Anda di halaman 1dari 14

CORPORATE GOVERNANCE

STUDY CASE CG
(PT. Freeport Indonesia)

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. I Ketut Yadnyana, S.E., Ak., M.Si.

Disusun Oleh:
Kelompok 1
Komang Tri Paramita 2/ 1907531013
Kharisma Milinia Muji Rahayu 3/ 1907531015
Kadek Ririn Sinthya Dewi 4/ 1907531018

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam, yang mana Indonesia
memiliki sumber daya alam melimpah yang berasal dari minyak bumi hingga emas,
batubara, perak, dan tembaga. Kekayaan alam tersebut tersebar di berbagai wilayah, dari
Sabang hingga Merauke. Kekayaan ini menjadi salah satu hal yang bisa dibanggakan
kepada dunia. Namun kebanggaan itu dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat
karena sumberdaya alam merupakan kekayaan yang tidak dapat diperbaharui, sehingga
lambat laun akan habis. Kekayaan alam Indonesia yang begitu besar, telah mengundang
banyak perusahaan asing ingin melakukan kerjasama pertambangan dengan pemerintah
Indonesia. Salah satu perusahaan asing yang melakukan kerjasama penambangan di
Indonesia adalah PT Freeport Indonesia (PTFI).
Pelaksanaan suatu usaha, termasuk pertambangan, akan berdampak terhadap
masyarakat. Sehingga setiap perusahaan yang melakukan kegiatan di suatu negara harus
selalu mengikuti peraturan yang ada yang telah ditetapkan oleh pasar modal itu sendiri. Hal
ini diperlukan demi terciptanya suasana kerukunan dan kerjasama yang saling
menguntungkan. Namun salah satu penyebab rentannya perusahaan-perusahaan di
Indonesia terhadap gejolak perekonomian adalah lemahnya penerapan good corporate
governance. Good Corporate Governance (GCG) pada dasarnya merupakan konsep yang
menyangkut struktur perseroan, pembagian tugas, pembagian kewenangan, pembagian
beban tanggung jawab masing-masing unsur dari struktur perseroan. Prinsip-prinsip good
corporate governance yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) serta kewajaran dan
kesetaraan (fairness). Terjadinya kejahatan dan pelanggaran PT Freeport di Indonesia
diasumsikan beberapa alasan yaitu kesalahan pelaku, kelemahan aparat yang mencakup
integritas dan profesionalisme serta kelemahan peraturan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan PT Freeport Indonesia?
2. Bagaimana sejarah dari PT Freeport Indonesia?
3. Bagaimana struktur organisasi di PT Freeport Indonesia?
4. Bagaimana mekanisme GCG di PT Freeport Indonesia?
5. Bagaimana implementasi prinsip-prinsip GCG di PT Freeport Indonesia?
6. Bagaimana pelanggaran prinsip-prinsip GCG di PT Freeport Indonesia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian PT Freeport Indonesia.
2. Untuk mengetahui sejarah dari PT Freeport Indonesia.
3. Untuk mengetahui struktur organisasi di PT Freeport Indonesia.
5. Untuk mengetahui mekanisme GCG di PT Freeport Indonesia.
6. Untuk mengetahui implementasi prinsip-prinsip GCG di PT Freeport Indonesia.
7. Untuk mengetahui pelanggaran prinsip-prinsip GCG di PT Freeport Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian PT Freeport Indonesia


PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan
Copper & Gold Inc. PT Freeport Indonesia menambang, memroses dan melakukan
eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di
daerah dataran tinggi Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia.
Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke
seluruh penjuru dunia.

2.2 Sejarah PT Freeport Indonesia


Sejarah berdirinya perusahaan tambang yang diberi nama PT. Freeport Indonesia
dimulai pada tahun 1923 berawal dari ekspedisi yang dilakukan oleh seorang geolog yang
bernama Jans Cartenz yang pada saat itu menemukan gunung bijih yang kemudian
dilanjutkan oleh beberapa geolog lainnya yang ingin mencari tahu kandungan mineral
dalam gunung bijih tersebut hingga akhirnya Forbes Wilson yang kala itu bekerja di
Freeport Mc Moran yang berpusat di New Orleans juga melakukan ekspedisi lanjutan dan
kemudian mengembangkan penemuan-penemuan yang dibacanya dari geolog yang
melakukan ekspedisi terdahulu. Ekspedisi yang dilakukan oleh Wilson menjadi ekspedisi
terakhir para geolog yang ingin mengembangkan temuan dari Jans Cartenz karena
ekspedisi tersebut berhasil dan telah resmi menjadi bagian dari Freeport Mc Moran dan
menjadikan Wilson sebagai presiden direktur.
Kemudian awal PT Freeport masuk ke Indonesia bermula dari adanya UU Nomor
1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang dikeluarkan oleh Soeharto. Pada bulan
April 1967, berbekal UU yang baru disahkan tersebut, Freeport berhasil masuk ke
Indonesia. Penandatangan kontrak karya selama 30 tahun antara pemerintah Indonesia dan
Freeport menjadi awal dari sejarah panjang PT. Freeport Indonesia. Setelah dilakukan
penandatanganan barulah terlihat ada beberapa hal yang kurang berkenan dalam kontrak
“generasi pertama” antara Freeport dengan Indonesia. Dalam kontrak tersebut, Freeport
mendapatkan keistimewaan bebas pajak selama tiga tahun, pemotongan pajak sebesar 35
persen untuk 7 tahun setelahnya, dan bebas dari pajak atau royalti selain 5 persen pajak
penjualan.
Ketika PT. Freeport Indonesia menemukan cadangan baru di pegunungan Grasberg,
PT. Freeport Indonesia mengupayakan untuk membuat kontrak baru dengan istilah Kontrak
Karya II. Di tahun 1991, PT. Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia menandatangani
Kontrak Karya II. Kontrak ini berlaku hingga tahun 2021. Kontrak karya II ini berhasil
membuat PT. Freeport Indonesia dapat melakukan penambangan di wilayah seluas 2,6 juta
hektar, yang sebelumnya hanya seluas 10.908 hektar. Selain tentang perluasan wilayah,
kontrak karya II ini pun mengisyaratkan satu hal penting, yaitu adanya divestasi saham dari
PT. Freeport Indonesia ke Indonesia. 10 tahun pertama, yaitu tepatnya hingga tahun 2001,
PT. Freeport Indonesia sudah harus memberikan sahamnya ke pemerintah Indonesia
sebesar 10 persen. Sedangkan di tahun 2011, PT. Freeport Indonesia sudah harus
melakukan divestasi saham ke Pemerintah Indonesia sebesar 51 persen. Meskipun
perjanjiannya seperti itu, divestasi saham 51 persen tersebut baru terjadi di tahun 2018 ini.

2.3 Struktur Organisasi di PT Freeport Indonesia


PTFI secara umum dipimpin oleh seorang President Dorector yakni Razik
Soetjipto yang dibantu oleh seorang Chief Assisten President Director yakni Dehry
Surjanasiah. Dibawah dari president director terdapat sembilan orang executive vice
president (EVP). Kesembilan orang EVP tersbeut dibantu oleh vice presidet (VP) yang
dimasing-masing departement, dibawah VP kemudian ada senior manager atau section
head, dan tepat dibawah senior manager terdapat manager, dibawah manager kemudian
terdapat group leader dan persis dibawah gorup leader kemudian ada supervisor.
Berdasarkan struktur yang diterima, posisi Public Relations tidak berada dileher
organisasi seperti idealnya yang dikemukakan oleh teori-teori mengenai public relations.
Department yang menjalankan fungsi-fungsi PR seperti Industrial Relations, Corporate
Communication, Community dan Corporate Social Responsibility memiliki posisi yang
sejajar dengan department lainnya seperti financial, human resources dan department
lainnya. Berdasarkan struktur tersebut CLO yang terdiri dari CLO Lowland dan CLO
Highland termasuk didalam departemen Community tepatnya didalam sub departemen
Community Relations and Human Rights.

2.4 Mekanisme GCG di PT Freeport Indonesia


PT Freeport Indonesia merupakan salah satu perusahaan pertambangan penghasil
terbesar dalam bidang tembaga dan biji mineral yang juga mngandung emas dalam jumlah
yang tidak sedikit. Kemudian laporan PTFI pada tahun 2006 menunjukkan bahwa
perusahaan telah menyebarkan informasi mengenai pelaksanaan kegiatan sehubungan
dengan tanggungjawab sosial perusahaan yang berhubungan atau ditinjau dari GCG.
Namun kualitas informasi yang diberikan belum dapat dikategorikan sebagai transparan.
Padahal penyebaran informasi secara transparan merupakan salah satu pra kontradiksi,
belum merupakan kondisi yang cukup untuk mencapai tujuan dilaksanakannya good
corporate governance.
Tujuan good corporate governance adalah agar perusahaan berforma baik
sehingga dapat meningkatkan kemakmuran pemegang saham dan memberi manfaat bagi
pemangku kepentingan. Salah satu petunjuk meningkatnya kemakmuran pemegang saham
dapat dilihat dari tingkat penerimaan perusahaan. Laporan the element of shareholder
value dari PTFI menunjukkan bahwa kemakmuran pemegang saham memang terus
meningkat. Hal tersbeut diketahui dari penerimaan PTFI yang terus meningkat pada
periode tahun 2001-2005, sebagaimana ditunjukkan pada tabel dibawah. Tetapi informasi
yang tidak terbuka tersebut, kemudian menimbulkan ketidak percayaan publik.

Dari sisi pemangku kepentingan, bagaimana tata kelola perusahaan sebagai


cerminan tanggung jawabsosial perusahaan bagi masyarakat sekitar? Laporan PTFI
mengenai Unsur-Unsur Pembangunan Berkelanjutan menunjukkan bahwa program CSR
PTFI telah dilakukan. Memperhatikan komentar pihak eksternal perusahaan, memperoleh
masukkan bahwa sejauh ini tanggung jawab sosial PTFI belum memadai, karena belum
berhasil mempersempit kesenjangan dan ketidakadilan sosial.
Dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan selama kegiatan penambangan
yang sudah berlangsung selama 40 tahun begitu besar, sehingga muncul permintaan dari
beberapa pihak agar usaha penambangan ini ditutup. Artinya pengelolaan PTFI belum
baik (good), karena banyaknya komentar yang menunjukkan ketidakpuasan masyarakat.
Dan akar dari adanya permasalahan ketidakpuasan masyarakat tersebut nampaknya
disebabkan karena PTFI kurang melaksanakan keterbukaan informasit erhadap
masyarakat. Dikarenakan mengakibatkan gangguan bagi kegiatan bisnis perusahaan
dimasa yang akan datang. Padahal PTFI telah diberi hak konsesi hingga tahun 2021.
Suatu periode waktu yang relatif masih panjang. Tetapi didalam laporan PTFI mengenai
Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan (2006), data yang disajikan tidak
mengungkapkan secara jelas dan transparan mengenai kegiatan bisnis yang sesungguhnya
dari PTFI. Juga belum terungkap secara jelas manfaat PTFI bagi bangsa Indonesia secara
umum, dan bagi masyarakat Papua pada khususnya.

2.5 Prinsip-prinsip GCG di PT Freeport Indonesia


Menurut KNKG (2006) di dalam Good Corporate Governance ada lima prinsip
yang harus diterapkan oleh perusahaan, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi serta kewajaran atau kesetaraan. Kelima prinsip tersebut diperlukan untuk
membantu perusahaan agar tercapai tujuannya kelima prinsip tersebut didefinisikan
sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan
informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami
oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oleh peraturan perundang-
undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang
saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Terkait dengan prinsip akuntabilitas, dalam menjalankan bisnis perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu
perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan sesuai kepentingan perusahaan
dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai
kinerja yang berkesinambungan.
3. Responsibilitas (Responsibility)
Untuk prinsip responsibilitas atau prinsip tanggung jawab, perusahaan harus mematuhi
peraturan perundang- undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap
masyarakat dan lingkungan sehingga dapat menjalankan perusahaan dalam jangka
panjang serta mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4. Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oleh pihak lain
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus bisa memperhatikan kepentingan
pemegang saham mayoritas maupun minoritas dan pemangku kepentingan laiinya
berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

2.6 Pelanggaran Prinsip-prinsip GCG di PT Freeport Indonesia


1. Fakta-fakta
1) Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada
perkerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama.
2) Februari, 2017. Menururt informasi yang diperoleh Otto, di Kementerian ESDM,
upah yang diperoleh pegawai Freeport hanya setara dengan UMR atau sebesar Rp.
3,3 juta.
3) Mei, 2017. Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar,
mencatat sederet pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia yang dilakukan
Freeport, seperti:
a) Meracuni sungai, muara dan laut di Kabupaten Mimika dengan limbah yang
mengandung merkuri dan sianida. Tercatat lima sungai yang terkena dampak:
Aghawagon, Otomana, Ajkwa, Minajerwi, dan Aimore karena digunakan
sebagai tempat pengendapan limbah tambang (tailing).
b) Freeport juga mengerjakan perluasan tanggul di barat dan timur ke arah selatan
lantaran aliran tailing tak terkendali. Limbah ini mengancam sungai baru, yaitu
Tipuka.
4) Jatam juga menemukan dugaan penolakan pembayaran pajak air tanah yang
seharusnya disetorkan Freeport ke Pemerintah Kabupaten Mimika.
5) Mei, 2017. BPK (Badan Pemerika Keuangan), total potensi kerugian lingkungan
yang timbul mencapai Rp. 185 Triliun. Temuan ini diperoleh dari berbagai analisis
dan evaluasi data dari berbagai sumber. Berikut enam pelanggaran lingkungan
Freeport versi BPK :
a) Pelanggaran penggunaan kawasan hutan lindung seluas 4.535,93 hektar.
Freeport tidak mengantongi izin pinjam-pakai pada 2008-2015. Negara
kehilangan penerimaan negara bukan pajak dari penggunaan kawasan hutan.
Potensi kerugian negara sebesar Rp. 270 miliar.
b) BPK menemukan kelebihan pencairan jaminan reklamasi sebesar US$ 1,43 juta
atau Rp. 19,4 miliar berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia pada 25 Mei 2016
yang mana dana itu seharusnya masih ditempatkan di pemerintah. Ditemukan
pula ketidaksesuaian laporan reklamasi dengan fakta di lapangan.
c) Freeport melakukan penambangan di bawah tanah tanpa izin lingkungan.
Analisis mengenai dampak lingkungan yang dikantongi Freeport sejak 1997
tidak mencakup tambang bawah tanah.
d) Penambangan Freeport membuat kerusakan gara-gara membuang limbah
operasional di sungai, muara dan laut. Pemerintah tak mampu mencegah
kerusakan hingga produksi Freeport telah mencapai 300 ribu ton. Potensi
kerugian negara Rp 185 triliun.
e) Freeport belum menyetorkan kewajiban dana pascatambang periode 2016 ke
pemerintah. Potensi kerugian negara US$ 22,29 juta atau sekitar Rp 293 miliar.
f) Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan kurang ketat mengawasi Freeport dalam hal dampak
penurunan permukaan akibat tambang bawah tanah. Potensi kerugian negara Rp
185,563 triliun.
6) PT. Freeport telah banyak melakukan pelanggaran lainnya, antara lain:
a) PT. Freeport telah melanggar hak-hak dari buruh Indonesia (HAM) berdasarkan
UU No. 13/2003 tentang mogok kerja sah dilakukan. Freeport telah melanggar
pasal 139 dan psal 140.
• Pasal 139: “Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada
perusahaan yang melayani kepentingan umum dan atau perusahaan yang
jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan atau
membahayakan keselamatan orang lain”.
• Pasal 140:
(1) “Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok
kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat”.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu) sekurang-
kurangnya memuat: (i) Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan
diakhiri mogok kerja; (ii) Tempat mogok kerja; (iii) Alasan dan sebab-
sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; (iv) Tanda tangan ketua
dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat
pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan
pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung
jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka demi menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan,
pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara: (i)
Melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada dilokasi kegiatan
proses produksi; atau (ii) Bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh
yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
• Pasal 22: “Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas
memilih pekerjaan, berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya yang sangat doperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas
pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional,
dan sesuai dengan pengaturan sumber daya setiap negara”
b) Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan
Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport.
c) Freeport melakukan pelanggaran Kontrak Karya yang telah disepakati dengan
Pemerintah Indonesia. Adapun pelanggaran-pelanggaran kontrak karya yang
telah dilakukan Freeport ialah:
• Pada Februari 2017 Freeport dinyatakan telah pasal 24 Kontrak Karya.
Seharusnya Freeport dikenai kewajiban melakukan divestasi saham, namun
Faktanya hal itu tidak terjadi.
• Freeport membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian meniral (smelter)
Pelanggaran berikutnya adalah tidak menaati hukum nasional Indonesia.
Dalam hal ini adalah UU no. 4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara.
• Pelanggaran ketiga adalah, pada pasal 23 ayat 2 kontrak karya diatur bahwa
perusahaan dari waktu ke waktu harus menaati hukum nasional Indonesia.
Namun pada kenyataannya, Freeport pun enggan menyesuaikan kontrak
karya dengan UndangUndang Minerba.
7) Dari sejak April 2017, pemerintah Indonesia dan Freeport melakukan negosiasi. Hal
ini dilatar belakangi penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
pelaksanaan kegiatan tambang mineral dan batu bara. Ada empat komponen yang
dinegosiasikan, adalah stabilitas investasi jangka panjang, kelanjutan operasi
Freeport pasca 2021, pembangunan smelter dan divestasi saham. Berikut adalah
kesepakatan antara pemerintah dan Freeport yang telah dicapai:
a) Landasan hukum yang mengatur antara Pemerintah dan Freeport akan berupa
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).
b) Divestasi saham PT. Freeport Indonesia sebesar 51% untuk kepemilikan
Nasional Indonesia. Hal-hal teknis terkait tahapan divestasi dan waktu
pelaksanaan akan dibahas oleh tim dari pemerintah dan PT. Freeport Indonesia.
c) PT. Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau
smelter selama 5 tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada 2022,
kecuali terdapat kondisi force majeur.
d) Stabilitas Penerimaan Negara. Penerimaan Negara secara agregat lebih besar
dibanding penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung
dengan jaminan fiskal dan hukum yang terdokumentasi untuk PT. Freeport
Indonesia.
8) Freeport memiliki rencana menambah investasi di Indonesia sebesar US$20 miliar
yang sebagian besar Dianggarkan untuk pengembangan tambang bawah tanah.
CEO Freeport McMoran Richard Adkerson menuturkan bahwa Freeport telah
sepakat untuk membayar royalti lebih tinggi sesuai dengan Undang-Undang
Minerba dan peraturan yang diadopsi. Freeport akan mencapai peningkatan
pendapatan bersih pemerintah.
2. Pembahasan
Permasalahan yang terjadi bermulai dari adanya ketidak-sesuaian gaji dan upah
para pekerja Indonesia yang bila dibandingkan dengan tenaga kerja dari negara lain
yang sama levelnya sangat berbeda jauh. Gaji pekerja Freeport hanya sebatas upah
minimum regional (UMR). Meski dikatakan tidak melanggar hukum, namun gaji yang
diberikan tersebut jauh dari apa yang dibayangkan. Selain minimnya gaji atau upah
yang diberikan, pekerja di perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut
sangat tidak merata antara pekerja lokal asli Papua dengan pekerja asing. Dan ironisnya,
para pekerja lokal umumnya dipekerjakan di level paling bawah, lain halnya dengan
pekerja asing.
Disamping itu, adanya penemuan mengenai ketidak-sesuaian laporan dengan
fakta di lapangan yang ditemukan oleh BPK. Penghitungan kerugian atas dampak
lingkungan dari pengoperasian tambang Freeport oleh tim pengawas dari Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Lingkungan Hidup dan
Perhutanan selama ini tak akurat. Sehingga, tim BPK mengkaji ulang laporan tersebut
dan menemukan beberapa kejanggalan seperti adanya kelebihan pencairan jaminan
reklamasi Freeport, kerugian negara yang sebenarnya dan lain sebagainya.
Freeport juga sudah terlalu sering melakukan pelanggaran kontrak. Tidak
berhenti di permasalahan-permasalahan di atas, masih banyak lagi pelanggaran yang
dilakukan oleh Freeport khususnya pelanggaran lingkungan hidup yang membuat
rakyat Papua menderita.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pihak Freeport telah banyak
melakukan kelalaian dan melanggar prinsip-prinsip GCG. Freeport yang
memperlakukan pekerja lokal kurang layak seperti perbedaan gaji dan upah,
penempatan kedudukan di perusahaan, merupakan salah satu pelanggaran prinsip GCG
khususnya prinsip kewajaran dan kesetaraan. Selain itu, Freeport juga merusak
lingkungan Papua dan membuat rakyat Papua menderita. Freeport juga tidak membayar
tanggung jawabnya untuk membayar pajak ke pemerintah daerah setempat Hal ini dapat
diartikan bahwa Freeport juga melanggar prinsip Responsibility atau Prinsip Tanggung
Jawab.
Tak berhenti disitu saja, masih ada pelanggaran yang dilakukan oleh Freeport,
yaitu seringnya melanggar peraturan atau undang-undang dengan alasan Kontrak
Karya. Freeport juga bahkan berani melakukan penambangan di bawah tanah tanpa izin
lingkungan, tidak membayar pajak, juga tidak adanya transparansi dengan pemerintah
hingga ditemukan adanya kesalahan penghitungan kerugian negara yang membuat
negara rugi. Hal ini menunjukkan bahwa Freeport juga melanggar prinsip akuntabilitas
dan transparansi yang ditunjukkan dengan tidak adanya keterbukaan dan keakuratan
informasi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Prinsip-prinsip GCG yang dilanggar oleh PT. Freeport Indonesia adalah prinsip
kewajaran dan kesetaraan, responsibilitas, transparansi dan akuntabilitas. Pelanggaran
prinsip kewajaran dan kesetaraan salah satunya ditunjukkan dengan adanya perlakuan yang
tidak adil terhadap upah dan gaji karyawan lokal dengan karyawan asing yang levelnya
sama. Pelanggaran prinsip responsibilitas ditunjukkan dengan perusakan lingkungan papua
yang membuat rakyat papua menderita dan tidak adanya penanggulangan atas kerusakan
tersebut. Pelanggaran prinsip transparansi dan akuntabilitas ditunjukkan dengan adanya
ketidak sesuaian informasi yang diberikan Freeport kepada negara seperti melakukan
penambangan di bawah tanah tanpa izin lingkungan, sehingga tidak adanya kejujuran dan
keterbukaan mengenai informasi akurat jumlah pendapatan mereka yang sesungguhnya.
Padahal, hal ini juga memengaruhi pendapatan dan kerugian yang diperoleh oleh negara.

3.2 Saran
Penerapan GCG ini sebenarnya merupakan alat yang ampuh untuk memberantas
praktik-praktik yang menciptakan radang yang merongrong perusahaan seperti praktik
korupsi, penggelembungan biaya, kolusi serta nepotisme tersebut yang pada gilirannya
merugikan konsumen dan perusahaan karena adanya praktik biaya ekonomi tinggi. Para
otoritas GCG perlu lebih agresif lagi mendorong penerapan GCG, terutama di perusahaan
publik, lembaga keuangan nonpublik dan BUMN.
Tak kalah pentingnya, terciptanya keseimbangan kekuatan di antara struktur
internal perusahaan (direksi, komisaris, komite audit, dan lain sebagainya). Sehingga,
pengambilan keputusan bisa menjadi lebih dipertanggungjawabkan (accountable), juga
hati-hati dan bijaksana (prudent).
Tidak bisa diingkari, masih banyak penerapan GCG yang sekadar untuk kosmetik
atau mendongkrak citra perusahaan dan tak konsisten untuk jangka panjang. Karena itu,
perlu komitmen yang lebih tinggi lagi terutama dari pimpinan dan pemilik perusahaan.
Begitu pula, survei seperti ini pun selalu mempunyai kelemahan, karena tak bisa sebebas-
bebasnya menguak apa yang tersembunyi di balik tameng rahasia perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006


Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi
Hutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Tambang Mineral
dan Batu Bara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Mogok Kerja Sah
Dilakukan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Penanaman Modal Asing No. 1 Tahun 1967.
Syifa, M. N. (2017). Pelanggaran Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance di PT Freeport
McMoran Inc 2010-2017. Coretan Harian.
Wibowo, E. (2010). Impelementasi Good Corporate Governance di Indonesia. Jurnal Ekonomi
dan Kewirausahaan. 10(2): 129-138.

Anda mungkin juga menyukai