa Katarak

ekstraksi. Operasi katarak sering bermanfaat dalam tahap selanjutnya pengobatan

retinitis pigmentosa. Bastek et al, mempelajari 30 pasien dengan retinitis

pigmetasi, 83% dari mereka menunjukkan perbaikan dalam pengobatan, dengan 2

garis pada grafik ketajaman visual Snellen setelah dilakukan operasi katarak.

Transplantasi sel epitelium pigmen retina telah dittranspalntasikan ke

dalam ruang subretinal untuk menyelamatkan fotoreseptor pada hewan model

retinitis pigmentosa. Salah satu pendekatan yang mungkin berguna adalah

modifikasi ex vivo pada sel-sel yang terdapat faktor - faktor trofik.

Prostesis retina. Sebuah chip prostesis atau phototransducing retina

ditanamkan pada permukaan retina dan telah diteliti selama beberapa tahun.

Lapisan sel ganglion retina yang sehat dapat dirangsang, dan implan pada hewan

model memiliki stabilitas jangka panjang. Dalam sebuah studi oleh Humayun et

al, ini telah terbukti bermanfaat pada manusia. Satu pasien yang tidak punya

16
persepsi

17
cahaya, mampu melihat dan melokalisasi senter setelah prostesis pada retinitis

pigmentosa.

Terapi gen. Terapi gen masih dalam penelitian, dengan harapan untuk

menggantikan protein yang rusak dengan menggunakan vektor DNA (misalnya,

adenovirus, Lentivirus).

2.10 Prognosis

Prognosis untuk pasien retinitis pigmentosa tergantung pada usia onset,

dan pola pewarisan. Gejala awal dan kehilangan penglihatan yang parah dan

kebutaan malam diharapkan dengan bentuk resesif autosomal RP. Ekspresi

autosom dominan adalah yang paling parah dan terkait dengan timbulnya gejala

yang lebih bertahap di kemudian hari dalam kehidupan dewasa. Hilangnya

penglihatan yang paling parah terjadi dengan resesif RP terkait-X.

Penglihatan terowongan diharapkan terlambat dalam perjalanan semua

bentuk RP, dan hampir semua pasien RP akan buta secara hukum pada beberapa

titik dalam perkembangan penyakit mereka. Untungnya kehilangan penglihatan

total jarang terjadi, karena fungsi makula umumnya akan memungkinkan persepsi

cahaya, bahkan setelah ketajaman hilan

18
BAB 3

KESIMPULAN

Retinitis pigmentosa merupakan sekelompok degenerasi retina herediter

yang ditandai oleh disfungsi progresif fotoreseptor dan disertai oleh hilangnya sel

secara progresif dan akhirnya atrofi beberapa lapisan retina. Gejala awal

seringkali muncul pada awal masa kanak-kanak. Sel batang pada retina (berperan

dalam penglihatan pada malam hari) secara bertahap mengalami kemunduran

sehingga penglihatan di ruang gelap atau penglihatan pada malam hari menurun.

Pengobatan terdiri dari medikamentosa dan pembedahan. Pemakaian

kacamata gelap untuk melindungi retina dari sinar ultraviolet bisa

mempertahankan fungsi penglihatan. Pemberian antioksidan (misalnya vitamin A

palmitat) dapat menunda perkembangan penyakit ini (masih dalam penelitian).

Pada pasien dan keluarga diberikan edukasi mengenai penyakitnya. Dukungan

keluarga diperlukan untuk membantu pasien mengendalikan penyakit pasien.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Ali, M. U., Rahman, M. S. U., Cao, J., & Yuan, P. X. (2017). Genetic
characterization and disease mechanism of retinitis pigmentosa; current
scenario. 3 Biotech, 7(4). https://doi.org/10.1007/s13205-017- 0878-3
2. Parmeggiani, F., S. Sorrentino, F., Ponzin, D., Barbaro, V., Ferrari, S., & Di
Iorio, E. (2011). Retinitis Pigmentosa: Genes and Disease Mechanisms.
Current Genomics, 12(4),238–249. https://doi.org/10.2174/13892021179
5860107
3. Hartong, D. T., Berson, E. L., & Dryja, T. P. (2006). Retinitis pigmentosa.
The Lancet, 368(9549), 1795– 1809. https://doi.org/ Ali, M. U., Rahman, M.
S. U., Cao, J., & Yuan, P. X. (2017). Genetic characterization and disease
mechanism of retinitis pigmentosa; current scenario. 3 Biotech, 7(4).
https://doi.org/10.1007/s13205-017- 0878-3
4. Guyton , Arthur C. Textbook of medical physiology. Edisi ke-11.
Philadelphia: Elsevier; 2012.
5. Khurana AK. Comprehensive ophtalmology. Edisi ke-4. New Delhi: New
Age International (P) Ltd; 2007.
6. Hamel Christian. Retinitis pigmentosa. Orphanet Journal of Rare Diseases.
2008; 1(1):40-1.
7. Openshaw A. Understanding retinitis pigmentosa. London: National Institute
of Health; 2008.
8. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC;2012.

20

Anda mungkin juga menyukai