Anda di halaman 1dari 8

JAMINAN KEBENDAAN DALAM AKAD MUDHARABAH DAN

MUSYAROKAH:
INSTITUSIONALISASI DAN URGENSI

Wardah Yuspin, SH., M.Kn., Ph.D

Latar belakang diperlukannya jaminan

Bank sebagai lembaga perantara jasa keuangan yang tugas pokoknya adalah menghimpun dana
dari masyarakat, diharapkan dengan dana yang dimaksud dapat memenuhi kebutuhan dana
pembiayaan yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri. Akan tetapi karena kurangnya
kepercayaan kepada nasabah dewasa ini mengakibatkan bank harus ekstra hati-hati dalam
memberikan dana kepada nasabah dengan cara meminta jaminan kepada nasabahnya. Apalagi
didunia perbankan dikenal istilah prudential banking, yaitu unsur kehati-hatian dalam setiap
transaksi pembiayaan. Karena bagaimanapun meminta jaminan kepada nasabah sangatlah
penting untuk kepentingan para pihak, khususnya untuk pihak bank sendiri sebagai peminjam
dana. Secara yuridis fungsi jaminan adalah kepastian hukum pelunas hutang didalam perjanjian
kredit atau dalam hutang piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam perjanjian.

Tujuan dari pembebanan jaminan terhadap nasabah kreditur sebagaimana penjelasan yang
terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menyatakan sebagai berikut:
“Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung
risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas pengkreditan atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan
yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian
yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah
debitur”.

Begitu juga pada Penjelasan Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 23 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, menegaskan bahwa “Penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah oleh
Bank Syariah dan UUS mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya
sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan Bank Syariah dan UUS”. Untuk itu dan/atau
UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima
Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS
menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas. Dan untuk memperoleh keyakinan
tersebut. Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas”.

Berdasarkan Penjelasan yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 dan Pasal 37 ayat (1) serta
Pasal 23 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, memberikan
pengertian bahwa jaminan yang dibebankan kepada nasabah debitur adalah untuk melindungi
kepentingan bank syariah selaku kreditor dari ancaman kerugian. Bank syariah tidak ingin rugi
bila memberikan dana pembiayaannya kepada nasabah debitur, padahal kebersamaan dalam
musyarakah baik untung maupun rugi dijunjung tinggi dan di sisi lain bahwa kedudukan syarik
adalah sejajar, namun kenyataannya nasabah debitur yang menanggung kerugian dari usaha
bersama dan bank syariah enggan melaksanakan hal yang sama dengan nasabah.

Jaminan pada dasarnya dalam sebuah kontrak bagi hasil atau mudharabah dan kerjasama atau
musyarakah tidak dibutuhkan, mengingat didalamnya sudah mengat6ur mengenai risiko bagi
para pihak ketika terjadi kerugian. Tingkat urgenitas dari jaminan ini adalah berkaitan dengan
kekhawatiran mengenai adanya potensi penyelewengan dari mudharib maupun dari mitranya.
Dengan kata lainmorah hazard merupakan factor utama mengapa jamionan menjadi penting.
Adanya jaminan juga diharapkan dapat melindungi kemungkinan terjadinya total loss.

Definisi Musyarakah

Akad dalam pembiayaan Al Musyarakah adalah akad kepercayaan, di mana akad ini
berdasarkan amanah dan wakalah (perwakilan), masing-masing mitra menjadi seorang amin
(terpercaya) bagi mitra lain yang berakad dengannya, sementara itu harta dalam perserikatan
adalah merupakan amanat, maka dalam pembiayaan Al Musyarakah masing-masing mitra tidak
diperkenankan meminta adanya jaminan dari pihak yang lain. Adanya syarat jaminan atas salah
satu mitra dianggap tidak berlaku.

Jaminan erat kaitannya dengan masalah hutang-piutang sedangkan dalam musyarakah bukanlah
masalah hutang piutang melainkan tentang kerjasama dalam bentuk musyarakah yang mana para
pihak memasukkan sesuatu (inbreng) yang dijadikan sebagai modal bersama untuk menjalankan
suatu usaha bersama yang tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan Hadits. Menurut hukum
positif Indonesia, jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor yang diserahkan oleh
debitur untuk menjamin bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang yang timbul dari suatu perikatan.

Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 menyebutkan bahwa dalam pembiayaan Al Musyarakah


pada prinsipnya tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan oleh
nasabah (syarik), bank syariah boleh meminta jaminan. Berlandaskan fatwa tersebut, dalam
pembiayaan Musyarakah kedudukan jaminan hanya sebagai bentuk kehati-hatian (penerapan
prudential banking principle) bukan merupakan syarat mutlak dalam penentuan pemberian
pembiayaan Al Musyarakah oleh pihak bank syariah, namun kenyataannya bank syariah selalu
mengharuskan adanya jaminan kepada nasabah dalam setiap pembiayaan Al Musyarakah.
Keberadaan jaminan sebagai bentuk kehati-hatian menjadi hal yang mutlak harus ada yang harus
disediakan oleh pihak nasabah debitur.

Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu
dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dalam Musyarakah,
keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindari perbedaan dan sengketa pada
waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.

Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan
tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang ditetapkan bagi seorang mitra. Seorang boleh
mengusulkan jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan
kepadanya. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. Kerugian
modal dibagi sesuai dengan presentase modal masing-masing.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa pembiayaan musyarakah dilakukan oleh dua orang
pemilik modal atau lebih untuk menjalankan suatu proyek. Semua pihak berhak ikut serta dalam
manajemen proyek. Proporsi pembagian laba tidak harus sebanding dengan persentase
penyertaan modal, karena pada prinsipnya penyertaan tidak hanya modal tetapi juga keahlian dan
waktu. Apabila terjadi kerugian masing-masing pihak bertanggung jawab sesuai proporsi modal
masing-masing.

Landasan Hukum Musyarakah

a. Al-Qur’an

Firman Allah QS. Shad (38): 24 :


َ ‫و إن كَثِيرا من الْخُلَطَاءِ لَيبغِي بعضهم عَلَى بعض إل ّ الّذي‬
... ‫م‬
ْ ُ ‫ما ه‬ ٌ ْ ‫ات وَقَلِي‬
ّ ‫ل‬ ِ ‫ح‬ ّ ‫ملُوْا ال‬
َ ِ ‫صال‬ ِ َ ‫منُوْا وَع‬
َ ‫نأ‬
َ ِْ ِ ٍ َْ ْ ُ ُ َْ َْ َ ّ ًْ ّ ِ َ
...

. . . . dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". .

b. Hadits

Hadits riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW, Berkata :

ُ ِ ‫ أَنَا ثَال‬:‫ه تَعَالى‬


‫ث‬ ُ ‫ل الل‬ َ ّ ‫سل‬
َ ‫ قَا‬٬‫م‬ َ َ‫ه ع َلَيْهِ و‬ُ ‫صلى الل‬َ ِ‫ل الله‬ ُ ْ ‫سو‬
ُ ‫ل َر‬ َ ‫ قَا‬: ‫ل‬
َ ‫ه قَا‬ُ ْ ‫ه عَن‬ُ ‫ي الل‬
َ ‫ض‬
َ ‫ع‬
ِ ‫َن أبِى هُ َري ْ َرة َ َر‬
ْ
(‫ححه الحاكم‬ َ َ َ َ
‫الشّ رِيْكي ْ ِد‬
ّ ‫ )رواه أبوداوددوص‬.‫ن بَيْنِهِمأ‬ ْ ‫م‬ِ ‫ت‬ُ ‫ج‬
ْ ‫ن خ ََر‬
َ ‫ فإِذ َا خَا‬,‫ه‬
ُ َ ‫حب‬
ِ ‫صا‬
َ ‫ما‬َ ُ‫حدُه‬ َ ‫ُن أ‬
ْ ‫م يَخ‬ ْ ‫مال‬ َ ‫ن‬
Allah SWT. berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah-
satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah-satu pihak telah berkhianat, Aku
keluar dari mereka”. (HR. Abu Dawud, yang dishahihkan oleh al Hakim dari Abu Hurairah)”.

c. Kaidah Fiqh
َ َ
‫مهَا‬
ِ ْ ‫حرِي‬ ٌ ْ ‫ل دَلِي‬
ْ َ ‫ل ع َلى ت‬ ْ ‫ة إ ِ ّل أ‬
ّ ُ ‫ن يَد‬ ُ ‫ح‬ ِ ‫م َل‬
َ ‫ت الِبَا‬ ُ ْ ‫ل فِى ال‬
َ ‫معَا‬ ُ ‫ص‬
ْ ‫ال‬
Pada dasarnya sega macam bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.

d. Hukum Positif

Musyarakah adalah kemitraan antara bank dan nasabah untuk bersama-sama memberikan modal
dengan cara membeli saham untuk membiayai suatu investasi. Musyarakah merupakan
pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan
dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Dasar hukum musyarakah berdasarkan
UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Fatwa DSN No.8.DSN-MUI/IV/2000.

Secara teknis pembiayaan musyarakah ini diataur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI No.
6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah yang pada intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan
prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha yang meliputi penyaluran dana yang
menggunakan prinsip bagi hasil berdasarkan akad musyarakah.

Sebagai landasan hukum akad pembiayaan musyarakah antara lain adalah Pasal 19 ayat (1) huruf
c dan ayat (2) huruf c serta Pasal 21 huruf b angka 1 UU Perbankan Syariah, Fatwa Dewan
Syariah Nasional No.8.DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan PBI No.
7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi
Nasabah beserta ketentuan perubahannya PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah berikut perubahannya dengan PBI No. 10/16/PBI/2008.

Definisi Mudharabah

Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak. Salah satu pihak menyerahkan harta
(modal) kepada yang lain agar diperdagangkan, dengan pembagian keuntungan di antara
keduanya sesuai dengan kesepakatan. Sehingga mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua
pihak atau lebih. Dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) mempercayakan
sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shahib al mal yaitu pihak
bank dan keahlian (pengelola) dari mudharib yaitu dari pelaksana usaha.kegiatan mudharabah
dan jaminannya erat sekaali dilakukan dan menjadi hal yang cukup penting di perbankan
syariah,walaupun kerap kali mudharabah tidak dijadikan hal-hal pembiayaan yang bersifat pokok
di perbankan,dan yang menjadi kegiatan usaha pokok di perbankan syariah adalah pembiayaan
berupa murabahah yaitu jual – beli dan bank mendapatkan margin dari kegiatan jual beli
tersebut.

Jaminan dalam mudharabah harus ada sesuai pula dengan fatwa DSN MUI nomer 07/DSN-
MUI/IV/2000 dijelaskan bahwa pada perinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak ada
jaminan,namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan maka bank dapat meminta
jaminan dari mudharib atau pihak ketiga.dan jaminan tersebut hanya dapat dicairkan bila
mudharib terbukti melakukan pelanggaran/penyimpangan, lalai, dan curang. Dengan demikian
jaminan disini tidak berfungsi sebagai pengganti pengembalian modal yang disalurkan pada
nasabah untuk usaha, tetapi jaminan tersebut posisinya sebagai ganti rugi kalau benar-benar
terjadi kelalaian kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha/nasabah,dan
bank dinyatakan rugi karena faktor diatas,baru bank dapat mengeksekusi jaminan
nasabah.apabila nilai jaminan itu lebih maka sisa dari hasil eksekusi dapat dikembalikan kepada
nasabah/ pengusaha tersebut.

Landasan Hukum Mudharabah

Para Ulama mazhab sepakat bahwa Mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan AI-Qur'an,
Sunnah, Ijma' dan Qiyas, adapun dalil dari AI-Qur'an antara lain surat AI- Muzammil (73) ayat
20 sebagai berikut;

َ ‫ك تقُو‬ َ َ ‫ك يع ل‬
‫ه يُقَد ّ ُر‬ ُ ّ ‫ك ۚ وَالل‬َ َ ‫مع‬ َ ِ ‫ن الّذ‬
َ ‫ين‬ َ ‫م‬ِ ‫ة‬ ٌ َ‫ه وَطَائِف‬ ُ َ ‫ه وَثُلُث‬
ُ َ‫صف‬ْ ِ ‫ل َون‬ ِ ْ ‫ي اللّي‬
ِ َ ‫ن ثُلُث‬ْ ‫م‬
ِ ‫ى‬ ُ َ َ ّ ‫م أن‬
ٰ َ ‫م أدْن‬ ُ ْ َ َ ّ ‫ن َرب‬ ّ ِ‫إ‬
َ ِ ‫لوالنهار ۚ عَلِم أَن لَن تحصوه فَتابع َلَيكُم ۖ فَاقْرءُوا ما تيسر منالْقُرآن ۚ عَل‬
ْ ُ ‫منْك‬
‫م‬ ِ ‫ن‬ ُ ‫سيَكُو‬ َ ‫ن‬ ْ ‫مأ‬ َ ِ ْ َ ِ َ ّ ََ َ َ ْ ْ َ َ ُ ُ ْ ُ ْ ْ َ َ َ ّ َ َ ْ ‫اللّي‬
ۖ ‫يل اللَ ِه‬ ِ ‫ون ِفي َس ِب‬ َ ‫ون ُي َقاتِ ُل‬َ ‫آخ ُر‬ َ ‫ون ِم ْن َف ْض ِل اللَ ِه ۙ َو‬ َْ
َ ‫ال ْر ِض َي ْبتَ ُغ‬ ‫ون ِفي‬َ ‫ون َي ْض ِر ُب‬ َ ‫آخ ُر‬َ ‫ى ۙ َو‬
َ َ َ ٰ ‫َم ْر َض‬
‫م‬ ْ ُ ‫سك‬ ِ ُ‫موا ِلنْف‬ ُ ّ ‫ما تُقَد‬ َ َ‫سنًا ۚ و‬ َ ‫ح‬ ً ‫ه قَ ْر‬
َ ‫ضا‬ َ ّ ‫ضوا الل‬ ُ ِ‫ص َلة َ وَآتُوا ال ّزكَاة َ وَأقْر‬ ّ ‫موادال‬ُ ‫ه ۚ وَأقِي‬ ُ ْ ‫من‬
ِ ‫س َر‬
ّ َ ‫ما تَي‬َ ‫فَاقْ َرءُوا‬
َ َ
‫ج ًرا‬ ْ ‫مأ‬ َ َ ‫خي ْ ًرا وَأع ْظ‬َ َ‫عنْد َ اللّهِ هُو‬ ِ ُ ‫جدُوه‬ ِ َ ‫ن خَيْرٍ ت‬ ْ ‫م‬ ِ ۚ

‫م‬
ٌ ‫حي‬ ٌ ‫ه غَف‬
ِ ‫ُور َر‬ ّ ِ‫ه ۖ إ‬
َ ّ ‫ن الل‬ َ ّ ‫ستَغْفِ ُرواالل‬
ْ ‫وَا‬

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua
pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka
Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi
berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan
kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di
sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah
ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Dikutip
dari : Al Quran Online)

Sedangkan dalil dari Hadist antara lain :

a) Hadits Nabi riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas :

“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan
kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak
membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung
resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau
membenarkannya.”

b) Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib :

“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan
untuk dijual.’

Urgensi Pelembagaan Jaminan Kebendaan Dalam Akad Mudharabah Dan Musyarakah

Landasan hukum jaminan


َ ‫ة ۖ فَإن أَمن بعضكُم بعضا فَلْيؤَد الّذي اؤْتم‬
‫ه‬
ُ َ ‫مانَت‬
َ ‫ندأ‬
َ ِ ُ ِ ّ ُ ً َْ ْ ُ َْ َ ِ ْ ِ ٌ ‫ض‬
َ ‫مقْبُو‬ َ‫ن‬ٌ ‫جدُوادكَاتِبًا فَرِهَا‬
ِ َ‫م ت‬ ْ َ ‫سفَرٍ وَل‬ َ ‫ى‬ َ ْ ُ ‫ن كُنْت‬
ٰ ‫م ع َل‬ ْ ِ ‫وَإ‬
‫م‬ٌ ‫ن عَلِي‬ ُ
َ ‫م لو‬
َ ْ‫ما تَع‬ ُ ‫ه ۗ وَالل‬
َ ِ‫ه ب‬ ّ ْ َ
ُ ُ ‫مقلب‬ ٌ ِ ‫ه آث‬ َ
ُ ّ ‫مهَا فإِن‬ ْ
ْ ُ ‫ن يَكت‬ َ َ‫موادالشّ هَادَة َ ۚ و‬
ْ ‫م‬ ُ ُ ‫ه ۗ وَل تَكت‬
ْ َ ُ ّ ‫ه َرب‬ ّ
َ ‫ق الل‬ ْ
ِ ّ ‫وَليَت‬
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Pada hakekatnya para ulama kontemporer berfatwa bahwa bolehnya bagi shahibul maal untuk
meminta suatu jaminan dari ‘amil berpijak pada kaedah ushul fiqh al mashaalih al mursalah yang
mengacu kepada kepentingan dna kebaikan dan maslahah umum selama tidak bertentangan
dengan prinsip dan dalil syari’at dan bemnar-benar membawa kepada kebaikan bersama yang
tidak berdampak menyulitkan serta merugikan orang lain dan kepentingan umum.

Manfaat jaminan
1) memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai
pembiayan kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui.
2) Memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak lembaga keuangan bahwa kreditnya
akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan.
3) Memberikan hak dan kekuasaan kepada lembaga keuangan untuk mendapat pelunasan
dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji yaitu untuk pengembalian dana yang
telah ditentukan oleh debitor pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kesepakatan para pihak.

Terkait dengan urgensi pelembagaan jaminan kebendaan ini bagi akad pembiayaan mudharabah
dan musyarakah, jika dilihat dari kajian ushul fiqh sebenarnya tidak lagi tidak diperlukan urgensi
nya karena apabila kita kaji dari hukum dasar dari kedua akad tersebut adalah bagi hasil dan
kerjasama dimana risiko masing masing mitra sudah ditentukan, sehingga keberadaan jaminan
kebendaan tidak lagi diperlukan keberadaannya.

Akan tetapi apabila dilihat dari kebutuhan akan rasa aman dan mengurangi potensi adanya
wanprestasi dalam hal ini menggunakan dasar maslahah mursalah maka jaminan kebendaan
masih harus diberlakukan dalam kedua akad tersebut. Hal ini dikarenakan supaya pihak debitur
terdorong untuk segera melunasi pembiayaan tersebut.

Sementara terkait dengan perluanya pelembagaan jaminan kebendaan untuk kedua akad tersebut
dianggap perlu karena pengaturan mengenai pelembagaan jaminan kebendaan tersebut harus
didasarkan pada hukum syar’i yaitu kerelaan kedua belah pihak atau ‘an taradin minkum
sehingga kedua belah dalam menjalankan akad tersebut didasarkan kepada keihlasan dan sesuai
dengan asas konsensualisme. Untuk dapat mencapai keihlasan kedua belah pihak maka
hendaknya tidak terkandung ketidakadilan dalam pembentukan dan pelaksanaan perikatan
jaminan tersebut misalnya mengenai bentuk jaminan kebendaan yang disetujui dan besarnya
jaminan yang digunakan dalam akad tersebut, jangan sampai salah satu pihak merasa bahwa
jaminan yang diminta melebihi dari pembiayaan yang diperoleh.

Daftar pustaka

Dadang Muljawan.. Bank Syariah, Filosofi dan Operasi. Biro Perbankan Syariah Bank
Indonesia, 2001

Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah
Hukum Jaminan Perbankan. Bandung:Kaifa, 2011

Jafril Khalil, Prinsip Syariah Dalam Perbankan, Jurnal Hukum, 2002


Makhalul Ilmi SM, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, Yogyakarta : UII
Press, 2002

Mervyn Lewis dan Latifa Algaoud, Perbankan Syariah Prinsip, Praktik,Prospek, Jakarta : PT
serambi Ilmu Semesta Cetakan kedua, 2004

Sri Soedewi, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A. Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. 1980

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori Kepraktek, Gema Insani Jakarta. 2002

Anda mungkin juga menyukai