SUKUK
SUKUK
1. Pengertian Obligasi
Obligasi berasal dari bahasa Belanda yaitu “Obligatie” yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan
“obligasi” yang berarti ‘kontrak’. Dalam Keputusan Presiden RI Nomor 775/KMK 001/1982
disebutkan bahwa obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari
masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan
menjanjikan imbalan bunga, yang jumlah serta saat pembayarannya telah ditentukan terlebih
dahulu oleh emiten atau Badan Pelaksana Pasar Modal (Abdul Manan:2010).[1]
Menurut Drs. Bambang Riyanto, obligasi merupakan suatu pengakuan hutang yang dikeluarkan oleh
pemerintah atau perusahaan atau lembaga-lembaga lain sebagai pihak yang berhutang yang
mempunyai nilai nominal tertentu dan kesanggupan untuk membayar bunga secara periodic atas
dasar persentase tertentu yang tetap.[2]
Sedangkan dalam buku pengantar ekonomi perusahaan, diberi batasan bahwa yang dimaksud
dengan obligasi adalah suatu surat tunda hutang yang dikeluarkan umumnya oleh perseroan
terbatas dan mendapat bunga setiap tahun sekalipun suatu perseroan tidak mendapatkan laba
dalam tahun tertentu, namun perusahaan harus membayar bunga bagi para pemegang obligasi.
Bunga ini besarnya sudah ditentukan terlebih dahulu dan dicantumkan dalam obligasi yang
bersangkutan.[3]
Dalam literatur lain, secara sederhana obligasi dapat diartikan dengan “suatu istilah yang digunakan
dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada
pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon
bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran.”[4]
Pengertian lainnya, obligasi atau bond, adalah surat hutang jangka panjang yang dikeluarkan oleh
emiten (peminjam) dapat berupa badan hukum/ perusahaan atau pemerintah yang memerlukan
dana untuk kebutuhan operasi maupun ekspansi mereka, dengan kewajiban untuk membayar
kepada bond holder(pemegang obligasi) sejumlah bunga tetap yang telah ditetapkan sebelumnya.
Investasi pada obligasi memiliki potensial keuntugan lebih besar dari pada produk
perbankan.Keuntugan berivestasi di obligasi adalah memperoleh bunga dan kemugkianan
adanya capital gain.[5]
Dari penjelasn di atas dapat disimpulkan bahwa obligasi adalah pinjaman uang untuk jangka waktu
yang panjang dengan dikeluarkannya surat pengakuan hutang oleh debitor yang mempunyai
nominal tertentu.
2. Pengertian Sukuk
Sukuk adalah salah satu efek[6]yang diperdagangkan di pasar modal saat ini. Baik di dunia
international maupun di tingkat nasional. Instrumen keuangan ini tumbuh pesat seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan instrumen keuangan konvensional lainnya.
Sukuk berasal dari kata “ ”صكوكbentuk jamak dari kata “ ”صكdalam bahasa Arab yang berarti cek
atau sertifikat, atau alat tukar yang sah selain uang.[7] Kata “sukuk” pertama kali diperkenalkan
kembali dan diajukan sebagai salah satu alat keuangan Islam pada rapat ulama fiqih sedunia yang
diselenggarakan oleh Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 2002. Secara singkat AAOIFI (The
Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions) mendefinisikan sukuk
sebagai sertifikat berniliai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu
asset, hak manfaat dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syariah,
dijelaskan obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikeluarkan oleh emiten[8] kepada investor (pemegang obligasi) yang mewajibkan emiten
untuk membayar pendapatan kepada investor berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali
dana investasi pada saat jatuh tempo.[9]
Pada prinsipnya sukuk mirip seperti obligasi konvensional dengan perbedaan pokok antara lain
berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi
pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan
sukuk dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrument keuangan ini aman dan
terbebas dari riba,gharar dan maysir.[10]
Sukuk dapat pula diartikan dengan efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang
bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan, yang paling tidak terbagi atas:
nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu; atau
kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu (Wikipedia Indonesia:2010)
Sementara itu, Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 memberikan definisi Sukuk sebagai
berikut : “Efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili
bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share) atas:
nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yaan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan
ada;
Sedangkan DR.Hussein Syahattah, pakar ekonomi syariah ternama di Mesir, menjelaskan mengenai
sukuk dalam makalahnya yang berjudul “Tasaaulat Haula as-Shukuk al Islamiyyah wal Ijaabah
‘Alaiha” (”Berbagai Pertanyaan Seputar Sukuk dan Jawabannya”), sebagai berikut:
“تقوم فكرة الصكوك اإلسالمية على المشاركة في تمويل مشروع أو عملية استثمارية متوسطة أو طويلة األجل وفقًا لقاعدة “الغُ ْنم
بالغُ ْرم” (المشاركة في الربح والخسارة) على منوال نظام األسهم في شركات المساهمة المعاصرة ونظام الوحدات االستثمارية في
وتتولى هذه الشركة إصدار الصكوك، ولها شخصية معنوية مستقلة،صناديق االستثمار؛ حيث تؤسس شركة مساهمة لهذا الغرض
ومن حق كل حامل صك المشاركة في رأس المال واإلدارة والتداول والهبة،الالزمة للتمويل وتطرحها لالكتتاب العام للمشاركين
”.واإلرث ونحو ذلك من المعامالت المالية
“Sukuk Islami berdiri di atas landasan musyarakah (kerja sama keterlibatan) dalam mendanai sebuah
proyek atau dapat juga dikatakan sebagai usaha investasi jangka menengah dan jangka panjang yang
sesuai dengan kaidah “al-ghunmu bil ghurmi” (keterlibatan yang sama dalam keuntungan dan
kerugian) dalam sistem saham di perusahaan-perusahaan saham modern dan dalam sistem unit
investasi di pasar-pasar investasi. Di mana perusahaan emiten merancang sistem penerbitan sukuk
yang mempunyai karakteristik tersendiri. Perusahaan emiten inilah yang bertanggung jawab dalam
penerbitan sukuk yang diperlukan untuk pembiayaan proyek dan melemparkan tawaran ke pasar
modal bagi para investor. Pemegang sukuk berhak untuk bermusyarakah dalam modal, pengelolaan,
distribusi, hibah, waris, dan lainnya yang berkaitan dengan muamalah maaliyah.”.
a. Landasan Al-Quran
Dalil mengenai obligasi dalan Al-Quran berkaitan dengan dalil umum pengharaman riba dikarenakan
dalam sistem obligasi konvensional pihak pemegang obligasi berhak mendapatkan bunga tetap
sebagai imbalan atas investasi yang telah dipercayakan kepada perusahaan. Diantaranya ayat Al-
Quran yang berbunyi:
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah ayat 275)
“Yahya meriwayatkan kepadaku (Imam Malik) dari Malik bahwa ia mendengar tanda terima atau
resit kwitansi (sukukun) dibagikan pada penduduk pada masa Marwan Ibn al-Hakam untuk barang-
barang yang berada di pasar al-jar. Penduduk membeli dan menjual kwitansi atau resit tersebut
diantara mereka sebelum mereka mengambil barangnya. Zayd Ibn Tsabit bersama seorang sahabat
Rasulullah Saw, pergi menghadap Marwan Ibn al-hakam dan berkata, “ Marwan! Apakah engkau
menghalalkan riba?” Ia menjawab, “ Naudzubillah! Apakah itu?” Ia berkata, “Resit-resit ini yang
dipergunakan penduduk untuk berjual-beli sebelum menerima barangnya. “Marwan kemudian
mengirim penjaga untuk mengikuti mereka dan mengambilnya dari penduduk kemudian
mengembalikannya pada pemilik asalnya.
Riwayat ini menunjukkan keharaman surat jaminan karena dua hal yaitu:
Apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam riwayat tersebut sesungguhnya adalah jual beli utang
yang diharamkan oleh Allah SAW dan Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits:
Nabi SAW melarang jual beli hutang dengan hutang (Diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitabnya
Mustadrak)
Mengandung unsur riba nasi’ah pada pertukaran (sarf) barang yang sejenis dengan penambahan
nilai.
Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
ع َلى
َ ض َها َ ق ِّإالَّ مِّ ثْالً ِّبمِّ ثْ ٍل َوالَ ت ُ ِّشفُّوا بَ ْع
ِّ َوالَ ت َ ِّب ْيعُوا ْال َو ِّرقَ ِّب ْال َو ِّر،ض
ٍ علَى بَ ْع َ ب ِّإالَّ مِّ ثْالً ِّبمِّ ثْ ٍل َوالَ ت ُ ِّشفُّ ْوا بَ ْع
َ ض َها ِّ َب ِّبالذَّ َه
َ الَ ت َ ِّب ْيعُوا الذَّه
ِّ َوالَ تَبِّ ْيعُوا مِّ ْن َها غَائِّبًا ِّبن،ض
.َاج ٍز ٍ بَ ْع
“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan
sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan
janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak
tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”
Sebagian besar ulama Islam kontemporer melarang jual beli obligasi konvensional dalam semua jenis
dan secara keseluruhan, serta menganggap bahwa hukumnya haram mutlak. Para ulama yang
berpendapat seperti itu ialah Syaikh Shaltut, Muhammad Yusuf Mussa, Syaikh Yusuf Qardawi, Abdul
Aziz al Kahiat, Ali al Salus, dan Saleh Marzuki dengan memberi petunjuk fiqih yang menjadi dasar
keluarnya fatwa larangan tersebut yaitu:
Obligasi konvensional yang dikeluarkan oleh perusahaan atau pemerintah dianggap sama seperti
utang yang di dalamnya terdapat bunga. Bunga ini bisa dikategorikan sebagai riba nasi’ah yang
diharamkan oleh Islam.
Utang obligasi sama dengan deposito yang disimpan dalam bank, dan hitungan bunga atas obligasi
dianggap sama dengan bunga deposito, walaupun uang dari obligasi itu bisa diinvestasikan secara
khusus setelah diserahkan kepada pihak yang mengeluarkan obligasi serta dijamin atas
pengembaliannya setelah jatuh tempo plus tambahnya (bunga). Cara ini dianggap sama saja dengan
utang yang dipakai untuk produksi yang dikenal di zaman jahiliah dan diharamkan oleh Al-Qur’an
dan Sunah.
يَاْاَيُّ َهااَّلَّ ِّذيْنَ َءا َمنُ ْوا ا َ ْوفُ ْوا بِّاْلعُقُ ْو ِّد
ًَوا َ ْوفُ ْوا ِّباْل َع ْه ِّد ا َِّّن اْل َع ْهدَ َكانَ َم ْسئ ُ ْوال
“……dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”(HR.Tirmidzi)
Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daruquthni, dan yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi
SAW bersabda:
Kaidah Fiqih:
“Hukum asal dalam adat/kebiasaan adalah boleh, kecuali apa-apa yang diharamkan oleh Allah.”
“Hukum asal muamalah itu adalah boleh kecuali jika ada dalil yang mengharamkan”
Pendapat Ulama
Fatwa Dewan Syari`ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Sukuk (Obligasi syari`ah) adalah
surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikelurkan emitten kepada
pemegang obligasi syariah, tersebut berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana
obligasi pada saat jatuh tempo.”
Karakteristik dan istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah sebelumnya yang memggunakan
istilahbond, dimana istilah bond mempunyai makna loan (hutang), dengan menambahkan Islamic
maka kontradiktif maknanya karena biasanya yang mendasari mekanisme hutang (loan)
adalah interest(bunga), sedangkan dalan Islam interest tersebut termasuk riba yang diharamkan.
Untuk itu sejak tahun 2007 istilah bond ditukar dengan istilah Sukuk sebagaimana disebutkan dalam
peraturanm di Bapepam LK.
Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf memberikan pandangan bahwa penjualan sesuatu/properti
yang belum diterima oleh si penjual namun sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat dicek
keberadaannya) adalah diperbolehkan. Maka dari sinilah pondasi instrument bernama sukuk di abad
modern ini bermula.
C. Perkembangan Sukuk
Sukuk sudah pakai sebagai salah satu alat pembayaran sejak awal islam dimana jatah (santunan
negara) atau gaji para pegawai negara kadangkala dibayar dengan memakai kertas tersebut. Dalam
sejarah disebutkan bahwa khalifah Umar Ibn al-Khatab adalah khalifah pertama yang
membuat shak dengan membubuhkan setempel dibawah kertas shak tersebut.
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang
mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA –
Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta
dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan global
corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul
di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim
hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai
contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS
dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada
Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar
AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Perkembangan dana keuangan Islam di berbagai lembaga keuangan islam seluruhnya mencapai US $
1.3 triliun yang dikelola lebih kurang 300 institusi lembaga keuangan disekitar 75 negara yang
tersebar dari London, New York dan Zurich hingga ke Timur Tengah, afrika dan Asia. Adapun pasar
keungan Islam diperkirakan berjumlah US$ 400 miliyar dengan tingkat perkembangan rata-rata 12%-
15%. Seperti yang dilaporkan oleh IIFM pada bulan september 2006, Negara-negara yang paling
maju dalam mengmbangkan keuangan Islam adlah Malysia, Kuwait, Saudi Arabia, United arab
Emirates (UEA). Kingdom of Bahrain, dan Qatar. Dimana negara-negara tersebut telah sampai pada
level peningkatan inovasi bisnis dan memiliki kemampuan ekpansi pasar yang berkelanjutan.
Negara-negara seperti Brunei, Indonesia, Afrika Selatan, Maroko, Turki, dan Pakistan sedang
berusaha mengjar pada level berikutnya, yaitu sebagai kompetitor dalam pengembangan dan
ekspansi pasar yang diterima masyarakat luas. Adapun negara-negara yang sedang untuk
mengembang kan keungan Islam adlah Syiria, Lebanon, Germany, USA, dan Singapore. Dan untuk
negara-negara china, India, Hongkong, dan Australia masih menanti dan mengamati peluang pasar.
Adapun perkirakan perkembangan keuangan Islam berikutnya akan lebih cepat, walaupun saat
ini market share masih relatif kecil. Perkembangan pasar sukuk global saat ini telah meningkat dan
cukup matang, hal ini dimulai dari kesadaran para investor dan penetiban sukuk untuk menggunakan
momentum peningkatan harga minyak wangi dewasa ini.
Adapun untuk katagori Sukuk Negara, maka yang terbesar adalah UEA yaitu 45%, kemudian
menyusul Bahrain 17%, dan Saudia Arabia 7%, Malaysia 6%. Saat jumlah Sukuk negara telah
mencapai 76 Sukuk dengan total jumlah US$ 1,2 Miliar (LMC, Juni 2007).
Di Indonesia payung hukum yang menjadi landasan penerbitan obligasi sukuk, adalah UU No. 19
tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah. Menurut perkembangan, pencarian format landasan
hukum penerbitan payung hukum tentang surat berharga syariah ini, sesunggunya telah mulai
proses panjang, yaitu sejak tahun 2003 ketika Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) menyuarakan penerbitan sukuk untuk menangkap peluang investasi sekaligus
perkembangan perekonomian syariah di Indonesia. DSN-MUI juga telah melontarkan ide
amandemen Undang-Undang Nomor 2002 tentang Surat Utang Negara tetapi ide ini juga kandas.
Pada tahun 2005, DSN-MUI kembali mengajukan usulan agar pemerintah segera mengeluarkan
Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah, usaha tersebut telah berhasil dengan
diterbitkannya Undang-Undang No. 19 tahun 2008 tersebut.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menerbitkan Obligasi PLN XII Tahun 2010 senilai maksimal Rp
2,5 triliun dan Sukuk Ijarah PLN V Tahun 2010 senilai maksimal Rp 500 miliar. Dana yang diperoleh
dari Penawaran Umum ini setelah dikurangi dengan biaya-biaya emisi seluruhnya akan digunakan
untuk mendanai kegiatan investasi jaringan distribusi tenaga listrik.
Berikut ini nama daftar perusahaan emitten sukuk di Indonesia 2012-2013 (masih berlaku,
sumber:http://www.sahamok.com):
Sebagai salah satu efek syariah sukuk memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi. Sukuk
bukan merupakan surat utang, melainkan bukti kepemilikan bersama atas suatu aset/proyek. Setiap
sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset yang dijadikan dasar penerbitan (underlying asset).
Klaim kepemilikan pada sukuk didasarkan pada aset/proyek yang spesifik. Penggunaan dana sukuk
harus digunakan untuk kegiatan usaha yang halal. Imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa
imbalan, bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam penerbitan
sukuk.[11]
Sedangkan dalam literatur lain disebutkan bahwa karakteristik sukuk adalah: (Depkeu:2010)
pendapatan berupa imbalan, marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan;
Aset yang dijadikan dasar sukuk dapat berwujud aset tetap, aset yang beredar, atau hak-hak
maknawiyah, dan sebagainya.
Peredaran sukuk harus melalui perantaraan sistem dan proses yang diperbolehkan secara syar’i dan
juga undang-undang. Di mana investor (pemegang sukuk) mempunyai hak untuk memindahkan
kepemilikan, menggadaikan, menghibahkan, dan transaksi keuangan melalui perusahaan perantara
atau badan lainnya yang mendapatkan izin sesuai undang-undang yang berlaku.
Sukuk Islami mempunyai sifat dasar keterlibatan yang sama dala keuntungan dan kerugian,
sebagaimana dalam saham.[12]
Menurut Hamidi: 2003, dalam harga penawaran, jatuh tempo, pokok obligasi saat jatuh tempo, dan
rating antara Sukuk dengan Obligasi Konvensional tidak ada bedanya. Perbedaan keduanya terdapat
pada pendapatan dan return, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:8) mengemukakan perbandingan kedua obligasi
tersebut di atas dengan memasukkan obligasi mudarabah dan obligasi ijarah sebagai berikut:
Jenis
Transaksi – Uncertainty Contract Certainty Contract
Harga
Penawaran 100% 100% 100%
Pokok
Obligasi saat
Jatuh Tempo 100% 100% 100%
Indikatif berdasarkan
Return Float/Tetap Pendapatan/Income Ditentukan sebelumnya
Fatwa Dewan
Syariah No. 33/DSN-
Nasional Tidak Ada MUI/IX/2002 No: 41/DSN-MUI/III/2004
Departemen Keuangan (2010) mengemukakan perbedaan obligasi dan sukuk sebagai berikut:
Penggunaan hasil
penerbitan Harus sesuai syariah bebas
Adam & Thomas (2004), halaman 54, menjelaskan perbedaan antara obligasi, sukuk, dan saham,
sebagai berikut:
Selain itu, untuk mempertegas perbedaan keduanya, dapat dilihat dalam pelaksanaanya, yaitu
haruslah sesuai dengan prinsip syariah. Sapto Raharjo, 2003; 144-145, mengemukakan bahwa secara
umum, ketentuan mekanisme mengenai obligasi syariah adalah sebagai berikut:
Sukuk haruslah berdasarkan konsep syariah yang hanya memberikan pendapatan kepada pemegang
obligasi dalam bentuk bagi hasi atau revenue sharing serta pembayaran utang pokok pada saat jatuh
tempo.
Sukuk mudarabah yang diterbitkan harus berdasarkan pada bentuk pembagian hasil keuntungan
yang telah disepakati sebelumnya serta pendapatan yang diterima harus bersih dari unsure non-
halal.
Nisbah (rasio bagi hasil) harus ditentukan sesuai kesepakatan sebelum penerbitan obligasi tersebut.
Pembagian pendapatan dapat dilakukan secara periodik atau sesuai ketentuan bersama, dan pada
saat jatuh tempo hal itu diperhitungkan secara keseluruhan.
Sistem pengawasan aspek syariah dilakukan oleh DPS atau oleh Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh
Dewan Syariah Nasional MUI.
Apabila perusahaan penerbit obligasi melakukan kelalaian atau melanggar syarat perjanjian, wajib
dilakukan pengembalian dana investor dan harus dibuat surat pengakuan utang.
Apabila emiten berbuat kelalaian atau cedera janji, maka pihak investor dapat menarik dananya.
Hak kepemilikan sukuk mudarabah dapat dipindahtangankan kepada pihak lain sesuai kesepakatan
akad perjanjian.[13]
a. Berdasarkan penerbitan
b. Berdasarkan Jaminan
Collateralized mortage atau obligasi yang dijamin pool of mortage atau portofolio mortage-
backed securities.
Fixed rate, obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap sejak diterbitkan hingga jatuh tempo
Floating rate, obligasi yang tingkat bunganya mengikuti tingkat kupon yang berlaku di pasar
Mixed rate, obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap untuk periode tertentu.
Berdasarkat peringkatnya
Freely callable bond, obligasi yang dapat ditarik kembali oleh penerbitnya setiap waktu sebelum
masa jatuh tempo
Non-callable bond, setelah obligasi diterbitkan dan terjual,tidak dapat dibeli atau ditarik kembali
oleh penerbitnya sebelum obligasi tersebut jatuh tempo.
Deffered callable bond adalah kombinasi antara Freely callable bonddengan Non-callable bond.
g. Berdasarkan konversi
Convertible bond, obligasi yang dapat ditukarkan saham setelah jangka waktu tertentu.
Income bond, obligasi yang membayarkan kupon jika emiten penerbitnya mendapatkan laba.
Guaranteed boond, obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan cabang tetapi tidak didukung oleh
perusahaan induk.
Participating bond, obligasi yang memiliki hak menerima atas laba selain penghasilan bunga
secara periodic.
Inflation Index bond, atau disebut juga treasury inflation protection securities (TIPS), obligasi yang
nilai nominalnya (principal) selalu disesuaikan dengan tingkat inflasi yang sedang berlaku.
Berbagai jenis struktur sukuk yang dikenal secara internasional dan telah mendapatkan
endorsement dari The Acounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institusions (AAOIFI)
dan diadopsi dalam UUNo.19 Tahun 2008 tentang SBSN, antara lain:[15]
Sukuk ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad ijarah, yang satu pihak
bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak guna (manfaat) suatu aset
kepada pihak lain berdasarkan harga sewa dan periode sewa yang disepakati tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sukuk ijarah dibedakan menjadi Ijarah al-Muntahiyah
Bittamlik (Sale and Lease Back) dan Ijarah Headlease and Sublease.
Untuk lebih jelasnya lihat skim ijarah berikut (MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:9):
Contoh skim ijarah bisa dilihat pada penerbitan obligasi ijarah Matahari Departemen Store.
Perusahaan ritel ini mengeluarkan obligasi ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk
menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah. Matahari bertindak sebagai wakil untuk
melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha
yang disewa adalah Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari
sesuai dengan akad wakalah, yang atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa
(fee ijarah) dan pokok dana obligasi. Fee ijarahdibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi
dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun (MI. Sigit
Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:9).
Sukuk mudarabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad mudarabah yang
merupakan satu bentuk kerjasama, yang satu pihak menyediakan modal (rabb al-mal) dan pihak lain
menyediakan tenaga dan keahlian (mudarib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi
berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung
sepenuhnya oleh pihak penyedia modal.
Untuk lebih jelasnya lihat skim mudarabah berikut MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:9):
Sebagai contoh, Berlian Laju Tanker telah menerbitkan obligasi mudarabah senilai Rp 100 miliar.
Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan
(34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES dan KSEI ini memperoleh keuntungan
dari bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau
kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun
sesuai pendapatan (MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:9).
Sukuk istishna’, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istishna’ yang
merupakan suatu bentuk perjanjian jual beli antara para pihak untuk pembiayaan suatu proyek.
Adapun cara, jangka waktu, dan harga ditentukan oleh berdasarkan kesepakatan para pihak.
Jenis sukuk berdasarkan Standar Syariah AAOIFI No.17 tentang Investment Sukuk, terdiri dari :
Sertifikat kepemilikan atas manfaat, yang terbagi menjadi 4 (empat) tipe : Sertifikat kepemilikan atas
manfaat aset yang telah ada, Sertifikat kepemilikan atas manfaat aset di masa depan, sertifikat
kepemilikan atas jasa pihak tertentu dan Sertifikat kepemilikan atas jasa di masa depan.
Sertifikat salam.
Sertifikat istishna.
Sertifikat murabahah.
Sertifikat musyarakah.
Sertifikat muzara’a.
Sertifikat musaqa.
Sertifikat mugharasa.
Sementara itu Academy for International Modern Studies (AIMS) mengklasifikasikan jenis
sukuk: Sukuk mudharabah, sukuk musyarakah, sukuk ijarah, sukuk murabahah, sukuk salam, sukuk
istishna, sukuk hybrid.
Di samping itu, AIMS juga membagi sukuk menjadi empat kelompok berdasarkan aset atau proyek
yang menjadi dasar transaksinya, sebagai berikut:
Sukuk yang mewakili kepemilikan pada aset berwujud (sebagian besar berupa transaksi sale and
lease back atau direct lease);
Sukuk yang mewakili kemanfaatan atau jasa (mendasarkan pada transaksi sub lease atau penjualan
jasa/sale of service);
Sukuk yang mewakili bagian ekuitas dalam usaha atau portofolio investasi tertentu (berdasarkan
akad musyarakah atau mudharabah);
Sukuk yang mewakili piutang atau barang yang diterima di masa depan (berdasarkan murabahah,
salam, atau istishna).
Atas dasar proyek atau aset yang mendasarinya tersebut di atas, sukuk dapat juga dikelompokkan
menjadi dua yaitu sukuk yang dapat diperdagangkan dan sukuk yang tidak dapat diperdagangkan.
Sukuk yang dapat diperdagangkan (tradable sukuk) adalah sukuk yang mewakili aset berwujud atau
porsi kepemilikan dari usaha atau portofolio investasi tertentu. Contohnya : sukuk ijarah, sukuk
mudharabah, atau sukuk musyarakah. Sementara sukuk yang mewakili piutang dalam bentuk uang
maupun barang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable sukuk). Contohnya : sukuk salam, sukuk
istishna, atau sukuk murabahah.
MI.Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:8) mengemukakan paling tidak terdapat enam akad
penting yang dapat menjadi basis pengembangan obligasi syariah. Empat di antaranya telah
disebutkan di atas (yaitu akad ijarah, mudarabah, musyarakah, dan istishna’), dua yang lainnya
adalah 1) murabahah yaitu akad jual beli barang yang pembeli dapat membayar harga barang yang
disepakati pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati, penjual dapat menambah marjin pada
harga pokok barang yang dijual tersebut; dan 2) salam yang merupakan kontrak jual beli barang
dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Bab XXV, Pasal 605 (Suyud Margono dkk., 2009: 136)
disebutkan bahwa “penerbitan obligasi dapat digunakan antara lain dalam
transaksi: a.mudarabah/muqaradah; b. qirad; c. musyarakah; d. murabahah; e. salam; f. istishna’;
dan g.ijarah.”
Ketentuan di atas sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang
Obligasi Syariah. Dalam ketentuan khusus fatwa tersebut nomor 1 disebutkan bahwa “Akad yang
dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain: a. mudarabah (muqaradah)/ qirad;
b.musyarakah; c. murabahah; d. salam; e. istishna’; f. ijarah.”
Sukuk Mudharabah Konversi, yaitu sukuk mudharabah dengan opsi investor dapat mengkonversi
sukuk menjadi saham emitten pada saat jatuh tempo (maturity).
Sukuk Korporasi, yaitu jenis sukuk yang diterbitkan suatu perusahaan yang memenuhi prinsip
syariah.
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Sukuk Negara Ritel. SBSN atau dapat disebut sukuk
Negara, adalah surat berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti
atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Menurut fatwa DSN No. 69/DSN-MUI/VI/2008, Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut
Sukuk Negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai
bukti atas bagian ( ) حصةkepemilikan aset.
Sedangkan Sukuk Negara Ritel adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip-
prinsip syariah yang diperuntukkan bagi investor individu warga negara Indonesia. Sukuk Negara
Ritel diterbitkan dalam bentuk tanpa warkat (scripless), namun kepada para investor akan diberikan
Surat Bukti Kepemilikan.
Dalam UU No 19/2008 dikatakan bahwa underlying aset adalah aset SBSN, dimana aset SBSN adalah
obyek pembiayaan SBSN dan/atau barang milik negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis, berupa
tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka penerbitan
SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN. Adapun yang dimaksud barang milik negara adalah
semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN) atau berasal dari perolehan lain yang sah.
Tujuan utama pemerintah menerbitkan sukuk negara adalah untuk membiayai APBN, termasuk
membiayai pembangunan proyek. Sebagaimana disebutkan pada pasal 4 UU SBSN bahwa tujuan
SBSN diterbitkan adalah untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk
membiayai pembangunan proyek. Proyek yang dapat dibiayai dengan sukuk negara adalah sektor
energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan, perumahan. Adapun
manfaat dari penerbitan sukuk ini antara lain adalah:
a. Hanya hak manfaat atas aset SBSN yang dijual/disewakan kepada SPV yang dibentuk
Pemerintah berdasarkan UU No. 19 tahun 2008.
b. Tidak ada pemindahan hak kepemilikan (legal title) BMN (Barang Milik Negara).
c. Tidak ada pengalihan fisik BMN, sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas
kepemerintahan.
Saat jatuh tempo Sukuk Negara atau terjadi default (gagal bayar), BMN tetap dikuasai pemerintah
berdasarkan purchase & sale undertaking agreement. DPR memberikan persetujuan atas jumlah
SBSN/Sukuk Negara yang diterbitkan dan atas jumlah aset SBSN yang dipergunakan dalam
penerbitan Sukuk Negara dimaksud.
Sukuk sebagai salah satu instrument investasi yang beredar di pasar modal perlu diatur sedemikian
rupa dengan batasan dan aturan syariah (dhawabith syar’iyyah) yang ketat, baik aturan yang
mengikat secara umum, maupun aturan yang mengikat secara khusus tergantung jenis akad yang
dipilih dalam penerbitan sukuk, oleh karena itu Majma’ Fiqh al-Islami no.5 tahun 1988 tentang
aturan-aturan sukuk, yaitu:
Dhabith (aturan) 1: Sukuk harus mewakili kepemilikan atas suatu bagian yang tidak dapat dibagi
(dipisahkan) dari suatu proyek yang dilakukan emitten (penerbit sukuk), baik untuk membangun
proyek tersebut, atau untuk mendanainya. Dan kepemilikan itu terus berlaku selama proyek
berlangsung hingga akhir masa proyek. Konsekuensi dari kepemilikan ini adalah si pemegang sukuk
(investor) berhak atas seluruh hak yang disepakati dan berhak melakukan transaksi yang sesuai
dengan syariah mengingat sukuk dapat mewakili aset-aset proyek baik yang nyata (berwujud)
ataupun maknawiyah.
Dhabith (aturan) 2 : Adanya akad dalam sukuk, dengan landasan; syarat-syarat akad ditentukan pada
awal ketika sukuk diterbitkan dalam draft syarat dari penerbit/perjanjian perwaliamanatan
sukuk(nusyrah ishdar); ijab terjadi melalui proses penawaran sukuk ke pasar modal (al-iktitab), dan
qabul terjadi dengan ada persetujuan dengan pihak emitten penerbit sukuk (al-muwafaqah). Kecuali
jika saat kesepakatan awal mengatakan bahwa itu adalah ijab, maka itu menjadi ijab, dan proses
penawaran adalah qabul-nya. [16]Di dalam draft syarat penerbitan saat awal penerbitan sukuk
(perjanjian perwaliamanatan sukuk) harus terkandung di dalamnya seluruh penjelasan yang harus
dilengkapi sesuai syariah yang menggambarakan sukuk tersebut; baik itu penjelasan mengenai
besaran modal pokok, pembagian keuntungan (bagi hasil), serta menjelaskan syarat-syarat khusus
terkait penerbitan sukuk tersebut, dan tentunya seluruh syarat tersebut harus sesuai dengan
hukum-hukum syariah.
Dhabith (aturan) 3: Sukuk haruslah bisa diterima sebagai alat transaksi/beredar setelah selesai masa
penawaran sukuk di pasar perdana – dengan catatan bahwa hal itu diizinkan oleh pihak yang
bersekutu—dengan memperhatikan syarat-syarat berikut:
Jika underlying asset merupakan sebuah proyek sosial setelah pencatatan, dam sebelum proses
pengerjaan proyek masih berupa uang, maka perputaran sukuk dianggap sebagai pertukaran uang
dengan uang, maka berlakulah hukum sharf. Yaitu, adanya serah terima langsung di tempat akad
sebelum berpisah, tidak ada khiyar, kesetaraan (sama jumlah); sebagaimana jual beli uang yang
sama jenisnya, yakni patokannya adalah nilai nominal yang dibayarkan, jika sukuk tersebut
diperjualbelikan maka tidak boleh ada nilai tambah atau kurang. [17]
Dalil: Hadits Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari
‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w. bersabda:
ْاختَلَفَت ْ فَإِّذَا،ٍ يَدًا بِّيَد، ٍس َواء َ ِّس َوا ًء ب َ ،ح مِّ ثْالً بِّمِّ ثْ ٍل
ِّ ِّير َوالت َّ ْم ُر بِّالتَّ ْم ِّر َو ْالمِّ ْل ُح بِّ ْالمِّ ْل
ِّ شعَّ ِّير بِّال
ُ شع َّ ض ِّة َو ْالب ُُّر بِّ ْالب ُِّر َوال
َّ ضةُ بِّ ْال ِّف
َّ ب َو ْال ِّف
ِّ الذَّهَبُ بِّالذَّ َه
َ َ ُ ْ
.ٍْف ِّشئت ْم إِّذا كانَ يَدًا بِّيَد َ َ
َ َاف فبِّ ْيعُ ْوا كي ُ صن َ ْ
ْ َه ِّذ ِّه األ
“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma
dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika
jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
Jika underlying asset berupa utang, maka dalam peredaran sukuk harus menerapkan hukum
bermuamalah dengan utang. [18]
Nabi SAW melarang jual beli hutang dengan hutang (Diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitabnya
Mustadrak)
Jika underlying asset berupa berbagai wujud yang bercampur baur yang mencakup uang, utang, aset
berwujud, aset manfaat; maka peredaran sukuk boleh sesuai dengan harga yang disepakati dengan
saling ridha antara investor dengan obligor. Kondisi yang sering terjadi adalah campuran antara aset
berwujud dengan aset manfaat. [19]
Perlu juga memperhatikan syarat-syarat berikut dalam pembuatan draft syarat penerbitan sukuk
(perjanjian perwaliamanatan sukuk): yaitu bentuk (shigah) akad yang dipakai harus memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syaratnya; serta tidak mengandung syarat yang bertentangan dengannya,
diantaranya:
Harus dituliskan dalam perjanjian tersebut siap berkomitmen terhadap hukum prinsip syariah Islam,
serta dengan dibentuknya/adanya Dewan Pengawas Syariah yang mengawasi setiap proses.
2. Harus disebutkan pembatasan zona investasi dan menentukan jenis akad pembiayaan yang
dipakai dalam penerbitan sukuk tersebut, apakah ijarah, mudharabah, musyarakah, murabahah,
salam, atau muzara’ah.
3. Tidak boleh mencantumkan jaminan terhadap bagian aset peserta (investor) tertentu, atau
jaminan dari keterpotongan keuntungan, atau segala sesuatu yang dikaitkan dengan modal pokok;
karena dengan adanya pencantuman demikian akan membatalkan syarat dhaman. [20]
4. Tidak boleh dicantumkan dalam perjanjian tersebut syarat bahwa salah satu peserta (investor)
harus menjual bagiannya, meskipun syarat tersebut mu’allaq (bersyarat) atau diidhafahkan dengan
masa yang akan datang. Yang diperbolehkan hanyalah janji penjualan (wa’d lil ba’i), dengan kondisi
tersebut jual beli tidak sempurna tanpa sempurnanya akad, dan dengan nilai besaran yang
disepakati keduabelah pihak dan juga dinilai pantas oleh para pakar.
Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
a. Tidak boleh mensyaratkan besaran jumlah tertentu (nilai tetap) bagi pihak pemegang sukuk,
atau bagi pihak penyelenggara proyek (emitten).
b. Bagian yang dibagi adalah keuntungan sesuai dengan makna syariah, yakni “kelebihan dari
modal pokok”, bukan al-iiraad atau al-ghullah.
c. Penghitungan keuntungan dan kerugian haruslah diberitahukan kepada investor atau di bawah
pengawasannya.
6. Pembagian hak atas keuntungan haruslah dilakukan secara nyata, yaitu dengan cara dibagikan.
Hanzhalah Ibnu Qais Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rafi’ Ibnu Khadij tentang
menyewakan tanah dengan emas dan perak. Ia berkata: Tidak apa-apa. Orang-orang pada
zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyewakan tanah dengan imbalan pepohonan
yang tumbuh di tempat perjalanan air, pangkal-pangkal parit, dan aneka tumbuhan. Lalu dari
tetumbuhan itu ada yang hancur dan ada yang selamat, sedang orang-orang tidak mempunyai
sewaan lainnya kecuali ini. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang hal itu.
Adapun imbalan dengan barang yang nyata dan terjamin, maka tidak apa-apa. Riwayat Muslim.
Merujuk kepada fatwa-fatwa DSN yang berkaitan dengan sukuk, beberapa prisnip yang wajib
diterapkan dalam sukuk diantaranya:
Akad-akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain
akad Mudharabah,Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna, dan Ijarah. Pendapatan (hasil) investasi
yang dibagikan Emiten kepada pemegang sukuk harus bersih dari unsur non halal.
(Fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002tentang Obligasi Syariah).
Nisbah keuntungan bagi hasil dalam sukuk mudharabah harus ditentukan sesuai kesepakatan
sebelum penerbitan sukuk. Selanjutnya, pembagian pendapatan (hasil) dapat dilakukan secara
periodik sesuai kesepakatan, dengan demikian pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara
keseluruhan.(Fatwa DSN No.33)
أ َ ْو زَ ْرعٍ ) ُمت َّ َف ٌق,َط ِّر َما يَ ْخ ُر ُج مِّ ْن َها مِّ ْن ث َ َم ٍرْ عا َم َل أ َ ْه َل َخ ْيبَ َر بِّش
َ َّللاِّ صلى هللا عليه وسلم َّ َ سو َل ُ ; ( أ َ َّن َر-ع ْن ُه َما َّ َ ي
َ َُّللا َ ض ُ ع ْن اِّب ِّْن
ِّ َر- ع َم َر َ
َُّللاِّ صلى هللا عليه وسلم ( نُق ُِّّرك ْم ََّ سو ُل َ َ َ َّ
ُ فقا َل ل ُه ْم َر,ف الث َم ِّر َ ُ ص َ َ
ْ ع َمل َها َول ُه ْم ِّن ُ ْ ْ َ َ
َ على أن يَكفوا ُ ْ َ ُ َ
َ سألوا أن يُق َِّّره ْم بِّ َها َ َ َ
َ ف: َوفِّي ِّر َوايَ ٍة ل ُه َما.ِّعل ْيهَ
) ع َم ُر ُ َحتَّى أَجْ َال ُه ْم, فَقَ ُّروا ِّب َها,علَى ذَلِّكَ َما ِّشئْنَا َ ِّب َها
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah
mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-
buahan dan tanaman. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim: Mereka meminta
beliau menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan memperoleh setengah dari hasil
kurma, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Kami tetapkan kalian dengan
ketentuan seperti itu selama kami menghendaki.” Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu
samapi Umar mengusir mereka.
Memerlukan underlying asset; sehingga tidak masuk ke dalam pengharaman jual beli utang atau jual
beli hal yang tidak dimiliki.
Telah mengabarkan kepada kami ‘Amru bin Ali dan Humaid bin Mas’adah dari Yazid, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Ayyub dari ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal jual beli dengan syarat diberi hutang,
serta dua syarat dalam jual beli serta menjual apa yang tidak kamu miliki.” (HR Nasa’i).
Jenis usaha yang dilakukan Emiten (mudarib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan
memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman
Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu Mas”ud -rodhiyallahu “anhu- telah
melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun.” Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam kitab al-Buyu”
Sementara itu, larangan terhadap kegiatan yang mengandung maysir dapat ditemukan pada QS Al-
Maidah: 90
يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر واألنصاب واألزالم رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Sistem pengawasan aspek syariah dilakukan oleh DPS atau oleh Tim Ahli syariah yang ditunjuk oleh
Dewan Syariah Nasional MUI.
Apabila perusahaan penerbit sukuk melakukan kelalaian atau melanggar syarat perjanjian, wajib
dilakukan pengembalian dana investor dan harus dibuat surat pengakuan utang.
Apabila Emiten berbuat kelalaian atau cedera janji, maka pihak investor dapat menarik dananya.
Hak kepemilikan obligasi syariah mudarabah dapat dipindahtangankan kepada pihak lain sesuai
kesepakatan akad perjanjian.
Pembiayaan hanya untuk suatu transaksi atau suatu kegiatan usaha yang spesifik, dimana harus
dapat diadakan pembukuan yang terpisah untuk menentukan manfaat yang timbul.
Hasil investasi yang diterima pemilik dana merupakan fungsi dari manfaat yang diterima perusahaan
dari dana hasil penjualan obligasi, bukan dari kegiatan usaha yang lain.
Tidak boleh memberikan jaminan hasil usaha yang semata-mata merupakan fungsi waktu dari uang
(time value of money).
Obligasi tidak dapat dipakai untuk menggantikan hutang yang sudah ada (bay al dayn bi al dayn).
Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, ada beberapa kriteria persyaratan yang harus dipenuhi oleh
emiten, yaitu:
Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-
MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan
syariah Islam di antaranya adalah:{(i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau
perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan
dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan
makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan
barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat}
Peringkat Investment Grade: {(i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental
keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi public.}
Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII).
Objeknya dapat berupa barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerah, harta perdagangan) maupun
berupa jasa
Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.
Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa/upah
Pemakaian manfaat harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga
Dalam mekanisme penerbitan obligasi terdapat beberapa pihak yang terlibat sebagai aktor utama
terwujudnya pelaksanaan kegiatan transaksi jual beli. Untuk itu perlu melihat beberapa pihak yang
terlibat dan bagaimana perannya.[21]
Emiten: emiten (issuer) adalah pihak yang menerbitkan atau mengeluarkan obligasi/sukuk dengan
tujuan untuk mendapatkan dana. Yang dapat menjadi emiten adalah perusahaan BUMD, BUMN,
Pemerintah Daerah. Secara sederhana emiten dapat disebut juga sebagai pihak yang membutuhkan
dana..
Penjamin Emisi (Underwriter) adalah perusahaan yang melakukan penjualan obligasi/sukuk. Pada
dasarnya penjamin merupakan mediator antara emiten dengan pemodal. Apabila obligasi tidak
terjual maka penjamin emisi bertanggug jawab untuk membeli semua sisa obligasi sesuai dengan
perjanjian-perjanjian emisi yang sudah disepakati
Wali amanat (trustee) adalah pihak yang dirujuk oleh emiten, tetapi tidak mewakili kepentingan
pemegang obligasi. Wali amanat adalah satu pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek yang
bersifat untung, baik dalam pengadilan maupun diluar pengadilan yang dapat bertindak sebagai wali
amanat adalah baik lembaga keuangan, bukan keuangan atau lembaga lain yang mendapat
persetujuan dari BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal).
Penanggung, jasa penanggung (Guarantor) diperlukan apabila suatu pihak menerbitkan obligasi.
Tujuannya adalah untuk menjamin pelunasan seluruh pinjaman pokok beserta bunga, apabila
ternyata dikemudian hari emiten tidak mampu membayar atau wanprestasi biasanya jasa
pertanggungan ini dilaksanakan oleh bank atau lembaga keuangan bukan bank yang mempunyai
reputasi sangat baik.
Lembaga kliring, lembaga ini berfungsi menyelesaikan semua hak-hak dan kewajiban yang timbul
dari transaksi di bursa efek. Lembaga kliring dapat juga bertindak sebagai agen pembayaran atas
transaksi jual beli obligasi. Umumnya yang ditunjuk sebagai lembaga kliring adalah bank. Bank
bertugas membayar bunga dan pinjaman pokok atas obligasi namun keterlibatannya hanya setelah
obligasi masuk di bursa efek atau di pasar sekunder.
Akuntan Publik, merupakan profesi penunjang pasar modal yang berfunsi memeriksa kondisi
keuangan emiten serta memberikan pendapatannya tentang kelayakan emiten dalam penerbitan
obligasi.
Obligor, adalah pihak yang bertanggungjawab atas pem- bayaran imbalan dan nilai nominal sukuk
yang diterbitkan sampai dengan sukuk jatuh tempo.
Special Purpose Vehicle (SPV) adalah badan hukum yang didirikan khusus untuk penerbitan sukuk
dengan fungsi: (i)sebagai penerbit sukuk, (ii)menjadi counterpart Pemerintah dalam transaksi
pengalihan aset, (iii)bertindak sebagai wali amanat (trustee) untuk mewakili kepentingan investor.
Investor, adalah pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, marjin, dan nilai nominal sukuk
sesuai partisipasi masing-masing.[22]
Penerbitan obligasi syariah pada prinsinpnya tidak jauh berbeda dengan obligasi konvensioal.
Adapun langkah-langkanya sebagai berikut:[23]
Emiten (obligor) menyerahkan dokumen yang diperlukan untuk penerbitan obligasi syari’ah
kepadaunderwriter (wakil dari emitten)
Bila investor tertarik, maka akan menyerahkan dananya kepada emitten melalui underwriter
Emitten akan membayarkan bagi hasil dan pembayaran pokok kepada investor.
Meskipun sukuk telah dihalalkan oleh MUI dan juga di kancah internasional, namun pada tataran
praktek ada beberapa permasalahan yang timbul yang bila tidak dicermati secara jeli akan
mempengaruhi kehalalan sukuk, diantaranya:
Tingkat return pada sebagian besar sukuk secara pasti disetujui di awal bahkan tanpa provisi
tertentu untuk jaminan pihak ketiga. Beberapa sukuk yang diterbitkan menjadi sasaran kritikan
tajam disebabkan karena keterlibatannya dari bay’ al-inah, bay’ al-dayn dan sifat-sifat landasan non-
syariah yang membuat sukuk sama dengan obligasi berdasarkan buka. Bay’ al-inah merupakan
penjualan dua kali di mana pinjam dan orang yang meminjam menjual dan kemudian menjual
kembali suatu objek di antara mereka sekali untuk tujuan memperoleh uang tunai dan sekali lagi
untuk tujuan harga yang lebih tinggi berdasarkan kredit, dengan hasil bersih dari suatu pinjaman
dengan bunga.
Menurut aturan syariah, pemegang sukuk secara bersama memiliki resiko terhadap harga aset dan
biaya-biaya yang terkait dengan kepemilikan dan bagian dari uang sewanya dengan melakukan sewa
pada pengguna tertentu.
ü Bay’ al Dayn
Perdagangan pasar sekunder untuk sekuritas Islam dimungkinkan melalui bay’ al-dayn sebagaimana
berbagai kasus di Malaysia yang didasarkan pada sukuk. Akan tetapi, kebanyakan ulama tidak
menerima keadaan ini karena utang yang diwakili oleh sukuk didukung oleh aset-aset utama.
Walaupun begitu, ahli-ahli hukum muslim klasik dengan suara bulat menyatakan bahwa bay’al-
dayn dengan diskon tidak diperbolehkan dalam syariah.
“Keuangan syariah yang selama ini dipercaya kokoh dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap
krisis ekonomi, mulai dipertanyakan keabsahannya. Paling tidak karena tiga indikasi yang sekarang
ini mulai tampak di luar negeri. Pertama, munculnya penerbit sukuk yang gagal bayar. Kedua,
menurunnya nilai aset perusahaan keuangan syariah karena turunnya nilai pasar surat berharga
yang dimilikinya. Ketiga, mulai meningkatnya pembiayaan bermasalah.
Dilihat dari sisi risiko, investor pada asset-based sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang
sama dengan memberikan utang tanpa jaminan (unsecured). Sedangkan investor pada asset-
backed sukuk mempunyai hak tagih atas aset riil yang telah dipisahkan kepemilikannya, walaupun di
beberapa Negara hak tagih atas aset riil ini bukan berarti hak atas aset riil itu sendiri.
Secara lebih spesifik, struktur sukuk dengan akad ijarah mausufah bi dzimmah yaitu akad sewa
dimana barang yang akan disewakan belum wujud tentu mengandung risiko yang lebih besar
daripada sukuk dengan akad ijarah yaitu akad sewa yang barangnya telah wujud.
Secara syariah kedua jenis sukuk ijarah ini sama-sama memenuhi prinsip syariah, namun secara
risiko berbeda. Dalam sukuk ijarah yang barangnya masih akan diwujudkan tentu ada tambahan
risiko yaitu gagal-serah atau gagal-pakai barang yang menjadi objek sukuk. Bila dalam kontraknya
risiko ini tidak diantisipasi dan dilindungi maka risiko investor sebenarnya sama dengan utang tanpa
jaminan (unsecured). Sedangkan dalam sukuk yang barangnya telah wujud, risiko ini tidak ada.
Disinilah peran penting regulator dan lembaga fatwa dalam menerbitkan aturan main. Tidak saja
diperlukan pemenuhan aspek syariah secara formal-prosedural, namun jauh lebih penting lagi
diperlukan kearif-bijaksanaan dalam menyusun regulasi dan fatwa bagi industri keuangan syariah.
Produk keuangan syariah yang sophisticated hanya layak dijual kepada investor
yang sophisticated pula. Hanya produk keuangan syariah yang sederhana boleh dijual kepada
investor yang sederhana pula. Sehingga diperlukan aturan yang mendefinisikan siapa investor
yang sophisticated dan siapa investor yang sederhana, juga apa yang dimaksud produk
yang sophisticated dan produk yang sederhana. Logikanya, definisi ini akan berbeda dari satu
Negara ke Negara lain karena perbedaan tingkat pemahaman dan perkembangan industrinya. Itu
sebabnya pula ide untuk saling-mengakui (mutual recognition) regulasi dan fatwa tanpa penyesuaian
kondisi masing-masing Negara, tidak memenuhi kriteria kearif-bijaksanaan.
Dalam ilmu fiqih, misalnya, ketika terjadi jual-beli kacang tanah yang belum dipanen juga
membedakan antara transaksi diantara orang yang mempunyai keahlian dengan transaksi diantara
orang awam. Secara umum, bila transaksinya antara orang awam, fiqih melarang jual-beli kacang
tanah ini karena kuantitas dan kualitasnya tidak diketahui. Sehingga dikawatirkan jual-beli semacam
ini akan menimbulkan gharar (ketidak-pastian), oleh karenanya transaksi ini dilarang. Mereka inilah
yang disebut pedagang sederhana.
Namun bila transaksinya dilakukan diantara orang yang mempunyai keahlian dalam menaksir
kualitas dan kuantitas kacang tanah, maka transaksi ini dibolehkan. Biasanya si pembeli diberi
kesempatan untuk mengambil contoh kacang tanah dibeberapa tempat di lahan yang akan dipanen,
kemudian mereka mulai melakukan tawar menawar. Kacang tetap segar didalam tanah, transaksi
dapat dilakukan. Mereka inilah yang disebut sophisticated traders.
Fiqih yang dikembangkan ratusan tahun oleh sekian banyak ulama yang berusaha memberikan
kearif-bijaksanaan lokal dalam menafsirkan ketentuan syariah, merupakan warisan yang tidak
ternilai bagi kita yang hidup di jaman ini. Selalu terasa ruh dalam fatwa-fatwa mereka. Ruh kearif-
bijaksanaan, ruh maqasid syariah, ruh kebenaran hakiki.
Tanpa ruh ini, keuangan syariah akan terasa hambar bagaikan masakan tanpa garam. Formal-
prosedural memang memenuhi prinsip syariah, namun kesyariahannya tidak dirasakan oleh
masyarakat.
Indonesia merupakan harapan besar dunia untuk menampilkan keuangan syariah yang benar-benar
terasa ruhnya. Selama ini, Indonesia lebih memilih mazhab berhati-hati daripada mazhab
pertumbuhan. Mengecilkan peran ulama, apalagi mengerdilkan peran ulama dalam membangun
industri keuangan dan perbankan syariah hanya akan menghasilkan industri keuangan dan
perbankan syariah tanpa ruh.
Latarbelakang Masalah
Dimasa dewasa ini banyak dari kalangan masyarakat yang menjalankan kegiatan inventasi. Dalam
kegiatan investasi tersebut pada umumnya dikoordinasikan oleh suatu lembaga, yaitu bursa efek,
yang mana dalam kegiatannya selalu diawasi oleh BAPEPAM. Dalam kegiatan investasi tersebut,
sebagaimana yang kita ketahui bersama pada pasar modal terdapat beberapa instrument investasi
yang sering digunakan sebagai alternatifi kegiatan investasi ini, yaitu Saham dan Obligasi.
Secara global, bagi orang-orang yang tak mementingkan unsur halal dan haram (Konvensional)
tidaklah ada masalah dalam menjalankan kegiatan investasi ini. Namun, bagi kita kaum muslim tentu
menjalankan suatu usaha ataupun kegiatan bisnis harus mempertimbangkan halal dan haramnya,
sesuai dengan yang telah diatur dalam hukum Syara’ diantaranya dalam kegiatan tersebut harus
terhindar dari unsur Riba, Judi, Gharar, dan Haram.
Oleh karena itu dalam terdapat beberapa produk Syariah dalam kegiatan investasi ini, seperti Saham
Syariah dan Obligasi Syariah atau sering disebut dengan Sukuk. Adanya produk tersebut pada
dasarnya untuk membantu para kaum muslim yang ingin ikut serta dalam kegiatan investasi agar
tidak terjerumus kedalam praktik-praktik yang diharamkan oleh hukum Syara’.
B. Rumusan Masalah
Dari sedikit pemaparan rumusan masalah diatas, kami rasa perlu memberikan rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah sederhana ini, agar pembahasannya tidak menjadi terlalu luas dan
lebih menjurus. Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini mengenai Obligasi Syariah
atau yang dikenal dengan itilah Sukuk. Hal tersebut mencakup beberapa poin penting, diantaranya :
2. Bagaimana karateristiknya,
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Sukuk
Sukuk berasal dari bahasa Arab yaitu sak (tunggal) dan sukuk (jamak) yang memiliki arti mirip dengan
sertifikat ataunote. Dalam pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan.
Sementara itu, menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia No 32/DSN-MUI/IX/2002 sukuk adalah suatu
surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada
pemegang obligasi syariah. Sukuk mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada
pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada
saat jatuh tempo.
Sedangkan menurut Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI)
berpendapat lain mengenai arti sukuk. Menurut organisasi tersebut, sukuk adalah sebagai sertifikat
dari suatu nilai yang direpresentasikan setelah penutupan pendaftaran, bukti terima nilai sertifikat,
dan menggunakannya sesuai rencana. Sama halnya dengan bagian dan kepemilikan atas aset yang
jelas, barang, atau jasa, atau modal dari suatu proyek tertentu atau modal dari suatu aktivitas
inventasi tertentu.[1]
Pada prinsipnya sukuk mirip seperti obligasi konvensional dengan perbedaan pokok antara lain
berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi
pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu asset yang menjadi dasar penerbitan
sukuk dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agara instrument keuangan ini aman
dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.
Sukuk bukan merupakan utang berbunga tetap, tetapi lebih merupakan penertaan dana (investasi)
yang didasarkan pada prinsip bagi hasil jika menggunakan akad mudharabah dan musyarakah.
Transaksinya bukan akad hutang piutang melainkan penyertaan.
Dasar Hukum Sukuk (Obligasi Syariah)
a. Al-Qur’an
Adapun dalil yang berkenaan dengan kebolehan Sukuk (obligasi syariah) penyusun sarikan dari
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Berikut dalil-dalilnya:
َياْاَيُّ َهااَّلَّ ِّذيْنَ َءا َمنُ ْوا ا َ ْوفُ ْوا ِّباْلعُقُ ْو ِّد
ًَوا َ ْوفُ ْوا ِّباْل َع ْه ِّد ا َِّّن اْل َع ْهدَ َكانَ َم ْسئ ُ ْوال
“......dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh•9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ ”Ï%©!$# çmäܬ6y‚tFtƒ ß`»sÜø
‹¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìø‹t7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh•9$# 3
¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§•ymur (#4qt/Ìh•9$# 4 `yJsù¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§‘ 4‘ygt
FR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y™ ÿ¼çnã•øBr&ur ’n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sùÜ=»ysô¹r& Í‘$¨Z9
$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz
“orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.”
b. Hadits
Hadis Nabi SAW yang digunakan sebagai dalil dasar sukuk ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh
‘Amar bin ‘Auf,
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
Qaidah Fikih:
1. Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”;
“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat/ kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan
syara (selama tidak bertentangan dengan syariah).”
Pendapat Ulama’
Dengan mempertimbangkan beberapa dalil diatas, akhirnya dikeluarkanlah Fatwa dewan syari`ah
Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Sukuk (Obligasi syari`ah) adalah surat berharga
berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikelurkan emitten kepada pemegang obligasi
syariah, tersebut berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat
jatuh tempo.”
Karakteristik dan istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah sebelumnya yang memggunakan
istilah bond, dimana istilah bond mempunyai makna loan (hutang), dengan menambahkan Islamic
maka kontradiktif maknanya karena biasanya yang mendasari mekanisme hutang (loan) adalah
interest, sedangkan dalan Islam interest tersebut termasuk riba yang diharamkan. Untuk itu sejak
tahun 2007 istilah bond ditukar dengan istilah Sukuk sebagaimana disebutkan dalam peraturanm di
Bapepam LK.
Abu Hanifa dan muridnya Abu Yusuf memberikan pandangan bahwa penjualan sesuatu/properti
yang belum diterima oleh si penjual namun sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat dicek
keberadaannya) adalah diperbolehkan. Maka dari sinilah pondasi instrument bernama sukuk di abad
modern ini bermula.[2]
a. Karakteristik Sukuk
2. pendapatan berupa imbalan (kupon), marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis aqad yang digunakan,
1. Sukuk Ijarah
Adalah suatu sertifikat yang memuat nama pemilik nya (investor) dan melambangkan kepemilikan
terhadap aset yang bertujuan untuk disewakan, atau kepemilikikan manfaat dan kepemilikan jasa
sesuai jumlah efek yang dibeli denagn harapan mendapatkan keuntungan dari hasil sewa yang
berhasil direalisasikan berdasar transaksi ijarah.
Objeknya dapat berupa barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerah, harta perdagangan) maupun
berupa jasa
Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah piahak.
Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa/upah
Pemakaian manfaat harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga
Secara teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
· Investor dapat bertindak sebagai penyewa , sedangkan emiten dapat bertindak sebagai wakil
investor.
· Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek sewa
tersebut kepada emiten.
Adalah obligasi syariah yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad musyarakah di mana dua
pihak atau lebih bekerja sama menggabungkan modal untuk pembangunan proyek baru,
mengembangkan proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada atau membiayai kgiatan
usaha.
Adalah obligasi syariah yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istishna’ di mana para
pihak menyepakati jual beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang.[3]
yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad mudarabah yang merupakan satu
bentuk kerjasama, yang satu pihak menyediakan modal (rabb al-mal) dan pihak lain menyediakan
tenaga dan keahlian (mudarib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan
perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya
oleh pihak penyedia modal.
1. Obligor, adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan nilai nominal
sukuk sampai dengan sukuk jatuh tempo.
2. Special Purpose Vehicle (SPV), adalah badan hukum yang didirikan khusus untuk penerbitan
sukuk dengan fungsi: a. sebagai penerbit sukuk; b. menjadi counterpart (rekan/teman imbangan)
dalam transaksi pengalihan aset; c. bertindak sebagai wali amanat (trustee) untuk mewakili
kepentingan investor.
3. Investor, adalah pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, margin, dan nilai nominal
sukuk sesuai partisipasi masing-masing.[4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari sedikit pemaparan pebahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Sukuk (Obligasi
Syariah) berasal dari bahasa Arab yaitu sak (tunggal) dan sukuk (jamak) yang memiliki arti mirip
dengan sertifikat atau note. Dalam pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim)
kepemilikan. Sementara itu, menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia No 32/DSN-MUI/IX/2002 sukuk
adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten
kepada pemegang obligasi syariah. Sukuk mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada
pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada
saat jatuh tempo.
Sukuk sendiri ialah salah satu produk proyek investasi syariah, yang menunjang keperluan kaum
muslim untuk ikut serta dalam kegiatan investasi yang sesuai dengan aturan syara’ nan bebas dari
hal-hal yang diharamkan, seperti Riba, Judi, dan Gharar. Untuk menghindari hal-hal tersebut
digunakanlah akad-akad (perjanjian) yang jelas dalam praktiknya, sehingga terdapat empat macam
sukuk ini, yaitu Sukuk Ijarah, Mudharabah, Istisna dan Musyarakah.
Konsep keuangan berbasis syariah islam (Islamic Finance) yang real syariah dewasa ini telah tumbuh
secara pesat, diterima secara universal dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di
kawasan Timur Tengah saja melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia, Eropa dan
Amerika. Hal tersebut ditandai dengan didirikannya berbagai lembaga keuangan syariah dan
diterbitkannya berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu, juga telah dibentuk
lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam dan standar
instrumen keuangan Islam, serta didirikannya lembaga rating Islam. Beberapa prinsip pokok dalam
transaksi keuangan sesuai syariah antara lain berupa penekanan pada perjanjian yang adil, anjuran
atas sistem bagi hasil atau profit sharing, serta larangan terhadap riba, gharar, dan maysir.
Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh
korporasi maupun negara adalah sukuk. Di beberapa negara, sukuk telah menjadi instrumen
pembiayaan anggaran negara yang penting. Pada saat ini, beberapa negara telah menjadi regular
issuer dari sukuk, misalnya Malaysia, Bahrain, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, Qatar, Pakistan,
dan State sof Saxony Anhalt – Jerman. Penerbitan sovereign sukuk biasanya ditujukan untuk
keperluanpembiayaan negara secara umum (general funding) atau untuk pembiayaan proyek-
proyek tertentu, misalnya pembangunan bendungan, unit pembngkit listrik, pelabuhan, bandar
udara, rumah sakit, dan jalan tol. Selain itu, sukuk juga dapat digunakan untuk keperluan
pembiayaan cash-mismacth, yaitu dengan menggunakan sukuk dengan jangka waktu pendek
(Islamic Tresury Bills) dan juga dapat digunakan sebagai instrumen pasar uang.
Total emisi sukuk internasional berkembang pesat dari semula pada tahun 2002 hanya sekitar USD 1
miliar, menjadi USD 17 miliar pada bulan April 2007. jumlah dan jenis instrumen sukuk juga terus
berkembang, dari semula hanya dikenal sukuk al ijarah berkembang menjadi 14 jenis sukuk
sebagaimana ditetapkan oleh The Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial
Institutions (AAOIFI). adapun investor sukuk, tidak lagi hanya terbatas pada investor islami, karena
pada saat ini sebagain besar investor sukuk justru merupakan investor konvensional.
Dalam negeri sendiri, pasar keuangan syriah, termasuk pasar sukuk juga tumbuh secara cepat,
meskipun proporsinya dibandingkan konvensional masih relatif kecil. untuk keperluan
pengembangan basis sumber pembiayaan anggaran negara dan dalam rangka pengembangan pasar
keuangan syariah dalam negeri, pemerintah telah menyusun RUU tentang Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN). UU SBSN tersebut akan menjadi legal basis bagi penerbitan dan pengelolaan sukuk
negara atau SBSN.
Pengertian Sukuk
Sukuk berasal dari bahasa arab yaitu sak (tunggal) dan sukuk (jamak) yang memiliki arti mirip dengan
sertifikat atau note. dalam pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan.
Definisi sukuk / sertifikat ialah sertifikat bernilai sama dengan bagian atau seluruhnya dari
kepemilikan harta berwujud untuk mendapatkan hasil dan jasa didalam kepemilikan aset dan proyek
tertentu atau aktivitas investasi khusus, sertifikat ini berlaku setelah menerima niali sukuk, saat jatuh
tempo dengan menerima dana sepenuhnya sesuai dengan tujuan sukuk tersebut.
Menurut Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), sukuk
adalah “certificate of equal value representing undivided shares ownership of tangible asset,
usufruct and services (in the ownership of) the assets of particular projects or special investment
activity”. Jadi sukuk adalah sebagai sertifikat dari suatu nilai yang dipresentasikan setelah menutup
pendaftaran, bukti terima nilai sertifikat, dan menggunakannya sesuai rencana. sama halnya dengan
bagian dan kepemilikan atas aset yang jelas, barang, atau jasa atau modal dari suatu proyek tertentu
atau modal dari suatu aktivitas investasi tertentu. Sukuk pada prinsipnya mirip dengan obligasi
konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi
hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa
sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dan adanya akad atau perjanjian
antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip bagi syariah. selain itu, sukuk juga harus
distruktur secara syariah agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan
maysir.
Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 31/DSN-MUI/IX/2002 sukuk adalah suatu surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang
obligasi syariah. sukuk mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi
syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Sedangkan menurut Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. KEP-
130/BL/2006 tahun 2006 Peraturan No. IX .A. 13, sukuk ádalah efek syariah berupa sertufikat atau
bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau
tidak terbagi atas kepemilikan aset berwujud tertentu nilai manfaat dan jasa atas aset proyek
tertentu atau aktivitas investasi tertentu, dan kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas
investasi tertentu.
Undang-Undang Sukuk
Pada Mei 2008 lalu, Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang No. 19/2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) atau UU Sukuk Negara (sovereign sukuk).
Karakteristik Sukuk
· Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (benefical title).
· Pendapatan berupa imbalan (kupon), marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan.
· Terbebas dari riba, gharar, dan maysir.
· Penerbitannya melalui special purpose vechicle (SPV)
· Memerlukan underlying asset.
· Penggunaan proceeds harus sesuai prinsip syariah.
Jenis-Jenis Sukuk
Sukuk, berdasarkan strukturnya terdapat berbagai jenis, yang dikenal secara international dan telah
mendapatkan endorsement dari The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions (AAOIFI) adalah :
Sukuk Ijarah : Sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad ijarah, dimana satu pihak
bertindak sendiri atau melalui wakilnya menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain
berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti perpindahan kepemilikan aset itu
sendiri.
Sukuk Mudharabah: Sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad mudharabah, dimana
satu pihak menyediakan modal (rab-al-maal/shahibul maal) dan pihak lain menydiakan tenaga dan
keahlian (mudharib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan proporsi
perbandingan (nisbah) yang disepakati sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung
sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, sepanjang kerugian tersebut tidak ada unsur moral hazard
(niat tidak baik dari mudharib).
Sukuk Musyarakah : Sukuk yang diterbitkan berdasarka perjanjian atau akad musyarakah, dimana
dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru,
mengembangkan proyek yang sudah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun
kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing
pihak.
Sukuk Istishna : Sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istishna, dimana para pihak
menyepakati jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek atau barang. Adapun harga, waktu
penyerahan dan spesifikasi proyek/barang ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
Selain negara-negara yang telah disebutkan, ada pula kota-kota yang telah melirik dan
mengembangkan instrumen keuangan yang berbasis ekonomi syariah ini, di antaranya adalah
Hongkong. Pemerintah Hongkong melalui Hongkong Monetary Authority (Bank Sentral Hongkong)
telah membentuk kelompok kerja yang bertugas menerbitkan peraturan yang diperlukan terkait
dengan sistem ekonomi syariah, sistem pajak, dan regulasi lainnya agar sistem syariah bisa berjalan
seperti sistem ekonomi konvensional. Usaha ini pun terus bergulir dengan diluncurkannya Hangseng
Islamic China Index Fund oleh Badan Pengawas Pasar Modal Hongkong.
Kelebihan berinvestasi dalam sukuk negara, khususnya untuk struktur ijarah
· Memberikan penghasilan berupa imbalan atau nisbah bagi hasil yang kompetitif dibandingkan
dengan instrumen keuangan lain.
· Pembayaran imbalan dan nilai nominal sampai dengan sukuk jatuh tempo dijamin oleh pemerintah.
· Dapat diperjual-belikan di pasar sekunder.
· Memungkinkan diperolehnya tambahan penghasilan berupa margin (capital gain)
· Aman dan terbebas dari riba (usury), gharar (uncertainty), dan maysir (gambling).
· Berinvestasi sambil mengikuti dan melaksanakan syariah.
· Obligor, adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk
yang diterbitkan sampai dengan jatuh tempo. dalam hal sovereign sukuk, obligornya adalah
pemerintah.
· Special Purpose Vehicle (SPV) adalah badan hukum yang didirikan khusus untuk penerbitan sukuk
dengan fungsi:
· Investor, adalah pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, margin, dan nilai nominal sukuk
sesuai partisipasi masing-masing.
Penerbitan sukuk memerlukan sejumlah tertentu aset yang akan menjadi objek perjanjian
(underlying asset). aset yang menjadi objek perjanjian harus memiliki nilai ekonomis, dapat berupa
aset berwujud atau tidak berwujud, termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun. fungsi
underlying asset tersebut adalah:
· Menghindari riba
· Sebagai prasyarat untuk dapat diperdagangkannya sukuk di pasar sekunder.
· Untuk menentukan jenis struktur sukuk.
Dalam sukuk Ijarah Muntahiya Bittamlik atau Ijarah Sale And Lease Back, penjualan aset tidak
disertai penyertaan fisik aset tetapi yang dialihkan adalah hak manfaat (benefit title) sedangkan
kepemilikan aset (legal title) tetap pada obligor. pada akhir periode sukuk, SPV wajib menjual
kembali aset tersebut kepada obligor.
Surat Berharga Syariah Negara Ritel (Sukuk Ritel) merupakan surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat Berharga
Syariah Negara, yang dijual kepada individu (ritel) atau perseorangan Warga Negara Indonesia
melalui agen penjual, dengan volume minimum yang ditentukan
Tujuan Penerbitan Sukuk Ritel
Penerbitan sukuk ritel ini memiliki tujuan yang smaa dengan obligasi yang diterbitkan Pemerintah
lainnya (SUN, ORI, SBSN) yaitu untuk membiayai anggaran negara, divesifikasi sumber pembiayaan,
memperluas basis investor, mengelola pembiayaan negara dan menjamin tertib administrasi
pengelolaan Barang Milik Negara.
Persamaan Perbedaan
· sukuk ritel dan ORI merupakan surat berharga negara yang diperuntukkan bagi investor ritel.
· sukuk ritel dan ORI merupakan bukti investasi masyarakat kepada pemerintah. Baik sukuk ritel
maupun ORI pembayaran bunga/imbalan dan pelunasan/pembelian kembali dijamin oleh
pemerintah. · ORI adalah pinjaman modal dari masyarakat kepada pemerintah, sedangkan sukuk
ritel adalah bentuk penyertaan modal masyarakat atas bagian dari aset sukuk ritel yang dijadikan
obyek transaksi.
· ORI memberikan penghasilan (return) kepada investor berupa bunga. sedangkan sukuk ritel
memberikan penghasilan (return) kepada investor berupa imbalan sewa, sesuai dengan akad yang
digunakan.
· Resiko Gagal Bayar (Defailt Risk), adalah resiko dimana investor tidak dapat memperoleh
pembayaran dana yang dijanjikan oleh penerbit pada saat produk investasi jatuh tempo. berhubung
yang menerbitkan pemerintah, resiko ini sangatlah kecil (diasumsikan risk free).
· Resiko Pasar (Market Risk), adalah potensi kerugian bagi nvestor (capital loss) karena menjual
sukuk ritel sebelum jatuh tempo (pada saat nilainya turun).
· Resiko Likuiditas (Liquidity Risk), adalah kesulitan dalam pencairan, resiko ini bisa disebabkan
karena kecenderungan produk syariah di-hold (tidak diperjual belikan hingga jatuh tempo), tetapi
untuk sukuk ritel para agen penjual telah menjamin untuk membeli kembali barang yang dijual oleh
investor. resiko yang bisa terjadi adalah investor terpaksa menjual kepada agen penjual dengan
harga di bawah harga pasar. apabila pembelian dalam jumlah tidak besar, bunganya yang relatif kecil
dan ditransfer ke bank bisa menjadi tidak signifikan dan bisa terpakai.
Pasar keuangan di Indonesia baru saja mencatat sejarah baru. Meski terlambat, Pada Mei 2008 lalu,
Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN) atau UU Sukuk Negara (sovereign sukuk). kita patut memberikan apresiasi tinggi atas
upaya pemerintah dan DPR yang berhasil menghasilkan UU Sukuk Negara ini. Dikatakan terlambat,
karena perkembangan sukuk di Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai oleh swasta, meskipun
pangsanya masih kecil.
Pada tahun ini, pemerintah berencana menerbitkan sukuk hingga Rp18 triliun. Bila dibandingkan
dengan obligasi negara konvensional, rencana penerbitan sukuk ini memang masih kecil. Namun,
dimulainya penerbitan sukuk ini oleh pemerintah ini akan dapat menjadi trigger bagi penerbitan
sukuk lainnya. Dengan diberlakukannya UU Sukuk Negara dan adanya rencana penerbitan sukuk
oleh pemerintah, itu berarti sukuk kini menjadi instrumen pembiayaan yang diakui sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan investor terhadap sukuk kita, baik sukuk negara maupun sukuk
korporasi.
Fakta menunjukkan perkembangan sukuk memang dimulai dengan adanya soverign sukuk.
Berdasarkan data dari Standard & Poor’s (S&P), bila pada tahun 2003, sovereign sukuk masih
mendominasi pasar sukuk global yaitu sebesar 42% dan sukuk yang diterbitkan oleh lembaga
keuangan sebesar 58%, maka sejak saat itu komposisinya mengalami pergeseran. Pada tahun 2007,
kini justru sukuk korporasi yang mendominasi pasar sukuk global, yaitu sekitar 71%, lembaga
keuangan 26%, dan pemerintah tinggal 3%.
Perkembangan Sukuk
Sukuk kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sistem keuangan global. Pada tahun
2007, nilai sukuk yang diperdagangkan di pasar global telah meningkat lebih dari dua kali
dibandingkan tahun 2006, dan mencapai US$62 miliar dibandingkan tahun 2006 sebesar US$27
miliar. Dari tahun 2001 hingga tahun 2006, Sukuk mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 123%.
Berdasarkan proyeksi S&P, dalam lima tahun ke depan, pasar sukuk dapat menembus level US$100
miliar, tergantung pada kondisi stabilitas pasar kredit. Sementara itu, Moody’s memperkirakan
bahwa pasar sukuk akan meningkat sebesar 35% per tahun. Pada tahun 2010, pasar sukuk global
diperkirakan dapat menembus hingga US$200 miliar, terutama ditopang oleh negara-negara di
kawasan Teluk, Inggris, Jepang, dan Thailand.
Pengembangan sukuk sangat didukung regulator dan pemerintah di kawasan Teluk dan Asia. Kini,
semakin banyak negara yang telah menerbitkan sukuk sebagai instrumen pembiayaan. Pada tahun
2007, telah ada 10 negara yang menerbitkan sukuk, padahal pada tahun 2001 baru ada 2 negara. Uni
Emirat Arab (UEA) dan Malaysia masih mempertahankan sebagai negara penerbit sukuk terbesar di
dunia. Pada tahun 2007, lebih dari US$25 miliar sukuk (atau sekitar 75% dari seluruh sukuk yang
diterbitkan di seluruh dunia pada tahun itu) adalah sukuk yang diterbitkan oleh UEA dan Malaysia.
Sementara itu, Malaysia sendiri menguasai sekitar 66% dari seluruh penerbitan sukuk di dunia.
S&P memperkirakan Malaysia dan UEA akan tetap memegang posisinya sebagai penguasa pasar,
karena ditopang oleh regulator dan status UEA sebagai pintu masuk (gateway) para investor global.
Selain dukungan yang kuat dari pemerintah setempat, perkembangan pesat tersebut juga tidak
terlepas dari kinerja sukuk itu sendiri. Berdasarkan data dari Dowjones terlihat bahwa di seluruh
dunia indeks surat berharga yang berbasis syariah (saham dan sukuk), kinerjanya lebih baik
dibandingkan indeks konvensional. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, sebagai negara terbesar
dalam hal pangsa pasar penerbitan sukuk di dunia.
Namun demikian, pasar sukuk di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, pasar
keuangan syariah di Indonesia tidak terlalu likuid. Penyebabnya, pangsa pasarnya yang relatif kecil,
yaitu kurang dari 5% dari seluruh sistem keuangan di Indonesia. Kecilnya pangsa pasar keuangan
syariah ini diperkirakan akan menyebabkan pertumbuhan pasar sukuk domestik akan tetap terbatas.
Oleh karenanya, bila langkah perdana pemerintah menerbitkan sukuk domestik berhasil, selanjutnya
perlu dibuka pasar sukuk global sebagai benchmark bagi penerbitan sukuk global lainnya, baik
sovereign sukuk maupun corporate sukuk.
Selain itu, regulasi yang masih dirasakan menghambat perkembangan pasar sukuk domestik juga
perlu dibenahi, sebagaimana yang terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/12 tahun
2004. Dalam PBI tersebut, bank yang memiliki sukuk agar memegangnya hingga jatuh tempo. Meski
aturan ini penting untuk menjaga aspek kesyariahan bank syariah, namun PBI ini perlu direvisi agar
tidak menghambat likuiditas pasar sukuk.
Kedua, belum adanya kepastian masalah perpajakan terkait dengan transaksi yang melibatkan
investor sukuk. Permasalahan perpajakan ini tidak hanya terkait dengan sukuk, namun menyangkut
transaksi keuangan syariah secara keseluruhan. Isu yang paling mengemuka adalah adanya double
taxation dalam transaksi keuangan syariah.
Ketiga, kebanyakan produk keuangan syariah bersifat “debt-based” atau “debt-likely”. Padahal,
idealnya keuangan syariah adalah “profit-loss sharing”. Ini terlihat dari komposisi tingkat kupon
sukuk yang dibayarkan masih mendasarkan pada tingkat suku bunga tertentu. Sehingga, tidak
mengherankan jika AAOIFI memberikan penilaian bahwa sekitar 85% sukuk belum sesuai dengan
syariah. Oleh karena itu, bagi Indonesia perlu pengembangan inovasi dan struktur sukuk yang lebih
beragam.