Anda di halaman 1dari 401

Seri Penerbitan Lembaga Studi Islam

dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK)

TAFSIR AL-QURAN UNISBA


Juz XX
Universitas Islam Bandung
TAFSIR AL-QURAN UNISBA
Juz XX
Universitas Islam Bandung
@ Tim Penyusun Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Hak cipta dilindungi undang-undang


All rights reserved

Cetakan I, Desember 2020 M / Rabi’ul Akhir 1441 H

Diterbitkan oleh
Penerbit Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Kepribadian
Universitas Islam Bandung (LSIPK Unisba)
Lantai 4, Gedung Rektorat, Jl. Tamansari No. 20
Bandung 40116
e-mail: lsipk@unisba.ac.id

Lay Out/Arab: Dadi Ahmadi/Ayip S.B/Hikmat Taofiq


Desain Sampul: Fatimah Zahra/Dadi Ahmadi

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Tim Penyusun Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX


Bandung; LSIPK Unisba, 2020

Diterbitkan LSIPK Unisba


Anggota IKAPI Nomor: 219/JBA/2012

978-602-9148-16-9
I. Al-Quran – Tafsir 1 Judul
II. Seri.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72:

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Ayat 1 : Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masiing paling singkat (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Ayat 2 : Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Panitia 1 v

PANITIA PENYUSUN TAFSIR AL-QURAN UNISBA


JUZ XX

Penanggung jawab
Rektor Universitas Islam Bandung
Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H.(ex of cio)

Anggota
Wakil Rektor I (ex of cio)
Wakil Rektor II (ex of cio)
Wakil Rektor III (ex of cio)

Ketua Tim Pelaksana Penulisan Tafsir


Dr. H.M. Wildan Yahya, Drs., M.Pd. (merangkap anggota)

Sekretaris
H. Agus Halimi, Drs., M.Ag. (merangkap anggota)

Bendahara
Parihat, Dra., M.Si.
Ayip Saiful Bahri, S.Kom.I

Koordinator I Bidang Tafsir


Prof. Dr. H. M. Abdurrahman, M.A.
Anggota
Dr. H. M. Wildan Yahya, Drs., M.Pd.
Dr. H. Tamyiez Derry, Drs., M.Ag.
H. Agus Halimi, Drs., M.Ag.
Sandy Rizki Febriadi, LC., MA.

Koordinator II Bidang Keilmuan


Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H.
Anggota
Prof. Dr. KH. Miftah Faridl
Prof. Dr. H.M. Abdurrahman, MA.
Prof. Hj. Ieva B. Akbar, dr., AIF
Ir. A. Harits Nu’man, M.T., Ph.D
Dr. H. Irfan Safrudin, Drs., M.Ag.
vi Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Dr. Dewi Sartika, Dra., M.Si.


Dr. Nan Rahminawati, Dra., M.Pd.
Dr. Septiawan Santana K., Drs., M.Si.
Dr. H. Umar Yusuf, Drs., M.Si.
Dr. H. Tata Fathurrohman, S.H., M.H.
Dr. H. Bambang S. Ma’arif, Drs., M.Si.
Dr. Suwendar, S.Si., Apt., M.Si.
Dr. Hj. Rodliyah Khuza’i, Dra., M.Ag.
Dr. H. Aep Saepudin, Drs., M.Ag.
H. Asep Ramdan Hidayat, Drs., M.Si.
H. Asep Ahmad Siddiq, Drs., M.Si.
Parihat Kamil, Dra., M.Si.
H. Machali Muchsin, Ir., M.Sc.
Dudung Abdurrahman, S.E., M.Si.
H. Maman Surahman, Lc., M.Ag.
Titin Suprihatin, Dra., M.H.
H. Bambang Pranggono, Ir., M.BA.
Penyunting Ahli
Koordinator
Dr. H. Tata Fathurrohman, S.H., M.H.
Anggota
Dr. H.M. Wildan Yahya, Drs., M.Pd.
Dr. H. Tamyiez Derry, Drs., M.Ag.
Dr. Septiawan Santana K, Drs., M.Si.
H. Agus Halimi, Drs., M.Ag.
Alex Sobur, Drs., M.Si.
Penyunting Pelaksana
Desain Grafis, Lay Out, dan Indeks
H. Asep Ahmad Siddiq, Drs., M.Si.
Hikmat Taopiq, S.Ag.
Hendriyana Jatnika, S.S.T.
Dr. Maman Suherman, Drs., M.Si.
Moch. Enoh, S.E.
Koordinator Sekretariat
Dr. H. Aep Saepudin, Drs., M.Ag
Anggota
H. Endang Kadarusman
Muhammad Zakaria, A.Md
Rahmadi Huda, A.Md
Kardiman
Transliterasi 1 vii

Pedoman Transliterasi Arab-Latin


viii Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
Kata Pengantar 1 ix

Kata Pengantar

Al-ssalâmu’alaikum warahmatu l-llâhi wabarakâtuh


Terbersit dari rasa syukur dan pujian semata kepada Allah Swt,
ungkapan kebahagiaan ini kami tuangkan dalam bentuk kata pengantar.
Telah lama sudah Unisba sebagai salah satu Perguruan Tinggi Islam di
tanah air ini, mencita-citakan terbitnya Tafsir Al-Quran yang berkontribusi
bagi kemajuan Islam dan kaum Muslimin. Hanya berkat inâyah dan
rahmah-Nya semata, penyusunan Tafsir Al-Quran ini dapat berjalan sesuai
dengan target yang diharapkan. Setelah melalui lika-liku pengerjaan yang
tidak sederhana, alhamduli l-llâh dapat dituntaskan segala kelengkapan
yang diperlukan dalam penulisan Tafsir ini secara bertahap.
Salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad
Saw yang telah menuntun umatnya kepada jalan yang penuh dengan
keberkahan dan kebenaran, yaitu jalan yang lurus, dilimpahi kenikmatan
dan rida Allah Swt. Perjuangan yang beliau lakukan bertabur pengorbanan
yang tiada tara, hanya dengan kesabaran dan ketawakalan, pada akhirnya
tugas mulia itu dapat diemban dengan sempurna. Tujuan utamanya,
membawa Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
Kebenaran suatu agama yang dibawa oleh para nabi selalu
ditunjukkan oleh mukjizat yang diembannya. Mukjizat adalah suatu kekuatan
x Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

atau bukti kebenaran yang luar biasa dengan disertai tantangan, namun
tidak pernah terkalahkan oleh tantangan sebesar apapun kehebatannya.
Menurut Jumhur ulama, mukjizat dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu
mukjizat yang bersifat indrawi (hissî) dan mukjizat yang bersifat rasional
('aqlî). Para nabi terdahulu, sebelum datangnya Nabi Muhammad Saw,
pada umumnya memperoleh mukjizat dalam bentuk indrawi, sebab
kecerdasan dan pemahaman umat yang belum begitu maju pada saat
itu. Untuk membuktikan kebenaran yang dibawanya, diperlukan bukti fisik
yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan secara indrawi. Nabi Muhammad
Saw memproleh mukjizat bentuk yang kedua (Al-Quran), bersifat rasional.
Sebab, umat yang dihadapinya telah memiliki kecerdasan dan pemahaman
yang lebih tinggi. Mukjizat yang dibawanya menuntut dan menantang akal
untuk memahaminya. Hal ini dimaksudkan agar bukti-bukti kebenaran
ajarannya dapat dirasakan dan dimengerti oleh akal dan hati, serta dapat
dibuktikan sepanjang masa, sesuai dengan perkembangan pemikiran umat
manusia.
Sejalan dengan keterangan di atas, Rasulullah Saw bersabda:
Setiap nabi Bani Israil diberi mukjizat yang apabila ditampakkan, maka
berimanlah mereka. Sementara yang diberikan kepadaku adalah wahyu
(Al-Quran). Maka, aku berharap akan memiliki pengikut yang lebih banyak
(HR Al-Bukhari). Makna yang tersirat dari hadis ini adalah bahwa mukjizat
yang berbentuk indrawi (hissî) bersifat kontemporer, akan redup bersamaan
dengan berlalunya waktu. Adapun mukjizat yang berbentuk rasional ('aqlî)
bersifat abadi, akan terus bersinar sepanjang waktu bersamaan dengan
perkembangan sosial dan sains.
Al-Quran merupakan mukjizat, baik lafadz maupun inti pesannya,
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw Salah satu bukti kemukjizatan
Al-Quran adalah keindahan redaksi dan kesempurnaan tata bahasanya,
luasnya pengetahuan dan kedalaman isinya. Penjelasannya merespons
persoalan setiap zaman yang dihadapinya. Hal ini dapat dirasakan melalui
pemikiran yang cerdas serta hati terbuka. Kemukjizatan Al-Quran akan
terus dapat dirasakan dan dipahami oleh setiap generasi yang dilaluinya,
sesuai dengan sifatnya yang abadi.
Merajut hari esok yang lebih baik melalui anyaman ayat-ayat-Nya
merupakan pangkal tolak berlabuhnya penulisan tafsir ini. Secercah butiran
karya ini diharapkan dapat menjadi cahaya terindah yang bisa mengurai
makna dan menerangi jalan kehidupan.
Kata Pengantar 1 xi

Karya ini merupakan salah satu wujud dari pengamalan “Tridarma


Perguruan Tinggi” dengan karakternya yang khas, merefleksikan
pengayaan kajian melalui pendekatan multidisiplin ilmu. Sesuai dengan
visi misi Unisba, maka tampilan yang diharapkan, mampu menggugah
semangat pembaharuan (tajdîd), gairah pengorbanan (jihâd), dinamika
penelitian dan penemuan (ijtihâd). Laksana lentera kecil yang digunakan
musafir di malan hari, sekecil apa pun karya tafsir yang diterbitkan, akan
tetapi sinar dan cahayanya mudah-mudahan dapat menerangi perjalanan
umat dan Unisba ke depan. Meski masih jauh ranah dari tujuannya, tetapi
perjalanan ini merupakan tekad yang tidak boleh surut dari hasratnya yang
mulia, senada dengan Hymne Unisba: Jaya Islam bahagia nanti, pastilah
nyata”.
Hadirnya tafsir ini, semoga dapat memperkaya khazanah pustaka
studi Al-Quran yang dapat membantu umat memahami kandungan
maknanya. Ide-ide segar yang ditampilkan, baik menyangkut isi maupun
format tafsir, sebagai upaya menemukan suasana baru dalam memahami
Al-Quran tanpa mengabaikan kaidah penafsiran yang dilakukan oleh para
mufassîr terdahulu.
Rujukan utama yang menjadi sandaran dalan tafsir ini adalah Al-
Tafsîru l-Munîr, karya Dr. Wahbah Al-Zuhaili, yang didukung oleh referensi
berbagai tafsir lainnya. Kemudian, dilakukan pengayaan oleh kontributor
ahli yang berasal dari berbagai disiplin ilmu di lingkungan Unisba, dengan
memperhatikan terminologi dan makna yang relevansi. Pengayaan ini
dimaksudkan sebagai upaya mengurai lebih luas pesan Al-Quran dalam
pertautannya dengan aneka ragam disiplin ilmu dan perkembangan zaman
(secara kontekstual).
Sulaman dari serat-serat cahaya Al-Quran yang mampu memadukan
mutiara kebenarannya dengan goresan pena para penemu teori ilmu
pengetahuan dan teknologi modern melalui ayat-ayat kauniyyah-Nya,
sekaligus dapat menjadi isyarat bukti kemukjizatannya (i’jâzu l-ilmî).
Akselerasi perkembangan ipteks modern justru semakin menyemburatkan
pembuktian kebenaran premis Al-Quran tentang rahasia penciptaan
langit dan Bumi, serta silih bergantinya siang dan malam (lihat QS Âli
'Imrân [3]: 191). Sekalipun demikian, bukan berari Al-Quran merupakan
kitab sains (lihat QS Al-Baqarah [2]: 2), sebab, Al-Quran adalah wahyu
Allah Swt sebagai hidayah, yang menyingkap tirai kebenaran, baik yang
tampak maupun yang gaib, serta menuntun manusia kepada jalan-Nya
yang lurus, yaitu jalan yang diberi nikmat dan diridai-Nya.
xii Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Pada kesempatan yang berharga ini, perkenankan kami sampaikan


ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam
penulisan tafsir ini, khususnya kepada panitia: Penanggungjawab, Ketua,
Sekretaris, Bendahara, Penulis Naskah Tafsir, Kontributor Ahli, Penyunting
Ahli, Penyunting Pelaksana, Pembantu Pelaksana dan Readers; semoga
amal bakti dan perjuangannya selama ini mengalirkan kebaikan dan
pahala yang tiada putus. Demikian juga kepada Yayasan Unisba yang
tiada hentinya memberikan dukungan, baik morel maupun materiel, kami
mohonkan balasan kebaikan yang berlipat ganda dari sisi Allah Swt.
Mudah-mudahan Allah Swt senantiasa memberikan taufik dan
hidayah di dalam penulisan tafsir ini, sehingga tidak keluar dari petunjuk
dan bimbingan-Nya. Bagaikan ungkapan dalam sebuah pepatah, “tak
ada gading yang tak retak”, tiada karya yang luput dari kesalahan dan
kekhilafan. Demikian juga tafsir ini, tidak mungkin terlepas dan kekurangan
dan kelemahan. Melalui pintu hati yang selalu terbuka, sumbangan saran
dan kritik yang konstruktif dari sidang pembaca budiman senantiasa kami
nantikan dengan hati yang tulus.
Kepada Allah Swt jualah kami berlindung dari kezaliman diri dan
berserah diri atas segala apa yang telah diupayakan, sebab hanya Allah
Swt-lah yang Maha Tahu atas segalanya. Akhirnya, Wallâhu a’lam bi
l-shshawâb.

Bi l-llâhi fî sabîli l-haqq.


Wa l-ssalâmu’alaikum Wr. Wb.

Bandung, Desember 2020 M / Rabi’ul Akhir 1441 H

Rektor,

Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H.


Selayang Pandang 1 xiii

Selayang Pandang

Diawali bismillâhi l-rrahmâni l-rrahîm, tafsir Unisba dimulai dari


satu tekad. Tekad menyemai harapan menanam cita pada damba nan
abadi, dan tenggelam dalam rasa kagum terhadap bentangan tuntunan-
Nya. Pancaran kasih sayang-Nya membangkitkan gairah ketakwaan dan
pengetahuan, menciptakan sayap kehidupan yang penuh makna. Bersitan
hidayah-Nya menggugah kegairahan iman cahaya Ilahiyah, dalam tilikan
dan akal budi. Wahyu-Nya melahirkan tekad menyulam keagungan
hidup, menangkap gelombang zaman yang terus beriak dan bergerak.
Tidak mudah mewujudkannya. Kata dan aksara dunia tak cukup kaya
untuk menafsirkan firman-Nya. Kalimat manusia terlalu miskin untuk
menerjemahkan kalam-Nya.
Cahaya pikiran dan cetusan pandangan lahirnya tafsir Unisba dirintis
sejak 1984. Diprakarsai Rektor Unisba, KH. Dr. (H.C) EZ. Muttaqien,
karya-karya ulama yang aktif di Unisba, seperti: KH. Hambali Ahmad, KH.
Iping Zaenal Abidin, Dr. H.M. Rasyidi, dan sebagainya, pun dikumpulkan.
Berbagai karya ulama dari beberapa Ormas Islam (Persis, Muhammadiyah,
dan NU) diundang.
Karya-karya mereka memiliki karakter. Upaya meramu ke dalam
format yang utuh cukup sulit. Akan tetapi, semangatnya laksana setitik air
yang berjuang untuk mengembang, meluas, melaut-samudera. Berbuah
xiv Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

tangkai yang terus mengembang seluas taman tak bertepi.


Tatkala niat dipasang, tujuan ditentukan, langkah diayunkan,
keadaan dihitung, ia bergerak dan berjuang tiada henti, serta bertali
bersambung, berjalin berkelindan. Bagai tiupan angin di ladang, terus
menggelora, mengikuti jalan panjang berliku, estafeta generasi pun
berlanjut.
1996. Rektor Unisba, Prof. Dr. H.M. Djawad Dahlan, memprakarsai
kembali. Menyusun ulang Panitia Tafsir Unisba, yang dipimpin langsung
Rektor, dan Dr. HM. Wildan Yahya, sebagai Sekretaris Tim. Langkah
awal adalah mengkompilasikan karya-karya dosen Unisba, dari berbagai
makalah Pusat Pengkajian Islam (Puskaji).
Sebelumnya, pengajian karyawan Unisba yang diselenggarakan
Puskaji, aktif mengkonsentrasikan materi kajian: untuk menggali,
mengupas dan menemukan pengertian “tersurat maupun tersirat” ayat-
ayat Al-Quran. Setelah dibaca semua secara cermat, teliti dan seksama,
target yang diharapkan masih belum tercapai.
Akan tetapi, di ufuk, setitik terang sudah menyala.
Agar tidak terkurung dalam lingkaran yang tidak berujung, dicarilah
formula Tafsir yang dapat menautkan idealita dan realita, alam cita dengan
alam nyata, serta visi dan misi Unisba, secara serasi. Alhamdulillah, acuan
utama ditemukan. Tafsir ini menjadikan rujukan Al-Tafsîru l-Munîr, karya
Dr. Wahbah Zuhaili, sebagai acuan. Tafsir-tafsir lain pun dikutip, seperti:
Mahâsinu l-Tta`wîl, karya Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, Tafsîr Al-
Marâghî, karya Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Fî Zhilâli l-Qur`ân, karya
Sayyid Quthub, dan sebagainya.
Sejalan itu, warna penafsiran pun diguratkan. Karakter tafsir yang
ingin dilahirkan ialah adabî, ‘ilmî dan ijtimâ’î. Tapi, ternyata, tidak mudah
menerjemahkannya. Bukan perkara gampang menerjemahkan suatu
keyakinan, pandangan dan pendirian hidup agar sesuai dengan karakter
yang diinginkan.
Tafsir dikerjakan secara bertahap, dan kolektif. Proses dilakukan dari
penulisan draf naskah, editing isi naskah, koreksi penulisan ayat Al-Quran
dan Al-Hadis, pengerjaan tickray dan lay out. Editing teknis dilakukan
langsung oleh Rektor Unisba, Prof. Dr. H.M. Djawad Dahlan. Pada saat itu,
Tafsir yang sempat tersusun utuh sebanyak lima juz. Pun dilakukan upaya
penelaahan secara seksama. Hasilnya masih perlu pematangan, sebelum
diterbitkan. Sementara, juz lainnya menunggu, belum sempat diedit.
Karena itu, terjadi kevakuman.
Selayang Pandang 1 xv

Akan tetapi, semangat melanjutkan penulisan tafsir tak jua padam.


Berbagai kajian terus berlangsung, yang ujung-ujungnya menghidup-
suburkan pembahasan tafsir, dan menjadi harga yang dipertaruhkan untuk
Unisba. Kelompok-kelompok kajian bertumbuhan bagai jamur di musim
hujan, bahkan sempat membentuk kelompok informal penanganan tafsir
Unisba. Namun, tidak bisa berjalan efektif.
Pada saat itu, bagian yang diamanati bergerak aktif untuk mewadahi
ide penulisan tafsir adalah Puskaji. Nahkodanya ialah H. Agus Halimi, Drs.
M.Ag. Tapi, ide dan semangat itu tertebar tanpa penanganan formal yang
terpusat. Hasilnya pun tidak tersusun secara utuh.
Meski begitu, tekad menyelesaikan penyusunan tafsir terus
berlangsung, laksana menara laut di tengah samudera, membentang luas
tanpa batas, memberikan arah bagi yang datang untuk bersauh.
2007. Sinar terang pun terbit kembali. Pemprakarsanya ialah
Rektor Unisba, Prof. Dr. E. Saefullah Wiradipradja SH., LL.M. Setelah
dilakukan pembicaraan intensif dengan Ketua Lembaga Studi Islam dan
Pengembangan Kepribadian (LSIPK), Dr. H. Tata Fathurrahman, S.H. M.H.,
dibentuklah panitia lengkap untuk menyusun tafsir. Ketua Tim, Dr. H. Tata
Fathurrahman, S.H. M.H., Ketua Pelaksana, Dr. HM. Wildan Yahya, Drs.,
M.Pd. Sekretaris, H. Agus Halimi Drs. M.Ag.
Kelengkapan anggota Panitia diambil dari berbagai Fakultas. Secara
periodik, nama-nama panitia yang berperan aktif tertuang pada halaman
tafsir di setiap terbitannya. Diawali dengan menentukan corak dan karakter,
proses dan teknis penulisan tafsir dimulai kembali. Pada prinsipnya, seluruh
langkah yang pernah dilakukan pada penulisan tafsir sebelumnya menjadi
modal utama. Pembahasan yang cukup mendasar, yang terarah pada
kontribusi multidisiplin ilmu, diletakkan ke dalam catatan kaki.
Tahap demi tahap pengerjaan dilanjutkan.
Tahun dua ribu delapan terbitlah juz pertama tafsir Unisba.
Pemunculanannya agak unik. Juz yang pertama terbit adalah Juz 'Amma,
atau Juz XXX. Terbitnya Juz 'Amma, sebagai juz pertama yang diterbitkan,
didasari pemikiran bahwa di dalam Juz 'Amma itu paling banyak Surah
yang digunakan umat dalam salat selain Surah Al-Fâtihah.
Itulah momentum pertama yang dilakukan Unisba di dalam
menerbitkan tafsirnya. Ia telah melahirkan semangat baru, meresap dan
menyerap ke dalam kalbu, menciptakan gairah hidup penuh ketakwaan,
simfoni kehidupan dan alunan wahyu-Nya berinti penuh arti.
Gelora penulisan Tafsir dilanjutkan Rektor Unisba, Prof. Dr. dr.
xvi Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

M. Thaufiq S. Boesoirie, MS. Sp. THT. KL (K). Nyala dan semangatnya


memancarkan pijar serta sinar cahaya hidup. Seruan wahyu menembus
lapisan hati dan akal budi, teduh dan lembut. Menanam iman ke dalam
kalbu, menyemai bibit ilmu ke halaman ruhani umat.
Semangat dan ghirah penulisan Tafsir Al-Quran Unisba menyalakan
api yang tidak pernah padam, diakhiri oleh, Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H.,
M.H. Deru dan geloranya senantiasa membahana menembus lapisan hati
dan akal, membimbing dan mengayomi semuanya. Bagaikan membuka
jendela dunia akhirat dengan iman dan ilmu.
Bagi Unisba, firman-Nya adalah petunjuk abadi, pedoman kekal
sepanjang masa, pangkalan tempat bertolak dan pelabuhan tempat
bersauh.
Hal itu tampaknya muncul dari kerjasama Tim yang tercipta
sangat indah, bersifat dinamis dan kreatif kritis, membangun dari bawah,
mewarnai dari atas. Diikuti upaya penyempurnaan penulisan tafsir yang
terus dilakukan di sana sini, baik dari sisi isi, format, karakter, kualitas,
penulisan maupun keunikannya.
Oleh karena itu, tampaknya, tafsir Unisba mendapatkan pengakuan
yang luas, baik dari kalangan ulama lokal maupun nasional. Komentar
mereka dapat dibaca di halaman endorcement: tajam, simpatik, cerah
dan jernih. Kehadiran tafsir Unisba memberi isi dan arti, didikan dan
pengertian, melaksanakan perbaikan dan membuat kebajikan buat umat.
Sebutir terang yang menunjukkan jalan, menumbuhkan rasa damai, rasa
bahagia dan sejahtera.
Semua langkah dan usaha di atas dapat berjalan dengan lancar
berkat dukungan dari seluruh keluarga besar Unisba, khususnya Pimpinan
dan Pengurus Yayasan, Rektor dan seluruh stafnya, Dekan, Ketua Lembaga,
Direktur Pasca Sarjana dan civitas akademika. Semua memberi dukungan
dan menyuburkan gairah, merautkan sulaman imtak dan ipteks mekar
bersemi, membuahkan kesalehan luas bertiada batas.
Meski demikian, tafsir Unisba ini mengikuti pepatah “Tiada gading
yang tidak retak”. Sekalipun telah melewati proses panjang, melalui
penelaahan dan pengecekan berulang, tafsir Unisba ini berkemungkinan
memiliki kesalahan dan kekhilafan. Maka itu, berdasar niat kepada Allah
Swt jualah karya tafsir ini mengharapkan rida-Nya. kami membuka pintu
lebar-lebar pada sumbang saran yang konstruktif.

Bandung, Desember 2020 M / Rabi’ul Akhir 1441 H


Tim Penyusun
Endorcement Para Ahli 1 xvii

Endorcement Para Ahli dan Tokoh Islam

Para ulama dalam perjalanan sejarahnya telah menekuni dan


berijtihad untuk memahami Al-Quran serta mendalami makna ayat-ayat-
Nya melalui penafsiran. Pada masa-masa awal, penafsiran Al-Quran yang
berkembang lebih bercorak tahdzîb, targhîb dan tarhîb tanpa mendalami
lebih jauh makna-makna lain yang bersifat saintifik. Warna tersebut sangat
berkaitan dengan tuntutan dan tantangan peradaban yang berkembang
pada saat itu.
Unisba (Universitas Islam Bandung) telah berusaha untuk memberikan
warna baru dalam penafsiran Al-Quran, yaitu mengintegrasikan kajian multi
disiplin ilmu sekalipun masih dalam batas hasyiyah (catatan kaki). Sekecil apapun
kontribusi multidisiplin ilmu akan membantu pendalaman dan perluasan makna
pesan-pesan Al-Quran. Selain itu, sistematika penulisan dan bahasa yang
digunakan mudah dimengerti. Merupakan karya monumental yang sangat
penting kehadirannya di tengah-tengah umat Islam. Suatu khazanah
penafsiran yang segar, perlu dibaca oleh orang-orang beriman.

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar


(Mantan Wakil Menteri Agama RI)
xviii Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Al-Quran diturunkan tidak untuk mengucilkan diri dari kehidupan,


kesulitan-kesulitan dan gejolak-gejolaknya. Tidak pula untuk
menenggelamkan ilmu pengetahuan beserta para ahlinya. Justru Al-Quran
diturunkan sebagai hidayah, yaitu: tuntunan, petunjuk dan pembimbing
ke jalan kebenaran, serta merespons berbagai persoalan yang dihadapi
umat manusia. Karena fungsinya sebagai hidayah, maka perlu dimengerti,
dihayati dan disadari pesan-pesannya. Seperti pasien yang diberi resep
oleh dokternya, agar sembuh maka resep tersebut harus dibawa ke apotek
untuk ditukar dengan obat yang sesuai dengan isi pesannya. Demikian
juga Al-Quran, untuk dirasakan rahmat dan berkahnya, perlu dimengerti isi
pesannya kemudian ditaati tuntunan dan aturannya. Semangat pesan Al-
Quran yang diawali dengan kalimat Iqra` (baca) tersimpan makna perintah
untuk dimengerti dan dipahami ajaran dan bukti-bukti kebenarannya. Di sini
akal dan nurani manusia dituntun untuk berperan aktif dalam memahami
dan merenungi kebenaran ajarannya.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Universitas Islam Bandung
(Unisba) telah melakukan upaya yang sangat mulia, menyusun Tafsir Al-
Quran dalam rangka membantu umat memahami pesan-pesan wahyu.
Terdapat warna khusus yang menjadi karakter dari Tafsir Unisba ini. Sifat
khusus yang dimiliki Tafsir Unisba adalah: melibatkan kajian multidisiplin
ilmu yang relevan. Dilengkapi dengan keterangan asbâbu l-nnuzûl dalam
kajian latar dan konteks. Setiap kelompok ayatnya dibingkai dengan tema-
tema tertentu, disertai dengan implikasi ayat dalam kehidupan sehari-hari
yang tertuang pada bagian hikmah dan pesan. Bahasa yang digunakan
mudah dibaca dan dimengerti. Alur kajiannya sistematis, mendalam dan
bervariasi. Sangat penting untuk dibaca oleh siapapun.
KH. Hasyim Muzadi
(Mantan Ketua Umum PBNU)

Kekuatan Tafsir Al-Quran Unisba terletak pada konsistensi dalam


corak tafsîru l-’ilmi l-`ashrî (ilmiah-modern), di mana terdapat pemisahan
antara interpretasi ayat-ayat dan pengayaan informasi terhadap penafsiran.
Dr. H. Cecep Alba, MA
(Pakar Tafsir dari ITB Bandung)

Tatkala didialogkan antara ayat-ayat Qurâniyyah dengan ayat-ayat


Endorcement Para Ahli 1 xix

Kauniyyah, terjadi hubungan yang asimetris. Hal ini juga terjadi pada hal-
hal yang bersifat metodologis. Tatkala Allah Swt memerintahkan hamba-
Nya untuk menyingkap kebenaran realita, maka digunakanlah bahasa:
afalâ tubshirûn (tidakkah kalian cermati), afalâ tasy’ûrun (tidakkah kalian
rasakan/alami/ujicoba), afalâ ta’qilûn (tidakkah kalian pahami), afalâ
tatadabbarûn (tidakkah kalian renungi), dan masih banyak lagi yang
lainnya. Dalam penelitian ilmiah modern juga digunakan bahasa: observasi,
eksperimentasi, inventori, komperasi, dsb. Berbeda bahasa, substansinya
berkait.
Tafsir Al-Quran yang disusun Unisba merupakan sumbangan yang
sangat berharga dalam upaya memerkaya khazanah pemahaman umat
Islam Indonesia terhadap wahyu yang telah Allah Swt turunkan. Terdapat
corak dan warna penafsiran yang khas, dengan mempertimbangkan
pola-pola penulisan ilmiah. Alur penulisannya mudah dipahami, di setiap
kajiannya memasukkan pembahasan latar dan konteks serta implikasinya
dalam kehidupan sehari-hari. Suatu kekayaan penafsiran yang patut
dihargai, dan sangat perlu dibaca oleh umat Islam.
KH. Ma’ruf Amin
(Ketua Umum MUI Pusat)

Tidak terbayangkan sebelumnya, pada saat Al-Quran diturunkan


empat belas abad yang lalu, bahwa isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat
di dalamnya akan terungkap oleh hasil research modern. Semakin
hari, penelitian ilmiah modern semakin kaya dengan penemuan yang
membenarkan keterangan-keterangan Al-Quran. Kondisi ini adalah salah
satu bukti dari kemukjizatan Al-Quran, yang oleh para ulama disebut
sebagai i’jâzu l-ilmî (kemukjizatan ilmiah). Salah satu warna Tafsir Unisba
yang ingin diintrodusir adalah mendialogkan antara ayat-ayat Qurâniyyah
dengan ayat-ayat Kauniyyah, yang secara koherens terjadi hubungan yang
asimetris. Hal ini terjadi pula pada hal-hal yang bersifat metodologis dalam
penulisan Tafsirnya. Di dalamnya terdapat sub-sub kajian yang seringkali
digunakan pada penulisan ilmiah, seperti: latar dan konteks, substansi
kajian, tema-tema ayat, implikasi ayat dalam kehidupan, referensi, catatan
kaki, dan indeks. Bahasa Indonesia yang digunakan pun mudah dipahami,
isi kajiannya cukup kontekstual, sangat penting untuk dibaca oleh siapapun
yang ingin memahami hidayah Al-Quran.
Prof. Dr. H. Din Syamsudin, MA
(Mantan Ketua Umum Muhammadiyah)
xx Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Penulisan Tafsir Unisba telah memenuhi kaidah yang dipersyaratkan


dan mengikuti sistematika penyusunan yang lazim dilakukan oleh para
ulama terdahulu. Bahkan terjadi peningkatan di sana-sini sesuai dengan
perkembangan Ipteks yang terjadi akhir-akhir ini.
Kandungan isinya meliputi prinsip-prinsip keimanan, masalah
hukum, panduan akhlak dan kisah umat yang telah lalu. Dibahas secara
komprehensif mendalam sesuai dengan latar belakang berbagai keahlian
para penyusunnya.
Prof. Dr. K.H. Miftah Faridl
(Ketua Umum Yayasan Unisba)

Allah Swt menurunkan wahyu kepada para rasul dengan


menggunakan bahasa kaumnya agar ajaran yang dibawa dapat dimengerti
dengan baik dan benar. Sebagaimana disebutkan pada QS Ibrâhîm (14):
4, yang artinya “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan
dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
terang kepada mereka”. Sejalan dengan semangat untuk menjelaskan Al-
Quran sesuai pemahaman dan bahasa kaumnya.
Unisba menyusun dan menerbitkan Tafsir Al-Quran dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Susunan bahasanya mudah dimengerti;
sistematika penulisannya runut dan sesuai dengan kaidah penulisan
tafsir standar. Kemudian sebagai kelengkapan dari penjelasan naskah
tafsir, dilengkapi dengan catatan kaki yang di dalamnya terdapat kajian
multidisiplin ilmu.
Demikian juga dalam rangka memudahkan pembaca untuk
menelusuri kata-kata kunci, atau nama-nama tokoh yang dibutuhkan,
maka disediakan indeks pada halaman akhir. Karya tulis Unisba ini, sangat
berkontribusi pada pengayaan penafsiran Al-Quran di tanah air. Penting
untuk dibaca.
Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah
(Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Tafsir Al-Quran Unisba, sesuai dengan namanya, bercorak akademik


(Ilmiah). Sangat cocok untuk kalangan mahasiswa, akademisi, pemikir
Endorcement Para Ahli 1 xxi

Islam dan masyarakat luas pada umumnya.


Tafsir Al-Quran Unisba, memerkaya khazanah Tafsir di Indonesia.
Tafsir ini membekali dan mencerahkan para mujâhid, mujtahid, mujaddid
dan muwâhid di masyarakat. Disusun oleh sejumlah pakar pada berbagai
disiplin ilmu di lingkungan Unisba.
Tafsir Al-Quran Unisba, menggunakan rujukan utama Al-Tafsîru
l-Munîr karya terkemuka, Wahbah Al-Zuhaili, didukung rujukan puluhan
kitab tafsir terkemuka. Penafsiran menukik pada inti ayat, dilengkapi
dengan catatan-catatan sumber secara ekstensif, sehingga memudahkan
pembaca melakukan penelusuran informasi lebih lanjut pada sumber-
sumber rujukan.

Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin


(Guru Besar Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Semua ilmu datangnya dari Allah Swt. Manusia melalui akalnya,


diajari: nama-nama, simbol-simbol, isyarat-isyarat dan ayat-ayat kebenaran,
baik bersifat Kauniyyah maupun Qurâniyyah. Makna ayat-ayat Allah Swt
akan berarti bagi orang yang menggunakan fikir dan zikirnya dalam
merenungi hakikat penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang
dan malam. Tafsir Al-Quran, merupakan ilmu yang menggeluti pengupasan
pesan wahyu Ilâhiyyah, melalui kaidah dan metode tertentu sebagaimana
yang telah dipersyaratkan oleh para ulama.
Tafsir Al-Quran Unisba telah berusaha untuk memberikan karakter
baru. Penulisannya, memadukan antara format ilmiah dengan konvensional.
Di dalamnya, mengintegrasikan kajian multidisiplin ilmu. Referensi utama
yang digunakan merupakan kumpulan dari kitab-kitab tafsir yang diakui
oleh dunia Islam sebagai rujukan penting di dalam memahami pesan-
pesan Al-Quran. Sistematika penulisan dan bahasa yang digunakan mudah
dimengerti serta mengikuti kaidah penulisan tafsir standar. Merupakan
karya akademik yang sangat urgen kehadirannya di tengah-tengah umat
Islam. Suatu khazanah penafsiran yang kontekstual, perlu dibaca oleh
orang-orang beriman.

Prof. Dr. Imam Suprayogo


(Mantan Rektor UIN Maliki Malang)
xxii Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
Ucapan Terima Kasih 1 xxiii

Ucapan Terima Kasih

Bismillâhi l-rrahmâni l-rrahîm


Sebagai ungkapan kebahagiaan atas karunia dan nikmat yang
tak terhingga, kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt, karena
dengan bimbingan-Nya dan kekuasaan-Nya, Panitia Penyusun Tafsir Al-
Quran, walaupun menghadapi kendala bagi penyelesaiannya, masih
diberi kekuatan, kemampuan dan kemudahan untuk menyelesaikan Tafsir
Al-Quran Juz XX. Salawat dan salam semoga dicurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw yang menjadi uswah hasanah bagi kaum Muslimin sampai
akhir zaman dan sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam.
Panitia Penyusun Tafsir Al-Quran Juz XX dibentuk berdasarkan
Surat Keputusan Rektor Universitas Islam Bandung Nomor: 004/L.5/SK/
Rek/I/2019 Tentang Panitia Penyusun Tafsir Al-Quran Juz XX. Susunan
panitia ini tidak berbeda dengan panitia penyusun tafsir sebelumnya, yakni
terdiri dari penanggung jawab, ketua, sekretaris, penulis naskah bidang
tafsir dan bidang keilmuan. Panitia ini dilengkapi dengan penyunting ahli,
desain grafis, lay out dan indeks, serta pembantu pelaksana. Penyusun
Tafsir Al-Quran Juz XX ini berpedoman pada format penafsiran Al-Quran
yang telah disusun oleh para pakar sebelumnya untuk membantu para
penafsir maupun para kontributor dari berbagai disiplin ilmu dalam
xxiv Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

menunaikan tugasnya sebagai panitia, sehingga dapat menghasilkan Tafsir


Al-Quran yang komprehensif yang dapat menjawab tantangan zaman yang
terus berkembang. Kehadiran tafsir ini diharapkan dapat menyuguhkan
secercah harapan yang dapat memberi alternatif jalan keluar dari kondisi
dunia saat ini yang sedang dirundung dengan berbagai permasalahan.
Berkat bimbingan dan pertolongan Allah Yang MahaKuasa dan
kesepahaman serta kerja keras dari seluruh anggota tim, alhamdulillâh
panitia dapat menyelesaikan Tafsir Al-Quran Juz XX ini. Upaya yang mulia
ini, dapat terwujud juga berkat bantuan dari berbagai komponen yang ada
di Universitas Islam Bandung.
Tafsir Al-Quran Juz XX ini, tidak mungkin terwujud tanpa bantuan dari
seluruh komponen yang ada di Unisba. Oleh karena itu, kami sampaikan
terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Islam Bandung, Prof. Dr.
H. Edi Setiadi, S.H., M.H., yang telah mendorong, dan memberi bantuan
kepada seluruh panitia, sehingga Tafsir Al-Quran Juz XX ini dapat terwujud.
Ucapan terima kasih, kami sampaikan juga kepada seluruh
Pembina, Pengawas, dan Pengurus Yayasan Universitas Islam Bandung
yang telah memberikan bimbingan dan bantuan dana bagi penyusunan
dan penyelesaian tafsir ini.
Demikian juga, kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh
anggota panitia atas kerjasama dan kerja kerasnya, sehingga tafsir ini dapat
terwujud, walaupun terdapat berbagai kendala dalam penyelesaiannya.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian
dan penerbitan Tafsir Al-Quran Juz XX ini, kami ucapkan terima kasih.
Semoga pengorbanan Ibu dan Bapak sekalian mendapat imbalan yang
lebih baik di sisi Allah Swt. Kami mohon kritik dan saran kepada seluruh
pembaca bagi perbaikan tafsir ini di masa yang akan datang. Mohon maaf
atas kekurangan kami dalam penyusunan tafsir ini.
Wa l-lâhu a‘lam bî l-shshawâb.

Bandung, Desember 2020 M / Rabi’ul Akhir 1441 H

Panitia Penyusun Tafsir Al-Quran Juz XX


Dr. H.M. Wildan Yahya, Drs., M.Pd.
Ketua Tim Pelaksana
Mukadimah 1 xxv

Mukadimah

Bismillahirrahmanirrahim
(65) Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui
bila mereka akan dibangkitkan' (66) Sebenarnya pengetahuan mereka
tentang akhirat tidak sampai (kesana) malahan mereka ragu-ragu tentang
akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya. (QS Al-Naml [26]:
65-66)
Segala puji dan syukur patut dipersembahkan ke Hadirat Allah Swt
atas limpahahan rahmat dan inayah-Nya kepada Tim Penyusun Tafsir,
sehingga dapat menyelesaikan Juz XX ini , tanpa halangan yang berarti.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad
Saw, tiada nabi sesudahnya, dan kepada keluarga, sahabat, serta para
pengikutnya, hingga akhir zaman.
Dilihat dari susunan surat yang terdapat Juz XX ini, maka ia terdiri
atas tiga surat: surat Al-Naml (ayat 56-93), surat Al-Qashash (dari ayat 1
-88), dan surat Al-Ankabût (dari ayat 1-45). Semua surat yang terhimpun
dalam Juz XX ini termasuk golongan Makkiyyah, yang dapat diprakirakan
ciri-cirinya, antara lain berbicara soal akidah, akhlak, dan kisah-kisah umat
terdahulu serta keadaan umat pada saat Nabi Saw masih hidup.
xxvi Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Pertama: Surat Al-Naml [27]: 56-93 dengan isi pokoknya


adalah sebagai berikut:
Aqidah: mengungkap Ke-esaan Allah dan Kekuasaan-Nya, Hanya
Allah yang Mengetahui yang Gaib, Orang Musyrik mengingkari hari
kebangkitan; Penetapan Al-Quran tentang Kenabian Muhammad; Tanda-
tanda Hari Kiamat; dan Menyibukkan Diri dengan Beribadah.
KIsah-kisah : Akhir kisah Nabi Luth as dan Kaumnya.
Kedua: Surat Al-Qashash [28]: 1-88 memuat isi pokoknya
sebagai berikut:
Aqidah: penolakan Firaun atas rububiyyah Allah; kebutuhan
manusia terhadap rasul; penduduk Mekah menolak Al-Quran dan Risalah
Nabi Muhammad; berimannya sekelompok ahli Kitab kepada Al-Quran;
Allah Pemilik kebenaran Mutlak Layak Dipuji dan Diimani; Pada Hari Kiamat
orang Kafir dilecehkan Allah; dan Bukti Kekuasaan dan keagungan Allah.
Kisah-kisah: Kisah Nabi Musa as dari sejak kecil, dewasa, dan
menikah, sehingga akhirnya diangkat menjadi nabi/rasul; Harun as
diangkat menjadi rasul/nabi untuk membantu dakwah saudaranya, Musa
as; dan kisah Qarun dan Hikmah yang dapat dipetik darinya bagi umat saat
itu dan saat ini.
Ketiga, Surat Al-Ankabût [29]: 1-45 mengungkap pokok-pokok
isinya:
Aqidah: cobaan dan anugrah bagi manusia; kondisi batin orang
Munafik; ujian keimanan bagi orang Mukmin; Penyembah Berhala bagaikan
Laba-laba dan sarangnya;
Akhlak: Perintah berbakti kepada Kedua Orangtua dan beramal
saleh.
Kisah-kisah: kisah Nabi Ibrahim as bersama Kaumnya; keimanan
Nabi Luth kepada Nabi Ibrahim; kisah Nabi Luth as dan kaumnya; Kisah
Nabi Syuaib, Shalih, dan Musa as.
Demikian secara singkat gambaran tentang isi pokok dari ketiga
surat tersebut di atas. Untuk mendapatkan pengertian, pemahaman,
penghayatan yang lebih mendalam dari isi tersebut, pembaca yang budiman
dipersilakan mempelajari Tafsir Juz XX ini dengan seksama. Semoga kita
mendapatkan mutiara-mutiara ilmu dan hidayah dari Al-Quran.

Wassalam.
Bandung, Desember 2020 M / Rabi’ul Akhir 1441 H
Tim Penyusun Tafsir JUZ XX UNISBA,
Daftar Isi 1 xxvii

Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................... ix

Selayang Pandang ..................................................................... xiii

Endorcement dari para Ahli dan Tokoh Islam ................................ xvii

Ucapan Terima Kasih ................................................................ xxiii

Mukadimah .............................................................................. xxv

Daftar Isi ................................................................................ xxvii

Surah 27: Al-Naml .................................................................... 1

Akhir Kisah Nabi Luth dan Kaumnya (QS Al-Naml [27]: 56-58) ........... 3

Keesaan Allah dan Kekuasaan-Nya (QS Al-Naml [27]: 59-64) ............. 9

Hanya Allah yang Mengetahui Perkara Gaib


(QS Al-Naml [27]: 65-66) ............................................................ 22

Orang-Orang Musyrik Mengingkari Hari Kebangkitan


(QS Al-Naml [27]: 67-75) ............................................................ 26

Penetapan Al-Quran tentang Kenabian Muhammad Saw


(QS Al-Naml [27]: 76-81) ............................................................ 33

Tanda-Tanda Kiamat: Kemunculan “Dâbbatu l-ardh”


(Binatang Melata dari Bumi) (QS Al-Naml [27]: 82-86) .................... 40

Tanda-Tanda Kiamat: Ditiupnya Sangkakala dan Gunung Berjalan


(QS Al-Naml [27]: 87-90) ............................................................ 47

Menyibukkan Diri dengan Beribadah (QS Al-Naml [27]: 91-93) ........ 56


xxviii Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Surah 28: Al-Qashash ............................................................... 67

Kisah Nabi Musa (1) Pertolongan Allah Swt bagi Mustadh’afîn


(Orang-Orang Lemah) (QS Al-Qashash [28]: 1-6) ........................... 72

Musa Kecil Dihanyutkan ke Sungai Nil (QS Al-Qashash [28]: 7-14) .... 82

Musa Melarikan Diri dari Mesir (QS Al-Qashash [28]: 15-21) ............ 94

Musa Menikahi Putri Nabi Syu’aib (QS Al-Qashash [28]: 22-28) ...... 103

Diangkatnya Musa Menjadi Nabi (QS Al-Qashash [28]: 29-32) ........ 113

Harun Menjadi Nabi (QS Al-Qashash [28]: 33-37) ......................... 118

Penolakan Firaun tentang Rubûbiyyah Allah dan Akibatnya


(QS Al-Qashash [28]: 38-43) ...................................................... 125

Kebutuhan Manusia Kepada para Rasul dan Diutusnya


Muhammad Saw (Al-Qashash [28]: 44-47) .................................. 132

Penduduk Mekah Mendustakan Al-Quran dan Risalah


Nabi Muhammad Saw (QS Al-Qashash [28]: 48-51) ...................... 138

Keimanan Sekelompok Ahlul Kitab Kepada Al-Quran


(QS Al-Qashash [28]: 52-55) ...................................................... 144

Jawaban terhadap Dalih Orang-Orang Musyrik


(QS Al-Qashash [28]: 56-61) ...................................................... 151

Pada Hari Kiamat Orang-Orang Kafir Dilecehkan dengan


Tiga Macam Pertanyaan (QS Al-Qashash [28]: 62-67) .................. 162

Pemilik Kebenaran Mutlak Berhak Dipuji dan Diibadahi


(QS Al-Qashash [28]: 68-70) ...................................................... 170

Bukti Keagungan dan Kekuasaan Allah serta Penegasan Kecaman


kepada Orang-Orang Musyrik (QS Al-Qashash [28]: 71-75) ............ 175

Kisah Qarun Kesesatan Kaum Nabi Musa yang Tertipu


dengan Harta (QS Al-Qashash [28]: 76-78) .................................. 182

Sebagian Bukti Kesombongan Qarun


(QS Al-Qashash [28]: 79-82) ...................................................... 190

Pelajaran dari Kisah Qarun (QS Al-Qashash [28]: 83-84) ............... 197
Daftar Isi 1 xxix

Kisah Nabi dan Sahabat-Sahabatnya dengan Kaumnya


(QS Al-Qashash [28]: 85-88) ...................................................... 201

Surah 29: Al-Ankabût .............................................................. 213

Cobaan dan Anugerah bagi Manusia (QS Al-Ankabût [29]: 1-7) ...... 219

Perintah Berbakti kepada Orangtua dan Beramal Saleh


(QS Al-Ankabût [29]: 8-9) ......................................................... 232

Kondisi Orang-Orang Munafik (QS Al-Ankabût [29]: 10-11) ............ 237

Ujian Keimanan bagi Kaum Mukminin


(QS Al-Ankabût [29]: 12-13) ...................................................... 242

Kisah Nabi Nuh dan Kaumnya (QS Al-Ankabût [29]: 14-15) ............ 247

Kisah Nabi Ibrahim dan Kaumnya (QS Al-Ankabût [29]: 16-23) ....... 251

Jawaban Kaum Ibrahim dan Keimanan Nabi Luth kepada


Nabi Ibrahim (QS Al-Ankabût [29]: 24-27) ................................... 260

Kisah Nabi Luth dan Kaumnya (QS Al-Ankabût [29]: 28-35) ........... 267

Kisah Nabi Syu’aib, Shalih, dan Musa


(QS Al-Ankabût (26): 36-40) ...................................................... 276

Penyembah Berhala Seperti Laba-Laba


(QS Al-Ankabût [29]: 41-43) ...................................................... 282

Faedah Penciptaan Langit dan Bumi, Tilâwah Al-Qur'an,


dan Menegakkan Salat (QS Al-Ankabût [29]: 44-45) ...................... 288

Catatan Akhir ........................................................................... 297

Daftar Pustaka ......................................................................... 355

Indeks .................................................................................... 361


xxx Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
Surah

27

Al-Naml


2 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
27


Al-Naml

Akhir Kisah Nabi Luth dan Kaumnya (QS Al-Naml [27]: 56-58)

           

          

         


(56) Jawaban kaumnya tidak lain hanya dengan mengatakan, “Usirlah
Luth dan keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-
orang yang (menganggap dirinya) suci;” (57) Maka Kami selamatkan dia
dan keluarganya, kecuali istrinya. Kami telah menentukan dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan); (58) Dan Kami hujani mereka
dengan hujan (batu), maka sangat buruklah hujan (yang ditimpakan) pada
orang-orang yang diberi peringatan itu (tetapi tidak mengindahkan). (QS
Al-Naml [27]: 56-58)

3
4 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Penjelasan Ayat
Nabi Luth as berdakwah sebagaimana para nabi sebelumnya.
Kaumnya menyikapi beliau sebagaimana sikap orang-orang sebelum
mereka yang mendustakan para rasul, hati mereka sama dalam kekafiran
sehingga ucapannya pun sama.
Di samping syirik, mereka juga mengerjakan perbuatan keji yang
belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum mereka. Mereka lebih
menyukai sesama laki-laki, dan tidak suka kepada wanita.
Sikap kaumnya melampaui batas. Tapi, Nabi Luth senantiasa
mendakwahi mereka agar mentauhidkan Allah dan tidak berbuat keji
itu. Mereka menentang dakwah Nabi Luth. Wahai Luth, jika engkau tidak
berhenti, engkau termasuk orang-orang yang terusir.
Ayat-ayat ini merupakan pelengkap dan akhir dari kisah Nabi Luth
as beserta kaumnya dan menerangkan jawaban kaum Luth as terhadap
dakwah dan seruannya. Allah Swt berfirman,

….             

Jawaban kaumnya tidak lain hanya dengan mengatakan, “Usirlah Luth dan
keluarganya dari negerimu …” (QS Al-Naml [27]: 56)
Kaum Luth telah menyatakan ketetapan dan keteguhan mereka
untuk tetap melakukan kemungkaran. Mereka bermusyawarah dan
menyampaikan sikap untuk mengusir Luth dengan orang-orang yang setia
bersamanya dari negeri mereka.
Luth dianggap tidaklah pantas mendiami negeri mereka, dan hidup
berdampingan bersama mereka. Dengan demikian, mereka pun dapat
terhindar dari nasihat Luth dan seruan dakwahnya. Negeri itu menurut
mereka ialah negeri mereka dan Luth serta kaumnya ialah kelompok
terasing di negeri itu.
Allah Swt menceritakan tentang hamba dan rasul-Nya, yaitu Luth
bahwa beliau memberikan peringatan kepada kaumnya akan azab Allah
yang akan menimpa mereka, disebabkan mereka mengerjakan perbuatan
yang keji. Perbuatan itu belum pernah dilakukan oleh seorang manusia
pun sebelumnya, yaitu melakukan hubungan seksual dengan sesama
jenisnya, bukan kaum wanita. Itu merupakan perbuatan keji yang sangat
berat; lelaki dengan lelaki, dan wanita dengan wanita.
Surah Al-Naml (27): 56-58 5

Luth berkata kepada mereka,


Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (keji), padahal kamu
melihatnya (kekejian perbuatan maksiat itu)? (QS Al-Naml [27]: 54)
Yakni, sebagian dari kalian menyaksikan sebagian yang lain sedang
melakukan perbuatan keji itu di tempat-tempat kalian berkumpul.
Allah Swt berfirman,
Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat(mu),
bukan (mendatangi) perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak
mengetahui (akibat perbuatanmu). (QS Al-Naml [27]: 55)
Yaitu, kalian tidak mengetahui akibat perbuatan kalian itu baik dinilai
oleh tabiat maupun hukum syarak seperti yang dijelaskan ayat lain melalui
firman-Nya,
(165) Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia (berbuat
homoseks); (166) dan kamu tinggalkan (perempuan) yang diciptakan
Tuhan untuk menjadi istri-istri kamu? Kamu (memang) orang-orang yang
melampaui batas.” (QS Al-Syu’arâ` [26]: 165-166)
Di antara bentuk kemungkaran lain yang dilakukan oleh kaum Nabi
Luth ialah menyamun, sebagaimana firman Allah,
Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan
kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” Maka jawaban kaumnya
tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika
engkau termasuk orang-orang yang benar.” (QS Al-Ankabût [29]: 29)
Sebagian ahli tafsir mengartikan menyamun di sini dengan melakukan
perbuatan keji terhadap orang-orang yang lewat dalam perjalanan, karena
sebagian besar mereka melakukan homoseksual dengan tamu-tamu
yang datang ke kampung mereka. Ada pula yang mengartikan dengan
merusak jalan keturunan karena berbuat homoseksual itu. Ada pula yang
menafsirkan, dengan menghadang orang-orang yang lewat lalu membunuh
dan merampas harta mereka.
Pada lanjutan Surah Al-Naml ayat 56 tersebut diterangkan sebab
pengusiran Luth dari negeri mereka itu, Allah Swt berfirman,
6 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

… sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (menganggap dirinya)


suci.” (QS Al-Naml [27]: 56)
Luth dan kaumnya merasa sangat keberatan dengan perilaku
penduduk negeri itu. Ia dan kaumnya tidak menyetujui perbuatan
mungkar itu. Inilah sikap orang-orang fasik pada setiap zaman, mereka
tidak mau meninggalkan kemungkaran dan mendengarkan nasihat para
penyeru kebaikan. Hal tersebut dilakukan agar mereka tetap leluasa dalam
kemungkaran tanpa seorang pun yang membantah dan mengingkari
perbuatannya.
Ketika mereka telah bertekad dan bersikukuh untuk mengusir Luth
beserta kaumnya dari negeri mereka, maka Allah menimpakan azab yang
membinasakan mereka.
Allah Swt menyelamatkan orang-orang saleh dan beriman. Allah Swt
berfirman,

Maka Kami selamatkan dia dan keluarganya, kecuali istrinya. Kami telah
menentukan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). (QS
Al-Naml [27]: 57)
Kami selamatkan Luth beserta orang-orang yang beriman dari
keluarganya. Istri Luth menyetujui perbuatan buruk kaumnya dan berpihak
pada mereka dengan menunjukkan tamu-tamu Luth yang rupawan. Allah
menetapkan istri Luth sebagai orang-orang yang terkena azab yang
membinasakan itu. Karena, sesungguhnya orang yang senang dengan
kemungkaran sekalipun ia tidak melakukan kemungkaran itu, maka ia
termasuk orang-orang yang menyetujui kemungkaran dan baginya balasan
seperti para pelaku kemungkaran itu sendiri.
Setelah berulang kali diperingatkan dan ternyata usaha tersebut sia-
sia belaka, berdoalah Luth kepada Allah.
Dia (Luth) berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab)
atas golongan yang berbuat kerusakan itu.” (QS Al-Ankabût [29]: 30)
Doa Nabi Luth diterima Allah Swt. Allah mengutus beberapa malaikat
untuk menimpakan azab kepada kaum Nabi Luth yang sangat durhaka dan
ingkar itu.
Datang berita dari Allah, melalui Nabi Ibrahim bahwa negeri Sodom
Surah Al-Naml (27): 56-58 7

beserta seluruh penduduknya akan dibinasakan.


Ibrahim berkata, “Sesungguhnya di kota itu ada Luth.” Mereka (para malai-
kat) berkata, “Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami
pasti akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya, kecuali istrinya.’
Dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (QS Al-Ankabût
[29]: 32)
Para malaikat datang sebagai tamu (dalam rupa manusia) kepada
Nabi Luth as. Kaumnya mengetahui kedatangan mereka dan ingin
melakukan kejahatan. Nabi Luth menutup pintu rumah, kebingungan.
Para malaikat memberitahukan keadaan yang sebenarnya bahwa
kedatangan mereka adalah untuk menyelamatkan Nabi Luth dan
mengeluarkannya dari tengah-tengah kaumnya. Para malaikat ingin
membinasakan kaum Luth pada pagi hari.
Mereka memerintahkan Nabi Luth membawa pergi keluarganya di
malam hari, sehingga mereka selamat sedangkan kaumnya ditimpa azab
pada pagi harinya.
Allah membalikkan negeri mereka dan menjadikan bagian atasnya
di bawah dan bawahnya menjadi di atas, lalu mereka ditimpa hujan batu
yang bertubi-tubi.
Al-Suddi mengisahkan, para malaikat pergi meninggalkan Ibrahim
menuju perkampungan Luth. Mereka datang di perkampungan itu pada
tengah hari. Begitu tiba di sungai Sodom, mereka berpapasan dengan
putri Nabi Luth yang tengah mengambil air untuk keperluan keluarga.
.Lu th m em iliki d ua putr i, yan g su lung ber nam a Ritsa da n yan g b ungs u be rna ma Zag har ta

Para malaikat bertanya padanya, “Adakah rumah yang bisa kami


singgahi?”
“Ada. Tapi tunggu dulu, jangan masuk perkampungan ini terlebih
dulu sampai aku menemui kalian lagi,’ jawabnya.
Putri Luth mengkhawatirkan nasib tamu itu, jika nanti diperlakukan
kaumnya secara tidak senonoh.
Ia pun menyampaikannya kepada ayahnya setelah pulang. “Ayah,
ada sejumlah pemuda ingin bertemu di dekat pintu gerbang kota. Belum
pernah aku melihat suatu kaum pun wajahnya lebih tampan dari mereka.
Jangan sampai kaummu menjamu mereka, karena pasti akan mencemarkan
(nama baik kita) di hadapan mereka.”
Kaum Luth melarangnya untuk menjamu tamu lelaki. Mereka
berkata, “Biarkan kami saja yang menjamu para tamu lelaki.”
Luth kemudian membawa mereka ke rumah tanpa diketahui seorang
8 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

pun selain keluarganya. Istrinya kemudian keluar dan memberitahukan


kepada kaumnya, Ia berkata, “Di rumah ada beberapa lelaki. Belum pernah
aku melihat orang setampan mereka.”
Kaum Luth segera berdatangan.
Pada penghujung pembahasan ayat tersebut, Allah Swt berfirman,

       

Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu), maka sangat buruklah
hujan (yang ditimpakan) pada orang-orang yang diberi peringatan itu
(tetapi tidak mengindahkan). (QS Al-Naml [27]: 58)
Maksudnya, Kami turunkan hujan batu kepada mereka, bumi pun
menenggelamkan mereka. Amat buruklah hujan yang diturunkan kepada
orang-orang yang telah diberikan peringatan itu, yaitu orang-orang yang
telah disampaikan hujjah, peringatan ilahi, namun mereka menentang
rasul dan mendustakannya. Terlebih lagi, mereka hendak mengusir rasul
dari negeri mereka.
Itulah balasan bagi orang-orang fasik.

Hikmah dan Pesan


Dari pembahasan ayat-ayat tersebut di atas, terdapat beberapa
hikmah dan pesan yang dapat dipetik sebagai petunjuk dan pelajaran Al-
Quran bagi manusia dalam menjalani kehidupan.
(1) Dengan hikmah-Nya. Dia tidak menurunkan azab kepada suatu
kaum, kecuali apabila peringatan atau indzar, nasihat, dan petunjuk
telah sampai kepada mereka, bahkan pemberian masa atau jangka
waktu hingga turunnya azab tersebut.
(2) Luth menyatakan dengan tegas perbuatan keji dan buruk mereka.
(3) Cobaan dan rintangan dalam berdakwah bisa datang dari mana pun,
termasuk keluarga dekat, seperti yang terjadi kepada Nabi Luth.
(4) Setelah nasihat dan seruan disampaikan Luth, kaumnya tetap
bersikukuh dalam kesesatan mereka dan terus-menerus dalam
kemaksiatan.
(5) Nabi Luth gigih dan sabar dalam menyuarakan firman Allah kepada
kaumnya.
Surah Al-Naml (27): 59-64 9

(6) Dengan rahmat-Nya, Dia menyelamatkan Luth dan keluarganya yang


beriman kepada ajarannya, kecuali istrinya yang senang terhadap
perbuatan mungkar kaumnya.
(7) Allah Swt Maha Adil, Allah hujani mereka dengan batu dari tanah
yang terbakar.

***

Keesaan Allah dan Kekuasaan-Nya (QS Al-Naml [27]: 59-64)

                       

                          

                            

                                  

          

            

        

            

           

            

             

  


10 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(59) Katakanlah (Muhammad), “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera
atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik,
ataukah apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)?”; (60) Bukankah
Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air
dari langit untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang
berpemandangan indah? Kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-
pohonnya. Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sebenarnya
mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran); (61)
Bukankah Dia (Allah) yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam,
yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, yang menjadikan
gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan yang menjadikan suatu
pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?
Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui; (62) Bukankah Dia
(Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila
dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan
kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di samping
Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat;
(63) Bukankah Dia (Allah) yang memberi petunjuk kepada kamu dalam
kegelapan di daratan dan lautan dan yang mendatangkan angin sebagai
kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping
Allah ada tuhan (yang lain)? Mahatinggi Allah terhadap apa yang mereka
persekutukan; (64) Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan (makhluk)
dari permulaannya, kemudian mengulanginya (lagi) dan yang memberikan
rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan
(yang lain)? Katakanlah, “Kemukakanlah bukti kebenaranmu, jika kamu
orang yang benar.” (QS Al-Naml [27]: 59-64)

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah Swt menjelaskan kisah empat
orang nabi beserta kaum mereka, balasan dan azab yang menimpa
mereka, kemusyrikan dan penyembahan mereka terhadap berhala. Di
samping itu, ayat-ayat tersebut menunjukkan kesempurnaan kekuasaan
Allah dan pertolongan-Nya kepada para nabi dan rasul dalam menghadapi
musuh-musuh mereka.
Pada ayat-ayat berikut ini, Allah memerintahkan para rasul-Nya
untuk senantiasa memuji Allah atas nikmat-nikmat dan keselamatan yang
diberikan kepada mereka. Karena, para nabi dan rasul telah melaksanakan
Surah Al-Naml (27): 59-64 11

kewajiban, yaitu tablîgh atau menyampaikan risalah Allah dengan sebaik-


baiknya.
Allah Swt menyanggah para penyembah berhala dengan berbagai
dalil yang menunjukkan eksistensi Allah, kekuasaan-Nya dalam menciptakan
dan keikhlasan hamba-hamba Allah dalam beribadah kepada-Nya.

Penjelasan Ayat
Allah Swt berfirman,

....         


Katakanlah (Muhammad), “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera atas
hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya.…” (QS Al-Naml [27]: 59)
Allah Swt memerintahkan rasul-Nya untuk memuji Allah dan
bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya yang tidak terkira dan tak terhitung.
Memuji Allah dengan segala sifat-sifat-Nya yang terpuji dan nama-nama-
Nya yang indah. Demikian juga, semoga salawat dan salam senantiasa
tercurah kepada hamba-hamba Allah yang terpilih untuk menerima dan
menyampaikan risalah-Nya, mereka itu ialah para nabi dan rasul.
Khitab atau sasaran ayat ini diperuntukkan bagi Nabi Muhammad
Saw, karena kepada beliaulah Al-Quran diturunkan. Di antara nikmat-
nikmat Allah yang berlimpah itu ialah keselamatan dan pertolongan
Allah kepada mereka dalam menghadapi orang-orang yang menentang,
memusuhi, dan mengingkarinya.
Allah berhak mendapatkan segala pujian dan sanjungan karena
sifatnya sempurna, karena kebaikan-Nya, pemberian-Nya, keadilan dan
kebijaksanaan-Nya dalam menghukum orang-orang yang mendustakan
dan mengazab orang-orang yang zalim.
Dia juga memberikan kasih sayang kepada hamba-hamba pilihan-
Nya, seperti para nabi dan para rasul. Hal ini untuk meninggikan nama
mereka, dan meninggikan kedudukan mereka serta selamatnya mereka
dari keburukan dan kotoran, serta selamatnya apa yang mereka ucapkan
tentang Tuhan mereka dari kekurangan dan aib.
Ayat di atas selaras dengan firman Allah,
(180) Mahasuci Tuhanmu, Tuhan Yang Mahaperkasa dari sifat yang mereka
katakan; (181) Dan selamat sejahtera bagi para rasul; (182) Dan segala
puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. (QS Al-Shâffât [37]: 180-182)
12 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Ayat ini memberikan isyarat dan pelajaran bagi kita untuk selalu
memuji Allah dalam segala perbuatan-Nya, dan mengucapkan salawat
serta salam untuk hamba-hamba Allah terpilih, yaitu para nabi dan rasul.
Selanjutnya pada penghujung ayat, Allah Swt berfirman,

… Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan
(dengan Dia)?” (QS Al-Naml [27]: 59)
Apakah Allah yang memiliki sifat-sifat yang Maha Tinggi, Maha
Agung, Maha Kuasa itu lebih baik ataukah berhala-berhala yang mereka
persekutukan dengan Allah?
Ayat tersebut menggunakan uslûb istifhâm inkârî atau gaya
kalimat pertanyaan yang tidak menghendaki jawaban. Atau, berupa
pengingkaran dan bantahan terhadap perbuatan orang-orang musyrik
yang menyekutukan Allah dengan sesembahan lainnya dalam beribadah.
Gaya kalimat ini merupakan peringatan atas kesesatan dan kejahilan
mereka, sehingga tampak jelas perbandingan antara sesembahan
mereka dengan Allah yang Maha Pencipta dan Pemilik segala kebaikan.
Perbandingan ini ditujukan untuk memperlihatkan buruknya keyakinan
mereka yang meyakini adanya manfaat dari sesembahan mereka.
Dalam suatu riwayat diterangkan bahwa ketika Rasulullah Saw
membaca ayat tersebut, beliau mengatakan,

‫ َو َ ﻞ َو ْﻛ َﺮ ُم‬،‫ﷲ ْ ٌَﲑ َو ﺑْ َﻘﻰ‬


ُ ِ‫ﺑَﻞ‬
Melainkan Allah-lah yang lebih baik dan kekal, lebih mulia dan dermawan.
Sesudah bantahan dan pengingkaran pada ayat tersebut, Allah Swt
membantah secara lebih terperinci terhadap para penyembah berhala
dengan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah Tuhan yang Maha Esa,
tiada sekutu bagi-Nya. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Karena, Dia-lah yang menciptakan pokok-pokok kenikmatan serta cabang-
cabangnya. Maka, bagaimana bisa dibenarkan melakukan ibadah kepada
makhluk yang tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun?
Dalil-dalil itu, antara lain:
Pertama, dalil-dalil yang berkaitan dengan penciptaan langit. Allah
Swt berfirman,
Surah Al-Naml (27): 59-64 13

         

            

      


Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang
menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air
itu kebun-kebun yang berpemandangan indah? Kamu tidak akan mampu
menumbuhkan pohon-pohonnya. Apakah di samping Allah ada tuhan
(yang lain)? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang
(dari kebenaran). (QS Al-Naml [27]: 60)
Maksudnya, apakah menyembah berhala yang tidak dapat
memberikan manfaat dan mudarat itu lebih baik ataukah beribadah kepada
Allah yang menciptakan langit?
Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang yang terang menghiasi
langit dan beredar sesuai dengan garis edarnya. Dia-lah yang menciptakan
bumi, tempat yang layak untuk kehidupan yang tenang, serta gunung
dan lembah, sungai, tanaman, pepohonan, buah-buahan, lautan, hewan
dengan berbagai bentuk dan warna.
Demikian pula, Dia-lah yang telah menurunkan hujan dari
langit sebagai rezeki bagi hamba-hamba-Nya. Dia-lah juga yang telah
menumbuhkan kebun-kebun yang indah. Tanpa-Nya tidaklah mungkin
muncul tumbuh-tumbuhan, pepohonan, dan tanaman.
Allah, satu-satunya yang menciptakan dan memberikan rezeki. Maka
apakah pantas menyembah tuhan selain-Nya?
Sebagaimana firman Allah Swt,
Allah tidak mempunyai anak, dan tidak ada tuhan (yang lain) bersama-
Nya, (sekiranya tuhan banyak), maka masing-masing tuhan itu akan
membawa apa (makhluk) yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-
tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa
yang mereka sifatkan itu, (QS Al-Mu’minûn [23]: 91)
Menurut Al-Qurtubi, firman Allah,
14 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

… Kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya.... (QS


Al-Naml [27]: 60)
Ayat ini dijadikan dalil oleh Mujahid terhadap larangan menggambar
benda apa pun, baik itu yang bernyawa maupun tidak.
Namun, terdapat hadis yang berbeda dengan pendapat ini. Muslim
dari Abu Hurairah, meriwayatkan. Rasulullah Saw bersabda,

‫ﷲ َﻋﺰ َو َ ﻞ َو َﻣ ْﻦ ْﻇ َ ُﲅ ِﻣﻤ ْﻦ َذﻫ ََﺐ َ ْﳜﻠُ ُﻖ ﻛَ َ ﻠْ ِﻘﻲ ﻓَﻠْ َﯿ ْ ﻠُ ُﻘﻮا ُذر ًة ْو‬ ُ ‫ﻗَﺎ َل‬
‫ِﻟ َﯿ ْ ﻠُ ُﻘ ْﻮا َﺣ ًﺔ ْو َﺷ ِﻌ ْ َﲑ ًة‬
Allah Swt berf rman, ‘Siapakah yang lebih zalim daripada orang
yang membuat ciptaan seperti ciptaan-Ku. Hendaklah dia membuat
(menggambar) benih atau biji, atau membuat biji gandum'. (HR Muslim)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menggambar sesuatu yang
tidak bernyawa diperbolehkan, dan mengambil upah dari pekerjaan
tersebut.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abbas. Ia berkata
kepada seseorang yang membuat gambar, “Jika kamu memang perlu
membuat gambar itu, maka buatlah gambar pepohonan dan benda-benda
yang tidak bernyawa lainnya.”
Sungguh, orang-orang musyrik itu ialah kaum yang menyimpang
dari kebenaran kepada kebatilan, sehingga mereka menjadikan sekutu-
sekutu bagi Allah. Ayat tersebut di atas senada dengan firman-Nya,
Maka apakah (Allah) yang menciptakan sama dengan yang tidak dapat
menciptakan (sesuatu)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS
Al-Nahl [16]: 17)
Dan juga firman-Nya,
Dan jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan
mereka, niscaya mereka menjawab, Allah; jadi bagaimana mereka dapat
dipalingkan (dari menyembah Allah). (QS Al-Zukhruf [43]: 87)
Demikian pula firman Allah,
Dan jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menurunkan air
dari langit lalu dengan (air) itu dihidupkannya bumi yang sudah mati?”
Pasti mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,”
tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti. (QS Al-Ankabût [29]: 63)
Surah Al-Naml (27): 59-64 15

Dalam penafsirannya, Al-Zamakhsyari menjelaskan perbedaan


antara ammâ dan amman. Adapun kata ammâ merupakan kata sambung
yang bermakna ayyuhumâ khaîr atau siapakah di antara keduanya itu yang
lebih baik. Sedangkan kata amman merupakan kata pemutus yang berarti
bal (melainkan Allah-lah yang lebih baik).
Kedua, dalil-dalil yang berkaitan dengan penciptaan bumi. Allah Swt
berfirman,

          

            

Bukankah Dia (Allah) yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam,
yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, yang menjadikan
gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan yang menjadikan suatu
pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?
Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS Al-Naml [27]: 61)
Maksudnya, apakah menyembah berhala yang tidak mendatangkan
manfaat dan mencegah mudarat itu lebih baik atau menyembah Allah
yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam bagi manusia dan
makhluk lainnya.
Allah pula yang menjadikan sungai-sungai dengan airnya yang
tawar untuk air minum manusia, hewan, dan tumbuhan. Allah juga yang
menciptakan gunung-gunung yang kokoh, sehingga bumi tidak terus
berguncang.
Dia-lah yang memisahkan antara air tawar dan air laut yang asin serta
menjadikan batas di antara keduanya yang mencegah percampuran satu
sama lain, baik air tawar maupun laut tidak merusak unsur yang lainnya.
Air tawar digunakan manusia dan ternak untuk minum dan menyirami
tumbuh-tumbuhan. Air laut berguna dalam proses pembentukan air hujan,
sehingga menghasilkan udara yang bersih di langit, bukan udara tercemar
yang kadang-kadang terbentuk dari kumpulan air yang tawar.
Adakah tuhan lain yang dianggap sekutu Allah yang sanggup
menciptakan dan membuat alam semesta ini? Banyak orang musyrik yang
tidak mengetahui kebenaran dan kebesaran Tuhan yang berhak untuk
disembah ini.
Senada dengan ayat tersebut, Allah Swt berfirman,
16 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Allah-lah yang menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap dan


langit sebagai atap, dan membentukmu lalu memperindah rupamu serta
memberimu rezeki dari yang baik-baik. Demikianlah Allah, Tuhanmu,
Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam. (QS Ghâfir [40]: 64)
Juga firman Allah Swt,
Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang
ini tawar dan segar dan yang lain sangat asin lagi pahit; dan Dia jadikan
antara keduanya dinding dan batas yang tidak tembus. (QS Al-Furqân
[25]: 53)
Ketiga, dalil-dalil yang berkaitan dengan kebergantungan makhluk
kepada Allah. Firman Allah Swt,

Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam


kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan
dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi?
Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat
Allah) yang kamu ingat. (QS Al-Naml [27]: 62)
Maksudnya, apakah tuhan-tuhan yang mereka sembah itu lebih
baik ataukah Allah yang memperkenankan doa orang-orang yang
dihadapkan dengan kesulitan, sakit, kefakiran, dan ujian kehidupan bila
mereka bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya. Dia-lah Allah yang
menghilangkan kesulitan, penyakit, kefakiran, ketakutan, dan lainnya. Dia-
lah Allah yang menjadikan kalian pewaris bumi dari umat-umat sebelum
kalian, pewaris yang akan memakmurkan dan mengelola bumi.
Senada dengan firman Allah Swt,
Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi
dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk
mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha
Pengampun, Maha Penyayang. (QS Al-An'âm [6]: 165)
Ayat tersebut merupakan dalil bahwa Allah mengabulkan dan
Surah Al-Naml (27): 59-64 17

mengijabah doa orang-orang yang dihimpit kesulitan. Karena pada


kondisi yang sangat sulit tersebut, umumnya orang-orang merendahkan
dirinya kepada Allah dan ikhlas berdoa kepada-Nya. Di samping itu, hati
mereka tidak bergantung, kecuali kepada Allah, keikhlasan seseorang
mengantarkan doanya lebih dikabulkan Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (dan
berlayar) di lautan. Sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan
meluncurlah (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di
dalamnya) dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira
karenanya; tiba-tiba datanglah badai dan gelombang menimpanya dari
segenap penjuru, dan mereka mengira telah terkepung (bahaya), maka
mereka berdoa dengan tulus ikhlas kepada Allah semata. (Seraya berkata),
”Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pasti kami
termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS Yûnus [10]: 22)
Juga firman Allah Swt,
Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh
rasa pengabdian (ikhlas) kepada-Nya, tetapi ketika Allah menyelamatkan
mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali) mempersekutukan
(Allah). (QS Al-Ankabût [29]: 65)
Maksudnya, Allah Swt mengabulkan doa mereka ketika himpitan
dan kesulitan menimpa, juga karena keikhlasan mereka, sekalipun Allah
mengetahui bahwa kelak mereka akan kembali kepada kekufuran dan
kemusyrikan.
Dalam hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda,
“Tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang dizalimi, doa orang yang
tengah dalam perjalanan, dan doa orang tua terhadap anaknya.” Dalam
riwayat lainnya, Rasulullah Saw berpesan kepada Mu’adz Ibnu Jabal ketika
beliau mengutusnya ke negeri Yaman, “Waspadalah terhadap doa orang
yang dizalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah”
(HR Muslim).
Dengan adanya dalil-dalil dan bukti-bukti di atas, apakah masuk akal
kalau ada tuhan lain bersama dengan Allah? Apakah seseorang mampu
menandingi Allah yang Maha Kuasa dalam setiap perbuatan-Nya? Akan
tetapi, betapa sedikitnya manusia mengingat nikmat-nikmat Allah yang
menunjukkan kepada kebenaran dan jalan yang lurus.
18 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Keempat, dalil-dalil yang berkaitan dengan kebergantungan makhluk


kepada Allah pada waktu khusus. Firman Allah,

Bukankah Dia (Allah) yang memberi petunjuk kepada kamu dalam


kegelapan di daratan dan lautan dan yang mendatangkan angin sebagai
kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping
Allah ada tuhan (yang lain)? Mahatinggi Allah terhadap apa yang mereka
persekutukan. (QS Al-Naml [27]: 63)
Maksudnya, apakah tuhan lain yang kamu sembah itu lebih baik
daripada Allah yang menunjukkan kamu ketika gelap gulita di darat dan
laut, saat kamu kehilangan arah petunjuk dan tersesat. Petunjuk itu berupa
fenomena alam yang ada di bumi dan di langit.
Allah Swt berfirman,
dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-
bintang mereka mendapat petunjuk. (QS Al-Nahl [16]: 16)
Juga firman Allah Swt,
Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu
menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Kami telah
menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang-orang yang
mengetahui. (QS Al-An'âm [6]: 97)
Dia-lah Allah yang mengirimkan angin sebagai pertanda awal
turunnya hujan. Air hujan yang dapat menghidupkan bumi yang gersang
dan mati. Adakah tuhan lain bersama Allah yang mampu melakukan hal
tersebut. Maha Suci Allah Swt, yang Maha Esa dengan ketuhanan-Nya dan
Maha Sempurna dengan sifat-sifat kemuliaan-Nya.
Kelima, dalil-dalil yang berkaitan dengan penciptaan makhluk dan
pemberian rezeki kepada mereka.
Allah Swt berfirman,
Surah Al-Naml (27): 59-64 19

Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan (makhluk) dari permulaannya,


kemudian mengulanginya (lagi) dan yang memberikan rezeki kepadamu
dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?
Katakanlah, “Kemukakanlah bukti kebenaranmu, jika kamu orang yang
benar.” (QS Al-Naml [27]: 64)
Maksudnya, apakah tuhan-tuhan yang lemah itu lebih baik ataukah
Allah yang Maha Kuasa yang menciptakan makhluk-Nya tanpa ada contoh
sebelumnya, kemudian Dia yang mewafatkan mereka, lalu Dia yang
menghidupkan mereka dan membangkitkan kembali, sebagaimana firman
Allah,
Sungguh, Dialah yang memulai penciptaan (makhluk) dan yang
menghidupkannya (kembali). (QS Al-Burûj [85]: 13)
Demikian juga firman Allah,
Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali,
dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit
dan di bumi. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS Al-Rûm
(30): 27)
Dia-lah Allah yang memberikan rezeki dari langit melalui hujan yang
turun, dan tetumbuhan yang muncul di atas permukaan bumi.
Adakah tuhan lain yang dapat melakukan semua perbuatan di atas
sebagaimana halnya Allah yang Maha Kuasa?
Hai rasul, katakanlah kepada mereka, “Jika kalian adalah orang-
orang yang benar, berikanlah bukti kebenaran terhadap pengakuan kalian
dalam menyembah tuhan-tuhan selain Allah.”
Namun pada kenyataannya, tidak ada dalil bagi mereka dan bukti
yang dapat diterima akal. Allah Swt berfirman,
Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain selain Allah, padahal tidak
ada suatu bukti pun baginya tentang itu, maka perhitungannya hanya
pada Tuhannya. Sungguh orang-orang kaf r itu tidak akan beruntung. (QS
Al-Mu’minûn [23]: 117)
Abu Hayyan menuturkan, “Pertanyaan pada setiap penghujung ayat
ayat ini bersesuaian dengan permulaan ayat-ayatnya.” Ketika disebutkan
alam raya ini beserta nikmat-nikmat yang ada di dalamnya berupa hujan
yang turun dan kebun-kebun yang tumbuh, maka Allah Swt menutup
dengan firman-Nya,
20 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

… Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari


kebenaran). (QS Al-Naml [27]: 60)
Maksudnya, mereka menyimpang dari menyembah Allah kepada
menyembah makhluk. Maka tidak ada tuhan yang layak disembah, kecuali
Allah, pencipta alam semesta ini.
Ketika disebutkan keadaan bumi sebagai tempat tinggal, sungai
yang mengalir, gunung yang kokoh, hal ini menunjukkan betapa pentingnya
menggunakan akal untuk bertafakur dan memikirkan alam ini. Allah
menutupnya dengan firman-Nya,
… Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS Al-Naml [27]:
61)
Ketika disebutkan bahwa Allah mengabulkan doa-doa orang yang
dihimpit kesulitan, Allah menghilangkan segala keburukan dan menjadikan
manusia khalifah-Nya di muka bumi, Allah menutup dengan firman-Nya,
… Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat. (QS Al-Naml [27]: 62)
Ayat ini menunjukkan tabiat manusia yang lalai dan lupa bila berada
dalam kebaikan dan terhindar dari kesulitan. Ketika disebutkan petunjuk
Allah saat diliputi kegelapan, kesesatan, dan dikirimkan oleh-Nya angin
yang berhembus dengan segala kebaikannya, Allah Swt menutup dengan
firman-Nya,
… Mahatinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan. (QS Al-Naml
[27]: 63)
Kalimat-kalimat tersebut diikuti dengan firman-Nya,
… Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? .... (QS Al-Naml [27]:
64)
Kalimat ini untuk menegaskan dan menguatkan serta menetapkan
bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Hikmah dan Pesan


Dari pembahasan ayat-ayat tersebut di atas, terdapat beberapa
hikmah dan pesan yang dapat dipetik sebagai petunjuk dan pelajaran Al-
Quran bagi manusia dalam menjalani kehidupan.
(1) Ayat-ayat tersebut merupakan dalil-dalil yang menunjukkan dan
menetapkan keberadaan Allah yang Maha Esa dan Maha Kuasa.
Surah Al-Naml (27): 59-64 21

(2) Kebinasaan dan kehancuran umat-umat terdahulu disebabkan


karena mereka terus-menerus dalam kemusyrikan dan menyembah
berhala, melakukan dosa-dosa besar dan perbuatan keji.
(3) Ayat di atas merupakan petunjuk untuk tetap memuji Allah yang
telah membinasakan umat-umat terdahulu karena kemusyrikan dan
kemaksiatan yang dilakukan di negeri-negeri mereka.
(4) Ayat di atas mengandung celaan bagi orang-orang musyrik atas
kesesatan dan perbuatan mereka yang lebih mengutamakan
beribadah kepada berhala-berhala daripada beribadah kepada Allah
Swt.
(5) Allah menciptakan langit dan bumi, menurunkan hujan,
menumbuhkan berbagai macam tumbuhan dengan buah dan
bentuk serta warna yang bermacam-macam, juga menciptakan
alam ini dengan pemandangannya yang indah.
(6) Allah Swt semata sumber kasih sayang yang berkuasa menolak
kemudaratan.
(7) Allah Swt semata sumber kebaikan dan kemanfaatan.
(8) Allah yang menciptakan makhluk pada awalnya, pasti Dia pun
berkuasa membangkitkan.

***
22 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Hanya Allah yang Mengetahui Perkara Gaib (QS Al-Naml [27]: 65-
66)

             

              

   


(65) Katakanlah (Muhammad), “Tidak ada sesuatu pun di langit dan di
bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. Dan mereka tidak
mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan;” (66) Bahkan pengetahuan
mereka tentang akhirat tidak sampai (ke sana). Bahkan mereka ragu-ragu
tentangnya (akhirat itu). Bahkan mereka buta tentang itu. (QS Al-Naml
[27]: 65-66)

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah Swt menerangkan dalil-dalil
kekuasaan-Nya yang sempurna dan menyeluruh. Pada ayat-ayat berikut
ini dijelaskan pengetahuan Allah tentang perkara-perkara gaib. Dia-lah
yang berhak disembah. Karena Allah yang kuasa memberikan pahala dan
balasan kepada sesiapa saja yang berhak menerimanya.

Penjelasan Ayat
Allah Swt berfirman,

....           

Katakanlah (Muhammad), “Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi


yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah…” (QS Al-Naml [27]: 65)
Maksudnya, katakanlah hai rasul, tiada yang mengetahui perkara
gaib di langit maupun di bumi, kecuali Allah. Hanya Allah semata yang
mengetahui perkara tersebut dan tiada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana
firman Allah pada ayat lainnya,
Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui
selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada
Surah Al-Naml (27): 65-66 23

sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir
biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau
yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh).
(QS Al-An'âm [6]: 59)
Senada juga dengan firman Allah lainnya,
Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang
menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak
ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui
di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha
Mengenal. (QS Luqmân [31]: 34)
Imam Muslim dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Aisyah,
“Barang siapa yang menyangka bahwa Muhammad Saw mengetahui apa
yang akan terjadi esok, maka sungguh ia telah membuat kedustaan yang
besar kepada Allah.” Karena Allah Swt berfirman,

....           
Katakanlah (Muhammad), “Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi
yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah.…” (QS Al-Naml [27]:
65)
Pada ayat 65 tersebut, Allah Swt menafikkan pengetahuan perkara
gaib dari seorang pun secara umum, tak seorang pun mengetahui
masalah gaib, kemudian diiringi dengan menafikan secara khusus
tentang pengetahuan terjadinya hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang
mengetahui bilamana dan kapan hari kiamat itu berlaku.
Allah Swt berfirman,

… Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan. (QS


Al-Naml [27]: 65)
Tak seorang pun baik di langit maupun di bumi mengetahui waktu
terjadinya hari kiamat. Sebagaimana firman Allah Swt,
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, ”Kapan
terjadi?” Katakanlah, ”Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu
24 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan
waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya
bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu,
kecuali secara tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau
mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), ”Sesungguhnya pengetahuan
tentang (hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS Al-A’râf [7]: 187)
Betapa berat dan besarnya pengetahuan tentang hari kiamat itu
bagi penduduk langit dan bumi. Orang kafir dan orang-orang lainnya tidak
mengetahui kapan terjadinya hari kiamat, hari kebangkitan, hari hisâb/
perhitungan, dan pembalasan. Sungguh, hari kiamat itu akan datang
secara tiba-tiba.
Pada ayat berikutnya, Allah Swt menegaskan kejahilan mereka
tentang hari kiamat itu.

Bahkan pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (ke sana) .…


(QS Al-Naml [27]: 66)
Pengetahuan mereka tentang akhirat itu terbatas. Mereka tidak
mengetahui kapan terjadinya kiamat itu. Sekalipun dalil-dalil yang
menetapkan akhirat itu telah mereka dapati, tetapi lambat laun dalil-dalil
itu pun memudar dari mereka, sehingga tidak lagi bernilai di dalam hati
mereka.
Pada ayat berikutnya dijelaskan kondisi orang-orang kafir yang
berada dalam keragu-raguan dan kebingungan tentang akhirat. Allah Swt
berfirman,

….      …


... Bahkan mereka ragu-ragu tentangnya (akhirat itu).... (QS Al-Naml [27]:
66)
Orang-orang kafir sangat ragu tentang keberadaan akhirat dan
kemungkinan terjadinya. Mereka bingung apakah akhirat itu benar-benar
ada, mereka ragu apakah akhirat itu akan terjadi. Sebagaimana firman
Surah Al-Naml (27): 65-66 25

Allah dalam ayat lainnya,


Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. (Allah
berf rman), “Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana
Kami menciptakan kamu pada pertama kali; bahkan kamu menganggap
bahwa Kami tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (berbangkit untuk
memenuhi) perjanjian. (QS Al-Kahfi [18]: 48)
Pada penghujung ayat, Allah Swt menerangkan kondisi mereka yang
buta terhadap urusan akhirat, tidak memikirkan dan merenunginya. Allah
Swt berfirman,

      ...

… Bahkan mereka buta tentang itu. (QS Al-Naml [27]: 66).


Mereka buta dan jahil terhadap urusan akhirat. Mereka pun tidak
memikirkannya di hati mereka yang terdalam. Mata hati mereka telah buta,
berbeda dengan mata penglihatan mereka yang berfungsi baik, sungguh
inilah kondisi keraguan yang paling buruk.
Abu Hayyan dalam al-Ttafsîru l-Kabîr (7: 93) menuturkan,
perumpamaan pada ayat Al-Quran itu tidaklah lain untuk menggambarkan
keadaan orang-orang kafir.
Pertama, mereka tidak mengetahui apakah hari kiamat itu ada.
Kedua, mereka berada dalam keraguan akan akhirat.
Ketiga, mereka orang-orang yang buta terhadap urusan akhirat.

Hikmah dan Pesan


Dari pembahasan ayat-ayat tersebut di atas, terdapat beberapa
hikmah dan pesan yang dapat dipetik sebagai petunjuk dan pelajaran Al-
Quran bagi manusia dalam menjalani kehidupan.
(1) Orang-orang kafir tidak mengetahui apakah kiamat itu ada atau
tidak, kiamat itu benar-benar datang secara tiba-tiba.
(2) Dalil-dalil terjadinya hari kiamat benar-benar telah memudar dalam
diri orang-orang kafir. Mereka menjadi orang-orang yang jahil
terhadap akhirat dan tidak mengetahui urusannya.
(3) Orang-orang kafir semasa di dunia telah meragukan akhirat dan
keberadaannya.
***
26 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Orang-Orang Musyrik Mengingkari Hari Kebangkitan (QS Al-Naml


[27]: 67-75)

          

            

          

           

           

          

            

        

(67) Dan orang-orang yang kaf r berkata, “Setelah kita menjadi tanah dan
(begitu pula) nenek moyang kita, apakah benar kita akan dikeluarkan (dari
kubur)?; (68) Sejak dahulu kami telah diberi ancaman dengan ini (hari
kebangkitan); kami dan nenek moyang kami. Sebenarnya ini hanyalah
dongeng orang-orang terdahulu;.” (69) Katakanlah (Muhammad),
“Berjalanlah kamu di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-
orang yang berdosa; (70) Dan janganlah engkau bersedih hati terhadap
mereka, dan janganlah (dadamu) merasa sempit terhadap upaya tipu daya
mereka;” (71) Dan mereka (orang kaf r) berkata, “Kapankah datangnya janji
(azab) itu, jika kamu orang yang benar;” (72) Katakanlah (Muhammad),
“Boleh jadi sebagian dari (azab) yang kamu minta disegerakan itu telah
hampir sampai kepadamu;” (73) Dan sungguh, Tuhanmu benar-benar
memiliki karunia (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan
mereka tidak mensyukuri(nya); (74) Dan sungguh, Tuhanmu mengetahui
apa yang disembunyikan dalam dada mereka dan apa yang mereka
nyatakan; (75) Dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di langit dan
di bumi, melainkan (tercatat) dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfûz). (QS
Al-Naml [27]: 67-75)
Surah Al-Naml (27): 67-75 27

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya dijelaskan keadaan orang-orang kafir
yang jahil terhadap akhirat dan tidak mengetahuinya. Pada ayat-ayat
berikut ini disampaikan ucapan-ucapan mereka yang dapat menggiring
kepada kejahilan dan pengingkaran mereka itu.
Di samping itu, ayat-ayat berikut ini memiliki persesuaian atau
munâsabah secara keseluruhan dengan permulaan Surah Al-Naml.
Ketika Allah Swt berbicara tentang awal penciptaan makhluk, sesudah
itu Allah berbicara tentang akhirat. Karena munculnya keraguan tentang
akhirat tidaklah mungkin terjadi, kecuali bila meragukan kesempurnaan
kekuasaan Allah dan pengetahuan-Nya.
Jika telah diyakini bahwa Allah itu Maha Kuasa atas segala yang
akan terjadi, Maha Mengetahui apa yang ada dan sedang berlaku, maka
Allah tentu Maha Mengetahui dan mampu membedakan bagian-bagian
tubuh manusia dari bagian-bagian tubuh manusia selainnya.
Dia pun Maha Kuasa mengembalikan susunan dan menghidupkan
kembali bagian-bagian tubuh itu.
Bila kita telah menetapkan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala hal,
maka tetap pula kebenaran hari penghimpunan, hari kembali, dan hari
kiamat itu.

Penjelasan Ayat
Allah Swt berfirman,

Dan orang-orang yang kaf r berkata, “Setelah kita menjadi tanah dan
(begitu pula) nenek moyang kita, apakah benar kita akan dikeluarkan (dari
kubur)? (QS Al-Naml [27]: 67)
Orang-orang musyrik yang mengingkari hari kebangkitan, orang-
orang yang kufur terhadap Allah dan mendustakan rasul-Nya berkata,
“Apakah kami akan dibangkitkan dan dikeluarkan dari kubur dalam
keadaan hidup padahal sebelumnya kami diwafatkan, badan kami hancur
dan menjadi tanah?”
Ungkapan mereka ini mengisyaratkan bahwa orang-orang kafir itu
berpendapat bahwa jasad yang sudah menjadi tulang-belulang yang sudah
rapuh dan telah menjadi tanah itu tak mungkin dibangkitkan lagi.
28 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Kemudian Allah Swt berfirman,

Sejak dahulu kami telah diberi ancaman dengan ini (hari kebangkitan)
kami dan nenek moyang kami.... (QS Al-Naml [27]: 68)
“Kami dan juga bapak-bapak kami dahulu telah banyak mendengar
hal itu, tetapi kami tidak mendapati kebenaran dan hakikatnya. Kami
pun tidak pernah melihat seseorang dibangkitkan kembali sesudah dia
meninggal dunia.”
Dari ungkapan ini dipahami bahwa mereka menganggap
pembicaraan tentang hari kebangkitan sebagai sejarah usang yang terus-
menerus diceritakan sepanjang masa.
Pada penghujung ayat, Allah Swt berfirman,

… . Sebenarnya ini hanyalah dongeng orang-orang terdahulu. (QS Al-Naml


[27]: 68)
Artinya, janji untuk membangkitkan kembali manusia itu hanyalah
dongeng belaka yang disampaikan dan kabar berantai yang terus berpindah
dari seseorang kepada orang lain. Namun, kabar itu tidak ada hakikatnya
sama sekali dan tidak ada dalil yang dapat diterima dan menguatkan hal
itu.
Allah Swt menuntun mereka kepada kebenaran dan menjauhkan
mereka dari kekufuran. Tuntunan tersebut disampaikan dalam bentuk
peringatan dan ancaman. Allah Swt berfirman,

Katakanlah (Muhammad), “Berjalanlah kamu di bumi, lalu perhatikanlah


bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.” (QS Al-Naml [27]: 69)
Maksudnya, hai rasul katakanlah kepada mereka, pergilah ke daerah
Hijaz, Syam, Yaman, dan daerah-daerah lainnya, lalu perhatikanlah balasan
dan kesudahan orang-orang terdahulu yang mendustakan Allah dan rasul-
Nya. Mereka ialah orang-orang yang terbuai dengan kesenangan dunia,
Surah Al-Naml (27): 67-75 29

tertipu dengan keindahan dan kemegahannya, mendustakan para rasul


Allah, dan mengingkari adanya hari kebangkitan.
Maka, Allah binasakan karena dosa-dosa mereka.
Jejak-jejak peninggalan mereka terlihat dari negeri-negeri mereka
yang masih tersisa sebagai ibrah (pelajaran). Allah Swt menyelamatkan
para rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Sungguh, itu semua
menunjukkan kebenaran ajaran para rasul, keimanan kepada Allah dan
hari akhir. Maka itu merupakan sunatullah atau ketetapan Allah terhadap
siapa saja yang mendustakan para rasul-Nya. Allah Swt akan menurunkan
balasan kepada kalian seperti balasan yang menimpa mereka jika kalian
tidak segera beriman kepada Allah dan hari akhir.
Pada ayat selanjutnya, Allah Swt menghibur dan menenangkan hati
Rasulullah Saw, karena ucapan dan perbuatan mereka yang menyimpang
dari ajaran rasul. Allah Swt berfirman,

Dan janganlah engkau bersedih hati terhadap mereka, dan janganlah


(dadamu) merasa sempit terhadap upaya tipu daya mereka.” (QS Al-Naml
[27]: 70)
Hai Muhammad janganlah bersedih terhadap penolakan orang-orang
yang mendustakan risalahmu. Janganlah dadamu merasa sempit karena
sedih dan sulitnya menghadapi tipu daya dan rencana mereka. Sungguh
Allah menolong, membantu, dan melindungimu dari kejahatan manusia.
Allah akan memenangkan agamamu atas orang-orang yang menentang
dan memusuhi baik di timur maupun di barat.
Allah Swt menerangkan pengingkaran lainnya dari orang-orang
kafir selain pengingkaran mereka terhadap hari kiamat, yaitu mereka
mengingkari azab Allah, sebagaimana firman-Nya,

Dan mereka (orang kaf r) berkata, “Kapankah datangnya janji (azab) itu,
jika kamu orang yang benar.” (QS Al-Naml [27]: 71)
Orang-orang musyrik di Mekah dan juga orang-orang musyrik lainnya
bertanya tentang hari kiamat dan kemustahilan hal itu akan terjadi, “Kapan
azab yang kamu janjikan itu akan datang, jika memang rasul dan orang-
30 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

orang beriman itu benar dalam ucapan, janji dan pengakuan mereka?”
Mereka mengatakan demikian sebagai bentuk mengolok-olok dan
memaki.
Allah Swt menjawab pertanyaan mereka itu dalam firman-Nya,

Katakanlah (Muhammad), “Boleh jadi sebagian dari (azab) yang kamu


minta disegerakan itu telah hampir sampai kepadamu.” (QS Al-Naml [27]:
72)
Maksudnya, “Hai Muhammad, katakanlah kepada mereka, mungkin
telah dekat sebagian azab yang kalian kehendaki dan meminta untuk
disegerakan itu, yaitu kekalahan dan kehancuran kalian pada Perang
Badar.”
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyâf (6: 460) menuturkan
bahwa kata 'asâ, la’alla, dan saufa menunjukkan kepada kebenaran dan
kesungguhan janji yang akan terwujud. Tidak ada celah untuk meragukan.
Hanya saja penggunaan kata tersebut untuk menampilkan kekuasaan,
tidak tergesa-gesa membalas atau menimpakan azab. Karena musuh dalam
keadaan terhina, tunduk, dan tidak mampu menghindar dari ancaman itu.
Penggunaan kata tersebut sebagai simbol bahwa tujuan telah cukup
tersampaikan dan janji ataupun peringatan Allah pasti akan berlaku.
Pada ayat berikutnya, Allah Swt menerangkan sebab penundaan
datangnya azab dan balasan. Allah Swt berfirman,

Dan sungguh, Tuhanmu benar-benar memiliki karunia (yang diberikan-


Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).
(QS Al-Naml [27]: 73)
Sungguh Allah itu yang memberikan berbagai nikmat, melimpahkan
karunia-Nya kepada manusia, baik orang-orang beriman maupun orang-
orang kafir. Allah sempurnakan nikmat-Nya bagi mereka di dunia, sekalipun
mereka berbuat zalim terhadap diri mereka sendiri. Allah menunda balasan
atas kekufuran dan kemaksiatan mereka.
Akan tetapi, kebanyakan mereka tidak mensyukuri karunia Allah.
Sungguh, hanya sebagian kecil manusia saja yang mensyukuri nikmat
Allah.
Surah Al-Naml (27): 67-75 31

Allah Swt berfirman,

        


Dan sungguh, Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan dalam dada
mereka dan apa yang mereka nyatakan. (QS Al-Naml [27]: 74)
Allah Swt mengetahui apa-apa yang disembunyikan hati dan rahasia-
rahasianya. Demikian pula, Allah mengetahui segala hal yang zahir dan
batin, sebagaimana firman Allah dalam ayat lainnya,
Sama saja (bagi Allah), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya
dan siapa yang berterus-terang dengannya; dan siapa yang bersembunyi
pada malam hari dan yang berjalan pada siang hari. (QS Al-Ra’d [13]: 10)
Juga firman Allah lainnya,
Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui
rahasia dan yang lebih tersembunyi. (QS Thâhâ [20]: 7)
Allah Swt Maha Mengetahui makar dan rencana yang dilakukan
orang-orang musyrik terhadap Rasulullah Saw. Kelak, Dia akan memberikan
balasan atas perbuatan mereka itu. Inilah yang dimaksud dengan firman
Allah tersebut.
Pada ayat berikutnya, Allah Swt menerangkan bahwa segala yang
berlaku di alam semesta ini terpelihara dan tercatat di lauhu l-mahfûzh.
Allah Swt berfirman,

          
Dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di langit dan di bumi,
melainkan (tercatat) dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfûz). (QS Al-Naml
[27]: 75)
Tidak ada sesuatu pun yang gaib dan tersembunyi baik itu di langit
maupun di bumi melainkan semua itu ada, diketahui dan dicatat dalam
lauhu l-mahfûzh. Di dalamnya, Allah Swt menetapkan apa yang telah
terjadi dan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat nanti.
Dia-lah Allah Swt yang Maha Mengetahui perkara gaib dan juga
perkara yang tampak, perkara yang tidak terlihat oleh hamba-hamba-Nya
maupun yang terlihat oleh mereka.
32 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Dia pun mengetahui urusan-urusan makhluk seluruhnya.


Sebagaimana firman Allah,
Tidakkah engkau tahu bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di
bumi? Sungguh, yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah Kitab
(Lauh Mahfûz). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah.
(QS Al-Hajj [22]: 70)
Juga selaras dengan firman Allah Swt,
(Lukman berkata), “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi,
niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus
Mahateliti. (QS Luqmân [31]: 16)

Hikmah dan Pesan


Dari pembahasan ayat-ayat tersebut di atas, terdapat beberapa
hikmah dan pesan yang dapat dipetik sebagai petunjuk dan pelajaran Al-
Quran bagi manusia dalam menjalani kehidupan.
(1) Orang-orang musyrik menganggap hari kiamat hanyalah kisah yang
disampaikan orang-orang terdahulu secara turun-temurun.
(2) Dalam menjawab pengingkaran orang-orang musyrik terhadap hari
kiamat, Allah menyuruh mereka memperhatikan akibat orang-orang
yang mendustakan para rasul dan mengingkari hari kebangkitan
(kiamat).
(3) Al-Quran melarang Rasulullah Saw bersempit hati karena makar dan
rencana orang-orang musyrik.
(4) Allah Swt mengingatkan mereka bahwa azab itu telah dekat, yaitu
pada hari ketika dua kelompok (kaum Muslim dan kaum musyrikin)
bertemu dan bertempur pada Perang Badar.
(5) Allah Swt menerangkan bahwa kesudahan makar dan rencana buruk
mereka itu berujung pada kesia-siaan dan kegagalan. Sungguh,
Allah mengetahui apa yang disembunyikan di dalam dada mereka
dan apa yang mereka tampakkan.
(6) Allah Swt mengetahui setiap gerak-gerik walaupun mereka
sembunyikan dan samarkan.

***
Surah Al-Naml (27): 76-81 33

Penetapan Al-Quran tentang Kenabian Muhammad Saw (QS Al-


Naml [27]: 76-81)

(76) Sungguh, Al-Quran ini menjelaskan kepada Bani Israil sebagian besar
dari (perkara) yang mereka perselisihkan; (77) Dan sungguh, (Al-Quran)
itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman; (78) Sungguh, Tuhanmu akan menyelesaikan (perkara) di antara
mereka dengan hukum-Nya, dan Dia Mahaperkasa, Maha Mengetahui;
(79) Maka bertawakallah kepada Allah, sungguh engkau (Muhammad)
berada di atas kebenaran yang nyata; (80) Sungguh, engkau tidak dapat
menjadikan orang yang mati dapat mendengar dan (tidak pula) menjadikan
orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka telah berpaling
ke belakang; (81) Dan engkau tidak akan dapat memberi petunjuk orang
buta dari kesesatannya. Engkau tidak dapat menjadikan (seorang pun)
mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu
mereka berserah diri. (QS Al-Naml [27]: 76-81)

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah Swt menerangkan dan menetapkan
awal mula penciptaan dan hari kembali (kiamat) dengan disertai dalil-
dalil kauniyah, juga dalil-dalil yang dapat dijangkau oleh pancaindra dan
akal manusia. Pada ayat-ayat berikut ini dilanjutkan dengan menetapkan
kenabian Muhammad Saw dengan dalil yang paling besar, yaitu Al-Quran,
mukjizat yang menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad Saw dan ajaran
yang dibawanya.
34 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Penjelasan Ayat
Al-Quran ialah kalâmu l-llâh (firman Allah) yang menetapkan sifat-
sifat kesempurnaan Allah, menetapkan yaumu l-hisâb atau hari di mana
keadilan akan berdiri tegak di antara para makhluk-Nya dengan pahala
maupun balasan yang akan mereka terima. Al-Quran mencakup aspek-
aspek mukjizat, sebagaimana berikut:
Pertama, Al-Quran memuat berita tentang kehidupan para nabi
terdahulu. Allah Swt berfirman,

Sungguh, Al-Quran ini menjelaskan kepada Bani Israil sebagian besar dari
(perkara) yang mereka perselisihkan. (QS Al-Naml [27]: 76)
Al-Quran yang mulia ini memberitakan kepada Bani Israil kebenaran
terkait perkara-perkara yang mereka perselisihkan seperti kedudukan Nabi
Isa as. Orang-orang Yahudi mendustakan Nabi Isa, sedangkan orang-
orang Nasrani berlebih-lebihan dan meyakininya sebagai tuhan.
Al-Quran menjelaskan dengan benar dan adil, sesungguhnya Isa
adalah seorang hamba Allah, salah satu nabi dan rasul.
Hakikat ini dan juga kisah-kisah lainnya tidak mungkin dapat diketahui
melainkan melalui jalan wahyu ilahi. Karena, Nabi Muhammad Saw yang
mendapatkan wahyu Al-Quran, dia adalah seorang yang ummî, tidak dapat
membaca dan menulis. Dia pun tidak menyertai atau mulâzamah (menjadi
pengikut) kepada seorang ulama untuk mempelajari ilmu pengetahuan.
Kisah-kisah yang terdapat di dalam Al-Quran sesuai dengan sebagian
kisah-kisah yang disebutkan dalam Taurat dan Injil.
Kedua, Al-Quran menetapkan ajaran tauhid, hari kebangkitan
(yaumu l-ba’ats), kenabian, dan hukum-hukum syariat dengan dasar dalil-
dalil yang bersifat logis atau dalil-dalil 'aqliyyah. Allah Swt berfirman,

Dan sungguh, (Al-Quran) itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat


bagi orang-orang yang beriman. (QS Al-Naml [27]: 77)
Surah Al-Naml (27): 76-81 35

Al-Quran ini menuntun orang-orang beriman kepada jalan petunjuk,


dan rahmat bagi mereka (orang-orang yang beriman) dalam hukum-hukum
syariat yang terkait soal akidah (seperti tauhid, yaumu l-hasyr atau hari
dihimpun seluruh makhluk, kenabian, dan sifat-sifat Allah), dan hukum-
hukum syariat yang praktis dan sesuai dengan kebutuhan manusia untuk
mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Demikian pula, Al-Quran merupakan petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang beriman. Al-Quran memiliki gaya bahasa dan makna yang
tinggi, indah, dan fasih, sehingga setiap manusia tidak berdaya menentang
dan membuat kitab yang serupa dengan Al-Quran.
Aspek ini menunjukkan kemukjizatan Al-Quran yang berada di luar
kemampuan manusia untuk membuatnya. Al-Quran adalah wahyu yang
diturunkan Allah yang Maha Bijaksana, Maha Terpuji, dan Maha Kuasa.
Pada penghujung ayat tersebut secara jelas dicantumkan kata al-
mu’minîn (orang-orang beriman), karena orang-orang beriman itulah yang
memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari Al-Quran.
Setelah Allah Swt menerangkan keistimewaan kemukjizatan Al-
Quran yang menunjukkan kebenaran kenabian Muhammad Saw, Allah
melanjutkan dengan penjelasan dua perkara.
Pertama, dalil yang menunjukkan keadilan Allah, sebagaimana
firman-Nya,

Sungguh, Tuhanmu akan menyelesaikan (perkara) di antara mereka


dengan hukum-Nya, dan Dia Mahaperkasa, Maha Mengetahui. (QS Al-
Naml [27]: 78)
Maksudnya, Tuhanmu yang telah menerangkan kebenaran kepada
Bani Israil dalam perkara-perkara yang mereka perselisihkan. Dia pun
yang akan memutuskan antara orang-orang yang benar dan salah dengan
seadil-adilnya. Dia-lah yang Maha Kuat, Maha Kuasa memberikan balasan
kepada orang-orang yang menentang, dan memberikan balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Ketetapan-Nya tidak dapat ditolak, Dia
yang Maha Mengetahui perbuatan dan perkataan hamba-hamba-Nya.
Dia pun memutuskan kebenaran sesuai kenyataan, karena Allah
yang Maha Mengetahui siapa yang mendapatkan balasan kebaikan dan
siapa yang mendapatkan hukuman atas keburukannya.
36 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Adapun makna firman Allah,

… Tuhanmu akan menyelesaikan (perkara) di antara mereka dengan


hukum-Nya.… (QS Al-Naml [27]: 78)
Allah menyelesaikan perkara pada hari kiamat dengan keadilan-Nya.
Tidak ada keputusan Allah melainkan Dia putuskan dengan adil. Maka apa
yang Allah putuskan disebut dengan hukum. Allah memutuskan hukum
secara adil dan bijaksana.
Kedua, Allah memerintahkan nabi-Nya untuk bertawakal kepada
Allah dan tidak berpangku tangan maupun berputus asa terhadap
perbuatan orang-orang yang memusuhi Islam. Allah Swt berfirman,

Maka bertawakallah kepada Allah, sungguh engkau (Muhammad) berada


di atas kebenaran yang nyata. (QS Al-Naml [27]: 79)
Percaya dan yakinlah kepada Allah, bersandar kepada-Nya,
serahkanlah segala urusan kepada-Nya, dan sampaikanlah risalah
tuhanmu, janganlah mempedulikan musuh-musuh Allah. Sebab, engkau
berada di atas kebenaran yang jelas, sekalipun orang-orang yang durhaka
itu menentangmu.
Penjelasan ini merupakan alasan pertama mengapa wajib bertawakal
kepada Allah.
Pada ayat berikutnya disebutkan alasan lain dari kewajiban
bertawakal kepada Allah,

Sungguh, engkau tidak dapat menjadikan orang yang mati dapat


mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang yang tuli dapat mendengar
seruan, apabila mereka telah berpaling ke belakang. (QS Al-Naml [27]: 80)
Maksudnya, sungguh engkau Muhammad tidak dapat
memperdengarkan kepada mereka sesuatu yang bermanfaat bagi mereka.
Ketika mereka berpaling dan menolak risalahmu, keadaan mereka
Surah Al-Naml (27): 76-81 37

seperti orang mati yang tidak ada pengaruh apa yang dibacakan dan
mereka pun tidak akan memahaminya.
Keadaan mereka seperti orang-orang yang tuli, tidak ada harapan
mereka akan mendengarkan.
Juga keadaan mereka seperti orang yang buta, tidak dapat melihat
dan melirik kepada sesuatu pun.
Semua itu dikarenakan hati mereka telah tertutup. Telinga mereka
disumbat kekufuran. Jiwa mereka tinggi dan sombong, sehingga tidak
tunduk pada kebenaran.
Alasan kedua di atas memutuskan harapan Nabi Saw dan
keinginannya terhadap keimanan orang-orang kafir, sehingga hati nabi
tetap kuat sekalipun beliau menghadapi penentangan dan pengingkaran
musuh-musuh Allah.
Demikian dijelaskan keadaan mereka seperti orang mati, orang tuli,
dan orang buta. Mereka adalah orang-orang yang kebingungan dan ragu,
sebagaimana firman Allah,
Dan perumpamaan bagi (penyeru) orang yang kaf r adalah seperti
(penggembala) yang meneriaki (binatang) yang tidak mendengar selain
panggilan dan teriakan. (Mereka) tuli, bisu, dan buta, maka mereka tidak
mengerti. (QS Al-Baqarah [2]: 171)
Mereka tidak memahami, tidak mendengarkan, tidak melihat, dan
tidak memperhatikan dalil-dalil. Sebab, selama manusia masih menaruh
harapan dan keinginan pada orang lain, selama itu juga dia tidak berani
untuk menentang dan menyelisihinya.
Uraian di atas menunjukkan kekuatan hati Rasulullah Saw, untuk
terus menegakkan Islam sebagaimana mestinya.
Adapun makna firman Allah,

… Apabila mereka telah berpaling ke belakang. (QS Al-Naml [27]: 80)


Jika seseorang sudah jauh dan membelakangi seruan dari orang
yang memanggil dan menyerunya, maka suara dan seruan itu pun tidak
lagi dapat dikenali dan didengarnya. Inilah penegasan gambaran keadaan
orang-orang kafir. Keadaan mereka serupa dengan keadaan orang yang
tuli.
Singkatnya, Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw untuk
38 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

bertawakal kepada-Nya dan berpaling dari orang-orang yang memusuhi


Islam. Rasulullah Saw, berada di atas kebenaran yang jelas, sedangkan
mereka yang berpaling itu dalam kebatilan. Tidak ada harapan ketika
bergantung kepada orang-orang musyrik yang tidak ingin menerima
kebenaran.
Orang-orang kafir yang menentang dan ingkar, itu tidak dapat
diharapkan mereka akan beriman, sebagaimana firman Allah,
(96) Sungguh, orang-orang yang telah dipastikan mendapat ketetapan
Tuhanmu, tidaklah akan beriman; (97) Meskipun mereka mendapat tanda-
tanda (kebesaran Allah), hingga mereka menyaksikan azab yang pedih.
(QS Yûnus [10]: 96-97)
Dalam ayat di atas diterangkan bahwa keadaan orang kafir seperti
orang mati yang tidak lagi mendengar, menjawab, merespons, dan
menerima. Meski demikian, kemampuan mendengar mereka tetap ada
tetapi mereka tidak dapat merespons, membalas, dan menjawab orang
yang berbicara kepada mereka, sebagaimana orang mati dapat mendengar
derap langkah dan pijakan kaki orang-orang yang mengantarkan
jenazahnya apabila orang-orang itu mulai meninggalkan kuburnya.
Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab sahihnya meriwayatkan.
Rasulullah Saw berbicara kepada orang-orang yang telah terbunuh pada
peperangan di sekitar Qalib (sumur) yang ada di Badar.
Para sahabat berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya mereka hanyalah jasad yang sudah tidak memiliki ruh lagi.”
Rasulullah Saw menjawab, “Demi Zat yang jiwaku berada dalam
genggamannya, kalian tidak lebih mendengar perkataanku daripada
mereka” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Pada ayat berikutnya, Allah Swt menegaskan keadaan orang-orang
kafir itu sebagaimana pada firman-Nya,

Dan engkau tidak akan dapat memberi petunjuk orang buta dari
kesesatannya. Engkau tidak dapat menjadikan (seorang pun) mendengar,
kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu mereka
berserah diri. (QS Al-Naml [27]: 81)
Surah Al-Naml (27): 76-81 39

Hai rasul engkau tidak mampu memberikan hidayah kepada orang


yang buta dengan menarik mereka dari kesesatan. Hati mereka yang
tertutup, mencegah mereka melihat risalah yang engkau bawa.
Demikian juga apa-apa yang mereka dengarkan darimu sama sekali
tidak bermanfaat bagi mereka, kecuali orang yang Allah ketahui beriman
dan membenarkan ayat-ayat-Nya. Mereka itulah orang-orang Muslim yang
ikhlas dalam mengesakan Allah dan tunduk kepada-Nya.
Tidak ada yang menjawab seruanmu hai rasul, melainkan orang
yang hatinya terbuka, menggunakan pendengaran dan penglihatannya
dalam mengenali kebenaran dan siap menerimanya. Inilah seorang Muslim
yang benar-benar tunduk kepada Allah dan ikhlas.

Hikmah dan Pesan


Dari pembahasan ayat-ayat tersebut di atas, terdapat beberapa
hikmah dan pesan yang dapat dipetik sebagai petunjuk dan pelajaran Al-
Quran bagi manusia dalam menjalani kehidupan.
(1) Allah Swt menetapkan kebenaran Nabi Saw, kebenaran risalahnya,
dan kebenaran Al-Quran yang diwahyukan kepada rasul.
(2) Kemukjizatan Al-Quran ialah menjelaskan kepada Bani Israil perkara-
perkara yang mereka perselisihkan, yaitu perkara yang mereka ubah
hukumnya di dalam Taurat maupun Injil.
(3) Al-Quran memberi petunjuk kepada kebenaran, istikamah, petunjuk,
dan rahmat bagi siapa yang membenarkan dalil-dalilnya dalam aspek
tauhid, hari kebangkitan, kenabian, dan sifat-sifat Allah. Di samping
itu, Al-Quran memiliki gaya bahasa dan maknanya yang lurus dan
indah, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menentang Al-
Quran dan menandinginya.
(4) Allah Swt Maha Adil. Pada hari akhir, Dia memutuskan hukum kepada
Bani Israil juga umat lainnya terhadap perkara-perkara yang mereka
perselisihkan.
(5) Allah memerintahkan nabi-Nya bertawakal, menyerahkan urusan
dan bersandar kepada Allah.
(6) Nabi Saw tidak dapat membuat mereka beriman dan menjadikan
hati mereka tunduk.

***
40 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Tanda-Tanda Kiamat: Kemunculan “Dâbbatu l-ardh” (Binatang


Melata dari Bumi) (QS Al-Naml [27]: 82-86)

           

           

          

           

           

         

(82) Dan apabila perkataan (ketentuan masa kehancuran alam) telah


berlaku atas mereka, Kami keluarkan makhluk bergerak yang bernyawa dari
bumi yang akan mengatakan kepada mereka bahwa manusia dahulu tidak
yakin kepada ayat-ayat Kami; (83) Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami
mengumpulkan dari setiap umat, segolongan orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok); (84)
Hingga apabila mereka datang, Dia (Allah) berf rman, “Mengapa kamu telah
mendustakan ayat-ayat-Ku, padahal kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentang itu, atau apakah yang telah kamu kerjakan?”; (85) Dan berlakulah
perkataan (janji azab) atas mereka karena kezaliman mereka, maka
mereka tidak dapat berkata; (86) Apakah mereka tidak memperhatikan
bahwa Kami telah menjadikan malam agar mereka beristirahat padanya
dan (menjadikan) siang yang menerangi? Sungguh, pada yang demikian
itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang beriman.
(QS Al-Naml [27]: 82-86)

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah Swt menerangkan dalil-dalil yang
menunjukkan kesempurnaan kekuasaan dan pengetahuan-Nya. Di samping
itu, dijelaskan juga tentang terjadinya hari kiamat, hari kebangkitan, dan
Surah Al-Naml (27): 82-86 41

hari penghimpunan. Allah Swt lalu menjelaskan kemukjizatan Al-Quran


dalam menetapkan kenabian Muhammad Saw.
Pada ayat-ayat berikut ini, Allah Swt menerangkan tanda awal dari
tanda-tanda hari kiamat seperti kemunculan dâbbatu l-ardh (binatang
melata). Juga tanda lain dari hari kiamat yaitu ditiupnya sangkakala.
Pembicaraan berkenaan tanda-tanda hari kiamat dan pembahasannya
ini untuk menetapkan kenabian Muhammad Saw karena perkara ini tidak
mungkin diketahui, kecuali dari keterangan Nabi Saw yang tidak berbicara
menurut hawa nafsunya, melainkan dia berbicara berdasarkan wahyu yang
diturunkan kepadanya.

Penjelasan Ayat
Allah Swt berfirman,

           

    

Dan apabila perkataan (ketentuan masa kehancuran alam) telah berlaku


atas mereka, Kami keluarkan makhluk bergerak yang bernyawa dari bumi
yang akan mengatakan kepada mereka bahwa manusia dahulu tidak yakin
kepada ayat-ayat Kami. (QS Al-Naml [27]: 82)
Maksudnya, pada akhir zaman, ketika moral manusia rusak, mereka
banyak meninggalkan perintah-perintah Allah, mengubah keyakinan
agama mereka yang benar, sehingga azab terus mengintai mereka sesuai
yang telah dijanjikan. Itulah gambaran semakin dekatnya peristiwa hari
kiamat. Allah kelak akan mengeluarkan dâbbatu l-ardh (sejenis binatang
melata) muncul dari dalam bumi dan mengatakan kepada manusia bahwa
mereka tidak meyakini ayat-ayat Allah.
Menurut para ahli tafsir kontemporer, kemungkinan yang dimaksud
dâbbatu l-ardh pada ayat tersebut ialah manusia itu sendiri. Karena, ayat
itu menunjukkan adanya kemampuan berbicara atau kalam yang dimiliki
manusia pada umumnya. Di samping itu, setiap yang berjalan ataupun
melata di atas permukaan bumi, disebut dengan istilah dâbbah.
Dalam berbagai keterangan, dâbbah itu dikenal dengan nama Al-
Jassâsah. Penyebutan dâbbah tersebut dijelaskan dalam hadis ahad yang
diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan lainnya.
42 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

‫ﷲ‬
ُ ‫ﷲ َﺻﲆ‬ ِ ‫ﴍ َف َﻠَ ْﯿﻨَﺎ َر ُﺳ ْﻮ ُل‬ َ ْ " :‫َﻋ ْﻦ ُ َﺬﯾْ َﻔ َﺔ ْ ِﻦ َﺳ ْﯿ ٍﺪ ْاﻟ ِﻐ َﻔﺎ ِري ﻗَﺎ َل‬
‫ َﻻ ﺗ َ ُﻘ ْﻮ ُم اﻟﺴﺎ َ ُﺔ‬:‫َﻠ َ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ َﲅ ِﻣ ْﻦ ﻏُ ْﺮﻓَ ٍﺔ َو َ ْﳓ ُﻦ ﻧَﺘَ َﺬاﻛَ ُﺮ ْﻣ َﺮ اﻟﺴﺎ َ ِﺔ؛ ﻓَ َﻘﺎ َل‬
،‫ َوا اﺑ ُﺔ‬،‫ َوا َُﺎن‬،‫ ُﻃﻠُ ْﻮ ُع اﻟﺸ ْﻤ ِﺲ ِﻣ ْﻦ َﻣ ْﻐ ِﺮﲠِ َﺎ‬:‫َﴩ ٓ َ ٍت‬ َ ْ ‫َﺣﱴ َ َﺮ ْوا ﻋ‬
،‫ َوﺧ ُُﺮ ْو ُج ِ ْ َﴗ ْ ِﻦ َﻣ ْﺮ َ َﱘ َﻠَ ْﯿ ِﻪ اﻟﺴ َﻼ ُم‬،‫َوﺧ ُُﺮ ْو ُج ﯾ َ ُﺟ ْﻮ ُج َو َﻣ ُﺟ ْﻮ ُج‬
‫ﴩ ِق َوﺧ َْﺴ ٌﻒ‬ ِ ْ ‫ َوﺛَ َﻼﺛ َ ُﺔ ﺧ ُُﺴ ْﻮ ٍف ﺧ َْﺴ ٌﻒ ِ ﻟْ َﻤ ْﻐ ِﺮ ِب َوﺧ َْﺴ ٌﻒ ِ ﻟْ َﻤ‬،‫َوا ُﺎل‬
،‫ اﻟﻨ َﺎس‬-‫ﴩ‬ ُ ُ ‫ ْو َ ْﲢ‬- ‫ َو َ ٌر َ ْﲣ ُﺮ ُج ِﻣ ْﻦ ﻗَ ْﻌ ِﺮ َ ْﺪ ِن َ ُﺴ ْﻮ ُق‬،‫ِ َﲜ ِﺰْ َﺮ ِة ْاﻟ َﻌ َﺮ ِب‬
‫ﺗَ ِﺒ ْ ُﺖ َﻣ َﻌﻬ ُْﻢ َﺣ ْ ُﺚ َ ﺗ ُْﻮا َوﺗَ ِﻘ ْ ُﻞ َﻣ َﻌﻬُ ْﻢ َﺣ ْ ُﺚ ﻗَﺎﻟُ ْﻮا‬
Dari Hudzaifah Ibnu Usaid Al-Ghifari, ia menuturkan, Rasulullah
Saw pernah memperhatikan kami dari balik kamar dan kami tengah
membincangkan hari kiamat.
Beliau bertanya, “Apa yang sedang kalian perbincangkan?”
Mereka menjawab, “Kami membincangkan hari kiamat.”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya kiamat tidak akan terjadi
sehingga kamu melihat sepuluh tanda: (1) terbitnya matahari dari
tempat tenggelamnya (sebelah barat), (2) dukhân (asap), (3) dâbbah
(binatang melata), (4) keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, (5) keluarnya Isa Ibnu
Maryam as, (6) Dajjâl, (7) tiga likuefaksi besar di barat, (8) di timur, (9)
dan di semenanjung Arab, serta (10) keluarnya api dari tanah ‘Adn yang
mendorong dan mengumpulkan manusia, api tersebut meliputi mereka di
saat tidur pada waktu malam maupun siang hari.” (HR Muslim, Ahmad,
Abu Daud, dan Al-Tirmidzi)
Dalam tafsir Ibnu Katsir (III: 375), tempat keluarnya dâbbah itu
diriwayatkan.
Rasulullah Saw ditanya, “Dari manakah dâbbah itu keluar?”
“Dari masjid yang paling mulia di sisi Allah, yaitu Masjidilharam.”
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda,
Ada tiga perkara yang jika keluar maka tidak akan berguna lagi keimanan
orang yang belum beriman sebelumnya; atau belum mengusahakan
Surah Al-Naml (27): 82-86 43

kebaikan yang dilakukan dalam keimanannya. Ketiga perkara itu adalah:


terbitnya matahari dari barat, Dajjâl, dan binatang bumi. (HR Muslim)
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud
dengan dâbbah, bagaimana sifat-sifatnya, dan dari arah mana keluarnya.
Menurut Al-Qurthubi rahimahu l-llâh dalam tafsirnya (XIII: 235)
berkata, “Pendapat yang pertama bahwa binatang tersebut adalah anak
unta yang disapih dari unta Nabi Shalih, dan inilah pendapat yang paling
tepat. Wa l-llâhu a’lam.”
Pendapat ini diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Daud Al-Thayalisi dari Hudzaifah Ibnu Usaid Al-Ghifari. Beliau berkata,
“Rasulullah Saw menyebutkan binatang, lalu beliau menuturkan hadis, di
dalamnya ada ungkapan:

.‫ﻟ َ ْﻢ َ ْﺮ ِﻋﻬ ِْﻢ اﻻ َو ِ َﱔ َ ْﺮﻏَ ْﻮ ﺑ َ ْ َﲔ اﻟﺮ ْﻛ ِﻦ َواﻟْ َﻤﻘَﺎ ِم‬


Mereka tidak menggembalakannya (unta), melainkan hanya bersuara di
antara rukun dan maqam (rukun Yamani dan Maqam Ibrahim).”
Yang menjadi dalil adalah ungkapan sabda Nabi Saw targhau
sementara al-l-raghâu adalah suara yang hanya ditujukan untuk unta.
Ketika unta Nabi Shalih as dibunuh, unta yang disapih darinya kabur. Lalu
batu terbuka, sehingga dia masuk ke dalamnya, akhirnya menutupinya.
Dia berada di dalamnya, dan akan keluar dengan seizin Allah Azza wa Jalla.
Al-Qurthubi rahimahu l-llâh berkata, sungguh indah orang yang
berkata,
Dan ingatlah keluarnya unta sapihan dari unta Nabi Shalih yang akan
memberikan tanda mana yang kaf r dan mana yang beriman.
Sesudah disebutkan tanda pertama hari kiamat, Allah Swt kemudian
menyebutkan tanda yang kedua, sebagaimana firman-Nya,

             

           

(83) Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami mengumpulkan dari setiap
umat, segolongan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka
44 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok); (84) Hingga apabila mereka


datang, Dia (Allah) berf rman, “Mengapa kamu telah mendustakan ayat-
ayat-Ku, padahal kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, atau
apakah yang telah kamu kerjakan?” (QS Al-Naml [27]: 83-84)
Pada hari Kami kumpulkan tiap golongan dari pemimpin-pemimpin
yang zalim dan mendustakan ayat-ayat Allah dan rasul-Nya. Kami himpun
orang-orang yang terdahulu maupun orang-orang yang datang kemudian,
supaya mereka berkumpul pada peristiwa padang mahsyar dan hisâb
(perhitungan).
Mereka berhimpun dan berdiri di hadapan Allah untuk
memperhitungkan perbuatan mereka.
Allah mengatakan kepada mereka dengan bentuk ejekan dan
makian, “Apakah kalian mendustakan ayat-ayat-Ku yang menunjukkan
adanya peristiwa hari ini. Jika kalian tidak mengkaji dan mendalami
dalil-dalil tersebut, maka bagaimana kalian dapat membenarkan dan
meyakininya.”
Qatadah menuturkan, sekumpulan golongan itu silih berdatangan,
sehingga mereka tiba di suatu tempat, Allah berkata kepada mereka,
“Apakah kalian mendustakan ayat-ayat-Ku yang telah Aku turunkan kepada
rasul-Ku, juga kalian mendustakan ayat-ayat yang menunjukkan keesaan-
Ku. Sedangkan kalian belum mengetahui hakikat ayat-ayat tersebut. Kalian
berpaling dari ayat-ayat itu semata-mata karena mendustakan, tidak
mengetahui, dan tidak memperoleh petunjuk.”
Allah berkata kepada mereka dalam bentuk makian dan celaan,
“Apa yang kalian lakukan ketika kalian tidak berusaha mempelajari ayat-
ayat itu dan tidak memikirkannya?”
Pada ayat berikutnya, Allah Swt berfirman,

        

Dan berlakulah perkataan (janji azab) atas mereka karena kezaliman


mereka, maka mereka tidak dapat berkata. (QS Al-Naml [27]: 85)
Maksudnya, pada saat itulah azab menimpa kepada orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Allah karena kezaliman, pendustaan, dan
pengingkaran. Mereka tidak lagi sanggup berkata-kata dan meminta
pengampunan.
Dalam ayat lainnya, Allah Swt berfirman,
Surah Al-Naml (27): 82-86 45

Inilah hari, saat mereka tidak dapat berbicara. (QS Al- Mursalât [77]: 35)
Allah Swt menjelaskan dalil-dalil tentang tauhid, hari kiamat, dan
kenabian. Allah Swt berfirman,

Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Kami telah menjadikan


malam agar mereka beristirahat padanya dan (menjadikan) siang yang
menerangi? Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang-orang yang beriman. (QS Al-Naml [27]: 86)
Maksudnya, apakah mereka orang-orang yang mendustakan ayat-
ayat kami tidak mengetahui bahwa Kami telah menjadikan malam untuk
ketenangan, beristirahat setelah lelah bekerja sepanjang hari. Demikian
pula Kami menjadikan siang bercahaya dan bersinar untuk beraktivitas,
melakukan kegiatan, berusaha, berdagang, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Sungguh, dalam penciptaan, pemeliharaan, dan pengaturan itu
menunjukkan kekuasaan Allah untuk membangkitkan sesudah mewafatkan,
memberikan balasan dan pahala, hisâb dan perhitungan.
Sungguh, siapa pun yang merenungi perubahan malam dan siang,
perpindahan dari kematian kepada kehidupan, mereka menyadari bahwa
kiamat itu ada dan bukan sesuatu yang mustahil. Dan sesungguhnya Allah
Swt akan membangkitkan orang-orang dari kubur mereka.

Hikmah dan Pesan


Dari pembahasan ayat-ayat tersebut di atas, terdapat beberapa
hikmah dan pesan yang dapat dipetik sebagai petunjuk dan pelajaran Al-
Quran bagi manusia dalam menjalani kehidupan.
(1) Hari kiamat merupakan peristiwa yang sangat besar dan diawali
dengan tanda-tanda: keluarnya dâbbah menjelang datangnya azab
dan menyampaikan bahwa manusia tidak membenarkan ayat-ayat
Allah.
(2) Allah menyebutkan beberapa peristiwa sesudah terjadinya kiamat,
yaitu dihimpun dan dikumpulkan setiap golongan dari umat, yaitu
orang-orang yang mendustakan Al-Quran dan dalil-dalil yang nyata.
46 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(3) Azab menimpa kepada orang-orang zalim karena kemusyrikan yang


mereka lakukan.
(4) Allah Swt menyampaikan dalil tentang hari kebangkitan, tauhid,
kenabian untuk mengajak kepada petunjuk dan keimanan serta
mencegah dari kekufuran.
(5) Allah menciptakan malam penuh dengan ketenangan dan waktu
untuk beristirahat. Allah menciptakan siang terang dan bersinar
agar manusia dapat melihat pergerakan, melakukan kegiatan, dan
mencari rezeki. Hal tersebut merupakan dalil yang menunjukkan
kekuasaan Allah dan keesaan-Nya.
(6) Perubahan dari terang kepada gelap dan sebaliknya secara terus-
menerus menunjukkan kekuasaan Allah yang sangat teliti dan
terperinci.
(7) Allah menggilirkan malam dan siang untuk kemaslahatan dan
kemanfaatan manusia dan makhluk lainnya. Demikian pula dengan
diutusnya para nabi dan rasul kepada segenap manusia pun
memberikan manfaat yang besar.

***
Surah Al-Naml (27): 87-90 47

Tanda-Tanda Kiamat: Ditiupnya Sangkakala dan Gunung Berjalan


(QS Al-Naml [27]: 87-90)

            

            

              

             

           

(87) Dan (ingatlah) pada hari (ketika) sangkakala ditiup, maka terkejutlah
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, kecuali siapa yang
dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan
merendahkan diri; (88) Dan engkau akan melihat gunung-gunung,
yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti)
awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna
segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan; (89)
Barang siapa membawa kebaikan, maka dia memperoleh (balasan) yang
lebih baik daripadanya, sedang mereka merasa aman dari kejutan (yang
dahsyat) pada hari itu; (90) Dan barang siapa membawa kejahatan,
maka disungkurkanlah wajah mereka ke dalam neraka. Kamu tidak diberi
balasan, melainkan (setimpal) dengan apa yang teian kamu kerjakan. (QS
Al-Naml [27]: 87-90)

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya, dijelaskan tentang tanda dari hari
kiamat, yaitu keluarnya dâbbah yang mampu berbicara dan mengiring
manusia ke hadapan Allah Swt. Pada ayat-ayat berikut ini, dijelaskan tanda-
tanda kiamat lainnya, yaitu sangkakala ditiup dan gunung diperjalankan.
Selanjutnya diterangkan pula keadaan manusia yang terbagi menjadi
dua golongan. Pertama, orang-orang yang taat dan baik, yaitu mereka
yang melakukan amal-amal kebaikan. Mereka memperoleh pahala dari
perbuatannya itu dan diberikan keamanan dari azab. Kedua, orang-orang
48 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

yang bermaksiat dan celaka, mereka ialah orang-orang yang melakukan


amal-amal buruk. Wajah mereka disungkurkan ke dalam neraka sebagai
balasan perbuatan mereka tersebut.

Penjelasan Ayat
Allah Swt berfirman,

Dan (ingatlah) pada hari (ketika) sangkakala ditiup, maka terkejutlah


apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, kecuali siapa yang
dikehendaki Allah …. (QS Al-Naml [27]: 87)
Hai rasul ingatkan kepada manusia betapa dahsyat dan
mencekamnya ketika tiupan sangkakala mengejutkan (nafkhah faza’)
itu ditiup, sebagaimana digambarkan dalam hadis bahwa sangkakala itu
berupa tanduk yang ditiup, seketika itu pula semua makhluk yang ada
di langit dan bumi sangat ketakutan yang mencekam, bahkan membawa
mereka kepada kematian, kecuali siapa yang dikehendaki Allah.
Mereka ialah sebagian malaikat, seperti Jibril, Mikail, Israfil, dan
Malaikat Maut. Menurut pendapat lainnya, mereka ialah para syuhadâ
(orang-orang yang mati syahid), karena mereka tetap hidup dan diberikan
rezeki di sisi Allah.
Berkenaan dengan sangkakala itu, terdapat dua kali tiupan. Tiupan
sangkakala pertama, nafkhatu l-faza’ dan tiupan (nafkhatu l-Shaîq).
Sebagaimana firman Allah,
Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit
dan di bumi, kecuali mereka yang dikehendaki Allah. (QS Al-Zumar [39]:
68)
Tiupan sangkakala kedua, yaitu membangkitkan kembali dan
menghidupkan segenap makhluk, sebagaimana lanjutan firman Allah di
atas,
Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka
bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah). (QS Al-Zumar [39]:
68)
Surah Al-Naml (27): 87-90 49

Juga disebutkan dalam firman Allah,


Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya
(dalam keadaan hidup), menuju kepada Tuhannya. (QS Yâsîn [36]: 51)
Dalam hadis disebutkan bahwa Israfil meniup sangkakala dengan
izin Allah. Ia memanjangkan tiupannya yang pertama kali dan menimbulkan
rasa takut pada penghuni dunia. Itulah saat akhir umur dunia ketika hari
kiamat berlaku dan menimpa orang-orang jahat yang masih hidup.
Suasana sangat mencekam bagi para penghuni langit dan bumi.
Dengan demikian maka terdapat dua tiupan sangkakala. Tiupan pertama,
seluruh makhluk binasa, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian
tiupan yang kedua untuk menghidupkan dan membangkitkan segenap
makhluk serta dilakukan perhitungan/hisâb.
Siapa yang dikehendaki Allah untuk tetap hidup sesudah tiupan yang
pertama itu pun akan mati sesaat sesudah tiupan pertama dan sebelum
masuk pada tiupan yang kedua.
Selanjutnya Allah Swt berfirman pada penghujung ayat,

… Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri.


(QS Al-Naml [27]: 87)
Maksudnya, setiap makhluk datang dengan tunduk, rendah, dan
hina ke hadapan Allah untuk memenuhi peristiwa hisâb. Mereka rendah
terhina bila mereka adalah orang-orang kafir. Sedangkan mereka rendah
dan berwibawa serta penuh rasa khawatir bila mereka adalah orang-orang
beriman.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya (XIII: 240) menuturkan. Sangkakala
berbentuk seperti tanduk yang terbuat dari cahaya dan ditiup oleh malaikat
Israfil. Tiupan sangkakala itu sebanyak dua kali tiupan. Pertama, tiupan
yang mencekam dan mematikan semua makhluk, kecuali yang dikehendaki
Allah. Disusul dengan tiupan sangkakala kedua: yang menghidupkan
segenap makhluk untuk berdiri di Padang Mahsyar.
Tidak ada seorang makhluk pun yang tertinggal mulai dari zaman
Adam hingga hari kiamat kelak. Mereka dibangkitkan untuk dikumpulkan
ke hadapan Allah dalam keadaan tertunduk dan terhina.
Selaras dengan makna tersebut, Allah Swt berfirman dalam ayat-
ayat lainnya,
50 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang
kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba. (QS Maryam
[19]: 93)
Juga firman Allah,
Yaitu pada hari (ketika) Dia memanggil kamu, dan kamu mematuhi-Nya
sambil memuji-Nya dan kamu mengira, (rasanya) hanya sebentar saja
kamu berdiam (di dalam kubur). (QS Al-Isrâ` [17]: 52)
Juga firman Allah,
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan
bumi dengan kehendak-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu
sekali panggil dari bumi, seketika itu kamu keluar (dari kubur). (QS Al-
Rûm [30]: 25)
Dan juga firman-Nya,
(Yaitu) pada hari ketika mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-
akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di
dunia). (QS Al-Ma’ârij [70]: 43)
Selanjutnya, Allah Swt menerangkan tanda lain datangnya hari
kiamat sebagaimana firman-Nya,

Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di


tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan .... (QS Al-Naml
[27]: 88)
Maksudnya, kamu melihat gunung-gunung itu seakan-akan ia tetap
pada tempatnya dan kokoh sebagaimana mestinya. Gunung itu berjalan
sebagaimana awan berjalan berarak karena tiupan angin. Karena jika
benda besar itu bergerak secara perlahan, seakan-akan pergerakan dan
perpindahannya itu hampir-hampir tidak tampak.
Selaras dengan makna ayat tersebut, Allah Swt berfirman dalam
ayat lainnya,
(9) Pada hari (ketika) langit berguncang sekeras-kerasnya, (10) Dan
gunung berjalan (berpindah-pindah). (QS Al-Thûr [52]: 9-10)
Surah Al-Naml (27): 87-90 51

Juga firman Allah,


Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami perjalankan gunung-gunung dan
engkau akan melihat bumi itu rata dan Kami kumpulkan mereka (seluruh
manusia), dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka. (QS Al-
Kahfi [18]: 47)
Dan firman Allah,
Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. (QS
Al-Naba` [78]: 20)
Dan firman Allah,
(105) Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang gunung-
gunung, maka katakanlah, “Tuhanku akan menghancurkannya (pada
hari Kiamat) sehancur-hancurnya, (106) Kemudian Dia akan menjadikan
(bekas gunung-gunung) itu rata sama sekali, (107) (Sehingga) kamu tidak
akan melihat lagi ada tempat yang rendah dan yang tinggi di sana.” (QS
Thâhâ [20]: 105-107)
Perjalanan gunung itu walaupun telah diguncang pada tiupan
pertama, baru terjadi sesudah tiupan sangkakala kedua ketika segenap
makhluk dihimpun dan dikumpulkan. Agar fenomena itu dapat langsung
disaksikan oleh seluruh makhluk di Padang Mahsyar, Allah mengubah
dan menggantikan bumi dan langit yang pernah ditempati oleh seluruh
makhluk itu dengan bumi dan langit yang lain.
Sebagaimana firman Allah,
(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian
pula) langit, dan mereka (manusia) berkumpul (di Padang Mahsyar)
menghadap Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa. (QS Ibrâhîm [14]: 48)
Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil perputaran bumi
mengelilingi matahari dengan pergerakan yang sangat cepat. Akan tetapi,
pendapat ini bertentangan dengan zahir ayat yang menggambarkan
bahwa perjalanan gunung itu berlaku pada hari kiamat sesuai dengan
pembahasan ayat.
Allah Swt menggambarkan gunung dengan berbagai macam
gambaran untuk menggambarkan kelak bumi itu kosong dari gunung-
gunung dan hendak menampakkan apa yang semula tersembunyi dalam
perut bumi.
52 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Di antara gambaran gunung itu ialah:


Pertama, gunung yang hancur lebur sebelum datangnya gempa.
Kedua, gunung-gunung itu seperti bulu-bulu yang berterbangan.
Sebagaimana firman Allah,
(8) (Ingatlah) pada hari ketika langit menjadi bagaikan cairan tembaga,
(9) Dan gunung-gunung bagaikan bulu (yang beterbangan), (QS Al-Ma’ârij
[70]: 8-9)
Ketiga, kondisi gunung lainnya seperti debu. Gunung-gunung
meletus dan beterbangan bagaikan bulu.
Keempat, gunung itu hancur sehancur-hancurnya.
Kelima, angin menghembuskan dan mengangkat gunung dari
permukaan tanah, maka cahaya menyengat nampak di langit seperti
debuan.
Keenam, gunung–gunung diperjalankan menjadi fatamorgana.
Selanjutnya, Allah Swt berfirman,

… (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu


…. (QS Al-Naml [27]: 88)
Maksudnya, perbuatan itu merupakan perbuatan Allah dengan
kekuasaan-Nya yang besar yang telah menetapkan segala sesuatu dengan
terperinci dan disertai hikmah.
Pada penghujung ayat, Allah Swt berfirman,

... Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Naml [27]: 88)
Inilah 'illat atau alasan adanya tiupan sangkakala, hari kebangkitan
untuk perhitungan (hisâb), dan balasan. Maksudnya, Allah Swt Maha
Mengetahui perbuatan hamba-hamba-Nya berupa kebaikan maupun
keburukan. Allah akan memberikan balasan kepada mereka dengan
balasan yang sempurna dan utuh.
Allah Swt menerangkan keadaan orang-orang yang berbahagia
maupun orang-orang yang sengsara setelah peristiwa hari kiamat. Allah
Swt berfirman,
Surah Al-Naml (27): 87-90 53

Barang siapa membawa kebaikan, maka dia memperoleh (balasan) yang


lebih baik daripadanya, sedang mereka merasa aman dari kejutan (yang
dahsyat) pada hari itu. (QS Al-Naml [27]: 89)
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan tidak menyekutukan-
Nya, melaksanakan amal saleh, maka baginya pahala yang berlimpah disisi
Tuhannya juga surga yang penuh kenikmatan.
Ia pun akan merasa aman dari ketakutan akan azab pada hari
kiamat. Selaras dengan makna ayat tersebut, Allah Swt berfirman pada
ayat lainnya,
Kejutan yang dahsyat tidak membuat mereka merasa sedih, dan para
malaikat akan menyambut mereka (dengan ucapan), “Inilah harimu yang
telah dijanjikan kepadamu.” (QS Al-Anbiyâ` [21]: 103)
Demikian pula ayat di atas senada dengan firman-Nya,
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari tanda-tanda (kebesaran)
Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Apakah orang-orang yang
dilemparkan ke dalam neraka yang lebih baik ataukah mereka yang
datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat? Lakukanlah apa yang
kamu kehendaki! Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS Fushshilat [41]: 40)
Juga firman Allah,
Dan bukanlah harta atau anak-anakmu yang mendekatkan kamu kepada
Kami; melainkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan,
mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda atas apa
yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat
yang tinggi (dalam surga). (QS Saba` [34]: 37)
Kata al-hasanah pada Surah Al-Naml ayat 89 tersebut bermakna
iman dan amal saleh.
Menurut Ibnu Abbas, Al-Nakha'i dan Qatadah, makna al-hasanah
ialah lâ ilâha illa l-llâh (tiada tuhan selain Allah). Adapun kata khairun
bukanlah bermakna lâ ilâha illa l-llâh (tiada tuhan selain Allah) melainkan
maknanya ialah pahala yang berlipat ganda dan terus-menerus. Karena
amal manusia itu berakhir sedangkan pahala itu terus-menerus mengalir,
54 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

maka makna khaîr berarti pahala.


Pendapat lainnya mengatakan bahwa makna ayat itu ialah pahala
dari Allah itu lebih baik daripada perbuatan hamba itu sendiri. Sungguh,
Allah Swt membalas al-hasanah (keimanan dan amal saleh) yang dilakukan
seorang hamba dengan dua perkara: pahala dan aman, selamat dari azab.
Pada akhir pembahasan ayat-ayat tersebut, selanjutnya Allah Swt
berfirman,

Dan barang siapa membawa kejahatan, maka disungkurkanlah wajah


mereka ke dalam neraka. Kamu tidak diberi balasan, melainkan (setimpal)
dengan apa yang telah kamu kerjakan. (QS Al-Naml [27]: 90)
Maksudnya, siapa pun yang menyekutukan Allah dan melakukan
maksiat kepada-Nya. Siapa pun yang datang kepada Allah dengan perbuatan
jahat dan tidak membawa kebaikan sedikit pun, atau kejahatannya lebih
banyak daripada kebaikan dirinya, maka mereka akan dilemparkan ke
dalam neraka.
Lalu dikatakan kepada orang-orang kafir dan ahli maksiat, “Tiadalah
kamu diberi balasan, melainkan setimpal dengan kemusyrikan dan
kemaksiatan yang dilakukan.”
Pahala yang diberikan Allah kepada orang-orang yang berbahagia
ialah al-khair, yaitu pahala yang berlipat ganda sampai dengan sepuluh kali
lipat. Adapun balasan perbuatan buruk tidak dilipatgandakan. Sebagaimana
firman Allah Swt,
Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat
amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan
kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi). (QS Al-
An'âm[6]: 160)
Ayat tersebut juga ayat-ayat lainnya memiliki puncak bahasa dan
kefasihan yang tinggi. Diungkapkan pula dengan bahasa yang singkat dan
berbagai makna yang saling berkaitan.
Dalam tafsirnya, Al-Zamakhsyari (II: 463) menuturkan, “Perhatikanlah
sisi keindahan ucapan ini, keindahan susunan dan urutannya, dan kejelasan
penafsirannya. Kemudian satu ayat dan lainnya juga satu kata dengan
Surah Al-Naml (27): 87-90 55

kata yang lainnya saling bertalian, seakan-akan diungkapkan dengan


satu bentuk, sehingga keindahan ini dapat memukau dan memesonakan
manusia dengan kekuatan bahasanya.”

Hikmah dan Pesan


Dari pembahasan ayat-ayat tersebut di atas, terdapat beberapa
hikmah dan pesan yang dapat dipetik sebagai petunjuk dan pelajaran Al-
Quran bagi manusia dalam menjalani kehidupan.
(1) Tiupan sangkakala yang dilakukan oleh Israfil itu memberikan
ketakutan.
(2) Sesudah terjadinya hari kiamat dan sesudah ditiupkan sangkakala
kedua kalinya, segenap makhluk dihimpun menuju Padang Mahsyar.
(3) Sesungguhnya perubahan yang akan terjadi pada peristiwa hari
kiamat, berupa gunung yang diperjalankan, langit yang meluluh
seperti luluhan perak, dan perbuatan Allah lainnya yang Maha
Sempurna itu menunjukkan hikmah yang besar bagi manusia.
(4) Manusia terbagi kepada dua golongan pada hari kiamat: Orang-
orang yang berbahagia dan orang-orang yang sengsara.
(5) Pahala yang diberikan Allah bagi orang-orang yang berbahagia ialah
al-khaîr yaitu pahala yang berlipat ganda sampai dengan sepuluh
kali lipat. Adapun balasan perbuatan buruk tidak dilipatgandakan.

***
56 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Menyibukkan Diri dengan Beribadah (QS Al-Naml [27]: 91-93)

            

            

            

          

(91) Aku (Muhammad) hanya diperintahkan menyembah Tuhan negeri


ini (Mekah) yang Dia telah menjadikan suci padanya dan segala sesuatu
adalah milik-Nya. Dan aku diperintahkan agar aku termasuk orang Muslim;
(92) Dan agar aku membacakan Al-Quran (kepada manusia). Maka barang
siapa mendapat petunjuk maka sesungguhnya dia mendapat petunjuk
untuk (kebaikan) dirinya, dan barang siapa sesat, maka katakanlah,
“Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi
peringatan;” (93) Dan katakanlah (Muhammad), “Segala puji bagi Allah,
Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kebesaran)-Nya, maka
kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang
kamu kerjakan.” (QS Al-Naml [27]: 91-93)

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah Swt menerangkan awal mula
penciptaan dan kesudahan (hari kiamat), kenabian, tanda-tanda hari
kiamat, gambaran orang-orang pada hari kiamat, pahala dan balasan.
Pada ayat-ayat berikut ini, Allah Swt menerangkan bahwa Rasulullah Saw
telah melaksanakan misi dakwah secara sempurna. Tidak ada yang tersisa
lagi bagi beliau, kecuali menyibukkan diri dengan ibadah semata-mata
kepada Allah, memuji dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya yang besar, dan
membaca Al-Quran.
Ayat-ayat berikut ini menjelaskan bahwa misi dakwah Rasulullah
Saw telah selesai. Orang-orang musyrik dan kafir tinggal berpikir untuk
menerima dakwahnya, dan mentadaburi Al-Quran sebagai petunjuk bagi
mereka, ataupun berpaling dan menentangnya.
Surah Al-Naml (27): 91-93 57

Penjelasan Ayat
Allah Swt berfirman,

Aku (Muhammad) hanya diperintahkan menyembah Tuhan negeri ini


(Mekah) yang Dia telah menjadikan suci .... (QS Al-Naml [27]: 91)
Maksudnya, katakanlah kepada mereka hai Rasulullah,
“Sesungguhnya aku hanyalah diperintahkan untuk menyembah tuhan
yang suci negeri Mekah ini.”
Allah menjadikan Mekah itu negeri yang mulia dan suci. Dilarang
menumpahkan darah di dalamnya, dilarang menzalimi seorang pun,
dilarang memburu binatang buruannya, dilarang menebang pepohonannya,
dilarang menangkap burung-burungnya, dilarang menimbulkan teror dan
ancaman.
Maka seluruh karunia dan keberkahan kembali kepada negeri Mekah
itu.
Negeri Mekah disebutkan dalam ayat tersebut sebagai bentuk
kemuliaan, karena rumah pertama yang didirikan untuk menyembah Allah
berada di negeri Mekah, sebagaimana firman Allah,
(3) Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Kabah),
(4) Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan
lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan. (QS Quraisy [106]:
3-4)
Ayat tersebut di atas merupakan taubîkh atau celaan bagi penduduk
Mekah yang enggan menyembah Allah. Mereka bahkan menyembah dan
beribadah kepada berhala-berhala.
Ayat di atas semakna dengan firman Allah pada ayat lainnya,
Katakanlah (Muhammad), ”Wahai manusia! Jika kamu masih dalam
keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah
yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan
mematikan kamu dan aku telah diperintah agar termasuk orang yang
beriman.” (QS Yûnus [10]: 104)
Dalam hadis dari Ibnu Abbas ra, Nabi Saw menyebutkan rahasia
penamaan Mekah dengan tanah haram.
58 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

‫ ﻓَﻬ َْﻮ َﺣ َﺮا ٌم ِ ُﲝ ْﺮ َﻣ ِﺔ‬،‫ان َﻫ َﺬا اﻟْ َﺒ َ َ َﺣﺮ َﻣ ُﻪ ا ُ ﯾ َ ْﻮ َم َ ﻠ َ َﻖ اﻟﺴ َﻤ َﻮ ِات َوا ْر َض‬
‫ َوﻟ َ ْﻢ َ ِﳛﻞ ِﱃ اﻻ‬،‫ َواﻧ ُﻪ ﻟ َ ْﻢ َ ِﳛﻞ اﻟْ ِﻘ َﺎ ُل ِﻓ ِﻪ َ ٍﺪ ﻗَ ْ ِﲆ‬،‫ا ِ ا َﱃ ﯾ َ ْﻮ ِم اﻟْ ِﻘ َﺎ َﻣ ِﺔ‬
‫َﺳﺎ َ ًﺔ ِﻣ ْﻦ ﳖَ َﺎ ٍر‬
Sesungguhnya kota ini, Allah telah memuliakannya pada hari penciptaan
langit dan bumi. Dia adalah Kota Suci dengan dasar kemuliaan yang Allah
tetapkan sampai hari kiamat. Belum pernah Allah halalkan berperang di
dalamnya, sebelumku. Dan Allah tidak halalkan bagiku untuk memerangi
penduduknya, kecuali beberapa saat di waktu siang (ketika Fathu Makkah).
Selanjutnya, Nabi Saw sebutkan hukum yang berlaku, sebagai
konsekuensi Allah jadikan tanah ini sebagai kota haram. Beliau bersabda,

‫ َو َﻻ ﯾُﻨَﻔ ُﺮ َﺻ ْﯿﺪُ ُﻩ‬، ‫ﻓَﻬ َُﻮ َﺣ َﺮا ٌم ِ ُﲝ ْﺮ َﻣ ِﺔ ا ِ ا َﱃ ﯾ َ ْﻮ ِم اﻟْ ِﻘ َﺎ َﻣ ِﺔ؛ َﻻ ﯾ ُ ْﻌﻀَ ﺪُ َﺷ ْﻮ ُﻛ ُﻪ‬
‫ َو َﻻ ُ ْﳜ َﺘ َﲆ َ َﻼ ُﻩ‬، ‫ َو َﻻ ﯾَﻠْ َﺘ ِﻘﻂُ ﻟُﻘَ َﻄﺘَ ُﻪ اﻻ َﻣ ْﻦ َﻋﺮﻓَﻬَﺎ‬،
Dia haram dengan kemuliaan yang Allah berikan, sampai hari kiamat.
Tidak boleh dipatahkan ranting pohon-nya, tidak boleh diburu hewannya,
tidak boleh diambil barang hilangnya, kecuali untuk diumumkan, dan tidak
boleh dicabut rerumputan hijaunya. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Selanjutnya, Allah Swt berfirman,

... dan segala sesuatu adalah milik-Nya.… (QS Al-Naml [27]: 91)
Maksudnya, Allah Swt pemilik kekuasan, pemeliharaan, dan
penciptaan, tanpa seorang pun yang bersekutu dengan Allah. Dia-lah
Allah, Tuhan negeri Mekah ini, Tuhan segala sesuatu dan Dia-lah yang
menguasainya, tiada tuhan selain Allah.
Pada penghujung ayat, Allah Swt berfirman,
Surah Al-Naml (27): 91-93 59

…Dan aku diperintahkan agar aku termasuk orang Muslim. (QS Al-Naml
[27]: 91)
Maksudnya, Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk
mengesakan Allah, ikhlas beribadah kepada-Nya, melaksanakan aturan-
aturan dan menaati-Nya.
Kemudian pada ayat berikutnya, Allah Swt berfirman,

....    


Dan agar aku membacakan Al-Quran (kepada manusia)…. (QS Al-Naml
[27]: 92)
Maksudnya, Rabb-ku memerintahkan kepadaku untuk membacakan
Al-Quran kepada manusia dan membacanya secara sendirian malam
dan siang. Dengan demikian, rahasia-rahasia Al-Quran akan tersingkap,
dalil-dalil tentang alam semesta yang tersimpan dalam Al-Quran dapat
dipahami. Dengan membaca Al-Quran dan membacakannya kepada orang
lain, iman akan bertambah dan jiwa semakin tunduk dan lembut.
Selanjutnya, Allah Swt berfirman,

... Maka barang siapa mendapat petunjuk maka sesungguhnya dia


mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya.... (QS Al-Naml [27]: 92)
Barang siapa yang memperoleh petunjuk kepada kebenaran dan
keimanan sesungguhnya petunjuk itu untuk dirinya sendiri. Barang siapa
yang beriman kepada risalah Nabi Saw dan mengikutinya, maka sungguh
ia telah mendapatkan petunjuk dan dia mendapatkan keselamatan dari
azab Tuhannya.
Allah Swt berfirman,

... Dan barang siapa sesat, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku (ini)
tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan.” (QS Al-Naml [27]:
92)
Maksudnya, barang siapa yang sesat dan salah dalam menempuh
60 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

jalan kebenaran, petunjuk, dan keimanan, juga mendustakan dakwah


Rasulullah Saw dan Al-Quran, maka baginya dosa kesesatan. Sesungguhnya
Rasulullah Saw pemberi peringatan kepada kaumnya dari azab Allah. Tiada
kewajiban Rasulullah Saw melainkan memberikan peringatan dan tablîgh
(menyampaikan).
Sungguh, Rasulullah Saw telah menunaikan kewajiban dan
menyampaikan wahyu, melaksanakan janji dan menanti hisâb (perhitungan)
dari Allah. Sebagaimana firman Allah,
Dan sungguh jika Kami perlihatkan kepadamu (Muhammad) sebagian
(siksaan) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan
engkau, maka sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, dan
Kamilah yang memperhitungkan (amal mereka). (QS Al-Ra’d [13]: 40)
Dan juga firman-Nya,
Maka boleh jadi engkau (Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari
apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu sempit karenanya, karena
mereka akan mengatakan, ”Mengapa tidak diturunkan kepadanya harta
(kekayaan) atau datang bersamanya malaikat?” Sungguh, engkau hanyalah
seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu. (QS
Hûd [11]: 12)
Kemudian Allah Swt berfirman.

Dan katakanlah (Muhammad), “Segala puji bagi Allah, Dia akan


memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kebesaran)-Nya, maka kamu
akan mengetahuinya…. (QS Al-Naml [27]: 93)
Maksudnya, katakanlah hai rasul, “Hanya milik Allah segala pujian.
Dia tidak menurunkan azab kepada seorang pun, kecuali sesudah
datangnya hujjah dan bukti, serta peringatan kepada mereka. Hanya milik
Allah segala pujian atas nikmat kenabian dan beban risalah yang diemban
oleh Rasulullah serta nikmat beramal sesuai dengan tuntunan wahyu.
Sesungguhnya Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-
Nya yang menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan hikmah-Nya.
Di samping itu, Allah Swt hendak menunjukkan tanda-tanda yang
mengiringi datangnya azab dan murka-Nya, sehingga semakin jelas
kebenaran dakwah Rasulullah Saw, dan mereka pun semakin mengenalinya.
Surah Al-Naml (27): 91-93 61

Namun tiba saatnya nanti di mana keimanan tidak lagi berguna sedikit pun.
Ayat tersebut di atas semakna dengan firman Allah,
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami
di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu)
bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS Fushshilat [41]:
53)
Pada penghujung ayat di atas, Allah Swt berfirman,

... Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-
Naml [27]: 93)
Maksudnya, Allah sama sekali tidak lalai dari perbuatan orang-
orang musyrik dan lainnya, melainkan Allah Maha Menyaksikan segala
sesuatu. Allah menunda datangnya azab sampai waktu sesuai kehendak
dan hikmah-Nya.
Inilah ketetapan Allah yang terdahulu berupa janji dan peringatan-
Nya. Di samping itu ini pun merupakan tabsyîr atau berita gembira bahwa
Allah penolong rasul-Nya dari orang-orang kafir yang memusuhinya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Abu Hurairah. Rasulullah Saw
bersabda, “Wahai sekalian manusia janganlah kalian tertipu sehingga
melalaikan Allah. Sungguh bila Allah melalaikan sesuatu, pastilah Dia
melalaikan seekor nyamuk, biji, dan zarah” (HR Ibnu Abu Hatim).
Umar Ibnu Abdul Aziz menuturkan bahwa sekiranya Allah lalai
terhadap sesuatu, pastilah Allah akan melalaikan angin yang berhembus
menghapuskan jejak kaki anak adam.
Semakna dengan ayat tersebut di atas, Allah Swt berfirman,
(Lukman berkata), “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi,
niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus,
Mahateliti. (QS Luqmân [31]: 16)
Dan juga firman-Nya,
(7) Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia
akan melihat (balasan) nya, (8) Dan barang siapa mengerjakan kejahatan
62 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS Al-Zalzalah


[99]: 7-8)

Penutup Surah Al-Naml


Pada akhir Surah Al-Naml ini sekurang-kurangnya ditetapkan tiga
prinsip, yaitu:
Pertama, tauhid. Kedua, hari kebangkitan (hari kiamat). Ketiga,
nubuwah atau kenabian.
Seseorang yang memperoleh petunjuk, maka ia mendapatkan
pahala dan manfaat petunjuk itu kembali kepada dirinya sendiri. Barang
siapa yang sesat maupun berpaling dari prinsip-prinsip ini, maka
sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah menyampaikan dan beliau hanya
sebagai pemberi peringatan akan datangnya azab Allah bagi orang-orang
yang mengingkari-Nya.
Di samping itu, akhir Surah Al-Naml ini ditutup dengan taujîh atau
arahan dan tuntunan bagi rasul-Nya dan juga bagi orang-orang beriman,
yaitu selalu memuji Allah atas limpahan nikmat dan hidayah-Nya.
Allah memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat
dalam diri manusia itu sendiri dan juga pada makhluk-makhluk lainnya.
Dengan tanda-tanda kebesaran-Nya itu manusia juga makhluk lainnya
menyadari dan mengetahui kekuasaan Allah yang terdapat dalam diri
mereka juga yang tersimpan di langit, bumi serta di alam semesta ini.
Sebagaimana firman Allah,
(20) Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang
yang yakin; (21) dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak
memperhatikan? (QS Al-Dzâriyât [51]: 20-21)
Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Allah sama sekali tidaklah
melalaikan perbuatan hamba-hamba-Nya. Allah memberikan balasan atas
perbuatan-perbuatan mereka. Bila perbuatan itu baik, maka kebaikan pula
yang akan diperoleh. Namun bila perbuatan itu buruk, maka keburukan
pula yang akan didapat.

Hikmah dan Pesan


Dari pembahasan ayat-ayat tersebut di atas, terdapat beberapa
hikmah dan pesan yang dapat dipetik sebagai petunjuk dan pelajaran Al-
Quran bagi manusia dalam menjalani kehidupan.
Surah Al-Naml (27): 91-93 63

(1) Seorang Mukmin berkewajiban untuk mengkhususkan ibadah


kepada Allah dan tidak menyekutukan atau menyertakan sesuatu
apapun dalam beribadah kepada-Nya.
(2) Allah menyifati dirinya dengan dua perkara. Pertama, Allah Tuhan
negeri Mekah. Kedua, Allah pencipta segala sesuatu, pemilik
kekuasaan, pemelihara, pemberi segala kenikmatan, pemilik segala
alam semesta.
(3) Pengkhususan negeri Mekah daripada negeri-negeri lainnya karena
Mekah merupakan negeri yang suci, lebih dicintai dan mulia.
(4) Seorang Muslim berkewajiban untuk tunduk, terikat kepada ajaran
Islam dan mengesakan Allah Swt.
(5) Seorang Muslim berkewajiban untuk membaca Al-Quran bagi
dirinya sendiri maupun membacakannya kepada orang lain untuk
menyampaikan Al-Quran kepada mereka.

***
64 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
Surah

28

Al-Qashash

66 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
28


Al-Qashash

Nama Surah
Ayat-ayat QS Al-Qashash berjumlah 88, diturunkan setelah Surah
Al-Naml (Al-Maraghi, XX, t.t.: 30)
Surah Al-Qashash termasuk golongan Surah Makkiyyah, menurut
Al-Hasan, Atha’, Thawus, dan Ikrimah.
Sementara itu, Muqatil berpendapat bahwa semua ayat dari surah
ini adalah Makkiyyah, kecuali ayat 52 sampai dengan 55, sebab termasuk
ayat Madaniyyah. Demikian juga ayat 85, termasuk Madaniyyah, lantaran
diturunkan di Juhfah, saat Nabi Saw berhijrah ke Madinah.
Surah ini diberi nama Al-Qashash, karena di dalamnya dimuat
kisah menarik mengenai perjalanan Musa as, dari masa kelahiran sampai
diangkat menjadi rasul. Di dalam surah ini terdapat peristiwa-peristiwa
yang menakjubkan, dan tampak sekali kasih sayang Allah Swt kepada
kaum Mukminin dan penghinaan terhadap kaum kafirin.
Di surah ini, Allah menyebutkan pula kisah Qarun dari kalangan

67
68 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

umat Nabi Musa as, sebagai perbandingan dengan kisah yang pertama
dalam meruntuhkan tonggak-tonggak kesesatan: dari tirani kekuasaan
Firaun dan tirani kekuatan harta pada diri Qarun (Al-Zuhaili, XX, 1996: 51).

Hubungan Surah Al-Qashash dengan Surah Al-Naml dan Al-


Syu’arâ`
Tampak sekali kaitan antara Surah Al-Qashash ini dengan dua surah
sebelumnya, Al-Naml dan Al-Syu’arâ`, sebagai uraian panjang dari kisah
singkat yang diungkapkan dalam dua surah sebelumnya, yaitu kisah Nabi
Musa as.
Kisah pada surah ini diawali dengan penjelasan tentang kesombongan
Firaun, kezalimannya, serta perintahnya untuk membunuh anak-anak laki-
laki dari Bani Israil. Perintah yang terakhir inilah yang memaksa ibu Musa
untuk menghanyutkan Musa kecil ke sungai, karena khawatir disembelih
Firaun.
Musa lalu dipungut anak oleh Firaun, dibesarkan, dan dididik di
istananya sampai dengan usia dewasa. Sampai akhirnya terjadi peristiwa
pembunuhan tanpa sengaja yang dilakukan oleh Musa terhadap pemuda
Qibthi (yang telah membunuh pemuda Bani Israil ). Akibatnya, Musa harus
pergi untuk melarikan diri dari Mesir ke Madyan, lalu menikah dengan
salah satu putri Nabi Syu’aib as.
Setelah munajat kepada Tuhannya, Musa diutus Allah sebagai rasul
dengan segala konsekuensi tugasnya.
Surah ini juga menjelaskan posisi Al-Quran di hari kiamat nanti,
lantaran pelecehan kaum musyrikin terhadapnya, sehingga mengingkari
kebenarannya. Pengingkaran mereka terhadap Al-Quran, antara lain:
(1) Dimulai dari segi pemberitaan Al-Quran tentang penghancuran atas
banyak penduduk negeri lantaran kezaliman mereka;
(2) Pertanyaan mereka kepada serikat-serikat Allah pada hari kiamat
nanti;
(3) Dan diskusi yang terjadi di antara mereka dengan para penyembah
berhala yang berakhir dengan pembebasan tanggung jawab dari
mereka atas penyembahan tersebut.
(4) Selain itu, dibentangkan pula bukti-bukti untuk mengokohkan
kekuasaan Allah yang kuasa menciptakan, mengadakan, dan
membangkitkan manusia/jin hidup kembali, serta kuasa pula untuk
mematikannya.
Surah Al-Qashash (28) 1 69

Di sana terdapat pula kaitan yang erat antara satu dengan lainnya,
yaitu Surah Al-Qashash dan Al-Naml. Jika kisah itu diuraikan secara panjang
lebar dalam surah sebelumnya, maka pada surah ini kisah (penghancuran
kaum Nabi Luth dan kaum Nabi Shalih as) diungkapkan secara ringkas.
Juga ia berisi penjelasan tempat dan nasib akhirnya dari siapa yang
membawa kebaikan dan yang membawa kejahatan di akhirat nanti.
Demikian Al-Zuhaili (XX, 1996: 51-52) menjelaskan kaitan antara
Surah Al-Qashash ini dengan dua surah sebelumnya, Al-Syu’ara dan Al-
Naml.

Substansi Surah Al-Qashash


Terdapat persinggungan dan titik pertemuan antara Surah Al-
Qashash ini dengan dua surah sebelumnya, yaitu Al-Syu’arâ` dan Al-
Naml dalam pokok-pokok akidah: soal tauhid (mengesakan Allah), Risalah
(kerasulan), dan kebangkitan manusia setelah kematiannya, di tengah-
tengah penjelasan kisah-kisah para nabi.
Di samping itu, Dia menjelaskan bukti-bukti yang mengokohkan
ajaran-ajaran pokok tersebut dalam fenomena-fenomena yang terjadi pada
alam raya dengan segala keajaibannya yang indah dan keteraturannya.
Surah Al-Qashash ini berisi penjelasan tentang kisah Nabi Musa as
dan Firaun yang menggambarkan pertempuran antara yang kuat dan yang
lemah. Pihak yang kuat itu dilambangkan sebagai kebatilan, sedangkan
yang kedua mewakili pihak yang benar atau kebenaran. Para penolong
kebatilan adalah tentaranya setan, sedangkan penolong kebenaran adalah
para prajurit Allah yang Maha Penyayang.
Firaun bersandar kepada kekuasaan, kekuatan, dan harta
kekayaannya, lalu membuat kejahatan, dan memperbudak bangsa (Bani
Israil). Bahkan, Firaun mengeluarkan perintah untuk membunuh setiap bayi
laki-laki Bani Israil yang baru lahir, membiarkan anak-anak perempuannya
tetap hidup (untuk dilecehkan nantinya), dan mengaku-aku sebagai tuhan
(sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Qashash [28]: 38, dan membuat
kerusakan di muka bumi ini.
Perintah Firaun untuk membunuh anak laki-laki yang baru dilahirkan
dari kalangan Bani Israil ini mengharuskan Musa kecil dihanyutkan oleh
ibunya sendiri ke Sungai Nil, lalu dipungut oleh keluarga kerajaan Firaun,
kemudian dikembalikan kepada ibunya Musa. Musa kecil dibesarkan dan
diurus di istana Firaun, hingga mencapai usia dewasa dan kuat fisiknya.
70 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Tanpa sengaja, Musa yang kini telah menjadi dewasa itu membunuh
pemuda Qibthi (penduduk asli Mesir) yang telah membunuh salah seorang
pemuda dari Bani Israil.
Akibatnya, Musa melarikan diri dari Mesir menuju ke Madyan, lalu
menikah dengan salah seorang putri Nabi Syu’aib as. Musa as tinggal dan
menetap di Madyan selama 10 tahun sebagai pengembala kambing.
Musa lalu pulang ke Mesir. Dalam perjalanan pulang itu, di Gunung
Thur, ia bermunajat kepada Allah Swt dan mendapat anugerah dengan
pengangkatan menjadi nabi/rasul.
Di antara mukjizat yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya adalah
tongkat (yang dapat berubah menjadi ular, dan lainnya), serta tangan yang
mengeluarkan cahaya.
Nabi Musa as menyampaikan ajaran Tuhannya kepada Firaun dan
kaumnya. Namun demikian, umat mendustakan dan menolak dakwahnya.
Akhirnya, Allah Swt menenggelamkan Firaun di Laut Merah dengan cara-
Nya sendiri.
Persoalan yang diungkap dalam kisah Nabi Musa dan Firaun ini
sama seperti pengingkaran kaum Quraisy terhadap kenabian Muhammad
Saw dengan segala ajaran yang dibawa beliau. Kaum Quraisy menyebut
Muhammad Saw sebagai tukang sihir yang suka bohong, menolak iman
kepada risalahnya dengan alasan yang lemah.
Oleh karena itu, Allah Swt mengancam mereka dengan azab yang
sama dengan kaum Firaun.
Dijelaskan kepada mereka bahwa Allah Swt tidak akan mengazab
suatu kaum, kecuali setelah diutus seorang utusan (rasul) kepada mereka.
rasul yang diangkat adalah berdasarkan kehendak dan pilihan Allah Swt,
bukan kehendak hawa nafsu kaum musyrikin.
Kaum musyrikin meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka akan
membebaskan mereka dari kengerian pada hari kiamat, karena mereka
beribadah kepada tuhan-tuhan itu selama ini.
Padahal Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, yang tidak ada
pendamping bagi-Nya. Dia adalah Maha Kuasa untuk membangkitkan
kembali orang-orang yang sudah mati, sebagaimana sanggup
menghidupkan di awal penciptaan. Terjadinya pergantian siang dan malam
sebagai bukti kekuasaan-Nya.
Para nabi akan menjadi saksi atas umatnya masing-masing bahwa
risalah Allah Swt telah disampaikan kepada mereka. Sekelompok ahli Kitab
yang telah beriman akan diberi pahala dua kali lipat.
Surah Al-Qashash (28) 1 71

Hidayah juga berada di tangan Allah Swt, bukan di tangan rasul-


Nya, sehingga hidayah tidak dapat diberikan oleh nabi kepada siapa yang
dicintai.
Surah ini diakhiri pula oleh kisah yang sama dan serupa (dengan
Firaun), namun dalam motif yang berbeda. Kisah Qarun dari kalangan kaum
Nabi Musa as, menceritakan perilaku dan perbuatannya yang berlatar pada
tirani kekayaan, sementara itu Firaun menyandarkan kesesatannya pada
tirani kekuasaan dan hukum.
Nasib Qarun lebih menyedihkan daripada akhir kisah si Firaun.
Rumah Qarun diguncang gempa dan ditelan bumi. Maka, tidak ada satu
golongan pun yang menolongnya.
Setiap kabar yang memuat dua kisah ini merupakan keterangan
yang nyata dan pasti bahwa Muhammad Saw itu benar-benar seorang
nabi. Sebab, Muhammad Saw tidak hadir di tengah-tengah mereka dan
belum pernah belajar kepada seorang guru pun. Akan tetapi, beliau
sanggup menceritakan semuanya.
Dua kisah ini dipungkas dengan mengumumkan prinsip-prinsip
ajaran sebagai berikut:
Pertama, pahala yang baik di akhirat itu diberikan kepada orang-
orang yang tidak berlaku sombong dan membuat kerusakan di muka bumi.
Kedua, keimanan kepada Allah dan hari akhir merupakan jalan
untuk mencapai kebahagiaan yang mengharuskan dilipatgandakannya
kebaikan dan menolak kejahatan, yaitu pahala atau balasan. Juga, ini
merupakan perwujudan pertolongan Allah Swt kepada Rasulullah Saw
atas musuh-musuh beliau, dan kembalinya beliau ke kota Mekah dengan
membebaskannya setelah beliau tinggalkan.
Ketiga, penjelasan tentang berakhirnya alam ini, yaitu kerusakan
dan kehancuran alam yang bersifat universal, dan kelanggengan Allah
sendiri, ketetapan hukum dan perhitungan amal, serta kembalinya semua
manusia kepada-Nya.
Ini sebagaimana dijelaskan ayat-ayat berikut ini,
... Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi
wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan. (QS Al-
Qashash [28]: 88)

(26) Semua yang ada di bumi itu akan binasa; (27) tetapi wajah Tuhanmu
yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal. (QS Al- Rahmân [55]:
26-27)
***
72 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Kisah Nabi Musa (1) Pertolongan Allah Swt bagi Mustadh’afîn


(Orang-Orang Lemah) (QS Al-Qashash [28]: 1-6)

   

           

         

        

           

       

         

  


(1) Thâ Sîn Mîm; (2) Ini ayat-ayat Kitab (Al-Quran) yang jelas (dari
Allah); (3) Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa
dan Firaun dengan sebenarnya untuk orang-orang yang beriman.; (4)
Sungguh, Firaun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah-belah, dia menindas segolongan dari mereka
(Bani Israil), dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan
hidup anak perempuan mereka. Sungguh, dia (Firaun) termasuk orang
yang berbuat kerusakan; (5) Dan Kami hendak memberi karunia kepada
orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan
mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi
(bumi); (6) dan Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi dan Kami
perlihatkan kepada Firaun dan Haman bersama bala tentaranya apa yang
selalu mereka takutkan dari mereka. (QS Al-Qashash [28]: 1-6)

Penjelasan Ayat
Allah Swt berfirman dalam mengawali surah ini,

      


Surah Al-Qashash (28): 1-6 73

(1) Thâ Sîn Mîm; (2) Ini ayat-ayat Kitab (Al-Quran) yang jelas (dari Allah).
(QS Al-Qashash [28]: 1-2)

 
Thâ Sîn Mîm; (QS Al-Qashash [28]: 1)
Ayat kesatu ini dibaca thâ- sîn- mîm dan setiap huruf dibaca panjang,
sedangkan nûn (pada sîn)-nya di-idgham-kan kepada mîm. Jadi, ayat di
atas berbunyi thâ sîm-mîm.
Huruf-huruf muqaththa’ah (huruf-huruf yang dibaca terputus-putus)
ini dan sejenisnya, sebagaimana dijelaskan berkali-kali, untuk mengingatkan
dan menunjukkan kemukjizatan Al-Quran. Ia juga mengisyaratkan bahwa
Al-Quran ini penuh dengan mukjizat tentang kefasihan dan keindahan
penjelasannya melalui huruf-huruf hijaiyyah seperti ini.
Orang-orang Arab yang merupakan pakar kesusastraan dan ahli
bahasa, tak sanggup melawan ketinggian bahasa Al-Quran. Ini sebagai
bukti bahwa Al-Quran berada di atas rata-rata kemampuan manusia dan
berasal dari yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji, serta Tuhan sekalian
alam.

    

Ini ayat-ayat Kitab (Al-Quran) yang jelas (dari Allah). (QS Al-Qashash [28]:
2)
Ini adalah ayat-ayat Al-Quran yang jelas maknanya dan menyingkap
hakikat dari urusan agama, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang
akan terjadi di masa datang.

         

Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Firaun dengan
sebenarnya untuk orang-orang yang beriman. (QS Al-Qashash [28]: 3)
Allah menyebutkan kepada Nabi Saw urusan yang benar dan fakta
yang benar-benar terjadi, seakan-akan menyaksikan langsung kejadian itu.
Nabi Saw juga seakan-akan hadir pada kejadian itu. Tujuannya, agar umat
beliau membenarkan risalahnya dan wahyu yang diturunkan kepadanya.
Akibatnya, hati mereka menjadi tenang, sebagaimana firman Allah
74 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Swt berikut:
Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan
mewahyukan Al-Quran ini kepadamu.... (QS Yûsuf [12]: 3)
Allah Swt menceritakan satu bagian atau beberapa episode dari kisah
Musa as dan Firaun ini, sebagai pelajaran dan nasihat. Juga ia menjadi
bukti akan kebenaran kenabian Muhammad Saw: Al-Quran Al-Azhim ini
adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah, dan bukan karangan manusia.
Menurut Al-Maraghi (XX, t.t.: 32), melalui ayat di atas Allah seolah
berkata kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw, “Kami membacakan kepadamu
sebagian berita tentang Musa as dan perdebatannya dengan Firaun, serta
kekalahan Firaun melawan argumen Musa as Juga Kami menceritakan
kisah Firaun tentang kepongahan dan kezalimannya. Bukti-bukti yang
kuat dan mukjizat yang jelas tidak memberi manfaat apa-apa kepada
Firaun. Akibatnya, Allah membinasakan dan menenggelamkan Firaun dan
balatentaranya di Laut Merah.
“Kami juga membacakan kepada kamu kisah ini sesuai dengan
kenyataan, seolah-olah kamu hadir dan menyaksikan peristiwa itu, dan
melihatnya secara langsung dan kasat mata.
“Maksud dan tujuan dari itu adalah agar kaum kamu mau beriman
kepadamu dan kepada kitabmu, Al-Quran. Juga, agar hati mereka
(kaummu) menjadi tenteram dan dada mereka menjadi sejuk, serta sadar
bahwa ini adalah kebenaran dari Tuhan mereka.
“Sesuai dengan sunatullah bahwa kaum musyrikin, siapa pun dia,
yang menyalahi kamu dan menyerangmu, akan mengalami nasib yang
sama seperti yang memusuhi Nabi Musa dari kalangan Bani Israil.
“Sementara, pertolongan Allah akan selalu diturunkan kepada
orang-orang yang bertakwa, sementara penghinaan Allah akan diberikan
kepada orang-orang yang mendustakan-Nya.”
Orang-orang yang beriman disebutkan secara khusus di sini, padahal
Al-Quran ditujukan untuk seluruh manusia, ditujukan untuk mengisyaratkan
bahwa yang mengambil manfaat dari Al-Quran itu hanyalah orang-orang
yang mengimaninya. Al-Quran bagi mereka adalah firman Allah yang
diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.
Al-Maraghi (XX, t.t.: 32) menambahkan. Hal ini juga untuk
menjelaskan bahwa yang akan mengambil pelajaran dari Al-Quran itu
hanyalah orang yang memiliki kesadaran dan hati yang peka, memiliki
telinga yang tajam, sehingga mengambil pelajaran dengan ayat-ayatnya.
Surah Al-Qashash (28): 1-6 75

Sementara itu, orang yang tidak beriman kepada Al-Quran dan


berpaling darinya, serta sombong, maka akan mengatakan bahwa ia (Al-
Quran) adalah sihir yang sangat kuat pengaruh dan sentuhannya. Ayat
dan peringatan itu tidak berguna bagi dirinya, tidak masuk ke dalam hati,
dan tidak sadar akan hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Ini tidak lebih dari apa yang diceritakan Allah dalam QS Fushshilat
(41): 5,
Dan mereka berkata, “Hati kami sudah tertutup dari apa yang engkau seru
kami kepadanya dan telinga kami sudah tersumbat....
Selanjutnya, Allah Swt merinci ungkapan yang global ini, dengan
firman-Nya,

….     

Sungguh, Firaun telah berbuat sewenang-wenang di bumi.... (QS Al-


Qashash [28]: 4)
Sesungguhnya Firaun itu berbuat sewenang-wenang di Mesir,
menjajah rakyat dan penduduknya, bahkan bersikap melampaui batas
dalam berbuat kezaliman dan permusuhan.
Di antara langkah politik yang diambilnya untuk melanggengkan
kekuasaannya adalah sebagai berikut:

….    …


... dan menjadikan penduduknya berpecah-belah.... (QS Al-Qashash [28]:
4)
Artinya, Firaun memecah belah rakyat dan penduduknya menjadi
beberapa golongan, lalu ditimbulkanlah sifat permusuhan di antara
golongan itu. Ini ditujukan agar tidak terjadi persatuan dan kesatuan di
antara golongan itu, sehingga sebagian berupaya menindas kelompok
lainnya.
Dengan demikian, Firaun tidak sulit untuk menundukkan dan
menguasai mereka. Cara politik seperti inilah yang sering diterapkan oleh
negara-negara besar saat ini (politik devide et impera = politik memecah
belah umat/bangsa).
Undang-undang ini diterapkan untuk menguasai bangsa yang
76 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

dijajahnya, sehingga terpatri di benak pikiran mereka sebuah motto:


”Pecah belahlah (umat), niscaya kamu akan menguasainya...”
Motto ini bermanfaat untuk menguasai suatu negeri dengan relatif
lama, di saat negeri itu diliputi kebodohan dan merajalelanya penjajahan
(Al-Maraghi, XX, t.t.: 32-33).

…..    …


…dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil)…. (QS Al-Qashash
[28]: 4)
Maksud dari ayat di atas, menurut Al-Zuhaili (XX, t.t.: 57), Firaun
menjadikan Bani Israil sebagai kaum tertindas dan terhinakan. Mereka
diperlakuan dengan zalim dan kasar. Demikian Al-Maraghi menambahkan.
Kemudian Allah menerangkan cara-cara Firaun dalam melakukan
penindasan kepada Bani Israil sebagai berikut.

….      …


…dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak
perempuan mereka…. (QS Al-Qashash [28]: 4)
Mereka membunuh anak bayi laki-laki yang baru dilahirkan dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan sebagai bentuk penghinaan dan
pelecehan kepada mereka.
Di samping itu, Firaun khawatir datangnya seorang anak laki-laki dari
kalangan Bani Israil, yang akan menghancurkan atau merebut kekuasaan,
sehingga kerajaan berpindah kepadanya. Para dukun Firaun mengatakan
kepadanya,”Seorang anak laki-laki dari Bani Israil akan dilahirkan dan akan
merebut kekuasaan dari tangannya.”
Ada pendapat bahwa itu ucapan para tukang nujum (antrologi) atau
mimpi Firaun dalam tidurnya.
Al-Suddi, yang dikutip Al-Maraghi (XX, t.t.: 33), menjelaskan, Firaun
bermimpi dalam tidurnya melihat api yang datang dari Baitulmaqdis,
sehingga membakar rumah-rumah di Mesir, menghanguskan kaum Qibthy
(penduduk asli Mesir) namun tidak mengenai Bani Israil. Maka, Firaun
bertanya kepada para ahli ilmu (nujum) dari kaumnya. Tukang sihir itu
mengabarkan kepada Firaun, bahwa seorang laki-laki dari negeri ini akan
tampil menguasai Mesir.
Surah Al-Qashash (28): 1-6 77

Atas nasihat itulah, Firaun melakukan instruksi untuk membinasakan


anak-anak bayi laki-laki yang lahir, seperti yang dikisahkan Al-Quran.

    …

... Sungguh, dia (Firaun) termasuk orang yang berbuat kerusakan; (QS
Al-Qashash [28]: 4)
Artinya, sesungguhnya Firaun itu termasuk orang-orang yang
membuat kerusakan di muka bumi, baik dengan perbuatan, kemaksiatan,
maupun kesewenang-wenangan. Firaun membunuh orang yang tidak
berdosa, menebar teror dan rasa takut di tengah-tengah masyarakat.
Ini adalah keadaan orang-orang yang berbuat zalim yang jiwa
mereka dikuasai dan dijajah oleh kegundahan dan stres, sehingga mereka
melakukan tindakan jahat seperti itu. Seandainya mereka merasa tenang
dalam satu hari atau lebih, atau diliputi oleh iman, niscaya mereka akan
hidup tenteram dan aman. Mereka tidak akan membuat kerusakan.
Allah menyebutkan lima (5) tindakan yang tercela dilakukan oleh
para penguasa tiran, yaitu: berkuasa sewenang-wenang di bumi, menindas
sebagian kaum, membunuh anak bayi laki-laki, membiarkan hidup anak-
anak perempuian, dan membuat kerusakan.
Allah juga menyebutkan lima hal yang sebaliknya dari karakteristik
kaum Bani Israil: (1) mereka akan diselamatkan dari kezaliman; (2)
diangkat menjadi pemimpin setelah kekuasaan Firaun dan kroni-kroninya;
(3) menjadi pewaris negeri Mesir dan Syam; (4) menjadi penguasa di
sana; dan (5) merealisasikan yang dikhawatirkan oleh Firaun, Haman dan
tentara kedua-duanya, yaitu kekuasaan akan beralih kepada Bani Israil.
Kelima hal yang akan diberikan Allah Swt kepada Bani Israil tersebut,
dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Pembebasan Bani Israil dari Penindasan

. . .        

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di


bumi (Mesir) itu... (QS Al-Qashash [28]: 5)
Allah Swt ingin memberi anugerah dan karunia kepada kaum Bani
Israil yang selama ini ditindas oleh Firaun, serta membebaskan mereka
dari siksaan dan kezalimannya.
78 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(2) Bani Israil Dijadikan Pemimpin

….   …
…dan hendak menjadikan mereka pemimpin….. (QS Al-Qashash [28]: 5)

Allah Swt menjadikan Bani Israil sebagai pemimpin, hakim, dan


gubernur yang maju, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat.
Menurut Al-Maraghi (XX, t.t.: 34), Bani Israil diangkat menjadi orang-orang
yang diikuti dan diteladani dalam urusan agama maupun dunia.
(3) Pewaris Mesir dan Syam

   …


... dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). (QS Al-
Qashash [28]: 5)
Allah menjadikan Bani Israil sebagai pewaris-pewaris kerajaan
Firaun, wilayah kekuasaan, dan apa yang ada di genggamannya. Ini
sejalan dengan firman Allah pada ayat-ayat berikut:
a) QS Al-A’râf [7]: 137,

Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur
dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. (QS Al-A’râf [7]: 137)
b) QS Al-Syu’arâ` [26]: 59,

Demikianlah, dan Kami anugerahkan semuanya (itu) kepada Bani Israil.


(QS Al-Syu’arâ` [26]: 59)
(4) Diberi kedudukan yang kokoh

….    


Dan Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi…. (QS Al-Qashash [28]: 6)
Allah Swt akan mengokohkan kekuasaan bagi Bani Israil dan
menegakkan wibawanya, serta menancapkan cengkeramannya kepada
bumi Mesir dan Syam.
Surah Al-Qashash (28): 1-6 79

(5) Diperlihatkan Semua Kekhawatiran Firaun dan Kroninya


selama ini

         ...
...dan Kami perlihatkan kepada Firaun dan Haman bersama bala tentaranya
apa yang selalu mereka takutkan dari mereka (QS Al-Qashash [28]: 6)
Al-Zuhaili (XX, t.t.: 34) menafsirkan. Allah Swt menjadikan
Firaun, Haman, dan bala tentaranya melihat langsung apa yang mereka
khawatirkan selama ini, yaitu kehilangan kekuasaan mereka di tangan atau
oleh seorang anak dari kalangan Bani Israil, Nabi Musa as
Allah telah mewujudkan urusan-Nya, juga merealisasikan ketetapan-
Nya, yaitu dengan menjadikan Firaun dan kroni-kroninya binasa di tangan
anak yang selama ini dibesarkan dan tumbuh dewasa di istananya sendiri.
Allah Swt menjadikan dan mengangkat anak itu sebagai seorang
rasul dan diberi-Nya kitab Taurat, guna mengabarkan bahwa Rabb segala
langit dan bumi adalah Allah yang Maha Kuasa.
Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi. Apa yang tidak dikehendaki-
Nya, tidak akan terjadi.
Namun yang jelas, tegas Al-Zuhaili, karakteristik ini diberikan
selama Bani Israil itu menjalankan pokok-pokok ajaran mereka dan kitab
suci mereka yang diturunkan kepada mereka, bukan yang sudah diganti
atau diubah.
Kandungan kitab Taurat yang masih asli akan bertemu dengan isi
kandungan Al-Quran.
Apabila mereka menyimpang dari akidah yang benar dan syariat
yang diturunkan, maka hilanglah karakteristik ini dari Bani Israil.
Dari uraian di atas, disimpulkan oleh Al-Maraghi (XX, t.t.: 35) sebagai
berikut:
(1) Firaun melakukan tindakan sewenang-wenang di muka bumi ini,
(2) Menindas sebagian kelompok penduduk Mesir,
(3) Membunuh anak laki-laki dari Bani Israil,
(4) Membiarkan hidup anak-anak perempuan Bani Israil, dan
(5) Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan di muka
bumi.
Allah Swt telah mengganti lima perkara di atas dengan lima perkara
80 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

lagi sebagai penghormatan dan pemuliaan terhadap Bani Israil:


(1) Allah menganugerahkan Bani Israil dengan menyelamatkan mereka
dari cengkeraman Firaun dan penguasanya.
(2) Dia menjadikan mereka sebagai pemimpin yang diteladani, baik
dalam urusan dunia maupun urusan akhirat.
(3) Dia mewariskan bumi negeri Syam kepada Bani Israil.
(4) Dia mengokohkan kedudukan dan kekuasaan mereka di Syam dan
Mesir.
(5) Dia memperlihatkan kepada Firaun, Haman, dan bala tentaranya apa
yang mereka khawatirkan selama ini, yaitu kehilangan kekuasaannya
dari tangan mereka sendiri.
Roda kekuasaan berputar dan berganti, sebagaimana saling
bergantinya siang dan malam, sebagai sunatullah pada makhluk-Nya.
Akan tetapi, Anda tidak akan menjumpai sunatullah itu berubah-
ubah.

Hikmah dan Pesan


Uraian ayat-ayat di atas, dapat ditarik beberapa benang merah
sebagai hikmah dan pesan sebagai berikut:
(1) Al-Quran Al-Karim membedakan yang hak dari yang batil; yang
halal dari yang haram; kisah-kisah para nabi, kenabian Muhammad
Saw; dan hanya orang-orang berimanlah yang akan mengambil
manfaat dari petunjuk Al-Quran, karena mereka mengetahui bahwa
ia bersumber dari Allah Swt.
(2) Wajib meninggalkan sifat sok kuasa di muka bumi, merasa perkasa
lantaran banyaknya pengikut. Keduanya merupakan perilaku dan
atau jalan hidup yang ditempuh Firaun dan Qarun.
(3) Kisah Firaun dan Qarun sejatinya menjadi argumen yang kuat untuk
dijadikan pelajaran bagi kaum musyrik Quraisy dan semisalnya.
Kekerabatan Qarun dengan Musa tidak memberi manfaat apa-apa
lantaran kekufuran Qarun. Demikian juga kekerabatan kaum Quraisy
dengan Nabi Muhammad Saw tidak memberi manfaat sedikit pun,
karena perbedaan keimanan.
(4) Kesewenang-wenangan Firaun karena kekufurannya, ditandai
dengan menindas kelompok Bani Israil, membunuh anak lelaki
dari kalangan mereka; membiarkan anak-anak wanitanya hidup
Surah Al-Qashash (28): 1-6 81

untuk dilecehkan. Akibatnya, Allah menghancurkan Firaun dan


menyelamatkan Bani Israil.
(5) Allah mengangkat derajat orang-orang yang lemah dari Bani Israil
menjadi mulia dan terhormat, sehingga menjadi para pemimpin dan
pewaris Mesir dan Syam pasca kehancuran Firaun.
(6) Allah ingin menunjukkan kepada Firaun, Haman dan bala tentaranya
hilangnya kekuasaan yang selama ini mereka khawatirkan. Ini
direbut oleh anak yang telah dibesarkan dan tumbuh di istawa-nya,
yaitu Musa as, sehingga terwujudlah kehendak Allah Swt secara
nyata.
***
82 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Musa Kecil Dihanyutkan ke Sungai Nil (QS Al-Qashash [28]: 7-14)

            

           

         

       

              

          

          

           

          

          

          

         

   


(7) Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa),
dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke
sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih
hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan
menjadikannya salah seorang rasul.”; (8) Maka dia dipungut oleh keluarga
Firaun agar (kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.
Sungguh, Firaun dan Haman bersama bala tentara¬nya adalah orang-
orang yang bersalah; (9) Dan istri Firaun berkata, “(Dia) adalah penyejuk
Surah Al-Qashash (28): 7-14 83

mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-


mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak,”
sedang mereka tidak menyadari; (10) Dan hati ibu Musa menjadi kosong.
Sungguh, hampir saja dia menyatakannya (rahasia tentang Musa),
seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar dia termasuk orang-orang
yang beriman (kepada janji Allah); (11) Dan dia (ibunya Musa) berkata
kepada saudara perempuan Musa, “Ikutilah dia (Musa).” Maka kelihatan
olehnya (Musa) dari jauh, sedang mereka tidak menyadarinya; (12) dan
Kami cegah dia (Musa) menyusu kepada perempuan-perempuan yang
mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah dia (saudaranya Musa),
“Maukah aku tunjukkan kepadamu, keluarga yang akan memeliharanya
untukmu dan mereka dapat berlaku baik padanya?”; (13) Maka Kami
kembalikan dia (Musa) kepada ibunya, agar senang hatinya dan tidak
bersedih hati, dan agar dia mengetahui bahwa janji Allah adalah benar,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya; (14) Dan setelah dia
(Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya
hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-Qashash [28]:
7-14)

Penjelasan Ayat
Setelah menyebutkan bahwa Allah akan menganugerahkan nikmat-
Nya kepada Bani Israil yang sebelumnya tertindas di muka bumi (Mesir),
berikut ini Allah menyertakan rincian nikmat-Nya kepada mereka.

.….      

Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa)…. (QS Al-
Qashash [28]: 7)
Allah Swt memberikan ilham ke dalam hati ibu Musa, agar menyusui
Musa, selama masih dapat memelihara penyamarannya dari pandangan
Firaun, musuh Allah dan musuhnya sendiri. Maka, konon ibu Musa
menyusui anaknya, Musa, di rumahnya selama tiga atau empat bulan saja.

….            …
84 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

...dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke


sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih
hati….(QS Al-Qashash [28]: 7)
Al-Zuhaili (XX, t.t.: 63) menafsirkan. Allah Swt seolah berfirman
kepada ibu Musa, jika kamu khawatir atas keselamatan Musa kecil dari
intel-intel Firaun dan kroni-kroninya yang akan menyembelih anak laki-
lakinya Bani Israil, sesuai dengan instruksinya, hanyutkanlah ke Sungai
Nil dan jangan takut akan keselamatannya. Jangan juga kamu bersedih
hati karena berpisah dengannya. Satu tahun dilakukan pembunuhan atas
anak Bani Israil, dan satu tahun berikutnya tidak dilakukan pembunuhan.
Contoh, Harun lahir pada tahun keputusan Firaun tidak diberlakukan,
sedangkan Musa dilahirkan saat diberlakukan keputusan itu.
Di dalam Surah Thâhâ telah dijelaskan secara panjang lebar
bagaimana proses menghanyutkan Musa kecil ke Sungai Nil.
Rumah ibu Musa terletak di pinggir Sungai Nil. Sang ibu mengambil
keranjang dan meletakan bayi Musa ke dalamnya, lalu menghanyutkannya
ke Sungai Nil. Ditambahkan pula oleh Al-Zuhaili (XX, t.t.: 63), keranjang
itu hanyut sesuai arah dan jalannya air sungai tersebut, hingga melewati
istana Firaun.
Pada saat itu, Musa kecil ditemukan dan dipungut oleh dayang-
dayang istana, diserahkan kepada istri Firaun, Asiyah Binti Muzahim.
Ketika membuka keranjang, Allah membuat hati istri Firaun menyukai dan
mencintai Musa kecil.
Asiyah menahan Musa lebih lama lagi untuk tinggal di istana, dan
terus merengek-rengek kepada Firaun agar diizinkan tinggal bersamanya.
Akhirnya, permintaan Asiyah dikabulkan, sehingga Musa dapat
menetap di istana dalam waktu yang cukup lama.
Selanjutnya, Allah Swt menjanjikan kepada Ibu Musa dengan suatu
berita gembira dan menenteramkan jiwa, yaitu akan mengembalikannya
kepada ibunya dan akan diangkat Allah menjadi rasul. Ini terungkap dalam
firman-Nya,

       …


... sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan
menjadikannya salah seorang rasul.” (QS Al-Qashash [28]: 7)
Allah Swt akan mengembalikan Musa kepada ibunya sendiri untuk
Surah Al-Qashash (28): 7-14 85

disusuinya secara langsung, bukan oleh orang lain. Allah juga akan
mengangkat Musa sebagai seorang rasul yang diutus kepada raja yang
akan dihancurkan-Nya, dan membawa keselamatan kepada Bani Israil dari
ujian berat yang dilaluinya (Al-Maraghi, XX, t.t. : 37).
Allah Swt menyebutkan kebenaran janji-Nya dan permulaan
penyelamatan Musa, dengan firman-Nya,

….       

Maka dia dipungut oleh keluarga Firaun agar (kelak) dia menjadi musuh
dan kesedihan bagi mereka…. (QS Al-Qashash [28]: 8)
Keluarga Firaun mengambil atau memungut Musa kecil sebagai
anak angkat yang dipelihara dan dijaga agar tidak hilang sejak ditemukan
di dalam keranjang.
Menurut satu riwayat, gelombang ombak terkadang mengangkat
keranjang itu ke atas permukaan air dan terkadang menurunkannya.
Akibatnya, gelombang ombak itu memasukkan keranjang yang membawa
Musa ke dalam semak-semak pohon yang tumbuh di pinggir sungai dan
tersangkut disana, di belakang istana Firaun.
Ketika para dayang istri Firaun keluar istana dan menuju pinggir
sungai, mereka menemukan keranjang itu. Mereka membawanya ke
istana, dan menduga ada harta di dalam keranjang.
Ketika membuka keranjang, mereka menemukan seorang bayi yang
lucu, sehingga mereka sangat menyayanginya (Al-Maraghi, XX, t.t.: 39).
Tatkala sang permaisuri Firaun mengabarkan tentang keberadaan
bayi (Musa), pada awalnya Firaun ingin menyembelihnya. Ini tampak
ketika Firaun mengatakan,”Kami takut anak ini berasal dari Bani Israil, dan
menimpakan kecelakaan bagi kita di tangan dia.“
Akan tetapi, karena istri Firaun meminta agar bayi itu dipertahankan
secara terus menerus, akhirnya Firaun membiarkan.
Selanjutnya Allah menyebutkan bahwa Musa kecil akan menjadi
orang yang tidak sesuai dengan harapan istri Firaun, sebagaimana
terungkap dalam firman-Nya, liyakûna lahum 'aduwwan wa hazanan (agar
(kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka…. (QS Al-Qashash
[28]: 8)
Kata lâm pada kata liyakûna, demikian Al-Zuhaili (XX, t.t.: 64),
menunjukkan lâmu l-'aqibah (lâm untuk makna akibat), bukan lâmu l-ta’lil
(lâm untuk menunjukkan alasan). Sebab, memungut Musa kecil itu tidak
86 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

dimaksudkan untuk kehancuran kekuasaan Firaun. secara langsung.


Namun, Allah menjadikan kehancuran mereka lantaran akibat
ulah tangan mereka sendiri. Mereka memungut bayi itu, mendidik,
dan membesarkannya, sehingga akibat tindakan itu menjadi sebab bagi
kesalahan dan kehilangan kekuasaan Firaun.
Sebab kehancuran dan kehilangan kekuasaan Firaun dan kroni-
kroninya itu di tangan Nabi Musa as, sebagaimana diterangkan Allah,
adalah sebagai berikut:

       …


...Sungguh, Firaun dan Haman bersama bala tentaranya adalah orang-
orang yang bersalah. (QS Al-Qashash [28]: 8)
Firaun, Haman, dan balatentaranya telah berdosa dan melakukan
tindakan kriminal. Maka, Allah menghukum mereka dengan mengurus dan
membesarkan musuh mereka dan orang yang menjadi sebab kehancuran
mereka dengan tangan mereka sendiri, yaitu kesalahan dan perbuatan
dosa.
Mereka melakukan kesalahan di dalam segala hal. Bukan kesalahan
lantaran mengurus musuh mereka.
Al-Hasan Al-Bashri berpendapat bahwa mereka bukan orang-orang
yang bersalah, melainkan maknanya: mereka tidak sadar bahwa dia yang
akan menghilangkan kekuasaan mereka.
Adapun mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa makna dari firman
Allah, mereka adalah orang-orang yang bersalah, lantaran kekufuran dan
kezaliman yang dilakukan Firaun dan kroni-kroninya). Allah menghukum
mereka dengan cara Firaun mendidik dan membesarkan musuhnya sendiri.
Alasan Firaun tidak membunuh Musa kecil itu karena istrinya sendiri
yang menolong, sebagaimana Allah menerangkannya pada ayat berikutnya,

….          

Dan istri Firaun berkata, “(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan
bagimu. Janganlah kamu membunuhnya…. (QS Al-Qashash [28]: 9)
Istri Firaun berkata kepada suaminya, ”Anak ini membuat hati
kita sejuk, dan membuat jiwa kita menjadi tenang. Janganlah kamu
membunuhnya.”
Surah Al-Qashash (28): 7-14 87

Allah menanamkan rasa cinta di hati istri Firaun kepada Musa


kecil. Semua orang yang melihat bayi itu tentu akan mencintainya. Ini
sebagaimana difirmankan Allah Swt pada QS Thâhâ (20): 38-39, yang
artinya,
(38) (yaitu) ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu sesuatu yang
diilhamkan,; (39) (yaitu), letakkanlah dia (Musa) di dalam peti,
kemudian hanyutkanlah dia ke sungai (Nil), maka biarlah (arus) sungai
itu membawanya ke tepi, dia akan diambil oleh (Firaun) musuh-Ku dan
musuhnya. Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-
Ku; dan agar engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku. (QS Thâhâ [20]:
38-39)
Di samping sebagai pelipur lara hati kami, anak ini diharapkan dapat
memberi manfaat kepada kita, seperti diungkapkan dalam firman Allah
pada akhir penggalan ayat ini.

         . . .

...mudah-mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi
anak,” sedang mereka tidak menyadari. (QS Al-Qashash [28]: 9)
Menurut istri Firaun, ”Anak ini mudah-mudahan membawa manfaat
dan kebaikan bagi kita. Sebab, aku melihat tanda-tanda keberuntungan
dan kebaikan pada dirinya.” Atau, istri Firaun ingin mengangkatnya sebagai
anak adopsi, karena kegagahan dan kegantengan Musa kecil.
Sementara itu, istri Firaun belum mempunyai anak.
Maka dari itu, Allah mewujudkan cita-cita istri Firaun itu dengan
memberinya petunjuk lewat anak itu, dan memasukkannya ke dalam
surga dengan wasilah dia. Namun demikian, Firaun dan penganutnya
tidak menyadari bahwa kebinasaannya disebabkan oleh anak itu, dan di
tangannya pula kehancurannya.
Hikmah, hujjah, dan mukjizat (kenabian) akan tampak pada dirinya
di kemudian hari yang menjadi sebab pendustaan mereka kepadanya.
Akan tetapi, justru masalah itulah yang akan menyebabkan
kehancuran mereka.
Allah Swt sendiri Maha Mengetahui yang gaib maupun yang nyata,
menolong rasul-rasul-Nya, mengokohkan agama-Nya, merendahkan dan
melecehkan musuh-musuh-Nya. Itu semua diharapkan agar menjadi
88 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

pelajaran dan nasihat bagi orang Mukmin dan orang kafir.


Jika kebahagiaan sedang menyelimuti Asiyah, istri Firaun, kegalauan
dan waswas menghinggapi hati ibu Musa, sebagaimana diterangkan Allah
pada ayat berikut,

           

      


Dan hati ibu Musa menjadi kosong. Sungguh, hampir saja dia menyatakannya
(rahasia tentang Musa), seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar dia
termasuk orang-orang yang beriman (kepada janji Allah). (QS Al-Qashash
[28]: 10)
Ketika ibu Musa as mendengar kabar bahwa Musa berada di tangan
Firaun, pikirannya terbang dan kacau balau. Dia merasa galau, sedih,
dan takut celaka menimpa anaknya, sebagaimana biasanya terjadi pada
lawannya.
Sekiranya Allah tidak ikut campur dan mengokohkan jiwa ibu Musa,
niscaya dia akan membocorkan rahasia bahwa Musa as adalah benar-
benar anak kandungnya.
Saking rindu kepada putranya, ibu Musa hampir saja mengucapkan
”Duhai anakku!.” Namun, Allah telah menunjukkan bukti dan janji-Nya
kepada ibu Musa, sehingga ia termasuk orang-orang yang beriman kepada-
Nya.
Janji yang dimaksud adalah Allah akan mengembalikan anak itu
kepada diri ibunya (Al-Maraghi, XX, t.t.: 40).
Ringkasnya, sekiranya Allah Swt tidak mengokohkan hati ibunya
Musa dan membuatnya bersabar, niscaya dia akan mengungkapkan rahasia
itu. Dia juga nyaris melontarkan ucapan bahwa Musa adalah putranya,
lantaran kasih sayang ibu pada putranya.
Oleh karena itu, Allah Swt mengilhamkan kepada ibu Musa agar
kakak perempuan Musa mengikuti kemana peti itu bergerak:

           

Dan dia (ibunya Musa) berkata kepada saudara perempuan Musa, “Ikutilah
dia (Musa).” Maka kelihatan olehnya (Musa) dari jauh, sedang mereka
tidak menyadarinya. (QS Al-Qashash [28]: 11)
Surah Al-Qashash (28): 7-14 89

Ibu Musa berkata kepada anak perempuan yang tertua atau kakak
perempuan Musa, yang sudah mampu menangkap pembicaraan, “Ikutilah
jejak keranjang itu, cari informasi tentang dia, dan gali berita tentang dia
di seluruh penjuru negeri (Mesir).”
Keluarlah, kakak perempuan Musa untuk melakukan perintah
ibunya.
Allah Swt lalu menunjukkan keberadaan Musa kecil, istana Firaun.
Matanya dapat melihat keranjang itu dari kejauhan. Sementara, mereka
tidak menyadari bahwa ada yang mengikuti perjalanannya dan mengetahui
hal ihwalnya, yaitu kakak perempuannya.
Allah memulai menerangkan langkah-langkah dan cara
pengembaliannya kepada sang ibu.

           

     


Dan Kami cegah dia (Musa) menyusu kepada perempuan-perempuan yang
mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah dia (saudaranya Musa),
“Maukah aku tunjukkan kepadamu, keluarga yang akan memeliharanya
untukmu dan mereka dapat berlaku baik padanya?” (QS Al-Qashash [28]:
12)
Allah Swt mencegah Musa menyusu kepada siapa pun, kecuali
kepada ibunya sendiri, baik sebelum dikembalikan kepada ibunya maupun
sebelum kehadiran kakak perempuannya. Langkah ini dilakukan karena
penghormatan Allah kepada Musa dan pemeliharaannya dari menyusu
kepada wanita lain yang bukan ibunya.
Kakak Musa mengatakan kepada orang-orang istana, setelah
melihat perhatian mereka tentang siapa yang akan menjadi orang yang
menyusuinya,”Apakah kalian ingin sekiranya aku tunjukkan (kepada) satu
keluarga yang akan merawat, menyusui, dan mendidiknya dengan baik?
Mereka adalah orang-orang yang sangat menunjukkan perhatian dan
pemeliharaan kepada anak ini.”
Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip oleh Al-Zuhaili (XX, t.t.: 67),
menjelaskan. Ketika kakak perempuan Musa mengatakan “Maukah kamu
aku tunjukkan satu keluarga yang akan merawat dan mendidiknya dengan
baik,” para pengikut Firaun mulai meragukan usulannya.
90 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Mereka mengajukan pertanyaan, “Dari mana kamu mengetahui


bahwa mereka akan menyayanginya?”
Kakak perempuan itu menjawab, “Mereka akan berbuat yang terbaik
untuk anak ini dan menyayanginya, karena mereka ingin membahagiakan
raja dan sekaligus berharap mendapatkan upah.”
Ketika kakak perempuan itu berkata seperti itu, mereka pun
mengajak berkunjung langsung ke rumahnya, dan membawa Musa kecil
kepada ibunya, lalu memberikan susuannya. Musa kecil itu segera memeluk
ibunya dan menyusu kepadanya.
Semua orang merasa senang sekali.
Salah seorang pengikut Firaun, yang membawa kabar tersebut,
mendatangi istri Firaun dan menceritakan. Istri Firaun mengundang Ibu
Musa, menerima dan menyambutnya, memberinya hadiah yang banyak.
Istri Firaun tidak mengetahui atau menyadari bahwa sebenarnya dia
adalah ibu Musa. Ia menerima kehadirannya karena merasa bayi ini cocok
menyusu kepadanya.
Asiyah meminta ibu Musa agar tinggal dan menyusuinya di dalam
istana. Namun, ibu Musa menolak, dengan alasan bahwa dia mempunyai
suami dan anak-anak yang harus diurus di rumahnya.
Akan tetapi, jika sang ratu masih ingin anaknya ini dipelihara dan
disusui, ibu Musa menyatakan kesediaannya.
Akhirnya, istri Firaun pun setuju. Ia memberinya nafkah, pakaian,
dan sekaligus gaji. Ibu Musa pulang membawa Musa kecil ke rumahnya
dengan senang hati, penuh gembira, dan suka cinta.
Allah Swt telah menggantikan ketakutan menjadi ketenteraman,
berada dalam kemuliaan dan rezeki yang memadai.
Di dalam sebuah hadis diterangkan, ”Perumpamaan orang yang
beramal dan berharap balasan kebaikan atas apa yang dilakukannya, maka
diibaratkan seperti ibu Musa yang menyusui anaknya (Musa kecil) dan
juga mengambil upahnya.”

           

…. 
Maka Kami kembalikan dia (Musa) kepada ibunya, agar senang hatinya
dan tidak bersedih hati, dan agar dia mengetahui bahwa janji Allah adalah
benar…. (QS Al-Qashash [28]: 13)
Surah Al-Qashash (28): 7-14 91

Allah telah mengembalikan Musa kepada ibunya setelah dipungut


oleh keluarga Firaun. Ini bertujuan untuk membuat hati ibu Musa ini senang,
bahagia dengan kehadirannya, keselamatannya, dan tidak bersedih lagi
karena berpisah dengannya.
Ibu Musa juga agar yakin bahwa janji-Nya untuk mengembalikan
anaknya itu adalah benar, tanpa keraguan, ketika Allah berfirman kepada ibu
Musa, yang artinya, Karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya
kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. (QS Al-
Qashash [28]: 7)
Dengan dikembalikannya Musa kepada ibunya, ini berarti telah
terbukti tanda-tanda ia akan dijadikan oleh Allah sebagai seorang rasul.
Sang ibu mendidiknya dengan akhlak dan adab yang baik, sebagaimana
layaknya perilaku seorang rasul.

     . . .


...tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. (Al-Qashash [28]: 13)
Kebanyakan manusia tidak mengetahui hukum Allah tentang
perbuatan-perbuatan-Nya dan akibat-akibatnya yang terpuji, baik di dunia
dan di akhirat. Boleh jadi, ada satu hal yang tidak disukai oleh hawa nafsu
kita secara lahir, ternyata akibatnya baik dan terpuji pada kenyataannya.
Ini sejalan dengan firman Allah Swt di dalam surah lain sebagai
berikut:
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan
bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu
baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak
baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-
Baqarah [2]: 216)

Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang
banyak padanya. (QS Al-Nisâ` [4]: 19)
Allah Swt menjelaskan lanjutan kisah Musa berikut ini:

         

 
92 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Dan setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan
kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-Qashash
[28]: 14)
Ketika kekuatan fisik dan akal Musa sudah sempurna, Allah Swt
menganugerahinya kenabian, pemahaman yang mendalam terhadap
agama dan ilmu syariah. Demikianlah Allah Swt memberikan balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik, seperti Dia memberikan balasan
kebajikan kepada Musa dan ibunya.
Imam Al-Razi menegaskan, “Yang dimaksud dengan al-hukmu di
sini adalah hikmah dan ilmu.”

Hikmah dan Pesan


Dari paparan tafsir di atas, kiranya dapat ditarik beberapa hikmah
dan pesan antara lain sebagai berikut:
(1) Arti kata “wahyu” di sini dibawa kepada makna “ilham.” Sebab,
wahyu itu biasanya diberikan kepada nabi. Ibu Musa dan ibunya
Isa bukanlah seorang nabi, menurut mayoritas ulama, sehingga
lebih tepat disebut ilham. Ini sebagaimana hewan (seperti: lebah)
mendapat ilham untuk mengambil rumahnya di dalam hutan.
(2) Manusia terkadang menginginkan sesuatu, tetapi yang terjadi adalah
yang sebaliknya dan tidak sesuai dengan keinginannya. Keluarga
Firaun berharap kehadiran Musa kecil sebagai penyejuk hati, namun
pada akhirnya ia menjadi musuh Firaun.
(3) Penyelamatan Musa dari Sungai Nil menjadi jalan masuk untuk
keselamatan manusia dengan risalah yang dibawanya, juga
diturunkannya Taurat kepada dirinya. Siti Asiyah juga mendapat
petunjuk kepada iman yang benar kepada Allah, setelah meyakinkan
suaminya agar tidak membunuh Musa, dengan harapan memberi
kesejukan hati dan ketenteraman hidup. Apalagi, setelah Asiyah
mengetahui bahwa dirinya mandul.
(4) Firaun bermimpi dan mimpinya itu disampaikan kepada ulama
dan paranormal. Mereka memberikan tafsiran makna di balik tabir
mimpinya itu bahwa salah seorang anak dari keturunan Bani Israil
akan merebut kekuasaannya. Akibatnya, Firaun mengeluarkan
keputusan untuk membunuh setiap anak yang lahir dari kalangan
Bani Israil untuk memutus keturunan mereka.
Surah Al-Qashash (28): 7-14 93

(5) Manusia tidak menyadari akan adanya rencana Allah. Makna ini
berulang terjadi dalam ayat-ayat lainnya. Misalnya, “Dan mereka
tidak menyadari.” Artinya, mereka tidak menyadari bahwa
kehancuran mereka itu disebabkan oleh kehendak Allah.
(6) Ada kegalauan, kekhawatiran, dan keragu-raguan di dalam hati Ibu
Musa dan pemikirannya menerawang akan keselamatan Musa di
tangan Firaun. Tetapi Allah mengokohkan jiwanya, kesabarannya,
dan memenuhi hatinya dengan iman dan ketenangan, sehingga ia
termasuk orang-orang yang beriman kepada-Nya.
(7) Kakak perempuan Musa memiliki peran yang penting, sehingga
dapat meyakinkan pihak istana dan istri Firaun untuk menerima
tawarannya mengenai seorang wanita yang akan menyusui Musa.
Mereka tidak menyadari bahwa ia sebenarnya saudara/kakak
perempuan Musa. Kakak perempuan Musa inilah yang berjalan dan
mengikuti kemana Musa pergi saat dihanyutkan dari sisi sungai Nil.
Dia melihat siapa yang memungut Musa, kemudian menunjukkan
mereka tentang perempuan/keluarga yang akan mengurusnya. Dia
pula yang menasihati raja, lantaran ingin membahagiakan beliau
dan berharap dapat upah, gaji atau bayaran.
(8) Tidak ada seorang pun yang diberi kenabian sebelum berusia empat
puluh tahun, saat telah sempurna kekuatan akal dan fisiknya, kecuali
Yahya dan Isa. Berbeda dengan keadaan Musa yang mencapai usia
dewasa dan matang, yaitu mencapai empat puluh tahun, barulah
diberi kenabian dan hikmah.
(9) Nabi Musa diberi pahala oleh Allah atas ketaatan dan kesabarannya
dalam menjalankan perintah Tuhannya. Demikian juga halnya
sang Ibu Musa setelah berserah diri kepada keputusan Allah,
menghanyutkan putranya, Musa ke dalam Sungai Nil, dan meyakini
janji-Nya.
***
94 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Musa Melarikan Diri dari Mesir (QS Al-Qashash [28]: 15-21)

          

           

           

            

              

          

           

            

             

           

          

           

 
(15) Dan dia (Musa) masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya
sedang lengah, maka dia mendapati di dalam kota itu dua orang laki-
laki sedang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan
yang seorang (lagi) dari pihak musuhnya (kaum Firaun). Orang yang dari
golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk (mengalahkan)
orang yang dari pihak musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah
musuhnya itu. Dia (Musa) berkata, “Ini adalah perbuatan setan. Sungguh,
dia (setan itu) adalah musuh yang jelas menyesatkan.”; (16) Dia (Musa)
Surah Al-Qashash (28): 15-21 95

berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri,


maka ampunilah aku.” Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh,
Allah, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang; (17) Dia (Musa)
berkata, “Ya Tuhanku! Demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan
kepadaku, maka aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang
berdosa.”; (18) Karena itu, dia (Musa) menjadi ketakutan berada di kota
itu sambil menunggu (akibat perbuatannya), tiba-tiba orang yang kemarin
meminta pertolongan berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa
berkata kepadanya, “Engkau sungguh, orang yang nyata-nyata sesat.”;
(19) Maka ketika dia (Musa) hendak memukul dengan keras orang yang
menjadi musuh mereka berdua, dia (musuhnya) berkata, “Wahai Musa!
Apakah engkau bermaksud membunuhku, sebagaimana kemarin engkau
membunuh seseorang? Engkau hanya bermaksud menjadi orang yang
berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan engkau tidak bermaksud
menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.”;
(20) Dan seorang laki-laki datang bergegas dari ujung kota seraya
berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang
berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka keluarlah (dari
kota ini), sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat
kepadamu.”; (21) Maka keluarlah dia (Musa) dari kota itu dengan rasa
takut, waspada (kalau ada yang menyusul atau menangkapnya), dia
berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.”
(QS Al-Qashash [28]: 15-21)

Latar dan Konteks


Allah menjelaskan anugerah-Nya kepada Musa as, yaitu selamat
dari ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh Firaun, diberinya hikmah
dan ilmu di saat dewasa sebagai persiapan menghadapi kenabiannya. Dia
lalu menerangkan anugerah-Nya yang lain, berupa keselamatan diri Musa
di saat melarikan diri dari Mesir lantaran membunuh warga Mesir Qibthi.
Inilah latar belakang pelariannya dari Mesir menuju ke negeri
Madyan.

Penjelasan Ayat
Allah Swt menjelaskan lanjutan kisah Musa as sebagai berikut,

….       


96 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Dan dia (Musa) masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang


lengah…. (QS Al-Qashash [28]: 15)
Musa as memasuki kota (Memphis), kota yang didiami oleh Firaun,
sebuah desa kecil yang berjarak dua farsakh (1 farsakh = lebih kurang 8
(delapan kilometer) dari pusat Mesir.
Menurut Al-Dhahak, itu adalah 'Ainu l-Sysyams.
Masuknya Musa ke kota itu terjadi di saat tidak diketahui oleh
penduduknya, apakah itu terjadi di saat tidur siang maupun waktu zuhur
saat orang sedang tidur, atau antara waktu magrib dan isya (Al-Zuhaili,
1991: 74-75).
Menurut Al-Maraghi (XX, t.t.: 43), Musa as itu masuk ke Mesir dari
arah 'Ainu l-Sysyams pada waktu yang tidak biasa seseorang memasukinya,
yaitu waktu tidur siang.
Ada riwayat menyebutkan bahwa Musa as memasuki Mesir secara
diam-diam dan sembunyi-sembunyi, agar luput dari pandangan Firaun
dan kaumnya. Sebab, Musa sudah menyalahi keyakinan agama Firaun dan
kaumnya, serta mencela perbuatan mereka.

           …

         

….        


...maka dia mendapati di dalam kota itu dua orang laki-laki sedang
berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang
(lagi) dari pihak musuhnya (kaum Firaun). Orang yang dari golongannya
meminta pertolongan kepadanya, untuk (mengalahkan) orang yang dari
pihak musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Dia
(Musa) berkata, “Ini adalah perbuatan setan.... (QS Al-Qashash [28]: 15)
Di kota itu Musa as menjumpai dua orang laki-laki yang sedang
berkelahi. Laki-laki yang satu berasal dari golongannya (Bani Israil) dan
laki-laki yang kedua adalah musuhnya, bangsa Mesir Qibthi, yang akidah
dan agamanya beda dengan Musa.
Laki-laki dari golongan Mesir Qibthi ini adalah petugas dapur atau
juru masak Firaun (chef). Dia meminta laki-laki Bani Israil itu mengambilkan
kayu bakar untuk keperluan dapur, tetapi dia menolaknya.
Surah Al-Qashash (28): 15-21 97

Laki-laki Bani Israil ini meminta bantuan dan pertolongan kepada


Musa untuk melawan musuhnya.
Musa membantunya dengan memukul laki-laki Mesir itu hingga
membawanya kepada kematian (tanpa sengaja). Lalu Musa menguburkan
jenazahnya, tanpa ada yang mengetahuinya seorang pun, kecuali laki-laki
Bani Israil yang ditolong Musa as.
Musa as menyesal atas tindakannya itu, seraya mengatakan,
“Perbuatan ini merupakan godaan setan dan tipu dayanya.”

     …

...Sungguh, dia (setan itu) adalah musuh yang jelas menyesatkan.” (QS
Al-Qashash [28]: 15)
Sesungguhnya setan itu adalah musuhnya manusia, yang
menyesatkan manusia, dan menjerumuskannya ke dalam kesesatan dan
kesalahan yang nyata.
Musa bertobat atas perbuatan dosanya, seraya berdoa seperti
diterangkan berikut ini:

….       


Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku
sendiri, maka ampunilah aku…” (QS Al-Qashash [28]: 16)
Musa as berdoa kepada Allah, “Ya Rabbi, aku telah menzalimi
diriku sendiri dengan melakukan perbuatan ini, yaitu membunuh manusia
yang tidak berdosa. Maka, hapuskanlah dosaku dan ampunilah aku
atas kejahatanku. Sungguh aku bertobat kepada-Mu dan menyesal atas
perbuatanku.”
Perbuatan tersebut dipandang dosa, karena pembunuhan itu
dilarang sama sekali. Dosa ini sangat dikenal pada ajaran para nabi dan
rasul terdahulu.
Al-Naqqasy, sebagaimana dikutip oleh Al-Zuhaili (XX, 1991: 74),
menjelaskan. Musa tidak bermaksud membunuh orang Mesir itu dengan
sengaja melainkan mendorongnya dengan kuat, guna menghentikan
kezalimannya.
Selain itu, peristiwa ini terjadi sebelum Musa diangkat menjadi nabi.
Imam Muslim meriwayatkan dari Salim Ibnu Abdullah bahwa dia
98 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

berkata, ”Hai warga Irak, aku tidak bertanya kepada kalian tentang dosa
kecil dan membesarkan dosa besar. Aku mendengar ayahku, Abdullah Ibnu
Umar berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya
fitnah itu datang dari sini, sambil mengisyaratkan atau menunjuk ke arah
timur, tempat munculnya matahari, sementara itu kalian saling memukul
pundak sebagian lain (saling pukul). Hanya saja Musa membunuh orang
yang telah membunuh Bani Israil itu lantaran kesalahan atau tidak
disengaja.”
Allah berfirman tentang hal ini,
... Dan engkau pernah membunuh seseorang, lalu Kami selamatkan
engkau dari kesulitan (yang besar) dan Kami telah mencobamu dengan
beberapa cobaan (yang berat) .... (QS Thâhâ [20]: 40)

        ...


... Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha
Pengampun, Maha Penyayang. (QS Al-Qashash [28]: 16)
Allah mengampuni dosa Musa dan menerima tobatnya. Sebab,
Allah Maha Penghapus dosa hamba-hamba-Nya yang bertobat kepada-
Nya. Allah juga yang Maha Penyayang kepada mereka setelah tobatnya
diterima, sehingga tidak menghukumnya.
Musa bersyukur kepada Tuhan-nya, sebagaimana terungkap dalam
ayat berikut ini,

         

Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku! Demi nikmat yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku, maka aku tidak akan menjadi penolong bagi
orang-orang yang berdosa.” (QS Al-Qashash [28]: 17)
Musa as berdoa kepada Rabb-nya, ”Ya Tuhanku, pelihara dan
jagalah aku dari kesalahan demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan
kepadaku, berupa ilmu, hikmah, dan tauhid, juga kehormatan, kemuliaan
dan nikmat-Mu. Jika Engkau memeliharaku dari dosa, niscaya aku tidak
akan pernah mau menolong orang yang berbuat zalim. Aku bersumpah
pula untuk bertobat, demi nikmat yang Engkau anugerahkan kepadaku.
Aku juga berjanji untuk tidak menolong orang-orang musyrik.“
Surah Al-Qashash (28): 15-21 99

Setelah terjadinya pembunuhan terhadap orang Mesir Qibthi yang


tidak sengaja itu di kota tersebut, Allah Swt kemudian menjelaskan kondisi
batin Musa as dengan firman-Nya sebagai berikut,

        

        


Karena itu, dia (Musa) menjadi ketakutan berada di kota itu sambil
menunggu (akibat perbuatannya), tiba-tiba orang yang kemarin meminta
pertolongan berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa berkata
kepadanya, “Engkau sungguh, orang yang nyata-nyata sesat.” (QS Al-
Qashash [28]: 18)
Al-Maraghi (XX, t.t.: 45) menafsirkan. Setelah kejadian pembunuhan
atas orang Mesir Qibthi itu, Musa merasa takut diketahui dirinya sebagai
pembunuhnya, juga tidak tenang hatinya atas kejahatan yang dilakukannya.
Dia selalu menguping pemberitaan tentang kejadian itu, bertanya kepada
orang yang sedang membicarakan kasus itu.
Dia selalu khawatir akan pembunuhan terhadap dirinya lantaran
tindak kriminalnya. Dia selalu berjalan di jalan-jalan umum dengan
menutupi identitas dirinya.
Ia juga khawatir jika tiba-tiba ada orang Israil yang meminta
pertolongan terhadap dirinya atas orang Mesir kemarin itu, berteriak
meminta bantuan dan perlindungan kepadanya untuk mengalahkan orang
Mesir yang lain.
Musa mengatakan kepada orang itu, orang yang kemarin dibantu
sehingga berakibat kematian musuhnya itu (orang Mesir). ”Kamu adalah
celaka dan sesat, tidak diragukan lagi, sebab kamu terbukti telah
menyebabkan kematian laki-laki seorang lagi hari ini.”

            

….      

Maka ketika dia (Musa) hendak memukul dengan keras orang yang
menjadi musuh mereka berdua, dia (musuhnya) berkata, “Wahai Musa!
100 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Apakah engkau bermaksud membunuhku, sebagaimana kemarin engkau


membunuh seseorang?... (QS Al-Qashash [28]: 19)
Ketika Musa hendak melakukan tindakan yang keras kepada musuh
keduanya, sang musuh mengatakan, ”Hai Musa, apakah kamu akan
membunuh aku sebagaimana kamu telah melakukannya kemarin dan
membunuhku seperti engkau telah membunuh orang tadi malam?”
Orang itu mengetahui kejadian tersebut dari orang-orang Mesir.
Orang itu menambahkan penolakannya dengan mengatakan:

             …

 
... Engkau hanya bermaksud menjadi orang yang berbuat sewenang-
wenang di negeri (ini), dan engkau tidak bermaksud menjadi salah seorang
dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.” (QS Al-Qashash [28]:
19)
Musuh Musa itu mengatakan, ”Hai Musa, kamu tidak lain hanyalah
ingin menjadi jagoan dan bertindak sewenang-wenang di negeri ini. Kamu
memukul dan membunuh orang semaumu, tanpa mempertimbangkan
akibat-akibatnya. Kamu memang tidak ingin berbuat di negeri ini suatu
perbuatan yang membawa kemaslahatan bagi penduduknya dan
menghilangkan permusuhan di antara mereka. Akibatnya, penduduk ini
akan hidup di dalam perdamaian dan kedamaian” (Al-Maraghi, XX, t.t.:
41).
Dipertegas lagi oleh Al-Zuhaili (XX, 1991: 76-77). Musuh Musa
mengatakan, “Hai Musa, kamu tidak lain hanya ingin menjadi pembunuh,
sok jagoan, dan pembuat keonaran di negeri ini, tanpa menghiraukan
akibatnya. Kamu juga tidak ingin menjadi orang yang menciptakan
perdamaian dan melerai permusuhan di kalangan masyarakat dengan cara
baik dan bijaksana. Meskipun salah satu yang bertikai itu adalah kaum
kerabatmu atau satu bangsa dengan kamu.”

          

       


Surah Al-Qashash (28): 15-21 101

Dan seorang laki-laki datang bergegas dari ujung kota seraya berkata,
“Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding
tentang engkau untuk membunuhmu, maka keluarlah (dari kota ini),
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat
kepadamu.” (QS Al-Qashash [28]: 20)

Seorang laki-laki Mukmin dari keluarga Firaun, yang menyembunyikan


keimanannya dari orang banyak, datang dari tempat yang jauh dari kota,
dengan tergopoh-gopoh mengabarkan tentang rencana jahat para tokoh
kaumnya atas diri Musa.
Al-Maraghi menambahkan bahwa orang Mukmin ini segera
menjumpai Musa, karena sayang kepada Musa dan mengkhawatirkan atas
keselamatan dirinya yang akan dilakukan oleh Firaun dan kroni-kroninya.
Dia mengatakan kepada Musa, “Sesungguhnya raja, para pembesar
istana sedang mengatur siasat dan membuat cara untuk membunuhmu.
Maka, segeralah lari dari negeri ini sebelum mereka berhasil menangkapmu,
dan menjalankan siasatnya, lalu akhirnya berhasil membunuh kamu. Maka,
keluarlah dari kota ini segera. Saya adalah penasihatmu yang jujur.” (XX,
t.t.: 48-49, Al-Zuhaili, XX, 1991: 77))

           
Maka keluarlah dia (Musa) dari kota itu dengan rasa takut, waspada
(kalau ada yang menyusul atau menangkapnya), dia berdoa, “Ya Tuhanku,
selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.” (QS Al-Qashash [28]:
21)
Musa as segera keluar dari kota Firaun dengan perasaan khawatir
atas keselamatan dirinya, juga takut ada seseorang yang mengikutinya di
belakang.
Di saat ujian yang genting seperti ini, Musa as berdoa kepada
Allah,”Ya Rabbi, selamatkanlah aku dari kaum yang zalim, yaitu Firaun dan
para pembesarnya.”
Allah menerima dan mengabulkan doanya dan menyelamatkannya,
sehingga akhirnya lolos dan sampai di negeri Madyan.
102 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Hikmah dan Pesan


Setelah memperhatikan penjelasan ayat-ayat di atas, maka kita
dapat mengangkat hikmah dan pesan sebagai berikut:
(1) Peristiwa pembunuhan dengan tidak sengaja dilakukan oleh Musa
as.
(2) Musa merasa menyesal atas tindakan memukul dengan tangan
yang berakibat pada kematian dan menisbatkan tindakan ini atas
godaan setan. Musa berdoa dan mengaku salah telah menzalimi diri
sendiri, lalu memohon ampun atas dosanya. Penyesalan tersebut
telah membawanya tunduk dan patuh kepada Allah dan beristigfar
atas dosanya.
(3) Pembunuhan secara tidak sengaja adalah tetap dosa, dengan alasan
adanya kewajiban membayar kifarat (penghapusan dosa).
(4) Sebagai konsekuensi taubatnya, Musa bersumpah tidak akan pernah
menolong orang yang berbuat zalim dan membantu orang yang
melakukan tindakan kriminal.
(5) Rasa takut itu merupakan insting yang tertanam dalam diri setiap
orang, meskipun orang yang kuat fisiknya seperti Musa.
(6) Keimanan itu adalah tali yang kuat mengikat orang-orang yang
beriman. Oleh karena, lelaki Mukmin dari keluarga Firaun di atas
segera memberitahu Musa agar segera meninggalkan kota Mesir.
Sebab, Firaun dan para pembesar kaumnya sedang merencanakan
pembunuhan terhadap Musa.
(7) Semua Mukmin semestinya selalu bersandar dan bertawakal hanya
kepada Allah semata. Musa keluar dari Mesir dengan rasa takut
dan khawatir ada yang mengancam dirinya. Namun demikian, Allah
menyelamatkan dirinya dan akhirnya sampai di negeri Madyan.

***
Surah Al-Qashash (28): 22-28 103

Musa Menikahi Putri Nabi Syu’aib (QS Al-Qashash [28]: 22-28)

           

           

            

            

            

           

          

         

          

            

            

            

    


(22) Dan ketika dia menuju ke arah negeri Madyan dia berdoa lagi,
“Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar”; (23) Dan
ketika dia sampai di sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana
sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan dia
menjumpai di belakang orang banyak itu dua orang perempuan sedang
menghambat (ternaknya). Dia (Musa) berkata, “Apakah maksudmu (dengan
berbuat begitu)?” Kedua (perempuan) itu menjawab, “Kami tidak dapat
memberi minum (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu
104 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah
lanjut usianya”; (24) Maka dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua
perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa,
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan
(makanan) yang Engkau turunkan kepadaku”; (25) Kemudian datanglah
kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan
malu-malu, dia berkata, “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk
memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum
(ternak) kami.” Ketika (Musa) mendatangi ayahnya (Syekh Madyan) dan
dia menceritakan kepadanya kisah (mengenai dirinya), dia (Syekh Madyan)
berkata, “Janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-
orang yang zalim itu”; (26) Dan salah seorang dari kedua (perempuan)
itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita),
sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja
(pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya”; (27) Dia (Syekh
Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan
engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan
ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika
engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan)
darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah
engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik”; (28) Dia (Musa)
berkata, “Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang mana saja dari
kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka tidak ada
tuntutan (tambahan) atas diriku (lagi). Dan Allah menjadi saksi atas apa
yang kita ucapkan.” (QS Al-Qashash [28]: 22-28)

Latar dan Konteks


Firaun dan kaumnya sepakat untuk membunuh Musa as Seorang
Mukmin dari keluarga Firaun mengabarkan isi kesepakatan itu kepada
Musa, menasihatkannya agar segera keluar dari kota Mesir. Akhirnya, Musa
as memutuskan untuk segera berangkat menuju Madyan.
Musa as berangkat ke Madyan dengan berjalan kaki di bawah
bimbingan Allah Swt dan petunjuk-Nya ke arah negeri tersebut (Madyan).
Alasan berangkat ke Madyan, karena ada hubungan nasab antara Bani
Israil dengan keluarga Madyan.
Madyan adalah putra Nabi Ibrahim as, sedangkan Bani Israil adalah
keturunan Nabi Ya’qub putra Nabi Ishaq as, putra Nabi Ibrahim as.
Surah Al-Qashash (28): 22-28 105

Di Madyan tersebut, Musa as menikah dengan puteri Nabi Syu’aib


as, kemudian kembali ke Mesir setelah diangkat jadi nabi dalam perjalanan
menuju Mesir.

Penjelasan Ayat
Allah Swt menerangkan perjalanan Musa as dari Mesir menuju
Madyan dengan firman-Nya berikut ini,

           
Dan ketika dia menuju ke arah negeri Madyan dia berdoa lagi, “Mudah-
mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.” (QS Al-Qashash
[28]: 22)
Ketika akan bertolak ke Madyan, dan meninggalkan Mesir, Musa
as tidak mengetahui jalan menuju Madyan, sehingga bersandar dan
mengharap rahmat Allah dan petunjuk-Nya, seraya berdoa, ”Ya Rabb,
tunjukilah aku jalan yang benar.”
Allah menganugerahkan nikmat-Nya dan menunjukkannya jalan
yang lurus. Musa memilih jalan yang di tengah-tengah dari tiga jalan
yang ada. Ia bertanya kepada orang-orang tentang bagaimana arah jalan
tersebut sebagaimana biasanya.
Ibnu Ishaq berkata, ”Musa keluar dari Mesir menuju Madyan tanpa
bekal apa pun dan tidak berkendaraan, dan berjarak tempuh lebih kurang 8
(delapan) hari perjalanan. Musa juga tidak membawa makanan, sehingga
yang dimakan hanyalah daun-daunan.”
Madyan, berlokasi di bagian selatan dari Palestina.

Beberapa Kejadian di Negeri Madyan


a) Keadaan di Sumber Air Negeri Madyan

          

            

      


106 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Dan ketika dia sampai di sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di
sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan
dia menjumpai di belakang orang banyak itu dua orang perempuan sedang
menghambat (ternaknya). Dia (Musa) berkata, “Apakah maksudmu
(dengan berbuat begitu)?” Kedua (perempuan) itu menjawab, “Kami tidak
dapat memberi minum (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala
itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang
telah lanjut usianya.” (QS Al-Qashash [28]: 23)
Tatkala Musa sampai ke Madyan, dan datang ke sumber airnya,
di sana terdapat sumur yang didatangi para penggembala ternak. Musa
menemukan banyak penggembala yang meminumkan hewan ternaknya
di sumur itu.
Musa melihat di belakang para penggembala itu dua wanita yang
menahan hewan ternaknya masuk ke sumber air tersebut, agar tidak
berbaur dengan penggembala lainnya, sehingga keduanya tidak merasa
terganggu.
Ketika Musa melihat situasi yang ganjil yang dilakukan keduanya, ia
merasa kasihan. Ia bertanya, ”Mengapa kamu berdua tidak mendatangi
sumber air itu dan bergabung saja dengan para penggembala lainnya?”
“Kami tidak mungkin memberi minum hewan ternak kami, kecuali
jika mereka telah selesai memberi minum hewan ternak mereka.
Sementara ayah kami adalah orang yang sudah tua renta yang tidak
mungkin menggembalakan dan memberi minum air hewan ternaknya,”
jawab kedua gadis itu.
Inilah keadaan orang lemah dibandingkan dengan orang yang kuat.
Orang yang kuat adalah orang yang pertama minum, sedangkan orang
yang lemah barulah yang meminum air sisanya.
Alasan inilah yang menyebabkan Musa segera menolong keduanya
memberi minum ternaknya.
Kedua wanita itu mengingatkan Musa bahwa ayahnya sudah tua
renta untuk menggugah Musa mau menolongnya.
b) Musa Memberi Minum Hewan Ternak Milik Nabi Syu'aib itu
dan Bermunajat kepada Allah.

               
Surah Al-Qashash (28): 22-28 107

Maka dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu,


kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang
Engkau turunkan kepadaku.” (QS Al-Qashash [28]: 24)
Musa memberi minum kambing kedua gadis itu dari sumur yang
ditutup oleh batu yang hanya dapat diangkat oleh sepuluh orang. Musa
mengembalikan batu besar itu di atas sumur tersebut, setelah memberi
minum kambing-kambing itu.
Setelah selesai, Musa beristirahat di bawah lindungan sebuah pohon,
seraya berdoa kepada Allah, “Sesungguhnya aku membutuhkan kebaikan
sedikit atau banyak, yaitu makanan, untuk menutupi rasa laparku.”
Ini menunjukkan bahwa Musa memberi minum hewan ternak untuk
kedua wanita itu di tengah terik matahari. Ia juga orang yang memiliki
kekuatan fisik yang sempurna, sehingga dapat mengangkat batu besar
yang menutup sumur itu.
Ibnu Abbas menjelaskan. Musa berjalan kaki dari Mesir menuju
Negeri Madyan, tanpa membawa makanan, kecuali memakan daun-
daunan. Ia berjalan tanpa menaiki kendaraan. Ketika sampai di negeri
Madyan, sandalnya terlepas dan duduk di bawah lindungan pohon.
Perutnya menjadi mengecil, karena laparnya dan membutuhkan kurma.
c) Kemudahan Setelah Kesulitan

        

….     


Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan
itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, “Sesungguhnya ayahku
mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)
mu memberi minum (ternak) kami….” (QS Al-Qashash [28]: 25)
Kedua gadis itu pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya. Sang
ayah kaget dan menanyakan. Kedua gadis itu menceritakan apa yang
dilakukan oleh Musa as.
Sang ayah mengutus salah seorang gadisnya itu untuk
mengundangnya ke rumahnya.
Salah seorang gadisnya mendatangi Musa sambil tersipu malu,
menutup wajah dengan kerudung. Gadis berbicara sopan dan malu-
108 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

malu, “Ayahku memintamu datang ke rumah guna membalas kebaikanmu


kepada kami, sekaligus upah atas kebaikanmu memberi minum kambing-
kambing kami.”
Musa as memenuhi undangan gadis itu untuk mencari keberkahan
dari orang yang sudah tua, dan bukan meminta upah.
Ada riwayat yang menyebutkan, ketika gadis itu mengatakan, ayah
mengundang kamu untuk memberi upah, Musa merasa tidak enak hati.
Ketika Nabi Syu’aib menghidangkan makanan, Musa enggan memakannya.
Musa berkata kepada tuan rumah, ”Kami tidak menjual agama
kami dengan dunia, dan tidak akan mengambil upah atas kebaikan yang
dilakukan.”
Nabi Syu’aib as mengatakan kepada Musa as, “Apa yang kami
lakukan ini adalah tradisi dan kebiasaan kami kepada tamu yang mampir
di rumah kami.”
Musa as akhirnya mengikuti gadis tersebut ke rumah ayahnya. Musa
meminta gadis itu berjalan di belakangnya, agar tidak memandang dia.
Musa as meminta dia menunjukkan jalan ke arah rumah ayahnya.
Begitulah adab orang-orang yang dipersiapkan Allah Swt diangkat
menjadi nabi.
d) Berbincang dengan Orang yang Sudah Tua

            …

 
... Ketika (Musa) mendatangi ayahnya (Syekh Madyan) dan dia
menceritakan kepadanya kisah (mengenai dirinya), dia (Syekh Madyan)
berkata, “Janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang
yang zalim itu.” (QS Al-Qashash [28]: 25)
Musa as mendatangi rumah Nabi Syuaib as. Ia menuturkan kisahnya
dengan Firaun bersama kaumnya yang berada dalam kekufuran dan
arogan kepada Bani Israil, dan merencanakan pembunuhan kepada Musa,
termasuk latar belakang meninggalkan negerinya, Mesir.
Orang yang tua itu berkata, ”Jangan takut, tenanglah, dan lega
hatilah, karena engkau selamat dari cengkeraman orang-orang yang
zalim. Kamu juga sudah keluar dari kerajaan mereka. Mereka tidak dapat
Surah Al-Qashash (28): 22-28 109

menguasai kamu di negeri kami.”


Ucapan Nabi Syu’aib membuat Musa tenteram dan lega dari
kegalauan.
e) Putri Nabi Syu’aib Meminta Ayahnya Mengangkat Musa
sebagai Pegawainya

         

 
Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku!
Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang
paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat dan dapat dipercaya.” (QS Al-Qashash [28]: 26)
Putri tertua Nabi Syu’aib, yang telah mengundangnya, mengusulkan
kepada sang ayah, ”Hai ayahanda, jadikanlah Musa sebagai pegawai yang
akan menggembalakan kambing-kambing ini. Sebaik-baiknya pegawai
adalah dia (Musa), karena dia orang yang kuat untuk menjaga hewan-
hewan ternak dan mengurusinya. Dia juga adalah orang yang dapat
dipercaya dan tidak perlu dikhawatirkan sikap khianatnya.”
Sifat utama dari karyawan adalah: (1) memiliki kekuatan untuk
menjalankan urusannya, dan (2) bersikap amanah dalam memelihara
urusannya.
Sumber pengetahuan tentang dua sifat itu adalah apa yang dilihat
dari pribadinya.
Sang ayah bertanya kepada anak gadis tersebut, ”Dari mana kamu
tahu tentang hal itu?”
Sang gadis menjawab, ”Musa sanggup mengangkat batu yang
digunakan untuk menutup sumber air. Batu itu hanya dapat diangkat oleh
sepuluh orang laki-laki. Juga ketika aku pergi bersamanya, dan berjalan di
depannya, dia meminta aku berjalan di belakangnya. Jika berbeda jalan,
dia melempar aku dengan batu kerikil guna memberitahu jalan dan arah
yang benar ke arah rumah.”
Abdullah Ibnu Masud ra menjelaskan, yang paling tepat mengambil
firasat dari seseorang adalah 3 (tiga) orang: Pertama, Abu Bakar ketika
mengambil firasat tentang Umar; kedua, pembesar Mesir yang membeli
Yusuf ketika berkata (kepada istrinya), ”hormati kedudukannya”; dan
110 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

ketiga, calon istri Nabi Musa ketika berkata (kepada ayahnya), ”Wahai
ayahanda, jadikanlah dia (Musa) menjadi pekerja, karena sebaik-baik
pekerja yang kamu pilih adalah yang kuat fisiknya (al-Qawiyyu) dan yang
dapat dipercaya (al-Amîn).”
f) Pernikahan Musa dengan Putri Nabi Syu’aib

           

             

      


Dia (Syekh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin
menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku
ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan
tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah
(suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau.
Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.” (QS Al-
Qashash [28]: 27)
Nabi Syu’aib merasa puas dengan informasi bahwa Musa adalah
orang yang kuat fisiknya dan terpercaya. Ia berkata, “Aku ingin menikahkan
kamu kepada salah seorang dari kedua putriku. Pilihlah mana yang kamu
inginkan. Maharnya adalah kamu menggembalakan hewan ternakku itu
selama delapan tahun.
“Kalau kamu ingin berbuat baik, lalu melebihkan dua tahun lagi,
maka itu terserah kepadamu. Jika tidak sepuluh tahun, delapan tahun
pun sudah cukup. Aku tidak ingin menyulitkan kamu setelah itu dengan
berdebat atau lainnya.
“Insya Allah, kamu akan mendapatiku sebagai orang yang saleh,
baik pergaulannya dan rendah hati.”
Ia mengatakan, Insya Allah, guna mengambil berkah dan memohon
taufik kepada Allah, serta pertolongan-Nya.
Musa as menjawab pertanyaan Nabi Syu’aib as dengan pernyataannya
berikut,

….            
Surah Al-Qashash (28): 22-28 111

Dia (Musa) berkata, “Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang mana
saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka
tidak ada tuntutan (tambahan) atas diriku (lagi)..... (QS Al-Qashash [28]:
28)
Musa as berkata kepada calon mertuanya. “Aku sepakat atas apa
yang bapak tawarkan. Saya tinggal memilih salah satu dari kedua putri
bapak dan dua waktu itu: delapan tahun atau sepuluh tahun.
“Setiap orang terikat dengan persyaratan itu. Maka jika aku
melengkapinya menjadi sepuluh tahun, maka itu pilihanku. Jika aku
menyelesaikannya delapan tahun, maka aku sudah terbebas dari
perjanjianku. Jika aku keluar dari syarat, maka tiada berdosa untuk memilih
satu dari dua waktu.
“Bapak tidak dapat menuntut aku lebih dari itu.”
Musa akhirnya mengambil waktu yang lengkap.
Ibnu Jarir dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Rasulullah
Saw bersabda, “Aku bertanya kepada Malaikat Jibril tentang batas waktu
yang mana yang diambil dan dijalankan oleh Musa? Jibril menjawab, dia
menyempurnakan dan melengkapkannya (10 tahun lamanya).”
Itu perjanjian yang dibuat antara Musa dan Syu’aib as Dua batas
waktu dimaksud adalah pertama, 8 (delapan) tahun sebagai batas waktu
yang paling pendek, sedangkan kedua, 10 (sepuluh) tahun sebagai waktu
yang paling panjang.

      …


... Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan.” (QS Al-Qashash
[28]: 28)
Allah Swt Maha Menjaga dan Menyaksikan apa yang mesti dilakukan
oleh seseorang kepada orang lain yang melakukan perjanjian.

Hikmah dan Pesan


Dari uraian para penafsir di atas dapat diambil hikmah dan pesan,
antara lain, sebagai berikut:
(1) Musa as berpindah dari Mesir ke Madyan, bagian utara dari Palestina
selama delapan malam.
(2) Musa memberi minum kambing-kambing dua putri Syu’aib as dalam
cara yang tidak berbahaya secara agama dan tidak ditolak oleh
112 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

kepribadian yang baik, sebagaimana berlaku kebiasaan bangsa


Arab.
(3) Musa tidak makan makanan yang normal dalam perjalanannya
menuju Madyan selama satu pekan (6 hari), sehingga perutnya kecil
dan tidak berisi. Beliau berdoa kepada Allah. Ia tidak meminta-minta
dengan suara keras, kecuali memohon yang terbaik kepada-Nya,
baik sedikit maupun banyak.
(4) Musa memberi minum kambing-kambing putri Nabi Syu’aib, menjadi
penyebab kepulangan kedua gadis itu lebih cepat dari waktu
biasanya. Itulah yang menjadi jalan beliau untuk mengundang
Musa hadir dan makan di rumah beliau. Ini juga sekaligus sebagai
jawaban atas doa dan munajatnya kepada Allah selama ini.
(5) Kekuasaan hukum dibatasi oleh sebuah wilayah: Madyan berada di
luar wilayah hukum kerajaan Mesir.
(6) Sistem upah kerja terjadi di dalam setiap agama, karena manusia
membutuhkannya dan kemaslahatan mereka terletak di sana.
(7) Seorang wali boleh menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh orang
lain. Ini tradisi yang berlaku sejak lama dan menyebar di mana pun:
seorang penduduk Madyan menawarkan putrinya kepada orang Bani
Israil; Umar Ibnu Al-Khaththab ra menawarkan putrinya, Hafsah,
kepada Abu Bakar dan Utsman Ibnu Affan; juga seorang wanita
meminta Nabi Saw meminangnya.
(8) Yang berhak menikahkan itu adalah wali perempuan. Sebagai Nabi,
Syu’aib menikahkan salah seorang putrinya kepada Musa.

***
Surah Al-Qashash (28): 29-32 113

Diangkatnya Musa Menjadi Nabi (QS Al-Qashash [28]: 29-32)

          

            

         

          

            

             

           

           

   


(29) Maka ketika Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan itu
dan dia berangkat dengan keluarganya, dia melihat api di lereng gunung.
Dia berkata kepada keluarganya, “Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku
melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu
dari (tempat) api itu atau (membawa) sepercik api, agar kamu dapat
menghangatkan badan”; (30) Maka ketika dia (Musa) sampai ke (tempat)
api itu, dia diseru dari (arah) pinggir sebelah kanan lembah, dari sebatang
pohon, di sebidang tanah yang diberkahi, “Wahai Musa! Sungguh, Aku
adalah Allah, Tuhan seluruh alam!; (31) dan lemparkanlah tongkatmu.”
Maka ketika dia (Musa) melihatnya bergerak-gerak seakan-akan seekor
ular yang (gesit), dia lari berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Allah
berf rman), “Wahai Musa! Kemarilah dan jangan takut. Sesungguhnya
engkau termasuk orang yang aman; (32) Masukkanlah tanganmu ke leher
bajumu, dia akan keluar putih (bercahaya) tanpa cacat, dan dekapkanlah
kedua tanganmu ke dadamu apabila ketakutan. Itulah dua mukjizat dari
Tuhanmu (yang akan engkau pertunjukkan) kepada Firaun dan para
114 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

pembesarnya. Sungguh, mereka adalah orang-orang fasik.” (QS Al-


Qashash [28]: 29-32)

Latar dan Konteks


Setelah menyelesaikan masa kontrak kerja pada dua masa yang
ditentukan dan disepakati, Musa as berniat kuat untuk kembali ke Mesir
untuk mengunjungi kaum kerabatnya di sana. Ketika Musa berada di
perjalanan menuju Mesir, saat cuaca malam sangat dingin sekali, dia
melihat api di arah Gunung Thur.
Musa meminta istrinya tinggal sebentar di tempatnya, guna
membawakan api untuk menghangatkan badan.
Saat mengambil api itulah, Allah memanggil Musa, lalu memberinya
jabatan kenabian dan rasul.

Penjelasan Ayat

          

            

    


Maka ketika Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan itu dan
dia berangkat dengan keluarganya, dia melihat api di lereng gunung.
Dia berkata kepada keluarganya, “Tunggulah (di sini), sesungguhnya
aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu beri1ta
kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sepercik api, agar kamu
dapat menghangatkan badan.” (QS Al-Qashash [28]: 29)
Musa telah menyelesaikan kontrak kerjanya secara sempurna, yaitu
selama sepuluh tahun (8 tahun ditambah 2 tahun), yaitu menggembalakan
kambing Nabi Syu’aib as. Ia bermaksud kembali ke Mesir bersama istrinya.
Di dalam perjalanan itu, Musa melihat api yang sangat terang dari
kejauhan di sekitar Gunung Thursina. Musa meminta istrinya untuk tinggal
sebentar di tempatnya, karena ia ingin mengambil api tersebut.
Musa mengambil api tersebut guna menjadi pelita sehingga dapat
jalan yang akan ditempuh dan untuk menghangatkan badan dari cuaca
dingin di malam itu. Di malam itu memang cuaca sangat dingin sekali dan
Surah Al-Qashash (28): 29-32 115

Musa as tersesat jalan, karena mereka pergi berdua saja, tanpa ada orang
lain yang menyertai dan menunjukkan jalan.
Musa as menggunakan kata umkutsû (tunggulah) dalam bentuk
kata kerja untuk lawan bicara yang jamak (orang banyak), guna
menggambarkan penghormatan kepada istrinya.

          

        

Maka ketika dia (Musa) sampai ke (tempat) api itu, dia diseru dari (arah)
pinggir sebelah kanan lembah, dari sebatang pohon, di sebidang tanah
yang diberkahi, “Wahai Musa! Sungguh, Aku adalah Allah, Tuhan seluruh
alam! (QS Al-Qashash [28]: 30)
Ketika Musa as sampai di tempat api itu, demikian Al-Zuhaili (XX,
1991: 95-96) menafsirkan ayat di atas, Allah sebagai Rabb-nya memanggil
dari sisi kanan lembah, yaitu sebelah kanan Musa.
Allah berseru kepada Musa di tanah yang penuh berkah dari arah
pohon, ”Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.
Aku ini adalah Rabb kamu, maka lepaskanlah sandalmu, karena engkau
berada di lembah yang disucikan.”
Artinya, yang mengajakmu berbicara dan berdialog dengan kamu
ini adalah Rabb semesta alam. Yang mengerjakan apa dikehendaki-Nya,
Tiada tuhan selain Dia. Dia Maha Suci dari kesamaannya dengan dan dari
makhluk-makhluk-Nya, baik zat, sifat, ucapan, maupun perbuatan-Nya.
Sungguh, Allah telah menciptakan keyakinan yang kuat dalam diri
Musa, bahwa ucapan itu adalah kalam Allah, mendengar ucapan langsung
dari-Nya, bukan dari pohon. Demikian menurut pendapat Abu Musa Al-
Asy’ari.
Adapun menurut pandangan Abu Manshur Al-Maturidi, Musa as
mendengar suara dan huruf yang tercipta pada pohon dan terdengar
darinya.
Allah mengokohkan kenabian Musa as dengan menganugerahkan
dua mukjizat.
Mukjizat pertama,

….              
116 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Dan lemparkanlah tongkatmu.” Maka ketika dia (Musa) melihatnya


bergerak-gerak seakan-akan seekor ular yang (gesit), dia lari berbalik ke
belakang tanpa menoleh.... (QS Al-Qashash [28]: 31)
Nabi Musa as diperintah Allah untuk melemparkan tongkatnya yang
ada di tangannya. Tatkala Musa melemparkannya, tongkat itu menjadi ular
yang hidup dan bergerak dengan gesitnya. Maka, Musa menjadi yakin
bahwa yang mengajaknya dialog adalah Zat yang mengatakan kepada
sesuatu, ”jadi-lah,” maka “menjadi-lah.”
Ketika ular itu bergerak dengan gesit, Musa as berlari ketakutan dan
tidak menoleh ke belakang sedikit pun. Musa berlari tunggang-langgang.
Ini ialah tabiat manusia apabila menghindar dari sesuatu yang menakutkan.
Allah Swt menenangkan Musa as dari perasaan takutnya,

         …


... (Allah berf rman), “Wahai Musa! Kemarilah dan jangan takut.
Sesungguhnya engkau termasuk orang yang aman. (QS Al-Qashash [28]:
31)
Allah memerintahkan Musa as kembali ke tempat semula, dan tidak
takut dengan ular itu, sebab kamu aman dari berbagai hal yang buruk.
Mukjizat kedua,

….         

Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, dia akan keluar putih (bercahaya)


tanpa cacat.... (QS Al-Qashash [28]: 32)
Maksudnya, “Ya Musa, masukkan tanganmu ke leher bajumu
yang bagian atas yang dekat dengan kepalamu, kemudian keluarkanlah
tanganmu, niscaya tanganmu itu akan berkilau dan bercahaya, seakan-
akan potongan bulan yang di langit itu berada di tanganmu, tanpa cacat.
Cara untuk menghilangkan rasa takut dari kedua mukjizat itu, Allah
Swt memberi bimbingan kepada Musa, dengan firman-Nya,

….       …


...Dan dekapkanlah kedua tanganmu ke dadamu apabila ketakutan.... (QS
Al-Qashash [28]: 32)
Surah Al-Qashash (28): 29-32 117

Maksudnya, “Ya Musa, letakkan tanganmu di atas dadamu, niscaya


akan hilanglah rasa takut dari dirimu.”
Maka apabila Musa as merasa takut kepada sesuatu, ia akan
mendekapkan tangannya pada dadanya. Setelah melakukannya, Musa
tidak merasa takut lagi.
Boleh jadi, jika seseorang merasa takut, lalu mengamalkan yang
dilakukan oleh Musa as sebagai upaya meneladaninya, maka rasa takutnya
akan hilang.

          …

  


Itulah dua mukjizat dari Tuhanmu (yang akan engkau pertunjukkan)
kepada Firaun dan para pembesarnya. Sungguh, mereka adalah orang-
orang fasik.” (QS Al-Qashash [28]: 32)
Allah menjelaskan bahwa itu adalah dua mukjizat, yaitu tongkat jadi
ular dan tangan menjadi bercahaya apabila dimasukkan ke dalam leher saku
bajumu yang bagian atas. Keduanya menjadi bukti nyata kemahakuasaan
Allah dan kebenaran atas kenabian Musa.
Kedua mukjizat itu menjadi pengokoh jiwa Nabi Musa ketika
berhadapan dengan para pemimpin yang lalim dan durhaka. Mereka keluar
dari ketaatan kepada Allah, menyalahi perintah-Nya, sehingga layak dikirim
risalah dengan dua mukjizat itu.

Hikmah dan Pesan


Berdasarkan paparan di atas, kiranya dapat ditarik kesan dan pesan,
antara lain, sebagai berikut:
(1) Orang-orang yang disiapkan menjadi nabi akan mendapat arahan
dan wahyu dari Allah Swt.
(2) Musa as membawa istri berangkat pulang ke kampung halamannya,
Mesir.
(3) Istri hendaknya mengikuti dan taat kepada suami kemana pun ia
pergi, karena di tangannya ada tanggung jawab kepemimpinan atas
istrinya.
118 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(4) Allah Swt memanggil Musa dengan seruan yang lembut di lembah
yang diberkahi.
(5) Allah Swt mengokohkan kenabian Musa as dengan dua buah
mukjizat. Kedua mukjizat tersebut menjadi bukti kenabiannya di
hadapan Firaun dan kaumnya.

***

Harun Menjadi Nabi (QS Al-Qashash [28]: 33-37)

           

           

         

          

           

           

           
(33) Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh aku telah membunuh
seorang dari golongan mereka, sehingga aku takut mereka akan
membunuhku; (34) Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada
aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan
(perkataan)ku; sungguh, aku takut mereka akan mendustakanku”; (35)
Dia (Allah) berf rman, “Kami akan menguatkan engkau (membantumu)
dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang
besar, maka mereka tidak akan dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu
berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang
mengikuti kamu yang akan menang”; (36) Maka ketika Musa datang
kepada mereka dengan (membawa) mukjizat Kami yang nyata, mereka
Surah Al-Qashash (28): 33-37 119

berkata, “Ini hanyalah sihir yang dibuat-buat, dan kami tidak pernah
mendengar (yang seperti) ini pada nenek moyang kami dahulu”; (37) Dan
dia (Musa) menjawab, “Tuhanku lebih mengetahui siapa yang (pantas)
membawa petunjuk dari sisi-Nya dan siapa yang akan mendapat kesudahan
(yang baik) di akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan
mendapat kemenangan.” (QS Al-Qashash [28]: 33-37)

Latar dan Konteks


Musa as mengetahui dan mengerti bahwa dia diperintahkan untuk
membawa dua mukjizat ini kepada Firaun dan pembesar-pembesarnya.
Musa as memohon kepada Allah agar memberinya kekuatan hati dan
mengokohkan jiwa, dan menghilangkan rasa takutnya kepada Firaun.
Ia mengangkat saudaranya, yaitu Harun, sebagai wazir
(penasihatnya). Allah Swt mengabulkannya.
Kedua rasul itu, Musa dan Harun as, menghadap Firaun dan berdebat
dengannya tentang ketuhanan Allah dalam mengurus alam semesta ini,
dengan argumen yang kuat.
Akan tetapi, Firaun tetap menolak dan membangkang.
Firaun menuduh kedua rasul itu berbohong dan palsu dengan
menyatakan bahwa kedua mukjizat tersebut adalah sihir belaka yang
dibuat-buat.

Penjelasan Ayat
Allah memerintahkan Musa as pergi menghadap Firaun. Padahal,
Musa keluar dari Mesir, untuk melarikan diri dan takut terhadap hukumannya.
Allah menerangkan ucapan dan perilaku Musa dengan firman-Nya berikut,

         
Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh aku telah membunuh seorang
dari golongan mereka, sehingga aku takut mereka akan membunuhku.
(QS Al-Qashash [28]: 33)
Ayat di atas ditafsirkan, Musa berkata kepada Allah, ”Ya Rabbi,
bagaimana aku akan berani menghadap Firaun dan kaumnya, padahal
dahulu aku pernah membunuh penduduk rakyat Firaun. Aku takut jika
mereka melihatku, mereka akan membalas dendam.”
120 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

           

   


Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah
dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku;
sungguh, aku takut mereka akan mendustakanku.” (QS Al-Qashash [28]:
34)
“Ya Rabb, sesungguhnya saudaraku, Harun, lebih fasih berbicara
daripada aku sendiri. Juga dia memiliki penjelasan dan bahasa diplomasi
yang baik.
“Di lidahku ada masalah yang mengganggu, sebagai akibat
pengalaman masa kecilku, yaitu meletakkan bara di lidahku. Pada saat itu,
aku diperintahkan untuk memilih antara bara api dan kurma, aku memilih
bara api.
“Oleh karena itu, jadikan Harun, saudaraku, menjadi rasul dan
wakilku, serta membantuku untuk membenarkan dan mengimani apa yang
aku ucapkan dan mengabarkan bahwa apa yang dibawanya itu bersumber
dari Allah Swt.
“Harun juga akan menjelaskan bukti-bukti yang kuat; menghancurkan
hal-hal yang masih samar-samar yang ditimbulkan oleh para penentangnya.
“Aku takut mereka akan mendustakan aku.”
Sejalan dengan ayat di atas, Allah Swt menerangkan perlunya
orang yang fasih menyampaikan tuntunan-Nya dan perkataan-Nya mudah
dimengerti, sebagaimana firman-Nya,
(27) dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku; (28) agar mereka mengerti
perkataanku; (29) Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari
keluargaku; (30) (yaitu) Harun, saudaraku; (31) Teguhkanlah kekuatanku
dengan (adanya) dia; (32) Dan jadikanlah dia teman dalam urusanku, (QS
Thâhâ [20]: 27-32)
Allah Swt mengabulkan permohonan Musa as sebagai di bawah ini:

….           
Dia (Allah) berf rman, “Kami akan menguatkan engkau (membantumu)
dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang
Surah Al-Qashash (28): 33-37 121

besar, maka mereka tidak akan dapat mencapaimu.... (QS Al-Qashash


[28]: 35)
Allah Swt berfirman kepada Nabi Musa, ”Kami (Allah) akan
menguatkan kamu dengan kehadiran saudaramu, Harun, yang kamu
minta dia menjadi nabi bersama kamu.”
Ini sebagaimana tertuang pula pada QS Thâhâ (20): 36, yang
artinya,
Dia (Allah) berf rman, “Sungguh, telah diperkenankan permintaanmu,
wahai Musa! (QS Thâhâ [20]: 36)
Ayat yang sepadan dengan itu:
Dan Kami telah menganugerahkan sebagian rahmat Kami kepadanya, yaitu
(bahwa) saudaranya, Harun, menjadi seorang nabi. (QS Maryam [19]: 53)
Kami (Allah) akan berikan kepada kalian berdua hujjah dan bukti
yang kuat dan akan mengalahkan secara telak terhadap musuh-musuhmu.
Firaun dan kroni-kroninya tidak akan menimpakan bahaya dan kesulitan
bagi kalian, karena kalian berdua penyampai ayat-ayat Allah Swt.
Sebagian ulama salaf berkomentar tentang permohonan Musa as
untuk mengangkat Harun sebagai nabi, “Tidak ada orang yang memperoleh
anugerah terbesar selain Musa as, yang diberi saudaranya Harun menjadi
nabi. Harun menjadi pendamping dalam dakwahnya, sehingga diangkat
nabi dan rasul bersamanya untuk menghadapi Firaun.
Allah berfirman tentang kebenaran Musa as dengan firman-Nya,
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu seperti orang-orang
yang menyakiti Musa, maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan
yang mereka lontarkan. Dan dia seorang yang mempunyai kedudukan
terhormat di sisi Allah. (QS Al-Ahzâb [33] 69)

      …


... (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu
berdua dan orang yang mengikuti kamu yang akan menang.” (QS Al-
Qashash [28]: 35)
Maksudnya, Allah seakan berfirman kepada Musa as dan Harun as
Ya Musa dan Harun! Berangkatlah kalian berdua dengan kedua ayat Kami.
Kami beri kekuasaan dengan kedua mukjizat di atas. Mereka tidak
122 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

dapat menyampaikan kesulitan kepadamu berkat kedua ayat tadi.


Kalian berdua dan orang-orang yang beriman selainnya akan
mendapatkan kemenangan dengan hujjah yang kuat (mukjizat), Sebab,
semua tentara Allah itu selamanya mendapatkan kemenangan.
Selanjutnya, Allah Swt menjelaskan pendirian Firaun ketika
berhadapan dengan Musa dan Harun.

           

     

Maka ketika Musa datang kepada mereka dengan (membawa) mukjizat


Kami yang nyata, mereka berkata, “Ini hanyalah sihir yang dibuat-buat,
dan kami tidak pernah mendengar (yang seperti) ini pada nenek moyang
kami dahulu.” (QS Al-Qashash [28]: 36)
Nabi Musa dan Harun menghadap ke Firaun dan para pembesarnya,
dan membentangkan mukjizat yang dahsyat di depan mereka dari Allah
Swt. Mukjizat itu ditunjukkan sebagai bukti akan kekuasaan Allah dan fakta
bahwa Musa dan Harun adalah utusan Allah.
Juga itu menjadi bukti atas kebenaran dari apa yang dikabarkan
keduanya, bersumber dari Allah Swt, seperti mengesakan Allah saja, dan
mengikuti ajaran-Nya.
Firaun dan kaumnya menolaknya, dengan mengatakan sebagai sihir
yang sengaja dibuat. Menurut mereka,” Kami tidak pernah mendengar apa
yang kalian berdua serukan, yaitu beribadah hanya kepada Allah, tiada
syarikat /pendamping bagi-Nya. Kami tidak pernah melihat agama yang
dibawa kalian ini dilakukan oleh nenek moyang dari sebelumnya. Kami
tidak pernah melihat seseorang, kecuali mereka menyembah banyak tuhan
di samping Allah.”
Reaksi ini tiada lain karena mereka berpegang teguh pada taklid
(mengikuti faham orang lain tanpa tahu dasar dan dalilnya).
Musa as berkata kepada mereka, sebagaimana diterangkan ayat
berikut,

           

       


Surah Al-Qashash (28): 33-37 123

Dan dia (Musa) menjawab, “Tuhanku lebih mengetahui siapa yang


(pantas) membawa petunjuk dari sisi-Nya dan siapa yang akan mendapat
kesudahan (yang baik) di akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang zalim
tidak akan mendapat kemenangan.” (QS Al-Qashash [28]: 37)
Musa as menjawab ucapan Firaun dan kaumnya, ”Rabb-ku adalah
Allah yang tiada tuhan selain Dia yang menciptakan segala sesuatu.
Dia Maha Mengetahui yang gaib di langit dan di bumi. Dia (Allah) lebih
mengetahui daripada aku dan kalian, siapa yang benar dan siapa yang
salah. Dia juga mengetahui siapa yang membawa kebenaran yang
membawa mereka kepada petunjuk, dimasukkan ke dalam kebahagiaan
yang tinggi, mengetahui pula siapa yang akhir kehidupannya terpuji di
dunia dengan pertolongan. Sedangkan di akhirat kelak mendapatkan
pahala dan rahmat-Nya.
Ayat-ayat lain yang setara dengan ayat di atas.
Pertama, QS Al-Ra’d [13]: 22-23,
(22) ...orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik); (23)
(yaitu) surga-surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan
orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya dan
anak cucunya, sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari
semua pintu; (QS Al-Ra’d [13]: 22-23)
Kedua, QS Al-Ra’d (13): 42,
... Dia mengetahui apa yang diusahakan oleh setiap orang, dan orang yang
ingkar kepada Tuhan akan mengetahui untuk siapa tempat kesudahan
(yang baik). (QS Al-Ra’d [13]: 42)
Allah akan memisahkan aku dan kalian. Tidak akan bahagia
orang yang menserikatkan Allah. Tidak akan memperoleh kebahagiaan,
keselamatan, dan manfaat. Mereka hidup di akhirat berada dalam
kebalikannya.
Di dalam ayat ini terdapat susunan kalimat yang bernilai sastra yang
tinggi dalam berpidato, berdebat, dan diskusi. Musa as tidak mengaku
dirinya orang yang paling benar, sedangkan yang lain sebagai lawannya
adalah salah dan sesat.
Musa as hanya menolak itu dengan tujuan menjadikan akal berfungsi
dalam diskusi, sehingga melahirkan kesimpulan akhir yang tepat, dan
memenangkan yang paling sahih.
Ini seperti ucapan Nabi Saw terhadap orang-orang musyrikin berikut,
124 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

... dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada
dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (QS Saba` [34]: 24)
Di akhir ayat ada ungkapan yang menghardik mereka atas
penolakannya. Di dalamnya ada isyarat bahwa mereka sebenarnya rugi
dalam debat ini. Mereka akan menyesal di kemudian hari.

Hikmah dan Pesan


Berdasarkan uraian tafsir di atas, ada beberapa hal yang dapat
dipetik sebagai berikut:
(1) Di dalam menghadapi musuh, segala persenjataan perlu disiapkan,
baik yang bersifat fisik perang maupun nonfisik atau maknawi
(strategi, diplomasi), secara kuat dan rapih.
(2) Musa as memohon kepada Allah agar Harun, saudaranya, dapat
membantu dalam tugas dakwahnya dengan cara diangkat menjadi
nabi/rasul.
(3) Permohonan yang logis dan doa yang cocok dengan situasi dan
kondisi, akan dikabulkan Allah.
(4) Firaun dan kaumnya telah buta hatinya untuk mengetahui kebenaran.
(5) Perlunya menggunakan kebijaksanaan dalam menjawab soal,
berdebat dan atau diskusi dengan orang-orang yang memiliki
kekuasaan, seperti raja, sultan, dan penguasa lainnya.

***
Surah Al-Qashash (28): 38-43 125

Penolakan Firaun tentang Rubûbiyyah Allah dan Akibatnya (QS


Al-Qashash [28]: 38-43)

           

           

         

        

         

          

           

         

      


(38) Dan Firaun berkata, “Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak
mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarkanlah tanah liat
untukku wahai Haman (untuk membuat batu bata), kemudian buatkanlah
bangunan yang tinggi untukku agar aku dapat naik melihat Tuhannya Musa,
dan aku yakin bahwa dia termasuk pendusta”; (39) Dan dia (Firaun) dan
bala tentaranya berlaku sombong di bumi tanpa alasan yang benar, dan
mereka mengira bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.;
(40) Maka Kami siksa dia (Firaun) dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan
mereka ke dalam laut. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang
yang zalim; (41) Dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang mengajak
(manusia) ke neraka dan pada hari Kiamat mereka tidak akan ditolong;
(42) Dan Kami susulkan laknat kepada mereka di dunia ini; sedangkan
pada hari Kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari
rahmat Allah); (43) Dan sungguh, telah Kami berikan kepada Musa Kitab
(Taurat) setelah Kami binasakan umat-umat terdahulu, untuk menjadi
126 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

pelita bagi manusia dan petunjuk serta rahmat, agar mereka mendapat
pelajaran. (QS Al-Qashash [28]: 38-43)

Latar dan Konteks


Dakwah Nabi Musa dan Harun yang kuat kepada pengesaan Allah,
dibalas olen Firaun dengan dua kekufuran:
Pertama, “Aku tidak mengetahui tuhan bagimu sekalian selain aku.”
Firaun menolak ada tuhan lain selain dirinya. Ia juga mengaku ketuhanan
itu ada pada dirinya.
Kedua, “Maka buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya
aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar
yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.” Firaun ingin naik ke
langit untuk melihat Tuhan Musa.
Kedua hal tersebut di atas adalah menggambarkan kejahilan,
kesombongan, dan tindakan keterlaluan. Maka akibatnya, Firaun
ditenggelamkan Allah ke dalam Laut Merah di dunia ini. Dia juga akan
terusir dari rahmat Allah Swt di akhirat.
Untuk menghadapi kekufuran ini, Allah menurunkan kitab Taurat
kepada Musa as sebagai cahaya, petunjuk, dan rahmat.

Penjelasan Ayat

….          
Dan Firaun berkata, “Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak mengetahui
ada Tuhan bagimu selain aku.... (QS Al-Qashash [28]: 38)
Firaun seorang raja lalim yang menguasai Mesir ini mengatakan,
”Wahai kaumku, aku tidak tahu akan adanya tuhan lain selain aku, dalam
arti bahwa tuhan Musa itu tidak ada. Maka aku adalah tuhan itu.”
Ini sebagaimana firman Allah Swt yang menceritakan tentang itu di
dalam ayat lain:
(23) Kemudian dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru
(memanggil kaumnya); (24) (Seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang
paling tinggi”; (25) Maka Allah menghukumnya dengan azab di akhirat dan
siksaan di dunia; (26) Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran
bagi orang yang takut (kepada Allah). (QS Al-Nâzi`ât [79]: 23-26)
Surah Al-Qashash (28): 38-43 127

Firaun mengajak kaumnya untuk mengakui ketuhanan dirinya. Maka


kaumnya menyambut seruannya itu, lantaran kedangkalan pikirannya,
sebagaimana diterangkan pada ayat berikut:
Maka (Firaun) dengan perkataan itu telah memengaruhi kaumnya,
sehingga mereka patuh kepadanya. Sungguh, mereka adalah kaum yang
fasik. (QS Al-Zukhruf [43]: 54)
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip
oleh Al-Maraghi (XX, t.t.: 60). Rasulullah Saw bersabda, “Dua kalimat yang
diucapkan oleh Firaun, yaitu (1) mâ 'alimtu lakum min ilâhin ghairî, dan (2)
ana Rabbukumu l-A’lâ.
Jarak antara dua ucapannya itu selama 40 (empat puluh tahun).
Allah menghukum Firaun dengan hukuman dunia dan akhirat.
Selanjutnya Allah menerangkan,

            ...

     

... Maka bakarkanlah tanah liat untukku wahai Haman (untuk membuat
batu bata), kemudian buatkanlah bangunan yang tinggi untukku agar aku
dapat naik melihat Tuhannya Musa, dan aku yakin bahwa dia termasuk
pendusta.” (Al-Qashash [28]: 38)
Ayat ini ditafsirkan (Al-Zuhaili, XX, 1991: 108) bahwa Firaun
memerintahkan Haman, salah seorang menterinya, membakar tanah liat
untuk membuat gedung yang tinggi sekali, menjulang tinggi ke langit
sehingga aku bisa naik ke sana, sehingga dapat melihat Tuhan yang
disembah oleh Musa.
Firaun mengatakan demikian, karena memandang tuhan Musa itu
seperti benda fisik sebagaimana benda lainnya. Firaun meyakini bahwa
Musa as adalah pembohong dalam ucapannya bahwa disana ada tuhan
lain selain aku.
Ini sebagaimana diterangkan dalam QS Ghâfir (40): 36-37 yang
artinya,
(36) Dan Firaun berkata, “Wahai Haman! Buatkanlah untukku sebuah
bangunan yang tinggi agar aku sampai ke pintu-pintu; (37) (yaitu) pintu-
pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhannya Musa, tetapi aku tetap
128 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

memandangnya seorang pendusta.” Dan demikianlah dijadikan terasa


indah bagi Firaun perbuatan buruknya itu, dan dia tertutup dari jalan (yang
benar); dan tipu daya Firaun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.
(QS Ghâfir [40]: 36-37)
Firaun menghendaki dengan pengakuannya sebagai tuhan
dan memiliki bangunan yang tinggi pada zamannya adalah untuk
mempromosikan dirinya dan menunjukkan kepada rakyatnya atas
kebohongan Musa yang mengatakan adanya tuhan selain Firaun.
Allah menjelaskan alasan ketertipuan dan pengingkaran mereka
terhadap dakwah Musa as

          

 
Dan dia (Firaun) dan bala tentaranya berlaku sombong di bumi tanpa alasan
yang benar, dan mereka mengira bahwa mereka tidak akan dikembalikan
kepada Kami. (QS Al-Qashash [28]: 39)
Firaun dan kaumnya serta pengikutnya telah bersikap sombong atau
angkuh. Mereka juga membuat kerusakan di muka bumi. Mereka meyakini
tiada hari kiamat, hisâb dan balasan.
Mereka menjadi demikian, karena kesesatan dan kesombongan
mereka, serta kekuasaannya di muka bumi. Mereka tidak mengetahui
bahwa Allah mengetahui dan mengawasi mereka, serta membalas apa
yang telah menjadi hak mereka.
Oleh karena itu, Allah menjelaskan hukuman mereka di dunia dan
diancam dengan hukuman di akhirat, melalui firman-Nya,

         

 
Maka Kami siksa dia (Firaun) dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan
mereka ke dalam laut. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang
yang zalim. (Al-Qashash [28]: 40)
Allah seakan-akan berfirman begini. “Kami tenggelamkan mereka
(Firaun dan bala tentaranya) ke dalam laut pada waktu yang sama,
Surah Al-Qashash (28): 38-43 129

sehingga tidak tersisa seorang pun yang masih hidup. Coba perhatikanlah,
wahai orang yang mempunyai pikiran dan merenungkan kekuasaan dan
keagungan Allah, bagaimana akhir kehidupan orang yang berbuat zalim.
Mereka menzalimi diri sendiri dan membangkang terhadap Tuhan mereka,
dan pembesar mereka mengaku-aku sebagai tuhan selain Allah.”
Allah Swt menyebutkan alasan mengapa harus melipatgandakan
hukuman mereka, dengan firman-Nya,

          


Dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang mengajak (manusia) ke
neraka dan pada hari Kiamat mereka tidak akan ditolong. (QS Al-Qashash
[28]: 41)
Allah Swt seakan-akan berfirman, ”Kami jadikan Firaun dan para
pembesar kaumnya sebagai pemimpin kesesatan yang mendustakan para
rasul dan mengingkari wujud Tuhan yang benar, sehingga tidak cukup
dengan kesesatan mereka sendiri, bahkan mengajak orang lain ke dalam
kesesatan.
“Mereka mendapatkan dua balasan: (1) balasan atas kesesatan
dirinya dan (2) balasan karena menyesatkan orang lain.
“Mereka tidak ada harapan untuk dapat selamat dan mendapat
pertolongan siapa pun.
“Maka, di hari kiamat nanti mereka tidak mempunyai penolong, yang
menolong mereka dari azab Allah, sehingga terhimpun pada diri mereka
kehinaan di dunia dan kehinaan di akhirat.”
Sebagaimana firman-Nya,

           
Dan Kami susulkan laknat kepada mereka di dunia ini; sedangkan pada
hari Kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat
Allah). (QS Al-Qashash [28]: 42)
Allah pastikan sifat abadi pada mereka di dunia berupa laknat,
kehinaan, dan murka melalui lisan orang-orang Mukmin, para nabi, dan
para rasul, sebagaimana di akhirat kelak akan diusir dan dijauhkan dari
rahmat Allah.
Ini diterangkan pula pada ayat lain, yaitu QS Hûd (11): 99, yang
artinya,
130 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Dan mereka diikuti dengan laknat di sini (dunia) dan (begitu pula) pada
hari Kiamat. (Laknat) itu seburuk-buruk pemberian yang diberikan. (QS
Hûd [11]: 99)
Adapun Nabi Musa as dan para pembela iman, setelah Firaun
ditenggelamkan, memiliki cahaya kitab Taurat,

         

      


Dan sungguh, telah Kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) setelah Kami
binasakan umat-umat terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan
petunjuk serta rahmat, agar mereka mendapat pelajaran. (QS Al-Qashash
[28]: 43)
Allah Swt telah menganugerahkan nikmat kepada hamba dan rasul-
Nya, yaitu Musa Kalimullah, dengan diturunkan kitab Taurat kepadanya,
setelah dibinasakannya Firaun dan kaumnya, serta para pendahulu mereka,
seperti kaum Nabi Nuh, Hud, Shalih, dan Luth.
Diturunkannya Taurat agar menjadi pelita atau cahaya bagi kehidupan,
petunjuk dari kesesatan, rahmat, bagi yang mengimaninya, serta pembeda
antara hak dan batil. Taurat menunjukkan kepada amal saleh, semoga
manusia mengambil pelajaran dan nasihat, serta mendapatkan petunjuk
dengan medianya.
Ibnu Jarir, Ibnu Abu Hatim, dan Al-Bazzar dari Abu Said Al-Khudri
dalam hadis marfû, meriwayatkan, Nabi Saw bersabda, “Allah Swt tidak
menghancurkan suatu kaum dengan suatu azab dari langit dan tidak pula
dari bumi setelah diturunkannya kitab Taurat ke muka bumi ini, selain
penduduk negeri yang dijadikan monyet-monyet setelah Nabi Musa as”
Lalu beliau membacakan ayat QS Al-Qashash ayat 43 ini.

Hikmah dan Pesan


Dari ayat-ayat yang dibahas di atas, ada beberapa hikmah dan
pesan yang dapat dipetik, antara lain, sebagai berikut:
(1) Firaun menolak ketuhanannya Allah tetapi mengaku-aku ketuhanan
dirinya, padahal dia mengetahui ada Rabb yang menciptakan diri
dan kaumnya.
Surah Al-Qashash (28): 38-43 131

(2) Tindakan sia-sia adalah ingin membuat bangunan yang tinggi untuk
dapat melihat Tuhannya Musa, karena dianggap seperti sesembahan
lain yang berbentuk fisik/benda.
(3) Firaun dan kaumnya pasti mengetahui ada tuhan, yaitu Allah.
Akan tetapi mereka mengingkari hari kebangkitan manusia setelah
matinya. Akibatnya, mereka menentang Allah dan melampaui batas.
(4) Hukuman bagi mereka adalah ditenggelamkan di Laut Merah dalam
waktu yang bersamaan, bahkan dalam beberapa menit saja. Maka,
laknat Allah atas mereka, yaitu jauh dari kebaikan dan di akhirat
mereka jauh dari rahmat-Nya.
(5) Firaun dan pengikutnya akan mendapatkan balasan berlipatganda:
pertama, karena kesesatan dirinya dan kedua, karena menyesatkan
orang lain.
(6) Pahala abadi bagi orang yang berbuat kesalehan. Musa as dan
kaumnya diselamatkan Allah. Lalu Allah menurunkan Taurat
sebagai pelita kehidupan, petunjuk, dan rahmat bagi orang yang
mengimaninya.

***
132 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Kebutuhan Manusia Kepada para Rasul dan Diutusnya Muhammad


Saw (Al-Qashash [28]: 44-47)

(44) Dan engkau (Muhammad) tidak berada di sebelah barat (lembah suci
Tuwa) ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan engkau tidak
(pula) termasuk orang-orang yang menyaksikan (kejadian itu); (45) tetapi
Kami telah menciptakan beberapa umat, dan telah berlalu atas mereka
masa yang panjang, dan engkau (Muhammad) tidak tinggal bersama-sama
penduduk Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka,
tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul; (46) Dan engkau (Muhammad)
tidak berada di dekat Tur (gunung) ketika Kami menyeru (Musa), tetapi
(Kami utus engkau) sebagai rahmat dari Tuhanmu, agar engkau memberi
peringatan kepada kaum (Quraisy) yang tidak didatangi oleh pemberi
peringatan sebelum engkau agar mereka mendapat pelajaran; (47) Dan
agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan
apa yang mereka kerjakan, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak
mengutus seorang rasul kepada kami, agar kami mengikuti ayat-ayat
Engkau dan termasuk orang mukmin.” (QS Al-Qashash [28]: 44-47)

Latar dan Konteks


Allah Swt telah mengisahkan Nabi Musa, Nabi Harun, dan Firaun
beserta kaumnya dan keterkaitannya dengan berbagai keajaiban
Surah Al-Qashash (28): 44-47 133

peristiwa dan berbagai pelajarannya. Allah Swt mewahyukan semua


berita itu kepada Nabi-Nya Muhammad Saw. Ia mengingatkan
kenikmatan-kenikmatan-Nya, dan lebih khusus lagi tentang hal-hal g
aib, dan menerangkan risalahnya.
Hal itu dimaksudkan agar tidak ada alasan bagi manusia setelah
diutusnya para rasul. Semua itu membuktikan bahwa Al-Quran adalah
wahyu yang datang dari sisi Allah. Dan, sebagai bukti kenabian Muhammad
Saw.
Melalui wahyu di dalam Al-Quran, rasul dapat menerangkan masalah-
masalah gaib yang telah terjadi pada masa lalu. Padahal, Beliau seorang
ummî (tidak bisa membaca dan menulis) tentang isi kitab sebelumnya.

Penjelasan Ayat
Ayat 44,

           

 
Dan engkau (Muhammad) tidak berada di sebelah barat (lembah suci
Tuwa) ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan engkau
tidak (pula) termasuk orang-orang yang menyaksikan (kejadian itu). (QS
Al-Qashash [28]: 44)
Hai Muhammad, engkau tidak pernah berada di samping tempat atau
gunung sebelah barat, tatkala Allah berfirman kepada Nabi Musa, persoalan
risalah kenabian, kemudian diberikannya lembaran-lembaran Taurat dan
dibuat perjanjian dengannya. Engkau tidak berada di tempat tersebut,
dan menyaksikan peristiwa itu, sehingga kamu cukup mengetahuinya dan
mengabarkannya kepada umatmu.
Akan tetapi, Kami-lah yang mengabarkan kepadamu tentang berita
Musa, supaya menjadi bukti kenabianmu tatkala kamu memberitahukan
tentang kisah orang-orang terdahulu, seakan-akan engkau menyaksikan
sendiri. Sementara kamu adalah orang yang buta huruf tidak bisa membaca
dan menulis.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberitahuan itu diperoleh melalui
wahyu dari Allah Swt.
Kabar tersebut dijelaskan Allah dengan alasan,
134 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

….      


Tetapi Kami telah menciptakan beberapa umat, dan telah berlalu atas
mereka masa yang panjang.... (QS Al-Qashash [28]: 45)
Adapun alasan yang mendorong pemberitahuan orang-orang
terdahulu adalah turunnya wahyu Al-Quran yang menceritakan umat-umat
yang hidup setelah Nabi Musa dari generasi ke generasi, sehingga mereka
sudah tidak mengetahui secara utuh ajaran beliau. Akibatnya, ilmu-ilmu
menjadi hilang. Syariat-syariat pun menjadi berubah.
Manusia melupakan bukti-bukti Allah terhadap mereka, dan juga
melalaikan apa yang diwahyukan kepada para nabi terdahulu. Dengan
demikian, Kami utus kamu wahai Muhammad sebagai rasul yang
memperbarui janji Ilahi dan menerangkan kepada manusia akan risalah-
Nya.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam (QS Al-Mâ`idah [4]: 19)
sebagai berikut,
Wahai Ahli Kitab! Sungguh, rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan
(syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar
kamu tidak mengatakan, “Tidak ada yang datang kepada kami baik
seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.”
Sungguh, telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Kandungan ayat tersebut di atas merupakan peringatan tentang
adanya mukjizat. Ayat itu menceritakan kisah yang telah berlangsung
ratusan tahun yang lalu tanpa menyaksikan dan menghadiri peristiwanya.
Ini adalah bukti yang jelas tentang kenabian orang yang menyampaikan
berita, yakni Rasulullah Saw.
Selain itu, ada faktor-faktor pendukung sebagai berikut:
Pertama,

         ...

  


... dan engkau (Muhammad) tidak tinggal bersama-sama penduduk
Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami
telah mengutus rasul-rasul. (QS Al-Qashash [28] : 45)
Surah Al-Qashash (28): 44-47 135

Engkau tidak bertempat tinggal di antara kaum Syu’aib di Madyan,


membacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang diturunkan, tatkala
kamu menceritakan tentang Nabi Syu’aib, dan apa yang diajarkan kepada
kaumnya serta apa jawaban mereka.
Akan tetapi, Kami yang mewahyukan kepadamu peristiwa itu dan
Kami angkat dirimu sebagai rasul. Kami kuatkan kamu dengan ayat-ayat
yang mengandung mukjizat supaya menjadi bukti kuat atas kebenaran
kenabianmu serta kerasulanmu. Seandainya tidak ada berita melalui
wahyu, tentu kamu tidak mengetahuinya, tidak pula bisa memberitakan
apa pun dan kepada siapa pun.
Kedua,

           

        


Dan engkau (Muhammad) tidak berada di dekat Tur (gunung) ketika
Kami menyeru (Musa), tetapi (Kami utus engkau) sebagai rahmat dari
Tuhanmu, agar engkau memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang
tidak didatangi oleh pemberi peringatan sebelum engkau agar mereka
mendapat pelajaran. (QS Al-Qashash [28]: 46)
Engkau, Wahai Muhammad, juga tidak berada di samping gunung
Thur tatkala terjadi pemanggilan Musa, percakapan dengannya, dan
munajatnya, sehingga engkau mengetahui detail-detail berita yang kamu
sampaikan kepada manusia.
Ini mirip dengan firman-Nya, yang artinya,
Dan engkau (Muhammad) tidak berada di sebelah barat (lembah suci Tuwa)
ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa.... (QS Al-Qashash [28]:
44)
Berita ini disampaikan dalam bentuk lain, lebih khusus dari
sebelumnya, yakni panggilan kepada Musa pada malam munajat dan
pembicaraan dengannya. Namun, Kami menyampaikan dan memberitakan
kepadamu, dan menurunkan Al-Quran yang mengandung kisah-kisah
tersebut juga lainnya.
Demikian juga, Kami mengutusmu sebagai rahmat, dan pemberi
hidayah kepada mereka. Supaya kamu memberi peringatan kepada suatu
136 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

kaum, yaitu orang-orang Arab yang belum diberi peringatan sebelumnya.


Allah Swt akan mengazab mereka apabila tidak mengimaninya,
mengikarinya, serta tetap dalam kesesatan penyembahan terhadap
berhala. Barangkali mereka mendapatkan hidayah dari apa yang kamu
bawa kepada mereka dari Allah, mereka dan orang-orang yang bahagia.
Secara historis terbukti bahwa tidak datang kepada orang Arab
seorang rasul setelah Nabi Ismail. Adapun risalah Nabi Musa dan Nabi Isa,
itu khusus untuk Bani Israil.
Allah menjelaskan alasan mengutus Nabi Muhammad Saw,
sebagaimana firman-Nya,

          

       


Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka
disebabkan apa yang mereka kerjakan, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau
tidak mengutus seorang rasul kepada kami, agar kami mengikuti ayat-ayat
Engkau dan termasuk orang mukmin.” (QS Al-Qashash [28]: 47)
Andai saja bukan karena perkataan orang-orang, di antaranya
adalah orang-orang Arab, apabila mereka tertimpa musibah azab karena
kekufuran mereka. “Wahai Tuhan kami, andaikan Engkau utus kepada kami
seorang rasul yang menjelaskan kepada kami kebenaran akidah, sistem
syariat-Mu untuk kehidupan, niscaya kami bisa mengimanimu sebagai
Tuhan yang Esa, mengamalkan syariat-Mu.”
Namun sebenarnya, Kami telah mengutusmu sebagai rasul yang
memberi peringatan, menegakkan kebenaran atas mereka, menyampaikan
kepada mereka risalah Tuhan dalam akidah, akhlak, dan konstitusi
kehidupan, dan mematahkan alasan bahwa tidak ada rasul yang diutus
kepada mereka.
Firman Allah, Surah Al-Nisâ` ayat 165, mengatakan.
Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah
setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Firman Allah pada QS Al-An'âm (6): 156-157,
(156) (Kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan, “Kitab
itu hanya diturunkan kepada dua golongan sebelum kami (Yahudi dan
Surah Al-Qashash (28): 44-47 137

Nasrani) dan sungguh, kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca;
(157) Atau agar kamu (tidak) mengatakan, “Jikalau Kitab itu diturunkan
kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk daripada mereka.”
Sungguh, telah datang kepadamu penjelasan yang nyata, petunjuk dan
rahmat dari Tuhanmu. Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak, Kami akan
memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami
dengan azab yang keras, karena mereka selalu berpaling.
Semuanya ini adalah rahmat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya:
Dia tidak mengazab mereka, kecuali setelah datang penjelasan. Dia tidak
mengazab, kecuali telah datang syariat dan rasul.

Hikmah dan Pesan


Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah diuraikan pada
ayat-ayat di atas, maka di bawah ini akan dikemukakan hikmah dan pesan,
sebagai berikut:
(1) Penegasan bahwa Al-Quran diwahyukan dari sisi Allah dan bukti
kebenaran kenabian Muhammad Saw.
(2) Penjelasan hikmah diutusnya Nabi Muhammad Saw, dan juga semua
rasul, yakni penyampaian syariat dan wahyu-Nya, pembenaran
akidah dan penegasan kalimat tauhid.
(3) Allah tidak menghukum seorang pun hamba-Nya, kecuali setelah
datang penjelasan syariat dan penegasan hujjah serta diutus
seorang rasul.
***
138 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Penduduk Mekah Mendustakan Al-Quran dan Risalah Nabi


Muhammad Saw (QS Al-Qashash [28]: 48-51)

            

            

            

         

            

           

  


(48) Maka ketika telah datang kepada mereka kebenaran (Al-Quran)
dari sisi Kami, mereka berkata, “Mengapa tidak diberikan kepadanya
(Muhammad) seperti apa yang telah diberikan kepada Musa dahulu?”
Bukankah mereka itu telah ingkar juga kepada apa yang diberikan kepada
Musa dahulu? Mereka dahulu berkata, “(Musa dan Harun adalah) dua
pesihir yang bantu-membantu.” Dan mereka juga berkata, “Sesungguhnya
kami sama sekali tidak memercayai masing-masing mereka itu; (49)
Katakanlah (Muhammad), “Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi
Allah yang kitab itu lebih memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat
dan Al-Quran), niscaya aku mengikutinya, jika kamu orang yang benar;
(50) Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah
bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah
yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa
mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim; (51) Dan sungguh, Kami telah
menyampaikan perkataan ini (Al-Quran ) kepada mereka agar mereka
selalu mengingatnya. (QS Al-Qashash [28]: 48-51)
Surah Al-Qashash (28): 48-51 139

Latar dan Konteks


Pada ayat ini Allah mengutarakan tentang keadaan orang-orang
kafir Mekah dan lainnya. Mereka ketika takut terhadap musibah dengan
berkata, ”Seandainya Engkau mengutus rasul kepada kami sehingga kami
akan mengikuti ayat-ayat-Mu.”
Allah Swt menjelaskan bahwa setelah diutusnya rasul, Muhammad
Saw kepada penduduk Mekah, mereka berkata, “Seandainya dia diberi
seperti yang diberikan kepada Musa sebelumnya.” Mereka pun mengkufuri
dan mendustakan Al-Quran, demikian pula risalah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad Saw. Apa yang mereka katakan sebelum dan sesudah
kerasulan berbeda.
Intinya menunjukkan bahwa tidak ada maksud dari mereka, kecuali
kesesatan dan pembangkangan.
Oleh karena itu, mereka menuntut mukjizat-mukjizat material
seperti mukjizat Nabi Musa, tongkat menjadi ular, dan tangan dapat
memancarkan cahaya yang menerangi sekitar. Orang-orang yang sama
sebelumnya zaman Musa, juga menentang dan mengkufuri mukjizat yang
dibawa oleh Nabi Musa. Mereka menuduhnya sebagai tukang sihir.
Jika mereka dapat mendatangkan kitab lain selain kitab Nabi Musa
dan Nabi Muhammad, maka mereka pasti mendatangkannya. Al-Quran
tidak diturunkan bertahap, kecuali untuk memperbarui peringatan dan
pelajaran.

Penjelasan Ayat
Ayat 48,

….             
Maka ketika telah datang kepada mereka kebenaran (Al-Quran ) dari sisi
Kami, mereka berkata, “Mengapa tidak diberikan kepadanya (Muhammad)
seperti apa yang telah diberikan kepada Musa dahulu?”.... (QS Al-Qashash
[28]: 48)
Tatkala datang kebenaran dari sisi Allah Swt, yaitu Al-Quran yang
diturunkan kepada Rasulullah Saw, penduduk Mekah yang belum pernah
didatangi rasul sebelumnya dengan kesombongan, kekufuran, kebodohan,
dan kesesatannya, berkata,
“Mengapa Muhammad tidak diberi mukjizat sebagaimana yang
140 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

diberikan kepada Nabi Musa, yaitu mukjizat-mukjizat material yang banyak


seperti tongkat yang menjadi ular, tangan yang dapat memancarkan
cahaya, naungan awan, Manna dan Salwâ, air memancar dari batu, dan
mukjizat-mukjizat lainnya yang diberikan kepada Nabi Musa sebagai bukti
kerasulan di hadapan Firaun dan kaum Bani Israil?”
Hal ini sekadar perlawanan serta kesombongan dan upaya
menghindari keimanan.
Lanjutan ayat 48,

....        ...


...Bukankah mereka itu telah ingkar juga kepada apa yang diberikan
kepada Musa dahulu?.... (QS Al-Qashash [28]: 48)
Mereka itu juga orang durhaka dan telah mengkufuri apa yang
didatangkan kepada Nabi Musa, yang berupa ajaran dan mukjizat yang
luar biasa. Mereka adalah orang-orang yang membangkang terhadap apa
yang dibawakan oleh Nabi Musa pada saat itu. Keadaan ini melambangkan
kesombongan dan pembangkangan.
Akhir ayat 48 menerangkan,

       ...


...Mereka dahulu berkata, “(Musa dan Harun adalah) dua pesihir yang
bantu-membantu.” Dan mereka juga berkata, “Sesungguhnya kami sama
sekali tidak memercayai masing-masing mereka itu. (QS Al-Qashash [28]:
48)
Orang-orang musyrik di Mekah berkata, “Al-Quran dan Taurat itu
adalah sihir. Muhammad dan Musa itu adalah dua penyihir. Keduanya bekerja
sama untuk menyesatkan.” Satu sama lainnya membenarkan keterangan
yang dibawanya. Kami tidak memercayai dan tidak membenarkan ajaran
keduanya.
Allah Swt pun menantang mereka agar mendatangkan kitab lain
yang lebih bisa memberi hidayah kepada manusia.
Ayat 49 menegaskan,

           

 
Surah Al-Qashash (28): 48-51 141

Katakanlah (Muhammad), “Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi


Allah yang kitab itu lebih memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat
dan Al-Quran), niscaya aku mengikutinya, jika kamu orang yang benar.
(QS Al-Qashash [28]: 49)
Katakanlah wahai Muhammad kepada kaummu, datangkanlah kitab
lain dari sisi Allah Swt yang lebih pantas memberi hidayah kepada manusia,
selain Taurat dan Al-Quran. Kitab tersebut lebih banyak manfaatnya dan
petunjuk supaya aku bisa mengikutinya bersama dengan orang lain.
Apabila kalian orang-orang yang benar dengan apa yang kalian katakan
atau kalian sangka. Dengan demikian, kalian bisa membela kebenaran dan
menentang kebatilan.
Pernyataan selanjutnya adalah menjadi bukti ketidakmampuan
mereka untuk mendatangkan yang serupa dengan Al-Quran.
Awal ayat 50 menerangkan,

….         


Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa
mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka.... (QS Al-Qashash [28]: 50)
Apabila mereka tidak memenuhi apa yang kamu katakan dan
tidak mengikuti risalahmu, tidak pula melakukan apa yang kamu
wajibkan/bebankan kepada mereka, yaitu mengimani Al-Quran dan
risalah kenabianmu, maka ketahuilah bahwa kepercayaan mereka batil
dengan mengikuti hawa nafsu tanpa dasar dan bukti-bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan. Mereka adalah penganut hawa nafsu.
Lanjutan ayat 50 menerangkan,

....          ...
...Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti
keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun?.... (QS Al-
Qashash [28]: 50)
Tidak ada yang lebih sesat dari pada petunjuk Allah dibanding
dengan orang yang mengikuti hawa nafsunya. Mereka mengikuti hawa
nafsu tanpa bukti yang diambil dari kitabullah, tanpa alasan yang benar
dari Allah.
Ini adalah dalil kebatilan atau kebobrokan taklid buta dalam
142 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

kepercayaan. Mereka harus beralasan melalui penggunaan dalil yang


bukti-bukti yang valid.
Akhir ayat 50 menegaskan,

      ...


...Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
(QS Al-Qashash [28]: 50)
Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan hidayah kebenaran
kepada orang-orang yang menzalimi diri mereka sendiri dengan
kemusyrikan dan kemaksiatan, serta mendustakan para rasul, dan kepada
risalah yang dibawanya. Ini bersifat umum meliputi semua orang kafir.
Adapun hikmah diturunkannya Al-Quran secara bertahap adalah
sebagaimana diterangkan oleh ayat 51 sebagai berikut,

       


Dan sungguh, Kami telah menyampaikan perkataan ini (Al-Quran ) kepada
mereka agar mereka selalu mengingatnya. (QS Al-Qashash [28]: 51)
Sungguh telah Kami turunkan Al-Quran secara bertahap. Diturunkan
kepada orang-orang Quraisy sesuai hikmah Ilahiyah dan kemaslahatan
yang seiring dengan zaman dan tempat. Barangkali umat seperti mereka
dapat mengambil pelajaran dan perhatian dari kebaikan dan kemaslahatan
berkembang di dalamnya.
Kemudian mereka mengimani Al-Quran, Zat yang menurunkannya,
dan orang yang kepada mereka Al-Quran diturunkan. Sebab Al-Quran
membenarkan kitab yang turun sebelumnya dan menyeleksinya.

Hikmah dan Pesan


Berdasarkan keterangan ayat-ayat di atas, maka dapat diambil
hikmah dan pesan sebagai berikut:
(1) Gaya hidup orang-orang kafir adalah sama di setiap zaman. Perilaku
mereka adalah sombong, menentang, ingkar, dan menuntut mukjizat
material yang dapat dilihat.
(2) Alasan orang-orang kafir dalam mendustakan kitab-kitab Allah
Swt dan rasul-Nya adalah satu, yaitu dugaan bahwa kitab-kitab itu
adalah sihir yang dibuat-buat.
Surah Al-Qashash (28): 48-51 143

(3) Kelompok Yahudi memberitahukan orang-orang musyrik supaya


bertanya kepada Nabi Muhammad, “Seandainya diberikan kepada
Muhammad seperti apa yang diberikan kepada Musa. Musa diberi
Taurat sekaligus. Orang-orang Yahudi yang mewarisi kekufuran
adalah orang-orang yang mengkufuri risalah yang dibawa oleh Nabi
Musa dan Nabi Harun, “Keduanya dianggap penyihir.” Lalu orang-
orang kafir Quraisy mengikutinya.
(4) Perlawanan dibalas dengan tantangan yang lebih dahsyat lagi. Jika
orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik ditantang dengan
mendatangkan kitab yang lebih memberi hidayah yang bisa diikuti
oleh masyarakat, jika kalian adalah orang-orang yang benar.
(5) Mereka mengikuti apa yang didiktekan oleh syahwat, menurutkan
hawa nafsu, pendapat-pendapat pribadi, dan juga setan-setan
mereka, tanpa hujjah dan dalil bagi mereka.
(6) Al-Quran diturunkan secara bertahap dan berturut-turut dari sisi
Allah, sesuai dengan hikmah dan kemaslahatan.

***
144 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Keimanan Sekelompok Ahlul Kitab Kepada Al-Quran (QS Al-


Qashash [28]: 52-55)

           

            

        

         

         


(52) Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Al-Kitab
sebelum Al-Quran, mereka beriman (pula) kepadanya (Al-Quran); (53)
Dan apabila (Al-Quran) dibacakan kepada mereka, mereka berkata, “Kami
beriman kepadanya, sesungguhnya (Al-Quran) itu adalah suatu kebenaran
dari Tuhan kami. Sungguh, sebelumnya kami adalah orang Muslim; (54)
Mereka itu diberi pahala dua kali (karena beriman kepada Taurat dan Al-
Quran) disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan
dengan kebaikan, dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah Kami
berikan kepada mereka; (55) Dan apabila mereka mendengar perkataan
yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal
kami dan bagimu amal-amal kamu, semoga selamatlah kamu, kami tidak
ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh. (QS Al-Qashash [28]: 52-55)

Latar dan Konteks


Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, diterima dari Ali Ibnu Rifa’ah. “Sepuluh
orang Ahlul Kitab di antaranya Rifa’ah, ayah Ali, keluar menemui Nabi
Muhammad, lalu mereka beriman kemudian disiksa.”
Lalu turunlah ayat,

        


Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Al-Kitab sebelum
Al-Quran, mereka beriman (pula) kepadanya (Al-Quran). (QS Al-Qashash
[28]: 52)
Surah Al-Qashash (28): 52-55 145

Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Qatadah. Ayat ini turun mengenai


sekelompok Ahlul Kitab. Mereka ada dalam kebenaran sampai Allah Swt
mengutus Nabi Muhammad Saw, lalu mereka mengimaninya. Di antara
mereka adalah Salman Al-Farisi dan Abdullah Ibnu Salam.
Sa’id Ibnu Zubair berkata, “Äyat ini turun mengenai tujuh puluh
pendeta yang diutus oleh Al-Najasyi. Sewaktu mereka mendatangi Nabi
Saw, beliau membacakan ayat kepada mereka (yâ sîn, wa l-qur`âni
l-hakîm) sampai selesai.
Mereka menangis. Dan masuk Islam.
Dengan demikian, makna ayat ini berlaku umum walaupun turunnya
berkaitan dengan sebab tertentu.
Setelah membuktikan dalil bahwa Al-Quran adalah wahyu dari Allah
Swt dan juga kebenaran kenabian Muhammad Saw, Allah Swt menegaskan,
sekelompok Ahlul Kitab yang beriman kepada Allah Swt, sebelum turunnya
Al-Quran, juga masuk Islam, beriman kepada Nabi Muhammad Saw, ketika
mereka meyakini kebenaran risalah yang diturunkan kepadanya.

Penjelasan Ayat
Ayat 52,
        
Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Al-Kitab sebelum
Al-Quran, mereka beriman (pula) kepadanya (Al-Quran). (QS Al-Qashash
[28]: 52)
Sesungguhnya para pendeta, tokoh Ahlul Kitab, dan orang-orang
pilihan dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang hidup sezaman dengan Nabi
beriman kepada Al-Quran. Ada kesesuaian pokok-pokok ajaran antara
antara kitab-kitab mereka yang terdahulu dengan ajaran Al-Quran.
Berita gembira yang terdapat pada kitab-kitab mereka juga cocok
dengan ciri-ciri Nabi Muhammad Saw. Mereka (Ahlul Kitab itu) beriman
kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad serta membenarkan keduanya.
Ayat ini memiliki kesepadanan dengan ayat-ayat lain, seperti
diungkapkan berikut ini.
Al-Baqarah (2): 121,
Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana
mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barang siapa ingkar
kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi.
146 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Âli ’Imrân (3): 199,


Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah,
dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan yang diturunkan
kepada mereka, karena mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka
tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah. Mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sungguh, Allah sangat cepat
perhitungan-Nya.
Al-Isrâ`(17) : 107-108
(107) Katakanlah (Muhammad), “Berimanlah kamu kepadanya (Al-Quran)
atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang
yang telah diberi pengetahuan sebelumnya, apabila (Al-Quran ) dibacakan
kepada mereka, mereka menyungkurkan wajah, bersujud; (108) Dan
mereka berkata, “Mahasuci Tuhan kami; sungguh, janji Tuhan kami pasti
dipenuhi.”
Selanjutnya 53 yang berbunyi,

             

 
Dan apabila (Al-Quran ) dibacakan kepada mereka, mereka berkata, “Kami
beriman kepadanya, sesungguhnya (Al-Quran) itu adalah suatu kebenaran
dari Tuhan kami. Sungguh, sebelumnya kami adalah orang Muslim. (QS
Al-Qashash [28]: 53)
Manakala Al-Quran diperdengarkan/dibacakan, mereka akan
berkata, “Kami membenarkannya, kami beriman bahwa itu adalah firman
Allah yang benar, terpercaya dari Tuhan kami. Kami membenarkan Allah,
taat kepada-Nya, dan mengesakannya, ikhlas beribadah, dan menyambut
seruan-Nya. Bahkan, sudah kami lakukan sebelum turunnya Al-Quran dan
sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw.”
Ini adalah bukti keimanan mereka sebelumnya, karena mereka
menemukan apa-apa yang terdapat pada kitab-kitab nabi terdahulu, yaitu
kabar gembira tentang kedatangan Nabi Muhammad Saw.
Allah Swt memberi pujian yang besar kepada mereka, seperti yang
diterangkan ayat 54, sebagai berikut,
Surah Al-Qashash (28): 52-55 147

....      


Mereka itu diberi pahala dua kali (karena beriman kepada Taurat dan Al-
Quran) disebabkan kesabaran mereka.... (QS Al-Qashash [28]: 54)
Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan dua pahala. Pertama,
mengimani kitab sebelumnya; kedua, mereka beriman kepada kitab Al-
Quran. Mereka mendapatkan pahala dua kali lipat. Semua ini sebagai
pahala atas kesabaran serta keteguhan iman mereka. Sesungguhnya
menanggung hal semacam ini adalah berat. Mereka tidak peduli dengan
ancaman kaum yang mereka hadapi.
Ayat yang senada dengan bunyi di atas, adalah QS Al-Hadîd (57):
28,
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan
berimanlah kepada rasul-Nya (Muhammad), niscaya Allah memberikan
rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan cahaya untukmu yang
dengan cahaya itu kamu dapat berjalan serta Dia mengampuni kamu. Dan
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Selaras dengan bunyi ayat di atas, Rasulullah menyampaikan pesan
pada hadis sahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari.
Rasul bersabda, “Ada tugas orang yang diberi pahala dua kali. Laki-laki dari
Ahlul Kitab yang beriman kepada nabi-Nya, kemudian beriman kepada-Ku.
Hamba sahaya yang melaksanakan hak Allah dan hak tuannya. Laki-laki
yang mempunyai budak perempuan lalu dia mendidiknya dengan baik,
kemudian memerdekakannya, lalu menikahinya.”
Demikian pula pada hadis Imam Ahmad menerangkan dari Abu
Umamah. Ia berada di bawah kendaraan Rasulullah Saw pada hari Al-Fath
(Fathu Makkah). Beliau menyampaikan pesan, “Barang siapa dari Ahlul
Kitab yang masuk Islam, dia mendapatkan dua pahala. Ia memperoleh apa
yang kita dapatkan. Ia menanggung apa yang kita tanggung” (HR Imam
Ahmad).
Allah Swt memuji mereka dengan iman. Allah Swt melangsungkan
pujian karena ketaatan fisik mereka. Sebagaimana disebutkan pada
lanjutan ayat 54,

....   ...


148 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

...dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan.... (QS Al-Qashash


[28]: 54)
Mereka membalas kejahatan dengan kebaikan. Mereka tidak
membalas kejelekan dengan kejelekan yang serupa. Tapi memaafkan dan
mengampuni. Demikian pula Allah Swt memuji mereka karena ketaatan
mereka dalam berinfak.
Akhir ayat 54 menegaskan,

   ...


...dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada
mereka. (QS Al-Qashash [28]: 54)
Karena kesibukan mereka melakukan ketaatan, perbuatan-perbuatan
akhlak yang baik. Dan mereka menafkahkan dari rezeki Allah Swt yang
halal, untuk nafkah-nafkah yang wajib kepada keluarga dan kerabat, dan
menunaikan zakat fardu, serta sedekah yang bersifat anjuran atau sunah.
Selanjutnya, Allah mengungkapkan ayat-Nya,

          

    


Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling
darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal
kamu, semoga selamatlah kamu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-
orang bodoh. (QS Al-Qashash [28]: 55)
Tatkala mereka mendengar dari orang-orang musyrik atau
yang lainnya, kata-kata yang sia-sia, seperti: hinaan, celaan, cercaan,
umpatan, dan dusta, mereka memalingkan diri dari orang-orang yang
mengucapkannya. Mereka tidak mau bergaul dengan orang-orang
tersebut. Bahkan mereka berlalu dengan menjaga kehormatan tanpa
bergaul dengan mereka.
Sebagaimana firman-Nya,
Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila
mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-
perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga
kehormatan dirinya. (QS Al-Furqân [25]: 72)
Surah Al-Qashash (28): 52-55 149

Tatkala dikata-katai bodoh oleh orang yang bodoh, dan dikata-


katai dengan ucapan yang tidak layak, mereka berkata, “Bagi kami amal
perbuatan kami. Kami bertanggung jawab atas perbuatan kami, baik
berpahala maupun siksa. Bagi kalian amal perbuatan kalian, kalian akan
menanggung risikonya. Kami tidak akan mengucapkan salam perpisahan
kepada kalian, maupun mengucapkannya ketika berjumpa kalian. Kami
tidak mau mengikuti langkah orang-orang bodoh. Kami tidak mencintai
dan tidak mau bergaul dengan mereka. Kami memilih perkataan yang lebih
baik. Kami tidak membalas ucapan buruk mereka dengan ucapan buruk
yang sama.”
Seperti yang Allah Swt utarakan di dalam ayat ini,
Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-
orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang
bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka
mengucapkan, “salâm.” (QS Al-Furqân [25]: 63)
Kata salâmun 'alaikum, menurut Al-Hasan, adalah kalimat
penghormatan antara orang Mukmin dan ucapan menghindar dari ejekan
dari orang-orang bodoh.
Muhammad Ibnu Ishaq, dalam kitab Sirah Nabawiyah, menerangkan
bahwa Nabi Muhammad Saw ketika masih berdomisili di Mekah, didatangi
dua puluh orang atau lebih dari kalangan Nasrani dari Habasyah. Mereka
mendapatkan beliau sedang berada di masjid.
Mereka duduk, berbincang-bincang dengannya dan bertanya.
Sementara itu, orang-orang Quraisy berada dalam pertemuan di sekitar
Kabah.
Setelah orang-orang Nasrani selesai berdialog dengan Rasulullah
Saw, membicarakan apa yang mereka inginkan, beliau mengajak mereka
masuk agama Allah Swt dan membacakan Al-Quran kepada mereka.
Ketika mereka mendengar bacaan Al-Quran, air mata mereka
menetes kemudian mereka membenarkan Allah Swt, serta mengimaninya,
dan mereka membenarkannya dan mengetahui sifat nabi dalam kitab
mereka.
Ketika mereka berdiri, mereka dihalangi oleh Abu Jahal Ibnu Hisyam
dan sekelompok orang-orang Quraisy. “Sia-sia perjalanan kalian. Kalian
diutus mewakili raja dan tokoh-tokoh agama, namun kenyataannya kalian
malah murtad dari agama kalian. Pertemuan kalian dengan Muhammad
tidak menjadi tenang kalau kalian meninggalkan agama kalian, dan
150 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

membenarkan apa yang Muhammad ucapkan. Kami tidak mengetahui


ada utusan yang lebih bodoh dari kalian.”
Para utusan itu berkata kepada mereka, “Keselamatan bagi kalian,
kami tidak akan membodohkan kalian. Bagi kami apa yang kami lakukan,
dan bagi kalian apa yang kalian lakukan.”
Ada yang menyatakan rombongan itu adalah orang-orang Nasrani
dari Najran.

Hikmah dan Pesan


Berdasarkan keterangan ayat-ayat di atas, maka dapat diambil
hikmah dan pesan sebagai berikut:
(1) Apabila keimanan kepada Allah Swt itu benar dan sejalan dengan
wahyu yang pasti dan benar, pengokoh keimanan menjadi mudah.
Gabungan antara dua aspek keimanan menjadi gampang apabila
manusia terlepas dari emosi dan hawa nafsu, dari kepentingan
pribadi, dan manfaat materiel.
(2) Orang-orang Ahlul Kitab yang beriman kepada Al-Quran akan
mendapatkan pahala dua kali lipat. Pertama, karena keimanan
mereka kepada kitab terdahulu; kedua, karena keimanan mereka
kepada Al-Quran.
(3) Orang Mukmin yang sempurna keimanannya, sibuk mencari rida
Allah. Dia melakukan ketaatan badani, serta menghiasi diri dengan
akhlak yang mulia.
***
Surah Al-Qashash (28): 56-61 151

Jawaban terhadap Dalih Orang-Orang Musyrik (QS Al-Qashash


[28]: 56-61)

            

          

            

         

           

           

          

           

            

          

 
(56) Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk
kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk; (57) Dan mereka berkata, “Jika kami mengikuti
petunjuk bersama engkau, niscaya kami akan diusir dari negeri kami.”
(Allah ber rman), “Bukankah Kami telah meneguhkan kedudukan mereka
dalam tanah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat
itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) sebagai rezeki
(bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui;
(58) Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang sudah bersenang-
senang dalam kehidupannya yang telah Kami binasakan, maka itulah
tempat kediaman mereka yang tidak didiami (lagi) setelah mereka, kecuali
152 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

sebagian kecil. Dan Kamilah yang mewarisinya; (59) Dan Tuhanmu tidak
akan membinasakan negeri-negeri, sebelum Dia mengutus seorang
rasul di ibukotanya yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka;
dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan (penduduk) negeri; kecuali
penduduknya melakukan kezaliman; (60) Dan apa saja (kekayaan, jabatan,
keturunan) yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kesenangan
hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih
baik dan lebih kekal. Tidakkah kamu mengerti?; (61) Maka apakah sama
orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu dia
memperolehnya, dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan
hidup duniawi kemudian pada hari Kiamat dia termasuk orang-orang yang
diseret (ke dalam neraka)? (QS Al-Qashash [28]: 56-61)

Latar dan Konteks


Sebab-sebab turunnya ayat 56 diriwayatkan oleh Muslim, Abdu
Ibnu Humaid, Al-Tirmidzi, Al-Baihaqi dalam Al-Dalâ`il, dari Abu Hurairah.
Rasulullah Saw bersabda kepada Abu Thalib (pamannya), “Katakan Lâ
ilâha illâ l-llâh’, aku akan bersaksi untukmu pada hari kiamat.”
Pamannya berkata, “Kalau saja bukan karena kekhawatiran
perempuan-perempuan Quraisy akan menghinaku sembari berkata,
‘Muhammad yang memengaruhi dirinya, niscaya aku mengucapkan kata
itu’.”
Allah Swt pun menurunkan ayat, innaka lâ tahdî man ahbabta.
Diriwayatkan dari Al-Nasa'i dan Ibnu Asakir dalam Tarikhu l-Ddimasqa
dari Abu Sa’id Ibnu Rafi’. Aku telah bertanya kepada Ibnu Umar tentang
ayat ini, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada
orang yang kami cintai. Apakah ayat ini diturunkan berkaitan dengan Abu
Jahal dan Abu Thalib?”
Beliau menjawab, “Ya.”
Sebab turun ayat lima puluh tujuh berasal dari riwayat Ibnu Jarir
dari Ibnu Abbas. Orang-orang Quraisy berkata kepada nabi, “Apabila kami
mengikutimu, pasti kami akan diusir oleh masyarakat.”
Maka turunlah ayat, wa qâlû in nattabi’ l-hudâ ma’aka.
Diriwayatkan Al-Nasa'i dari Ibnu Abbas bahwa Harits Ibnu Usman
Ibnu Amir Ibnu Naufal Ibnu Abdu Manaf berkata, sebagaimana yang
tersebut dalam Al-Baidhâwî, “Kami mengetahui bahwa kamu membawa
kebenaran, akan tetapi kami takut andaikata mengikutimu serta berlainan
dengan orang-orang Arab. Sementara itu, kami hanyalah sekelompok kecil.
Surah Al-Qashash (28): 56-61 153

Mereka akan mengusir kami dari kampung halaman kami.”


Turunlah firman Allah Swt dalam ayat tersebut, wa qâlû in nattabi’i
l-hudâ ma’aka. Sebab turun ayat enam puluh satu diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir dari Mujahid berkaitan dengan firman Allah Swt tersebut. Ayat ini
turun berkaitan dengan Nabi Saw dan Abu Jahal Ibnu Hisyam.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari cara lain dari Mujahid. Ayat tersebut
turun berkaitan dengan Hamzah dan Abu Jahal. Kemudian turun ayat,
afaman wa’adnâhu wa’dan hasanan
Pada ayat sebelum nya, Allah Swt menjelaskan keimanan segolongan
Ahlul Kitab. Dia menyebutkan alasan orang-orang musyrikin dalam hal
menolak untuk beriman. Allah Swt membantah alasan itu dengan suatu
jawaban yang dimulai dengan ketentuan hidayah untuk menjadi seorang
Muslim itu, yaitu hidayah taufik adalah milik Allah Swt, bukan milik rasul-
Nya.
Sedang di dalam ayat lain, Allah Swt menetapkan adanya hidayah
kepada Nabi Saw, yaitu ayat 52.
...Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan
yang lurus. (QS Al-Syûrâ [42]:52)
Ayat tersebut di atas adalah tentang hidayah, yang berarti bimbingan,
penjelasan dan keterangan yang berkaitan ke petunjuk jalan yang lurus.

Penjelasan Ayat
Allah swt berfirman

            

 
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada
orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang
yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk. (QS Al-Qashash [28]: 56)
Ayat di atas mengandung arti, engkau wahai Muhammad tidak ada
kewenangan untuk memberi hidayah kepada siapa pun orang yang kamu
cintai, yaitu hidayah taufik. Kemenangan itu bukan untukmu. Kewajibanmu
hanya menyampaikan risalah.
Allah Swt-lah yang memiliki kewenangan memberikan hidayah
154 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

kepada siapa saja, yang Dia kehendaki, yaitu memberikan hidayah taufik
dan membuka hati orang tersebut. Allah akan memberikan cahaya ke
dalam hatinya, kemudian hati orang itu hidup dengan cahaya itu.
Hal ini sebagaimana yang difirman Allah Swt berikut,
Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia
cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak,
sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak
dapat keluar dari sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-
orang kaf r terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS Al-An'âm [6:] 122)
Allah akan memberikan cahaya ke dalam hati yang sudah mati, yakni
hati orang kafir, kemudian menjadi hidup dan dapat menerima petunjuk
agama yang benar.
Ini mengandung hikmah yang agung, Tuhanmulah yang mengetahui
orang-orang yang sudah siap memperoleh hidayah, kemudian memberinya
hidayah. Dia pun tahu siapa orang yang akan sesat, lalu Dia tidak memberi
petunjuk.
Maksud turunnya ayat ini sebagai penghibur hati bagi Rasulullah
Saw tentang ketidakmungkinannya memberi hidayah kepada kaumnya.
Zahir ayat secara tegas tidak menerangkan kufurnya Abu Thalib.
Tapi terbukti dalam kitab shahihain bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
Abu Thalib, paman Rasulullah Saw sebagaimana telah diterangkan.
Menurut Al-Zujjaj, kaum Muslimin sepakat bahwa ayat tersebut turun
berkaitan dengan Abu Thalib. Alasannya jelas bahwa Abu Thalib ketika
hendak meninggal berkata, “Wahai golongan Bani Abdu Manaf, patuhilah
Muhammad dan benarkanlah dia, kalian akan memperoleh kebenaran dan
keberuntungan.”
Lalu Nabi Muhammad Saw bersabda, “Wahai paman, engkau
memberi nasihat kepada mereka tapi tidak untuk dirimu.”
Abu Thalib menjawab, “Apa yang kamu inginkan wahai anak
saudaraku?”
Nabi Saw pun menjawab, “Aku ingin darimu satu kata, di akhir
usiamu di dunia mengucapkan lâ ilâha illâ l-llâh. Dengan demikian aku
akan bersaksi untukmu di sisi Allah.”
Abu Thalib berkata, “Wahai anak saudaraku. Aku telah mengetahui
bahwa kamu benar, tetapi aku tidak suka dikatakan tidak sabar ketika mati.
Kalau saja tidak ada antara kamu dan anak-anak ayahmu percekcokkan
setelah kepergianku karena mereka sedikit, tentu aku akan membuat
hatimu tenteram saat kematianku tiba karena aku mengetahui besarnya
Surah Al-Qashash (28): 56-61 155

perasaan dan nasihatmu. Tetapi, aku akan meninggal sesuai dengan


agama orang-orang terdahulu: Abdul Muthallib, Hasyim dan Abdu Manaf.”
Al-Qurtubi menegaskan bahwa sebagian mufassir sepakat bahwa
ayat ini turun berkenaan dengan Abu Thalib, paman Nabi Saw. Sejalan
dengan keterangan di atas Surah Al-Baqarah (2) ayat 272 menerangkan,
Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat
petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki.... (QS Al-Baqarah [2] : 272)
Selaras dengan makna ayat di atas, juga di dalam QS Yûsuf (12):
103, yang artinya,
Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat
menginginkannya
Dengan demikian, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Razi tentang
‘hidayah,’ tidak boleh dipaksakan atau ditekan. Sebab hal ini merupakan
perbuatan jelek terhadap mukallaf. Melakukan yang jelek adalah kebodohan
bagi si pelaku. Hal itu mustahil dilakukan. Itu adalah mustahil bagi Allah
Swt. Suatu yang mustahil tidak boleh dikaitkan dengan kehendak.
Selanjutnya, Allah Swt memberitahukan alasan golongan musyrikin,
yang tidak beriman kepada Nabi Saw. Alasan mereka itu lemah.
Mereka berpendapat, mereka khawatir apabila mengikuti hidayah
yang kau sampaikan, sedangkan kami hidup di tengah-tengah kaum
musyrik yang pasti akan memusuhi dan menyiksa kami. Mereka akan
senantiasa memburu dan menangkap kami, lalu mengusir dari kampung
halaman kami.
Awal ayat 57 menerangkan, Dan mereka berkata, “Jika Kami
mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya Kami akan diusir dari negeri
kami.” Kemudian Allah Swt menjawab alasan/dalil mereka dengan tiga
jawaban, sebagai berikut:
Pertama, keamanan Tanah Al-Harâm, Tanah Suci.

           

           

  
156 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(57) Dan mereka berkata, “Jika kami mengikuti petunjuk bersama engkau,
niscaya kami akan diusir dari negeri kami.” (Allah ber rman), “Bukankah
Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam tanah haram (tanah
suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala
macam (tumbuh-tumbuhan) sebagai rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS Al-Qashash [28]: 57)
Alasan ini adalah kedustaan dan batil. Allah Swt telah menjadikan
mereka ada di negeri yang aman. Bukankah mereka berada di Tanah Al-
Harâm yang aman, yang diagungkan sejak keberadaannya? Bagaimana
Tanah Al-Harâm ini akan tetap aman bagi mereka setelah mereka kufur
serta syirik? Sementara menjadi tidak aman bagi mereka ketika mereka
Islam dan mengikuti kebenaran?
Kekhususan Tanah Al-Harâm Mekah, antara lain, didatangkan
kepadanya berbagai macam buah-buahan dari semua negeri. Bukti
kekhususan itu adalah dibawakan kepadanya berbagai macam dagangan
dan barang-barang, sebagai anugerah merupakan rezeki dari Allah Swt.
Namun, sebagian besar mereka bodoh, tidak memahami kebaikan dan
kebahagiaan yang terdapat di dalamnya. Mereka tidak pula memikirkan
yang berhak untuk disembah bahkan menyembah kepada selain Allah.
Kedua, peringatan dari Allah Swt akan penghancuran umat-umat
terdahulu.

          

        


Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang sudah bersenang-senang
dalam kehidupannya yang telah Kami binasakan, maka itulah tempat
kediaman mereka yang tidak didiami (lagi) setelah mereka, kecuali
sebagian kecil. Dan Kamilah yang mewarisinya. (QS Al-Qashash [28]: 58)
Setelah mereka dihancurkan, tempat itu sudah kosong dan tidak
dimakmurkan lagi, hingga kembalilah ia kepada pemiliknya yang hakiki,
yaitu Allah. Agar penduduk Mekah yang beralasan tidak mau beriman
karena takut kehilangan kenikmatan, sebaliknya justru tidak adanya
keimanan/kekufuran itulah yang menyebabkan hilangnya kenikmatan.
Banyak sekali Allah Swt membinasakan penduduk kota yang enggan
beriman dan kufur, melampaui batas dan sombong, serta ingkar dan
Surah Al-Qashash (28): 56-61 157

mengkufuri kenikmatan yang diberikan Allah Swt dan rezeki-Nya yang


dikaruniakan. Tempat tinggal mereka menjadi kosong dan hancur, tidak
ada seorang pun yang tinggal di dalamnya, kecuali untuk waktu yang
sebentar.
Tempat yang dibiarkan tanpa pemilik, disebut warisan Allah Swt.
Dia-lah pemilik sejati dari alam semesta, yang kekal setelah kebinasaan
makhluk-Nya. Sejalan dengan makna ayat tersebut adalah:
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri
yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah
ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-
nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana
kelaparan dan ketakutan) disebabkan apa yang mereka perbuat. (QS Al-
Nahl [16]: 112)
Allah Swt memberitahukan keadilan-Nya dalam menurunkan
hukuman. Allah Swt berfirman,

           

         


Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri, sebelum Dia
mengutus seorang rasul di ibukotanya yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan (penduduk)
negeri; kecuali penduduknya melakukan kezaliman. (QS Al-Qashash [28]:
59)
Kebiasaan Tuhanmu dan sunah-Nya, apabila membinasakan kota-kota
dan desa-desa bersama penduduknya terlebih dahulu mengutus seorang
rasul yang menjelaskan kepada mereka ayat-ayat yang menunjukkan
wujud-Nya, keesaan-Nya, dan kewajiban beribadah kepadanya, sehingga
tidak ada alasan bagi mereka bahwa mereka bodoh (tidak tahu) kebenaran
yang diajukan rasul itu.
Allah tidak menghancurkan penduduk negeri atau seseorang dari
makhluk-Nya, kecuali mereka itu menzalimi diri sendiri, dengan cara
mendustakan para rasul dan mukjizatnya.
Penjelasan di atas adalah bukti tentang keadilan Allah terhadap
makhluk-Nya. Tidak ada hukuman, kecuali setelah datang penjelasan
dan tidak ada pembinasaan bersama dengan keimanan. Hukuman dan
158 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

kebinasaan terjadi ketika kezaliman, kemaksiatan, kemungkaran, dan


dosa-dosa apalagi menyekutukan Allah Swt mereka lakukan.
Ayat yang senada dengan ayat tersebut, anatara lain,
...dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi
Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS Al-
Isrâ` [17]: 15)
Ayat di atas merupakan petunjuk bahwa nabi yang buta huruf,
itu adalah Nabi Muhammad Saw, yang diutus dari Ummulqura (Mekah)
adalah seorang rasul untuk semua kota/wilayah, baik Arab maupun asing.
Sebagaimana firman-Nya,
Dan demikianlah Kami wahyukan Al-Quran kepadamu dalam bahasa Arab,
agar engkau memberi peringatan kepada penduduk ibu kota (Mekah)
dan penduduk (negeri-negeri) di sekelilingnya serta memberi peringatan
tentang hari berkumpul (Kiamat) yang tidak diragukan adanya. Segolongan
masuk surga dan segolongan masuk neraka. (QS Al-Syûrâ [42]: 7)
Ayat-ayat lain yang senada,
Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan
Allah bagi kamu semua,.... (QS Al-A’râf [7] : 158)
Dan Ayat:
Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang lebih kuat kesaksiannya?”
Katakanlah, “Allah, Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Al-Quran ini
diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu
dan kepada orang yang sampai (Al-Quran kepadanya). Dapatkah kamu
benar-benar bersaksi bahwa ada tuhan-tuhan lain bersama Allah?”
Katakanlah, “Aku tidak dapat bersaksi.” Katakanlah, “Sesungguhnya hanya
Dialah Tuhan Yang Maha Esa dan aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan (dengan Allah). (QS Al-An'âm [6]: 19)
Ketiga, beragama atau beriman tidak menafikan kenikmatan dunia.
Sebagaimana ayat 60 yang berbunyi,

            

    


Surah Al-Qashash (28): 56-61 159

Dan apa saja (kekayaan, jabatan, keturunan) yang diberikan kepada kamu,
maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang
apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Tidakkah kamu
mengerti?. (QS Al-Qashash [28]: 60)
Kehidupan dunia dan semua yang terdapat di dalamnya, termasuk
hiasan dan harta benda adalah fana, lagi hina dibandingkan dengan
kenikmatan akhirat yang dijanjikan Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya
yang berbuat kebaikan. Semua yang dikaruniakan Allah berupa kenikmatan
hasil bumi, kendaraan, tempat tinggal, pakaian, anak-anak, dan pernak-
pernik hiasan dunia sama sekali tidak ada artinya bagi Allah Swt.
Apabila dibandingkan dengan kenikmatan akhirat. Kenikmatan
akhirat adalah kekal abadi, lebih baik daripada kenikmatan dunia.
Sebagaimana firman Allah Swt,
Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah
kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS
Al-Nahl [16]: 96)
Demikian juga diungkapkan Allah Swt dalam ayat berikut,
Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, mereka akan
mendapat surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya sebagai karunia dari Allah. Dan apa yang di sisi Allah
lebih baik bagi orang-orang yang berbakti. (QS Âli ’Imrân[3]: 198)
Dan ayat berikut juga mengungkapkan,
(16) Sedangkan kamu (orang-orang ka r) memilih kehidupan dunia; (17)
padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. (QS Al-A’lâ [87]:
16-17)
Rasulullah Saw bersabda, “Demi Allah, kehidupan dunia dibandingkan
dengan akhirat seperti salah seorang dari kalian memasukkan jarinya ke
lautan, hendaklah dia melihat tetes air yang kembali kepadanya.”
Tidaklah manusia berpikir dan merenung tentang mengapa lebih
mendahulukan dunia daripada akhirat? Apakah orang itu berpikir dan
merenung mengapa memprioritaskan yang fana daripada yang kekal?
Ingatlah, hendaklah manusia berpikir untuk memilih apa yang
lebih baik dan abadi baginya dan meninggalkan yang buruk dan bisa
menimpanya. Kemudian Allah Swt menegaskan makna ayat tersebut.
160 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Allah Swt berfirman pada ayat 61,

          

      


Maka apakah sama orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang
baik (surga) lalu dia memperolehnya, dengan orang yang Kami berikan
kepadanya kesenangan hidup duniawi kemudian pada hari Kiamat dia
termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)? (QS Al-Qashash
[28]: 61)
Semestinya manusia membandingkan agar mengetahui kelebihan
dari apa yang ada di sisi Allah Swt daripada hiasan dunia. Cara
membandingkannya, orang yang beriman kepada kitab Allah apakah sama
dengan orang yang tidak ada iman di dalam hatinya?
Apakah orang yang beriman kepada kitab Allah Swt dan membenarkan
janji-Nya sehingga mendapatkan surga dan kenikmatan yang banyak, itu
sama dengan orang kafir yang mendustakan pertemuan dengan Allah Swt
serta janji dan ancaman-Nya?
Orang-orang yang kafir kepada Allah Swt menikmati kehidupan
dunia beberapa hari/saat saja kemudian pada hari kiamat nanti akan
mendapatkan azab dan kepedihan di Neraka Jahanam?
Mereka berucap, “Kami meninggalkan agama ini karena takut akan
kehilangan kenikmatan dunia.” Ucapan ini tidak benar dan salah. Agama
tidak akan menghilangkan kenikmatan-kenikmatan tersebut.
Dalam pandangan Allah, pernyataan itu adalah hina. Mementingkan
kehidupan dunialah yang menghilangkan kenikmatan akhirat, juga menjadi
sebab datangnya siksa yang abadi di akhirat.

Hikmah dan Pesan


Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari berbagai ayat di atas,
maka dapatlah diambil pesan dan hikmah sebagai berikut:
(1) Hidayah adalah diberikan khusus kepada sebagian makhluk-Nya
untuk mengetahui jalan ke surga.
(2) Allah-lah yang mempunyai kekhususan mengetahui yang gaib.
(3) Allah memberikan jawaban terhadap dalil yang ada di hati orang
kafir dengan tiga jawaban: Pertama, Allah menjadikan kota Mekah
Surah Al-Qashash (28): 56-61 161

adalah kota yang aman; Kedua, penjelasan Allah tentang umat-


umat yang terdahulu yang diberi kenikmatan dunia, tetapi pada
akhirnya dihancurkan; Ketiga, ucapan orang-orang Mekah, “Kami
meninggalkan agama Islam agar tidak kehilangan dunia” ini adalah
kesalahan yang besar.
(4) Orang-orang musyrik Mekah berkata kepada Nabi Saw sambil
bergantung pada dalil yang lemah, alasannya tertolak, sebab tidak
rasional dan tidak realistis.
(5) Firman Allah Swt yang berbunyi afa â ta’qilûn, menunjukkan
bahwa orang yang tidak mengutamakan kebahagiaan akhirat atas
kenikmatan dunia, sebenarnya tidak menggunakan akal sehatnya
serta tidak rasional dan realistis.

***
162 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Pada Hari Kiamat Orang-Orang Kafir Dilecehkan dengan Tiga


Macam Pertanyaan (QS Al-Qashash [28]: 62-67)

         

           

          

           

         

          

     


(62) Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia (Allah) menyeru mereka dan
ber rman, “Di manakah sekutu-sekutuKu yang dahulu kamu sangka?”;
(63) Orang-orang yang sudah pasti akan mendapatkan hukuman berkata,
“Ya Tuhan kami, mereka inilah orang-orang yang kami sesatkan itu;
kami telah menyesatkan mereka sebagaimana kami (sendiri) sesat, kami
menyatakan kepada Engkau berlepas diri (dari mereka), mereka sekali-kali
tidak menyembah kami; (64) Dan dikatakan (kepada mereka), “Serulah
sekutu-sekutumu,” lalu mereka menyerunya, tetapi yang diseru tidak
menyambutnya, dan mereka melihat azab. (Mereka itu berkeinginan)
sekiranya mereka dahulu menerima petunjuk; (65) Dan (ingatlah) pada hari
ketika Dia (Allah) menyeru mereka, dan ber rman, “Apakah jawabanmu
terhadap para rasul?”; (66) Maka gelaplah bagi mereka segala macam
alasan pada hari itu, karena itu mereka tidak saling bertanya; (67) Maka
adapun orang yang bertobat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan,
maka mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung. (QS Al-
Qashash [28]: 62-67)

Latar dan Konteks


Telah diterangkan pada ayat-ayat sebelumnya bahwa bersenang-
Surah Al-Qashash (28): 62-67 163

senang dengan kenikmatan dunia dan keindahannya tanpa dibarengi


dengan rasa syukur akan menyebabkan orang-orang kafir mendapat siksa
pada hari kiamat.
Pada ayat-ayat ini, Allah menjelaskan kehinaan dan keterpurukan
orang-orang kafir musyrik pada hari kiamat, ketika Allah mengajukan tiga
pertanyaan atau tuntutan yang tidak dapat mereka jawab. Tiga pertanyaan
Allah itu, pertama tentang tuhan yang mereka sembah di dunia, kedua
panggilan mereka terhadap tuhan-tuhan itu, dan ketiga jawaban dan
tanggapan mereka terhadap dakwah para rasul yang mengajak mereka
untuk beriman kepada Tuhan (Allah) mereka.
Kaum musyrikin, demikian Al-Maraghi (XX, t.t: 80-81) menjelaskan,
ketika itu bungkam, tidak punya alasan dan dalih untuk menghindarkan
diri mereka dari ancaman azab neraka, karena satu sama lain tidak dapat
saling bertanya dan meminta pertolongan dalam kondisi dan situasi yang
sangat mencekam dan menakutkan.
Masing-masing hanya memikirkan nasib diri sendiri,
Setelah itu, Allah Swt menerangkan keadaan orang-orang beriman
dan beramal saleh di akhirat. Mereka akan memperoleh keberuntungan
yang berupa anugerah dan kasih sayang dari Allah Swt.

Penjelasan Ayat
Allah Swt memberitahukan tentang kecaman-Nya terhadap orang-
orang kafir musyrik pada hari kiamat dalam bentuk tiga pertanyaan yang
dilontarkan kepada mereka.
Pertanyaan pertama, tentang tuhan-tuhan (berhala) yang mereka
sembah di dunia, apakah dapat memberi manfaat dan pertolongan di
akhirat?
Ayat 62 menerangkan,

        


Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia (Allah) menyeru mereka dan ber rman,
“Di manakah sekutu-sekutuKu yang dahulu kamu sangka?”. (QS Al-
Qashash [28]: 62)
Ingatlah hai rasul, tentang suatu hari ketika Allah Swt memanggil
orang-orang musyrik dan berfirman, “Mana tuhan-tuhan yang kalian
sembah di dunia? Mana para malaikat, jin, bintang-bintang, berhala-
berhala, benda-benda, dan manusia yang kalian anggap sebagai sekutu-
164 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Ku? Apakan mereka itu dapat memberi manfaat bagi kalian dan dapat
memberi pertolongan kepada kalian atau sebaliknya, membutuhkan
pertolongan?
Dengan sedikit redaksi yang berbeda, Al-Maraghi (XX, t.t: 81)
menafsirkan, “Hai rasul, ceritakan kepada kaummu, suatu hari, ketika
Allah memanggil orang-orang kafir/musyrik yang sesat serta menyesatkan
orang lain dan menghalangi mereka dari jalan Allah.”
Allah Swt bertanya, “Mana sekutu-sekutu-Ku; dari malaikat, jin,
bintang-bintang, patung-patung, dan berhala-berhala yang kalian anggap
sebagai tuhan-tuhan sekutu-Ku? Mintalah kepada mereka pertolongan
agar menyelamatkan kalian dari azab neraka!”
Maksud pertanyaan Allah itu untuk menghinakan dan melecehkan
mereka. Karena, memang tidak memerlukan jawaban. Mereka pun tahu
bahwa apa yang mereka telah lakukan di dunia itu sia-sia dan tak berguna
pada hari kiamat.
Di samping itu, mereka juga menyadari bahwa tauhid dan kenabian
yang dapat menolong mereka, bukan penyembahan terhadap apa-apa
yang mereka pertuhan.
Ayat yang senada terdapat pada Surah Al-An'âm (6) ayat 94,
Dan kamu benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana
Kami ciptakan kamu pada mulanya, dan apa yang telah Kami karuniakan
kepadamu, kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia). Kami tidak melihat
pemberi syafaat (pertolongan) besertamu yang kamu anggap bahwa
mereka itu sekutu-sekutu (bagi Allah). Sungguh, telah terputuslah (semua
pertalian) antara kamu dan telah lenyap dari kamu apa yang dahulu kamu
sangka (sebagai sekutu Allah).
Allah Swt kemudian menyebutkan jawaban penyeru-penyeru
kesesatan dan kekafiran sebagai berikut.
Ayat 63,

          

         


Orang-orang yang sudah pasti akan mendapatkan hukuman berkata, “Ya
Tuhan kami, mereka inilah orang-orang yang kami sesatkan itu; kami telah
menyesatkan mereka sebagaimana kami (sendiri) sesat, kami menyatakan
Surah Al-Qashash (28): 62-67 165

kepada Engkau berlepas diri (dari mereka), mereka sekali-kali tidak


menyembah kami. (QS Al-Qashash [28]: 63)
Allah Swt mengancam para tokoh kesesatan dan kekufuran itu
dengan firman-Nya Surah Al-Sajdah (32) ayat 13,
Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami berikan kepada setiap jiwa
petunjuk (bagi)nya, tetapi telah ditetapkan perkataan (ketetapan) dari-Ku,
“Pasti akan Aku penuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia bersama-
sama.
Maksudnya, kesesatan mereka itu atas pilihan sendiri dan menjadi
tanggung jawab sendiri. Bukan tanggung jawab kami. Beban Tuhan yang
mereka tambah.
Kami, demikian mereka menambahkan, tidak bertanggung jawab
dan berlepas diri dari mereka, dari keyakinan dan amal-amal sesat mereka,
karena mereka sendiri yang memilih kekufuran dan kemaksiatan. Pada
hakikatnya, mereka itu tidak menyembah kami, tapi menyembah dan
memperturutkan hawa nafsu mereka sendiri. Mereka menaati setan-setan
mereka.
Dialog ini menggambarkan bahwa tuhan-tuhan (selain Allah) yang
mereka sembah memberikan kesaksian bahwa mereka menyesatkan para
pengikutnya, lalu mereka pun mengikutinya. Namun kemudian mereka
berlepas diri dan tidak mengakui bahwa mereka menyembah mereka
(tuhan-tuhan selain Allah).
Ini mengandung arti yang sama dengan firman Allah Surah Maryam
(19) ayat 81-82 yang artinya,
(81) Dan mereka telah memilih tuhan-tuhan selain Allah, agar tuhan-tuhan
itu menjadi pelindung bagi mereka; (82) Sama sekali tidak! Kelak mereka
(sesembahan) itu akan mengingkari penyembahan mereka terhadapnya,
dan akan menjadi musuh bagi mereka.
Pada Surah Al-Ahqâf (46) ayat 5-6, Allah juga berfirman yang artinya,
(5) Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang menyembah
selain Allah, (sembahan) yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya
sampai hari Kiamat, dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?;
(6) Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari Kiamat), sesembahan
itu menjadi musuh mereka, dan mengingkari pemujaan-pemujaan yang
mereka lakukan kepadanya.
166 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Pada Surah Al-Baqarah (2) ayat 166, juga ditegaskan,


(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang
yang mengikuti, dan mereka melihat azab, dan (ketika) segala hubungan
antara mereka terputus.
Pertanyaan kedua, tentang permohonan pertolongan kepada tuhan-
tuhan untuk melindungi mereka dari azab neraka, dan jawaban tuhan-
tuhan itu.
Ayat 64,

          

   


Dan dikatakan (kepada mereka), “Serulah sekutu-sekutumu,” lalu mereka
menyerunya, tetapi yang diseru tidak menyambutnya, dan mereka melihat
azab. (Mereka itu berkeinginan) sekiranya mereka dahulu menerima
petunjuk. (QS Al-Qashash [28]: 64)
Allah Swt berfirman kepada orang-orang musyrik, “Panggillah
tuhan-tuhan yang dulu waktu di dunia kalian yakini dapat menolong dan
menyelamatkan kalian di akhirat.” Mereka pun akhirnya memanggil tuhan-
tuhan itu karena dihantui oleh rasa cemas dan takut yang luar biasa,
namun tuhan-tuhan itu tidak menjawab dan memang tidak mempunyai
kemampuan untuk menolong.
Di samping itu, tuhan-tuhan yang mereka sekutukan dengan Allah
itu yakin bahwa mereka pasti dimasukkan ke dalam neraka.
Ketika melihat azab neraka yang sangat dahsyat itu, mereka
berandai-andai dengan penuh penyesalan, kenapa dahulu waktu di dunia
tidak menerima dan mengamalkan petunjuk Allah dan menjadi orang-
orang yang beriman.
Ibnu Katsir (III, t.t.: 21) menerangkan bahwa setelah menyaksikan
azab, mereka berandai-andai, alangkah senang dan bahagianya andaikan
di dunia, mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjukmu
menerima petunjuk Allah dan rasul-Nya.
Ayat yang semakna terdapat pada Surah Al-Kahfi (18) ayat 52-53
sebagai berikut,
Surah Al-Qashash (28): 62-67 167

(52) Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Dia ber rman, “Panggillah olehmu
sekutu-sekutuKu yang kamu anggap itu.” Mereka lalu memanggilnya,
tetapi mereka (sekutu-sekutu) tidak membalas (seruan) mereka dan Kami
adakan untuk mereka tempat kebinasaan (neraka); (53) Dan orang yang
berdosa melihat neraka, lalu mereka menduga, bahwa mereka akan jatuh
ke dalamnya, dan mereka tidak menemukan tempat berpaling darinya.
Maksud dari pertanyaan Allah Swt itu untuk merendahkan dan
menghinakan orang-orang musyrik. Mereka memanggil dan meminta tolong
kepada tuhan yang tidak dapat diharapkan pertolongannya. Walaupun
mereka memanggil dan merengek-rengek meminta pertolongan, tuhan-
tuhan yang mereka sembah itu tidak akan mampu memberi pertolongan
mereka dari azab yang sudah ditetapkan dan segera akan menimpa
mereka.
Ini salah satu bentuk hardikan dan penolakan terhadap kemusyrikan
dan segala macam bentuk khurafât (kepercayaan dan keyakinan yang
tidak masuk akal) di dunia ini.
Pertanyaan ketiga, penolakan terhadap dakwah para nabi untuk
mengesakan Allah. Firman Allah ayat 65 menerangkan,

      


Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia (Allah) menyeru mereka, dan ber rman,
“Apakah jawabanmu terhadap para rasul?” (QS Al-Qashash [28]: 65)
Ingatlah tentang suatu hari, ketika Allah memanggil dan bertanya
kepada orang-orang musyrik untuk mengetahui apa jawaban dan
tanggapan mereka terhadap dakwah para rasul yang diutus kepada
mereka. Bagaimana perlakuan mereka terhadap para rasul itu? Bagaimana
pula tanggapan mereka terhadap ajaran tauhid yang didakwahkan para
rasul itu?
Ini seperti halnya seorang yang ditanya malaikat Munkar dan Nakir
setelah dimakamkan. Siapa Tuhanmu, siapa nabimu, apa agamamu?
Kalau dia seorang Mukmin, maka akan menjawab, “Aku bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah, dan
Muhammad itu hamba dan rasul-Nya.”
Sedangkan orang-orang kafir akan menjawab dengan gelagapan,
“Hah, hah, aku tidak tahu.”
Pada hari kiamat orang-orang kafir tidak mampu menjawab
168 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

pertanyaan. Mereka hanya bisa diam seribu bahasa.


Ibnu Katsir (III, t.t.: 21) juga menegaskan bahwa orang-orang kafir
pada hari kiamat hanya bisa diam. Orang-orang yang buta hatinya waktu
di dunia, di akhirat pun buta, bingung dan tidak mengetahui jawaban yang
harus diberikan.
Ayat ini menegaskan adanya kenabian, tauhid, dan kesucian Allah
dari anggapan orang-orang musyrik bahwa berhala-berhala yang mereka
sembah itu adalah sekutu-sekutu Allah Swt. Na’ûdzu bi l-llâh.
Ayat 66,

       


Maka gelaplah bagi mereka segala macam alasan pada hari itu, karena itu
mereka tidak saling bertanya. (QS Al-Qashash [28]: 66)
Mereka tidak tahu jalan dan tidak menemukan cara untuk membela
diri pada hari kiamat. Mereka semua diam seribu bahasa. Satu sama
lain tidak saling bertanya seperti kebiasaan mereka kalau memecahkan
masalah yang sulit dan pelik ketika di dunia.
Hal itu disebabkan kondisi dan situasi yang sangat mencekam dan
menakutkan. Semua orang, termasuk para nabi, bungkam, tak mampu
memberi jawaban dan pemecahan masalah.
Hal ini juga digambarkan pada Surah Al-Mâ`idah (5) ayat 109
sebagai berikut,
(Ingatlah), pada hari ketika Allah mengumpulkan para rasul, lalu Dia
bertanya (kepada mereka), “Apa jawaban (kaummu) terhadap (seruan)
mu?” Mereka (para rasul) menjawab, “Kami tidak tahu (tentang itu).
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib”.
Setelah menerangkan keadaan orang-orang musyrik dan kehinaan
mereka, Allah Swt menerangkan keadaan orang-orang yang bertaubat.
Dengan maksud, mendorong orang untuk bertaubat kepada Allah Swt dan
meninggalkan serta menghindari kekufuran.
Ayat 67 menerangkan,

           
Maka adapun orang yang bertobat dan beriman, serta mengerjakan
kebajikan, maka mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung.
(QS Al-Qashash [28]: 67)
Surah Al-Qashash (28): 62-67 169

Adapun orang-orang yang bertaubat dari kemusyrikan, kemudian


membenarkan dan mengesakan Allah diikuti dengan beribadah kepada-
Nya dengan ikhlas, lalu beriman kepada Nabi-Nya Muhammad Saw, dan
beramal saleh di dunia dengan melaksanakan syariat agama Islam, maka
mereka itu adalah orang-orang yang selamat dan mendapat anugerah
keberuntungan yang berupa rida Allah serta nikmat-nikmat-Nya di dalam
surga pada hari kiamat.
Kata 'asâ yang berarti berharap kepada Allah Swt itu dimaksudkan
untuk meyakinkan, karena anugerah Allah dan kenikmatan yang dijanjikan
itu pasti terwujud kelak pada hari kiamat.

Hikmah dan Pesan


Ayat-ayat berikut penafsirannya di atas memberi hikmah dan pesan
sebagai berikut:
(1) Ayat-ayat tersebut di atas sebagai peringatan dini, celaan, dan
hardikan terhadap kekufuran, agar manusia yang masih hidup di
alam dunia itu mengetahui dan menghindari akibat kekufuran dan
kemusyrikan yang akan menimpa pada hari kiamat nanti.
(2) Tuhan-tuhan (selain Allah) yang disembah oleh orang-orang
musyrik di dunia ini, kelak di hari kiamat (yaumu l-hisâb) tidak
mampu membela penyembahnya, bahkan berlepas diri dari perilaku
kemusyrikan tersebut.
(3) Celaan dan hinaan terhadap kaum musyrikin di hari kiamat itu
digambarkan dalam tiga pertanyaan Allah kepada mereka;
(a) Ketika mereka diminta mendatangkan tuhan-tuhan yang
disembah di dunia dan meminta pertolongan kepada mereka,
ternyata mereka tidak mampu dan mengelak. Harapan mereka
untuk mendapat pertolongan hampa dan sia-sia.
(b) Tuhan-tuhan selain Allah yang mereka sembah di dunia diam
dan memang tak mampu bicara ketika mereka merintih meminta
pertolongan.
(c) Ketika mereka ditanya tentang ajaran keesaan Allah yang
didakwahkan para rasul dan tanggapan mereka terhadap
para rasul dan dakwahnya itu, mereka terdiam. Tidak mampu
memberi jawaban untuk membela diri.
170 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(4) Pada ayat berikutnya, Allah membuka pintu tobat bagi mereka,
termasuk kaum musyrikin yang sadar untuk meninggalkan
kemusyrikan, kemudian beriman dan beramal saleh.
(5) Orang-orang beriman dan beramal saleh akan mendapat
keberuntungan pada hari kiamat yang berupa rida Allah dan
kenikmatan di dalam surga.

***

Pemilik Kebenaran Mutlak Berhak Dipuji dan Diibadahi (QS Al-


Qashash [28]: 68-70)

            

         

               

   


(68) Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi
mereka (manusia) tidak ada pilihan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia
dari apa yang mereka persekutukan; (69) Dan Tuhanmu mengetahui apa
yang disembunyikan dalam dada mereka dan apa yang mereka nyatakan;
(70) Dan Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia, segala puji bagi-Nya di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya segala
penentuan dan kepada-Nya kamu dikembalikan. (QS Al-Qashash [28]: 68-
70)

Latar dan Konteks


Pada ayat yang lalu, Allah mengecam orang-orang musyrik yang
menyekutukan Allah dan meminta kepada tuhan-tuhan mereka untuk
memberi pertolongan dan syafaat.
Pada ayat ini, Allah Swt menegaskan bahwa Dia memiliki kebebasan
mutlak untuk menentukan orang yang diberi syafaat/pertolongan, bukan
Surah Al-Qashash (28): 68-70 171

orang-orang musyrik yang menentukan pilihan.


Allah Swt juga memiliki kebebasan untuk memilih salah seorang dari
makhluk-Nya sebagai rasul dan nabi.
Pilihan hidup orang-orang musyrik itu didasarkan kepada
kebodohan dan kesesatan. Berbeda dengan pilihan Allah, yang didasarkan
dengan kemahatahuan tentang hal-hal yang tersembunyi maupun yang
tampak. Karena anugerah kenikmatan yang terlimpahkan kepada semua
makhluknya itu, maka hanya Allah yang berhak diibadahi, tidak ada tuhan
lain yang berhak diibadahi.
Dia adalah pemilik keputusan atas segala sesuatu, dan kepada-
Nya-lah tempat kembali, kemudian meminta pertanggungjawaban hamba-
hamba-Nya dan menghisab keimanan dan amal mereka.

Penjelasan Ayat
Ayat 68,

            

   


Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi
mereka (manusia) tidak ada pilihan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia
dari apa yang mereka persekutukan. (QS Al-Qashash [28]: 68)
Allah Swt memberitahukan bahwa hanya Dia-lah Sang Pencipta
yang menciptakan makhluk berdasarkan pilihan/kemauan sendiri, tak ada
yang menentang dan merintangi.
Artinya, Tuhanmu hai Muhammad, yang berhak secara mutlak
untuk menciptakan makhluk-Nya sesuai dengan kehendak dan pilihan-
Nya sendiri. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak dia
kehendaki tidak akan terjadi.
Seluruh perkara, baik maupun buruk, ada di dalam kekuasaan-Nya.
Tempat kembali segala urusan kepada-Nya.
Dia-lah yang memilih dan menetapkan salah seorang dari suatu
kaum untuk mengemban risalah, sebagai seorang rasul. Dia pula yang
menentukan dan memilih sebagian dari malaikat dan umat manusia
sebagai pengemban masalah yang sangat penting. Dia-lah yang berhak
menentukan orang yang diberi wewenang memberi syafaat. Dia-lah yang
172 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

menganugerahkan kelebihan suatu makhluk atas yang lainnya.


Berdasarkan ayat ini, disyariatkan salat istikharah. Setelah berwudu,
hendaklah salat dua rakaat. Pada rakaat pertama, membaca Surah Al-
Kâfirûn setelah membaca Surah Al-Fâtihah. Rakaat kedua, membaca
Surah Al-ikhlash setelah membaca Surah Al-Fâtihah, lalu membaca doa
salat istikharah.
Bukan kaum musyrikin atau lainnya yang berhak menentukan
sesuatu, seperti yang diungkapkan dalam Surah Al-Zukhruf (43) ayat 31,
Dan mereka (juga) berkata, “Mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan
kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua negeri ini
(Mekah dan Taif)?”
Maksudnya, Allah tidak memilih Al-Walid Ibnu Al-Mughirah maupun
Ali Urwah Ibnu Mas’ud Al-Tsaqafi (tokoh Thaif) untuk menjadi rasul dan
menerima wahyu Al-Quran.
Huruf/kata mâ yang terdapat pada kata mâ kâna yang terdapat
pada ayat 68 di atas adalah mâ nâ yah. Demikian pendapat yang sahih
dari Ibnu Abbas dan lainnya.
Ini menunjukkan arti bahwa hanya Allah sang Pencipta, Sang
Penentu, dan Sang Pemilih. Tidak ada yang menyamai Allah. Oleh karena
itu, Allah menyucikan diri-Nya dari padanan yang dapat menandingi
kekuasaan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
sekutukan (dengan Dia).
Artinya, Allah Maha Suci dari apa-apa yang disekutukan orang-orang
musyrik. Tidak ada yang menentang kehendak dan pilihan-Nya, baik itu
berhala maupun lainnya.
Maksudnya, Allah mempermaklumkan bahwa masalah penciptaan,
pilihan, pemuliaan, penghinaan itu hanya di tangan/kekuasaan Allah
semata, bukan di tangan selain Allah Swt.
Allah Swt kemudian menjelaskan bahwa pilihan-Nya itu didasarkan
pada ilmu-Nya yang menjangkau yang rahasia/tersembunyi dan yang
tampak nyata.
Ayat 69 menyatakan,

       


Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan dalam dada mereka
dan apa yang mereka nyatakan. (QS Al-Qashash [28]: 69)
Surah Al-Qashash (28): 68-70 173

Wahai para makhluk, Tuhan kalian Maha Mengetahui apa yang


tersembunyi dan terbetik dalam hati kalian, yakni kedengkian dan
permusuhan kalian terhadap Rasul Saw.
Firman Allah Surah Al-Ra’d (13) ayat 9 dan 10 menegaskan,
(9) (Allah) Yang mengetahui semua yang gaib dan yang nyata. Yang
Mahabesar, Mahatinggi; (10) Sama saja (bagi Allah), siapa di antaramu
yang merahasiakan ucapannya dan siapa yang berterus-terang dengannya;
dan siapa yang bersembunyi pada malam hari dan yang berjalan pada
siang hari.
Ilmu Allah itu secara mutlak meliputi seluruh ciptaan-Nya. Itulah ciri
ketuhanan, tempat bergantung seluruh makhluk-Nya, dan satu-satunya
sesembahan mereka.
Ayat 70 menegaskan,

               

 
Dan Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, segala
puji bagi-Nya di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya segala penentuan dan
kepada-Nya kamu dikembalikan. (QS Al-Qashash [28]: 70)
Hanya Dia-lah yang berhak disembah, tidak ada tuhan lain yang
berhak disembah, seperti halnya tidak ada tuhan lain yang menciptakan
berdasarkan kehendak dan pilihannya sendiri. Dia-lah Tuhan yang Maha
Mengetahui segala sesuatu dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ini sebuah peringatan bahwa Allah itu Maha Kuasa atas segala
kemungkinan, Maha Tahu segala ilmu pengetahuan, Suci dari segala sifat
kekurangan dan cacat. Oleh karena itu, hanya Dia yang berhak dipuji dan
sebagai tempat bersyukur.
Hanya Allah yang berhak dipuji, tempat bersyukur, dan diibadahi.
Segala perbuatan Allah terpuji, baik di dunia maupun di akhirat, karena
Dia Maha Adil, Maha Bijaksana dalam menganugerahkan kenikmatan dan
segala kebajikan kepada seluruh makhluk-Nya.
Dia-lah yang memutuskan segala sesuatu, tidak ada yang mampu
membantah keputusan-Nya. Dia Berkuasa atas seluruh hamba-Nya dan
kekuasaan-Nya di atas kekuasaan seluruh hamba-Nya. Dia yang Maha
174 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Pengasih dan Penyayang, serta Maha Mengetahui secara detail.


Kepada-Nya tempat kembali seluruh makhluk pada hari kiamat
nanti. Dia akan memberi balasan amal-amal hamba-hamba-Nya, amal baik
maupun buruk. Tidak ada yang tersembunyi bagi Allah apa yang ada di
langit maupun yang ada di bumi.
Ini merupakan puncak peringatan bagi para pelaku maksiat, dan
puncak penguatan keyakinan hati bagi orang-orang yang taat. Allah
senantiasa menerapkan sifat adil-Nya: memberi pahala kepada orang-
orang yang berbuat kebaikan dan menyiksa orang-orang yang berbuat
keburukan.

Hikmah dan Pesan


Berdasarkan uraian tafsir di atas, ada beberapa hikmah dan pesan
yang dapat diambil yang antara lain;
(1) Yang memilih hamba-Nya dan yang berhak memberi syafaat adalah
Allah, bukan orang-orang musyrik.
(2) Menciptakan makhluk itu berdasarkan kehendak dan pilihan Allah
Swt. Dia yang Maha Tahu letak hikmahnya. Tidak ada satu makhluk
pun yang dapat menentukan pilihan Allah Swt.
(3) Yang memiliki wewenang untuk memilih rasul dan malaikat dalam
melaksanakan dan mengemban tugas adalah Allah Swt, bukan yang
lain.
(4) Allah Maha Suci dari anggapan orang-orang musyrik yang
menyekutukan-Nya.
(5) Allah Maha Tahu yang gaib maupun yang tampak nyata. Tidak ada
suatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.
(6) Hanya Allah yang berhak disembah dan diibadahi, segala puji bagi-
Nya. Tidak ada hukum, kecuali yang datang dari-Nya, dan kepada-
nya tempat kembali seluruh makhluk.

***
Surah Al-Qashash (28): 71-75 175

Bukti Keagungan dan Kekuasaan Allah serta Penegasan Kecaman


kepada Orang-Orang Musyrik (QS Al-Qashash [28]: 71-75)

             

           

           

          

         

         

           

   


(71) Katakanlah (Muhammad), “Bagaimana pendapatmu, jika Allah
menjadikan untukmu malam itu terus-menerus sampai hari Kiamat.
Siapakah tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang
kepadamu? Apakah kamu tidak mendengar?”; (72) Katakanlah
(Muhammad), “Bagaimana pendapatmu, jika Allah menjadikan untukmu
siang itu terus-menerus sampai hari Kiamat. Siapakah tuhan selain Allah
yang akan mendatangkan malam kepadamu sebagai waktu istirahatmu?
Apakah kamu tidak memperhatikan?”; (73) Dan adalah karena rahmat-
Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, agar kamu beristirahat pada
malam hari dan agar kamu mencari sebagian karunia- Nya (pada siang
hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya; (74) Dan (ingatlah) pada
hari ketika Dia (Allah) menyeru mereka, dan ber rman, “Di manakah
sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu sangka?”; (75) Dan Kami datangkan
dari setiap umat seorang saksi, lalu Kami katakan, “Kemukakanlah bukti
kebenaranmu,” maka tahulah mereka bahwa yang hak (kebenaran) itu milik
Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulu mereka ada-adakan. (QS
Al-Qashash [28]: 71-75)
176 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan bahwa Allah Swt menciptakan
makhluk-Nya berdasarkan kehendak dan pilihannya sendiri. Diterangkan
pula bahwa peribadatan kaum musyrikin itu karena kebodohan mereka
sendiri. Allah kemudian menjelaskan bahwa yang berhak dipuji itu hanya
yang menganugerahkan kenikmatan.
Pada ayat-ayat yang dibahas ini, Allah Swt mengemukakan sebagian
dalil dan bukti keagungan dan kekuasaan-Nya. Berupa penganugerahan
nikmat kepada hamba-hamba-Nya yang tidak dapat dilakukan oleh siapa
pun selain Dia. Hal ini juga dimaksudkan agar manusia menyadari, yang
patut dipuji hanyalah Allah, dan bersyukur itu hanyalah ditujukan kepada-
Nya.
Kata wa yauma yunâdîhim yang telah disebut pada ayat 62 diulang
dan ditegaskan kembali pada ayat 74. Disebutkan kesaksian nabi terhadap
setiap umat atas amal dan perbuatan mereka di dunia, untuk menambah
kesedihan orang-orang musyrik dan rasa berdosa mereka.

Penjelasan Ayat
Allah Swt menganugerahkan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya
yang berupa pergantian antara waktu malam dan siang yang merupakan
kebutuhan dan variasi hidup dan kehidupan mereka.
Ayat 71 menerangkan sebagai berikut,

            

       


Katakanlah (Muhammad), “Bagaimana pendapatmu, jika Allah menjadikan
untukmu malam itu terus-menerus sampai hari Kiamat. Siapakah tuhan
selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Apakah
kamu tidak mendengar?” (QS Al-Qashash [28]: 71)
Katakanlah hai rasul kepada kaum musyrikin. “Jelaskan dan
terangkan kepadaku, bagaimana seandainya seluruh waktu kalian dalam
kegelapan. Allah menjadikan waktu malam secara terus-menerus sampai
hari kiamat. Kalian pasti akan bosan, gelisah, dan menderita, seperti yang
dialami oleh sebagian penduduk di bumi ini (penduduk di kutub utara dan
kutub selatan) yang mengalami malam selama setengah tahun (enam
Surah Al-Qashash (28): 71-75 177

bulan), kemudian berganti dengan siang secara terus-menerus selama


enam bulan (setengah tahun).
Maka, tuhan mana, selain Allah, yang dapat menciptakan waktu
siang yang terang-benderang? Apakah kalian tidak mendengarkan secara
saksama sehingga dapat memahami dengan pikiran yang jujur dan
jernih, sehingga akhirnya kalian sadar dan meninggalkan kemusyrikan
dan bertauhid kepada Allah Swt. Karena tuhan selain Allah itu lemah, tak
berdaya, untuk menciptakan waktu siang yang terang-benderang itu.
Allah Swt kemudian menerangkan ciptaan yang sebaliknya, yakni
waktu malam. Ayat 72 menerangkan,

           

          
Katakanlah (Muhammad), “Bagaimana pendapatmu, jika Allah menjadikan
untukmu siang itu terus-menerus sampai hari Kiamat. Siapakah tuhan
selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu sebagai waktu
istirahatmu? Apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS Al-Qashash [28]:
72)
Katakan juga kepada kaum musyrikin hai Muhammad. Bagaimana
pendapat kalian andaikan Allah menciptakan waktu siang terus-menerus
sampai hari kiamat nanti? Jika itu terjadi, niscaya badan akan menjadi
letih dan lemah karena banyak bergerak dan beraktivitas.
Oleh karena itu, tuhan mana yang kemudian dapat menciptakan
waktu malam agar kalian dapat beristirahat dari kegiatan dan kesibukan di
siang hari? Apakah kalian tidak melihat dan memikirkan bukti-bukti lahiriah
yang menunjukkan kemahakuasaan Allah yang sempurna ini? Kalau kalian
menyadari hal ini, niscaya kalian akan tahu bahwa yang berhak diibadahi
hanya Allah Swt, Tuhan yang senantiasa menganugerahkan kenikmatan
kepada hamba-hamba-Nya.
Ayat 73,

          

  


Dan adalah karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang,
agar kamu beristirahat pada malam hari dan agar kamu mencari sebagian
178 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya. (QS
Al-Qashash [28]: 73)
Karena rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah Swt menciptakan siang
dan malam. Allah menciptakan waktu malam yang gelap agar kalian dapat
beristirahat dengan nyaman dan tenang setelah bekerja dan beraktivitas
di siang hari. Dia telah menjadikan siang yang terang-benderang agar
kalian dapat melihat hal-hal yang bermanfaat bagi hidup kalian, kemudian
kalian dapat mencari nafkah, dan bepergian dari satu tempat ke tempat
lainnya, dari negara ke negara lainnya, untuk mencari rezeki yang menjadi
kebutuhan hidup kalian. Semuanya itu kadang-kadang sulit jika dilakukan
di malam hari.
Maka bersyukurlah kepada Allah dengan mengkhususkan ibadah
kepada-Nya, bukan kepada tuhan lainnya. Karena, hanya Dia yang
menganugerahkan kedua kenikmatan tersebut. Esakan Dia, dan jangan
kalian sekutukan dengan yang lain.
Ayat di atas menunjukkan bahwa pergantian siang dan malam
itu merupakan kenikmatan besar bagi makhluk-makhluk Allah, bahkan
merupakan bukti yang sangat gamblang tentang kemahakuasaan Allah
Swt.
Firman Allah Surah Al-Furqân (25) ayat 62 menegaskan,
Dia (Musa) menjawab, “Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya
Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.
Ayat-ayat lain yang senada banyak ditemukan di dalam Al-Quran.
Tegasnya bahwa pergantian siang dan malam itu mengandung tiga tujuan:
1) Agar manusia dan makhluk lainnya merasa tenang dan tenteram
beristirahat di malam hari;
2) Mencari anugerah Allah (rezeki) di siang hari;
3) Dan bersyukur kepada Allah atas anugerah tersebut.
Jika dicermati, Allah menggunakan kata afalâ tasma’ûna ketika
menerangkan malam. Penggunaan kata ini sangat cocok, karena di
keheningan malam dan kegelapannya itu, pendengaran lebih dapat
memberi manfaat. Dengan pendengaran ini, manusia dapat menangkap
apa yang tidak dapat ditangkap oleh indra penglihatan karena gelapnya
malam.
Selanjutnya, Allah menggunakan kata afalâ tubshirûna ketika
menerangkan waktu siang. Kata ini yang paling cocok. Di siang hari yang
Surah Al-Qashash (28): 71-75 179

terang-benderang, indra mata yang paling fungsional. Dengan indera


matanya, manusia dapat melihat manfaat-manfaat, faedah-faedah,
dan pelajaran-pelajaran yang tidak dapat ditangkap secara baik oleh
pendengaran ketika sedang penuh kesibukan dan kebisingan.
Demikian redaksi yang digunakan Allah dalam menerangkan
anugerah-Nya yang berupa siang dan malam bagi manusia. Kedua redaksi
yang digunakan sangat cocok dan sesuai dengan kondisi dan situasi siang
dan malam.
Jika dicermati dengan saksama bahwa penggunaan pendengaran
dan penglihatan itu suatu anugerah Allah yang wajib disyukuri. Ketika
manusia tidak mampu menggunakan pendengarannya secara optimal, dia
dapat menggunakan penglihatannya. Ketika menggunakan penglihatannya
tidak dapat optimal, dia dapat menggunakan pendengarannya.
Allah Swt kemudian kembali memanggil orang-orang musyrik yang
menyekutukan Allah dalam peribadatan, sebagai panggilan yang bersifat
menghinakan dan melecehkan. Ayat 74 menerangkan,

        


Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia (Allah) menyeru mereka, dan ber rman,
“Di manakah sekutu-sekutuKu yang dahulu kamu sangka?” (QS Al-Qashash
[28]: 74)
Hai rasul, katakan kepada kaum musyrikin, suatu hari ketika Tuhanmu
memanggil mereka dan berfirman, “Mana tuhan yang kalian sekutukan
dengan-Ku waktu di dunia? Suruh mereka menolong dan menyelamatkan
kalian sekarang.”
Pengulangan panggilan yang kedua kali ini untuk mengingatkan
bahwa tidak ada yang menyulut kemurkaan Allah, kecuali kemusyrikan.
Kebalikannya, tidak ada yang lebih dapat mendatangkan rida Allah, kecuali
mentauhidkan-Nya.
Imam Al-Qurthubi, sebagaimana dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili,
menerangkan, panggilan ini tidak datang secara langsung dari Allah, karena
Dia tidak akan berbicara dengan orang-orang kafir. Hal ini diterangkan
pada Surah Al-Baqarah (2) ayat 174,
...dan Allah tidak akan menyapa mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan
menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.
Akan tetapi, Allah Swt memerintah makhluk-Nya untuk mencaci dan
180 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

menghinakan, serta mengecam kaum musyrikin itu, Kemudian memberikan


bukti dan alasan pada waktu mereka menghadapi hisâb.
Pengulangan panggilan kepada kaum musyrikin ini dimaksudkan
untuk menambah kecaman dan hinaan serta kesengsaraan mereka. Firman
Allah ayat 75 mengatakan,

           

     


Dan Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, lalu Kami katakan,
“Kemukakanlah bukti kebenaranmu,” maka tahulah mereka bahwa yang
hak (kebenaran) itu milik Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulu
mereka ada-adakan. (QS Al-Qashash [28]: 75)
Kami hadirkan dan datangkan kepada setiap umat seorang saksi,
yakni nabi dan rasul yang diutus kepada mereka. Hal ini sejalan dengan
firman Allah Surah Al-Zumar (39) ayat 69 sebagai berikut,
Dan bumi (Padang Mahsyar) menjadi terang-benderang dengan cahaya
(keadilan) Tuhannya; dan buku-buku (perhitungan perbuatan mereka)
diberikan (kepada masing-masing), nabi-nabi dan saksi-saksi pun
dihadirkan, lalu diberikan keputusan di antara mereka secara adil, sedang
mereka tidak dirugikan.
Senada dengan itu pada Surah Al-Nisâ` (4) ayat 41, Allah juga
berfirman,
Dan bagaimanakah (keadaan orang ka r nanti), jika Kami mendatangkan
seorang saksi (rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka.
Setiap rasul akan menjadi saksi bagi kaumnya ketika
mempertanggungjawabkan amalnya di hadapan Allah Swt, dan Nabi
Muhammad Saw akan menjadi saksi bagi seluruh nabi.
Kami katakan kepada kaum musyrikin itu, “Hadirkan bukti-bukti
yang menguatkan keyakinan kalian bahwa Allah itu mempunyai sekutu.”
Mereka ternyata bungkam, tak mampu memberi jawaban. Mereka
tahu persis bahwa Tuhan yang benar hanyalah Allah yang Maha Esa. Tidak
ada tuhan selain Dia. Dia tidak mempunyai sekutu dalam kekuasaan dan
kerajaan-Nya. Ketika itu, terbukti dengan gamblang tentang kebohongan,
Surah Al-Qashash (28): 71-75 181

kebatilan, dan kesesatan kaum musyrikin tersebut. Ternyata tuhan yang


mereka sekutukan dengan Allah itu tidak memiliki kemampuan sedikit pun
untuk menolong penyembahnya dari ancaman siksa neraka.

Hikmah dan Pesan


Ayat-ayat di atas memberikan hikmah dan pesan yang, antara lain,
sebagai berikut:
(1) Pergantian antara siang dan malam itu sebagai bukti keagungan
dan kekuasaan Allah, serta keesaan-Nya. Di samping itu, juga
sebagai bentuk kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada
seluruh makhluk-Nya, terutama manusia.
(2) Nikmat yang dianugerahkan Allah itu harus disyukuri dengan bentuk
melaksanakan segala bentuk peribadatan kepada-Nya pada waktu
siang maupun malam.
(3) Pengulangan panggilan Allah kepada sesembahan kaum musyrikin
penyembah berhala dan lainnya itu; karena pada panggilan yang
pertama, mereka tidak menjawab. Ini menimbulkan keraguan para
penyembah dan pengikutnya. Pada panggilan yang kedua, mereka
diam membisu. Hal ini sebagai bentuk penghinaan dan kecaman
kepada kaum musyrikin agar mereka merasa lebih dihinakan dan
direndahkan.
(4) Kebingungan dan penyesalan kaum musyrikin bertambah-tambah
ketika rasul yang diutus kepada mereka dihadirkan untuk menjadi
saksi atas perbuatan mereka di dunia.

***
182 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Kisah Qarun Kesesatan Kaum Nabi Musa yang Tertipu dengan


Harta (QS Al-Qashash [28]: 76-78)

            

              

            

           

            

            

            

  


(76) Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku
zalim terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya
perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh
sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata
kepadanya, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang yang membanggakan diri”; (77) Dan carilah (pahala)
negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu,
tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang yang berbuat kerusakan; (78) Dia (Qarun) berkata,
“Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada
padaku.” Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat
sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan
harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-
dosa mereka. (QS Al-Qashash [28]: 76-78)
Surah Al-Qashash (28): 76-78 183

Latar dan Konteks


Setelah mencela dan melecehkan kaum musyrikin, Allah Swt
menerangkan kisah Qarun, untuk menjelaskan akibat yang menimpa
orang-orang kafir yang sombong, baik di dunia maupun di akhirat.
Qarun dihancurkan Allah dengan gempa bumi dan tanah yang
amblas (likuefaksi), dan di akhirat dia akan dimasukkan ke dalam neraka
bersama dengan orang-orang musyrik lainnya.

Sekilas Kisah Qarun


Sebagaimana telah kita ketahui, Qarun adalah anak laki-laki Yashhur
Ibnu Qahatsa, kakek Nabi Musa as. Qarun adalah anak paman Nabi Musa.
Menurut Ibnu Abbas, Qarun juga anak bibi Musa. Qarun itu nama aslinya
adalah Al-Munawwir dikarenakan wajahnya yang tampan. Dia salah satu
keturunan Israil yang paling hafal dan faham terhadap Kitab Taurat.
Akan tetapi, kemudian menjadi munafik seperti halnya Samiri.
Qarun itu akhirnya menjadi sombong karena kekayaan melimpah yang
dimilikinya.
Dia keturunan Israil yang dianugerahi harta yang melimpah. Kunci-
kunci gudang hartanya, saking banyaknya terasa berat diangkat oleh
sekelompok laki-laki yang kuat-kuat.
Salah seorang bijak, dari kaumnya, menasihati agar dia menjauhi
kesombongan dan perbuatan yang merusak di bumi ini. Qarun juga
dinasihati agar menggunakan kekayaannya yang melimpah itu di jalan yang
diridai Allah Swt, di samping dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup
di dunia sesuai dengan kebutuhan. Jangan sampai harta yang melimpah
itu dimanfaatkan di jalan yang dimurkai Allah Swt yang mengakibatkan
hilangnya kenikmatan tersebut.
Qarun menolak nasihat tersebut, bahkan berkata, “Harta yang
melimpah itu saya peroleh dengan ilmu dan kepandaianku sendiri.”
Ia merasa harta yang melimpah itu diperolah melalui kecerdasan dan
kepiawaiannya dalam berbisnis. Qarun lupa terhadap azab Allah yang
telah menimpa orang-orang sombong yang hidup pada zaman terdahulu.
Padahal, mereka itu lebih hebat dan kuat serta lebih kaya dibanding dirinya.
Qarun telah dikuasai keangkuhan dan kesombongan dalam hidupnya,
hidup mewah dan suka memamerkan kemewahannya kepada orang lain,
sehingga sebagian orang ada yang merasa iri dan tergiur dengan kekayaan
dan kemewahannya.
184 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Ahli hikmah dan orang bijak pada zamannya memberi nasihat,


“Kalian jangan iri dan tamak terhadap harta, karena pahala Allah Swt lebih
baik bagi orang yang beriman dan beramal saleh.”
Akibat kesombongan, kezaliman, dan kufur terhadap nikmat Allah
itu, Allah Swt menurunkan azab yang berupa gempa bumi serta likuefaksi
(tanah amblas) yang menimpa daerah tempat tinggalnya, tanpa ada orang
yang dapat menolong dan menyelamatkannya.
Tempat itu sekarang disebut Birkah Qarun/ danau Qarun (pen).

Penjelasan Ayat
Ayat 76,

....          


Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku zalim
terhadap mereka.... (QS Al-Qashash [28]: 76)
Qarun adalah fiqur orang kaya, zalim, dan sombong, dari kalangan
Bani Israil. Kesombongannya disebabkan kekayaan yang melimpah,
sehingga ia bertindak melampaui batas dalam menzalimi Bani Israil. Qarun
meminta agar Bani Israil itu tunduk di telapak kaki istrinya.
Lanjutan ayat 76 menerangkan,

....          ...
...dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta
yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-
kuat.... (QS Al-Qashash [28]: 76)
Kami menganugerahi Qarun harta kekayaan yang melimpah
sehingga kunci gudangnya terasa berat dipikul oleh sekelompok orang
laki-laki yang kuat-kuat. Menurut Ibnu Abbas, kunci-kunci gudangnya baru
dapat diangkat kalau yang mengangkatnya itu empat puluh lelaki yang
kuat-kuat.
Orang-orang yang arif bijaksana memberi lima nasihat kepada
Qarun.
Pertama, yang termuat pada akhir ayat 76 sebagai berikut,

            ...
Surah Al-Qashash (28): 76-78 185

...(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah engkau terlalu


bangga. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri”.
(QS Al-Qashash [28]: 76)
Sekelompok orang bijak dari kalangan Bani Israil memberi
nasihat setelah Qarun bersikap sombong. “Jangan sombong dan jangan
membanggakan kekayaan karena Allah Swt tidak menyukai orang-
orang yang sombong, tidak mau mensyukuri nikmat Allah, dan tidak
mau menyiapkan diri untuk kehidupan di akhirat. Semuanya itu akan
mendatangkan murka Allah dan azab-Nya.”
Firman Allah Surah Al-Hadîd (57) ayat 23 menerangkan,
Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan
tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan
diri.
Kedua, termuat pada awal ayat 77 sebagai berikut,

….       


Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu.... (QS Al-Qashash [28]: 77)
Pergunakan harta kekayaan melimpah yang telah dianugerahkan
Allah, dan kenikmatan-kenikmatan lainnya itu untuk ketaatan kepada
Tuhanmu dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai
macam cara yang dapat mendatangkan pahala yang bermanfaat di dunia
maupun di akhirat.
Dunia itu tempat bercocok tanam dan hasilnya dipetik di akhirat.
Ketiga, termuat di tengah ayat 77 sebagai berikut,

....      ...


... tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.... (QS Al-Qashash
[28]: 77)
Jangan meninggalkan dan melupakan kenikmatan hidup duniawi
yang diperkenankan dan dihalalkan oleh Allah, baik berupa makanan,
minuman, pakaian, tempat tinggal, maupun istri. Tuhanmu memiliki hak
atas dirimu, dirimu sendiri juga memiliki hak untuk dipenuhi, istrimu juga
186 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

memiliki hak atas dirimu,dan tamu-tamumu pun memiliki hak untuk dijamu.
Oleh karena itu, berikan hak kepada setiap pemilik hak atas diri dan
hartamu. Ini cara hidup orang Islam yang wasathiyah (pertengahan).
Ibnu Umar berkata, “Berusahalah untuk kepentingan duniamu
seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk
kepentingan akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok hari.”
Keempat, termuat masih di tengah ayat 77 sebagai berikut,

....      ...


...dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu.... (QS Al-Qashash [28]: 77)
Berbuat baiklah kepada makhluk-makhluk Allah sebagaimana
Dia telah berbuat baik kepadamu. Ini perintah berbuat kebaikan secara
umum setelah Allah memerintahkan berbuat baik yang berkaitan dengan
kekayaan, yang termasuk di dalamnya bentuk pertolongan dengan
uang, kekuasaan, wajah yang ramah, baik ketika bertemu, baik dalam
mendengarkan. Intinya adalah berbuat ihsan secara materi dan ihsan
dalam bentuk akhlak.
Kelima, termuat pada akhir ayat 77 sebagai berikut,

           ...
...dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS Al-Qashash [28]: 77)
Jangan berbuat kerusakan di bumi dengan kezaliman, kesombongan,
dan bersikap buruk terhadap orang lain, karena Allah akan mengazab orang
yang berbuat kerusakan, tidak akan memberinya rahmat, pertolongan,
maupun mencintainya.
Akan tetapi, Qarun tidak menggubris nasihat tersebut, bahkan
mengatakan sebagaimana tersebut pada ayat 78 sebagai berikut,

....       


Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata
karena ilmu yang ada padaku”.... (QS Al-Qashash [28]: 78)
Qarun berkata kepada kaumnya setelah mendapat petunjuk kebaikan.
Surah Al-Qashash (28): 76-78 187

”Aku tidak butuh nasihat kalian. Sesungguhnya Allah memberiku harta


berdasarkan kecerdasanku dan kepandaianku dalam mengumpulkannya.
Aku ahlinya di bidang usaha mencari harta.”
Ini senada dengan firman Allah Surah Al-Zumar (39) ayat 49, yang
artinya sebagai berikut,
Maka apabila manusia ditimpa bencana dia menyeru Kami, kemudian
apabila Kami berikan nikmat Kami kepadanya dia berkata, “Sesungguhnya
aku diberi nikmat ini hanyalah karena kepintaranku.” Sebenarnya, itu
adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Surah Fushilat (41) ayat 50 juga menerangkan,
Dan jika Kami berikan kepadanya suatu rahmat dari Kami setelah ditimpa
kesusahan, pastilah dia berkata, “Ini adalah hakku.... (QS Fushilat [41]:
50)
Inti dua ayat ini, pertama, orang yang mendapat nikmat Allah itu
merasa bahwa nikmat itu didapatkan berdasarkan ilmu yang dianugerahkan
Allah. Kedua, mendapat pertolongan Allah itu menjadi hak orang itu.
Keduanya tidak disandarkan kepada Allah, seolah-olah hasil dari usahanya/
kepandaiannya sendiri.
Ayat 78,

            ...

          
...Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat
sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan
harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-
dosa mereka. (QS Al-Qashash [28]: 78)
Ibnu Katsir (III, t.t.: 24) menerangkan, apakah Qarun itu tidak
mengetahui bahwa pada zaman dahulu ada orang atau kaum yang lebih
kuat dan lebih kaya, namun tidak Kami sukai karena mereka kufur, tidak
mau mensyukuri nikmat-Ku, kemudian Kami hancurkan mereka dengan
azab di dunia.
Orang-orang yang melakukan perbuatan dosa itu tidak akan ditanya
tentang dosa-dosa mereka. Artinya, jika mengazab mereka, Allah tidak
perlu menanyakan sebesar apa dosa yang telah mereka lakukan, karena
188 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Allah itu Zat yang Maha Tahu.


Jadi, yang dimaksud dengan pertanyaan Allah, pada surah di atas,
adalah untuk mempermaklumkan dan memberitahukan kepada makhluk-
Nya. Firman Allah Surah Al-Nûr (24) ayat 53,
...Katakanlah (Muhammad), “Janganlah kamu bersumpah, (karena yang
diminta) adalah ketaatan yang baik. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap
apa yang kamu kerjakan.”
Firman Allah Surah Al-Baqarah (2) ayat 283,
...Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Yang kedua adalah untuk isti’tâb (memohon izin), seperti yang
diterangkan dalam Surah Al-Nahl (16) ayat 84,
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan seorang saksi (rasul)
dari setiap umat, kemudian tidak diizinkan kepada orang yang ka r (untuk
membela diri) dan tidak (pula) dibolehkan memohon ampunan.
Surah Al-Mursalât (77) ayat 35-36 menegaskan,
(35) Inilah hari, saat mereka tidak dapat berbicara; (36) Dan tidak diizinkan
kepada mereka mengemukakan alasan agar mereka dimaafkan.
Ayat yang senada terdapat pada Surah Al-Rahmân (55) ayat 39,
Maka pada hari itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya.
Pertanyaan itu mungkin juga berarti celaan dan hinaan, seperti yang
terdapat pada Surah Al-Hijr (15) ayat 92-93,
(92) Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua; (93)
Tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.

Hikmah dan Pesan


Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat dipetik hikmah dan pesan
sebagai berikut:
(1) Kejahatan itu adalah biang keburukan, sedangkan kezaliman itu
adalah biang kehancuran suatu daerah.
(2) Harta yang melimpah itu cobaan dan dapat mengakibatkan
kesombongan dan kerusakan.
Surah Al-Qashash (28): 76-78 189

(3) Orang bodoh yang sama sekali tidak berilmu atau ilmunya kurang
itu mudah tertipu oleh masalah harta yang ia miliki. Akibatnya, dia
menjadi kufur nikmat. Allah akan mengazab orang-orang sombong
dan kufur nikmat.
(4) Asas kemajuan Islam itu terdiri atas empat hal: (a) amal saleh yang
dilakukan untuk mencari rida Allah di akhirat; (b) kemakmuran
dunia yang dapat dirasakan semua orang; (c) berbuat baik kepada
orang lain secara materi mapun non materi (akhlak baik); dan (d)
menghindari kerusakan, kemaksiatan, dan kehancuran.
(5) Orang beriman hendaknya memanfaatkan kekayaan atau kehidupan
dunia ini untuk kepentingan di akhirat. Dan kenikmatan akhirat
itu dapat diraih dengan keimanan, amal saleh, ketaatan, dan
peribadatan kepada Allah Swt, meninggalkan kemaksiatan dan
kerusakan yang mengakibatkan azab Allah di akhirat.
(6) Allah adalah hakikat sumber rezeki, sedangkan manusia hanyalah
sebagai lantaran menuju rezeki Allah Swt.
(7) Adalah kebodohan kalau ada manusia yang menganggap bahwa
kesuksesan dan kekayaan itu diperoleh dengan hasil upaya sendiri,
tanpa campur tangan Allah Swt.
(8) Kekayaan itu adalah ujian dan istidraj dari Allah Swt, bukan lambang
keridaan-Nya.
(9) Kebodohan Qarun terletak pada anggapannya bahwa kekayaannya
itu didapat karena kecerdasan dan upaya kerasnya semata, sehingga
tertipu dengan harta kekayaan yang melimpah. Akhirnya sombong
dan tak mau bersyukur kepada Allah Swt.
(10) Ketika mengazab orang-orang jahat itu, Allah tidak menanyakan
sebesar apa dosa-dosa yang telah mereka lakukan, karena Allah
adalah Zat yang Maha Tahu atas segala sesuatu.

***
190 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Sebagian Bukti Kesombongan Qarun (QS Al-Qashash [28]: 79-82)

          

           

         

         

           

       

           

          


(79) Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan kemegahannya.
Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata, “Mudah-
mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan
kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan
yang besar”; (80) Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata,
“Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang
yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu
hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar”; (81) Maka Kami benamkan
dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya
satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak
termasuk orang-orang yang dapat membela diri; (82) Dan orang-orang
yang kemarin mengangan-angankan kedudukannya (Qarun) itu berkata,
“Aduhai, benarlah kiranya Allah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang
Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan membatasi (bagi siapa
yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya). Sekiranya Allah tidak
melimpahkan karunia-Nya pada kita, tentu Dia telah membenamkan kita
pula. Aduhai? benarlah kiranya tidak akan beruntung orang-orang yang
mengingkari (nikmat Allah).” (QS Al-Qashash [28]: 79-82)
Surah Al-Qashash (28): 79-82 191

Latar dan Konteks


Ini pasal lain dari kisah Qarun. Setelah menerangkan kesombongan
dan keangkuhannya di depan Bani Israil, Allah menjelaskan sebagian
dari keangkuhan dan kesombongannya. Dia tampil dengan kebesaran,
kekuatan, dan kemewahannya di depan orang banyak, sehingga membuat
hati orang-orang yang menyaksikannya menjadi minder dan iri.
Allah Swt kemudian mengazabnya dengan gempa bumi dan
likuefaksi. Dia berikut harta kekayaannya ditenggelamkan ke dalam bumi.
Orang-orang yang tadinya mengaguminya menjadi ternganga keheranan
ketika melihat diri dan hartanya ditelan bumi.
Orang-orang itu akhirnya menyadari bahwa kekayaan yang
melimpah itu tidak melambangkan kemuliaan seseorang di hadapan Allah
Swt. Sebaliknya, kemiskinan juga bukan berarti kehinaan di sisi Allah Swt.

Penjelasan Ayat
Ayat 79,

....      


Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan kemegahannya....
(QS Al-Qashash [28]: 79)
Pada suatu hari, Qarun tampil di depan kaumnya dengan pakaian
dan perhiasan yang mewah untuk menunjukkan keagungan dan
kemewahannya, baik berupa tunggangan atau pakaian, termasuk pakaian
yang menghiasi tunggangannya.
Imam Al-Razi (XXV, t.t.: 18) yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili,
menerangkan bahwa Al-Quran menerangkan keadaan Qarun hanya seperti
ini. Apa yang diuraikan para ahli tafsir, dalam tafsirnya, tentang Qarun itu
banyak yang tidak berdasar.
Ibnu Katsir (III, t.t.: 24) menerangkan, suatu hari Qarun tampil di
hadapan kaumnya dengan penuh keagungan dan kemewahan.
Ketika melihat penampilan Qarun, menurut Al-Maraghi (XX, t.t.: 98),
orang-orang terbagi menjadi dua kelompok: Pertama, orang-orang yang
silau terhadap kemewahan hidup di dunia berangan-angan untuk memiliki
kekayaan dan kemewahan seperti Qarun.
192 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Lanjutan ayat 79 menerangkan,

         ...

     


...Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata, “Mudah-
mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan
kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan
yang besar”. (QS Al-Qashash [28]: 79)
Setelah melihat kemewahan penampilan Qarun, orang-orang kecil
dan bodoh yang materialistik menjadi terkagum-kagum dan berandai-
andai, alangkah bahagianya kalau dirinya seperti Qarun yang kaya raya
dan hidup mewah. Qarun itu adalah orang yang sukses dalam meraih
kehidupan duniawi, demikian pujian mereka.
Ini merupakan tabiat yang dimiliki oleh setiap orang yang tujuan
hidupnya hanya kesuksesan duniawi. Firman Allah Surah Al-’Âdiyât (100)
ayat 8 menerangkan,
Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.
Angan-angan terhadap kemewahan duniawi, menurut Al-Maraghi (XX, t.t:
98-99) dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari dan pada setiap negara,
maupun kampung. Para remaja, laki-laki maupun perempuan, selalu berangan-
angan untuk berpakaian indah dan mewah, kendaraan yang mewah, tanah yang
luas dan subur, rumah tinggal yang besar dan mewah, dan lain sebagainya.
Sifat yang demikian, menurut Al-Maraghi, adalah wajar dan
manusiawi. Orang-orang beriman menginginkan hidup yang berkecukupan,
demikian pula orang-orang kafir. Bedanya, bagi orang-orang beriman
hidup yang berkecukupan akan dijadikan sarana ibadah dan mencari
kebahagiaan di akhirat, kalau orang-orang kafir hidup berkecukupan hanya
untuk kemewahan hidup duniawi, dan mereka berharap kekekalan hidup
mewah di dunia ini.
Wahbah Al-Zuhaili melanjutkan tafsirnya, di samping orang-orang
yang materialistik, cinta dunia yang berlebihan, ada kelompk kedua, yakni
orang arif-bijaksana dan berilmu yang memiliki pandangan lain setelah
melihat kemewahan Qarun tersebut.
Surah Al-Qashash (28): 79-82 193

Ayat 80 menerangkan,

          

     


Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, “Celakalah kamu!
Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh
orang-orang yang sabar”. (QS Al-Qashash [28]: 80)
Setelah mendengar dan mengetahui angan-angan orang-orang
bodoh itu, para ilmuwan yang arif-bijaksana memberi nasihat, ”Pahala
Allah yang dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya yang saleh di akhirat
lebih baik dan lebih banyak serta lebih mewah dibanding apa yang kalian
lihat.”
Dalam mendukung penafsirannya, Ibnu Katsir (III, t.t.: 24) mengutip
hadis sahih yang menerangkan bahwa “Allah telah menyiapkan untuk
hamba-hamba-Nya yang saleh kenikmatan yang belum pernah dilihat
mata, belum pernah didengar, dan belum pernah terbetik dalam pikiran
orang.”
Wahbah Al-Zuhaili menambahkan, kemewahan hidup di dalam
surga itu tidak dapat diperoleh, kecuali oleh orang-orang yang sabar
dalam ketaatan dan sabar dalam menghindari kemaksiatan. Mereka itu
kelak termasuk orang-orang yang senang dalam kehidupan di akhirat dan
mereka rida dengan takdir Allah, baik yang menyenangkan atau yang
menyedihkan.
Di samping itu, mereka termasuk orang yang tidak materialistik,
hanya mementingkan dunia dalam hidupnya.
Firman Allah Swt Surah Al-Sajdah (32) ayat 17 menerangkan,
Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk
mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati
sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.
Ayat 81,
....    
Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi....
(QS Al-Qashash [28]: 81)
194 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Ketika Qarun tampil di hadapan kaumnya dengan kemewahannya,


Kami timpakan gempa bumi dan likuefaksi yang menelan tempat tinggal
dan seluruh kekayaannya, sebagai balasan atas kesombongan dan
kekufurannya.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengutip hadis sahih yang
diriwayatkan Imam Al-Bukhari. Rasulullah Saw bersabda, “Ketika Qarun
pamer kekayaan dan kemewahannya, tiba-tiba terjadi gempa bumi dan
likuefaksi yang menelan tempat tinggal dan kekayaannya ke dalam bumi
sampai saat hari kiamat nanti.“
Ibnu Katsir kemudian menerangkan bahwa kehancuran Qarun itu
karena doa Nabi Musa as. Konon, Qarun tampil di depan kaumnya dengan
pakaian yang sangat mewah, dengan mengendarai keledai berwarna abu-
abu yang juga dihias dengan pakaian yang sangat bagus.
Dia lewat di belakang majelis Nabi Musa as sambil mengingatkan
mereka tentang hari kebahagiaan yang dianugerahkan Allah.
Setelah melihat penampilan Qarun, orang-orang menengokkan
wajahnya untuk melihat penampilannya.
Nabi Musa memanggilnya dan menegur, ”Apa yang kau lakukan ini?“
Qarun kemudian menjawab, ”Hai Musa, kelebihan dirimu
dibandingkan aku adalah kenabian, dan kelebihanku dibanding dirimu
adalah kekayaan dan kemewahan duniawi.”
Tiba-tiba bumi tempat tinggal Qarun itu rata dengan tanah.
Menurut Ibnu Abbas, bumi tempat tinggal Qarun dan kekayaannya
ambles sedalam tujuh lapis bumi.
Imam Qatadah menambahkan bahwa tempat tinggal dan kekayaan
Qarun itu amblas ke dalam tanah dan dia serta kekayaannya tetap
terpendam di dalam tanah sampai saat tiba hari kiamat (Ibnu Katsir, III:
25).
Lanjutan ayat 81 menerangkan,
           ...

 
...Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya
selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri.
(QS Al-Qashash [28]: 81)
Harta kekayaannya yang melimpah, pembantu-pembantu, dan
ternak-ternaknya tidak dapat menolong dirinya dari azab Allah yang
Surah Al-Qashash (28): 79-82 195

menghancurkan diri dan kekayaannya (Ibnu Katsir III, t.t.: 25).


Sejalan dengan Ibnu Katsir, Al-Zuhaili menerangkan bahwa ketika
terjadi gempa bumi dan likuefaksi, harta kekayaan dan pembantu-
pembantunya tidak ada yang dapat menyelamatkan Qarun dari azab
Allah. Tidak ada orang lain yang membantunya, dan dia pun tidak dapat
menolong dirinya sendiri dari azab Allah dan kehancuran.
Al-Zuhaili menambahkan, tidak ada riwayat dalam tafsir yang
menerangkan sebab terjadinya gempa bumi dan likuefaksi tersebut.
Menurut Imam Al-Razi, riwayat-riwayat yang menerangkan tentang
gempa bumi dan likuefaksi yang menimpa Qarun dan kekayaannya saling
bertentangan satu-sama lain. Oleh karena itu, yang lebih utama adalah
membuang riwayat-riwayat tersebut dan cukup berpedoman kepada
keterangan Al-Quran, serta menyerahkan rincian masalah Qarun itu
kepada Allah Swt.
Demikian pendapat Wahbah Al-Zuhaili yang dikutip dari Imam Al-
Razi.
Dari kisah ini dapat diambil ibrah atau pelajaran, bagaimana akibat
orang yang mendambakan kehidupan duniawi dan kemewahannya.
Ayat 82 menerangkan,

        

            

      


(82) Dan orang-orang yang kemarin mengangan-angankan kedudukannya
(Qarun) itu berkata, “Aduhai, benarlah kiranya Allah yang melapangkan
rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan
membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya).
Sekiranya Allah tidak melimpahkan karunia-Nya pada kita, tentu Dia telah
membenamkan kita pula. Aduhai? benarlah kiranya tidak akan beruntung
orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (QS Al-Qashash [28]: 82)

Orang-orang yang mengagumi Qarun dan menginginkan


kehidupannya seperti dia berkata, “Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah
melimpahkan rezeki kepada orang yang Dia kehendaki, lalu merenggutnya
pula sesuai dengan kehendak-Nya.” Harta itu tidak menunjukkan keridaan
Allah, karena Allah itu yang menganugerahkan dan merenggutnya dari
seseorang. Dia pula yang melapangkan dan menyempitkan rezeki
196 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

seseorang. Miliknya segala hikmah dan hujjah/alasan yang mantap.


Hadis marfû’ yang bersumber dari Ibnu Mas’ud menerangkan,
“Sesungguhnya Allah yang membagi akhlak-akhlak kepada kalian, seperti
Dia membagikan rezeki-rezeki-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Allah
menganugerahkan harta kepada orang yang menginginkan dan yang tidak
menginginkannya (harta) tetapi, Dia tidak akan menganugerahkan iman,
kecuali kepada orang yang menginginkannya.
Andaikan bukan karena kelemahlembutan dan kebaikan Allah
kepada kita, maka kita juga akan ikut tenggelam bersama Qarun dan
kekayaannya, karena kita menginginkan hidup seperti dirinya.
Ketahuilah, Allah tidak akan memberi keberuntungan dan
keselamatan kepada orang-orang kafir yang mendustakan rasul-rasul-
Nya, juga orang-orang yang mengingkari pahala dan azab-azab Allah di
akhirat, seperti Qarun itu.

Hikmah dan Pesan


Ayat-ayat dan tafsirnya di atas memberikan hikmah dan pesan
sebagai berikut;
(1) Kesombongan telah menguasai Qarun, dan dia pamerkan di hadapan
Bani Israil. Dia tampil di hadapan mereka dengan keagungan dan
kemewahan yang luar biasa
(2) Dalam menyikapi kesombongan dan kemewahan hidup Qarun,
orang-orang pada zaman itu terbagi menjadi dua. Ada yang
mengagumi kemudian menginginkan hidup seperti dia. Itulah
orang-orang yang materialistik. Ada juga yang tidak tergiur dengan
kemewahan tersebut. Mereka orang-orang yang mendapat cahaya
petunjuk ilahi. Mereka berpandangan bahwa dunia itu bersifat
sementara (fana), sedang kenikmatan akhirat bersifat abadi.
(3) Azab Allah terhadap Qarun di dunia ini berupa gempa bumi
dan likuefaksi yang menenggelamkan dirinya berikut seluruh
kekayaannya.
(4) Kisah Qarun itu mengandung pelajaran, khususnya bagi orang-orang
yang hidup pada zamannya sampai sekarang bahwa kekayaan yang
melimpah itu tidak menunjukkan keridaan Allah. Buktinya, Qarun
ditenggelamkan ke dalam bumi berikut kekayaannya.
(5) Kesombongan akan berakibat azab Allah, baik di dunia maupun di
akhirat, seperti Qarun yang menyombongkan kekayaannya.

***
Surah Al-Qashash (28): 83-84 197

Pelajaran dari Kisah Qarun (QS Al-Qashash [28]: 83-84)

            

            

         

(83) Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak
menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan
(yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa; (84) Barang siapa datang
dengan (membawa) kebaikan, maka dia akan mendapat (pahala) yang
lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barang siapa datang dengan
(membawa) kejahatan, maka orang-orang yang telah mengerjakan
kejahatan itu hanya diberi balasan (seimbang) dengan apa yang dahulu
mereka kerjakan. (QS Al-Qashash [28]: 83-84)

Latar dan Konteks


Setelah ahli ilmu mengatakan bahwa pahala Allah lebih baik, maka
Allah Swt menjelaskan tentang tempat pahala tersebut, yakni di akhirat.
Yang berhak mendapat kenikmatan akhirat yang berupa surga itu adalah
orang-orang beriman yang bertakwa, tunduk terhadap Allah dan rasul-
Nya, tidak sombong terhadap orang lain, dan tidak membuat kerusakan di
bumi dengan menzalimi orang lain dan memakan hak-haknya.
Allah menerangkan kadar pahala yang akan diperoleh orang-orang
beriman itu: amal baik akan mendapat balasan pahala sepuluh kali lipat
sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih dari itu. Itu merupakan anugerah
Allah dan rahmat-Nya.
Sedangkan balasan keburukan setimpal atau sesuai dengan kadar
keburukan itu. Ini didasarkan kelemah-lembutan dan keadilan Allah Swt.
Ini semua merupakan pelajaran yang dapat diambil dari kisah Qarun yang
sombong dan zalim.
198 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Penjelasan Ayat
Ayat 83,

            

  


Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan
diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu
bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Qashash [28]: 83)
Allah Swt memberitahukan bahwa negeri akhirat yang kenikmatannya
langgeng, tak berubah dan tak akan habis, diperuntukkan bagi hamba-
hamba-Nya yang Mukmin dan patuh, serta tidak merasa lebih tinggi
dibanding dengan yang lain, sehingga bersikap sombong dan zalim kepada
mereka.
Menurut Ikrimah, kata al-'uluw identik dengan al-ttajabbur yang
berarti sombong, sedangkan menurut Sa’id Ibnu Jabir, kata al-'uluw identik
dengan al-baghyu yang berarti zalim.
Berbeda dengan Sufyan Al-Tsauri yang berpendapat bahwa al-'uluw
fî al-ardhi yang berarti takabur, dan kata al-fasâd berarti merampas harta
orang lain secara melanggar hukum.
Imam Ibnu Jarir berpendapat bahwa kata lâ yurîdûna 'uluwwan
fî al-ardhi berarti tidak sombong di bumi ini, sedangkan kata fasâdan
mengandung arti berbuat maksiat (Ibnu Katsir, III, t.t.: 26).
Sejalan dengan penafsiran Ibnu Katsir, Wahbah Al-Zuhaili
menerangkan bahwa kehidupan di akhirat dengan kenikmatannya yang
abadi, tanpa ada rasa susah dan menderita, disediakan untuk hamba-
hamba-Nya yang beriman dan tawaduk serta tidak menyombongkan diri
terhadap orang dalam kehidupan di dunia ini. Mereka juga tidak melakukan
kerusakan dengan cara mengambil hak orang lain secara tidak benar
(melanggar hukum)
Janji Allah yang berupa kenikmatan itu tidak dikaitkan dengan
meninggalkan kesombongan dan membuat kerusakan, tetapi dikaitkan
dengan kecenderungan hati melakukan keduanya, kesombongan dan
kerusakan.
Kata tilka pada ayat di atas digunakan untuk pengagungan terhadap
surga dan kenikmatannya. Artinya, itulah apa yang engkau sebut surga itu,
dan yang sifatnya telah sampai ke akal dan pengetahuanmu.
Surah Al-Qashash (28): 83-84 199

Ali Ibnu Abu Thalib ra berkata, “Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu


Jarir Al-Thabari bahwa seseorang dikagumi orang karena sandalnya yang
mencorong. Dia memang menginginkan memakai sandal yang terbagus
dibanding orang lain. Apakah dia termasuk orang yang disebut dalam ayat
ini?
Ibnu Katsir menjawab, ini termasuk orang yang ingin melebihi orang
lain. Perbuatan itu tercela.
Hal ini ditegaskan dalam hadis sahih. Nabi Saw bersabda, “Telah
diwahyukan kepadaku agar tawaduk (rendah hati), sehingga tidak ada
seseorang menyombongkan diri terhadap orang lain, dan jangan berbuat
zalim terhadap orang lain.“
Adapun orang yang niatnya hanya memperindah dan mempercantik
diri, hal itu tidak dilarang. Hal ini didasarkan kepada hadis riwayat Imam
Muslim dan Abu Daud. Nabi Saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang
yang dalam hatinya ada setitik kesombongan.”
Seorang laki-laki berkata, “Ada seseorang yang menyukai pakaian
dan sandal yang bagus.”
Rasulullah Saw bersabda, “Allah itu indah dan menyukai keindahan.
Yang dimaksud sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan
orang lain”.
Kata wa l-'âqibatu li l-muttaqîn mengandung arti akibat yang
terpuji, yakni surga bagi orang yang menjaga dan memelihara diri dari
azab Allah dan takut akan azab-Nya, dengan mengamalkan ketaatan dan
menjauhi yang diharamkan. Tidak seperti Firaun yang melampaui batas,
sombong, dan kufur kepada Allah, dan juga tidak seperti Qarun yang jahat
dan mendustakan Rasul (Musa), zalim, dan membuat kerusakan di bumi
dengan merampas hak-hak orang lain dan memonopoli kekayaan.
Allah Swt menjelaskan pahala amal tersebut. Ayat 84 menerangkan,

            

      


Barang siapa datang dengan (membawa) kebaikan, maka dia akan
mendapat (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barang
siapa datang dengan (membawa) kejahatan, maka orang-orang yang telah
mengerjakan kejahatan itu hanya diberi balasan (seimbang) dengan apa
yang dahulu mereka kerjakan. (QS Al-Qashash [28]: 84)
200 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Barang siapa yang membawa kebajikan pada hari kiamat, baik


berupa zat maupun sifat, maka pahalanya lebih baik dan berlipat ganda
sebagai anugerah dari Allah dan kasih-sayang-Nya. Sebaliknya, orang yang
datang pada hari kiamat dengan membawa amal buruk, baik menurut
akal, adat kebiasaan atau syarak, maka dia akan mendapat balasan siksa
yang setimpal dengan keburukannya itu.
Balasan keburukan ini didasarkan kasih-sayang dan keadilan Allah
Swt.
Firman Allah Surah Al-Naml (27) ayat 90 menegaskan,
(90) Dan barang siapa membawa kejahatan, maka disungkurkanlah wajah
mereka ke dalam neraka. Kamu tidak diberi balasan, melainkan (setimpal)
dengan apa yang telah kamu kerjakan.

Hikmah dan Pesan


Uraian tafsir di atas memberikan hikmah dan pesan kehidupan
sebagai berikut:
(1) Surga dengan kenikmatannya dan hasil yang terpuji itu bagi orang-
orang beriman yang bertakwa, rendah hati, tidak sombong, dan tidak
membuat kerusakan di bumi dengan kemaksiatan, dan merampas
harta yang menjadi hak orang lain atau memonopoli ekonomi.
(2) Qarun adalah contoh buruk bagi umat Islam, dan tidak boleh ditiru.
Berbeda dengan Umar Ibnu Abdul-Aziz yang bisa dijadikan teladan
bagi mereka. Dalam hidupnya, dia berulang kali membaca ayat ini
sampai akhir hayatnya.
(3) Barang siapa membawa kebajikan, yang antara lain dengan membaca
lâ ilâha illâ l-llâhu akan berakibat baik bagi dirinya. Sebaliknya,
orang yang melakukan keburukan, seperti syirik umpamanya, dia
akan mendapat siksa yang setimpal dengan dosanya.
(4) Anugerah dan kasih-sayang Allah, antara lain, tidak membalas
keburukan, kecuali setimpal dengan keburukan tersebut, dan
membalas kebajikan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat,
bahkan bisa lebih banyak lagi. Allah akan melipatgandakan pahala
orang yang Dia kehendaki.
***
Surah Al-Qashash (28): 85-88 201

Kisah Nabi dan Sahabat-Sahabatnya dengan Kaumnya (QS Al-


Qashash [28]: 85-88)

            

             

           

             

               

          
(85) Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad)
untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Quran, benar-benar akan
mengembalikanmu ke tempat kembali. Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku
mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam
kesesatan yang nyata”; (86) Dan engkau (Muhammad) tidak pernah
mengharap agar Kitab (Al-Quran) itu diturunkan kepadamu, tetapi ia
(diturunkan) sebagai rahmat dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali
engkau menjadi penolong bagi orang-orang ka r; (87) Dan jangan sampai
mereka menghalang-halangi engkau (Muhammad) untuk (menyampaikan)
ayat-ayat Allah, setelah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah
(manusia) agar (beriman) kepada Tuhanmu, dan janganlah engkau
termasuk orang-orang musyrik; (88) Dan jangan (pula) engkau sembah
tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan
menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan. (QS
Al-Qashash [28]: 85-88)

Latar dan Konteks


Menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, dari Al-Dhahak, yang mengatakan,
ketika Rasulullah Saw keluar berhijrah dari Mekah dan sudah sampai
daerah Juhfah, beliau merindukan Mekah, lalu turunlah ayat 85 Surah Al-
Qashash ini.
202 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Menurut penjelasan Imam Maqatil, Nabi Saw keluar meninggalkan


Goa Tsur pada waktu perjalanan hijrah. Beliau melewati jalan yang tidak
biasa digunakan orang seperti biasanya karena takut dicari dan dikejar.
Setelah merasa aman, beliau kembali melewati jalan biasa, lalu istirahat di
Juhfah, tempat antara Mekah dan Madinah.
Ketika itu beliau melihat jalan yang menuju Mekah dan merasa rindu
untuk kembali ke Mekah, mengingat tempat kelahiran dirinya dan tumpah
darah ayahnya.
Malaikat Jibril kemudian turun dan berkata kepada beliau,
“Muhammad, engkau merindukan tumpah darahmu dan daerahmu?”
Rasulullah Saw menjawab, ”Iya.”
Jibril kemudian berkata lagi, ”Sesungguhnya Allah Swt berfirman
sebagaimana terdapat pada ayat 85 Surah Al-Qashash.“
Allah yang telah menurunkan Al-Quran pasti akan mengembalikan
dirimu ke daerah asalmu dengan membawa kemenangan terhadap musuh-
musuhmu di Mekah itu.
Imam Al-Razi berkomentar bahwa makna yang demikian itu lebih
mendekati kebenaran, karena kampung halaman rasul yang asli adalah
Mekah, lalu beliau tinggalkan, kemudian beliau kembali lagi, yakni ke
kampung halamannya di Mekah. Kalau kata ma’âd itu diartikan lain justru
meragukan.
Oleh karena diartikan Mekah lebih mendekati kebenaran (Al-Razi,
XXV, t.t.: 21) sebagaimana dikutip Al-Zuhaili.
Imam Al-Razi juga mengatakan bahwa Allah Swt telah menerangkan
kepada rasul-Nya tentang hari kiamat secara mendalam, kemudian
menerangkan apa yang berkaitan dengan keadaannya, lalu berfirman,
Sesungguhnya yang menurunkan Al-Quran kepadamu pasti akan
mengembalikanmu ke tempat asal.
Setelah menerangkan kisah Nabi Musa dan Firaun, lalu Qarun beserta
Bani Israil, Allah Swt kemudian menjelaskan kehancuran kedua orang
kafir dan jahat itu. Pada ayat ini, Dia menerangkan kisah Nabi Muhammad
Saw dengan para sahabat dan kaumnya.
Nabi bersama dengan para sahabatnya hijrah dari Mekah. Dan
kemudian kembali lagi ke Mekah dengan membawa kemenangan pada
waktu Fathu Mekkah. Melanjutkan dakwah kepada mereka agar bertauhid
kepada Allah, baik dalam keyakinan maupun peribadatan.
Surah Al-Qashash (28): 85-88 203

Penjelasan Ayat
Allah Swt memerintah rasul-Nya untuk menyampaikan risalah dan
membacakan Al-Quran kepada orang-orang, dan sekaligus memberitahukan
bahwa Allah akan mengembalikannya ke tempat asal (Mekah).
Ayat 85 menerangkan,

....         


Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad)
untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Quran, benar-benar akan
mengembalikanmu ke tempat kembali.... (QS Al-Qashash [28]: 85)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir (III, t.t.: 26) menerangkan
bahwa Allah Ta’ala memerintahkan rasul-Nya untuk menyampaikan
risalah dan membacakan Al-Quran kepada umat manusia. Allah juga
memberitahukan bahwa Dia akan mengembalikannya ke Ma’ad, yakni hari
kiamat dan akan diminta pertanggungjawabannya dalam mengemban
risalah Allah Swt.
Ini sejalan dengan firman Allah Surah Al-A’râf (7) ayat 6,
Maka pasti akan Kami tanyakan kepada umat yang telah mendapat seruan
(dari rasul-rasul) dan Kami akan tanyai (pula) para rasul.
Allah juga berfirman pada Surah Al-Mâ`idah (5) ayat 109, sebagai
berikut,
(Ingatlah), pada hari ketika Allah mengumpulkan para rasul, lalu Dia
bertanya (kepada mereka), “Apa jawaban (kaummu) terhadap (seruan)
mu?” Mereka (para rasul) menjawab, “Kami tidak tahu (tentang itu).
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.”
Firman Allah Surah Al-Zumar (39) ayat 69 menegaskan,
...Nabi-nabi dan saksi-saksi pun dihadirkan....
Menurut Ibnu Abbas, seperti diriwayatkan oleh Al-Bukhari, kata
larâdduka ilâ ma’âd berarti Allah akan mengembalikanmu ke Kota Mekah
setelah Engkau berhijrah dari sana (Ibnu Katsir, III, t.t.: 28).
Pendapat Ibnu Abbas ini sejalan dengan penafsiran Wahbah Al-Zuhaili
yang menerangkan bahwa sesungguhnya Allah Swt yang mewajibkanmu
mengamalkan Al-Quran dan mengajarkannya kepada umat manusia akan
mengembalikanmu ke daerah yang kau cintai. Engkau akan menguasai
204 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

kota itu atas pertolongan Allah setelah engkau meninggalkannya waktu


hijrah.
Fathu Makkah adalah kemenangan agung, karena di samping dapat
menguasai Masjidilharam, juga dapat menaklukkan orang-orang kafir
penyembah berhala dan menghancurkan berhala yang dipasang di sekitar
Kabah.
Ini adalah janji yang benar, sebagai mukjizat yang dianugerahkan
Allah kepada rasul-Nya, ketika di perjalanan hijrah menuju Madinah. Hati
rasul menjadi tenang dan tenteram setelah mendapat pemberitahuan itu.
Menurut para muhaqqiq (peneliti), ini adalah salah satu yang
menunjukkan kenabian beliau. Ini adalah berita gaib yang akhirnya
benar-benar menjadi kenyataan. Oleh karena itu, ini disebut mukjizat.
Setelah menjanjikan kepada rasul akan mengembalikannya ke
Kota Mekah, Allah memerintahkan agar rasul mengatakan kepada kaum
musyrikin Mekah yang pernah menuduhnya sebagai orang sesat.
Hal diungkapkan pada lanjutan ayat 85 sebagai berikut,

           ...
...Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku mengetahui orang yang membawa
petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-
Qashash [28]: 85)
Katakan hai rasul kepada orang-orang musyrik dari kaummu dan
para pengikut mereka yang menentang dan mendustakanmu. Allah itu
Maha Tahu dan Maha Melihat terhadap yang gaib maupun yang kasat
mata. Dia juga Maha Mengetahui siapa di antara kalian yang mendapat
petunjuk, dan siapa yang sesat. Dia pun Maha mengetahui tentang Al-
Quran, orang-orang yang berhak mendapat pahala pada hari kiamat.
Dia pula yang akan memuliakan Muhammad dan mengembalikannya
ke Mekah, kampung halaman yang dirindukannya.
Kalian nanti akan tahu siapa yang akan mendapat pertolongan Allah
di dunia dan akhirat. Allah Swt akan menolong orang-orang beriman dan
menghinakan orang-orang kafir.
Allah Swt kemudian mengingatkan nabi-Nya tentang kenikmatan
yang akan dianugerahkan kepada dirinya dan umatnya, yakni nikmat
kerasulan. Firman Allah Swt Surah Al-Qashash ayat 86 menerangkan,

....            
Surah Al-Qashash (28): 85-88 205

Dan engkau (Muhammad) tidak pernah mengharap agar Kitab (Al-Quran)


itu diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) sebagai rahmat dari
Tuhanmu.... (QS Al-Qashash [28]: 86)
Wahai nabi, engkau tidak mengira sebelumnya bahwa engkau akan
menerima wahyu kenabian yang berupa turunnya Al-Quran kepada dirimu.
Dengan Al-Quran, engkau dapat mengetahui berita-berita umat terdahulu,
mengetahui tata aturan kehidupan, dan syariat agama Islam yang akan
mengantarkan kalian menuju kebahagiaan hidup. Jadi, Allah menurunkan
Al-Quran kepadamu itu sebagai bentuk kasih-sayang kepadamu dan
umatmu, serta sebagai rahmat bagi seluruh hamba Allah Swt.
Berdasarkan hal itu, Allah memerintahkan lima hal:
Pertama, jangan bekerja sama dengan orang-orang kafir dalam
kondisi dan situasi apa pun. Tapi sebaliknya, tinggalkan mereka dan
berpisahlah dengan mereka, dan bersaudaralah dengan sesama Muslim,
niscaya Allah akan menolong dan memelihara/menjagamu.
Akhir ayat 86 menegaskan,

    ...


...sebab itu janganlah sekali-kali engkau menjadi penolong bagi orang-
orang ka r. (QS Al-Qashash [28]: 86)
Kedua, firman Allah ayat 87 menerangkan,

....          
Dan jangan sampai mereka menghalang-halangi engkau (Muhammad)
untuk (menyampaikan) ayat-ayat Allah setelah ayat-ayat itu diturunkan
kepadamu.... (QS Al-Qashash [28]: 87)
Jangan pedulikan orang-orang kafir itu, jangan terpengaruh dengan
tantangan mereka, dan jangan dengarkan ucapan-ucapan mereka, karena
mereka akan menghalangi dirimu dalam mengikuti ayat-ayat Allah yang
diturunkan kepadamu, dan kau diperintah untuk menyampaikannya
kepada umatmu.
Allah bersamamu, dan mendukung agamamu, dan akan memberi
kemenangan atas semua agama yang ada. Firman Allah Surah Al-Mâ`idah
(5) ayat 67 menegaskan.
206 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Wahai rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika


tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak
menyampaikan amanatNya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan)
manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
ka r. )
Ketiga, akhir ayat 87 menerangkan,

....    ...


... dan serulah (manusia) agar (beriman) kepada Tuhanmu.... (QS Al-
Qashash [28]: 87)
Ajaklah mereka untuk beribadah kepada Tuhanmu yang Maha Esa,
dan larangan mereka agar tidak menyekutukan-Nya. Ajarkan agamamu
kepada mereka, dan permaklumkan kepada orang banyak risalah
agamamu, tak usah ragu-ragu dan menunda-nunda.
Ini perintah dakwah secara terang-terangan di hadapan kaum kafirin
dan musyrikin, akan tetapi tetap dalam koridor yang penuh perdamaian
dan kelembutan.
Keempat, diterangkan pada akhir ayat 87, sebagai berikut,

    ...


....dan janganlah engkau termasuk orang-orang musyrik. (QS Al-Qashash
[28]: 87)
Jangan sekali-kali bekerja sama dengan orang-orang musyrik,
karena mereka akan menyekutukan Allah dengan benda-benda yang
dipertuhan. Jika bekerja sama dengan mereka, niscaya engkau termasuk
orang yang rusak dan hancur, karena orang yang rela dengan jalan yang
ditempuh oleh seseorang, berarti sama dengan mereka.
Kelima, diterangkan pada akhir Surah Al-Qashash ini, yakni ayat 88,
sebagai berikut,

                 

    


Surah Al-Qashash (28): 85-88 207

Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada
tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa,
kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya
kepada-Nya kamu dikembalikan. (QS Al-Qashash [28]: 88)
Diterangkan pada awal ayat 88, sebagai berikut,

....            
Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada
tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.... (QS Al-Qashash [28]: 88)
Jangan menyekutukan Allah dalam ibadah dan jangan pula
menyekutukannya dalam memohon pertolongan. Karena tidak ada yang
berhak diibadahi dan dimohon pertolongan, kecuali Dia. Tuhan yang berhak
disembah itu harus memiliki sifat agung, dan Maha Agung hanyalah Allah.
Oleh karena itu, Tuhan yang berhak disembah hanyalah Allah Swt.
Surah Al-Muzzammil (73) ayat 9 menegaskan,
(Dialah) Tuhan timur dan barat, tidak ada tuhan selain Dia, maka jadikanlah
Dia sebagai pelindung.
Lanjutan ayat 88 menerangkan sebagai berikut,

          ...
...Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi
wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan. (QS Al-
Qashash [28] : 88)
Potongan ayat ini menerangkan sifat-sifat ulûhiyyah Allah Swt,
sebagai berikut,
1. Kullu syaîn hâlikun illâ wajhah. Setiap yang maujûd (sesuatu yang
ada) akan mengalami kematian atau kehancuran, kecuali Zat Allah
yang Suci, Dia adalah kekal, hidup, dan secara terus-menerus
mengurus hamba-Nya. Allah yang mematikan dan membinasakan
makhluk-makhluk-Nya, sedangkan Dirinya tidak akan pernah mati.
Firman Allah Surah Al-Rahmân (55) ayat 26-27 menerangkan,

(26) Semua yang ada di bumi itu akan binasa; (27) tetapi wajah
Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.
208 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Hadis sahih, yang bersumber dari Abu Hurairah, menerangkan.


Rasulullah Saw bersabda, “Kalimat yang paling benar seperti yang
dikatakan penyair yang bernama Labid, yang artinya, Ketahuilah,
segala sesuatu itu batil, kecuali Allah Swt.”
Semua zat akan binasa, kecuali Zat Allah yang Maha Suci. Dia adalah
Zat yang paling awal dan paling akhir. Keberadaannya mendahului
segala sesuatu dan keberadaannya tetap setelah kehancuran semua
makhluk.
2. Lahû l-Hukmu. Dia adalah Raja-diraja yang kekuasaannya absolut.
Hak mengelola, pemegang keputusan terhadap hamba-hamba-Nya.
Semua makhluk tidak ada yang lepas dari peradilan-Nya.
3. Wa ilaihi turja’ûn. Seluruh makhluk akan kembali kepada-Nya. Mereka
akan dikembalikan kepada Allah pada hari kiamat. Lalu Dia akan
memberi balasan amal mereka, amal baik maupun buruk.

Hikmah dan Pesan


Dari uraian tafsir ayat 85 sampai dengan ayat 88 memberikan
hikmah dan pesan sebagai berikut:
(1) Surah Al-Qashash ini ditutup dengan bisyârah (kabar gembira)
kepada Nabi Muhammad Saw. Setelah berhijrah ke Madinah,
beliau akan dikembalikan ke kampung halamannya, Kota Mekah,
dengan membawa kemenangan. Masjidilharam dikuasai, berhala-
berhala dihancurkan, era kemusyrikan diakhiri, dan bendera tauhid
dikibarkan (Lâ ilâha illâ l-llâh).
(2) Dengan demikian, ayat ini menerangkan tentang hijrah dan sekaligus
Fathu Makkah.
(3) Metode dakwah yang digunakan oleh ayat-ayat Al-Quran ada
kalanya dengan bahasa yang lembut dan halus, penuh bijaksana,
mengingatkan, dan mengajak berpikir tentang hakikat dakwah
Islam. Kadang-kadang menggunakan bahasa yang tegas. Inilah seni
dakwah kualitas tertinggi yang diajarkan Al-Quran.
(4) Tak seorang pun tahu, baik nabi itu sendiri maupun orang lain,
bahwa Allah Swt akan mengutus seorang rasul kepada seluruh
makhluk, yakni Rasulullah Saw. Allah Swt kemudian menurunkan
Al-Quran sebagai cahaya dan petunjuk, serta syariat yang menjadi
pedoman hidup. Syariat yang dibawakan Al-Quran bersifat abadi
Surah Al-Qashash (28): 85-88 209

dan sesuai dengan perkembangan zaman dan bagi setiap manusia


di mana pun mereka berada.
(5) Allah swt mengutus seorang rasul (Muhammad Saw) itu sebagai
salah satu bentuk kasih-sayang-Nya, dan diturunkannya Al-Quran
itu sebagai hukum yang adil dan pedoman hidup yang tetap up to
date.
(6) Allah mengajarkan kepada rasul-Nya lima hal yang tak bisa ditawar-
tawar:
(a) Jangan bekerja-sama dengan kaum musyrikin (kafirin) dalam
kondisi dan situasi apa pun.
(b) Terus berdakwah dan jangan takut dan terpengaruh tantangan
orang-orang kafir, yang selalu mendustakan dan menghalangi.
(c) Mendakwahkan tauhid dengan terang-terangan.
(d) Jangan pernah rela terhadap perilaku orang-orang musyrik,
karena meniru cara hidup mereka sama saja dengan mereka.
(e) Hanya beribadah kepada Allah, karena hanya Dia Tuhan yang
berhak diibadahi.
(7) Allah menyifati diri-Nya dengan empat sifat:
(a) Setiap yang maujud di alam ini pasti mengalami kematian atau
kehancuran, kecuali Dia.
(b) Dia adalah pemegang otoritas hukum di dunia dan akhirat
(c) Setiap makhluk akan kembali kepada-Nya.
(d) Setiap makhluk akan mempertanggungjawabkan amalnya, dan
Allah akan memberi balasan kepada mereka, baik amal saleh
maupun amal buruk.

***
210 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
Surah

29

Al-Ankabût

212 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
29

Al-Ankabût


Nama Surah
Dinamakan Surah Al-Ankabût, karena Allah Swt menyerupakan para
penyembah selain Allah dengan laba-laba yang membangun sarang yang
lemah dan rapuh. Hal ini terungkap pada ayat 41 dari surah ini sebagai
berikut,
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah
seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang
paling lemah ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui. (QS
Al-Ankabût [29]: ayat 41)
Surah ini berisi 69 ayat dan diturunkan setelah Surah Al-Rûm.
Menurut Al-Maraghi (XX, t.t.: 109), Al-Ankabût termasuk Surah Makkiyyah,
kecuali ayat pertama sampai ayat 11 termasuk ayat-ayat Madaniyyah.

213
214 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Tapi, menurut Sayyid Quthub (VII, t.t.: 384), Surah Al-Ankabût


termasuk Surah Makkiyyah. Semua ayatnya termasuk ayat-ayat makkiyyah.
Argumen yang dimajukan bahwa kalau dilihat dari asbâbu l-nuzûl, surah
ini berkaitan dengan keislaman Sa’ad Ibnu Abu Waqash, dan sejarah
mengakui bahwa Sa’ad masuk Islam pada periode Mekah.
Adapun masalah jihad yang oleh kebanyakan ulama sebagai ciri ayat
Madaniyyah, menurut Sayyid Quthub, hanya berkaitan dengan jihad nafs.
Jihad, ketika menghadapi cobaan hidup dan sabar dalam menghadapi
cobaan, itu termasuk jihad nafs. Sedangkan masalah kemunafikan
diungkapkan hanya sebagai gambaran kondisi yang berfungsi sebagai
contoh bagi umat manusia.
Ini sejalan dengan tema pokok yang menjadi bahasan surah itu
sendiri.

Tema Pokok Surah


Tema pokok yang diterangkan dalam surah ini, seperti Surah-surah
Makkiyyah lainnya, adalah pokok-pokok akidah Islam: keesaan Allah,
risalah/kerasulan, hari kebangkitan dari alam kubur, dan balasan amal.
Surah ini juga menanamkan dan mengokohkan keimanan ke dalam hati
Mukmin, sehingga tidak goyah dalam segala situasi dan kondisi, terutama
ketika menghadapi cobaan dan ujian kehidupan.
Berkaitan dengan itu, surah ini memulai pembahasannya dengan
cobaan terhadap manusia dan diakhiri dengan pembahasan tentang
hidayah yang menuntun para mujahid ke jalan dan pertolongan Allah Swt.
Sejalan dengan itu, Sayyid Quthub (VIII, t.t.: 385) menerangkan
bahwa pokok-pokok kajian dalam ayat ini dapat diringkas menjadi tiga:
(1) Kajian tentang keimanan beserta ujian keimanan, dan kecenderungan
orang-orang beriman, orang-orang munafik, dan orang-orang kafir.
(2) Kajian tentang kisah-kisah para nabi terdahulu dan umatnya, yang
menggambarkan bagaimana mendakwahkan agama Allah dan
tantangannya.
(3) Larangan berdebat dengan Ahlul Kitab, kecuali dengan cara yang
baik.

Latar dan Konteks


Ada keterkaitan yang sangat erat dan serasi (konteks) antara Surah
Al-Ankabût dengan surah sebelumnya (Al-Qashash). Al-Maraghi (XX, t.t.:
Surah Al-Ankabût (29) 1 215

109) menerangkan munâsabah antara dua surah itu sebagai berikut:


(1) Pada Surah Al-Qashash, diterangkan kesombongan Firaun dan
kekuasaannya yang otoriter serta fanatik, sehingga terbentuklah
kelompok yang eksklusif dan fanatis. Surah Al-Ankabût dimulai
dengan orang-orang Mukmin yang difitnah oleh kaum musyrikin.
Mereka menyiksa kaum Mukminin karena keimanan mereka. Firaun
pun menyiksa Bani Israil walaupun dengan alasan yang berbeda.
Ini sekaligus sebagai pelipur hati kaum Muslimin dan memotivasi
mereka agar tetap sabar menghadapi siksaan kaum musyrikin,
seperti halnya Bani Israil ketika menghadapi siksaan dan penindasan
Firaun.
Al-Zuhaili menerangkan secara umum bahwa kedua surah itu
menggambarkan peristiwa pergumulan antara yang hak dan yang
batil, antara yang kuat dan yang lemah, antara yang sabar dan
pemarah. Dan akibat yang dituai atau dipetik melalui keimanan serta
kesabaran. Dan sebaliknya, akibat buruk disebabkan kekufuran dan
kesombongan.
(2) Al-Qashash mengisahkan lolosnya Musa dari penangkapan Firaun
dan tentaranya, sehingga akhirnya bisa kembali ke Mesir sebagai
nabi dan rasul. Surah Al-Qashash juga menerangkan keselamatan
Nabi Musa setelah Firaun dan kaumnya ditenggelamkan di Laut
Merah. Itulah pertolongan Allah terhadap pengemban risalah-
Nya. Pada Surah Al-Ankabût, juga diterangkan tentang Nabi Nuh
dan pengikutnya yang diselamatkan Allah Swt dengan perahu dari
terjangan banjir bandang yang meneggelamkan seluruh musuhnya.
(3) Pada Surah Al-Qashash, terdapat peringatan keras dan celaan
terhadap para penyembah berhala. Mereka kelak pada hari kiamat
akan dibenamkan ke dalam neraka yang paling dasar. Sedangkan
pada Surah Al-Ankabût ini diterangkan pula celaan terhadap
penyembah berhala. Orang yang menyembah berhala itu bagaikan
laba-laba yang membangun sarang yang lemah dan rapuh.
(4) Pada Surah Al-Qashash diceritakan kisah Qarun dan Firaun. Pada
Surah Al-Ankabût ini pun diceritakan kisah keduanya, serta akibat
azab dunia yang menimpanya.
(5) Pembahasan pada Surah Al-Qashash diakhiri dengan hijrah Nabi
Saw, sedangkan pada Surah Al-Ankabût ini diterangkan tentang
hijrah kaum Muslimin.
216 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Al-Zuhaili menambahkan. Kedua surah (Al-Qashash dan Al-Ankabût)


sama-sama menerangkan buah dari keimanan dan akibat dari
kekufuran dan kemusyrikan. Pada Surah Al-Qashash diterangkan
hasil baik dan terpuji yang diperoleh orang-orang bertakwa dan
tunduk patuh kepada Allah dan rasul-Nya.
Ayat 83 Surah itu menerangkan :
Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan
diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu
bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Qashash [28]: 83)
Pada Surah Al-Ankabût ini diterangkan hasil baik yang diterima
oleh orang-orang beriman yang beramal saleh. Ayat 58 Surah Al-Ankabût
menerangkan,
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh,
mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam
surga), yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan.
(QS Al-Ankabût [29]: 58)
Pada akhir Surah Al-Qashash, tepatnya pada ayat 88, Allah
berfirman, ...Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan
menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan. (QS
Al-Qashash [28]: 88)
Pada awal Surah Al-Ankabût diterangkan bahwa tidak ada gunaya
kesadaran untuk menjalankan ajaran agama Allah setelah terjadi kematian
dan masuk alam akhirat. Taklîf atau kesadaran melaksanakan ajaran
agama hanya berguna ketika di dunia, sebagai salah satu bentuk rasa
syukur kepada Allah yang mengantarkan menuju kebahagiaan hidup di
akhirat. Sedangkan bagi orang-orang kafir di akhirat akan mendapatkan
azab.

Substansi
Substansi Surah Al-Ankabût sebagai berikut,
(1) Pemberitahuan kepada orang-orang beriman bahwa mereka akan
mendapat cobaan iman yang berat di dunia ini. Surah ini juga
menerangkan manfaat jihad dengan jiwa. Diterangkan juga di dalam
surah ini tentang sejauhmana manfaat kekuatan dan kekokohan
iman pada waktu menghadapi cobaan yang berat.
Surah Al-Ankabût (29) 1 217

Orang-orang beriman adalah pejuang yang tangguh dan pantang


menyerah dalam menghadapi cobaan besar dan dahsyat. Mereka
bagaikan gunung batu yang kokoh dan menjulang tinggi, tidak
goyah diterpa apa pun. Demikian pula, iman mereka tidak akan
goyah walaupun dihempas badai penderitaan dan cobaan.
Hal ini berbeda dengan keimanan yang rapuh dan lemah yang
dimiliki orang-orang munafik. Iman mereka timbul-tenggelam,
terutama kalau menghadapi ujian keimanan. Ini diterangkan pada
ayat 10 sebagai berikut,
Dan di antara manusia ada sebagian yang berkata, “Kami beriman
kepada, Allah,” tetapi apabila dia disakiti (karena dia beriman)
kepada Allah, dia menganggap cobaan manusia itu sebagai siksaan
Allah. Dan jika datang pertolongan dari Tuhanmu, niscaya mereka
akan berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu.” Bukankah Allah
lebih mengetahui apa yang ada di dalam dada semua manusia?. (QS
Al-Ankabût [29]: 10)
(2) Surah ini menerangkan cobaan para nabi yang lebih berat
dibandingkan cobaan orang-orang beriman. Allah Swt menceritakan
kepada Rasulullah Saw dan kaum Mukminin, kisah Nabi Nuh, Nabi
Ibrahim, Nabi Luth, Nabi Syu’aib, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Musa,
dan Nabi Harun. Maksudnya, agar mereka mengetahui bahwa Allah
telah menolong mereka dan sekaligus menghancurkan kaum yang
menentang mereka.
Ayat 40 surah ini menerangkan,
Maka masing-masing (mereka itu) Kami azab karena dosa-dosanya,
di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan
batu kerikil, ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, ada
yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan ada pula yang Kami
tenggelamkan. Allah sama sekali tidak hendak menzalimi mereka,
akan tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri. (QS Al-
Ankabût (26): 40)
(3) Membantah dan mencela orang-orang musyrik dengan menerangkan
beberapa contoh sejarah umat manusia dengan nabinya. Kemudian
juga membantah dan menentang Ahlul-Kitab dengan baik, lemah
lembut, dan argumentatif.
(4) Mengukuhkan kenabian Muhammad Saw dengan mukjizat Al-Quran
yang diturunkan kepadanya. Padahal, dia itu seorang nabi yang
218 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

ummi, tidak pandai membaca dan menulis. Di sisi lain, penolakan


keras kaum musyrikin yang meragukan kenabian Muhammad Saw.
dia mendapat tantangan dan penolakan keras dari kaum musyrikin.
Bahkan menentang atau menolak permintaan mereka, agar
Muhammad Saw menyegerakan azab kepada mereka jika benar-
benar akan ditimpakan kepada mereka.
(5) Izin diberikan kepada orang-orang beriman untuk berhijrah ke
Madinah, meninggalkan kampung halamannya, agar terhindar
dari fitnah dan ancaman orang-orang kafir. Orang-orang beriman
dianjurkan untuk tetap bersabar dan tidak usah takut mati, karena
kematian itu tetap akan datang kapan dan di mana pun orang
berada. Allah juga memberi kabar gembira tentang pahala yang
akan diperoleh orang-orang beriman yang beramal saleh, dan lebih
mementingkan akhirat daripada kesenangnan dunia.
(6) Pengakuan kaum musyrikin bahwa Allah Swt itu sebagai pencipta
langit dan bumi, yang memberi rezeki, penyelamatan dari bahaya.
Ini dibuktikan dengan kekuasaan Allah di alam semesta ini.
(7) Anugerah keamanan bagi penduduk Mekah yang berdomisili di
sekitar Masjidilharam, karena orang-orang yang berdomisili di luar
tanah haram dibuat takut berbuat jahat di sana. Tetapi kemudian,
penduduk Mekah itu kufur nikmat, bahkan menyekutukan Allah,
mendustakan rasul-Nya. Padahal itu merupakan puncak kezaliman
yang parah.
(8) Penjelasan tentang pahala yang dianugerahkan kepada orang-orang
beriman yang tetap sabar menghadapi penderitaan, kemudian
bangkit berjihad di jalan Allah dalam memerangi kebatilan, dan
melewati cobaan tersebut dengan keamanan, ketenteraman, dan
kedamaian.
***
Surah Al-Ankabût (29): 1-7 219

Cobaan dan Anugerah bagi Manusia (QS Al-Ankabût [29]: 1-7)

   

            

          

           

            

            

        

     


(1) Alîf Lâm Mîm; (2) Apakah manusia mengira bahwa mereka akan
dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka
tidak diuji?; (3) Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum
mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti
mengetahui orang-orang yang dusta; (4) Ataukah orang-orang yang
mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab)
Kami? Sangatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu!; (5) Barang siapa
mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang
dijanjikan) Allah pasti datang. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha
Mengetahui; (6) Dan barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya
itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari seluruh alam; (7) Dan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan, pasti akan Kami hapus kesalahan-kesalahannya
dan mereka pasti akan Kami beri balasan yang lebih baik dari apa yang
mereka kerjakan. (QS Al-Ankabût [29]: 1-7)

Latar dan Konteks


Diriwayatkan bahwa sebagian sahabat Nabi Saw disiksa oleh kaum
220 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

musyrikin, yang antara lain Ammar Ibnu Yasir. Ibnu Sa’ad meriwayatkan
dari Abdullah Ibnu Ubaid Ibnu Amir: Ayat 2 dari Surah Al-Ankabût ini
diturunkan berkenaan dengan kasus Ammar Ibnu Yasir yang disiksa orang
kafir karena keimanan dan keislamannya.
Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Mundzir meriwayatkan hadis
dari Al-Sya’bi. Ayat 1 dan 2 Surah Al-Ankabût ini diturunkan berkaitan
dengan sekelompok orang Mekah yang telah mengikrarkan dua kalimat
syahadat (masuk Islam). Beberapa sahabat rasul yang telah hijrah ke
Madinah menulis surat kepada mereka yang isinya bahwa keislaman
mereka belum dapat diterima sebelum mereka hijrah ke Madinah.
Setelah mendapat surat itu, mereka keluar dari Mekah dengan tujuan
berhijrah ke Madinah. Kepergian mereka diketahui dan diikuti orang-orang
musyrik, dan memaksa mereka kembali ke Mekah.
Berkaitan dengan itu, turunlah ayat-ayat di atas.
Para sahabat yang berada di Madinah mengirim surat lagi. Mereka
menceritakan, bahwa Allah telah menurunkan ayat yang berisi begini dan
begitu, berkaitan dengan kalian. Kaum Muslimin yang masih di Mekah itu
akhirnya berkata, “Kita harus berhijrah! Jika ada orang yang mengikuti,
akan kita perangi.“ Mereka betul-betul melaksanakan keinginannya, keluar
meninggalkan kota Mekah.
Orang-orang musyrik mengikuti mereka. Dan akhirnya terjadilah
pertempuran. Di antara orang yang hijrah itu, ada yang mati syahid dan
ada juga yang selamat. Turunlah ayat 110 Surah Al-Nahl (16) sebagai
berikut,
Kemudian Tuhanmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah
menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh,
Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Ibnu Abu Hatim juga meriwayatkan hadis dari Qatadah. Ayat 1 dan
2 Surah Al-Ankabût ini turun berkaitan dengan sekelompok orang Mekah
yang keluar meninggalkan kampung halamannya dengan tujuan menemui
Nabi Saw di Madinah (hijrah). Namun, orang-orang musyrik menghalang-
halangi mereka, sehingga mereka kembali lagi ke Mekah.
Beberapa hari kemudian, kawan-kawan mereka yang sudah hijrah
ke Madinah memberitahukan bahwa Allah menurunkan ayat Al-Quran
berkenaan dengan diri mereka. Mereka pun akhirnya kembali berangkat
ke Madinah.
Di tengah jalan dicegat orang-orang musyrik. Akhirnya terjadi
Surah Al-Ankabût (29): 1-7 221

peperangan. Di antara mereka ada yang terbunuh, dan ada yang selamat.
Imam Muqatil menerangkan. Ayat 1 dan 2 Surah Al-Ankabût ini
diturunkan berkenaan dengan seorang yang bernama Mihja,’ hamba
sahaya Umar Ibnu Al-Khaththab. Dia orang pertama yang syahid pada
Perang Badar, dibunuh oleh Amir Ibnu Al-Hadhrami dengan panah.
Ketika itu Nabi Saw bersabda, “Orang pertama yang syahid adalah
Mihja. Dia orang pertama yang akan dipanggil masuk surga di antara
umatku ini.” Kedua orang tuanya dan juga istrinya terkejut. Maka, turunlah
ayat ini.

Penjelasan Ayat

 
Alîf Lâm Mîm adalah ayat pertama Surah Al-Ankabût, terdiri atas
huruf-huruf muqaththa’ah (dibaca huruf demi huruf: Alîf Lâm Mîm) yang
berfungsi sebagai peringatan bagi para pendengarnya agar mereka
benar-benar memperhatikan apa yang disampaikan sesudahnya. Ini juga
mengisyaratkan kemukjizatan Al-Quran, bahwa Al-Quran itu benar-benar
firman Allah Swt.
Sayyid Quthub (VIII, t.t.: 386) pun berpendapat bahwa huruf
muqaththa’ah yang terdapat pada awal surah itu berfungsi sebagai tanbîh
(peringatan) bahwa yang akan diterangkan berikutnya masalah yang
sangat penting, terutama adalah Al-Quran yang kadang-kadang langsung
dibahas setelah huruf-huruf itu atau setelah diselingi ayat-ayat lain.
Al-Zuhaili, dalam masalah ini, mengutip pendapat Al-Razi dalam
tafsirnya (XXV, t.t.: 26 dan 27). Ia menerangkan bahwa setiap surah
yang diawali dengan huruf-huruf tahajji (cara membacanya dieja) pada
umumnya dilanjutkan dengan penyebutan Al-Kitâb, Al-Ttanzîl, atau al-
Qurân, seperti yang kita dapatkan pada awal surah:
1) Al-Baqarah (Alîf Lâm Mîm yang dilanjutkan dengan – Al-Kitâb),
2) Âli ’Imrân (Alîf Lâm Mîm dilanjutkan dengan ... Al-Kitâb),
3) Al-A’râf (Alîf Lâm Mîm Shâd dilanjutkan dengan Al-Kitâb),
4) Yâsîn (Yâ Sîn dilanjutkan dengan Al-Qur’ânu l-Hakîm),
5) Shâd (Shâd dilanjutkan dengan Al-Qur’ân),
6) Qâf (Qâf dilanjutkan dengan wa Al-Qur’ânu l-Majîd), dan
222 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

7) Surah-surah Hawâmim (yang didahului dengan hâ dan mîm, yakni


Surah Ghâfîr/Al-Mu'min, Fushshilat/Al-Sajdah, dan Al-Syurâ).
8) Pengecualiannya adalah Surah Maryam, Surah Al-Ankabût, dan Surah
Al-Rûm.
Peringatan di dalam Al-Quran itu ada kalanya tidak menggunakan
huruf tahajji (yang tidak dapat dipahami maknanya), seperti firman Allah
Surah Al-Hajj (22) ayat 1 yang berbunyi:
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan
(hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar.
Surah Al-Ahzâb (33) ayat 1,
Wahai nabi! Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menuruti
(keinginan) orang-orang ka r dan orang-orang muna k. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana,
Dan Surah Al-Tahrîm (66) ayat 1,
Wahai nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah
bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.
Huruf-huruf tahajji yang ditempatkan pada awal-awal Surah Al-
Quran itu tidak menunjukkan sebagai pembuka Al-Quran atau awal adanya
taklîf (kewajiban keagamaan), atau taklîf yang berat, karena semua taklîf
itu terasa berat oleh setiap orang. Tapi, maksud huruf-huruf tahajji yang
terdapat pada awal surah itu sebagai peringatan bahwa yang akan dibahas
pada ayat-ayat berikutnya sangat penting untuk diperhatikan.
Pada ayat 2 Allah Swt menyampaikan firman-Nya sebagai berikut,

          
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan
mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? (QS Al-Ankabût
[29]: 2)
Apakah orang-orang itu mengira bahwa setelah mereka diciptakan
akan dibiarkan begitu saja tanpa ujian? Benar, setelah mereka mengatakan
“Kami beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya“ itu akan diuji dengan
kewajiban-kewajiban keagamaan yang berat, seperti hijrah, jihad di
jalan Allah, hawa nafsu, kewajiban untuk taat, kewajiban ibadah mâliyah
Surah Al-Ankabût (29): 1-7 223

(harta) dan ibadah fisik, seperti salat dan zakat dan lainnya, musibah yang
menimpa jiwa, harta, dan buah-buahan, serta lainnya.
Semua ujian dan kewajiban keagamaan itu dimaksudkan untuk
membedakan dan memilah siapa di antara mereka yang Mukmin sejati dan
yang munafik, yang kuat agamanya dan yang masih ragu-ragu. Akhirnya,
Kami (Allah) akan memberi balasan kepada mereka sesuai dengan amal
masing-masing.
Huruf istifhâm (kata tanya) yang terdapat di depan kata hasiba itu
disebut istifhâm inkârî (suatu pertanyaan yang tak memerlukan jawaban
karena jawabannya sudah ada dan pasti). Artinya, Allah Swt pasti akan
menguji hamba-hamba-Nya yang beriman sesuai dengan kondisi dan
kualitas imannya.
Al-Maraghi (XX, t.t.: 110) menambahkan, pada akhir Surah Al-
Qashash, Allah memerintahkan rasul-Nya dan kaum Mukminin untuk
mendakwahkan agama Allah. Dalam dakwah itu terkandung tantangan,
seperti cercaan dan peperangan.
Nabi Saw dan sahabatnya diperintah berjihad jika orang-orang
musyrik tidak menyambut dakwahnya. Itu terasa berat oleh sebagian
orang beriman.
Berkaitan dengan hal itu, pada ayat ini, orang-orang beriman
diperingatkan bahwa cobaan merupakan salah satu sarana pembuktian
atas kekuatan iman seseorang.
Hadis sahih menerangkan, “Orang yang mendapat ujian paling berat
adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh, dan seterusnya ke bawah.
Setiap orang akan mendapat ujian sesuai dengan kondisi keagamaannya.
Jika keimanan dan agamanya kuat, maka ujian akan ditambah menjadi
lebih berat” (Ibnu Katsir, t.t.: 26).
Ayat yang senada terdapat pada Surah Âli ’Imrân (3) ayat 142
sebagai berikut,
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum
nyata orang-orang yang sabar.
Surah Al-Baqarah (2) ayat 214,
Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu
sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang
224 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(dengan berbagai cobaan), sehingga rasul dan orang-orang yang beriman


bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah,
Telah diterangkan di atas bahwa ayat ini diturunkan berkaitan
dengan sekelompok kaum Mukminin penduduk Mekah yang disiksa oleh
orang-orang kafir Quraisy dengan berbagai macam siksaan. Mereka itu
disiksa gara-gara masuk Islam, seperti Ammar Ibnu Yasir, Sumayyah
(ibunda Ammar), dan ayahandanya yang bernama Yasir. Selain keluarga
Ammar, ada sahabat lainnya yaitu Ayyas Ibnu Abu Rabi’ah, Al-Walid Ibnu
Al-Walid, dan Salamah Ibnu Hisyam.
Siksaan dan hambatan itu akan selalu ada di hadapan umat
Muhammad Saw selama Islam itu menjadi inti kebenaran, dan akidah Islam
yang benar tetap bertentangan dengan atheisme, kekufuran, sekularisme,
dan kemusyrikan di dunia nyata ini. Mereka juga tetap mendapat tantangan
berat selagi Al-Quran tetap menjadi pelindung eksistensi kaum Muslimin
dan tetap dibaca di setiap tempat.
Kejahatan tidak akan pernah berhenti untuk memadamkan api Islam,
membenamkan semangat keagamaan, dan membunuh penegak-penegak
keimanan kepada Allah Swt. Ibnu Athiyah berkata, ”Ayat ini, walaupun
diturunkan berkaitan dengan kasus tertentu, masih tetap akan berlaku
bagi umat Muhammad Saw dari generasi ke generasi. Ujian keimanan
dari Allah akan tetap berlaku bagi orang-orang beriman sesuai dengan
tingkatan dan kualitas keimanannya.”
Cobaan dan siksaan bukan masalah baru bagi kaum Muslimin. Itu
merupakan sunatullah yang sudah berlaku sejak zaman dahulu sampai
kelak pada zaman yang akan datang. Oleh karena itu, Allah Swt berfirman
sebagai bentuk penghibur hati dan pelipur lara bagi mereka.
Ayat 3 dari surah ini menegaskan pernyataan sebelumnya,

          

 
Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka
Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui
orang-orang yang dusta. (QS Al-Ankabût [29]: 3)
Benar, Kami (Allah) telah menguji kaum Mukminin dari generasi
yang lalu, termasuk nabi-nabi mereka, dengan cobaan yang berat. Hal ini
Surah Al-Ankabût (29): 1-7 225

juga diterangkan Surah Âli ’Imrân (3) ayat 146 sebagai berikut:
”Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka
sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi
lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu
dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang
yang sabar.“
Tujuan ujian itu agar Allah Swt mengetahui bukti secara nyata
dan jelas tentang siapa di antara orang-orang Mukmin itu yang benar
keimanannya dan siapa yang keimanannya palsu. Kemudian Allah akan
memberi balasan amal-amal mereka. Allah Swt Maha Mengetahui apa
yang telah mereka lakukan dan apa yang akan mereka lakukan.
Ini menurut kesepakatan Ahlusunnah waljama’ah, walaupun mereka
tidak mau membahas bagaimana cara Allah mengetahuinya. Berkaitan
dengan ini, Ibnu Abbas berpendapat bahwa kalau ada firman Allah illâ
lina’lama maka itu diartikan kecuali agar Kami dapat melihat, bukan Kami
mengetahui. Sebab, kata melihat itu berkaitan dengan benda yang nyata,
sedangkan kata mengetahui (dengan ilmu) itu mengandung arti yang lebih
umum, baik berkaitan dengan benda yang tidak terlihat maupun benda
yang dapat dilihat.
Dalam menyifati orang-orang beriman dalam ayat itu, Allah
menggunakan kata kerja shadaqû yang berarti bahwa di antara mereka
memiliki kejujuran. Sedangkan dalam menyifati orang-orang kafir, Allah
Swt menggunakan kata benda/isim fa’il al-kâdzibîn yang mengandung arti
tetap dan terus menerus sebagai pembohong.
Perbedaan penggunaan bentuk kata ini menunjukkan kelebihan Al-
Quran dalam gramatika dan fashahah-nya.
Dalam hadis sahih, dicontohkan bahwa orang-orang sering kali
mendapat siksaan, karena mereka menyatakan masuk Islam. Imam Al-
Bukhari, Abu Daud, dan Al-Nasa`i meriwayatkan dari Khabab Ibnu Al-Arat.
Ia mengatakan, “Kami mengadu kepada Rasulullah Saw tentang
kejahatan kaum Quraisy, ketika beliau sedang tiduran dengan berbantalkan
burdah, berlindung di bawah bayangan Kabah, “Rasul, kenapa engkau
tidak menolong kami atau mendoakan kami?”
Beliau bersabda, “Pada zaman dahulu, ada seorang laki-laki disiksa,
badannya dikubur ke tanah, lalu dari kepalanya hingga badannya dibelah
dua dengan gergaji. Kemudian daging dan tulangnya dipisahkan dengan
semacam sisir yang terbuat dari besi. Mereka diperlakukan seperti itu,
226 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

karena mempertahankan agamanya. Demi Allah, hal semacam itu terus


akan terjadi, sehingga musafir mulai berjalan dari San’a sampai ke
Hadramaut. Dia tidak takut, kecuali kepada Allah dan penggembala tidak
takut, kecuali kepada serigala. Akan tetapi kalian itu terburu-buru (tidak
sabar menanggung cobaan).”
Ibnu Majah meriwayatkan hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri yang
mengatakan, “Aku masuk menemui Nabi Saw pada saat beliau sedang
sakit. Kemudian aku tempelkan telapak tanganku ke selimut yang membalut
badannya. Aku merasakan panas tubuh beliau, lalu aku berkata, ”Hai
Rasulullah, panasmu sangat tinggi.” Beliau lalu bersabda, ”Bagiku ujian
itu dilipatgandakan, tapi pahala Allah pun dilipatgandakan pula.“ Aku pun
bertanya, ”Siapa orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab,
”Para nabi. “Aku meneruskan, ”Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab,
”Orang-orang saleh. Ada salah seorang dari mereka diuji dengan kefakiran,
sehingga hanya punya selembar kain yang melekat di badannya. Ada pula
salah seorang dari mereka bergembira dengan ujian tersebut, sebagaimana
bahagianya seseorang saat berada dalam kesenangan.”
Ringkasnya, kehidupan di dunia ini adalah medan jihad, perjuangan,
serta ujian. Lebih besar tanggung jawab seseorang, maka akan lebih besar
lagi untuk lapangan jihad dan cobaannya. Jika pemikul tanggung jawab itu
mengabaikan tanggung jawabnya, maka dia pun akan tersingkir secara
tidak terpuji. Tanggung jawab itu sebagai salah satu wujud kemuliaan.
Itu kepribadian terpuji yang membawa kesuksesan. Kebutuhan makan
dalam kehidupan itu tidak akan diperoleh secara cuma-cuma, tanpa usaha.
Kenikmatan dan kesuksesan hidup di dunia ini harus diusahakan oleh
manusia untuk menjadi bekal meraih tujuan hidup yang sebenarnya. Jika
kesuksesan itu tidak dapat diraih, maka kebosanan dan kebingungan yang
akan terjadi. Oleh karena itu, manusia patut memanjatkan puji kepada
Allah Swt yang telah memberikan tanggung jawab keagamaan/taklîf dan
ujian dalam kehidupan ini. Dengan taklîf dan cobaan/ujian, akan dapat
diketahui siapa orang yang berbuat/bekerja dan siapa yang berpangku
tangan, siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang bersikap tak peduli.
Al-Maraghi (XX, t.t.: 113) menambahkan, “Hai umat manusia,
kalian jangan mengira bahwa Kami menciptakan kalian itu dengan cuma-
cuma. Tapi sebaliknya, Kami menciptakan kalian itu untuk meningkat dan
berkembang ke derajat yang lebih tinggi. Hal itu tidak akan terwujud,
kecuali melalui taklîf (kewajiban melaksanakan ajaran agama Kami),
baik dengan mempelajari dan atau mengamalkannya. Kalian akan diuji
Surah Al-Ankabût (29): 1-7 227

dari waktu ke waktu dengan kesulitan dan musibah yang mengenai jiwa,
harta, dan buah-buahan. Kalian juga akan diuji dengan hawa nafsu, dan
kewajiban agama, seperti salat, zakat, saum, haji, dan lain sebagainya.
Hidup kalian itu penuh dengan ujian, mau tidak mau. Jika kalian sabar
dalam menghadapi ujian hidup ini, maka keberuntungan dan kesuksesan
yang kalian dapat, yakni pahala dan kebahagiaan hidup di akhirat yang
berupa surga yang penuh dengan kenikmatan. Itulah sunatullah yang
telah berlaku bagi umat-umat terdahulu dalam lintasan sejarah manusia,
dan berlaku pula bagi umat-umat generasi mendatang.”
Allah Swt memberi penegasan kepada orang-orang kafir sebagai
berikut:

           
Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa
mereka akan luput dari (azab) Kami? Sangatlah buruk apa yang mereka
tetapkan itu! (QS Al-Ankabût [29]: 4)
Apakah orang-orang kafir dan para pelaku maksiat itu bahkan
mengira bahwa mereka akan luput dari pengawasan Allah sehingga luput
pula dari balasan-Nya? Mereka sama sekali tidak akan luput dari azab Allah.
Alangkah buruk dugaan dan perkiraan mereka itu. Alangkah buruk pula
keputusan mereka untuk berbuat maksiat dan menentang perintah Allah
dan mengira akan lepas dari azab-Nya. Itu keputusan tanpa pertimbangan
secara matang dan sangat sesat, tidak rasional, dan bertentangan dengan
aturan syariat dan keadilan. Menurut Ibnu Abbas, orang-orang yang
memiliki sifat yang demikian itu, antara lain, Al-Walid Ibnu Al-Mughirah,
Abu Jahal, Al-Aswad, Al-Ash Ibnu Hisyam, Utbah, Al-Walid Ibnu Utbah,
Uqbah Ibnu Abu Mu’aid, Hanzhalah Ibnu Abu Sufyan, dan Al-Ash Ibnu
Wa`il.
Ibnu Katsir (III, t.t.: 26) juga menegaskan bahwa orang-orang kafir
itu pasti akan mendapat azab Allah di akhirat dan tidak ada seorang pun
yang dapat menolongnya.
Setelah menerangkan bahwa orang yang meninggalkan kewajiban
dan tanggung jawab keagamaan itu akan disiksa, maka Allah Swt kini
menerangkan bahwa orang yang beriman dan beramal untuk kehidupan
akhirat akan mendapat pahala amal salehnya itu.
Pada ayat 5 Allah Swt menerangkan lebih lanjut,
228 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

             

Barang siapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya


waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang. Dan Dia Yang Maha Mendengar,
Maha Mengetahui. (QS Al-Ankabût [29]: 5)
Barang siapa senang dan sangat menginginkan kebajikan dan
berharap akan mendapat pahala Allah di akhirat, dibarengi dengan amal
saleh, maka Allah akan memenuhi harapan dan cita-citanya. Dia akan
diberi pahala secara sempurna, tak kurang sedikit pun.
Datangnya hari kebangkitan dari alam kubur dan kehidupan kedua
di mahsyar itu pasti akan terjadi, tak bisa disangkal dan dibantah. Allah Swt
Maha Mendengar doa dan semua ucapan hamba-hamba-Nya. Tidak ada
yang terlewat sedikit pun. Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Melihat
secara detail seluruh alam semesta dan isinya. Allah Maha Mengetahui
akidah/keyakinan dan amal hamba-hamba-Nya dan akan memberi balasan
setiap amal mereka. Ini merupakan bukti dan wujud janji dan ancaman
Allah Swt. Selanjutnya, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk
segera mengerjakan amal saleh sebagai penunjang harapan dan cita-cita
mereka dalam memperoleh kebahagiaan di sisi-Nya.
Yang dimaksud ajal Allah, pada ayat ini, ada dua arti. Pertama
adalah kematian, sedangkan yang kedua adalah kehidupan kedua setelah
hari mahsyar.

….          


Barang siapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya
waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang…. (QS Al-Ankabût [29]: 5)
Merupakan keterpaduan antara harapan dan balasan. Orang yang
berharap akan bertemu dengan Allah, niscaya akan bertemu dengan diri
dan pahala-Nya. Ketaatan hamba itu akan diberi pahala dari sisi-Nya. Oleh
karena itu, tidak perlu diragukan bahwa orang yang tak berharap bertemu
dengan Allah, niscaya tidak akan berjumpa dengan-Nya dan pahala dari-
Nya.
Manfaat ketaatan beragama itu kembali kepada pelakunya, bukan
kepada Allah. Allah Swt berfirman, ketika kita membaca ayat 6 ini, seraya
menegaskan,
Surah Al-Ankabût (29): 1-7 229

           
Dan barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya
sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh
alam. (QS Al-Ankabût [29]: 6)
Barang siapa yang berjihad, maka pada hakikatnya manfaat
jihadnya itu kembali untuk dirinya sendiri. Ayat ini menurut Ibnu Katsir
(III, t.t.: 29 ) semakna dengan firman Allah Surah Fushshilat (41) ayat 46,
Barang siapa yang beramal salih, manfaatnya akan kembali kepada dirinya
sendiri. Barang siapa yang beramal saleh sesungguhnya manfaatnya hanya
akan kembali kepada dirinya sendiri. Sebab, Allah itu Maha Kaya, tidak
membutuhkan kebaikan dan kesalehan hamba-Nya. Walaupun seluruh
hamba-Nya itu saleh, maka itu tidak akan berpengaruh kepada Allah,
karena manfaat kesalehannya kembali kepada diri mereka.
Barang siapa berjihad untuk dirinya dan melawan hawa nafsunya,
yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya, maka buah jihad dan kesungguhannya itu akan
kembali kepada dirinya sendiri. Ini sesuai dengan firman Allah Surah
Fushshilat (41) ayat 46 yang artinya, ”Barang siapa yang mengerjakan
amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa
mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan
sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.”
Surah Al-Isrâ`(17) ayat 7 juga menerangkan,
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri.…
Adapun jenis pahala atau balasan yang akan diterima oleh orang-
orang yang taat, diterangkan pada ayat 7 sebagai berikut,

       

    


Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, pasti akan
Kami hapus kesalahan-kesalahannya dan mereka pasti akan Kami beri
balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al-Ankabût
[29]: 7)
Allah yang Maha Kaya akan memberi anugerah pahala terbaik
230 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Mereka menjalankan


kewajiban-kewajiban agama, melakukan kebajikan, peduli terhadap orang-
orang yang lemah, dan membantu orang-orang yang dizalimi.
Yang dimaksud balasan terbaik adalah Allah Swt mengampuni dosa-
dosa mereka yang disebabkan perbuatan buruk (dosa kecil), lalu memberi
pahala yang terbaik atas amal saleh yang mereka lakukan. Amal baik
walaupun kecil akan mendapat balasan berlipat ganda; satu amal saleh
ada kalanya diberi balasan sepuluh kali lipat atau lebih, tapi kalau amal
buruk akan mendapat balasan yang setimpal dengan perbuatan itu. Allah
Swt berfirman pada Surah Al-Nisâ` (4) ayat 40 yang artinya,
Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar zarah, dan
jika ada kebajikan (sekecil zarah), niscaya Allah akan melipatgandakannya
dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya.
Firman Allah Surah Al-An'âm ( 6) ayat 160 menegaskan,
Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat
amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan
kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi).
Hadis sahih yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Hurairah
menyatakan, “Hamba-hamba-Ku selalu melakukan ibadah-ibadah sunah
sampai Aku mencintainya. Jika seorang hamba telah menyatakan ‘Aku
beriman,’ maka akan menumbuhkan cinta Allah kepadanya. Namun hal itu
perlu bukti, dan yang menjadi bukti kebenaran iman adalah ketaatan dan
menjauhi larangan.”

Hikmah dan Pesan


Berdasarkan uraian tafsir di atas, dapat dipetik beberapa hikmah
dan pesan sebagai berikut:
(1) Dunia ini adalah tempat ujian. Orang yang telah berikrar bahwa
dirinya telah beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya Saw, maka
pasti akan mendapat ujian, baik ujian yang berupa musibah maupun
ujian ketaatan.
(2) Tujuan utama ibadah adalah mencapai cinta Ilahi (mahabbatu
l-llâh).
(3) Ujian-ujian Allah yang berupa ujian ketaatan atau musibah itu
berfungsi meningkatkan derajat orang yang sukses melaluinya.
Surah Al-Ankabût (29): 1-7 231

(4) Ujian itu merupakan sunatullah terhadap makhluk-Nya. Para nabi


terdahulu mendapat ujian dan cobaan Allah, antara lain: Nabi
Ibrahim dibakar dengan api, Nabi Yahya dibunuh.
(5) Tujuan ujian Allah bagi hamba-hamba-Nya itu untuk membuktikan
kebenaran iman orang-orang Mukmin dan menyingkap kebohongan
(iman) para pendusta agama, orang-orang kafir dan munafik.
(6) Orang-orang kafir itu tidak akan bisa lepas dari azab Allah Swt.
Jika mereka beranggapan akan lepas dari azab, maka itu hanyalah
angan-angan kosong. Sebaliknya, Allah akan memberi pahala yang
berlipat ganda kepada orang-orang beriman dan beramal saleh.
(7) Ketaatan beragama, jihad di jalan Allah, dan ketaatan-ketaatan
lainnya itu hasilnya akan kembali kepada pelakunya, bukan untuk
Allah Swt.
(8) Pahala amal saleh itu tidak ada bandingannya di dunia ini.
Sesungguhnya Allah Swt menutupi keburukan dengan ampunan,
dan melipatgandakan pahala kebajikan dan ketaatan. Tidak ada
sedikit pun amal saleh yang diabaikan Allah walaupun sebesar zarah/
sebesar atom atau biji sawi. Besar maupun kecilnya amal saleh itu
akan mendapat balasannya dari sisi Allah Swt.
(9) Ayat-ayat di atas, secara umum menerangkan hakikat hidup di
dunia ini. Dunia adalah tempat ujian. Orang yang mampu melalui
ujian dengan amal saleh akan mendapatkan pahalanya di sisi
Allah. Sebaliknya, orang yang gagal dalam ujian di dunia ini akan
mendapat siksa Allah. Allah adalah Zat yang Maha Adil terhadap
hamba-hamba-Nya.
(10) Ayat-ayat di atas juga disebut sebagai bisyârah dan indzâr. Allah
memberi kabar gembira bahwa Allah yang Maha Kaya itu akan
senantiasa memberi anugerah kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman dan beramal saleh. Allah juga mengingatkan, andaikan
seluruh hamba-Nya hancur dan rusak tidak akan mengurangi sedikit
pun kekayaan-Nya.
(11) Ayat yang berbunyi wa l-lladzîna âmanû wa ‘amilu l-shshâlihati
mengisyaratkan bahwa amal itu menggambarkan kondisi iman.
Iman itu berarti meyakini adanya Allah, para rasul, para malaikat,
kitab-kitab, hari akhir/akhirat, dan kada serta kadar. Sedangkan
yang dimaksud amal saleh di sini adalah setiap perbuatan yang
berlandaskan perintah Allah Swt.
232 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(12) Iman adalah fondasi amal saleh. Jika amal saleh tidak didasari iman,
maka amal itu tidak diterima di sisi Allah.
(13) Berkaitan dengan iman dan amal saleh, seorang ulama (Al-Razi)
berpendapat: (a) Orang Mukmin itu tidak kekal di neraka. (b) Yang
dimaksud pahala terbaik pada ayat itu adalah bertemu dan melihat
Allah di surga. (c) Iman itu akan dapat menutupi keburukan, bahkan
menghapuskannya (dosa-dosa kecil).

***

Perintah Berbakti kepada Orangtua dan Beramal Saleh (QS Al-


Ankabût [29]: 8-9)

           

            

      

(8) Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan


kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai
ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-
Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan; (9) Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan, mereka pasti akan Kami masukkan ke dalam (golongan) orang
yang saleh. (QS Al-Ankabût [29]: 8-9)

Latar dan Konteks


Pada ayat sebelumnya diterangkan bahwa amal saleh berfungsi
menutup/menghapus dosa-dosa kecil dan pahalanya berlipat ganda. Pada
ayat 8 surah ini diterangkan kewajiban berbakti kepada kedua orang tua.
Keduanya mempunyai hak untuk ditaati dan diperlakukan secara baik oleh
anak-anak mereka. Di antara bentuk birru l-wâlidaîn adalah memberikan
infak kepada ayah dan sayang kepada ibu, kecuali keduanya musyrik dan
menyuruh anaknya mengikuti kemusyrikan. Ini yang tidak boleh ditaati.
Surah Al-Ankabût (29): 8-9 233

Pada ayat 10, Allah menerangkan bahwa amal saleh itu dapat
menuntun pelakunya ke dalam kelompok para nabi dan wali. Allah Swt
akan menganugerahkan kepadanya kemuliaan dan derajat yang tinggi
seperti yang dianugerahkan kepada para nabi dan wali itu.
Imam Al-Tirmidzi, Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Al-Nasa`i dari
Sa’ad Ibnu Abu Waqash, meriwayatkan. Ummu Sa’ad bertanya kepada
Sa'ad, “Bukankah Allah telah memerintahkan berbuat baik dan taat kepada
orang tua? Demi Allah, aku tidak akan makan dan tidak akan minum
sampai aku mati kalau engkau tidak keluar dari agama Islam yang kamu
anut.”
Dengan latar belakang ini, ayat 8 Surah Al-Ankabût ini diturunkan.
Imam Al-Tirmidzi lebih lanjut menegaskan. Ayat 8 Surah Al-Ankabût
ini diturunkan berkaitan dengan sengketa Sa’ad Ibnu Abu Waqash yang
telah memeluk agama Islam, dan ibunya, Hamnah Binti Abu Sufyan, yang
masih kafir. Sa’ad itu termasuk salah seorang yang terdahulu masuk Islam
dan sangat berbakti kepada orang tuanya.
Setelah mengetahui bahwa putranya masuk Islam, Hamnah berkata,
”Kenapa engkau masuk agama Islam? Demi Allah, aku tidak akan makan
dan minum sampai engkau kembali kepada agamamu semula atau aku
mati kelaparan dan kehausan.”
Hal inilah yang membuat Sa’ad bingung dan merasa terhina, apalagi
jika dipanggil oleh orang-orang, ”Hai si pembunuh ibunya!“
Sumpah Hamnah itu dilaksanakan. Ia tidak makan dan tidak
minum serta tidak berteduh sehari-semalam, sehingga badannya lemah.
Kemudian ia teruskan, tidak makan, tidak minum, dan tidak berteduh
sehari semalam lagi.
Sa’ad datang menghampiri dan berkata, ”Hai ibuku, andaikan engkau
mempunyai seratus nyawa sekalipun, kemudian keluar satu persatu dari
ragamu, maka itu tidak akan menggoyahkan keyakinan agamaku. Silakan
makan jika ibu mau dan silakan pula tidak makan kalau ibu mau.”
Setelah merasa bahwa keimanan anaknya tidak akan goyah,
akhirnya Hamnah makan dan minum lagi.
Kemudian turunlah ayat 8 Surah Al-Ankabût ini yang memerintahkan
manusia berbuat baik dan taat kepada kedua orang tuanya selama tidak
memerintahkan kekufuran dan kemusyrikan.
Menurut Ibnu Abbas, ayat yang berbunyi wa in jâhadâka litusyrika
bî diturunkan berkenaan dengan Ayyasy Ibnu Abu Rabi’ah, saudara Abu
Jahal dari pihak ibu. Ibunya telah menyuruh dia kufur dan keluar dari
234 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

agama Islam.
Menurut Ibnu Abbas pula, ayat ini turun untuk seluruh umat, karena
tidak ada yang sabar dalam menghadapi cobaan Allah, kecuali orang
shiddiq (benar dan kuat keimanannya).

Penjelasan Ayat
Allah Swt berfirman di bawah ini,

           

           
Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua
orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka
janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu,
dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS Al-
Ankabût [29]: 8)
Ayat-ayat ini mencakup tiga tema utama. Pertama, memerintahkan
berpegang teguh pada tauhid walaupun bertentangan dengan keyakinan
kedua orang tua, namun tetap diperintah untuk berbakti dan berbuat baik
kepada keduanya. Kedua, pembagian kelompok mukallaf. Ketiga, beberapa
contoh fitnah terhadap agama yang dianut.
Allah Swt memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berbuat
baik dan berbakti kepada kedua orang tua, baik dengan ucapan maupun
perbuatan, karena keduanya sebagai lantaran keberadaan mereka. Hal ini
selaras dengan firman Allah Swt Surah Al-Isrâ` (17) ayat 23 sampai 24
yang artinya sebagai berikut:
(23) Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik; (24)
Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang
dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.”
Surah Al-Ankabût (29): 8-9 235

Perintah menyayangi dan berbuat baik kepada kedua orang tua ini
sebagai bentuk imbalan atas kebaikan mereka berdua kepada anaknya.
Berbuat baik kepada ayah dengan memberikan infak kepadanya, dan
berbuat baik kepada ibu dengan bentuk kasih-sayang kepadanya.
Jika kedua orang tua yang masih musyrik berkeinginan keras agar
anaknya yang sudah memeluk Islam itu kembali kepada kemusyrikan,
maka anak tidak boleh menurutinya.
Dalam hadis sahih, Imam Ahmad dan Al-Hakim dari Imran dan Al-
Hakam Ibnu Amr Al-Ghifari menegaskan, “Tidak ada ketaatan kepada
makhluk yang mengajak maksiat kepada Allah.” Kalau mengikuti yang tidak
jelas saja tidak boleh, apalagi mengikuti yang telah jelas kebatilannya.
Ini menegaskan bahwa mengikuti kekufuran itu tidak diperbolehkan
walaupun yang diikuti itu kedua orang tua sendiri. Sebab, tempat kembali
kalian dan seluruh umat manusia pada hari kiamat nanti adalah Allah Swt.
Semua orang Mukmin dan kafir, semua anak yang berbakti kepada orang
tua dan durhaka kepadanya kembali kepada Allah.
Masing-masing akan menerima balasan amalnya, baik balasan
kebajikan yang berupa pahala maupun balasan keburukan yang berupa
siksaan.
Oleh karena itu pada ayat 9 dijelaskan,

       


Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka pasti
akan Kami masukkan ke dalam (golongan) orang yang saleh. (QS Al-
Ankabût [29]: 9)
Orang-orang yang mantap keimanannya kepada Allah dan rasul-
Nya, lalu mengamalkan perintah Tuhan mereka dengan mengikhlaskan
niat dalam melaksanakan kewajiban Allah, akan Kami (Allah) kumpulkan
mereka ke dalam golongan orang-orang saleh, para nabi dan para wali.
Mereka tidak akan dikumpulkan dengan kedua orang tuanya yang musyrik,
walaupun dalam kehidupan di dunia mereka berkumpul dan saling
menyayangi.
Pada hari kiamat, orang akan dikumpulkan dengan orang yang
sama–sama mencintai agama Allah Swt.
Alasannya, pengulangan al-lladzîna âmanû wa 'amilu l-shshâlihât
sebagai penjelasan keadaan orang yang memberi petunjuk setelah pada
ayat sebelumnya diterangkan keadaan orang yang telah diberi petunjuk.
236 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Pada ayat 7 dikatakan bahwa kesalahan-kesalahan mereka akan


Kami hapuskan. Adapun pada ayat ini dikatakan bahwa Kami (Allah) akan
memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang saleh. Orang-orang
saleh itu adalah mereka yang telah mendapat petunjuk. Itulah martabat
para nabi.
Berkaitan dengan itu, mayoritas nabi berdoa, ”Masukkan aku ke
dalam golongan orang-orang saleh.”
Seperti halnya pada ayat sebelumnya dikatakan orang-orang sesat,
wa laya’lamanna l-kâdzibîn. Kemudian mereka diancam, ilaiyya marji’ukum
fa unabbi’ukum, artinya “Hanya kepada-Ku-lah tempat kembali kalian, lalu
Aku kabarkan kepada kalian.”
Jelasnya, ayat-ayat terdahulu sebagai penjelasan tentang orang-
orang yang mendapat petunjuk dan orang-orang yang sesat. Akan tetapi,
ayat yang akhir sebagai penjelasan tentang orang yang telah berpegang
kepada petunjuk dan orang yang berpegang kepada kesesatan.

Hikmah dan Pesan


Dua ayat di atas memberikan hikmah dan pesan sebagai berikut:
(1) Berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua, ayah dan ibu,
hukumnya wajib. Kalau mereka mengajak anaknya menuju kekufuran
dan kemaksiatan, maka anak tidak boleh taat kepada makhluk yang
mengajar maksiat kepada Allah. Ringkasnya, seseorang tidak boleh
taat kepada makhluk lain kalau mengajak maksiat kepada Allah Swt.
(2) Allah Swt adalah tempat kembali seluruh umat manusia, baik yang
Mukmin maupun yang kafir. Masing-masing akan mendapat balasan
amalnya, Mukmin akan mendapat balasan surga, sedangkan yang
kafir akan mendapat balasan yang berupa neraka.
(3) Mukmin yang beramal kebaikan akan masuk ke dalam tingkatan
orang-orang saleh, yakni para nabi dan wali, yang kelak akan
dimasukkan ke dalam surga.

***
Surah Al-Ankabût (29): 10-11 237

Kondisi Orang-Orang Munafik (QS Al-Ankabût [29]: 10-11)

            

            

          

  


(10) Dan di antara manusia ada sebagian yang berkata, “Kami beriman
kepada, Allah,” tetapi apabila dia disakiti (karena dia beriman) kepada
Allah, dia menganggap cobaan manusia itu sebagai siksaan Allah. Dan
jika datang pertolongan dari Tuhanmu, niscaya mereka akan berkata,
“Sesungguhnya kami bersama kamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui
apa yang ada di dalam dada semua manusia?; (11) Dan Allah pasti
mengetahui orang-orang yang beriman dan Dia pasti mengetahui orang-
orang yang muna k. (QS Al-Ankabût [29]: 10-11)

Latar dan Konteks


Manusia, menurut Al-Maraghi (XX, t.t.: 118), dapat dikelompokkan
menjadi tiga: Mukmin yang beramal saleh, kafir yang bergelimang dalam
kekufuran, dan munafik.
Dua kelompok yang pertama dan kedua telah dibahas, sedangkan
yang ketiga, yakni orang-orang munafik yang dibahas pada ayat 10 dan
11 surah ini.
Ayat 10, menurut Imam Mujahid, diturunkan berkenaan dengan
orang-orang munafik. Mereka mengaku beriman dengan ucapan-ucapan
lisan mereka. Namun, ketika mereka diuji oleh Allah dengan musibah,
maka mereka kembali kepada kekufuran.
Menurut riwayat lain, ayat ini diturunkan berkaitan dengan Ayyasy
Ibnu Abu Rabi’ah yang masuk Islam, kemudian setelah dipukuli oleh Abu
Jahal dan Al-Harits, dia menjadi murtad kembali.
Abu Jahal dan Al-Harits itu sebenarnya saudara dari pihak ibunya.
Ayyasy kemudian masuk Islam kembali setelah beberapa waktu, dan
menjadi Muslim yang taat.
Al-Dhahak menjelaskan bahwa ayat 10 ini diturunkan berkaitan
238 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

dengan orang-orang munafik Mekah yang mengaku beriman. Akan tetapi,


setelah mereka disiksa, mereka kembali ke dalam kemusyrikan.

Penjelasan Ayat
Allah Swt melanjutkan firman-Nya di bawah ini,

            

            

      


Dan di antara manusia ada sebagian yang berkata, “Kami beriman kepada,
Allah,” tetapi apabila dia disakiti (karena dia beriman) kepada Allah, dia
menganggap cobaan manusia itu sebagai siksaan Allah. Dan jika datang
pertolongan dari Tuhanmu, niscaya mereka akan berkata, “Sesungguhnya
kami bersama kamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada di
dalam dada semua manusia?. (QS Al-Ankabût [29]: 10)
Di antara umat manusia, ada yang mengatakan dengan lisannya,
”Kami beriman dan mengakui keesaan Allah Swt.” Akan tetapi, sebenarnya
di dalam hatinya itu tidak ada keimanan, iman tidak tertanam di dalam
hatinya. Sebagai buktinya, ketika mendapat ujian keimanan di dunia, yang
berupa siksaan dari orang-orang musyrik, mereka beranggapan bahwa
siksa dari manusia di dunia ini sama saja dengan siksa Allah di akhirat.
Oleh karena itu, mereka kemudian murtad dan kembali ke dalam
kekufuran. Mereka adalah orang-orang yang tidak kuat dan tidak mampu
menghadapi ujian keimanan, karena keimanan di dalam hatinya masih
kosong dan mungkin masih sangat lemah. Cobaan atau ujian yang
berupa penderitaan itu sangat mudah menggelincirkan mereka ke dalam
kekufuran.
Sebenarnya, azab dari manusia itu dapat dihindarkan, namun azab
Allah Swt sama sekali tidak dapat dihindari. Firman Allah Surah Al-Hajj (22)
ayat 11 menegaskan,
Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi; maka
jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu
cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah
kerugian yang nyata.
Surah Al-Ankabût (29): 10-11 239

Ayat ini membuktikan bahwa iman yang dimiliki orang-orang munafik


itu mudah luntur, karena iman belum melekat erat di dalam hatinya. Iman
hanya dinyatakan dengan lisan dan dengan tujuan untuk kepentingan
duniawi semata. Oleh karena itu, jika mendapatkan ujian hidup di dunia
ini, mereka segera ingkar kepada Allah.
Berbeda dengan Mukmin yang imannya mantap, walaupun
menghadapi berbagai macam cobaan dan penderitaan, imannya tak akan
goyah. Andaikan ia dipaksa untuk murtad, mungkin kemurtadannya itu
hanya terbatas pada bibir, sedangkan hatinya masih tetap mantap dalam
keimanan.
Al-Zujaj berkata, “Mukmin itu harus tetap sabar dalam menghadapi
siksa dan ujian keimanan.”
Imam Ahmad, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadis dari
Anas. Rasulullah Saw bersabda, ”Aku telah disiksa karena membela agama
Allah, dan tidak ada seorang pun yang disiksa seperti itu, dan itu tidak
berpengaruh apa pun. Aku ditakut-takuti (diancam) lantaran membela
agama Allah. Aku hanya takut kepada Allah Swt, dan tidak takut kepada
siapa pun. Kemudian datang ujian yang ketiga kepadaku dan Bilal, yaitu
berupa kekurangan pangan, tidak ada yang bisa dimakan.”
Allah Swt kemudian menerangkan sifat lain orang-orang munafik
tersebut. Akhir ayat 10 menerangkan, pertolongan Allah Swt akan
datang dalam waktu dekat kepada rasul-Nya, Muhammad Saw, sehingga
mendapat kemenangan dalam jihad di jalan Allah dan mendapatkan
rampasan perang yang banyak. Maka, orang-orang munafik itu berkata,
”Kami bersama kalian sebagai saudara seagama. Kami akan membantu
kalian dalam menghadapi musuh.”
Ini seperti firman Allah surah Al-Nisâ`(4) ayat 141 yang artinya :
(yaitu) orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi
pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka
berkata, “Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?” Dan jika
orang ka r mendapat bagian, mereka berkata, “Bukankah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?” Maka Allah
akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak
akan memberi jalan kepada orang ka r untuk mengalahkan orang-orang
beriman.
Allah Swt kemudian menolak ungkapan dan pengakuan mereka,
serta menegaskan bahwa apa yang mereka sembunyikan itu nampak
240 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

nyata bagi Allah Swt. Bukankah Allah Maha Mengetahui apa yang ada
di dalam dada semua manusia di alam ini? Allah Maha Mengetahui apa
yang ada di dalam dada mereka, apakah keimanan atau kemunafikan,
walaupun mereka menyatakan keimanan dengan lisannya. Tidak bisa
dibantah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, tidak ada yang
tersembunyi bagi-Nya. Dia Maha Mengetahui yang rahasia dan yang nyata.
Dia Maha Mengetahui Mukmin yang sejati dan yang palsu.
Pada ayat 11 Allah Swt melanjutkan firman-Nya berikut ini,

      


Dan Allah pasti mengetahui orang-orang yang beriman dan Dia pasti
mengetahui orang-orang yang muna k. (QS Al-Ankabût [29]: 11)
Allah akan menguji manusia dengan kesenangan dan kesusahan,
agar terbukti secara nyata siapa orang yang beriman dan siapa yang
munafik. Akan terbukti pula siapa orang yang senantiasa taat kepada Allah
dan siapa yang ingkar kepada Allah ketika menghadapi musibah.
Firman Allah surah Muhammad ( 47) ayat 31 menegaskan,
Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami
mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di
antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu.
Allah Swt juga berfirman setelah terjadi Perang Uhud yang menjadi
alat cobaan dan ujian. Surah Âli ’Imrân (3) ayat 179 menambahkan,
Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana
dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk
dari yang baik. Allah tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang
gaib, tetapi Allah memilih siapa yang Dia kehendaki di antara rasul-rasul-
Nya. Karena itu, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Jika kamu
beriman dan bertakwa, maka kamu akan mendapat pahala yang besar.
Jika dicermati makna ayat 11 ini, maka dapat dipahami bahwa yang
menjadi ukuran adalah keimanan dalam hati, bukan sekadar ucapan iman
di dalam lisan. Pembenaran dengan hati itu merupakan hakikat keimanan
yang benar dari seorang Mukmin. Orang munafik, walaupun menyatakan
bahwa Allah itu Esa, hatinya kosong dari keimanan.
Maka, ayat ini juga ingin membuktikan adanya perbedaan antara
orang beriman yang meyakini dan menyatakan bahwa Allah itu Maha Esa
Surah Al-Ankabût (29): 10-11 241

dan orang-orang kafir yang pendusta yang mengucapkan bahwa Allah itu
lebih dari satu.
Jadi, ayat ini juga menerangkan tentang orang yang benar
keimanannya dan orang yang bohong keimanannya.

Hikmah dan Pesan


Dua ayat ini mengandung hikmah dan pesan sebagai berikut:
(1) Kondisi kemunafikan yang sebenarnya akan terbukti dan terbongkar
ketika mereka mendapat ujian keimanan dari Allah, baik berupa
musibah atau siksaan dari orang lain atau musuh. Jika mereka
mendapat musibah maupun penderitaan, maka mereka akan
meninggalkan keimanannya dan kembali kepada kekufuran.
(2) Kaum munafik itu menganggap siksaan yang datang dari sesama
manusia itu seperti azab yang datang dari Allah Swt di akhirat nanti.
Ini adalah analogi yang sesat dan batil.
(3) Jika orang-orang beriman mendapat kemenangan dan rampasan
perang, maka orang-orang munafik itu meminta jatah dari rampasan
perang dengan mengaku-aku bahwa dirinya sama-sama Mukmin.
(4) Allah Swt membantah pengakuan mereka yang bohong itu dengan
menyatakan bahwa Dia Maha Mengetahui yang tampak maupun
yang dirahasiakan, yakni kebohongan orang munafik dan kosongnya
keimanan di dalam hatinya.

***
242 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Ujian Keimanan bagi Kaum Mukminin (QS Al-Ankabût [29]: 12-


13)

        

          

         

  


(12) Dan orang-orang yang ka r berkata kepada orang-orang yang
beriman, “Ikutilah jalan kami, dan kami akan memikul dosa-dosamu,”
padahal mereka sedikit pun tidak (sanggup) memikul dosa-dosa mereka
sendiri. Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta; (13) Dan mereka
benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka sendiri, dan dosa-dosa
yang lain bersama dosa mereka, dan pada hari Kiamat mereka pasti akan
ditanya tentang kebohongan yang selalu mereka ada-adakan. (QS Al-
Ankabût [29]: 12-13)

Latar dan Konteks


Ayat 12 dari Surah Al-Ankabût ini, menurut Imam Mujahid, diturunkan
berkenaan dengan orang-orang kafir Quraisy yang mengatakan kepada
orang-orang beriman, ”Kami dan kalian tidak perlu berjalan sendiri-sendiri,
berseberangan keyakinan dan jalan hidup. Ikutilah kami. Jika kalian
berdosa karena mengikuti kami, maka kamilah yang akan menanggung
dosa kalian.”
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang kafir itu mengajak secara
halus orang-orang beriman agar mengikuti ajaran mereka. Mereka akan
menanggung dosa-dosa orang Mukmin yang murtad dan kembali mengikuti
ajaran agama mereka (syirik).
Allah Swt menolak ucapan mereka yang bohong itu dengan
menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menanggung dosa
orang lain pada hari kiamat nanti. Allah juga menegaskan bahwa orang-
orang yang menyesatkan orang lain akan menanggung dosanya sendiri.
Orang yang disesatkan juga akan menanggung dosanya sendiri.
Surah Al-Ankabût (29): 12-13 243

Penjelasan ayat
Allah Swt berfirman sebagai berikut,

        

          

Dan orang-orang yang ka r berkata kepada orang-orang yang beriman,


“Ikutilah jalan kami, dan kami akan memikul dosa-dosamu,” padahal
mereka sedikit pun tidak (sanggup) memikul dosa-dosa mereka sendiri.
Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. (QS Al-Ankabût [29]: 12)
Orang-orang kafir Quraisy berkata kepada orang-orang beriman
dan mengikuti petunjuk agama Islam, “Kembalilah kalian kepada agama
semula dan ikutilah jalan hidup kami! Jika kalian merasa berdosa karena
kembali kepada agama kami, maka kamilah yang akan menanggung dosa
kalian.”
Ini seperti perkataan orang, “Lakukan ini atau itu! Kami yang
bertanggung jawab atas perbuatanmu.”
Ini ujian yang berupa ajakan secara halus kepada kaum Muslimin
agar meninggalkan agama yang dipeluknya. Kata Walnahmil merupakan
bentuk perintah seseorang kepada dirinya sendiri. Akan tetapi yang
dimaksud di sini adalah bentuk pemberitahuan tentang syarat dan imbalan.
Maksudnya, ikutilah kami dan kamilah yang menanggung dosa
kalian. Ini seperti perkataan seseorang, Hendaklah engkau memberikan
sesuatu kepadaku, dan aku akan mendoakanmu.
Hakikatnya, itu bukan suatu permintaan. Oleh karena itu, Allah Swt
kemudian membantah ucapan kebohongan mereka. Mereka itu sama
sekali tidak akan bisa menanggung dosa orang lain. Apa yang mereka
ucapkan itu bohong belaka. Mereka tidak akan bisa menanggung dosa atau
akibat perbuatan orang lain. Setiap orang akan mempertanggungjawabkan
perbuatan sendiri.
Firman Allah Surah Fâthir (35) ayat 18 menegaskan,
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika
seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk
memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikit pun, meskipun (yang
dipanggilnya itu) kaum kerabatnya…
244 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Surah Al-Ma’ârij (70) ayat 10-11 menambahkan,


(10) dan tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya; (11)
Sedang mereka saling melihat. Pada hari itu, orang yang berdosa ingin
sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab dengan anak-anaknya.
Firman Allah Surah Al-An'âm (6) ayat 164 juga menegaskan,
… Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. Kemudian
kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang dahulu kamu perselisihkan.”
Allah Swt kemudian menerangkan akibat dari ucapan orang-orang
kafir itu. Ayat 13 menerangkan,

         

  


Dan mereka benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka sendiri, dan
dosa-dosa yang lain bersama dosa mereka, dan pada hari Kiamat mereka
pasti akan ditanya tentang kebohongan yang selalu mereka ada-adakan.
(QS Al-Ankabût [29]: 13)
Sesungguhnya orang-orang kafir yang sesat itu nanti pada hari
kiamat akan memikul beban dosa diri mereka sendiri, ditambah dengan
dosa orang yang mereka sesatkan, tanpa dikurangi sedikit pun. Firman
Allah Surah Al-Nahl (16) ayat 25 menegaskan,
(Ucapan mereka) menyebabkan mereka pada hari Kiamat memikul dosa-
dosanya sendiri secara sempurna, dan sebagian dosa-dosa orang yang
mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka
disesatkan). Ingatlah, alangkah buruknya (dosa) yang mereka pikul itu.
Hadis sahih yang diriwayatkan Ibnu Majah, dari Anas Ibnu Malik,
“Barang siapa yang mengajak menuju petunjuk, akan mendapat pahala
seperti yang dimiliki oleh orang yang diajaknya kelak pada hari kiamat,
tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Sebaliknya, orang yang mengajak
menuju kesesatan, akan mendapat dosa seperti orang yang disesatkan,
tanpa dikurangi sedikit pun.“
Di dalam hadis sahih lain dikatakan, ”Tidaklah seseorang terbunuh
Surah Al-Ankabût (29): 12-13 245

secara zalim atau aniaya, melainkan anak Adam yang pertama (Qabil)-
lah yang menanggung dosa atas pembunuhan tersebut, karena dia yang
pertama kali melakukan (tradisi) pembunuhan.”
Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, “Orang yang
memberi contoh keburukan akan menanggung dosa sendiri dan dosa
orang yang menyontoh keburukannya itu, tanpa mengurangi dosa orang
yang menyontoh sedikit pun.“
Pada hari kiamat nanti, mereka akan ditanya dengan sinis tentang
kebohongan yang mereka lakukan. Hadis sahih menerangkan, ada
seseorang yang pada hari kiamat nanti datang dengan membawa kebajikan
sebesar dan setinggi gunung. Akan tetapi, di dunia dia melakukan kezaliman
ini dan itu, mencuri harta orang, dan merampas kehormatan orang lain.
Lalu diambillah pahala amal baiknya dan diberikan kepada orang-
orang yang dirugikan itu sehingga habis pahala kebajikannya.
Lalu ditambahkan keburukan orang yang dirugikan itu, dan
dijerumuskan ke dalam neraka.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Abu Umamah, “Hati-hati
terhadap perbuatan zalim, karena Allah pasti akan memberi balasan pada
hari kiamat.” Allah berfirman, ”Demi Keperkasaan dan ketinggian derajat-
Ku, pada hari ini tidak ada kezaliman yang berlaku.”
Kemudian ada suara yang memanggil, “Mana Fulan Ibnu Fulan?”
Dia datang menghadap Allah dengan membawa kebaikan yang
menggunung, sehingga membuat mata orang terbelalak kagum.
Allah kemudian menyuruh (malaikat) untuk memanggil orang-orang
yang pernah ia zalimi di dunia untuk berkumpul di hadapan Allah Swt.
Allah lalu berfirman, “Adililah hamba-Ku ini?”
Mereka menjawab, “Bagaimana caranya?”
Allah berfirman, “Ambillah kebaikannya untuk kalian sebagai imbalan
kezalimannya waktu di dunia!”
Mereka akhirnya masing-masing mengambil kebaikannya sampai
habis. Namun masih ada orang-orang yang dizalimi yang belum mendapat
jatah kebaikannya.
Lalu Allah berfirman, “Adililah hamba-Ku ini!”
Mereka menjawab, “Kebaikannya sudah habis.”
Allah berfirman, “Ambil keburukan-keburukan mereka (orang yang
dizalimi) lalu bebankan ke pundaknya!”
246 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Hikmah dan Pesan


Uraian tafsir di atas memberikan hikmah dan pesan sebagai berikut:
(1) Orang-orang kafir mengajak secara halus orang-orang Islam untuk
meninggalkan agamanya dan kembali ke dalam kekufuran.
(2) Mereka berjanji akan menanggung dosa orang-orang Islam yang
murtad dari agamanya itu jika mereka mau kembali ke dalam
kekufuran.
(3) Ucapan mereka itu sebenarnya dusta belaka, karena pada hari kiamat
nanti. Setiap orang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya
sendiri/masing-masing.
(4) Orang yang menyesatkan orang lain, di samping menanggung dosa
sendiri, juga ditambah dengan dosa seperti orang yang disesatkan,
tanpa mengurangi sedikit pun dosa orang yang disesatkan.

***
Surah Al-Ankabût (29): 14-15 247

Kisah Nabi Nuh dan Kaumnya (QS Al-Ankabût [29]: 14-15)

           

       

   


(14) Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia
tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun.
Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-
orang yang zalim; (15) Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang
berada di kapal itu, dan Kami jadikan (peristiwa) itu sebagai pelajaran bagi
semua manusia. (QS Al-Ankabût [29]: 14-15)

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya telah dijelaskan macam-macam mukallaf
(orang yang berkewajiban menjalankan syariat agama Allah), janji kepada
Mukmin sejati yang berupa surga, dan ancaman bagi orang-orang kafir
yang berupa neraka.
Pada ayat ini, Allah Swt menerangkan kisah nabi yang umurnya
paling panjang, yaitu Nuh as. Dia mengajak kaumnya untuk mengesakan
Allah Swt selama 950 tahun, namun umatnya yang beriman sangat sedikit.
Pada ayat-ayat berikutnya, diterangkan kisah nabi-nabi lain, seperti
Nabi Ibrahim, Nabi Luth, Nabi Hud, Nabi Syu’aib, dan Nabi Shalih. Ini
dimaksudkan untuk menjelaskan akibat yang menimpa orang-orang yang
mendustakan agama dari kalangan umat mereka.
Di samping, sebagai pelipur lara bagi Rasulullah Saw, memperkuat
dan memperteguh hatinya dalam menghadapi tantangan orang-orang
kafir. Juga, sebagai pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran
darinya.
Selain itu, berfungsi untuk menegaskan apa yang telah diterangkan
di awal surah bahwa ujian bagi para nabi dan orang-orang beriman itu
merupakan sunatullah.
248 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Penjelasan Ayat
Allah Swt berfirman,

           

    


Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia
tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun.
Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-
orang yang zalim. (QS Al-Ankabût [29]: 14)
Ayat ini, menurut Ibnu Katsir (III, t.t.: 31), berfungsi sebagai pelipur
lara hati Rasulullah Saw. Allah menceritakan bahwa Nabi Nuh berdakwah
kepada kaumnya itu memakan waktu yang sangat panjang. Dia berdakwah
siang malam, dengan terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Namun
umatnya malah meninggalkan, mengacuhkan dan menentangnya. Yang
beriman dari kalangan mereka sangat sedikit, padahal dia berdakwah
kepada kaumnya itu memakan waktu yang sangat panjang, yaitu 950
tahun. Namun demikian, dia tidak berhasil dengan baik.
Oleh karena itu, hai Muhammad, engkau jangan cepat berputus asa
dan bersedih dalam mendakwahi kaummu yang kafir itu. Sesungguhnya
Allah akan memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki dan akan
menyesatkan orang yang Dia kehendaki pula. Urusan petunjuk itu di tangan
Allah dan kembali kepada-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya Allah Swt akan
memberimu kemenangan, pertolongan, dan kekuatan. Sebaliknya, Dia
akan menghinakan dan mengalahkan musuh-musuhmu.
Ibnu Katsir menambahkan. Ibnu Abbas menerangkan bahwa Nabi
Nuh itu diutus sebagai rasul setelah usianya 40 tahun, dan berdakwah
kepada kaumnya selama 950 tahun. Setelah banjir bandang, dia tetap
berdakwah selama 60 tahun lagi dan banyak pengikutnya ketika itu.
Al-Zuhaili menerangkan, Kami (Allah) benar-benar telah mengutus
Nuh as, seorang nabi dan rasul periode awal. Dia diutus kepada kaumnya
yang kafir (tidak beriman kepada Allah), bahkan menyembah berhala. Dia
tetap tinggal bersama kaumnya 950 tahun dan mengajak mereka untuk
mengesakan Allah Swt dan beriman kepada hari kiamat.
Namun, mereka tidak menyambut ajakan Nabi Nuh, bahkan lebih
dari itu mendustakannya. Oleh karenanya, orang yang beriman dari
kaumnya hanya sedikit. Pada Surah Nûh (71) ayat 5-6 diterangkan,
Surah Al-Ankabût (29): 14-15 249

(5) Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru
kaumku siang dan malam; (6) Tetapi seruanku itu tidak menambah (iman)
mereka, justru mereka lari (dari kebenaran).
Pada surah yang sama ayat 21 ditambahkan,
Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku,
dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya
menambah kerugian baginya,
Setelah Nabi Nuh berdakwah dalam waktu yang sangat panjang,
namun mereka tetap tidak mau menyambut dakwah dan tak mau
menggubris peringatannya, umat Nabi Nuh ditenggelamkan dengan banjir
bandang. Umat Nabi Nuh itu adalah orang-orang yang menzalimi diri
sendiri dengan kekufuran.
Oleh karena itu, hai Muhammad, engkau tidak boleh cepat
berputus asa menghadapi umatmu yang kufur. Jangan bersedih karena
kekufuran mereka, karena masalah iman itu urusan Allah Swt dan semua
permasalahan berasal dan kembali kepada-Nya.
Nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya untuk beriman kepada Allah
itu kurang lebih mendekati seribu tahun. Namun umatnya yang beriman
sangat sedikit. Meskipun demikian, dia tetap sabar dan tidak goyah.
Maka dari itu, engkau, hai Muhammad, sudah sepantasnya lebih
bersabar, karena tantangan dari kaummu yang kafir tidak seberat yang
dihadapi Nabi Nuh dan dengan jangka waktu tidak sepanjang yang dialami
olehnya.
Allah Swt kemudian melanjutkan kisah-Nya sebagai berikut,

      

Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang berada di kapal itu, dan
Kami jadikan (peristiwa) itu sebagai pelajaran bagi semua manusia. (QS
Al-Ankabût [29]: 15)
Artinya, Kami (Allah) selamatkan Nabi Nuh dan umatnya yang
beriman dengan kapal yang pembuatannya di bawah bimbingan wahyu
Allah. Kapal dapat berjalan atau berlayar di atas air bah yang dahsyat
bagaikan samudera, sehingga akhirnya mendarat di Gunung Al-Judi.
Sementara orang-orang kafir tenggelam ditelan banjir bandang.
Allah Swt menjadikan kapal Nabi Nuh itu untuk mengingatkan nikmat
250 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Allah yang dianugerahkan kepada makhluk-Nya. Dengan kapal itulah, Allah


menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dari terjangan banjir
bandang.
Ini juga berfungsi sebagai pelajaran bagi umat manusia yang hidup
pada generasi-generasi selanjutnya, bagaimana Allah menyiksa manusia
yang durhaka dan mendustakan rasul-rasul-Nya. Firman Allah Surah Al-
Haqqah (69) ayat 11-12 menerangkan:
(11) Sesungguhnya ketika air naik (sampai ke gunung), Kami membawa
(nenek moyang) kamu ke dalam kapal; (12) agar Kami jadikan (peristiwa
itu) sebagai peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang
mau mendengar.

Hikmah dan Pesan


Ayat-ayat di atas memberikan hikmah dan pesan sebagai berikut:
(1) Ini salah satu bentuk penyajian kisah secara singkat di dalam Al-
Quran, karena kisah-kisah itu diterangkan di beberapa tempat
dalam surah-surahnya. Penyajian singkat ini dimaksudkan agar
memberikan pelajaran yang langsung menyentuh kalbu, di samping
juga dimaksudkan untuk menghibur hati Nabi Saw yang juga
mendapat tantangan dari kaumnya seperti rasul-rasul terdahulu.
(2) Diceritakan bahwa para rasul terdahulu apabila mendapat tantangan
dari kaumnya bersikap sabar, terutama Nabi Nuh yang mengawali
kisah para rasul dalam Surah Al-Ankabût ini. Hampir seribu tahun
dia berdakwah walaupun umat yang mengikuti dakwahnya sangat
sedikit.
(3) Kisah Nabi Nuh dan kaumnya diterangkan paling awal di surah ini,
karena beliau termasuk rasul awal yang diturunkan Allah di dunia
ini.
(4) Allah, melalui kisah singkat ini, menegaskan bahwa hamba-hamba-
Nya yang beriman akan mendapat pertolongan dan kenikmatan,
sedangkan orang-orang kafir akan mendapat azab di dunia maupun
di akhirat. Umat Nabi Nuh yang beriman diselamatkan Allah dengan
kapal, sedangkan umat Nabi Nuh yang kafir ditenggelamkan dengan
banjir bandang.

***
Surah Al-Ankabût (29): 16-23 251

Kisah Nabi Ibrahim dan Kaumnya (QS Al-Ankabût [29]: 16-23)

           

         

            

          

           

           

           

              

           

            

          

      


(16) Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya,
“Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui; (17) Sesungguhnya yang kamu
sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat
kebohongan. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu tidak
mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki dari Allah, dan
sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu
akan dikembalikan; (18) Dan jika kamu (orang ka r) mendustakan, maka
sungguh, umat sebelum kamu juga telah mendustakan (para rasul). Dan
kewajiban rasul itu hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan jelas;”
252 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(19) Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai


penciptaan (makhluk), kemudian Dia mengulanginya (kembali). Sungguh,
yang demikian itu mudah bagi Allah; (20) Katakanlah, “Berjalanlah di bumi,
maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk),
kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh, Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu; (21) Dia (Allah) mengazab siapa yang Dia kehendaki
dan memberi rahmat kepada siapa yang Dia kehendaki, dan hanya kepada-
Nya kamu akan dikembalikan; (22) Dan kamu sama sekali tidak dapat
melepaskan diri (dari azab Allah) baik di bumi maupun di langit, dan tidak
ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah; (23) Dan orang-orang
yang mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya, mereka
berputus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu akan mendapat azab yang
pedih. (QS Al-Ankabût [29]: 16-23)

Latar dan Konteks


Setelah menerangkan kisah Nabi Nuh as, nenek moyang manusia
yang ke-dua, Allah menjelaskan kisah Nabi Ibrahim as, nenek moyang
para nabi dan orang-orang hanîf ( bertauhid).
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pelajaran dan keteladanan
yang perlu ditiru oleh seluruh nabi dan umat manusia, terutama teladan
dalam ketabahan mereka ketika menghadapi tantangan dakwah dari
kaumnya. Keterangan tersebut dapat dibaca pada kisah keduanya, Nabi
Nuh yang telah diterangkan pada ayat-ayat sebelumnya dan Nabi Ibrahim
yang diterangkan pada ayat-ayat berikut ini.

Penjelasan Ayat
Allah Swt menerangkan kisah Nabi Ibrahim as kepada Nabi Saw,

           

  


Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Sembahlah
Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui. (QS Al-Ankabût [29]: 16)
Hai Rasul (Muhammad), terangkan kepada kaummu, kisah Nabi
Ibrahim as ketika mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah
Surah Al-Ankabût (29): 16-23 253

yang Maha Esa dan tidak menyekutukan-Nya. Juga ikhlas dalam beribadah
kepada-Nya, baik dalam keadaan sendirian atau bersama dengan orang
lain.
Nabi Ibrahim as mengajak mereka untuk menghindari azab Allah
Swt dengan cara melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Jika kalian telah melakukan itu semua,
maka kalian akan berhasil meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, serta
terhindar dari keburukan dan siksaan yang terjadi pada keduanya.
Jika kalian memiliki nalar yang sehat dan ilmu yang benar,
mampu memilah dan memilih antara yang baik dengan yang buruk, serta
melakukan apa yang bermanfaat bagi diri kalian, niscaya kalian akan dapat
meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Kata u’budû l-llâha wa l-ttaqûhu mengandung arti “ikhlaslah
beribadah kepada Allah dan takutlah kepada-Nya!”
Nabi Ibrahim as kemudian mengemukakan dua dalil tentang tauhid
dan kesesatan kaumnya, serta cara hidup yang buruk dan sesat yang
mereka tempuh.
Dalil yang pertama, penggalan awal ayat 17,

….         


Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala,
dan kamu membuat kebohongan…. (QS Al-Ankabût [29]: 17)
Ayat di atas ditafsirkan oleh Al-Zuhaili (XX, t.t: 214),
“Sesungguhnya berhala-berhala yang kalian sembah itu tidak lain
dan tidak bukan hanyalah tuhan-tuhan yang kalian buat dengan tangan-
tangan kalian sendiri, baik yang terbuat dari bahan batu maupun kayu.
Tuhan-tuhan itu sama sekali tidak mampu memberi manfaat maupun
mendatangkan mudarat. Batu-batu dan kayu-kayu yang kalian ukir dan
lukis itu kemudian diberi nama-nama, kemudian kalian anggap sebagai
tuhan yang dapat memberi pertolongan kepada kalian di sisi Tuhan kalian.
Itu semua hanyalah makhluk seperti kalian, bahkan lebih rendah dibanding
kalian. Oleh karena itu, kalau benda-benda itu dianggap sebagai tuhan,
semata-mata hanya rekayasa dan kebohongan kalian.”
Firman Allah wa takhluqûna ifkan mengandung arti kalian ciptakan
sebagai kebohongan, yakni menamakan berhala itu sebagai tuhan, sekutu
Allah yang dapat memberi pertolongan kelak di sisi Allah Swt.
Kedua, penggalan akhir ayat 17,
254 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

….            …


… Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu
memberikan rezeki kepadamu…. (QS Al-Ankabût [29]: 17)
Maksudnya, “Sesungguhnya berhala-berhala yang kalian sembah
di samping Allah Swt itu tidak mampu memberi rezeki sama sekali. Lalu
apa gunanya kalian menyembah tuhan-tuhan yang tidak dapat memberi
manfaat itu?”
Ujung ayat 17 menegaskan,

           …
… maka mintalah rezeki dari Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah
kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan. (QS Al-Ankabût
[29]: 17)tr
Mintalah rezeki kepada Allah Swt, bukan kepada berhala-berhala itu!
Karena, selain Allah tidak ada yang memiliki sesuatu pun, dan akan sia-sia
permintaan kalian. Makanlah rezeki yang telah dianugerahkan oleh Allah.
Beribadahlah hanya kepada-Nya, jangan menyekutukan-Nya, dan
syukurilah nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan oleh-Nya.
Kemudian, persiapkan diri kalian untuk berjumpa dengan-Nya,
karena pada hari kiamat kelak, kalian pasti akan kembali kepada-Nya, lalu
mempertanggungjawabkan amal dan ibadah kalian. Akhirnya, kalian akan
menerima balasan amal kalian.
Demikian tulis Al-Zuhaili ketika menafsirkan ayat di atas.
Nabi Ibrahim kemudian menerangkan bukti dan dalil kerasulannya,
sebagaimana diterangkan ayat 18 sebagai berikut,

            

 
Dan jika kamu (orang ka r) mendustakan, maka sungguh, umat sebelum
kamu juga telah mendustakan (para rasul). Dan kewajiban rasul itu
hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan jelas;”. (QS Al-Ankabût
[29]: 18)
Surah Al-Ankabût (29): 16-23 255

Jika kalian mendustakan kerasulanku, maka tidak akan


membahayakanku sama sekali, karena umat-umat terdahulu pun telah
mendustakan para rasul yang diutus kepada mereka. Akan tetapi yang
perlu kalian ingat bahwa mereka itu telah mendapat azab Allah di dunia
ini sebagai akibat mendustakan rasul-rasul yang diutus kepada mereka.
Mereka itu telah menghancurkan diri sendiri dengan cara mendustakan
para rasul.
Kewajiban seorang rasul adalah mengemban risalah Allah,
menyampaikan ajaran-ajaran-Nya kepada kalian, mengajak kalian menuju
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Allah-lah yang akan memberi penilaian dan menghisab amal-amal
kalian.
Firman Allah, wa mâ 'alâ l-rraslliûli illâ l-balâghu l-mubîn, mengandung
arti bahwa kewajiban seorang rasul hanya menyampaikan ajaran (Allah),
yang berupa perintah dan larangan Allah Swt.
Dan kata al-mubînu berarti memberikan bukti dan dalil atas ajaran
yang disampaikan oleh rasul.
Setelah menerangkan akidah tauhid dan risalah/kerasulan, Allah
menerangkan ajaran akidah yang berikutnya, yakni hari kebangkitan dan
mahsyar.
Tiga dasar keyakinan dalam Islam itu hampir selalu diterangkan
secara beriringan oleh Allah Swt, seperti yang dapat ditemukan dalam
ayat-ayat yang dibahas ini.
Iman kepada hari kebangkitan dari alam kubur diterangkan oleh
ayat 19 berikut:

              
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai
penciptaan (makhluk), kemudian Dia mengulanginya (kembali). Sungguh,
yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS Al-Ankabût [29]: 19)
Apakah mereka itu tidak menyaksikan dan mengetahui, bagaimana
Allah menciptakan makhluk-Nya? Allah menciptakan mereka yang tadinya
tidak ada/ belum berwujud apa pun. Dia kemudian menciptakan mereka
dalam bentuk fiisik dan ruhani yang sempurna. Diberi bekal untuk
ilmu pengetahuan yang berupa pendengaran, penglihatan, dan akal
pikiran. Sesungguhnya yang mampu menciptakan itu pasti mampu pula
membangkitkan kembali setelah terjadi kematian.
256 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Itu perkara mudah bagi Allah.


Surah Al-Rûm (30) ayat 27 menegaskan,
Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali,
dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit
dan di bumi. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Setelah menjelaskan hari kebangkitan dari alam kubur dengan
dalil awal penciptaan manusia sampai wujud dan kematiannya, Allah
menerangkan kekuasaannya di langit dan bumi, sebagaimana diterangkan
ayat 20 sebagai berikut:

            

        


Katakanlah, “Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah)
memulai penciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang
akhir. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Ankabût
[29]: 20)
Hai Muhammad, katakan kepada orang-orang yang mengingkari
risalahmu itu, pergilah kalian melanglang buana, lalu lihat dan perhatikan
bagaimana Allah menciptakan seluruh langit dan bintang-bintang,
kemudian bumi serta gunung-gunung, laut, sungai-sungai, pepohonan,
dan buah-buahan yang beraneka macam. Itu semua menunjukkan adanya
sang Pencipta (Allah Swt).
Surah Fushshilat (41) ayat 53 menerangkan,
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami
di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu)
bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Surah Al-Thûr (52) ayat 35-36 menegaskan,
(35) Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka
yang menciptakan (diri mereka sendiri)?; (36) Ataukah mereka telah
menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa
yang mereka katakan).
Allah sendiri saja yang menciptakan. Itu merupakan dalil/bukti
Surah Al-Ankabût (29): 16-23 257

wujud-Nya. Siapa pun yang mampu dan berkuasa menciptakan, maka


mampu pula untuk menciptakan kehidupan akhirat. Allah Maha Kuasa
menciptakan, maka Maha Kuasa pula menghidupkan kembali ciptaannya
(manusia) setelah kematiannya.
Jika dicermati, Allah pertama berfirman, awalam yarau kaifa yabda'u
l-llâhu l-khalqa, dalam bentuk pertanyaan. Kemudian berfirman, sîrû
l-ardhi, dalam bentuk perintah. Hal ini menunjukkan bahwa ayat yang
pertama itu menunjukkan ilmu suci, yakni ilmu yang diperoleh tanpa harus
ada usaha. Sedangkan yang kedua menunjukkan ilmu kri, ilmu yang
diperoleh dengan usaha pemikiran. Pakailah pikiranmu dalam melihat bumi
ini, lalu perdalamlah ilmu pengetahuanmu tentang penciptaan bumi ini,
niscaya akan mengetahui bagaimana awal penciptaannya.
Berikutnya, Allah menerangkan apa yang akan terjadi setelah
manusia mati, lalu dibangkitkan kembali dan hidup di alam akhirat. Ayat
21 menerangkan,

         


Dia (Allah) mengazab siapa yang Dia kehendaki dan memberi rahmat
kepada siapa yang Dia kehendaki, dan hanya kepada-Nya kamu akan
dikembalikan. (QS Al-Ankabût [29]: 21)
Allah Swt adalah hakim yang berkuasa mengazab orang-orang kafir
dan pelaku maksiat, serta menyayangi orang-orang yang Dikehendaki-
Nya. Dia akan menghukum sesuai dengan kehendak-Nya. Dia-lah sang
pencipta dan hanya Dia-lah yang memiliki titah.
Semua orang yang telah mati akan dibangkitkan kembali dan
bertanggung jawab di hadapan-Nya, dan Dia akan menghisab dengan
seadil-adilnya, tidak ada kezaliman walaupun sebesar zarrah (atom: biji
sawi).
Ahlu l-sunah meriwayatkan hadis, “Sesungguhnya Allah Swt andaikan
mengazab seluruh penduduk langit dan bumi, niscaya akan mengazabnya
secara adil, tidak ada kezaliman sekecil apapun.”
Selanjutnya, Allah Swt menerangkan kekuasaan-Nya berikut ini,

            

     


258 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Dan kamu sama sekali tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) baik
di bumi maupun di langit, dan tidak ada pelindung dan penolong bagimu
selain Allah. (QS Al-Ankabût [29]: 22)
Wahai umat manusia, kalian tidak akan dapat membuat Allah lemah
untuk mengetahui keadaan kalian, baik yang ada di langit maupun di bumi.
Tidak ada satu pun makhluk langit maupun bumi yang dapat melemahkan
Allah.
Tidak ada satu pun makhluk yang dapat melarikan diri dan
menghindar dari ketentuan dan takdir Allah. Dia adalah Tuhan yang
berkuasa mutlak atas makhluk-makhluk-Nya. Tidak ada pelindung, kecuali
Allah dan tidak ada penolong, kecuali Dia. Tidak ada satu makhluk pun
yang bisa melindungi orang lain dari azab Allah Swt.
Setelah menerangkan dalil tentang adanya hari pembalasan dan
kemahakuasaan Allah yang ada di seluruh langit dan bumi, maka pada
ayat 23, Allah mengancam setiap orang kafir dan yang menentang Allah
dan rasul-Nya,

         

   


Dan orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan
dengan-Nya, mereka berputus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu akan
mendapat azab yang pedih. (QS Al-Ankabût [29]: 23)
Orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Allah dan bukti keesaan-
Nya, serta bukti-bukti yang jelas tentang kerasulan yang diutus ke dunia
ini, lalu mengkufuri hari pembalasan dan pertemuan dengan Allah di
alam akhirat, maka mereka itu tidak akan mendapat kasih-sayang Allah
dan sebaliknya akan mendapat azab yang pedih baik di dunia maupun di
akhirat.
Firman Allah Surah Yûsuf (12) ayat 87 juga menerangkan,
Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang ka r.”
Surah Al-Ankabût (29): 16-23 259

Hikmah dan Pesan


Ayat-ayat di atas memberikan hikmah dan pesan sebagai berikut:
(1) Dakwah Nabi Ibrahim seperti dakwah nabi-nabi dan rasul-rasul
lainnya, yakni mengajak beribadah hanya kepada Allah (tauhîd
ulûhiyyah), melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghindari
larangan-larangan-Nya.
(2) Para penyembah berhala itu menyembah batu dan kayu yang
mereka ukir dan lukis sendiri, kemudian dipertuhan dan dianggap
dapat memberi manfaat dan bahaya, serta memberi rezeki.
(3) Anggapan dan keyakinan para penyembah berhala itu sia-sia, karena
berhala itu tidak akan bisa memberi manfaat maupun mudarat,
apalagi memberi rezeki.
(4) Allah Swt yang menciptakan seluruh makhluk, dari tidak ada
menjadi ada. Kemudian Dia akan mematikan makhluk itu dan akan
membangkitkannya pada hari kiamat.
(5) Allah Maha Kuasa Menciptakan sesuatu dari tidak ada itu, pasti
Maha Kuasa menciptakan kembali makhluk yang sudah tiada atau
mati. Penciptaan kembali itu bagi Allah lebih mudah daripada
menciptakan untuk pertama kali.
(6) Allah juga satu-satunya pencipta seluruh langit dan bumi serta
makhluk-makhluk yang hidup di dalam dan di antara keduanya.
(7) Di akhirat, Allah adalah satu-satunya hakim yang berkuasa mutlak
untuk menegakkan keadilan, memberikan kenikmatan surga kepada
hamba-hamba yang beriman dan beramal saleh. Sebaliknya, Dia
menyiksa hamba-hamba yang kufur dan jahat di neraka.
(8) Hanya Allah semata pemelihara dan penolong hamba-hamba-Nya
dalam kehidupan di akhirat.
(9) Orang yang kufur terhadap Al-Quran dan dalil-dalil yang membuktikan
keesaan Allah di akhirat tidak akan mendapat kasih-sayang Allah
Swt.
(10) Tugas seorang rasul adalah menyampaikan ajaran Allah yang ia
emban di dalam risalahnya.

***
260 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Jawaban Kaum Ibrahim dan Keimanan Nabi Luth kepada Nabi


Ibrahim (QS Al-Ankabût [29]: 24-27)

           

            

             

        

               

          

           
(24) Maka tidak ada jawaban kaumnya (Ibrahim), selain mengatakan,
“Bunuhlah atau bakarlah dia,” lalu Allah menyelamatkannya dari api.
Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang beriman; (25) Dan dia (Ibrahim) berkata,
“Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah, hanya
untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam
kehidupan di dunia, kemudian pada hari Kiamat sebagian kamu akan saling
mengingkari dan saling mengutuk; dan tempat kembalimu ialah neraka, dan
sama sekali tidak ada penolong bagimu;” (26) Maka Luth membenarkan
(kenabian Ibrahim). Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus
berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku; sungguh, Dialah
Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana;” (27) Dan Kami anugerahkan kepada
Ibrahim, Ishak dan Yakub, dan Kami jadikan kenabian dan kitab kepada
keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasannya di dunia; dan
sesungguhnya dia di akhirat, termasuk orang yang saleh. (QS Al-Ankabût
[29]: 24-27)

Penjelasan Ayat
Nabi Ibrahim as telah menerangkan dalil tentang keesaan Allah,
risalah, hari kebangkitan dari kubur, hari mahsyar (saat manusia
dikumpulkan), memerintahkan mereka beribadah kepada Allah, dan
Surah Al-Ankabût (29): 24-27 261

mengecam penyembahan terhadap berhala. Namun, kaumnya tetap kufur,


menentang, dan sombong untuk menerima ajakannya. Mereka, bahkan
menggunakan kekuatan untuk menentang dakwah Nabi Ibrahim.
Firman Allah ayat 24 menerangkan,

           

         

Maka tidak ada jawaban kaumnya (Ibrahim), selain mengatakan, “Bunuhlah


atau bakarlah dia,” lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sungguh, pada
yang demikian itu pasti terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang beriman. (QS Al-Ankabût [29]: 24)
Ketika diajak untuk beribadah kepada Allah dan menghindari azab-
Nya, kaum Nabi Ibrahim, terutama para pembesar dari kalangan mereka,
malah menggunakan kekuasaan dan kekuatan, ”Bunuhlah Ibrahim, atau
lemparkan dia ke dalam api yang besar dan menyala-nyala.” Setelah
mereka benar-benar membakar Nabi Ibrahim, Allah menyelamatkannya.
Api dibuat (Allah) menjadi dingin, sehingga selamatlah Nabi Ibrahim. Api
yang memiliki sifat panas, kemudian menjadi dingin ketika membakar Nabi
Ibrahim itu, menunjukkan adanya Allah dan kekuasaan-Nya bagi kaum
yang meyakini-Nya dengan bukti dan dalil yang jelas dan tegas.
Ini merupakan contoh yang buruk dan mengherankan. Nabi Ibrahim
mengajak menuju kebaikan, dan menasihati mereka untuk menuju
petunjuk dan kebenaran, tetapi jawaban kaumnya malah dibalas dengan
kekerasan/kekuasaan, yaitu membakar Nabi Ibrahim.
Atas kekuasaan dan kehendak Allah, api menjadi dingin, sehingga
selamatlah Nabi Ibrahim dari ancaman api pembakaran.
Tipu daya Allah itu terbukti lebih hebat daripada tipu daya yang
diciptakan manusia. Api yang bersifat panas dan membakar itu dibuat
menjadi dingin, hingga menyelamatkan Nabi Ibrahim as.
Allah Swt menerangkan pada surah lain, Surah Al-Shaffât (37) ayat
97-98 sebagai berikut,
(97) Mereka berkata, “Buatlah bangunan (perapian) untuknya (membakar
Ibrahim); lalu lemparkan dia ke dalam api yang menyala-nyala itu;” (98)
Maka mereka bermaksud memperdayainya dengan (membakar)nya,
(namun Allah menyelamatkannya), lalu Kami jadikan mereka orang-orang
yang hina.
262 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Kemudian pada Surah Al-Anbiyâ` (21) ayat 68-70, diterangkan,


(68) Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika
kamu benar-benar hendak berbuat;” (69) Kami (Allah) ber rman, “Wahai
api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim;” (70) dan mereka
hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka
itu orang-orang yang paling rugi.
Allah Swt kemudian menerangkan jawaban Nabi Ibrahim setelah
selamat dari pembakaran, sebagaimana diterangkan oleh ayat 25 sebagai
berikut,

….             
Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu
sembah selain Allah, hanya untuk menciptakan perasaan kasih sayang di
antara kamu dalam kehidupan di dunia…. (QS Al-Ankabût [29]: 25)
Nabi Ibrahim as kemudian mencela dan merendahkan kaumnya
yang menyembah berhala itu, “Sesungguhnya kalian menyembah patung-
patung dan berhala-berhala itu hanyalah sebagai sarana untuk berkumpul
di antara kalian, sebagai sarana untuk saling mencintai di antara kalian,
dan untuk mempererat persaudaraan dan pertemanan semata di antara
kalian.”
Mereka itu tak ubahnya seperti kelompok orang yang fanatik buta
terhadap suatu mazhab. Mereka bersatu-padu dalam kefanatikannya.
Akan tetapi, berhala-berhala itu tidak berakal, tidak bermanfaat dan
tidak membahayakan. Mereka menyembah berhala-berhala itu hanya
semata-mata untuk kepentingan duniawi. Pada hari kiamat, mereka saling
bermusuhan dan acuh satu sama lainnya.
Kata mawaddah itu, menurut Al-Qasimi (XIII, t.t.: 4737),
mengandung dua makna; cinta duniawi dan cinta ukhrawi. Cinta duniawi
itu sumbernya dari nafsu, sedangkan cinta ukhrawi itu sumbernya dari
jiwa.
Oleh karena itu, semua cinta yang ditujukan kepada selain Allah
tidak disebut cinta Ilahi, bukan cinta kepada Allah. Itu hanyalah cinta yang
didasari nafsu atau bersumber dari nafsu. Itu bersifat fana (sementara)
dan akan lenyap bersama dengan terpisahnya ruh dari jasad (kematian).
Adapun cinta yang bersifat ukhrawi sumbernya adalah cinta Ilahi. Itulah
cintanya orang-orang suci dan para wali. Cinta yang abadi, dunia sampai
Surah Al-Ankabût (29): 24-27 263

akhirat.
Firman Allah akhir ayat 25 menerangkan,

         …

      

… kemudian pada hari Kiamat sebagian kamu akan saling mengingkari dan
saling mengutuk; dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sama sekali
tidak ada penolong bagimu.” (QS Al-Ankabût [29]: 25)
Keadaan pada hari kiamat betul-betul terbalik, pertemanan dan
persaudaraan yang terjalin dalam kehidupan dunia itu berubah menjadi
permusuhan. Yang diikuti sikap tidak bertanggung jawab kepada orang-
orang yang mengikuti, bahkan saling mengecam satu sama lain. Firman
Allah Surah Al-A’râf (7) ayat 38 menerangkan,
… Setiap kali suatu umat masuk, dia melaknat saudaranya, sehingga
apabila mereka telah masuk semuanya, berkatalah orang yang (masuk)
belakangan (kepada) orang yang (masuk) terlebih dahulu, “Ya Tuhan
kami, mereka telah menyesatkan kami. Datangkanlah siksaan api neraka
yang berlipat ganda kepada mereka”. Allah ber rman, “Masing-masing
mendapatkan (siksaan) yang berlipat ganda, tapi kamu tidak mengetahui.”
Firman Allah Surah Al-Zukhruf (43) ayat 67 menerangkan,
Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali
mereka yang bertakwa.
Tempat kembali orang-orang kafir itu adalah neraka, tidak ada
penolong yang mampu menyelamatkan mereka dari neraka dan azab Allah
yang sangat pedih. Itulah keadaan orang-orang kafir. Adapun keadaan
orang-orang beriman saling bergandengan tangan, saling bersalaman,
saling memaafkan, sebagaimana diterangkan dalam beberapa hadis.
Allah kemudian menerangkan bahwa mereka itu tidak beriman
kepada Nabi Ibrahim dan tidak membenarkan apa yang disampaikannya,
kecuali Luth yang beriman kepadanya. Firman Allah ayat 26,

              
264 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Maka Luth membenarkan (kenabian Ibrahim). Dan dia (Ibrahim) berkata,


“Sesungguhnya aku harus berpindah ke (tempat yang diperintahkan)
Tuhanku; sungguh, Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS Al-
Ankabût [29]: 26)
Setelah Nabi Ibrahim diselamatkan dari api, Luth as beriman
kepadanya dan membenarkan kerasulannya. Nabi Luth adalah anak
saudara Nabi Ibrahim (keponakan). Dia adalah Luth Ibnu Haran Ibnu Azar.
Kaumnya, secara umum, tidak beriman kepada Nabi Luth, kecuali sedikit
dari kalangan mereka, antara lain Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim as.
Nabi Ibrahim berkata, ”Aku akan meninggalkan kampung halaman
kalian dan pergi menuju tempat yang diperintahkan Allah.“
Oleh karena itu, banyak masyarakat Irak yang kemudian hijrah
bersama Nabi Ibrahim ke Harran, kemudian menuju Palestina. Sedangkan
Nabi Luth kemudian tinggal di daerah Sodom.
Alasan berhijrah, sebagaimana disampaikan oleh Nabi Ibrahim
bahwa Allah bermaksud melindungi dan menolongku dari ancaman
musuh. Allah adalah Maha Bijaksana dalam mengatur makhluk-Nya, tidak
memerintah, kecuali yang membawa maslahat bagi makhluk-Nya.
Allah Swt kemudian melipat-gandakan nikmat-Nya kepada Nabi
Ibrahim, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini diterangkan pada ayat 27,

          

        


Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yakub, dan Kami jadikan
kenabian dan kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya
balasannya di dunia; dan sesungguhnya dia di akhirat, termasuk orang
yang saleh. (QS Al-Ankabût [29]: 27)
Ayat di atas kemudian diuraikan menjadi empat hal sebagai berikut:
Pertama, firman Allah, wa wahabnâ lahû Ishâqa wa Ya’qûba. Kami
anugerahkan kepada Nabi Ibrahim, setelah Ismail, seorang putra yang
bernama Ishaq, dan dari Ishaq itu lahir cucu beliau yang bernama Ya’qub.
Surah Maryam (19) ayat 49 juga menerangkan,
Maka ketika dia (Ibrahim) sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa
yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak
dan Yakub. Dan masing-masing Kami angkat menjadi nabi.
Surah Al-Ankabût (29): 24-27 265

Pada Surah Al-Anbiyâ`(21) ayat 72 juga diterangkan,


Dan Kami menganugerahkan kepadanya (Ibrahim) Ishak dan Yakub
sebagai suatu anugerah. Dan masing-masing Kami jadikan orang yang
saleh.
Imam Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan, “Sesungguhnya
Al-Karim Ibnu Al-Karim Ibnu Al-Karim Ibnu Al-Karim adalah Yusuf Ibnu
Ya’qub Ibnu Ishaq Ibnu Ibrahim as.”
Kedua, firman Allah berikutnya, wa ja’alnâ fî dzurriyatihî al-
nnubuwwata wa l-kitâb (dan Kami jadikan dalam keluarga Nabi Ibrahim
kenabian). Para nabi setelah Ibrahim semuanya dari keturunannya. Tidak
ada seorang nabi pun setelah beliau, kecuali dari keturunannya.
Seluruh nabi dari Bani Israil adalah keturunan Ya’qub Ibnu Ishaq
Ibnu Ibrahim. Nabi yang terakhir dari Bani Israil adalah Isa Ibnu Maryam.
Dia juga pembawa berita akan lahirnya seorang nabi yang terakhir dari Bani
Hasyim yang bernama Muhammad, dari keturunan Ismail Ibnu Ibrahim.
Allah juga menganugerahkan kepada Ibrahim Al-Kitâb. Maksudnya,
Allah menurunkan kitab Al-Taurat kepada Nabi Musa, Al-Zabûr kepada Nabi
Daud, Al-Injîl kepada Nabi Isa, dan Al-Qur'ân kepada Nabi Muhammad
Saw. Semuanya adalah keturunan Nabi Ibrahim as.
Ketiga, firman Allah, wa âtainâhu ajrahû fî-l-ddunyâ. Maksudnya,
Allah Swt menganugerahkan balasan-Nya kepada Nabi Ibrahim di dunia
ini berupa keturunan yang banyak, harta, istri yang salehah, dan pujian/
sanjungan yang baik. Semua pemeluk agama mencintai Nabi Ibrahim dan
mengaku sebagai pengikutnya.
Ikrimah berkata, ”Semua pemeluk agama mengakui Nabi Ibrahim
dan menyatakan dia adalah bagian dari golongan kami.”
Keempat, firman Allah Swt, wa innahû fî l-âkhirati lamina l-shshâlihîn
(Di akhirat dia dikumpulkan bersama dengan orang-orang saleh pada
tingkat dan derajat yang tertinggi).
Ini yang dimaksud bahwa Nabi Ibrahim mendapat dua anugerah
kebahagiaan sekaligus, yaitu anugerah di dunia dan anugerah di akhirat.

Hikmah dan Pesan


Ayat-ayat yang telah diuraikan di atas memberikan hikmah dan
pesan sebagai berikut:
(1) Nabi Ibrahim as mengajarkan tiga ajaran pokok kepada kaumnya:
(a) keesaan Allah, (b) kenabian dan kerasulan, serta (c) hari
kebangkitan dan mahsyar.
266 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(2) Kaum Nabi Ibrahim, terutama para pembesarnya menjawab dakwah


Nabi Ibrahim dengan membakarnya ke dalam api yang sangat besar.
Namun Allah menolong dan menyelamatkannya dengan cara-Nya
sendiri, yaitu api dibuat dingin sehingga tidak membakar Nabi
Ibrahim as.
(3) Api yang tidak dapat membakar Nabi Ibrahim itu sebagai bukti
kemahakuasaan Allah dan kebenaran kerasulan Nabi Ibrahim.
(4) Penyembahan terhadap berhala yang dilakukan oleh kaum Nabi
Ibrahim itu hanya didasarkan kepada taklid buta (ikut-ikutan meniru-
niru, mengikuti tradisi tanpa mengetahui landasan) kepada nenek-
moyang mereka. Sebab, pada hakikatnya berhala yang disembah itu
tidak dapat memberi manfaat maupun mudarat apa pun.
(5) Penyembahan terhadap berhala itu oleh kaum Nabi Ibrahim itu hanya
dijadikan sarana berkumpul, saling berkomunikasi, saling mencintai,
dan saling mengakrabkan diri dalam kehidupan di masyarakat.
(6) Api neraka itu berbeda dengan api yang tidak dapat membakar Nabi
Ibrahim (api dunia). Orang yang terbakar oleh api dunia sangat
mungkin ada yang mau menolong. Tapi api neraka yang membakar
orang-orang kafir itu di akhirat nanti tidak mungkin ada seorang pun
yang dapat menolong.
(7) Nabi Luth adalah orang pertama yang membenarkan kenabian
Ibrahim ketika melihat api yang tidak dapat membakar dirinya. Itu
adalah mukjizat dari Allah Swt.
(8) Walaupun api tidak dapat membakar Nabi Ibrahim, kaumnya tetap
tidak mau mengikuti ajarannya. Hal ini, antara lain, yang mendorong
Nabi Ibrahim untuk berhijrah, meninggalkan kampung halamannya
(Babilonia, Irak) ke Palestina. Ketika itu usia beliau telah mencapai
75 tahun. Hijrah beliau diikuti oleh istrinya yang bernama Sarah dan
keponakannya yang bernama Luth. Inilah hijrah yang pertama kali
di dunia, hijrah meninggalkan wilayah orang kafir.
(9) Setelah hijrah, Allah memuliakan Nabi Ibrahim dengan memberikan
anugerah dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Di dunia banyak
keturunannya yang menjadi nabi dan rasul serta harta kekayaan,
sedangkan di akhirat ditempatkan bersama dengan orang-orang
saleh di surga yang tertinggi.

***
Surah Al-Ankabût (29): 28-35 267

Kisah Nabi Luth dan Kaumnya (QS Al-Ankabût [29]: 28-35)

          

       

          

           

        

          

            

         

           

          

          

         

(28) Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya, “Kamu benar-
benar melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum
pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu; (29)
Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan
kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” Maka jawaban kaumnya
tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allah,
jika engkau termasuk orang-orang yang benar;” (30) Dia (Luth) berdoa,
“Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas golongan
yang berbuat kerusakan itu;” (31) Dan ketika utusan Kami (para malaikat)
datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka
268 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

mengatakan, “Sungguh, kami akan membinasakan penduduk kota (Sodom)


ini karena penduduknya sungguh orang-orang zalim;” (32) Ibrahim
berkata, “Sesungguhnya di kota itu ada Luth.” Mereka (para malaikat)
berkata, “Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami pasti
akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya, kecuali istrinya.’ Dia
termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan);” (33) Dan ketika para
utusan Kami (para malaikat) datang kepada Luth, dia merasa bersedih hati
karena (kedatangan) mereka, dan (merasa) tidak mempunyai kekuatan
untuk melindungi mereka, dan mereka (para utusan) berkata, “Janganlah
engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati. Sesungguhnya Kami akan
menyelamatkanmu dan pengikut-pengikutmu, kecuali istrimu, dia termasuk
orang-orang yang tinggal (dibinasakan);” (34) Sesungguhnya Kami akan
menurunkan azab dari langit kepada penduduk kota ini karena mereka
berbuat fasik; (35) Dan sungguh, tentang itu telah Kami tinggalkan suatu
tanda yang nyata bagi orang-orang yang mengerti. (QS Al-Ankabût [29]:
28-35)

Latar dan Konteks


Setelah menerangkan kisah Nabi Ibrahim, Allah menerangkan
kisah Nabi Luth as. Keduanya hidup dalam satu zaman. Di dalam kisah
ini, Allah tidak menerangkan kisah dakwah Nabi Luth, seperti kisah-kisah
nabi lainnya. Akan tetapi, kisah Nabi Luth yang diterangkan pada ayat ini
dibatasi pada usahanya dalam melarang atau mencegah perbuatan keji
yang dilakukan kaumnya.
Ajakan untuk bertauhid diceritakan oleh surah dan ayat-ayat lain,
yakni: Surah Hûd (11) ayat 78 yang berupa ajakan bertakwa kepada
Allah, Surah Al-Syu’ara` (26) ayat 163 juga merupakan ajakannya untuk
bertakwa kepada Allah, dan juga Surah Al-Hijr (15) ayat 69.
Dakwah menuju tauhid ini telah diceritakan pada kisah Nabi Ibrahim
sebelumnya. Sedangkan ayat-ayat di atas secara khusus menerangkan
upaya Nabi Luth dalam mencegah perbuatan keji kaumnya. Setelah
merasa gagal mengajak kaumnya ke jalan yang benar, Nabi Luth memohon
pertolongan kepada Allah Swt.
Doanya dikabulkan Allah dan kaumnya (kaum Sodom) dihancurkan,
sedangkan Nabi Luth dan para pengikutnya yang beriman diselamatkan
Allah Swt. Azab yang diterima umat Nabi Luth itu di dunia ini sebenarnya
sebagai akibat perbuatan keji dan kekufuran mereka kepada Allah dan
rasul-Nya.
Surah Al-Ankabût (29): 28-35 269

Penjelasan Ayat
Allah Swt berfirman menuturkan kisah Nabi Luth as di bawah ini,

          

   


Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya, “Kamu benar-benar
melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum pernah
dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu. (QS Al-Ankabût
[29]: 28)
Wahai Muhammad, ceritakan kepada kaummu untuk dijadikan
nasihat dan pelajaran, tentang kisah Nabi Luth as yang diutus Allah Swt ke
daerah Sodom. Dia merasa risih dan menentang perbuatan kaumnya dan
akhlak bejat mereka.
Nabi Luth berkata kepada kaumnya, ”Apakah kalian akan terus
melakukan perbuatan keji, hina, dan menjijikkan itu? Itu adalah perbuatan
buruk yang sama sekali tidak dapat dibenarkan oleh syariat Allah dan tidak
dapat diterima oleh akal sehat.”
Nabi Luth kemudian mengecam perbuatan keji kaumnya sebagai
berikut:
Pertama, A innakum lata’tûna l-rajâla. Kalian menyalurkan nafsu
seksual terhadap sesama laki-laki seperti menyalurkannya kepada lawan
jenis (perempuan). Perbuatan itu belum pernah dilakukan oleh generasi-
generasi sebelum kalian.
Kedua, wa taqth’ûna l-ssabîla. Kalian mencegat orang di tengah jalan,
kadang-kadang membunuhnya, kadang-kadang merampas hartanya, dan
kadang-kadang menyodominya.
Ketiga, wa ta'tûna fî nâdîkumu l-munkar. Kalian mengucapkan
kata-kata yang buruk dan berbuat yang tidak baik di tempat-tempat
pertemuan kalian. Masing-masing yang hadir tidak ada yang menegur atau
mengkritiknya.
Tiga kecaman Nabi Luth as terhadap perbuatan kaumnya ini
diterangkan awal ayat 29 sebagai berikut:

       

….  
270 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan


kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” …..” (QS Al-Ankabût [29]:
29)
Imam Ahmad, Al-Tirmidzi, Al-Thabrani, Al-Baihaqi, Ibnu Jarir, dan
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hadis dari Ummu Hani’ Binti Abu Thalib. Aku
bertanya kepada Rasulullah Saw tentang firman Allah Surah Al-Ankabût
ayat 28. Rasul menjawab, “Kaum Sodom itu melempari orang yang lewat
itu dengan batu dan meledeknya. Itulah kemungkaran yang mereka
lakukan.“
Riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Abbas menerangkan bahwa
kaum Nabi Luth memiliki dosa yang sangat besar yakni sodomi. Di antara
dosa-dosa tersebut, mereka melakukan kezaliman di antara mereka
sendiri, sebagian dari mereka mencela dan mengejek yang lain, saling
mengadu kentut di dalam majelis, saling melakukan sodomi, bermain dadu,
bermain catur, berpakaian warna-warni, menyabung ayam jago, mengadu
domba, mengecat ujung jarinya dengan hina’ (pewarna), lelaki berpakaian
dan bertingkah laku menyerupai perempuan, perempuan berpakaian dan
bertingkah laku seperti laki-laki, melempari orang yang lewat, dan yang
paling parah dari dosa mereka adalah menyekutukan Allah. Pada masa itu
muncul perbuatan keji pertama di dunia ini, yakni sodomi.
Ketika Nabi Luth mengingatkan perbuatan keji mereka itu, mereka
malah menantang agar Luth as segera mendatangkan azab yang dijanjikan.
Ayat 29 menyatakan,

            …

  


… Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-
orang yang benar. (QS Al-Ankabût [29]: 29)
Setelah Nabi Luth berusaha mencegah perbuatan keji kaumnya,
masyarakat sodom yang kufur itu bahkan menantang, ”Segerakan
datangnya azab yang kau ancamkan kepada kami jika engkau benar
sebagai rasul.”
Ini reaksi awal kaum Sodom setelah Nabi Luth memberikan saran
dan nasihat. Reaksi berikutnya bahkan lebih keras lagi, sebagaimana
diterangkan pada Surah Al-A’râf (7) ayat 82,
Surah Al-Ankabût (29): 28-35 271

Dan jawaban kaumnya tidak lain hanya berkata, “Usirlah mereka (Luth dan
pengikutnya) dari negerimu ini, mereka adalah orang yang menganggap
dirinya suci.”
Setelah merasa tidak berhasil mendakwahi kaumnya, Nabi Luth
memohon pertolongan kepada Allah Swt, sebagaimana diterangkan pada
ayat 30,

      


Dia (Luth) berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab)
atas golongan yang berbuat kerusakan itu.” (QS Al-Ankabût [29]: 30)
Luth berdoa, “Wahai Tuhanku, tolonglah aku dari orang-orang
yang berbuat kerusakan di bumi dengan melakukan perbuatan keji yang
menjijikkan (sodomi).”
Telah dimaklumi bahwa seorang nabi tidak akan memohon kehancuran
kaumnya, kecuali setelah dia mengetahui bahwa kehancurannya lebih baik
dibanding dengan keberadaannya, seperti yang disampaikan oleh Nabi
Nuh as dalam Surah Nûh (71) ayat 27,
Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan
anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.
Nabi Nuh as berpendapat bahwa keberadaan kaumnya sama sekali
tidak akan mendatangkan maslahat dan manfaat pada masa yang akan
datang jika dibiarkan hidup, baik manfaat materi atau kondisi kehidupan
bermasyarakat.
Allah Swt mengabulkan doa Nabi Luth, lalu mendatangkan malaikat
yang bertugas mengazab mereka sebagai bentuk pertolongan Allah
kepadanya. Ayat 31 menerangkan,

           

    


Dan ketika utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim dengan
membawa kabar gembira, mereka mengatakan, “Sungguh, kami akan
membinasakan penduduk kota (Sodom) ini karena penduduknya sungguh
orang-orang zalim.” (QS Al-Ankabût [29]: 31)
272 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Allah Swt mengutus malaikat yang bertamu kepada Nabi Ibrahim.


Nabi Ibrahim pun memperlakukan mereka seperti tamu biasa. Akan tetapi,
setelah mereka tidak mau menyentuh makanan yang dihidangkan, Ibrahim
menjadi takut.
Setelah mengetahui Nabi Ibrahim merasa ketakutan, malaikat itu
segera memberi kabar gembira kepadanya bahwa dia akan dikaruniai
seorang anak laki-laki saleh yang lahir dari Sarah, yakni Ishaq. Dari Nabi
Ishaq itu nantinya akan lahir seorang anak yang bernama Ya’qub.
Setelah memberikan kabar gembira itu, para malaikat memberi tahu
Nabi Ibrahim bahwa mereka juga diutus Allah Swt untuk menghancurkan
kaum Sodom (umat Nabi Luth), karena mendustakan rasul dan ajarannya
dan bergelimang di dalam perbuatan keji (sodomi).
Nabi Ibrahim mencoba mencegah atau menangguhkan azab tersebut.
Dia tetap berharap barangkali mereka masih bisa diberi petunjuk dan
merasa kasihan kepada keponakannya, Nabi Luth. Ayat 32 menerangkan,

             

    


Ibrahim berkata, “Sesungguhnya di kota itu ada Luth.” Mereka (para
malaikat) berkata, “Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami
pasti akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya, kecuali istrinya.’
Dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (QS Al-Ankabût
[29]: 32)
Nabi Ibrahim berkata karena merasa kasihan kepada Nabi Luth. “Di
kampung itu masih ada Luth yang tidak zalim, bahkan seorang rasul.”
Malaikat berkata, “Kami lebih tahu daripada dirimu bahwa di daerah
Sodom itu terdapat orang-orang beriman dan orang-orang kafir. Kami akan
menyelamatkan Luth as dan keluarga serta pengikutnya dari azab yang
menghancurkan mereka, kecuali istrinya yang kufur itu.”
Para malaikat itu datang ke rumah Nabi Luth menyerupai pemuda-
pemuda yang tampan-tampan. Nabi Luth pun menjadi panik karena
tahu apa yang akan dilakukan kaumnya terhadap tamunya. Ayat 33
menerangkan,
Surah Al-Ankabût (29): 28-35 273

           

          

 
Dan ketika para utusan Kami (para malaikat) datang kepada Luth, dia
merasa bersedih hati karena (kedatangan) mereka, dan (merasa) tidak
mempunyai kekuatan untuk melindungi mereka, dan mereka (para
utusan) berkata, “Janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati.
Sesungguhnya Kami akan menyelamatkanmu dan pengikut-pengikutmu,
kecuali istrimu, dia termasuk orang-orang yang tinggal (dibinasakan).” (QS
Al-Ankabût [29]: 33)
Setelah para malaikat utusan Allah itu datang, Nabi Luth merasa
sedih dan takut kalau tidak mampu melindungi tamunya, karena malaikat
itu tampil sebagai pemuda-pemuda tampan yang pasti digemari umatnya.
Para malaikat itu segera berkata, “Hai Luth, jangan takut dan jangan
sedih dalam menghadapi perilaku kaummu yang busuk itu. Kami hadir
di sini untuk mendatangkan azab kepada mereka dan menghancurkan
semuanya. Tapi, kami akan menyelamatkanmu dan orang-orang beriman
dari pengikut-pengikutmu, kecuali istrimu yang kafir itu. Dia (istri yang
kafir) akan hancur bersama orang-orang kafir dari umatmu itu. Sebab,
istrimu itu sama dengan kaummu, sama-sama menyetujui dan melakukan
penyimpangan seksual, bahkan menunjukkan tamumu kepada mereka.”
Para malaikat itu kemudian menerangkan kedahsyatan azab yang
akan menimpa kaum Sodom sebagaimana diterangkan dalam ayat 34
sebagai berikut,

          

 
Sesungguhnya Kami akan menurunkan azab dari langit kepada penduduk
kota ini karena mereka berbuat fasik. (QS Al-Ankabût [29]: 28-35)
Malaikat menurunkan azab yang sangat dahsyat dari langit kepada
kaum Sodom, yang akan menghancur-leburkan mereka sebagai akibat
kefasikan dan kekufuran mereka.
274 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Azab itu berupa gempa-bumi tektonik yang sangat dahsyat, sehingga


kampung itu ambles dan menjadi danau yang kemudian disebut Danau
Luth (Laut Mati). Gempa bumi itu mengguncang dengan sangat dahsyat
perkampungan Sodom sehingga seolah-olah bumi itu terbalik dan akhirnya
ambles yang sangat dalam. istilah ilmiahnya, likuefaksi.
Di samping itu, Allah Swt mengirim batu-batu kerikil yang terbakar
dari langit yang membakar mereka dan kampung halamannya. Itulah azab
pedih yang dijatuhkan kepada kaum Sodom yang kufur dan melakukan
perbuatan nista dan keji, homoseksual maupun lesbian.
Penggalan akhir dari ayat 35 menerangkan,

       


Dan sungguh, tentang itu telah Kami tinggalkan suatu tanda yang nyata
bagi orang-orang yang mengerti. (QS Al-Ankabût [29]: 35)
Bekas kehancuran dan daerah Sodom itu dapat disaksikan oleh
siapa pun agar dapat diambil pelajaran oleh orang yang mau merenungi
dan memikirkannya, Firman Allah Surah Al-Shaffât (37) ayat 137-138
menerangkan,
(137) Dan sesungguhnya kamu (penduduk Mekah) benar-benar akan
melalui (bekas-bekas) mereka pada waktu pagi; (138) Dan pada waktu
malam. Maka mengapa kamu tidak mengerti?

Hikmah dan Pesan


Ayat-ayat berikut penafsirannya di atas memberikan hikmah dan
pesan sebagai berikut:
(1) Nabi Luth menentang dan mengecam keras perbuatan-perbuatan
kaumnya; penyimpangan seksual (sodomi), pembegalan di jalanan,
dan membiarkan nasib kaum istri (kebutuhan seksual mereka tidak
dipenuhi).
(2) Kaum Nabi Luth tidak menghiraukan peringatan dan nasihat nabi
yang diutus kepada mereka, bahkan menantang agar didatangkan
azab secepatnya.
(3) Penyimpangan seksual, sebagaimana diisyaratkan ayat di atas,
termasuk sodomi itu harus dijatuhi sanksi hukum yang berat.
Surah Al-Ankabût (29): 28-35 275

Kekejian sodomi dan jenis penyimpangan seksual lainnya tak


ubahnya seperti zina, bahkan lebih buruk.
(4) Setelah Nabi Luth merasa bahwa kaumnya tidak akan menghiraukan
ajaran dan nasihatnya, maka dia berdoa dan memohon pertolongan
Allah Swt.
(5) Bentuk pertolongan Allah kepada Nabi Luth dan kaumnya yang
beriman, sehingga terhindar dari bahaya penyimpangan itu adalah
diturunkannya azab yang sangat pedih kepada kaum yang kafir dan
penjahat seksual tersebut.
(6) Nabi Luth dan orang-orang beriman diselamatkan. Sedangkan
orang-orang kafir yang menentangnya itu dijatuhi azab yang
berupa gempa bumi yang sangat dahsyat dan turunnya kerikil yang
membara dari langit.
(7) Akibat dari azab Allah yang menimpa kaum Sodom itu dapat
disaksikan sampai sekarang, yakni adanya Laut Mati (danau Luth) di
wilayah negara Yordania.
(8) Turunnya malaikat ke dunia itu mempunyai dua tujuan, yakni:
pertama, memberi kabar gembira kepada Nabi Ibrahim bahwa
dirinya akan dianugerahi seorang anak saleh melalui istrinya, Sarah.
Anak yang akan lahir itu bernama Ishaq yang kemudian menurunkan
Ya’qub (Israil). Kedua, mengazab umat Nabi Luth yang kafir dan
menyelamatkan beliau bersama orang-orang yang beriman.

***
276 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Kisah Nabi Syu’aib, Shalih, dan Musa (QS Al-Ankabût (26): 36-40)

          

         

         

        

        

         

          

          

       


(36) Dan kepada penduduk Madyan, (Kami telah mengutus) saudara
mereka Syu’aib, dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, harapkanlah
(pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di bumi berbuat kerusakan;”
(37) Mereka mendustakannya (Syu’aib), maka mereka ditimpa gempa
yang dahsyat, lalu jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan
di tempat-tempat tinggal mereka; (38) juga (ingatlah) kaum 'Âd dan
Samud, sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-
puing) tempat tinggal mereka. Setan telah menjadikan terasa indah bagi
mereka perbuatan (buruk) mereka, sehingga menghalangi mereka dari
jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan
tajam; (39) dan (juga) Qarun, Firaun dan Haman. Sungguh, telah datang
kepada mereka Musa dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
nyata. Tetapi mereka berlaku sombong di bumi, dan mereka orang-orang
yang tidak luput (dari azab Allah); (40) Maka masing-masing (mereka
itu) Kami azab karena dosa-dosanya, di antara mereka ada yang Kami
timpakan kepadanya hujan batu kerikil, ada yang ditimpa suara keras yang
mengguntur, ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan ada pula yang
Surah Al-Ankabût (29): 36-40 277

Kami tenggelamkan. Allah sama sekali tidak hendak menzalimi mereka,


akan tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri. (QS Al-Ankabût
(26): 36-40)

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah menceritakan kisah Nabi Nuh,
Nabi Ibrahim dan Nabi Luth. Pada ayat-ayat ini Allah Swt menceritakan
kisah Nabi Syu’aib, Nabi Hud, Nabi Shalih, dan Nabi Musa secara ringkas
yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan pelajaran tentang ihwal
para nabi tersebut bersama kaumnya masing-masing.
Jika dicermati dalam penuturan kisah ini dimulai dengan penyebutan
kaum, maka setelah itu baru disebutkan nabi-nabi yang diutus berdakwah
kepada kaum tersebut. Ini disebabkan bahwa kaum Nabi Syu’aib, kaum
Nabi Shalih, dan kaum Nabi Hud itu memiliki asal-usul keturunan yang
terkenal di kalangan umat manusia.
Oleh karena itu, dalam kisah itu disebutkan kaumnya terlebih
dahulu, barulah nabi-nabinya yang diutus. Ini sama seperti penyebutan
Qarun, Firaun, dan Haman dalam kisah Nabi Musa.
Adapun kaum Nabi Nuh dan Nabi Luth tidak memiliki nama khusus.
Oleh karena itu, yang disebut dan diperkenalkan lebih dahulu adalah nabi
yang diutus kepada kaum tersebut, seperti disebutkan kaum Nuh dan
kaum Luth.

Penjelasan Ayat

Kisah Nabi Syu’aib

          

     


Dan kepada penduduk Madyan, (Kami telah mengutus) saudara mereka
Syu’aib, dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, harapkanlah
(pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di bumi berbuat
kerusakan”. (QS Al-Ankabût (26): 36)
Allah mengutus kepada kaum Madyan seorang Nabi Allah, bernama
Syu’aib, dan termasuk salah seorang penduduk bangsa itu. Nabi Syu’aib
278 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

memerintahkan kaumnya menyembah Allah yang Esa, ikhlas dalam


beribadah kepada-Nya, melakukan perbuatan yang berpahala di akhirat,
takut akan azab yang pedih pada hari kiamat. Syu’aib juga melarang
kaumnya dari perbuatan yang merusak di muka bumi, jahat terhadap
penduduk bumi dengan mencurangi ukuran dan timbangan, merampok
orang di perjalanan, serta perbuatan maksiat lainnya.
Sejalan dengan penafsiran Al-Zuhaili, Al-Qasimi (XIII, t.t.: 4749)
menerangkan bahwa kaum Nabi Syu’aib itu jahat terhadap sesamanya.
Mereka mencurangi ukuran dan timbangan dalam berjual-beli, serta biasa
melakukan perampokan dan pembegalan di tengah jalan.

       


Mereka mendustakannya (Syu’aib), maka mereka ditimpa gempa yang
dahsyat, lalu jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-
tempat tinggal mereka. (QS Al-Ankabût (26): 37)
Kaum Madyan ternyata menentang dan mendustakan Nabi Syu’aib.
Sebagai akibatnya, Allah Swt menurunkan azab yang berupa gempa
bumi yang sangat dahsyat yang dapat memorak-porandakan daerah dan
tempat tinggal mereka. Juga terdengar suara yang dahsyat sehingga
menggetarkan jantung setiap orang.
Azab yang demikian itu terjadi pada malam hari yang gelap-gulita
dan membuat mereka mati bergelimpangan di tempat tinggal masing-
masing.
Kisah Kaum Madyan dan Nabi Syu’aib itu juga telah diceritakan pada
Surah Al-A’râf, Surah Hûd, dan Surah Al-Syu’arâ`.

Kisah Nabi Hud dan Nabi Shaleh

         

       


Juga (ingatlah) kaum 'Âd dan Samud, sungguh telah nyata bagi kamu
(kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Setan
telah menjadikan terasa indah bagi mereka perbuatan (buruk) mereka,
sehingga menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka
adalah orang-orang yang berpandangan tajam. (QS Al-Ankabût (26): 38)
Surah Al-Ankabût (29): 36-40 279

Allah juga telah mengazab kaum 'Âd, umat Nabi Hud as, yang
1bertempat tinggal di Al-Ahqâf, sebuah desa di Hadramaut Yaman. Ia juga
telah mengazab dan menghancurkan kaum Tsamûd, umat Nabi Shalih
as, yang bertempat tinggal di daerah Al-Hijr, dekat dengan Wâdi l-Qurâ`,
yakni daerah antara Hijaz dan Syam.
Kota Nabi Shalih itu masih ada bekas peninggalannya sampai
sekarang dan orang-orang Arab sangat mengenali tempat itu lantaran
sering melewatinya.
“Kalian, hai penduduk Mekah, hai orang-orang Arab yang musyrik!
Telah jelas bagi kalian tentang kehancuran kaum 'Âd dan kaum Tsamûd
itu. Kalian dapat menyaksikan sendiri bekas peninggalan sejarah mereka
jika kalian mau melihat dan mencermatinya.”
Ingat, setanlah yang telah memengaruhi keyakinan dan perbuatan
mereka. Akibatnya, mereka beribadah kepada selain Allah, kufur kepada
Allah, melakukan perbuatan maksiat, dan menghalangi orang lain untuk
memeluk agama yang benar dan jalan yang lurus.
Mereka itu sebenarnya orang-orang yang berakal dan cerdas. Tidak
ada alasan bagi mereka untuk tidak beriman. Namun, mereka tidak
menggunakan kecerdasan daya nalarnya dan tidak memikirkan lebih jauh
akibat perbuatannya itu.
Sudah sewajarnya kalau kalian dapat mengambil pelajaran dari kisah
itu. Orang berakal akan mengambil pelajaran dari kasus atau kejadian
yang menimpa pihak atau kaum lain.

Kisah Nabi Musa

       

      


Dan (juga) Qarun, Firaun dan Haman. Sungguh, telah datang kepada
mereka Musa dengan (membawa) keterangan-keterangan yang nyata.
Tetapi mereka berlaku sombong di bumi, dan mereka orang-orang yang
tidak luput (dari azab Allah). (QS Al-Ankabût (26): 39)
Allah juga telah mengazab dan menghancurkan Qarun, konglomerat
satu-satunya di Mesir, Firaun, raja Mesir yang berkuasa pada zaman Nabi
Musa; termasuk juga Haman, seorang menteri yang membantu Firaun.
280 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Nabi Musa as telah berdakwah kepada mereka dengan dalil-dalil


dan bukti-bukti nyata yang mendukung kebenaran risalahnya. Namun,
mereka sombong, menolak untuk beriman kepada Nabi Musa, bahkan
mendustakan Allah dan rasul-Nya.
Mereka itu orang-orang yang sesat dan merasa paling hebat, serta
berkuasa. Akan tetapi di hadapan Allah, mereka itu kecil dan hina, tidak
bisa menyelamatkan diri dari azab-Nya. Allah itu Maha Perkasa dan tidak
ada yang dapat mengalahkan-Nya.

Macam-Macam Azab Allah Swt


Selanjutnya, Allah Swt mengisahkan berbagai azab yang diturunkan
kepada umat terdahulu, antara lain sebagai berikut:

           

          

       


Maka masing-masing (mereka itu) Kami azab karena dosa-dosanya, di
antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, ada
yang ditimpa suara keras yang mengguntur, ada yang Kami benamkan ke
dalam bumi, dan ada pula yang Kami tenggelamkan. Allah sama sekali
tidak hendak menzalimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzalimi
diri mereka sendiri. (QS Al-Ankabût (26): 40)
Setiap kaum yang mendustakan rasul itu mendapatkan azab Allah
yang setimpal dengan perbuatan dosanya. Azab Allah di dunia ini dapat
dikelompokkan menjadi empat;
Pertama, Al-rrîhu l-'âshifah.
Allah mengazab kaum 'Âd dengan angin yang sangat kencang lagi
sangat dingin yang mampu menumbangkan pepohonan dengan akar-
akarnya. Angin itu membawa batu kerikil, lalu ditimpakanlah kepada
mereka. Itulah azab yang mereka terima sehingga membuat mereka luluh-
lantak dan hancur tanpa ada yang tersisa. Itulah akibat kekufuran mereka
(lihat Surah Fushshilat (41) ayat 15).
Kedua, Al-Shshaihah.
Allah menurunkan azab kepada kaum Tsamûd yang berupa al-
Surah Al-Ankabût (29): 36-40 281

Shshaihah, yakni al-rrajfah atau gempa bumi yang dahsyat. Ini sebagai
akibat kekufuran mereka. Mereka mengecam dan menentang Nabi Shalih
dan orang-orang beriman bersamanya. Mereka bahkan mengancam untuk
mengusir nabi dan orang-orang beriman dari kampung halaman sendiri.
Kalau tidak, mereka akan dirajam, hukum mati dengan dijatuhi batu besar.
Kaum Madyan yang kufur dan menentang nabi Allah juga mendapat azab
yang serupa.
Ketiga, Al-Khasaf.
Allah mengazab Qarun yang kufur dan menyombongkan kekayaan
duniawi dengan gempa tektonik yang mengakibatkan tanah itu ambles,
sebagaimana fenomena likuefaksi, dan menelan semua kekayaan Qarun
bersama dirinya.
Keempat, Al-Ighrâq.
Allah Swt menenggelamkan kaum Nabi Nuh yang menyembah
berhala itu dengan banjir bandang. Demikian pula Firaun dan tentaranya
yang ditenggelamkan di Laut Merah, tak ada seorang pun yang selamat.
Azab yang ditimpakan kepada mereka itu sebagai akibat kezaliman,
kekufuran, dan perbuatan dosa mereka. Allah tidak menzalimi mereka, tapi
mereka sendiri yang menzalimi diri sendiri.
Allah Swt sama sekali tidak akan menzalimi makhluk-Nya. Akan
tetapi, yang menghancurkan atau mengazab mereka itu adalah kezaliman
mereka sendiri, dan kekufuran mereka kepada Allah Swt.

Hikmah dan Pesan


Hikmah dan pesan yang dapat diambil dari ayat-ayat di atas adalah
sebagai berikut:
(1) Yang menghancurkan umat manusia, di dalam lintasan sejarah umat
terdahulu, adalah kekufuran kepada Allah dan rasul-Nya, seperti
kaum 'Âd, Tsamûd, Qarun, Firaun, Haman, dan lainnya.
(2) Azab yang menimpa penduduk Madyan adalah al-rrajfah (seperti
yang disebutkan ayat di atas), dan dalam Surah Hûd disebut al-
Shshaihah. Walaupun dua istilah itu berbeda, pada hakikatnya
adalah sama, yakni suara keras mengguntur dan keras, sebagai
akibat dari gempa yang dahsyat itu.
(3) Kaum 'Âd, umat Nabi Hud itu, mengingkari wujud Allah sebagai
Pencipta yang Maha Kuasa. Di samping itu, mereka menyombongkan
kekuatan fisiknya. Akibatnya, mereka mendapat azab yang berupa
282 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

angin kencang dan sangat dingin yang menghancurkan mereka


bersama kampung halamannya.
(4) Kaum Tsamûd, umat Nabi Shalih, telah mendustakan Nabi Shalih
dan mukjizatnya. Bahkan, mereka mengancam untuk mengusirnya
bersama pengikutnya. Akibatnya, Allah menjatuhkan azab seperti
yang dijatuhkan kepada kaum Madyan.
(5) Qarun dan kekayaannya ditelan bumi. Firaun, Haman, dan pengikut
mereka berdua ditenggelamkan di Laut Merah sebagai akibat
kekufuran dan kesombongan mereka.

***

Penyembah Berhala Seperti Laba-Laba (QS Al-Ankabût [29]: 41-


43)

         

           

             

         


(41) Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah
yang paling lemah ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui;
(42) Sungguh, Allah mengetahui apa saja yang mereka sembah selain
Dia. Dan Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana; (43 )Dan perumpamaan-
perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan
memahaminya, kecuali mereka yang berilmu. (QS Al-Ankabût [29]: ayat
41-43)

Latar dan Konteks


Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah menerangkan bahwa telah
menimpakan azab duniawi kepada orang-orang musyrik. Dia juga akan
Surah Al-Ankabût (29): 41-43 283

mengazab mereka dengan azab yang pedih di akhirat. Sesembahan


mereka yang berupa patung-patung dan berhala-berhala itu ternyata tidak
dapat memberi manfaat sedikit pun, baik dunia maupun akhirat.
Pada ayat-ayat di atas, Allah mengumpamakan orang-orang
musyrik yang menyembah selain Allah itu bagaikan laba-laba membangun
rumahnya yang sangat rapuh. Laba-laba tidak dapat melindungi dirinya dari
marabahaya, dan tidak dapat melindungi dirinya dari sengatan matahari
yang panas maupun hawa yang dingin.
Allah Swt kemudian menegaskan bahwa sesembahan selain Dia itu
tidak berarti sama sekali. Bagaimana mereka bisa menyembah tuhan-tuhan
itu, dan di sisi lain meninggalkan dan mengabaikan beribadah kepada Allah
yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Baik dan Sempurna ciptaan-Nya?
Allah mengalihkan perhatian kepada faedah dan manfaat membuat
perumpamaan bagi orang-orang musyrik yang menyembah berhala itu
dengan laba-laba. Dia yang membangun rumahnya yang sangat rapuh.
Ini bertujuan agar orang-orang yang menggunakan akalnya dapat
memikirkan betapa lemahnya orang-orang musyrik yang menyembah
patung dan berhala itu sesembahan mereka itu hanyalah benda mati yang
sama sekali tidak dapat memberi manfaat maupun mudarat.

Penjelasan Ayat
Selanjutnya Allah Swt berfirman,

         

…  
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah
seperti laba-laba yang membuat rumah….(QS Al-Ankabût [29]: ayat 41)
Kaum musyrikin yang mempertuhan berhala-berhala dan patung-
patung selain Allah Swt itu berkeyakinan dan berharap bahwa benda-benda
yang mereka pertuhan itu dapat memberi pertolongan, rezeki, manfaat,
dan perlindungan ketika terjadi musibah.
Mereka diumpamakan seperti laba-laba, dengan kelemahannya,
membuat rumah yang diharapkan dapat melindunginya dari panasnya
terik matahari dan hawa/udara yang dingin. Ternyata rumah itu sama
sekali tidak dapat melindungi dirinya. Jika ada angin yang bertiup agak
kencang, maka ia akan membuat rumah laba-laba itu hancur berantakan.
284 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Demikian halnya kaum musyrikin. Berhala-berhala dan patung-


patung yang mereka sembah itu tidak dapat memberi manfaat sedikit pun,
tidak dapat melindungi dari bahaya, dan tidak dapat memberi manfaat
apa pun. Apa yang mereka lakukan, baik sesembahan atau sesajen akan
mubazir dan tidak berdampak apa pun.
Surah Al-Furqân (25) ayat 23 menerangkan,
Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami
akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.
Allah kemudian menerangkan betapa lemahnya rumah laba-laba
tersebut, sebagaiman diterangkan pada akhir ayat 41 sebagai berikut,

          …


… Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba,
sekiranya mereka mengetahui. (QS Al-Ankabût [29]: 41)
Sesungguhnya rumah yang paling lemah dan ringkih adalah rumah
laba-laba, karena dapat dengan mudah hancur, walaupun terkena benda
yang remeh dan ringan, kemudian hancur tak berbekas. Demikian pula
amal baik para penyembah berhala itu, sama sekali tak berbekas dan
memberi manfaat bagi dirinya di sisi Allah Swt.
Kalau mereka memiliki nalar yang lurus dan ilmu yang objektif,
niscaya akan mengetahui bahwa ibadah mereka terhadap berhala itu sama
sekali tidak memberi manfaat bagi dirinya. Apa yang mereka lakukan tidak
lain adalah wujud kebodohan, karena tidak memikirkan akibat dari apa
yang mereka lakukan. Manfaat yang mereka harapkan ternyata hanyalah
angan-angan kosong belaka.
Allah Swt menegaskan bahwa berhala-berhala yang mereka
sembah itu bukan apa-apa, tak bermanfaat sama sekali. Selanjutnya Allah
mengancam penyembah berhala itu dengan firman-Nya,

             

Sungguh, Allah mengetahui apa saja yang mereka sembah selain Dia. Dan
Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS Al-Ankabût [29]: 42)
Sesungguhnya Allah Swt Maha Mengetahui bahwa tuhan yang
disembah selain Dirinya itu, seperti jin, manusia, berhala, dan lainnya itu
Surah Al-Ankabût (29): 41-43 285

adalah lemah dan tidak mampu memberi manfaat apa pun. Sedangkan
Dia Maha Kuat, Maha Kuasa, dan Maha Perkasa untuk memberi balasan
kepada orang yang kufur kepada-Nya, dan menyekutukan-Nya dalam
ibadah (syirkun ulûhiyyah).
Allah itu Maha Bijaksana terhadap ciptaan-Nya dan dalam mengatur
dan mengelola makhluk-Nya. Dia Maha Mengetahui apa yang dilakukan
makhluk-Nya. Dia adalah Maha Mengetahui orang yang menyekutukan
dan benda yang disekutukan dengan-Nya. Dia-lah yang akan memberikan
balasan kepada mereka yang menyekutukan-Nya.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Ibnu Katsir (III, t.t.: 37)
menerangkan bahwa perumpamaan ini sengaja dibuat oleh Allah Swt untuk
kaum musyrikin. Mereka mempertuhan selain Allah Swt dengan harapan
untuk mendapatkan atau menambah rezeki, dan bergantung kepadanya
pada waktu mendapat musibah dan penderitaan serta kesulitan hidup.
Mereka itu diumpamakan bagaikan laba-laba yang membangun
rumah yang rapuh dan lemah. Mereka itu bagaikan laba-laba, sedangkan
tuhan-tuhan yang disembah itu bagaikan sarang laba-laba, lemah dan
rapuh, tidak bisa dibuat perlindungan.
Andaikan mereka tahu dan menggunakan daya nalar yang sehat,
niscaya tidak akan mau mempertuhan benda-benda yang tidak dapat
memberi manfaat dan mudarat itu. Kondisi mereka bertolak belakang
dengan kaum Mukminin yang hatinya penuh dan mantap dengan
keimanan. Bedasar keimanan yang kuat itu, mereka berbuat baik sesuai
dengan tuntunan syariat Allah Swt. Itu yang disebut orang yang berpegang
pada al-'urwatu l-wutsqâ lâ in shâma lahâ (tali yang kuat yang tidak akan
putus), maksudnya adalah ajaran agama yang benar (Islam).
Allah Swt kemudian menjelaskan faedah dari pembuatan
perumpamaan itu pada ayat berikut,

         

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan


tidak ada yang akan memahaminya, kecuali mereka yang berilmu. (QS
Al-Ankabût [29]: 43)
Perumpamaan ini, dan perumpamaan-perumpaan lain di dalam
Al-Quran Al-Karim, sengaja dibuat untuk memudahkan mereka (umat
manusia) dalam memahami, dan untuk menjelaskan kepada mereka
apa yang mungkin belum jelas/masih samar-samar. Namun, yang dapat
286 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

menangkap makna perumpamaan itu dan dapat memahami hanyalah


para ulama dan ilmuwan yang mendalami ilmu dan menghayati hakikat
permasalahan atau sesuatu tersebut.
Menurut Imam Jabir, Rasulullah Saw membaca ayat ini, lalu
bersabda, “Yang disebut orang alim adalah orang memikirkan Allah Swt,
lalu beramal sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya, dan menjauhi apa yang
dibenci-Nya.“

Hikmah dan Pesan


Ayat-ayat di atas dan penafsirannya memberikan hikmah dan pesan
sebagai berikut:
(1) Penyembahan terhadap berhala itu kosong dari makna, tak berarti dan
tanpa tujuan. Demikian pula penyembahan itu juga tidak memberi
manfaat, seperti: rumah laba-laba yang tidak dapat melindunginya
dari udara panas, hawa dingin, dan bahaya kehancuran yang selalu
mengancam.
(2) Allah Swt mengumpamakan orang-orang yang menyembah berhala
seperti laba-laba yang membuat sarang atau rumahnya yang
sangat rapuh. Kalau mereka tahu bahwa penyembahan terhadap
berhala itu lemah bagaikan rumah laba-laba, niscaya mereka akan
meninggalkannya.
(3) Allah Swt Maha Mengetahui bahwa peribadatan selain kepada-Nya,
seperti kepada malaikat, bintang-bintang, berhala, jin, manusia, dan
lainnya adalah lemah, tak berarti di sisi-Nya. Apa-apa yang mereka
sembah itu tidak dapat memberi manfaat atau mencegah bahaya,
seperti rumah laba-laba.
(4) Manfaat yang diberikan oleh makhluk itu atas izin Allah, karena tidak
ada sesembahan yang benar dan sebenarnya, kecuali Allah, juga
tidak ada tuhan lain yang berhak diibadahi.
(5) Perumpamaan itu sangat bermanfaat bagi umat manusia. Mereka
dapat membandingkan antara keduanya untuk menentukan dan
memilih mana yang benar. Akan tetapi, yang mampu mengambil
pelajaran dan makna hakiki dari perumpamaan dalam Al-Quran itu
hanyalah orang-orang alim yang ilmunya mendalam.
(6) Orang-orang Quraisy mengatakan, ”Tuhan Muhammad itu
membuat perumpamaan dengan lalat dan laba-laba.” Mereka
menertawakan, karena tidak tahu bahwa tujuan perumpamaan
Surah Al-Ankabût (29): 41-43 287

itu guna mengantarkan makna kepada makna yang hakiki, yakni


membedakan antara orang-orang yang mengesakan Allah dengan
orang-orang yang menyekutukan-Nya.
(7) Orang-orang musyrik itu benar-benar bodoh dalam berkeyakinan.
Oleh karena itu, ayat ini sebenarnya menerangkan kebodohan
mereka itu lantaran menyembah sesuatu yang tidak memberi
manfaat kepada diri mereka. Sudah tahu bahwa yang disembah itu
hanyalah benda mati, tapi mereka tetap menyembahnya. Sudah
tahu bahwa tuhan yang disembah itu tidak dapat memberi manfaat,
tapi mereka tetap menyembahnya. Betapa bodohnya mereka itu.
(8) Di sisi lain, orang-orang kafir itu tidak mau menyembah dan beribadah
kepada Allah yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, dan
yang setiap perbuatan-Nya mengandung dan membawa hikmah.
(9) Adapun orang-orang beriman, hatinya yakin adanya Allah, Tuhan
satu-satunya yang berhak diibadahi. Beribadah kepadanya akan
membawa manfaat bagi dirinya. Orang-orang beriman akan selalu
berupaya untuk beramal baik sesuai dengan tuntunan syariat.
Dengan cara itu, mereka akan diantarkan menuju kebahagiaan dan
manfaat, dilindungi dari mara bahaya dan mendapat manfaat yang
berupa kebahagiaan dunia dan akhirat.

***
288 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Faedah Penciptaan Langit dan Bumi, Tilâwah Al-Qur'an, dan


Menegakkan Salat (QS Al-Ankabût [29]: 44-45)

           

            

           
(44) Allah menciptakan langit dan bumi dengan haq.626) Sungguh, pada
yang demikian itu pasti terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-
orang yang beriman; (45) Bacalah Kitab (Al-Quran) yang telah diwahyukan
kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu
mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat
Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Ankabût [29]: 44-45)

Latar dan Konteks


Setelah memerintahkan umat manusia beriman kepada Allah Swt
dan menjelaskan kelemahan dalil yang menjadi dasar peribadatan mereka
kepada berhala, maka pada ayat di atas Allah mengarahkan perhatian
bahwa yang wajib diibadahi adalah Tuhan yang tidak memiliki kelemahan,
pencipta seluruh langit dan bumi. Juga Dia menasihati melalui kitab-Nya
untuk berpegang teguh kepada ajaran yang benar dan menjelaskan cara-
cara beribadah yang benar, yakni melalui ibadah salat.
Ayat-ayat itu juga berfungsi menghibur hati dan pelipur lara bagi
Nabi Saw dan kaum Mukminin dalam menghadapi tantangan kaum kafir
yang sangat sulit untuk diarahkan menuju kebenaran. Termasuk, cara
mencermati, merenungkan, dan menghayati penciptaan seluruh langit dan
bumi, serta membacakan ayat-ayat Al-Quran yang menerangkan sejarah
umat dan nabi terdahulu, seperti Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Luth
yang mengemban risalah Allah Swt. Mereka (para nabi dan rasul) juga
menunjukkan dalil dan jalan keimanan kepada Allah.
Namun, umatnya tetap bersikukuh dalam kekufuran, kebodohan,
dan kesesatan, serta tidak menggubris risalah dan dakwah para rasul itu.
Surah Al-Ankabût (29): 44-45 289

Penjelasan Ayat
Allah Swt selanjutnya berfirman,

           
Allah menciptakan langit dan bumi dengan haq. Sungguh, pada yang
demikian itu pasti terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-
orang yang beriman. (QS Al-Ankabût [29]: 44)
Sesungguhnya Allah menciptakan seluruh langit dan bumi itu untuk
menunjukkan dan sebagai dalil kemahakuasaan dan keagungan-Nya,
menganugerahkan kebaikan, hikmah/kebijaksanaan, dan faedah-faedah
yang bersifat duniawi dan ukhrawi.
Allah Swt telah menciptakan keduanya (langit dan bumi) untuk
mewujudkan kebenaran, bukan kebatilan. Penciptaan keduanya (langit
dan bumi) itu bukan sia-sia, bukan tanpa tujuan. Itu menunjukkan dan
membuktikan secara nyata bahwa Allah Swt itu satu-satunya pencipta
dan pengelola alam semesta ini. Oleh karena Dia Sang Pencipta dan Sang
Pengelola tunggal (tauhîd rubûbiyyah), maka sudah sewajarnya kalau
hanya Dia yang berhak diibadahi (tauhîd ulûhiyyah).
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Allah Swt berfirman, “Aku
ini bagaikan harta terpendam. Aku ingin dikenal. Oleh karena itu, Aku
menciptakan makhluk, dan melalui makhluk-Ku itu mereka mengetahui
Diriku.”
Namun, hadis ini dinilai lemah, tidak sahih walaupun maknanya
sahih dan sejalan dengan firman Allah Surah Al-Dzâriyât (51) ayat 56
sebagai berikut,
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku.
Dalil-dalil dan rahasia penciptaan itu tidak dapat memberi manfaat,
kecuali kepada orang-orang beriman yang membenarkan dan meyakini
adanya Allah dan rasul-Nya. Sebab, mereka itu hanya bisa berdalil dengan
bekas-bekas ciptaan/makhluk yang diciptakan-Nya yang menunjukkan
sebagai Pembuatnya.
Allah Swt kemudian memerintahkan rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman untuk membaca Al-Quran, memahaminya, lalu mengajarkannya
kepada orang lain agar meningkatkan makrifah yang menunjukkan wujud
Allah, keesaan, kemahakuasaan, dan hikmah-Nya.
290 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Ayat 45 menerangkan,

….      

Bacalah Kitab (Al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad)....


(QS Al-Ankabût [29]: 45)
Hai Muhammad dan kaum Muslimin, bacalah Al-Quran secara dawam
(kontinyu), lalu dakwahkan kepada orang lain. Sebab, Al-Quran itu adalah
cahaya, petunjuk, rahmat, dan dalil yang menuntun manusia menuju
kebajikan dan kesuksesan, pelipur lara bagi orang yang bersedih atau
mendapat musibah hidup, menghilangkan keputusasaan, dan memotivasi
orang yang berkecil hati/menciut hatinya.
Penggalan ayat 45 berikutnya menerangkan bahwa salat adalah
permata hati orang beriman.

….           …


… Laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan)
keji dan mungkar…. (QS Al-Ankabût [29]: 45)
Hai nabi dan orang-orang beriman, tegakkan dan laksanakan
kewajiban salat dan salat-salat sunatnya, lengkap dengan syarat dan
rukunnya, khusuk dan tunduk, dan kehadiran hati yang takut kepada Allah.
Buah amal yang dapat dipetik dari kualitas salat yang semacam itu
adalah pelakunya terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.
Salat itu tiang agama, sarana komunikasi antara hamba dengan
Tuhannya, bukti atau wujud lahiriah dari keimanan dan keyakinan, jalan
keluar dari kesedihan, dan sebagai sarana penyucian hamba dari perbuatan
dosa dan kemaksiatan.
Dalam menafsirkan ayat ini, Al-Maraghi (XX, t.t.: 145) menerangkan.
Silahkan laksanakan salat secara benar, semata-mata ikhlas karena Allah,
khusuk, dan tunduk kepada-Nya, niscaya ia akan melindungimu dari
perbuatan keji dan mungkar.
Sebab, salat itu mengandung berbagai macam ibadah, seperti:
takbir, tasbih, bersimpuh di hadapan-Nya, rukuk, sujud dengan penuh
kerendahan hati dan pengagungan.
Di dalamnya ada doa-doa, dan perbuatannya mengisyaratkan dan
menunjukkan perlindungan dari perbuatan keji dan mungkar. Seolah-olah
Surah Al-Ankabût (29): 44-45 291

dapat dikatakan,
Bagaimana engkau akan bermaksiat kepada Tuhan, sedangkan
engkau sendiri orang yang selalu datang dan menyembah kepada-Nya?
Apakah layak engkau bermaksiat kepada-Nya? Sedangkan engkau selalu
mengucapkan dan melakukan hal-hal yang menunjukkan keagungan dan
keperkasaan-Nya, dan menundukkan seluruh jiwa dan raga ke haribaan-
Nya.
Al-Qasimi (XIII, t.t.: 4753) mengutip pendapat Al-Razi yang
mengatakan secara singkat bahwa Allah menyebut tilâwatu l-Kitâb/Al-
Quran dan ikamah salat itu menunjukkan keduanya harus dilaksanakan
dengan penuh pengagungan kepada Allah Swt.
Sedangkan berkaitan dengan lafaz wa ladzikru l-llâhi akbar, Al-
Qasimi menerangkan, “Jika kalian menyebutkan sifat-sifat baik orang tua,
lalu mengagumi dan memujinya, maka kalian perlu tahu bahwa kebaikan
Allah kepada kalian itu terlalu banyak untuk disebutkan. Oleh karena itu,
kalian harus lebih mengagungkan Allah dibanding yang lainnya.”
Hadis marfû' yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani dan lainnya, dari
Imran dan Ibnu Abbas menerangkan, “Barang siapa yang salatnya tidak
berfungsi mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar, maka dia
akan semakin menjauhkan dirinya dari Allah Swt.”
Imam Ahmad, Al-Nasa`i, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi meriwayatkan
hadis dari Anas ra. Nabi Saw bersabda, “Yang paling aku cintai di dunia ini
adalah para istri dan minyak wangi (parfum), dan yang menjadi permata
hatiku adalah salat.”
Salat yang berfungsi demikian itu adalah salat yang dilakukan
dengan khusuk, tunduk, dan ikhlas. Salat itu, di samping menghadirkan
fisik yang tunduk, juga menghadirkan hati yang khusuk, dan takut di
hadapan keagungan Allah yang diibadahi. Kalau salat itu tidak dilakukan
dengan sifat-sifat tersebut, maka hanyalah merupakan gerakan-gerakan
motorik dan aktivitas fisik yang tanpa jiwa. Ini bagaikan gambar atau video
orang yang sedang salat.
Abu Al-’Aliyah, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir (III, t.t.: 38),
berpendapat, salat itu harus memenuhi tiga syarat. Jika salah satunya
tidak ada, maka salat itu tidak berarti, yakni al-ikhlâsh, al-khasyyah, dan
dzikru l-llâh.
Ikhlash itu mendorong dirinya melakukan yang makruf. Al-Khasyyah
mencegahnya dari perbuatan mungkar, dan dzikru l-llâh (membaca Al-
Quran) akan memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar
292 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

sekaligus.
Ibnu Al-‘Aun Al-Anshari berpendapat, jika kamu melakukan ibadah
salat, maka kamu sedang berada dalam kebaikan. Salat itu akan melindungi
kamu dari perbuatan keji dan mungkar, karena salat itu juga mengandung
dan menuntun kamu untuk selalu ingat kepada Allah Swt di mana pun dan
dalam siatuasi apa pun.
Imam Al-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah. Rasulullah
Saw bersabda, ”Tahukah kalian jika ada sungai di depan pintu rumah
kalian. Lalu kalian mandi lima kali dalam sehari. Apakah masih ada kotoran
yang menempel pada badan kalian?”
Para sahabat menjawab, ”Tentu tidak, bahkan badan menjadi
bersih.”
Rasulullah melanjutkan sabdanya, “Itu perumpamaan salat lima
waktu yang berfungsi menghapuskan dosa.“
Imam Anas Ibnu Malik meriwayatkan, seorang pemuda dari
golongan Anshar mengerjakan bersama Nabi Saw. Namun, salatnya tidak
berfungsi mencegahnya dari perbuatan keji. Dia tetap saja mencuri. Lalu
hal itu dilaporkan kepada Nabi Saw.
Beliau bersabda, ”Salat itu akan mencegahnya dari perbuatan keji.“
Akhirnya, pada suatu saat pemuda itu bertaubat dan memperbaiki amalnya
menjadi saleh.
Rasulullah Saw kemudian bersabda, ”Bukankah telah aku katakan
kepada kalian tentang fungsi salat tersebut?”
Hadis riwayat Imam Al-Thabrani dan lainnya menegaskan, orang
yang salatnya tidak berfungsi melindungi dirinya dari perbuatan keji dan
mungkar, maka akan menambah jauh dirinya dari Allah Swt, dan akan
menambah murka Allah kepada dirinya.
Berkaitan dengan itu, penggalan akhir ayat 45 ini menegaskan,

         …


… Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya
dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS
Al-Ankabût [29]: 45)
Sesungguhnya salat itu wujud ketaatan yang paling besar. Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian lakukan, berupa kebaikan atau keburukan.
Dia Maha Mengetahui isi hati kalian. Dia Maha Mengetahui segala ucapan,
niat, dan perbuatan kalian.
Surah Al-Ankabût (29): 44-45 293

Dalam Surah Thâhâ (20) ayat 7 ditegaskan,


Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui
rahasia dan yang lebih tersembunyi
Ayat ini mengandung janji dan ancaman, serta anjuran untuk selalu
menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi makhluk-Nya di setiap saat
dan dalam segala keadaan. Barang siapa yang menyadari bahwa Allah itu
selalu mendengar dan melihat perbuatan hamba-Nya, maka semestinya
dia itu malu dan takut akan azab-Nya, lalu memperbaiki ibadahnya.
Orang yang zikir dengan sepenuh hati dan ketundukan, maka akan
dapat merasakan manfaat zikir itu sendiri. Akan tetapi orang yang berzikir
sekadar gerakan lidah/ucapan, tanpa kehadiran hati, pengagungan dan
kekhusukan, maka zikirnya itu tidak akan berdampak apa pun.
Ibnu Abbas bertanya kepada Abdullah Ibnu Rabi’ah, ”Apakah engkau
tahu makna ayat wa ladzikru l-llâhi akbar ?”
Abdullah menjawab, ”Ya, saya tahu.”
Ibnu Abbas melanjutkan, ”Apa maknanya?”
Abdullah menjawab, al-ttasbîh, al-ttahmîd, dan al-ttakbîr, dalam
salat, dan qirâ’ah Al-Qur'ân dan lainnya.”.
Ibnu Abbas menanggapi jawaban Abdullah, ”Jawabanmu itu hebat
sekali. Akan tetapi, ada yang perlu ditambahkan, bahwa Allah ingat
kepadamu ketika engkau melakukan yang makruf dan meninggalkan
yang mungkar. Zikir Allah Swt kepadamu itu lebih hebat dibanding zikirmu
kepada-Nya.”
Kata Ibnu Katsir (III, t.t.: 39), ini penafsiran yang dipilih oleh Imam
Ibnu Jarir Al-Thabari.
Firman Allah Swt, Wa l-llâhu a’lamu mâ tashna’ûn, Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian perbuat, baik berupa kebajikan maupun
keburukan. Dia akan memberi balasan amal kalian secara adil. Amal baik
akan diberi balasan pahala, dan amal buruk akan diberi balasan yang
berupa siksaan.
Itulah sunatullah yang diberlakukan pada hamba-Nya. Dia Maha
Bijaksana dan Maha Mengetahui segalanya secara detail ( Al-Maraghi, XX,
t.t.: 146).

Hikmah dan Pesan


Dua ayat di atas serta penafsirannya memberikan hikmah dan pesan
sebagai berikut:
294 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(1) Allah Swt menciptakan seluruh langit dan bumi dengan keadaan
kokoh dan seimbang, dengan tujuan untuk kepentingan dunia
dan agama. Dengan diciptakan langit dan bumi, manusia dapat
menjadikan keduanya sebagai bukti adanya Allah, sebagai
penciptanya, Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna.
(2) Yang dapat mengambil manfaat dari penciptaan langit dan bumi itu
adalah manusia. Namun, tidak akan mampu menjadikan dalil dan
bukti yang menguatkan keyakinan adanya sang Pencipta, kecuali
orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya.
(3) Setiap Muslim hendaknya membiasakan diri untuk membaca Al-
Quran dan mendakwahkan ajarannya, kerena Al-Quran itu kitab
hidayah dan pedoman hidup yang sangat utama.
(4) Setiap Mukmin hendaknya menjalankan salat dengan serius
(menjaga konsistensinya). Dilaksanakan pada waktunya, dengan
rukuknya, sujudnya, duduknya, tasyahhud-nya, dan dipelihara
seluruh syarat dan rukunnya.
(5) Salat lima waktu, yang lantaran di dalamnya terdapat bacaan ayat/
Surah Al-Quran, akan mampu mencegah pelakunya dari perbuatan
keji dan mungkar. Salat itu juga menghapuskan dosa-dosa kecil dari
pelakunya, jika dilakukan dengan benar, yaitu dengan hadirnya fisik
dan ruhani yang khusuk, serta tunduk kepada Zat yang diibadahi
(Allah Swt).
(6) Salat itu harus mencakup tiga hal. Kalau tidak, maka tidak bisa
disebut salat, yakni ikhlâsh, khasyyah (takut), dan zikrullah. Ikhlas
akan memerintahkan yang makruf, khasyyah akan mencegah
kemungkaran, dan dzikru l-llâh (Al-Quran) memerintahkan dan
mencegahnya.
(7) Firman Allah wa ladzikru l-llâhi akbar menunjukkan bahwa salat itu
sarana ketaatan kepada Allah yang paling besar dan ibadah yang
paling utama.
(8) Tilâwah (bacaan) Al-Quran dan salat hendaknya dilakukan dengan
pengagungan yang sempurna kepada Allah Swt.
(9) Rasul berkomentar berkaitan dengan wa ladzikru l-llâhi akbar adalah
“Allah mengingat kepada kalian itu lebih besar dibanding kalian ingat
kepada-Nya.”
Surah Al-Ankabût (29): 44-45 295

(10) Zikir yang bermanfaat adalah zikir yang didasari ilmu, kehadiran hati
yang tertuju kepada Allah, dan bukan sekadar zikir dengan lisan.
(11) Zikirnya Allah kepada hamba adalah limpahan hidayah dan cahaya
ilmu. Itulah buah dari zikir seorang hamba Allah.
(12) Kata wa l-llâhu ya’lamu mâ tashna’ûn merupakan salah satu bentuk
janji dan ancaman serta anjuran untuk murâqabah (merasa diri
diawasi oleh Allah) dalam keadaan sendirian atau bersama orang
lain.

***
296 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
Catatan Akhir 297

Catatan Kaki
1. Air Menumbuhkan Segala Macam Tumbuh-Tumbuhan
Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan
air dari langit untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang
berpemandangan indah? Kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-
pohonnya. Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sebenarnya
mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran). (QS Al-
Naml [27]: 60)
Berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan diciptakan Allah Swt. tumbuh di
muka Bumi. Setiap jenisnya memiliki organ atau bagian pokok, yaitu akar,
batang dan kulitnya, daun, dan bunga serta buah. Setiap organ tumbuh-
tumbuhan mempunyai fungsi yang berbeda untuk pertumbuhannya.
Pertumbuhan hidupnya ini ditentukan oleh berbagai faktor di antaranya
adalah kondisi tanah dan susunan kimianya, iklim, dan elevasi (ketinggian)
tempat tumbuhnya. Setiap jenis tanaman dapat tumbuh dengan baik pada
tanah jenis tertentu sesuai dengan kebutuhan akan nutrisi yang menjadi
kebutuhan untuk pertumbuhannya.
Dalam pertumbuhannya, tanaman membutuhkan sejumlah nutrisi atau
unsur dan senyawa kimia. Unsur-unsur kimia itu merupakan bagian pokok
dari susunan atau metabolisme tumbuh-tumbuhan. Ketidakhadiran unsur-
unsur tersebut dapat mengakibatkan tanaman tidak dapat tumbuh dalam
siklus kehidupan yang normal.
Kebutuhan akan unsur-unsur kimia untuk setiap jenis tanaman berbeda
satu sama lain. Keberadaan setiap unsur kimia harus berimbang dan
tidak melebihi ambang batas agar tanaman dapat tumbuh dengan
baik. Terganggunya keseimbangan atau berlebihannya unsur itu akan
mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu pula. Di lain pihak ada
beberapa jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan baik bila mendapat
tambahan nutrisi tertentu.
Nutrisi tanaman yang pokok, yaitu karbon, oksigen dan hidrogen diperoleh
tanaman dengan cara diserap dari udara, sementara nutrisi lain termasuk
nitrogen biasanya diperoleh dari tanah. Penyerapannya dari udara
dilakukan oleh daun dengan cara fotosintesis. Nutrisi lainnya diserap oleh
akar tumbuh-tumbuhan yang terdapat dalam tanah dalam bentuk garam
(senyawa kimia). Tumbuh-tumbuhan mengkonsumsi unsur-unsur ini dalam
bentuk ion.
Tanah adalah bahan yang gembur hasil pelapukan dari batuan penyusun
kerak bumi. Pelapukan mengakibatkan terjadinya penghancuran batuan
yang sebelumnya keras dan padat menjadi gembur berbutir-butir, biasanya
berukuran pasir dan/atau lempung. Pelapukan batuan dapat berlangsung
baik secara mekanis (disintegrasi) maupun secara kimia (dekomposisi).
Pelapukan mekanis mengakibatkan hancurnya batuan secara langsung,
terjadi perubahan struktur, sedangkan pelapukan kimia melalui penguraian
secara kimia terhadap mineral penyusun batuan, sehingga selain terjadi
perubahan struktur tanah juga susunan kimianya. Tergantung pada jenis
298 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

batuan asalnya, ada tanah yang kaya akan nutrisi tertentu ada pula yang
sebaliknya, sehingga pada tanah hasil pelapukan batuan tertentu hanya
cocok ditanami dengan tumbuh-tumbuhan tertentu pula.
Pelapukan batuan dapat terjadi karena adanya kegiatan hidrosfer dan
atmosfer, atau air dan udara. Ia merupakan proses reaksi antara air, udara,
dengan batuan sehingga terjadi penguraian mineral penyusun batuan
menjadi unsur-unsur kimia bebas yang dapat diserap oleh akar tanaman.
Air juga merupakan kebutuhan langsung bagi pertumbuhan tanaman.
Kekurangan air akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan
perkembangannya. Namun setiap tanaman memerlukan kadar air yang
berbeda, ada yang memerlukan air yang banyak untuk menunjang
pertumbuhannya, ada pula yang sedikit.
Air merupakan senyawa antara hidrogen dan oksigen dengan rumus kimia
H2O. Ia memiliki sifat-sifat gaya kohesi dan adesi, polaritas, pelarut, dan
menguap pada suhu tinggi. Sifat-sifat air seperti itu sangat berperan dalam
pertumbuhan dan kehidupan tanaman.
Dengan adanya gaya kohesi maka tanaman mampu menyerap air secara
vertikal. Kohesi memiliki tiga konsep yakni adanya perbedaaan potensi air
antara tanah dan atmosfer sehingga menjadi tenaga pendorong, memiliki
tenaga hidrasi dinding pembuluh xylem, sehingga mampu mempertahankan
molekul air terhadap gravitasi, dan adanya gaya kohesi antara molekul air
dapat membantu menjaga keutuhan kolom air dalam pembuluh xylem.
Gaya adesi pada tumbuhan terjadi pada dinding xylem. Gaya adesi pada
tumbuhan ini mengakibatkan kapilaritas pada tumbuh-tumbuhan dan dapat
menyebabkan naiknya cairan ke dalam tabung sempit tumbuh-tumbuhan.
Sifat polaritas dapat memungkinkan air mengubah bentuknya setelah
melewati xylem pada tanaman. Setelah melewati xylem, air akan berubah
menjadi bentuk tetesan karena sifat polaritas yang dimilikinya. Selain itu air
juga merupakan pelarut yang sangat baik bagi tiga kelompok bahan biologis
penting bagi tanaman, yaitu bahan organik, ion-ion bermuatan (K+, Ca2+,
NO3) dan molekul kecil.
Tumbuh-tumbuhan melakukan transpirasi pada dirinya sendiri untuk
mengatur suhu pada tumbuhan. Transiprasi pada tumbuhan terjadi ketika
air pada tumbuhan menguap saat terjadi suhu tinggi pada tanaman.
Dalam pertumbuhan tanaman, air memiliki beberapa fungsi di antaranya
adalah sebagai komponen utama dalam proses fotosintesis dan transpirasi
pada tumbuhan. Air menjadi sumber energi dalam proses fotosintesis,
sehingga dalam proses ini dibutuhkan air yang cukup banyak. Air juga
berfungsi dalam pembentukan protoplasma dan sebagai pelarut zat hara
dalam proses masuknya mineral dari tanah ke dalam tanaman serta
mendistribusikannnya keseluruh bagian tumbuhan.
Fungsi air yang lain dalam pertumbuhan tanaman adalah sebagai senyawa
untuk proses reaksi metabolik tumbuhan, sebagai reaktan yang bekerja
pada beberapa reaksi pada proses metabolisme, sebagai penghasil tenaga
mekanik pada proses pembesaran dan pembelahan sel, menjaga turgiditas
sel agar tetap terjaga. Air juga berfungsi sebagai senyawa yang dapat
Catatan Akhir 299

mengatur mekanisme pergerakan untuk membuka dan menutup stomata


pada tumbuh-tumbuhan. Air dapat bekerja sebagai sistem hidrolik dan dapat
menimbulkan turgor pada dinding sel karena memberikan tekanan pada sel
tanaman, dapat memperpanjang sel tumbuh-tumbuhan, dan sebagai bahan
untuk berbagai kegiatan tumbuh dan berkembangnya tumbuh-tumbuhan,
membantu proses respirasi tumbuh-tumbuhan. Selain itu air juga berfungsi
sebagai media pengangkut dan memindahkan hasil proses fotosintesis,
media dalam proses berlangsungnya biokimia, karena air merupakan zat
pelarut yang sangat baik dalam proses biokimia, dan sebagai pengatur
suhu pada tumbuhan agar tetap stabil, karena air memiliki panas jenis yang
tinggi dan dapat mengatur panas pada tumbuhan.
Hampir segala proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan
memerlukan air. Segala detail kegiatan yang dilakukan oleh tumbuhan selalu
ada peran air di dalamnya. Dapat dibayangkan apabila air yang dibutuhkan
oleh tumbuhan tidak tersuplai dengan baik.
Kekurangan air akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman.
Terganggunya pertumbuhan ini bisa disebabkan karena kekurangan energi
yang dibawa oleh air sehingga tanaman menjadi lemah dan layu. Tanaman
juga terlihat tidak tumbuh dengan baik (tidak sehat) karena mineral dan
hasil fotosintesis yang dibutuhkan oleh seluruh organ tumbuh-tumbuhan
tidak terangkut atau tersebarkan oleh air yang cukup.
Dengan demikian, air yang disebut sebagai bahan yang dapat menghidupi
tumbuh-tumbuhan dan menyuburkannya karena mempunyai dua fungsi
utama yaitu sebagai faktor pelapuk batuan menjadi tanah dan pembawa
nutrisi dari tanah ke organ tumbuh-tumbuhan.

2. Tidak Berduka terhadap Tipu Daya Orang-Orang Kafir


Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan
apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan
yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di
samping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati
(Nya). (QS Al-Naml [27]: 62)
Ayat ini ada relevansinya dengan ayat sebelumnya, sebagaimana dinyatakan
para ahli tafsir bahwa kekuasaan Allah bukan hanya penciptaan dan
pengaturan alam semesta yang menjadi ciptaan-Nya itu, tetapi makhluk
khusus seperti manusia memiliki spesialisasi dalam kehidupannya, baik
yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Dalam konteks keduniaan
paling tidak berkaitan dengan dirinya dan keluarganya yang pada saat atau
waktu tertentu tidak memenuhi hajat hidupnya; kadang-kadang manusia
merasa susah untuk memperolehnya, sehingga perlu memohon pada yang
lebih dari padanya dan yang lain dan bagi orang beriman akan memohon
pada Allah Swt.
Adapun yang memperkenankan doa manusia yang sedang ada dalam
kesulitan malah dalam situasi yang amat sulit, tidak lain Allah Swt. Manusia
tidak lepas dari segala hajat hidup itu yang adakalanya terpenuhi dan tidak
300 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

terpenuhi, lebih-lebih pada waktu yang amat sulit al-mudhthar, seperti itu.
Namun, manusia itu ada kalanya, tergoda dengan tuhan-tuhan selain Allah
dan kenyataannya memang banyak yang seperti itu, malahan yang ngaku
Muslim pun banyak yang tidak langsung memohon pada Allah, tetapi
menggunakan perantara-perantara. Banyak yang ingat Allah pun amat
sedikit, bila dibandingkan dengan ingatannya pada yang lain.
Ibnu Asyur dalam tafsirnya, Al-Tahrisr waTawir, sebagaimana dikutip oleh
Ustadz Quraisy Shihab dalam Al-Mishbah, X: 255, menyatakan sebagai
berikut: “Ayat di atas mengandung tiga situasi yang dapat dihadapi manusia
dalam kehidupan di dunia ini:
Pertama, memperkenankan orang yang dalam keadaan terpaksa, apabila
ia berdoa kepada-Nya. Keadaan terpaksa dimaksud adalah situasi yang
menjadikan seseorang berada dalam posisi yang mengharuskan ia
memperoleh hal-hal yang sulit diperoleh. Ini adalah peringkat hajat atau
kebutuhan walaupun belum sampai ketingkat darurat yang menyebabkan
kematian. Perlunya makanan, “minuman”, pakaian bahkan pernikahan
untuk menyambung generasi masa depan. Bila untuk pertama dan utama
itu belum terpenuhi jelas manusia memohon pada penciptanya”.
Kedua, yang dikandung oleh kalimat, yang menghilangkan kesusahan.
Menurut Ibnu Asyur adalah peringkat darurat karena banyak hal tercakup
dalam kalimat ini atau bahkan semuanya, sebagaimana pada ayat tersebut.
Ini merupakan pemeliharaan dari kesusahan dan kesulitan yang menyangkut
hal-hal yang amat penting bagi manusia, seperti memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, harta benda dan penghormatan. “Dalam konteks zaman
now, seperti pada generasi milenial ini, memelihara ekonomi dari ribawi
dengan adanya larangan ribawi, hifzh iqtishad, dan lingkungan hidup, hifzh
bî’ah merupakan bagian Maqâshidus Syarî’ah yang saat ini lagi diramaikan”
(penulis).
Ketiga, yang dikandung dalam kalimat: Yang menjadikan kamu khalifah-
khalifah di bumi; ini adalah peringkat pemanfaatan, pemeliharaan, dan
kepemilikan termasuk kepemilikan bumi ini, generasi demi generasi dan
kelahiran anak-anak yang kesemuanya diisyaratkan dengan kata khulafâ.
Oleh karena itu, Al-Biqa’i, sebagaimana dikutip oleh Ustadz M. Quraisy
Shihab dalam tafsirnya, menyatakan, “Kalimat kedua dan ketiga yang
disebut di atas, maksudnya ayat 62 adalah rincian dari yang pertama, yakni
penerimaan yang kedua. Beliau menulis bahwa kegembiraan dan yang kedua
menolak keburukan lebih penting, maka didahulukan penyebutannya yakni
menghilangkan keburukan terlebih dahulu, baru kemudian mengisyaratkan
besarnya nikmat Allah kepada manusia, yaitu penguasaan atas segala apa
dan siapa yang berada di bumi. Wahbah Al-Zuhaili dalam Al-Tafsîr Al-Munîr,
sebagaimana dalam terjemahnya, X: 313, “Ini adalah dalil bawa Allah
menanggung terkabulnya doa orang yang kesulitan ketika dia memohon.
Dengan doa itu orang menceriterakan dirinya. Sebab merendahkan dirinya
tumbuh dari ikhlas tidak ada kaitan hati selain dengan Dia, Allah Swt.
Keikhlasan di sisi Allah adalah posisi dan tanggungan yang tinggi”. Rasul
Saw memberikan banyak contoh tentang doa, seperti dalam ibadah-ibadah,
Catatan Akhir 301

salat, saum, haji, dan lain-lain. Dalam kitab-kitab hadis ada kitab atau fasal
yang memberikan contoh, seperti pentingnya doa antara lain doa-doa yang
terjemahnya, Ada tiga doa yang mustajab tidak ada keraguan di dalamnya
seperti hadis-hadis berikut:
Doa orang dianiaya, doa musafir, dan doa orang tua pada anaknya.
Doa lainnya, umpamanya
Dalam sahih Muslim, diterangkan, ketika beliau mengutus Muadz ke Yaman,
dikatakan, “Takutlah pada orang yang dizalimi, tidak ada antara doanya dan
Allah suatu penghalang.
Dalam pada itu, kosa kata khulafâ dengan berbagai macam tashrîf, shighat
cukup banyak dalam Al-Quran dan bentuk mufrad, jama, seperti kosakata
khalafa, mengganti kosa kata khilafah, khulafa, yastakhlif, yastakhlif atau
yang seumpamanya, baik kata kerja, sifat atau kata benda ada sekitar 15
kosakata, sebagai berikut:
(1) Istakhaklafa-1x:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-
Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa.
mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan aku. Dan barangsiapa yang (tetap) ka r sesudah (janji)
itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS Al-Nûr [24]:55)
(2) Yastakhlifu-2x:
Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. jika Dia menghendaki
niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa
yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah
menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain. (QS Al-Anâm [6]:
133)
Jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya aku telah menyampaikan
kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya
kepadamu. dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang
lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudarat kepada-Nya
sedikitpun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha pemelihara segala
sesuatu. (QS Hûd [11]: 57)
(3) Yastakhlifakum 1x:
Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh Firaun) sebelum kamu
datang kepada Kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab:
“Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan
kamu khalifah di bumi(Nya), Maka Allah akan melihat bagaimana
perbuatanmu. (QS Al-Arâf [7]: 129)
(4) Layastakhlifannahum
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-
302 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana


Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-
Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa.
mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan aku. Dan barangsiapa yang (tetap) ka r sesudah (janji)
itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS Al-Nûr [24]: 55)
(5) Khalifah, 2x:
Ingatlah ketika Tuhanmu ber rman kepada Para Malaikat:
“Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan ber rman:
“Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS
Al-Baqarah [2]: 30)
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)
di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan. (QS Shâd [38]: 26)
(6) Khalaif 7x- (QS Al-Anâm [6]: 165); (QS Yûnus [10]: 14 dan 73); (QS
Fathir [35]: 39); (QS Al-Arâf [7]: 69, 74); (QS Al-Naml [27]: 62, 14).
kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka
bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu
berbuat
Dalam catatan terjemah Al-Quran Departemen Agama dengan rujukan no
[1104] diterangkan bahwa yang dimaksud dengan menjadikan manusia
sebagai khalifah ialah menjadikan manusia berkuasa di bumi.
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan
Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Naml [27]: 165)
Namun, intinya tetap kembali pada manusia bahwa dalam situasi apapun
harus tetap tadzakkur, mengingat Allah yang selanjutnya manusia selalu
bersyukur kepada-Nya atas karunia-Nya. Sayangnya, manusia amat sedikit
mengingat Allah. Doa pada Allah Swt yang dilakukan manusia dalam situasi
apapun bagian dari zikir pada Allah dan mestinya pula manusia berdoa
kepadaNya, lambat atau cepat akan dikabulkanNya yang tentu dengan
persyaratan tertentu, sebagaimana firman-Nya:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
Catatan Akhir 303

mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman


kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al-Baqarah
[2]: 186), Dalam Surah Al-Mumin (40): 60 Allah menyatakan,
Dan Tuhanmu ber rman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam Keadaan hina
dina”.
Selain ayat-ayat di atas, dalam Al-Quran banyak sekali perintah dan anjuran
berdoa pada Allah Swt, malahan para rasul terdahulu pun memberi contoh
secara eksplisit doa-doa tersebut, seperti untuk diri sendiri, keluarga, orang
tua bahkan anak cucu yang akan menjadi generasi pelanjutnya, dan kaum
Muslimin, seperti dilakukan oleh Nabi Ibrahim as yang tercantum pada
surah Ibrâhîm (14): 40-41. Namun, manusia banyak yang pada lupa bahwa
semuanya merupakan karunia Allah, sehingga hanya sedikit mengingat
karunia tersebut. Maka manusia harus selalu beriman, bahkan bertaqwa
dalam segala aspek kehidupan agar doa bukan hanya dilakukan tetapi juga
diterima oleh-Nya.

3. Macam-Macam Gaib (Mutlak dan Nisbi)


Pengertian Alam Gaib
Kata ‘âlam artinya seluruh makhluk atau segala sesuatu selain Allah. Dalam
bahasa Arab, setiap jenis makhluk disebut ‘âlam. Ada yang disebut ‘âlam
al-hayawân (dunia hewan), ‘âlam al-a âk (angkasa raya), dan ‘âlam al-bihar
(dunia lautan).
Bentuk jamaknya adalah ‘âlamûn. Al-Quran di antaranya, menyebutkan
dalam QS Al-Fâtihah (1): 2 dan QS Al-A’râf (7): 54 (Muhammad Sayyid
Ahmad, 2009:13).
Ghâ‘ib secara lughawī (Bahasa) berasal dari kata-kata: Ghâba-Yaghâbu-
Ghâ’iban, yang bermakna Istatara (tersembunyi). Istataratu l-sysyams
artinya matahari tak terlihat dalam pandangan mata (Louis Ma’luf, 1997:
562). Kata ghâ‘ib merupakan antonim dari kata syahida dan hadhara (nyata
dan hadir).
Disebutkan, Ghâba fulânun ‘an bilâdihi (fulan pergi meninggalkan kampung
halamannya); Ghabat al-Syams (matahari tenggelam di barat dan
menghilang dari pandangan mata); Ghâba al-syai’ l-sysyai’ (sesuatu itu
menghilang dibalik yang lain); dan Ghâba ‘anhu l-‘amr (perkara itu menjadi
terselubung baginya).
Dengan kata lain gaib adalah tidak hadir, hilang, tidak tampak, tertutup.
Kata tidak hadir, hilang, tidak tampak, tersembunyi, tertutup itu sendiri
bukan berarti jadi “tidak ada” tapi hanya berubah “tempat” atau berubah
“bentuk”. Seperti “ponselku hilang dari dalam saku”, padahal ponselnya
tetap ada, tapi hanya berubah tempat dari saku pemiliknya menjadi di
dalam saku pencuri/di tempat lain.
Dengan demikian, hal gaib adalah sesuatu yang terselubung dan terhalang
dari indra dan akal. Pada hakikatnya, sesuatu yang terhalang dari indra
304 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

itu ada, tapi tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Sesuatu yang
terselubung dari akal bisa jadi sesuatu yang mustahil ada atau sesuatu
yang mungkin ada.
Sekutu Allah, misalnya, adalah sesuatu yang mustahil dan tidak rasional
karena pada dasarnya tidak ada.
Kebangkitan manusia setelah mati adalah hal yang dapat diterima akal,
namun belum ada saat ini. Berdasarkan khabar dari Rasulullah Saw, kelak
pada hari kiamat hal itu akan terjadi.
Wujud malaikat merupakan sesuatu yang masuk akal. Sekarang mereka
sudah ada, sesuai dengan informasi dari Rasulullah tentang mereka, namun
tak dapat dilihat.
Jadi, gaib: menunjukkan sebuah eksitensi yang pasti keberadaannya
namun tidak tampak secara kasat mata, tertutup, tersembunyi, dan tidak
hadir dalam pandangan lahir manusia karena sesuatu hal atau sebab.
Pada saat kata “alam gaib” disebut secara umum, maksudnya adalah
sesuatu yang tak dapat dilihat manusia, tapi di hadapan Allah ia tidak gaib.
Sesuatu yang kita katakana gaib, di sisi Allah tidak demikian (maklum). Allah
berfirman, tiada sesuatupun yang gaib di langit dan di bumi, melainkan
(terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauhu l-Mahfûzh). (QS Al-Naml [27]:75)
Karena itu, Allah memiliki sifat Alimu l-Ghaîb atau ‘Allamu l-Ghuyûb (Maha
Mengetahui hal gaib). Segala yang gaib bagi manusia, tidak gaib bagi Allah.
Bahkan tak ada apapun yang luput dari pengetahuan Allah.
Allah berfirman, dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan
benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu
terjadilah”, dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala
ditiup. Dia mengetahui yang gaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS Al-An’âm [6]:73)
Sifat-Sifat Kegaiban
Gaib Mutlak/Gaib Absolut: Kegaiban yang bisa dibuka tabirnya hanya
berdasarkan informasi dari kitab suci Al-Quran dan informasi dari Nabi Saw.
Gaib Nisbi/Gaib Relatif: Kegaiban yang bisa dibuka tabirnya dengan riset,
penelitian, dan keahlian, (dengan ilmu pengetahuan).
Jenis Kegaiban Absolut
Makhluk Gaib : Makhluk berakal yang diciptakan Allah Swt dalam kondisi
gaib, yaitu makhluk yang eksis atau ada, namun tidak dapat dijangkau
dengan perangkat indra. Malaikat dan Jin termasuk ketegori ini.
Peristiwa Gaib: Segala peristiwa yang akan terjadi dan hanya diketahui Allah
Swt, misalnya, peristiwa kematian, kiamat, dll.
Alam Gaib: Tempat atau alam yang diciptakan Allah Swt dalam kondisi gaib.
Tempat ini akan disinggahi atau dirasakan setelah manusia mati atau setelah
kiamat. Alam kubur (nikmat dan siksa kubur), alam mashsyar, surga, dan
neraka
Jenis Kegaiban Nisbi
Contoh gaib nisbi adalah kita yang berada di sebuah tempat tidak
mengetahui apa yang sekarang terjadi di tempat lain, kita tidak mengetahui
apakah terjadi kecelakaan atau tidak di tempat lain tersebut? Namun bagi
Catatan Akhir 305

orang-orang yang berada di tempat kejadian mengetahui hal yang terjadi


di sana seperti kecelakaan dan sebagainya. Peristiwa yang terjadi di tempat
lain itu bagi kita adalah gaib, dan bagi mereka yang berada di sana tidak
gaib (bukan gaib). Sehingga gaib ini disebut gaib nisbi (relatif).
Untuk itu semua, agama (Islam) berfungsi membantu manusia mengatasi
kekurangan dan keterbatasannya, memahami sesuatu yang sebelumnya
sulit dipahami.

4. Bertawakal kepada Allah Swt dalam Kebenaran


Hakekat Tawakal kepada Allah Swt.
Menurut bahasa, tawakal berasal dari bahasa Arab tawakkul berarti
mewakilkan atau menyerahkan (Ahmad Warson Munawwir, 1984:
1687). Menurut istilah, tawakal adalah menyandarkan hati kepada Allah
Swt ketika mencari maslahat atau menghindari mudarat dalam perkara
duniawi dan ukhrawi (Mahmud Al-Mishri Abu Ammar, 2009: 268). Menurut
Imam Al-Ghazali definisi Tawakal ialah menyandarkan kepada Allah Swt
tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepadaNya dalam waktu
kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang
dan hati yang tentram. Secara sederhana tawakal berarti berserah diri
sepenuhnya kepada Allah Swt dalam menghadapi atau menunggu hasil
suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.
Ibnu Qoyyim Al-Jauzi (1975 : 254)), mengatakan Tawakal adalah amalan
dan ubûdiyyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala
sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya
kepada-Nya dan rida atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan
keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi
dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ (baca: faktor-faktor
yang mengarahkannya pada sesuatu yang dicarinya) serta usaha keras
untuk dapat memperolehnya”.
Para ulama sepakat bahwa tawakal tidak bertentangan dengan usaha dan
kerja keras dalam mewujudkan sesuatu. Bahkan tawakal belum dapat
dibenarkan jika tidak didasari usaha. Jadi ada seseorang yang mengklaim
telah bertawakal, tetapi tidak disertai dengan usaha, ia sama saja dengan
tidak bertawakal karena tawakalnya masih kurang benar (Mahmud Al-Mishri
Abu Ammar, 2009: 269).
Menurut ajaran Islam, tawakal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu
usaha atau perjuangan. Jadi arti tawakal yang sebenarnya ialah menyerah
diri kepada Allah Swt setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja
sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti sunah Allah yang Dia
tetapkan. Misalnya, seseorang yang meletakkan sepeda di muka rumah,
setelah dikunci rapat, barulah ia bertawakal. Pada zaman Rasulullah Saw
ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lebih dahulu.
Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, “Saya telah benar-benar
bertawakal kepada Allah”. Nabi Saw mencela jawaban tersebut, dengan
berkata, “Ikatlah dan setelah itu bolehlah engkau bertawakal (HR Al-
Tirmidzi).”
306 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Dalil-dalil tentang Tawakal


Dasar hukum tentang tawakal terdapat dalam Al-Quran dan Al-Sunah.
Al-Quran sangat memberi perhatian terhadap permasalahan tawakal ini.
Sehingga cukup banyak ayat-ayat yang secara langsung menggunakan kata
yang berasal dari kata tawakal. Setidaknya terdapat 70 kali, kata tawakal
disebut oleh Allah dalam Al-Quran.
Dalil-dalil Al-Quran tentang Perintah Bertawakal
Tawakal adalah jalan terindah dan teragung bagi para hamba pilihan. Allah
Swt dan rasul-Nya memerintahkan para mukmin untuk memiliki akhlak
mulia ini. Beberapa ayat Al-Quran yang memerintahkan agar bertawakal
dalam kebenaran. Jika disimpulkan ayat-ayat tersebut mencakup tema-
tema berikut:
(1) Tawakal merupakan perintah Allah Swt.
Sebab itu bertawakal-lah kepada Allah, Sesungguhnya kamu berada di
atas kebenaran yang nyata. (QS Al-Naml [27]: 79). Lihat juga QS Hûd
[11]:123, (QS Al-Furqân [25]: 58), (QS Al-Syu’arâ` [26]: 217), (QS Al-
Naml [27]:79), (QS Al-Ahzâb [33]:3, (QS Al-Ahzâb [33]: 48),
(2)Larangan bertawakal selain kepada Allah (menjadikan selain Allah
sebagai penolong)
Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab
Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan rman): “Janganlah kamu
mengambil penolong selain Aku.” (QS Al-Isrâ` [17]: 2)
(3) Orang yang beriman; hanya kepada Allah-lah ia bertawakal.
Dan hanya kepada Allahlah, hendaknya orang-orang mukmin
bertawakal. (QS Âli ’Imrân [3]: 122)
Lihat juga (QS Ali Imrân [3]:160), (QS Al-Mâ`idah [5]:11), (QS Al-
Mâ`idah [5]: 23), (QS Al-A’râf [7] :89), (QS Al-Anfâl [8]: 2), (QS Al-
Taubah [9]: 51), (QS Al-Mujâdilah [58]: 10), (QS Al-Tagâbûn [64]: 13).
(4) Tawakal harus senantiasa mengiringi suatu azam (baca; keingingan/
ambisi positif yang kuat)
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya. (QS Âli ’Imrân [3]: 159)
(5) Allah sebaik-baik tempat untuk menggantungkan tawakal (pelindung)
Dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan
Allah adalah sebaik-baik Pelindung. (QS Âli ’Imrân [3]: 173). Lihat juga
(QS Al-Nisâ` [4]:81), (QS Al-Nisâ` [4]:109), (QS Al-Nisâ [4]:132), (QS
Al-Nisâ` [4]:171).
(6) Akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan anugerah dari Allah.
“Barangsiapa yang tawakal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS Al-Anfâl [8] : 49). Lihat juga
(QS Al-Isrâ` [17]: 65).
(7) Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat (surga)
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya,
pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di
dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau
Catatan Akhir 307

mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada


Tuhan saja mereka bertawakal. (QS Al-Nahl [16]: 41-42). Lihat juga
(QS Al-Ankbût [29]: 58-59).
(8) Allah akan mencukupkan orang yang bertawakal kepada-Nya.
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS Al-Thalâq [65]: 3)
Dalil-dalil Hadis Nabi Saw tentang Perintah Bertawakal
Kata tawakal, juga banyak disebutkan dalam Hadis Nabi Saw lebih banyak
lagi sekitar 900-an Hadis yang terdapat dalam 9 kitab hadis induk, yaitu
Shahih Al-Bukhârî, Muslim, Sunan Abû Dawud, Al-Timidzi, Al-Nasâ`i, Ibnu
Majah, Al-Darimi, Al-Muwatha’ Malik dan Musnad Imam Ahmad Ibnu
Hambal. Dari hadis-hadis tentang tawakal ini, dapat disimpulkan beberapa
poin :
(1) Tawakal merupakan sunah Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw sendiri senantiasa menggantungkan tawakalnya
kepada Allah Swt. Salah satu contohnya adalah bahwa beliau selalu
mengucapkan doa-doa mengenai ketawakalan dirinya kepada Allah
Swt:
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah Saw senantiasa berdoa, ‘Ya Allah
hanya kepada-Mulah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mulah aku
beriman, hanya kepada-Mulah aku bertawakal, hanya kepada-Mulah
aku bertaubat, hanya karena-Mulah aku (melawan musuh-musuh-Mu).
Ya Allah aku berlindung dengan kemuliaan-Mu di mana tiada tuhan
selain Engkau janganlah Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup
dan tidak pernah mati, sedangkan jin dan manusia mati (HR Muslim).
(2) Allah merupakan sebaik-baik tempat untuk bertawakal.
Rasulullah Saw bersabda :
Dari Ibnu Abbas ra, Hasbunallâh wani’ma l-Wakîl kalimat yang dibaca
oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam ap, dan juga telah dibaca
oleh Nabi Muhammad Saw ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya
takut kepada mereka; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan
segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu
dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya
dan membaca, Hasbuna l-llah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang
mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.”
(HR Al-Bukhari)
(3) Tawakal yang diawali dengan usaha maksimal akan dijamin rezekinya
oleh Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda:
Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ’sekiranya
kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-
benarnya, pastilah Allah akan memberikan rezeki kepada kalian
sebagaimana Allah memberi rezeki pada seekor burung. Pergi pagi hari
308 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan
perut kenyang. (HR Al-Tirmidzi)
(4) Tawakal dilakukan setelah menjalankan usaha maksimal.
Rasulullah Saw bersabda:
Dari Anas Ibnu Malik ra, ada seseorang berkata kepada Rasulullah Saw.
‘Wahai Rasulullah Saw, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau
aku lepas ia dan aku bertawakal?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Ikatlah
kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR Al-Tirmidzi)
Manfaat Tawakal dalam Kehidupan
Sikap dan jiwa tawakal akan banyak mendapatkan manfaat di antaranya
adalah :
(1) Yakin bahwa Allah sebagai penguasa alam semesta
(2) Mempunyai keberanian dalam menghadapi berbagai masalah.
(3) Mempunyai sifat optimis dan jiwa yang tangguh.
(4) Dapat merasakan ketenangan dan ketentraman jiwa.
(5) Selalu percaya terhadap ketentuan dan ketetapan Allah Swt
(6) Memiliki jiwa yang penuh rasa syukur.
(7) Tahu keutamaan dari sikap tawakal.
(8) Menyadari bahwa manusia banyak kekurangan (yang sempurna
hanyalah Allah).

5. Tanda-Tanda Datangnya Kiamat (Dikeluarkannya Binatang yang


mengatakan kebenaran Ayat-ayat Allah)
Pengantar
Hari kiamat sering juga disebut dengan hari akhir (al-yaumu l-âkhir). Kata
ini menunjukkan hari terakhir dan hari penghabisan dari hari-hari kehidupan
dunia ini, dan juga mempunyai makna kebinasaan alam semuanya dan
terhentinya kehidupan ini secara total. Dalam Filsafat Islam pembahasan
tentang hari akhirat ini, sering disebut dengan istilah eskatologi. Eskatologi
berasal dari kata eschalos dalam bahasa Yunani yang berarti ‘yang terakhir’,
‘yang selanjutnya’, dan ‘yang paling jauh’. Ketika kata eschalos disandingkan
dengan kata logos menjadi eskatologi dalam bahasa Indonesia berarti ilmu
atau pengetahuan tentang hal-hal akhir, hal-hal pamungkas, atau yang
menyangkut realitas akhirat sebagai akhir kehidupan seperti kematian,
kebangkitan, pengadilan terakhir, serta kiamat sebagai akhir dunia (Andy
Hadiyanto, 2018: 191).
Secara sepesifik Al-Quran mempunyai satu surah bernama Surah Al-Qiyâmah,
yang menjelaskan tentang hari akhir. Walaupun demikian nama-nama
hari kiamat disebut dengan istilah yang beragam dalam Al-Quran, antara
lain: al-ssâ’ah (waktu terjadinya hari kiamat), al-yaumu l-âkhir (hari akhir),
yaumu al-bâ’ats (hari kebangkitan), al-wâqiah (peristiwa yang dahsyat),
yaumu al-fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan), dan
masih banyak lainnya. Dalam Al-Quran kata al-yaumu l-âkhir terulang 24
kali, di samping kata “akhirat” terulang sebanyak 115 kali. Belum lagi kata
padanannya. Ini menunjukkan betapa besar perhatian Al-Quran dan betapa
penting permasalahan ini (M.Quraish Shihab, 1996: 81).
Catatan Akhir 309

Pembahasan terhadap hadis Jibril yang diriwayatkan oleh Umar ra


menunjukkan bahwa pilar konsep keberagamaan ada empat, yaitu: Iman
(akidah), Islam (sariah), Ihsâ’n (akhlak), dan Sâ’’ah ( qh tahawulat/
fikih akhir zaman). Berikut ini merupakan bagian dari hadis tersebut: “...
kemudian dia (Malaikat Ijibril) berkata: ”beritahukan aku tentang hari
kiamat (kapan terjadinya)”. Beliau Rasulullah Saw bersabda:” Yang ditanya
tidak lebih tahu dari yang bertanya”. Dia berkata: ”Beritahukan aku tentang
tanda-tandanya”, beliau Saw bersabda: ”jika seorang hamba perempuan
melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki
dan dada, miskin dan pengembala domba, (kemudian) berlomba-lomba
meninggikan bangunannya.” (HR Muslim)
Kajian tentang eskatologi dalam hal ini merupakan wilayah garapan ilm
sa’ah, yang menjelaskan tentang tanda-tanda dekatnya kiamat serta
terjadinya kiamat. Menurut Abu Bakar Al-Adani, ilmu tentang kiamat ini
berbicara tentang tanda-tanda kiamat besar, kiamat sedang, dan kiamat
kecil (Ali Al-Mashhur, 2015: 18).
Secara umum ada 10 tanda-tanda datangnya kiyamat besar, sebagaimana
dijelaskan dalam Hadis berikut ini: Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa
Hudzaifah Ibnu Usaid Al-Ghifari berkata, Rasulullah Saw mengawasi kami
dari kamar saat kami berdialog tentang hari kiamat, maka beliau bersabda:
“Hari kiamat tidak akan terjadi hingga kalian melihat sepuluh tanda tersebut
adalah: (1) terbitnya matahari dari barat; (2) kepulan asap; (3) keluarnya
binatang (dâbbâb); (4) keluarnya Ya’juj dan Ma’juj; (5) keluarnya Isa Ibnu
Maryam as.; (6) keluarnya Dajjâl; (7) serta tiga kelongsoran: kelongsoran
di barat, (8) kelongsoran di timur dan; (9) kelongsoran di jazirah Arab;
serta (10) api yang keluar dari bawah bumi ‘Adn yang menggiring manusia
di mana saja mereka bermalam dan dimana saja mereka tidur siang.” (HR
Muslim dan ash-hâbu l-sunan. Al-Tirmudzi berkata: “Hasan shahîh”)
Dalam pembahasan ini, penulis lebih fokus pada pembahasan tanda-tanda
kiamah besar terutama tentang keluarnya binatang melata (dâbbah) yang
keluar dari bumi yang berbicara kepada manusia dengan bahasa yang
mereka pahami, bahwa manusia sudah tidak percaya dengan ayat-ayat
Allah. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran sebagai berikut:
Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis
binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa
sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami. (QS Al-
Al-Naml (27): 82)
Maksud dari kata “Perkataan telah jatuh” di sini ialah ketentuan datangnya
masa kehancuran alam. Salah satu dari tanda-tanda kehancuran alam
ialah keluarnya sejenis binatang melata yang disebut dalam ayat ini adalah
Dâbbah.
Ketetapan azab telah jatuh pada manusia akibat mereka terus menerus
hanyut dalam maksiat dan perbuatan yang melampaui batas serta sikap
berpaling mereka dari ajaran syariat Allah dan hukum-Nya. Mereka menjadi
makhluk Allah yang paling jahat. Pada saat itu, Allah Swt keluarkan kepada
310 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

mereka dari muka bumi di akhir zaman satu pertanda dari tanda-tanda
kiamat besar, yaitu sejenis binatang yang akan memberitahukan kepada
mereka bahwa sesungguhnya manusia yang mengingkari hari kebangkitan,
mereka itu tidak mengimani Al-Quran, Muhammad Saw dan ajaran
agamanya dan tidak juga beramal salih.
Binatang itu akan keluar di akhir zaman ketika kerusakan melanda manusia
dan mereka sudah berani meninggalkan perintah-perintah Allah serta
mengubah agama mereka yang hak. Allah mengeluarkan binatang itu dari
bumi. Ada yang mengatakan, dimulai dari Mekah, ada yang mengatakan,
dari kota lain. Kemudian binatang ini berbicara kepada manusia tentang
hal itu (Tafsir Ibnu Katsîr). Imam Muslim meriwayatkan hadis marfû’ dari
Ibnu Umar: bahwa “tanda hari kiamat besar (kubra) yang paling pertama
muncul adalah terbitnya matahari dari barat dan keluarnya binatang melata
di hadapan orang-orang pada permulaan siang.”
Pengertian dâbbah secara bahasa dalam kamus Arab-Indonesia dikatakan
adalah binatang melata. Kemudian bagaimanakah pengertian sesungguhnya
tentang dâbbah itu...? Berikut ini adalah penjelasan tentang dâbbah yang
sebenarnya sudah tertuang di dalam Al-Quran. Al-Quran memberikan
penjelasan secara terperinci, namun demikian harus mencari pengertian itu
secara kâffah atau keseluruhan antara ayat yang satu dengan ayat lainnya
agar terjadi suatu eksistensi pengertian yang sejalan dan dimaksudkan oleh
Allah sendiri di dalam penjelasannya. Dâbbah yang biasa diartikan binatang
melata itu sebenarnya hanya salah satu di antara pengertian dâbbah yg
sesungguhnya. Di bawah ini ada sebagian ayat-ayat yang menggunakan
istilah dâbbah:
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran) Allah ialah penciptaan langit dan
bumi dan makhluk-makhluk yang melata (dâbbah) yang Dia sebarkan
pada kedunya (langit dan bumi). Dia (Allah) Maha Kuasa mengumpulkan
semuanya apabila Dia kehendaki. (QS Al-Syûrâ [42]: 29)
Sesungguhnya binatang (makhluk dâbbah) yang seburuk-buruknya pada
sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-
apapun.” (QS Al-Anfâl [8]: 22). Maksudnya: manusia yang paling buruk di
sisi Allah ialah yang tidak mau mendengar, menuturkan dan memahami
kebenaran.
Sesungguhnya binatang (makhluk dâbbah) yang paling buruk di sisi Allah
ialah orang-orang yang ka r, karena mereka itu tidak beriman.” (QS Al-Anfâl
[8]: 55)
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan (dâbbah) dari air, maka
sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian
berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan
empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Nûr [24]: 45)
Dari pengertian ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dâbbah
adalah sosok makhluk yang berada di langit dan bumi, di antaranya ada
yang baik dan yang jahat menurut ketetapan Allah. Jadi sebenarnya yang
Catatan Akhir 311

dikatakan dâbbah itu adalah binatang melata memang ada benarnya tetapi
dâbbah bukanlah sekedar binatang melata semata karena binatang melata
tidak bisa berpikir dan binatang itu tidak mempunyai akal sehat seperti
halnya manusia. Jadi dâbbah ialah seluruh jenis makhluk yang berjiwa yang
di dalamnya termasuk adalah manusia. Wa l-lâlhu a’lam bi l-shshawâb.

6. Gunung-Gunung Bergerak Seperti Awan


Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di
tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan
Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Naml, [27]: 88)
Bumi yang kita huni terdiri atas tiga bagian atau lapisan, bisa dibandingkan
dengan sebutir telur. Bagian paling dalam adalah inti bumi (core), kuning
telur, sebelah luarnya disebut mantel (mantle), putih telur, dan paling luar
adalah kerak bumi (earth crust), cangkangnya. Bagian paling luarnya, kerak
bumi terdiri dari berbagai macam jenis batuan seperti batuan beku dan
vulkanik (igneous and volcanic rock), batuan endapan (sedimentary rock),
dan batuan malihan (metamorphic rock).
Bumi yang bulat bila dilihat dari luar angkasa, permukaannya tidak seluruhnya
rata. Ada bagian-bagian tertentu yang bergunung-gunung dan ada pula
daerah yang merupakan dataran yang luas dan nisbi rata, perbedaan tinggi-
rendahnya tidak besar. Dua bentuk rupa bumi atau morfologi tersebut,
berdasarkan skala dan tempatnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa
wilayah yaitu jalur gunung dan pegunungan, daerah bukit dan perbukitan,
daerah dataran tinggi, dan daerah dataran rendah. Morfologi suatu wilayah
biasanya berhubungan erat dengan keadaan geologi seperti jenis batuan
dan struktur bawah permukaan di daerah itu.
Bentuk muka bumi dari waktu ke waktu selalu berubah. Daerah yang tadinya
berbentuk gunung dan pegunungan pada suatu saat akan berubah menjadi
dataran yang luas dan sebaliknya, daerah pedataran pada suatu saat akan
berubah menjadi bentuk gunung dan pegunungan. Proses perubahannya
berlangsung sangat lambat, berdurasi jutaan bahkan puluhan-ratusan juta
tahun. Perubahan itu bisa disebabkan oleh dua jenis gaya atau kekuatan
yaitu gaya yang berasal luar, gaya asal luar, gaya eksogen, (exogenic
process) dan yang berasal dari dalam, gaya asal dalam, gaya endogen,
(endogenic process). Kedua jenis kekuatan ini biasanya saling berinteraksi
satu sama lain.
Kegiatan dari luar (gaya eksogen), merupakan kegiatan atmosfer dan
hidrosfer, udara dan air, karena adanya energi yang dipancarkan oleh
matahari. Gaya eksogen yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu udara dan
air ini mengakibatkan terjadinya pelapukan batuan penyusun kerak bumi
yang ada di/dekat permukaan dan selanjutnya diikuti oleh proses erosi dan
denudasi akan mengakibatkan perubahan morfologi.
Gaya endogen berasal dari energi yang dilepaskan dari bagian dalam bumi
yang dapat menggerakkan kerak bumi baik secara menegak (vertical)
maupun mendatar (horizontal).
312 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Pergerakan lempeng bumi secara mendatar ini yang kemudian dikenal


sebagai Teori Tektonik Lempeng (Plate Tectonic Theory). Teori mengenai
pergerakan (horisontal) kerak bumi diawali oleh hipotesa mengenai
pemisahan bagian kerak bumi yang dulunya dianggap menjadi satu
kesatuan, yaitu hipotes apungan benua (continental drift).
Hipotesa continental drift pada awalnya dicetuskan oleh Eduard Suess
(pada akhir abad 19) yang menganggap bahwa semua benua di belahan
selatan bumi ini pada mulanya menjadi satu dan disebut gondwanaland.
Anggapan ini (persatuan seluruh benua) didasarkan adanya kesamaan
formasi (geologi) di dalamnya pada suatu zaman atau era. Kemudian pada
awal abad 20, dua ahli yang lain yaitu F.B. Taylor (1908) dan Alfred Wagener
(1910 dan 1912) menganggap bahwa pada awalnya semua benua, pada
zaman Paleozoikum, menjadi satu yang disebut Pangaea. Pada zaman
geologi berikutnya, awal Mesozoikum, terjadi fragmentasi dan benua (yang
satu) itu terpecah-pecah dan memisahkan diri satu sama lain sehingga
terbentuklah sejumlah benua seperti yang dikenal sekarang ini.
Alexander du Toit, (1937) menganggap adanya dua masa benua yaitu
Laurasia (di utara) dan Gondwanaland (di selatan) yang dipisahkan oleh laut
Thetys. Penutupan Thetys terjadi karena adanya konvergensi kedua benua
itu yang disebabkan suatu sesar naik mendatar (upthrust) dari rangkaian
Alpine, Himalaya.
Berdasarkan Teori Tektonik Lempeng, kini kerak bumi terdiri dari sejumlah
lempeng atau fragmen-fragmen berukuran besar dan kecil. Tujuh lempeng
besar adalah Eurasia, Pasifik, Australia, Amerika utara, Amerika Selatan,
Afrika, dan Antartika. Sementara yang kecil adalah Filipina, Kokos, Nazka,
Karibia, Helenica, Turki, Arab, dan Iran.
Lempeng-lempeng bumi itu merupakan kerak bumi (earth crust), yang seolah-
olah mengambang di atas mantel karena dibatasi oleh ketidaksinambungan
Mohorovicic (Mohorovicic discontinuity). Ketidaksinambungan Mohorovicic
adalah semacam bidang (batas) ketidaksinambungan (diskontinitas)
kecepatan seismik yang sangat tajam, yang membatasi kerak bumi dari
lapisan mantel di bawahnya. Berdasarkan pendugaan geofisika (seismik)
kecepatan seismik dari gelombang longitudinal di bagian bawah kerak bumi
berkisar antara 6,7 – 7,2 km/det, sementara di bagian atas mantel berkisar
antara 7,6 – 8,6 km/det, sehingga kerak bumi yang lebih pejal mudah
bergerak di atas mantel yang nisbi lebih lembek. Kecepatan pergerakan
setiap lempeng tidak sama, yaitu sekitar 1 – 6 cm per tahun.
Pergerakan horisontal menimbulkan pemisahan atau pecahnya lempeng dan
pertemuan dua buah lempeng yang mengakibatkan terjadinya tumburan
atau tumbukan (collision) antara keduanya serta penunjaman salah satu
lempeng di bawah lempeng yang lain.
Pemisahan dua lempeng mengakibatkan terjadinya penerobosan dan
peleleran magma ke permukaan dan membentuk gunung dan pegunungan.
Lempeng-lempeng bumi yang berpisah saling menjauh ini biasanya terjadi
pada lempeng kerak lautan dan terjadinya proses pemekaran dasar
samudera (sea oor spreading) berlangsung jauh di kedalaman lautan.
Catatan Akhir 313

Oleh karena itu terbentuknya gunung dan pegunungan juga dapat terjadi di
bawah laut atau samudera dan dikenal sebagai pegunungan tengah lautan
(mid ocean ridge). Pegunungan bawah laut di Samudera Atlantik dan Pasifik
merupakan contoh dari pegunungan bawah samudera.
Tumbukan lempeng mengakibatkan terjadinya penunjaman salah satu
lempeng di bawah lempeng lainnya sehingga terbentuk suatu zona
penunjaman atau zona subduksi (subduction zone). Penunjaman lempeng
yang semakin dalam akan mengakibatkan kerak bumi mengalami
peningkatan suhu sehingga terjadi peleburan dan berubah menjadi masa
cair pijar yang disebut magma. Pada kondisi tertentu magma akan berusaha
menerobos keluar permukaan bumi dan mengalami proses pembentukan
batuan beku dan proses vulkanisma atau kegunungapian. Oleh karena itu
sebagian besar deretan gunung api biasanya terdapat berdampingan dengan
jalur penunjaman. Wilayah ini dapat terlihat mulai dari deretan kepulauan
Jepang, Filipina, ke Sulawesi dan seterusnya ke Indonesia bagian timur.
Bagian barat Pulau Sumatera (Pegunungan Bukit Barisan) juga merupakan
deretan gunung api yang bertalian dengan pembentukan jalur penunjaman.
Tumbukan lempeng kerak bumi dapat pula mengakibatkan terangkatnya
kedua pinggiran lempeng yang bertabrakan dan membentuk pegunungan.
Contoh dari peristiwa ini yang berlangsung jutaan tahun yang lalu adalah
Pegunungan Himalaya yang ketinggiannya sekarang mencapai 8 km di
atas pemukaan laut. Sekitar 71 juta tahun yang lalu Benua India masih
berada jauh di sebelah selatan katulistiwa. Dalam pergerakannya ke arah
utara kemudian, sekitar pada kurun waktu 10 juta tahun lalu Benua India
bertabrakan dengan Lempeng Eurasia dan membentuk Pegunungan
Himalaya yang sekarang bisa kita saksikan.
Deretan gunung dan pegunungan baik yang terdapat di daratan (karena
terjadinya penunjaman lempeng) maupun yang terdapat di lautan (karena
pemekaran dasar samudera), dalam sejarah perkembangan bumi selalu
berubah bentuk (morfologi) karena adanya gaya eksogen, dan seolah-olah
‘berpindah’ atau bergerak sesuai dengan pergerakan lempeng kerak bumi
karena adanya gaya endogen. Dengan demikian ‘pergerakan’ gunung itu
sebetulnya merupakan hasil perubahan bentuk rupa bumi (morfologi) yang
disebabkan karena adanya interaksi antara gaya asal dalam dan gaya asal
luar yang berlangsung terus menerus.

7. Adopsi/Pengangkatan Anak dalam Islam


Mengadopsi anak adalah fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat
kita, entah karena orang tersebut tidak memiliki keturunan, atau karena
ingin menolong orang lain, ataupun karena sebab-sebab yang lain.
Akan tetapi, karena ketidaktahuan banyak dari kaum Muslimin tentang
hukum-hukum yang berhubungan dengan ‘anak angkat’, maka masalah
yang terjadi dalam hal ini cukup banyak dan memprihatinkan.
Misalnya: menisbahkan anak angkat tersebut kepada orang tua angkatnya,
menyamakannya dengan anak kandung sehinga tidak memperdulikan
314 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

batas-batas mahram, menganggapnya berhak mendapatkan warisan


seperti anak kandung, dan pelanggaran-pelanggaran agama lainnya.
Padahal, syariat Islam yang agung telah menjelaskan dengan lengkap dan
gamblang hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah anak angkat
ini, sehingga jika kaum Muslimin mau mempelajari petunjuk Allah Swt
dalam agama mereka maka mestinya mereka tidak akan terjerumus dalam
kesalahan-kesalahan tersebut di atas.
Sejarah Adopsi dalam Islam
Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat
anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung
sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si
anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga
dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak
kandung lainnya.
Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah Saw pernah bersentuhan
dengan kebiasaan ini. Beliau pernah mengangkat seorang anak, yaitu
Zaid Ibnu Haritsah. Bahkan karenanya, kemudian Allah Swt menurunkan
beberapa firman-Nya untuk meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal
dari dialog antara Rasulullah Saw, Zaid, dan Haritsah, bapak kandung Zaid.
(Taqribut-Tahzib, hlm. 351.)
Catatan : Zaid Ibnu Haritsah Ibnu Syarahil Al-Kalbi, Abu Usamah, maula
nabi (budak yang telah dimerdekakan oleh beliau), seorang sahabat nabi
yang terkenal di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dia
meninggal sebagai syahid pada peperangan Mu`tah, ketika Rasulullah
masih hidup. Yaitu pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun.
Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku
yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak “musuh”. Waktu
itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang dagangan.
Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadijah Binti
Khuwailid ra yang bernama Hakim Ibnu Hazam Ibnu Khuwailid membelinya.
Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah ra sebagai hadiah. Yang kemudian
pasca pernikahannya dengan Rasulullah Saw, oleh Khadijah, Zaid diberikan
kepada Rasulullah Saw sebagai hadiah.
Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah Saw, terasalah
kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai akhirnya, datanglah
bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana mencarinya. Begitu
menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid dari Rasulullah
Saw. Akan tetapi, beliau tidak menerima tebusan tersebut, justru
menawarkan sebuah kemudahan. Yakni dengan menawarkan kebebasan
memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal bersama beliau, atau pulang dan
tinggal bersama keluarganya?
Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama Rasulullah
Saw. Maka Beliau Saw merasa terharu dengan keputusan Zaid yang
mengesankan itu, sehingga beliau Saw menggandeng tangan Zaid menuju
Kabah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan
orang-orang Quraisy: “Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini
Catatan Akhir 315

adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya”.


Mendengar ungkapan Rasulullah Saw, maka tentramlah hati bapak dan
paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan Zaid hidup bersama
Rasulullah Saw. Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid Ibnu
Muhammad, sampai turun Surah Al-Ahzâb ayat 5. (Dr. Abdur-Rahman Ra’fat
Al-Basya: 217-220. Ringkasan Shuwar min Hayati l-shshâhabah)
Status Anak Angkat dalam Islam
Firman Allah Swt di atas menghapuskan kebolehan adopsi anak yang
dilakukan di zaman Jahiliyah dan awal Islam, maka status anak angkat
dalam Islam berbeda dengan anak kandung dalam semua ketentuan dan
hukumnya.
Dalam ayat tersebut di atas Allah Swt mengisyaratkan makna ini:
“Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja”, artinya:
perbuatanmu mengangkat mereka sebagai anak (hanyalah) ucapan kalian
(semata-mata) dan (sama sekali) tidak mengandung konsekwensi bahwa
dia (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung), karena dia diciptakan
dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin anak itu
memiliki dua orang ayah (Kitab Tafsir Ibnu Katsîr [III]: 615).
Adapun hukum/fikh yang ditetapkan dalam syariat Islam sehubungan
dengan anak angkat yang berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah
adalah sebagai berikut:
(1) Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya,
berdasarkan firman Allah Swt,
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu
Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya,
tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu.
Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-
Ahzâb [33]: 5)
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini (berisi) perintah (Allah Swt)
yang menghapuskan perkara yang diperbolehkan di awal Islam, yaitu
mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang bukan anak kandung,
yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Swt memerintahkan
untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang
sebenarnya (ayah kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat
sebelah”
(2) Anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua
angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang
menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak
mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia.
(Hadis Shahih Riwayat Al-Bukhari (no. 3778)).
(3) Anak angkat bukanlah mahram (Mahram adalah orang yang tidak halal
untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang mubah (diperbolehkan
dalam agama). Lihat kitab Fathu l-Bâri (IV: 77).
316 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak-anak kandung


mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak
angkat tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain
yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.
Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa
Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah ra tinggal bersama Abu
Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai anak angkat),
maka (ketika turun ayat yang menghapuskan kebolehan adopsi anak)
datanglah Sahlah Bintu Suhail ra, istri Abu Hudzaifah ra kepada
Rasulullah Saw dan dia berkata: Sesungguhnya Salim telah mencapai
usia laki-laki dewasa dan telah paham sebagaimana laki-laki dewasa,
padahal dia sudah biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami
memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu Hudzaifah
ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal tersebut. Maka Rasulullah Saw
bersabda kepadanya, ”Susukanlah dia agar engkau menjadi mahram-
nya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri Abu Hudzaifah”
(Hadis Shahih Riwayat Muslim (no. 1453), hadis yang semakna juga
terdapat dalam Shahîh Al-Bukharî (no. 3778) atau Lihat kitab Tafsir
Ibnu Katsîr (III: 615).
(4) Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri
anak angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah.
Sebagaimana firman Allah Swt,
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi
nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada
Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang
Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang
Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid
telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila
anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
istrinya (menceraikannya). Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
(QS Al-Ahzâb [33]: 37).
Syaikh Abdur Rahman Al-Sa’di berkata: “Sebab turunnya ayat ini adalah
bahwa Allah Swt ingin menetapkan ketentuan syariat yang umum bagi
semua kaum Mukminin, (yaitu) bahwa anak-anak angkat hukumnya berbeda
dengan anak-anak yang sebenarnya (kandung) dari semua segi, dan bahwa
(bekas) istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat mereka…Dan
jika Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menjadikan suatu
sebab bagi (terjadinya) hal tersebut, (yaitu kisah) Zaid Ibnu Haritsah yang
dipanggil “Zaid Ibnu Muhammad” (di zaman Jahiliyah), karena Rasulullah
Saw telah mengangkatnya sebagai anak, sehingga dia dinisbatkan kepada
(nama) Rasulullah Saw, sampai turunnya firman Allah:
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak (kandung) mereka” (QS Al-Ahzâb [33]: 5).
Catatan Akhir 317

Maka setelah itu dia dipanggil “Zaid Ibnu Haritsah”.


Pengecualian Hukum
Mengenai keharaman memanggil seseorang dengan menisbatkan nasabnya
kepada orang lain ada pengecualiannya. Boleh seseorang menisbatkan
nasabnya kepada orang lain apabila tidak mengetahuinya, tidak disengaja
dan lain sebagainya, dalilnya sebagaimana firman Allah Swt:
Dan tiada dosa bagi/atas apa yang tidak kamu sengaja, akan tetapi yang
ada dosanya adalah yang disengaja oleh hatimu. (QS Al-Ahzâb [33]:5)
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, jika manusia menasabkan seseorang
kepada bapak angkatnya dikarenakan suatu kekeliruan, atau terlanjur
terucap tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak dihitung sebagai dosa.
Beliau menyebutkan riwayat dari Qatadah rahimauhllah yang menyatakan,
apabila Anda menasabkan seseorang kepada yang bukan bapak kandung,
berdasarkan persangkaan Anda, maka Anda sama sekali tidak berdosa. (Al-
Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân, XIV: 109).)
Mengomentari hadis Al-Bukhâri rahimahullah (no. 6766 dan no. 6768),
Al-Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata: “Kedua hadis ini tidak
memberikan pengertian, bahwa seseorang yang sudah terkenal dengan
penisbatan nasab kepada selain bapak kandunganya terkena ancaman
di atas, seperti Al-Miqdad Ibnu Al-Aswad. Akan tetapi yang dimaksud,
yaitu orang yang berpaling dari nasab bapak kandungnya dalam keadaan
mengetahui, sengaja dan sukarela. Karena, pada masa Jahiliyah masyarakat
tidak mengingkari orang yang mengadopsi anak orang lain dan seseorang
yang menisbatkan dirinya kepada bapak angkat yang mengadopsinya.
Sampai akhirnya turunlah ayat
Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak
mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. (QS Al-Ahzâb [33]: 5)
Dan firman-Nya ”
Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak
kandung kalian (QS Al-Ahzâb [33]: 4)
Setelah itu, setiap orang menisbatkan dirinya kepada bapak kandungnya
masing-masing dan tidak menisbatkan kepada bapak angkat yang
mengadopsinya. Akan tetapi masih ada beberapa orang yang terkenal
dengan nasab bapak angkat mereka, dengan tujuan agar mudah dikenal,
bukan menjadikannya sebagai bapak kandung, seperti Al-Miqdad Ibnu
Al-Aswad, karena bapaknya bukanlah Al-Aswad, akan tetapi Amr Ibnu
Tsa’labah Al-Bahrani. (Lihat Al-Fath, XII: 67)
Sedangkan Al-Aswad Ibnu Abdu Yaghuts adalah bapak angkat yang
mengadopsi beliau di masa jahiliyah, dan tidak pernah kita dengar adanya
pengingkaran Salaf dalam masalah itu, walaupun diucapkan dengan
sengaja. (Al-Jâmi’ li Ahkâmi l-Qur’ân, XIV: 109)
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:
Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya atau buyutnya dan
seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari bapak kandungnya,
maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana ucapan Rasulullah Saw:
Aku adalah anak Abdul-Muththalib, aku adalah seorang Nabi, dan itu bukan
318 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

suatu kedustaan [HR Al-Bukhari, no. 2930; Muslim, no. 78; Al-Tirmidzi, no.
1688; dan Abu Daud, no. 487]
Padahal nama beliau adalah Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Abdil-
Muththalib, dan beliau Saw mengatakan hal ini pada peperangan Hunain,
karena kakeknya lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan lebih berpengaruh di
hadapan mereka daripada bapaknya. (Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Cet. Darus-
Salam, II: 1845)
Fenomena sosial Memanggil ‘anak atau nak’ kepada orang lain untuk
memuliakan dan kasih sayang
Hal ini diperbolehkan dan sama sekali tidak termasuk perkara yang
dilarang dalam ayat di atas. Karena Rasulullah Saw sendiri melakukannya,
sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadis yang shahih, di
antaranya:
– Dari Ibnu Abbas ra dia berkata: Ketika malam (menginap) di Muzdalifah,
kami anak-anak kecil keturunan Abdul Muththalib datang kepada
Rasulullah Saw (dengan menunggangi) keledai, lalu beliau menepuk
paha kami dan bersabda: “Wahai anak-anak kecilku, janganlah kalian
melempar/melontar Jamrah ‘aqabah (pada hari tanggal 10 Dzulhijjah)
sampai matahari terbit”
– Dari Anas Ibnu Malik ra dia berkata: Rasulullah Saw pernah berkata
kepada: “Wahai anakku” (Hadis Shahih Riwayat Al-Bukhari (no. 4998
dan 5659).
Oleh karena itu, imam Al-Nawawi dalam kitab Shahîh Muslim (3/1692)
mencantumkan hadis ini dalam bab: Bolehnya seseorang berkata kepada
selain anaknya: “Wahai anakku”, dan dianjurkannya hal tersebut untuk
menunjukkan kasih sayang.
Bagaimana dengan kebiasaan kita memangil dan menisbatkan panggilan
kepada mahasiswa dengan menyebut wahai anak anak ku..apakah ini juga
berdampak pada keharaman dan haramnya menikahi mereka ? tentunya
tidak bila berdasarkan pada apa yg pernah dilakukan oleh rasul di atas dan
menjadi hal yang tidak dimaksudkan secara sengaja dalam pengangkatan
anak.
Demikianlah penjelasan singkat tentang hukum mengadopsi anak dalam
Islam. Meskipun jelas ini bukan berarti agama Islam melarang umatnya
untuk berbuat baik dan menolong anak yatim dan anak terlantar yang
membutuhkan pertolongan dan kasih sayang.
Sama sekali tidak! Yang dilarang dalam Islam adalah sikap berlebihan
terhadap anak angkat seperti yang dilakukan oleh orang-orang di zaman
Jahiliyah, sebagaimana penjelasan di atas.
Agama Islam sangat menganjurkan perbuatan menolong anak yatim dan
anak terlantar yang tidak mampu, dengan membiayai hidup, mengasuh
dan mendidik mereka dengan pendidikan Islam yang benar. Bahkan
perbuatan ini termasuk amal saleh yang bernilai pahala besar di sisi Allah
Swt sebagaimana dalam sabda Rasulullah Saw, “Aku dan orang yang
menyantuni anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian
Beliau Saw mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah Beliau Saw, serta
Catatan Akhir 319

agak merenggangkan keduanya


Artinya: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati
kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah Saw
Wa l-llâhu ‘alam.

8. Guilty Feeling atau Perasaan Bersalah


Karena itu, dia (Musa) menjadi ketakutan berada di kota itu, sambil
menungggu (akibat perbuatannya), tiba-tiba orang yang kemarin meminta
pertolongan berteriak meminta pertolongan kepadanya,”Engkau sungguh
orang yang nyata-nyata sesat.” (QS Al-Qashash [28]: 18)
Setelah membunuh orang Mesir Qibthi dengan tidak sengaja, Musa as
menjadi takut karena merasa bersalah sebagai akibat dari perbuatannya.
Lantaran itu, Musa selalu memperhatikan wajah-wajah setiap orang yang
dijumpainya. Dia selalu melihat reaksi dan ekspresi orang-orang terhadap
dirinya. Di dalam benak Musa muncul perasaan, jangan-jangan mereka
itu datang untuk menangkapnya. Mereka seolah-olah mengatakan kepada
orang-orang untuk menangkap dirinya.
Jika orang-orang duduk di satu tempat, kemudian tiba-tiba datang petugas
polisi mendekati mereka, maka (mereka) akan tetap duduk dengan
tenangnya. Akan tetapi, orang yang merasa bersalah/berdosa ketika
melihat anggota polisi, maka akan melarikan diri dan menjauh dari mereka.
(M. Sya’rawi, I, tt. : 6834).
Rasa bersalah yang dialami oleh Musa as diketahui lebih jelas dan terang
lagi, ketika ada seseorang dari kaum Bani Israil yang memerintahkan dirinya
segera keluar dari Mesir, karena tokoh-tokoh Firaun sedang merencanakan
melakukan penangkapan atas dirinya yang dapat mengancam keselamatan
hidupnya. (QS Al-Qashash [28]: 20). Maka, Musa as pun segera keluar dari
kota itu (Mesir) dengan rasa takut, waspada (kalau-kalau ada orang yang
menyusul atau menangkapnya), lalu berdoa: ”Ya Tuhanku, selamatkanlah
aku dari orang-orang yang zalim itu.”
Setelah menyimak tafsir ayat 18- 22 dari QS Al-Qashash ini, kita dapat
menangkap makna bahwa memang benar Musa as merasa bersalah /guilty
feeling dengan apa yang dilakukan sebelumnya.
Apa yang dimaksud dengan guilty feeling/perasaan bersalah itu?
Guilty feeling atau perasaan bersalah menurut para ahli psikologi adalah
suatu kondisi emosional yang dihasilkan dari pemahaman seseorang bahwa
telah terjadinya pebuatan dan tindakan penyimpangan standar moral
(Barton, 1992). Para ahli sepakat bahwa rasa bersalah ini bersumber dari
kepedulian yang tinggi individu terhadap standar moral yang berlaku bagi
dirinya atau berlaku dalam masyarakatnya.
Perasaan bersalah ini sering juga disebut a self administered punishment,
yaitu suatu proses pemberian sanksi atau hukuman terdahap diri sendiri
akibat adanya kesadaran terhadap nilai atau moral tertentu.
Rasa bersalah bukanlah sesuatu yang salah, sehingga harus dilenyapkan
begitu saja. Ada tempatnya untuk rasa bersalah yang sejati yakni tatkala
kita berdosa, baik terhadap Tuhan maupun sesama manusia. Namun,
320 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

terkadang kita terbelit oleh rasa bersalah semu, yaitu rasa bersalah karena
kita tidak berhasil mencapai target yang telah ditetapkan untuk diri sendiri,
dan target itu tidak berkaitan dengan dosa, baik terhadap Tuhan maupun
sesama manusia.
Menyoroti perasaan bersalah yang dirasakan oleh Musa, maka itu termasuk
perasaan bersalah yang sejati, yaitu merasa diri bersalah kepada Allah
Swt dan kepada sesama. Musa telah berdosa kepada Allah karena telah
melanggar larangannya, yaitu membunuh orang Qibthi, sekalipun tidak
disengaja. Kemudian dia merasa bersalah kepada sesama manusia, karena
menghilangkan nyawa orang lain, dan menimbulkan kesedihan bagi pihak
lain, seperti orang tua atau golongan/suku Qibthi.
Macam Rasa Bersalah
Ada tiga macam rasa bersalah yang tidak sehat, yaitu :
Unresolved Guilt: rasa bersalah yang belum terselesaikan.
Perasaan bersalah macam ini boleh jadi terjadi karena tidak menyadari
bahwa dirinya kurang terampil dalam meminta maaf terhadap orang yang
telah tersakiti. Juga bisa terjadi akibat perbuatan yang telah dilakukan
terhadap orang lain yang terlalu besar, sehingga sulit untuk memaafkan diri
sendiri.
Survivor Guilt : rasa bersalah dari orang yang selamat.
Perasaan bersalah ini muncul tanpa tahu secara jelas di mana letak
kesalahanan yang sudah diperbuat. Misalnya: orang yang selamat dari
kecelakaan, bencana, perang, atau tragedi yang mengerikan dapat
menyalahkan diri sendiri, karena selamat dari peristiwa itu. Mereka
berpikir:“Mengapa hanya diriku saja yang selamat, tetapi mereka tidak
selamat?”
Separation/disloyalty Guilt: rasa bersalah karena berpisah.
Perasaan bersalah tipe yang ketiga ini adalah perasaan bersalah yang
dirasakan karena harus meninggalkan orang lain untuk mengejar apa
yang diinginkan atau melanjutkan kehidupan. Misalnya, seseorang harus
merantau untuk mencari ilmu dengan konsekuensi harus meninggalkan
keluarga, seperti isteri, anak, dan orang tua, serta teman-teman dekat.
Dampak Psikologis yang Timbul
Di saat seseorang merasa bersalah yang berlebihan, maka ada dua dampak
(luka) psikologis yang akan muncul. Kedua dampak (luka) psikologis ini
akan memengaruhi kualitas hidup seseorang:
Pertama, berdampak kepada keberlangsungan hidup dan kebahagiaan
hidup. Orang yang mengalami hal ini akan menjadi tertekan secara
emosional dan sulit untuk fokus kepada kebutuhan dan kewajiban diri.
Akhirnya, orang itu akan menyalahkan diri sendiri secara terang-terangan.
Kedua, menimbulkan kekacauan pada hubungan seseorang dengan
orang lain. Rasa bersalah yang berlebihan dan belum terselesaikan akan
mengganggu serta membatasi komunikasi dengan orang yang pernah
disakiti. Artinya, seseorang menjadi sulit untuk kembali berhubungan seperti
dahulu, sebelum kesalahan terjadi. Bahkan, boleh jadi muncul ketegangan
maupun kecanggungan yang kurang baik.
Catatan Akhir 321

Solusi dari Perasaan Bersalah


Manusia, dalam kehidupannya, akan mengalami sedikit atau banyak
perasaan bersalah dengan tingkatan yang berbeda-beda dan bertingkat.
Rasa bersalah akan berubah menjadi racun apabila selalu terngiang dan
tidak mampu menyelesaikannya.
Salah satu solusi dari perasaan bersalah disini adalah bertobat kepada Allah
Swt dan meminta maaf kepada sesama manusia.
Allah Swt tidak hanya memaafkan pelaku dosa yang terpaksa atau tidak
tahu. Allah juga tidak hanya menunggu orang yang bersalah untuk
meminta ampun/maaf. Tidak! Sebelum manusia meminta maaf, Allah telah
memaafkan banyak hal. Bukan hanya Rasul Saw yang dimaafkan sebelum
beliau meminta maaf, tetapi juga orang-orang yang durhaka pun demikian.
Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka
(untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang
benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang
berdusta (QS Al-Taubah [9]: 43)
Berikut ini ayat yang menggambarkan tentang bimbingan sang Maha
Pemaaf bagaimana cara untuk mendapat penghapusan dosa dan pemaafan
Ilahi, melalui firman-Nya:
Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau
memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa. (QS Al-Nisâ` [4]: 149)
Pemaafan Allah sangat terbuka kepada siapapun yang bersedia memberi
kebaikan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, dan yang
bersedia memaafkan orang lain.
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)
kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang
yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Nûr [24]:
22)
Tidak adanya perintah meminta maaf, bukan berarti yang bersalah tidak
dianjurkan untuk meminta maaf, bahkan ia wajib memintanya. Tetapi yang
lebih perlu, menuntun manusia agar berbudi luhur sehingga tidak menunggu
atau membiarkan yang bersalah datang mengeruhkan air mukanya dengan
suatu permintaan, walau permintaan itu adalah pemaafan. Ketiadaan
perintah meminta maaf juga mengisyaratkan bahwa meminta maaf itu
harus tulus dan lahir dari hati sanubari, buka karena paksaan dari pihak
lain di luar dirinya.
Jika seseorang telah meminta maaf dan merasa telah diberi maaf yang
dirasakan oleh pelaku kesalahan, maka perasaan bersalah itu menjadi
hilang dan hati menjadi lapang atau lega. Akibatnya, hati menjadi sehat
kembali dan komunikasi dengan orang lain menjadi terjalin secara sehat/
lancar. Semoga!
322 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

9. Kriteria Pegawai / Karyawan


Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah
orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (QS Al-Qashshash [28]: 26)
Ketertarikan seseorang atau suatu lembaga mempekerjakan orang lain
sebagai pegawai/karyawan harus melalui beberapa tahapan. Tahapan
yang dilalui dijadikan dasar untuk memperoleh yang terbaik dari yang ada.
Penetapan yang terbaik itulah yang dapat mendatangkan profesionalitas.
Profesi berasal dari bahasa Inggris ‘Profession’. Dari kata ‘to profess’ yang
berarti pernyataan atau panggilan bahwa seseorang akan mengabdikan
diri terhadap suatu pekerjaan secara sungguh-sungguh sebagai karir
sepanjang hayat. Untuk itu, diperlukan beberapa persyaratan untuk
memenuhi pekerjaan sebagai suatu profesi, yakni: (1) Didasari oleh teori
yang sistematis yang dikuasai dan dipraktekkan oleh para anggotanya.
(2) Memiliki kewenangan yang diakui oleh klien. (3) Adanya perlindungan
hukum. (4) Adanya sanksi masyarakat dalam pengabsahan kewenangannya.
(5) Memiliki kode etika yang dipegang teguh.
Pegawai/karyawan yang profesional (sesuai dengan pemenuhan persyaratan
di atas) akan mendatangkan manfaat bagi yang mempekerjakannya.
Profesionalitas dibangun oleh suatu tuntutan pekerjaan yang ada di segala
bidang (formal maupun non-formal/terstruktur maupun tidak terstruktur).
Keberadaan seorang karyawan/pegawai dalam suatu lembaga yang
didasarkan atas kriteria yang telah ditetapkan, berkontribusi terhadap
proses pekerjaan yang nanti akan ditekuninya. Seorang karyawan/pegawai
dikatakan profesional jika ia kompeten (secara kognisi, afeksi, dan
psikomotor mampu berada dalam bidang pekerjaannya). Kompetensi ini
didukung dengan beberapa kriteria berikut:
Sejalan dengan karakter yang dicontohkan Rasulullah Saw, yakni Sidik,
amanah, tablig, dan fathanah.
Memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan.
Memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang relevan dengan
pekerjan yang akan ditekuni.
Memiliki jiwa entrepreneur yang ditandai dengan kemandirian, kreativitas
dan inovasi.
Memiliki ghîrah kerja yang tinggi dengan senantiasa mendasarkan diri
bahwa bekerja adalah perwujudan ibadah kepada Allah Swt.
Sejalan dengan kelima kriteria di atas, pegawai/karyawan hendaknya
memiliki 2 (dua) hal yang harus sejalan dilakukan, yakni kemauan dan
kemampuan bekerja. Seseorang yang bekerja yang dipaksa berada (ada
kemauan) dalam suatu pekerjaan dan tidak memiliki kemampuan, maka
akan berdampak pada kerugian melalui turunnya produktivitas kerja
lembaga tersebut, atau dengan kata lain tidak berkualitasnya pekerjaan
yang dihasilkan. Jika seseorang yang mau bekerja tetapi tidak memiliki
kemampuan mengerjakan pekerjaannya, maka akan mendatangkan
Catatan Akhir 323

inefektivitas dan inefisiensi.


Jika seseorang mempunyai kemampuan tetapi tidak memiliki kemauan,
maka akan terjadi pengabaian terhadap pelaksanaan pekerjaannya. Jika
abai terhadap pekerjaan secara berkelanjutan, tentu kemampuan seseorang
pun akan berkurang karena tidak terlatih. Pada akhirnya kerugian akan
dialami oleh yang mempekerjakan pegawai/karyawan.

10. Analisis Ilmu Ekonomi dan Bisnis


Konteks Makna Umum
Pemahaman terhadap ayat 27 pada QS Al Qashash tidak bisa dilepaskan
dari konteks makna umum ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya. Sebagian
besar ayat dalam QS Al Qashash menceritakan tentang episode perjalanan
hidup Nabi Musa as, mulai dari ayat 7 sampai ayat 43. Peristiwa kelahiran
Musa, dibuang ke sungai Nil, diasuh dan tumbuh sebagai anak angkat
Firaun masa itu (Ramses II), pelarian dari Mesir dan membangun kehidupan
keluarga di Madyan, pengangkatan sebagai rasul dalam perjalanan kembali
ke Mesir, periode dakwah di Mesir, memimpin eksodus pembebasan Bani
Israil dari Mesir dan pengejaran oleh Firaun (Ramses II), dan memimpin
pengelolaan Bani Israil menuju Tanah Kan’an. Kanaan adalah istilah kuno
untuk wilayah yang meliputi Palestina, Lebanon, serta sebagian Yordania,
Suriah, dan sebagian kecil Mesir timur laut.
Berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa merupakan bagian dari
proses pembentukan diri Musa seutuhnya, baik secara biologis, psikologis,
sosiologis, maupun ekonomis. Peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya
menjadi media bagi Musa untuk melakukan proses pemaknaan (in seach
of meaning) secara konstruktif dan positif, baik dalam relasi personal
transendental Musa dengan Allah Swt, relasi sosial Musa dengan masyarakat,
maupun relasi kealaman Musa dengan alam semesta.
QS Al Qashah (28) ayat 27 ini merupakan bagian dari serangkaian ayat 22
sampai dengan ayat 28. Rangkaian ayat ini menceritakan periode kehidupan
Musa di daerah Madyan sebagai tempat pelarian yang aman dari kekuasaan
Firaun. Daerah Madyan atau Midian adalah sebuah tempat geografis yang
disebutkan di dalam Al-kitab Ibrani, Alkitab Kristen, Injil dan Al-Quran.
Madyan diyakini terletak di sebelah barat laut Hijaz, pantai timur dari Teluk
Aqaba dan ke arah utara Laut Merah, tepatnya di daerah Al-Bada'. Secara
ringkas, kronologi peristiwa yang dialami Musa di Madyan dijelaskan pada
tabel 1.
324 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Tabel 1. Kronologi Peristiwa di Madyan

Ayat Deskripsi Ringkas Peristiwa

Saat dalam pelarian menuju Madyan, Musa berharap mendapatkan


petunjuk Allah ke jalan yang benar (sawâ`a l-ssabîl). Usia Musa
saat melarikan diri ke Madyan diperkirakan 40 tahun, berdasarkan
22
tafsiran atas kata balagha asyuddahu (usia matang) dan istawâ
(sempurna akal) pada ayat 14, yaitu periode waktu Musa hidup
sebagai bagian dari keluarga Firaun.
Saat tiba di sumber mata air wilayah Madyan, Musa bertemu
dan membantu 2 (dua) perempuan penggembala ternak
(domba) yang sedang menunggu giliran untuk memberi minum
ternaknya, dan dihalangi oleh kelompok pria penggembala
yang tidak mau memberikan giliran bagi 2 (dua) perempuan
penggembala tersebut. Musa menunjukkan kapabilitas dan
kekuatannya berhadapan dengan kelompok pria penggembala
tersebut, sehingga 2 perempuan penggembala bisa memberi
minum ternaknya tersebut. Dua perempuan penggembala
tersebut menyebutkan alasan keterlibatannya dalam aktifitas
penggembalaan ternak, karena membantu ayahnya yang
23-24 sudah tua (syaikhun kabîr; Syaikh Madyan), tidak mampu lagi
melakukan kegiatan penggembalaan ternak.
Musa berdoa lagi untuk memperoleh kebaikan (solusi) atas
masalah yang dihadapinya saat itu yaitu berupa perlindungan
dan jaminan kehidupan.
Sebagian mufassir berpendapat bahwa syaikhun kabîr dalam ayat
ini adalah Nabi Syu’aib, karena kesamaan wilayah dakwahnya di
Madyan. Tapi pendapat yang lebih logis dan rasional berdasarkan
perhitungan waktu, syaikhun kabîr ini bukanlah Nabi Syu’aib,
karena masa hidup Syu’aib jauh lebih dulu dibandingkan Musa.
Kami memilih pendapat yang kedua. Dengan kata lain, Nabi
Syu’aib bukan mertua dari Nabi Musa.
Salah satu dari 2 perempuan pengembala itu menemui Musa
untuk menyampaikan undangan dari ayahnya (Syaikh Madyan)
yang akan memberi imbalan (Ajr) kepada Musa atas bantuan
25
yang telah diberikan.
Musa memperoleh kebutuhan perlindungan (suaka) keamanan
dari Syaikh Madyan terkait statusnya sebagai buronan Firaun.
Salah satu putri Syaikh Madyan (dalam Al Kitab namanya Shafura
atau Zifora) mengusulkan untuk mempekerjakan Musa sebagai
26 pekerja/pengelola peternakan (penggembalaan, pembudidayaan,
penjualan), karena dinilai memiliki kompetensi/kekuatan (al
qawiyyu) dan dapat dipercaya (al-amîn; trustworthy).
Catatan Akhir 325

Perjanjian kerja antara Syaikh Madyan dan Musa, yaitu menikahkan


Musa dan salah satu anaknya (Shafura/Zifora) dengan maskawin/
27
mahar berupa jasa pekerjaan sebagai pengelola peternakan milik
Syaikh Madyan selama 8 tahun atau 10 tahun.
Musa sepakat dengan perjanjian itu, menerima dan
mempertegasnya. Musa menjalani perjanjian dengan
bertanggung jawab dan menggenapkannya menjadi 10 tahun.
28
Dengan menjalani perjanjian kerja ini, Musa dapat memenuhi
kebutuhan hidup yang normal, baik secara biologis, sosial,
maupun ekonomi secara sah dan layak.

Konteks Makna Khusus


Terdapat 2 (dua) tinjauan utama pada ayat 27 yaitu: (i) bentuk/jenis
perjanjian kerja, dan (ii) jenis mahar perkawinan. Tinjauan pertama adalah
bentuk/jenis perjanjian kerja. Dalam perspektif hukum ketenagakerjaan,
perjanjian antara Syaikh Madyan dan Musa merupakan contoh bentuk awal
dari jenis perjanjian kerja antara pemberi kerja individual (syaikh madyan)
dan pekerja (Musa). Dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia, perjanjian
kerja seperti itu disebut sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Dalam Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
perjanjian kerja didefinisikan sebagai perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat
kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja akan membentuk
hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah,
dan perintah. Dalam konteks perjanjian kerja antara Syaikh dan Musa,
ditunjukkan komitmen dan usaha kedua belah pihak untuk memenuhi hak
dan kewajiban, sehingga dapat menjadi contoh teladan (role model) bagi
perjanjian kerja yang ideal, kapanpun dan dimanapun perjanjian kerja
tersebut dipraktikkan.
Terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu: (i) Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). PKWT
menghasilkan status pekerja kontrak, sedangkan PKWTT menghasilkan
status pekerja tetap. PKWT didasarkan atas jangka waktu; atau selesainya
suatu pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja apapun (PKWT atau PKWTT) akan
menghasilkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (pemberi kerja
dan pekerja) yang harus dijalankan dengan konsisten dan bertanggung
jawab, sebagaimana diatur dalam produk hukum positif yang berlaku dalam
suatu wilayah hukum. Dalam sistem hukum memiliki 3 (tiga) kegiatan
yang saling berkaitan, yaitu (i) Perumusan Hukum, (ii) Penegakan Hukum,
dan (iii) Kesadaran Hukum. Kegiatan perumusan hukum menghasilkan
hierarki berbagai peraturan perundangan yang disusun untuk level nasional
(Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Menteri), maupun level daerah (Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur,
Peraturan Kota/Kabupaten). Kegiatan penegakan hukum dilakukan oleh
326 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Kepolisian, Satpol PP, atau Satuan lain yang diberi amanat memberikan
sangsi dan hukuman atas berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh subjek
hukum. Kesadaran hukum berkaitan dengan tingkat kepatuhan subjek
hukum terhadap perintah dan larangan yang ditetapkan dalam berbagai
peraturan perundangan, baik secara sukarela maupun terpaksa (karena
takut terhadap ancaman hukuman).
Tinjauan kedua adalah jenis mahar yang ditetapkan dalam hukum
pernikahan. Ayat 27 ini memberikan alternatif yang visioner dan solutif
terhadap jenis mahar pernikahan. Mahar ditetapkan sebagai harta yang wajib
diberikan oleh pria kepada perempuan yang akan dinikahinya, berdasarkan
sejumlah dalil dalam Al Quran (misalnya QS Al-Nisâ` (4): 4, QS Al-Nisâ`(4):
24-25). Berdasarkan ayat 27 ini, maka Mahar pernikahan tidak harus dalam
bentuk harta tetap (xed asset) yang berwujud (tangible assets), seperti
uang, logam mulia atau barang berwujud lainnya. Mahar pernikahan juga
bisa dalam bentuk harta yang tidak berwujud (intangible assets), yang
berbentuk jasa (service), seperti bekerja memberikan waktu, tenaga dan
keahlian untuk menyelesaikan suatu kegiatan yang diperjanjikan secara
efektif dan bertanggung jawab.. Dalam konteks mahar pernikahan Musa
kepada istrinya, yang dibayar dalam bentuk jasa (service) tetap mengacu
kepada prinsip utama perjanjian yaitu kesukarelaan (‘an tarâdlin minkum).
Selain itu juga, perlu dipertimbangkan aspek kepantasan atau kelayakan
dalam pandangan sosial yang berlaku. Jika mahar Musa dihitung dalam nilai
nominal uang atau xed asset, maka nilai harta mahar itu sebenarnya tinggi
dan berat. Namun demikian, Musa telah menerima kondisi tersebut secara
sukarela dan menjalankannya dengan baik dan bertanggung jawab.
Dalam tinjauan Fikih Nikah, yang mengacu pada berbagai hadis tentang
mahar, jenis mahar xed asset (uang, logam mulia, atau harta berharga
lainnya) memang nampak lebih diutamakan dan diprioritaskan. Bahkan
terdapat pendapat hukum yang menyebutkan secara kuantitatif batas
minimal dan maksimal nilai mahar dalam satuan uang yaitu minimal 10
dirham, dan maksimal 500 dirham, dimana 1 dirham setara dengan
2,975 gram emas. Argumentasi penetapan nilai minimal dan maksimal ini
memang logis dan rasional dalam rangka memberikan kepastian hukum
bagi para pihak terkait, dan memenuhi aspek kepantasan atau kelayakan
dalam pandangan sosial yang berlaku. Namun, dalam pendapat hukum
yang lain, tidak ada ketentuan minimum tentang mahar, bahkan dalam
sebuah hadis Rasulullah pernah menyatakan bahwa sebentuk cincin
terbuat dari besi pun bisa menjadi mahar. Dalam keterangan yang lain,
Rasulullah juga menyinggung bahwa sebaik-baik perempuan adalah yang
paling murah maharnya. Hal ini menunjukkan bahwa mahar bukanlah
tujuan utama sebuah pernikahan, dan standarisasi nominalnya disesuaikan
dengan kondisi masing-masing pihak. Namun, perlu terus diingatkan bahwa
mahar berjenis jasa juga bisa dipakai sebagai alternatif sah bagi mahar
pernikahan, sebagaimana dicontohkan oleh praktik yang dilakukan oleh
Syaikh Madyan dan Musa.
Catatan Akhir 327

11. Perbedaan Mukjizat dan Sihir


Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia keluar putih tidak
bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke
dada)mu bila ketakutan, Maka yang demikian itu adalah dua mukjizat
dari Tuhanmu (yang akan kamu hadapkan kepada Firaun dan pembesar-
pembesarnya). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS
Al-Qashash [28]: 32)
Setiap nabi yang diutus Allah selalu dibekali mukjiat untuk meyakinkan
manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan atau misi yang dibawa
oleh nabi. Mukjizat ini selalu diaitkan dengan perkembangan dan keahlian
masyarakat yang dihadapi tiap-tiap nabi (Harun Shihab et: 1992: 794-795).
Pada hakikatnya, setiap mukjizat bersifat menantang, baik secara tegas
atau tidak. Oleh karena itu, tantangan tersebut harus dimengerti oleh
orang-orang yang ditantangnya. itulah sebabnya, jenis mukjizat yang
diberikan kepada para nabi selalu disesuaikan dengan keahlian masyarakat
yang dihadapinya dengan tujuan sebagai pukulan yang mematikan bagi
masyarakat yang ditantang tersebut (Quraish Shihab, 1994: 10).
I’jâz atau mukjizat merupakan sebuah tema yang sangat populer dalam
kajian Al-Quran dan beberapa aspek yang berkaitan dengannya pun telah
banyak di bahas. Selain mukjizat, dalam beberapa literatur pun terdapat
istilah sihir yang sangat populer. Dalam ajaran Islam, Allah mengutus
para rasul-Nya untuk berdakwah. Mereka tidak berdakwah dengan tangan
kosong, melainkan dibekali Allah dengan mukjizat.
Sayangnya, mukjizat yang dimiliki para rasul pernah mendapat penolakan
dari pana penantangnya. Tidak sedikit catatan sejarah agama menyatakan
kaum penantang menuding mukjizat para rasul sebagai sihir semata.
Padahal, antara mukjizat dan sihir adalah dua term yang berbda. Lantas,
dimana letak perbedaan itu? Sebelum mengurai sisi perbedaan antara
mukjizat dan sihir, penulis akan menguraikan terlebih dahulu mengenai
pengertian mukjizat.
Kata i’jâz diambil dari kata kerja ‘a’jaza-i’jâz yang berarti melemahkan dan
menjadikan tidak mampu. Ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam surah
Al-Mâ`idah ayat 31. Lebih jauh Manna’ Al-Qaththan memberikan definisi
ij’âz sebagai berikut:
“Memperlihatkan kebenaran Nabi Saw atas pengakuan kerasulannya,
dengan cara membuktikan kelemahan orang Arab dan generasi sesudahnya
untuk melindungi kemukjizatan Al-Quran” (Manna’ Al-Qaththan, t.t.:
258.259).
Lebih lanjut Manna’ Al-Qaththan memberikan penjelasn mengenai mukjizat
sebagai berikut:
Suatu kejadikan yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan
dan tidak akan dapat ditandingi (Manna’ Al-Qaththan, t.t.: 258.259).
Syaikh Thahir Al-Jazairi dalam kitabnya al-Jawâhiru l-Kalâmiyah fî Îddâti
l-‘Aqîdat al-Islâmiyah menjelaskan perbedaan antara mukjizat dengan sihir
sebagai berikut:
328 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

“Sihir adalah perkara/hal yang di luar kebiasaan dalam pikiran yang


mungkin untuk dilawan karena hal itu didasari atas sebab-sebab. Siapa
yang mengetahuinya lalu mempraktikannya (menirunya) maka ia pasti
dapat melakukan hal itu. Karena hal itu pada hakikatnya bukanlah diluar
kebiasaan, sedangkan keanehannya itu hanya dilihat bagi orang yang tidak
tahu sebabnya/caranya” (Syaikh Thahir Al-Jazairi, 1986: 4).
“Adapun mukjizat adalah sesuatu di luar kebiasaan yang tidak mungkin
ditentang. Oleh karena itu, penyihir tidak akan mungkin mampu melakukan
seperti apa yang dilakukan oleh para nabi seperti menghidupkan orang mati
dan mengubah tongkat menjadi ular sungguhan. Maka, para penyihirnya
Firaun pun beriman kepada Nabi Musa as ketika tongkatnya mampu
berubah menjadi ular sungguhan dan menelan tongkat-tongkat serta tali-
tali mereka untuk tahu mereka bahwa hal ini bukanlah sihir” (Thahir Al-
Jazairi, Al-Jawâhir, t.t.: 44.).
Berdasarkan uraian yang dikemukan oleh Syaikh Thahir Al-Jazairi di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara mukjizat dan sihir
adalah jika sihir itu bisa dipelajari terlebih dahulu sehingga mampu untuk
ditandingi, sedangkan mukjizat tidak dapat dipelajari karena datangnya
murni dari Allah Swt sehingga tidak ada yang mampu menandinginya.
Selain itu, dalam penjelasan terakhir Syaikh Thahir Al-Jazairi juga
menjelaskan perbedaan keduanya bahwa jika sihir itu sumbernya dari nafsu
ammarah yang penuh dengan kejelekan dan menghasilkan kerusakan,
sedangkan mukjizat itu bersumber dari nafsu/jiwa yang bersih yang
menghasilkan perbaikan dan petunjuk.

12. Kriteria Orator yang Fasih Menyampaikan Kebenaran


Orator ialah ahli pidato. Umumnya, dihubung-hubungkan dengan kegiatan
debat. Dan sudah galib, di berbagai tempat, orang suka mengaitkan antara
orator dengan debat. Secara sederhana, kita bisa menyebutnya, orator itu
mirip dengan ahli pidato dan debat.
Meski keduanya punya jenis yang berbeda. Ahli pidato, jenisnya merujuk
pada kegiatan berbicara di depan publik, entah besar atau kecil. Debat,
jenis kegiatan berkomunikasi yang penuh dengan argument saling menolak
untuk mengalahkan lawan bicara. Siapa pun itu. Di mana pun tempatnya
Bagaimana pun caranya.
Orator adalah orang yang mampu mengendalikan diri ketika bercakap-
cakap. Dia memiliki kemampuan mengasah emosi, dan pikiran. Ia memiliki
kepiawaian membius lawan bicara. Ia mampu mengubah pesan menjadi
kekuatan untuk menguasai lawan bicara.
Banyak pihak menilai kemampuan bicara semacam itu berhubungan
dengan public speaking. Public speaking, secara sederhana, menunjukkan
kemampuan bicara yang menghidupkan khalayak. Kemampuan macam ini
menunjukkan pada kepiawaian dalam menginformasi, mempersuasi, dan
menghibur. Isi bicaranya tidak kosong, ada informasinya. Cara bicaranya
membuat lena, membius. Dan, orang yang mendengarkannya merasa
terhibur.
Catatan Akhir 329

Dalam dunia ilmu komunikasi, oratory dan debate menjadi tulang punggung
Retorika, salah satu jenis dari tradisi teori komunikasi.
Di zaman Yunani kuno, dunia orator dan debat membangun teori-teori
retorika, menurut Robert T. Craig (2009: 960)1, dan menjadi naskah-naskah
awal teori komunikasi yang dibangun oleh Kaum Sofis, melalui dua tokohnya,
Plato dan Aristoteles. Dilanjutkan kaum Romawi klasik, khususnya Cicero,
melalui risalah-risalah yang jadi acuan di berbagai sekolah “ahli” pidato
pada saat itu. Dan pada kemudiannya, dibakukan ke dalam tradisi klasik
dari teori-teori komunikasi.
Retorika menjadi dasar disiplin ilmu komunikasi dibangun. Retorika Aristotel
misalnya dipakai sebagai dasar bagi segala pengertian mengenai persuasi.
Dalam khasanah Yunani kuno, istilah retorik mengandung arti logos atau
argument logis, etos atau kredibilitas pembicara, dan patos atau argument
emosional bagi persuasi.
Wacana retoris, menurut Foss (2009: 853-856), memiliki lima kanon: invensi
(invention), organisasi (organization), gaya (style), pengiriman (delivery),
dan memori (memory).
Dalam perkembangannya, retorika Yunani (Greece) diadopsi dan diadaptasi
bangsa Romawi. Cicero, sebagai penganut Roman rhetoric, membahas
tentang retorika dalam gema a great orator. Tiga karyanya ialah De
Inventione (On Invention), De Oratore (On Oratory), dan Orator (Orator).
Dari sanalah kefasihan bersilat lidah digolongkan ke dalam kemampuan
retorika, untuk berbagai urusan masyarakat, bangsa, dan negara. Para
orator bermunculan membawakan misi-misi tertentu, dalam kisah-kisah
kepiawaian bersilat lidah. Dalam khasanah western, para orator kerap
menjadi sosok-sosok diktator, yang berhasil membius rakyat ke dalam
telunjuknya.
Dunia orator, dalam retorika ini, dihubungkan dengan keterampilan
dan kejelian menyampaikan pesan di berbagai perubahan situasi, atau
kehebatan seseorang ketika menjadi komunikator dibanding lainnya, dan
kepiawaian berkomunikasi yang diolah lewat latihan dan ajaran secara
sistematis. Retorika ialah cara bicara, bagaimana orang bicara yang mudah
dimengerti dan dipatuhi. Saking hebatnya retorika, orang pun memandang
buruk istilah retorika. Retorika disamakan dengan orang yang banyak bicara,
tidak mau bertindak. Rhetoric is contrasted with action, kata Karen A. Foss
(2009: 855), it is empty words, talk without substance, mere ornament.
Kini, retorika menjadi perkakas penting di masyarakat. Ambil contoh, di
dunia politik dan kemasyarakatan (jabatan-jabatan publik). Di Amerika,
retorika “orator” dijadikan bahan didikan bagi para presiden. Ketika mereka
hendak dikukuhkan, orasi para kepala negara biasanya harus memenuhi
lima harapan:
(1) an attempt to unify the audience as a people; (2) a restatement of
commonly shared values; (3) a list of the principles that will guide the new
administration; (4) a recognition of the powers and limits of the ofce of
the presidency; and (5) a recognition of the present moment in a mood
of contemplation, not immediate action. A presidential speaker may meet
330 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

these expectations in novel and creative ways; however, all ve must be
addressed, or the president will likely be criticized.
Campbell & Jamieson (Joshua Gunn, 2009: 442)
Kelima ekspektasi tersebut melintasi wilayah masa lalu, dan menjemput
masa kini dan masa depan. Orasi kepemimpinan macam ini dinilai
memberi harapan yang cerah. Masyarakat dinilai tidak diberi pidato yang
membosankan, menjemukan, dan bikin lunglai saat membayangkan,
bagaimana pemimpinnya akan bertindak di masa depan.
Ada khalayak yang tidak dijadikan mesin “suara”, karena orang seorang
dihargai. Berbagai statement yang diungkap tidak terasa basi. Orang
berharap pada pandangan-pandangan baru yang akan jadi patokan
pengadministrasian kepemimpinan. Orang juga mendengar pemimpinnya
sadar betul akan batas dan wewenang kekuasaannya. Masyarakat diberi
jeda untuk melihat bahwa pemimpin mereka suka merenung sebelum
bertindak, tidak grasa-grusu.
Begitulah model orasi bila dicontohkan. Sebagai pembicara, ia harus terlihat
trendi, keren, dan lincah, serta tidak usang. Bukan hanya di performance-
nya semata, tapi juga di soal isi bicaranya. Karena bila tidak begitu, orasi
omongannya akan dianggap spiker butut, buruk, dan rusak.

13. Kesombongan Firaun yang Menjadikannya Tidak Beriman


Dan dia sangat angkuh, bersama bala tentaranya di bumi (Mesir)
tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka
tidak akan dikembalikan kepada kami. (QS Al-Qashash [28]: 39)
Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya apa yang diucapkan dan
direncanakan oleh Firaun adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Hal
ini disebabkan karena hatinya bejat dan dia sangat angkuh. Dia dan
bala tentaranya menyangka tidak akan dikembalikan kepada Allah
dengan menyiksa mereka di dunia ini serta mematikan dan menuntut
pertanggungjawaban di akhirat nanti. Sebagai akibat dari keangkuhan dan
kedurhakaannya, lalu Allah Swt menenggelamkan dia dan balatentaranya
ke laut Merah seperti melempar batu-batu kecil yang tidak berarti sehingga
mereka semua mati tenggelam. Ayat ini mengingatkan siapapun yang
menggunakan mata kepala dan hatinya, bagaimana akibat buruk yang
menimpa orang-orang yang berbuat zalim (Shihab, 2005)
Untuk memperoleh gambaran ke-zalim-an dan kesombongan Firaun dalam
uraian berikut ini akan dijelaskan sifat-sifat tersebut antara lain sebagai
berikut:
(1) Firaun adalah manusia paling congkak di muka bumi. Hal ini
sebagaimana telah digambarkan pada Al-Quran Surah Yûnus 83 yang
artinya Dan sungguh, Firaun itu benar-benar telah berbuat sewenang-
wenang di bumi. Demikian pula dalam QS Al-Dukhân (44): 31 yang
artinya, Sungguh, ldia itu orang yang sombong, termasuk orang-orang
yang melampaui batas.
Sifat congkak dan sombong seperti Firaun dapat terjadi pada setiap
Catatan Akhir 331

zaman. Karena Sifat sombong yang ditunjukkan bukan sekadar pamer


kekayaan seperti mobil atau rumah mewah. Tetapi kesombongan
terbesar adalah menutup hati dari kebenaran.
(2) Firaun adalah manusia yang suka melakukan tindakan sesuka hatinya
apapun yang dia inginkan. Perhatikan penggalan QS Thâhâ (20): 24.
Dia benar-benar telah melampaui batas. Dia merasa dirinya serba
cukup. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam QS Al-’Alaq (96): 6-7:
sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas,
apabila melihat dirinya serba cukup.
(3) Firaun selalu melakukan pembodohan terhadap rakyatnya dengan
membungkam perkataan sehingga rakyat merasa tidak bisa melakukan
apa-apa. Hal ini sebagaimana QS Al-Zukhruf (53): 54: Maka Firaun
dengan perkataan itu telah memengaruhi kaumnya, sehingga mereka
patuh kepadanya. Sungguh, mereka adalah kaum yang fasik.
Dalam membodohi kaumnya, Firaun dapat melakukan berbagai cara,
bisa dalam bentuk kekerasan, kadang-kadang pula dengan rayuan.
Sehingga tidak ada lagi yang berani melakukan perlawanan kepada
Firaun.
(4) Firaun selalu melakukan taktik memecah belah rakyatnya Hal ini
sebagaimana tercantum dalam QS Al-Qashash (28): 4. Sungguh,
Firaun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah belah, dia menindas segolongan dari mereka
(Bani Israil), dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan
hidup anak perempuan mereka.
(5) Firaun adalah manusia yang tidak mau mendengarkan pendapat
pihak lain, dan perintah-perintahnya harus dilaksanakan tanpa ada
seorang pun yang boleh melawan. Hal ini sebagaimana tercantum
dalam QS Ghâfir (40): 29. Firaun berkata, “Aku hanya mengemukakan
kepadamu, apa yang aku pandang baik.
(6) Firaun selalu menjauhkan rakyatnya dari orang-orang yang ingin
memerangi kebodohan dan mencerdaskan rakyatnya. Dia selalu
menghalang-halangi orang yang ingin mengajak rakyatnya menuju
kebaikan. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Thâhâ (20):
63: Mereka (para pesihir) berkata, Sesungguhnya dua orang ini adalah
pesihir yang hendak mengusirmu (Firaun) dari negerimu dengan sihir
mereka berdua, dan hendak melenyapkan adat kebiasaanmu yang
utama.
(7) Firaun selalu menjaga kekuasaannya dengan segala cara. Bahkan, dia
akan menggunakan kedok agama untuk mengokohkan kerajaannya.
Padahal, dia orang yang paling anti terhadap agama. Perhatikan QS
Ghâfir (40): 26. Dan Firaun berkata (kepada pembesar-pembesarnya),
“Biar aku yang membunuh Musa dan suruh dia memohon kepada
Tuhan-nya. Sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu
atau menimbulkan kerusakan di bumi.”
(8) Firaun dengan segala cara berusaha agar rakyatnya bodoh dan
tidak adanya kesadaran untuk menggulingkan kekuasaannya. Hal ini
332 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

sebagaimana terdapat dalam QS Yûnus (10): 78. Mereka berkata,


“Apakah engkau datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa
(kepercayaan) yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya
(menyembah berhala), dan agar kamu berdua mempunyai kekuasaan
di bumi (negeri Mesir)? Kami tidak akan memercayai kamu berdua.
(9) Firaun akan menyerang siapa saja yang ingin membawa perubahan
menuju kebaikan, dan tidak segan-segan akan disiksanya sebagai
pelajaran bagi orang lain yang mencoba berbuat demikian. “Dia
(Firaun) berkata, “Mengapa kamu beriman kepada Musa sebelum
aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia pemimpinmu yang
mengajarkan sihir kepadamu. Nanti kamu pasti akan tahu (akibat
perbuatanmu). Pasti akan kupotong tangan dan kakimu bersilang dan
sungguh, akan kusalib kamu semuanya.” (Al-Syu’arâ [26]: 49)
(10) Firaun akan memaksa rakyatnya harus diam dan tidak boleh ada
yang menuntut bahkan untuk memberi saran sekalipun. Semua
ada ditangan Firaun. Hal ini sebagaimana tercantum dalam QS Al-
Mu’minûn (23): 47. Maka mereka berkata, “Apakah (pantas) kita
percaya kepada dua orang manusia seperti kita, padahal kaum
mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri
kepada kita?
(11) Untuk menopang kekuasaannya Firaun memiliki ahli yang
menghabiskan hidup dan kehidupannya untuk menjilat kepadanya.
Posisi ini ditempati oleh Hâman. Demikian pula Firaun memanfaatkan
orang-orang yang berharta untuk memeras rakyatnya. Posisi ini
dijalankan oleh seorang konglomerat yang bernama Qorun.
Berdasarkan gambaran tentang sifat-sifat dan karakteristik Firaun
sebagaimana dikemukakan di atas, dalam perspektif psikologi gejala dan
tingkah laku tersebut dapat dikategorikan kepada kelompok yang memiliki
gangguan kepribadian psikopat. Adapun ciri-ciri lengkap tentang individu
psikopat telah dikemukakan pada naskah sebelumnya. Akan tetapi secara
umum mereka menunjukkan sikap menyerang siapa saja yang dianggap
merintangi keinginan dan eksistensinya. Dia akan memutarbalikan fakta
demi memperoleh keuntungan atas apa yang diinginkannya. Dia tidak
segan untuk berbohong maupun bertindak licik dan keji, bahkan iapun
tidak segan-segan untuk melakukan kekerasaan demi memperoleh dan
melindungi kekuasaannya.

14. Memperturutkan Hawa Nafsu Adalah Kehancuran


Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa
sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Al-Qashash
[28]:50)
Maka jika mereka tidak menyambut seruan dakwahmu dengan membawa
Catatan Akhir 333

kitab (berisi petunjuk yang lebih baik dari Al-Quran, bahkan yang semisal
dengannya), dan tidak ada hujjah (pijakan yang “logis”) apa pun yang
tersisa lagi bagi mereka, maka ketahuilah wahai Nabi Muhammad atau
siapapun, sesunggguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka
belaka. Dan tidak ada orang yang lebih besar kesesatannya daripada orang
yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah. Sesungguhnya Allah tidak memberikan taufik untuk berada di atas
kebenaran kepada kaum yang berbuat zalim yang melanggar perintah Allah
dan telah melampaui batas-batas ketetapan-Nya.
Memperturutkan hawa nafsu adalah mengikuti dorongan hati yang kuat
untuk melakukan perkara yang tidak baik. Ada sekelompok orang yang
menganggap hawa nafsu sebagai setan yang bersemayam di dalam diri
manusia, yang bertugas untuk mengusung manusia kepada kefasikan atau
pengingkaran. Mengikuti hawa nafsu akan membawa manusia kepada
kerusakan. Akibat pemuasan nafsu jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan
yang didapat darinya. Hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan juga dapat
merusak potensi diri seseorang. Potensi yang dimaksud adalah potensi
untuk menciptakan ketentraman, kesejahteraan, dan hal-hal baik lainnya.
Namun karena hambatan nafsu yang ada pada diri seseorang potensi-
potensi tadi dalam realita kehidupan tidak dapat muncul kepermukaan.
Untuk menyucikan diri atau mengendalikan hawa nafsu adalah keharusan
bagi siapa pun yang ingin mendapatkan keseimbangan dan kebahagiaan
hidupnya, karena hanya dengan berjalan pada jalur-jalur yang benar sajalah
manusia dapat mencapai hal tersebut.

15. Proses Kejatuhan Umat dari Masa ke Masa:


Faktor yang menyebabkan kejatuhan Turki Ustmani, nampaknya juga
menyadi penyebab jatuhnya umat dari masa ke masa adalah:
(1) Kelemahan Para Penguasa
Sepeninggal Sulaiman Al-Qanuni, Kerajaan Ustmani di perintah oleh
sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadaiannya maupun dalam
kepemimpinannya. Akibatnya pemerintahan menjadi kacau, kurang
termenej dengan baik. Kekacaun itu tidak pernah dapat di atasi
secara sempurna, bahkan semakin lama menjadi semakin parah, dan
semrawut.
(2) Budaya Pungli
Pungli merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dalam
Kerajaan Turki Usmani. Setiap jabatan yang hendak diraih oleh
seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada orang yang hendak
(berhak) memberikan jabatan tersebut. Merajalelanya budaya pungli
mengakibatkan bobroknya moral kian merajalela, dan semakin parah.
(3) Merosotnya Ekonomi
Akibat perang yang tidak pernah berhenti, perekonomian Negara
semakin meosorot. Pendapatan berkurang sementara belanja Negara
naik menjadi sangat besar, termasuk biaya perang.
334 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

(4) Terjadinya Stagnasi dalam lapangan Ilmu dan Teknologi


Kerajaan Ustmani kurang berhasil dalam pengembangan ilmu dan
teknologi, karena hanya mengutamakan pengembangan kekuatan
militer. Kemajuan militer yang tidak diimbangi oleh kamajuan ilmu
dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak sanggup menghadapi
persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju. Stagnasi di bidang
Iptek ada kaitannya dengan perkembangan metode berpikir tradisional
di kalangan umat Islam. Hal itu juga sejalan dengan menurunnya
semangat berpikir bebas, akibat adanya kemunduran di bidang filsafat
sejak masa Al-Ghazali.
(5) Heterogenitas Penduduk
Sebagian besar kerajaan Turki Ustmani menguasai wilayah yang amat
luas, mencakup: Asia Kecil, Armenia, Irak, Syirian, Hejaj, dan Yaman di
Asia Keil, Mesirt, Libia, Tunis, dan Al-Jazair di Afrika, Bulgaria, Yunani,
Yugoslavia, Albanisa, Hongaria, dan Rumania di Eropa. Wilayah yang
luas itu diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang teratur. Tanpa
didukung oleh administrasi yang baik, Kerajaan Usmani hanya akan
menanggung beban yang besar akibat heterogenitas tersebut.
(6) Wilayah Kekuasaan yang Sangat Luas
Admisnistrasi pemerintahan bagi suatu Negara yang amat luas
wilayahnya sangat rumit dan kompleks, sementara administrasi
pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres. Di pihak lain, para
penguasa sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat luas,
sehingga mereka terlibat perang terus menerus dengan berbagai
bangsa. Hal ini tentu menyedot banyak potensi yang seharusnya dapat
digunakan untuk membangun Negara.
(7) Pemberontakan
Kemajuan ekspansi Kerajaan Usmani banyak ditentukan oleh kuatnya
tentara Jenissari. Dengan demikian dapat dibayangkan bagaimana
kalau tentara ini memberontak. Pemberontakan tentara Jennisari
terjadi sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1525 M., 1632 M., 1727
M., dan 1826 M.

16. Macam-Macam Hidayah


Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk. (Al-Qashah [28: ]56)
Masyarakat Arab ketika Rasulullah lahir, masa kanak-kanak, dan dewasa,
bahkan sampai diangkat menjadi Rasulullah ketika beliau berumur sekitar
40 tahun, terdiri atas kaum musyrikin, thâgut, penyembah berhala yang
disebut al-musyrikûn, bahkan disebut kaum jahiliyah. Mereka adalah
penyembah berhala yang banyak itu yang tokoh-tokohnya antara lain lata,
manat, da uza. Namun, ada juga kaum Ahlul kitab, seperti penganut Yahudi
dan Nashrani. Muhammad Saw amat dekat dengan mereka, baik sebelum
Catatan Akhir 335

maupun sesudah diangkat menjadi rasul-Nya, bahkan keluarganya sendiri,


paman beliau yang mengasuhnya sejak kecil, yaitu Abu Thalib. Keluarga
Rasul Saw sendiri banyak yang kaum musyrikin yang tidak tertarik pada
kerasulan beliau. Tema utama pada ayat ini berkaitan dengan hidayah,
siapa pemberinya dan otoritas siapa. Tentu yang dimaksud hidayah di sini
dalam konteks Hidayatu Tau q, bukan hidayah lain, seperti penjelasan ahli
tafsir. Ustadz Wabah Al-Zuhaili ketika menafsirkan Surah Al-Fâtihah (1):
6, yang dinyatakan sebagai berikut: 1. Hidâyat l-Ilham al-Fithri – petunjuk
berupa fitrah manusia, sejak awal dilahirkan, seperti seorang bayi. Dia
menangis bila ada kemauan tertentu seperti menyusu pada ibunya. 2.
Hidâyat al-hawas-berupa indra. Hidayah ini lebih tinggi dari yang pertama
dan manusia dan binatang memilikinya juga, malah pada binatang lebih
tajam. 3. Hidâyat l-Aqli yang lebih dari kedua hidayah sebelumnya dan
hanya dimiliki manusia. Dengan akal ini manusia mengatur kehidupan
mana yang baik, buruk, merugikan atau menguntungkan. Hidâyat l-Aqliyah,
petunjuk akal belum sempurna, malahan sering banyak terganggu oleh
hawa nafsu yang mencelakakan. 4. Hidâyat l-ddîn, petunjuk agama. Dalam
konteks manusia, khususnya Rasul Saw diberi juga upaya menunjukkan
pada yang lain tentang kebenaran agama yang disebut, Hidâyat l-Irsyâd
(mengarahkan). Sementara itu, hidayah yang utama adalah Hidâyat l-Tau q
itu dan hanya Allah yang melakukannya, seperti pada ayat di atas. Rasul
Saw sendiri tidak mampu melakukan, padahal ditujukan pada paman
yang amat dihormati dan dimuliakannya. Memang, keislaman Abu Thalib
masih kotroversial, terutama pada mazhab tertentu, seperti “Syiah” yang
diterangkan dalam tafsir karya ulamanhya. Ketidakmusliman Abu Thalib ini
tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim
yang diterangkan pula Ahmad, Muslim, Al-Tirmidzi, Ibnu Mardawaih,
dan Al-Baihaqi. Hadis diterima dari sahabat Abu Hurairah. Riwayat ini
dinyatakan Al-Zajjaj dan Al-Qurthubi bahwa asbâb l-nuzûl ayat ini ialah
“Kaum Muslimin telah berijma menyangkut turunnya ayat ini terhadap Abu
Thalib, seperti dikutip pula oleh penyusun kitab tafsir Al-Munîr,
Bersabda nabi Saw”, Wahai pamanku, engkau memberi nasihat pada
mereka dan tidak pada dirimu sendiri. Pamannya menjawab, apa yang mau
kau lakukan wahai anak saudaraku? niscaya aku mau darimu satu kalimat
saja bahwa engkau dalam akhir hari dari hari-hari di dunia ini, mengatakan,
Lâ Ilâha Illa Allâh, aku akan saksikannya nanti pada Allah Swt. Pamannya
menjawab, sungguh aku sudah tahu bahwa engkau benar, tetapi aku tak
suka dikatakan, tidak sabar ketika mati. Jika seandainya tidak ada antara
kamu dan anak-anak ayahmu pertentangan setelah kepergianku karena
mereka sedikit, niscaya kau akan membuat hatimu tenteram ketika aku
mati, karena aku melihat besarnya perasaan dan nasihatmu. Namun, kau
akan meninggal sesuai dengan agama orang-orang tua: Abdul Muthtalib,
Hasyim, dan Abu Manaf.”
Ayat lain yang mirip dengan ayat lain, seperti tercantum pada surah Al-
Baqarah (2): 272
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan
336 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi tau q) siapa yang


dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu
membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah. Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi
pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun tidak akan dianiaya
(dirugikan).
Dalam Surah Yûsuf 103 dinyatakan pula sebagai berikut:
Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat
menginginkannya. (QS Yûsuf [12]: 103)
Ayat-ayat di atas amat jelas berkaitan dengan hidayah –Taufik. Sementara
itu, manusia termasuk Rasul Saw termasuk para dai sampai kapanpun,
hanya sebagai hidaytul irsyad, menunjukkan kebenaran Islam, malahan
tidak memaksakan ajaran Islam ini bila mad’u karena dalam Al-Quran sudah
jelas ayatnya, seperti pada Surah Al-Baqarah [2]: 256.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut [setan dan yang disembah selain Allah] dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui”.
Di sini jelaslah Islam sebagai agama rahmah bagi alam semesta dan kaum
Muslimin adalah umah wasatha (moderat) yang diterangkan pula pada
Surah dan ayat-ayat lainnya, seperti Al-Anbiyâ` [21]: 107 dan Al-Baqarah
[2]: 143. Sudah sejak awal kaum Muslimin menjadi umat yang toleran
dalam kehidupan.

17. Tobat Nashuha Termasuk Orang-Orang Yang Beruntung (QS Al-Qashash


[28] : 67)
Para Psikolog telah bersepakat bahwa manusia akan selalu merasa bosan,
gelisah dan lelah jasmani. Semua itu memerlukan pengaduan. Salah
satu di antara keluhan-keluhan yang sering mengganggu jiwa manusia
adalah rasa berdosa. Dalam Islam sikap pengaduan ini bukan kepada
manusia tetapi menitikberatkan kepada Allah Swt. Menurut pandangan
Islam, perbuatan dosa dan kesalahan itu, hubungannya adalah antara
pelaku dengan Tuhannya, sebab hanya Allah-lah yang menghitung dosa-
dosa yang dilakukan manusia, atau dengan kata lain, pengajuan ini
hanya dikhususkan kepada Allah Swt. Jadi seseorang tidak diperbolehkan
mengadakan pengakuan terhadap manusia lainnya, karena yang menjadi
tempat pengaduannya adalah bukan manusia yang lemah seperti dirinya.
Permohonan ampunan seseorang kepada Allah atas dosa-dosa yang pernah
dilakukan, berarti pengakuan bersalah pelaku dosa di hadapan Allah, dan
apabila pelaku dosa merasa yakin bahwa Allah akan mengampuninya, maka
keyakinan akan menghapus rasa berdosa di dalam dirinya.
Setelah pengakuan ini harus dibarengi dengan masalah-masalah lain yang
Catatan Akhir 337

bertujuan menghapuskan perbuatan dosa yang telah dilakukan, yaitu


kembali kepada keutamaan. Proses ini mempunyai hubungan kausalitas,
pertama, yaitu pengakuan atau yang lebih dikenal di dalam Islam dengan
istilah tobat, adalah merupakan pintu gerbang yang mengarah ke gerbang
pengampunan; kedua, kembali kepada kebenaran adalah sebagai
konsekuensi dari tindakan pertama. Dalam Islam, tobat sebagai suatu jalan
menuju penghapusan dosa, di samping itu, tobat merupakan salah satu
sarana yang membersihkan jiwa dari segala noda dan dosa (Afif Abdullah
1986: 22-23).
Tobat menurut Islam, berarti kembali. Secara terminologi tobat mencakup
tiga syarat : 1. Meninggalkan perbuatan dosa; 2. Menyesali perbuatannya;
3. Bertekad tidak akan melakukannya kembali. Tobat adalah penyesalan
yang benar. Tobat mampu mendorong seseorang untuk merubah tingkah
lakunya yang dipenuhi dengan dosa menjadi bersih dan baik kembali.
Tobat yang diterima oleh Allah ialah tobat yang dilakukan sebelum
mendekatnya saat kematian. Sehingga terdapat tenggang waktu pelaku
dosa untuk memperbaiki kesalahannya dan merubah jalan hidup yang salah
kepada jalan yang benar. Tobat adalah proses kejiwaan yang mempunyai
banyak manfaat dan dapat membantu seseorang yang pernah melakukan
kejahatan atau kesalahan untuk bisa membangun dirinya kembali. Di antara
keberuntungan (manfaat) dari tobat, yaitu :
(1) Memberikan harapan baru bagi jiwa yang telah mengalami kehancuran
akibat perbuatan dosa untuk dapat dibersihkan kembali.
(2) Seseorang akan menghargai dirinya atau seseorang akan mempercayai
dirinya sendiri.
(3) Tobat akan menjadikan jiwa pelaku dosa menjadi stabil dan tentram.
(4) Tobat juga dapat membebaskan seseorang dari tekanan perasaan
berdosa dan rasa takut (ibid : 29).
Dengan disyariatkannya prinsip tobat. Maka dapat dimengerti bahwa syariat
tersebut merupakan rahmat Allah yang tak terhingga.

18. Harta dan Cara Menyikapinya dalam Islam


Harta dalam bahasa Arab disebut al-mâl yang artinya condong atau
cenderung. Dinamakan demikian karena naluri manusia memiliki
kecenderungan untuk mencintai, mendapatkan, dan menguasainya.
Dalam banyak ayat Al-Quran, Allah Swt menggunakan kata al-mâl atau
al-amwâl (bentuk jamak). Pengertian Amwâl adalah benda yang dapat
dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun
tidak berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar,
baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak yang
mempunyai nilai ekonomis” (Pasal 1 Angka 9 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah).
Selain menggunakan kata al-amwâl atau al-mâl, Al-Quran juga menggunakan
kata al-khaîr untuk harta yang jumlahnya banyak; sebagaimana yang
terdapat di dalam Surah Al-Baqarah (2): 180, dan Al-’Âdiyât (100): 8.
338 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Kata al-khaîr artinya adalah kebaikan. Ini memberi isyarat bahwa dalam
harta mengandung kebaikan. Harta adalah suatu yang baik yang harus
diusahakan dengan cara yang baik dan dimanfaatkan di jalan kebaikan.
Harta pada hakikatnya adalah milik Allah (QS Al-Mâ`idah [5]: 120).
Kepemilikan manusia terhadap harta adalah kepemilikan majazi. Artinya
status manusia terhadap harta hanya sebagai orang yang diamanati
sebagai khalîfah (wakil) Tuhan untuk menguasai dan memakmurkannya.
Konsekuensi logis dari pandangan demikian adalah bahwa manusia dalam
memiliki harta harus patuh dan tunduk kepada aturan dan ketentuan-
ketentuan Allah Swt sebagai pemilik hakiki (Wahbah Al-Zuhaili, 2011: 32-
33). Konsekuensi lain dari pandangan tersebut melahirkan sikap tidak terlalu
gembira meluap-luap ketika mendapatkan harta dan tidak terlalu larut
dalam kesedihan ketika harta itu diambil kembali oleh pemilik mutlaknya.
Pemilik mutlak dari harta adalah Allah Swt. Manusia hanya dapat menjadi
pemilik sempurna atau pun pemilik tidak sempurna. Pemilik sempurna
adalah memiliki zat barang dan manfaatnya. Pemilik tidak sempurna adalah
hanya memiliki salah satu dari keduanya baik memiliki barangnya saja atau
manfaatnya saja. Sebagai contoh, pemilik rumah yang sedang disewakan
hanya memiliki zat barangnya saja. Penyewa rumah hanya memiliki
manfaatnya saja.
Allah Swt menyebutkan bahwa harta itu sebagai pokok kehidupan (QS
Al-Nisâ`: 5). Harta berkedudukan sebagai perhiasan hidup, sebagai
amanat (fitnah), dan sebagai musuh (Hendi Suhendi, 2010: 12-13). Selain
itu, kedudukan harta juga untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai
kesenangan. Orang penghamba harta bisa celaka dan terkutuk (Rachmat
Syafe’i, 2001: 24-26).
Allah Swt dalam berbagai ayat menganjurkan untuk mencari harta, bahkan
kewajiban zakat menggunakan kata aatuu yang berarti harus diusahakan
agar bisa menjadi muzakki. Harta akan diminta pertanggungjawaban dari
dua hal yaitu dari mana atau dengan cara apa didapatkannya dan untuk apa
penggunaannya.
Mengenai cara mendapatkan harta, ada berbagai cara usaha yang dilarang
antara lain: pelacuran, peramalan nasib, perjudian, pengangkutan barang
haram, menadah barang rampokan dan atau curian, jual beli di dalam
mesjid, jual-beli ketika adzan Jumat (bagi laki-laki), menimbun (menahan
barang dagangan dengan tujuan agar dapat memengaruhi harga menjadi
mahal; baru dijual ketika harga sudah mahal), mengurangi ukuran,
timbangan, atau sukatan, menyembunyikan cacat barang, banyak sumpah,
najasy (reklame palsu), jual kawin (menjual beberapa barang dalam satu
paket), jual beli dengan lemparan batu (harga sudah ditentukan sedangkan
barang yang didapat adalah yang kena lemparan batu atau alat yang
disediakan), berbagai cara jual beli yang samar, persaingan sesama Muslim,
menghadang kafilah di luar pasar (tengkulak), menetapkan harga pasar,
dan riba (Hamzah Ya’qub, 1992: 141-169).
Menyikapi harta setelah mendapatkannya adalah dengan cara mengucap
alhamdulillah, tidak terlalu meluapkan kegirangan, melakukan sujud syukur,
Catatan Akhir 339

berinfak di jalan yang benar, menafkahkan secara pertengahan, tidak kikir


dan tidak boros, berzakat jika telah mencapai nisab.

19. Tiap-Tiap Usaha Manusia Kemaslahatannya Kembali kepada


Diri Sendiri
(6) Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu
adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (7) dan orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka
dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka Balasan yang
lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al-Ankabût [29]: 6-7)
Ayat ini secara eksplisit berkaitan dengan jihad pada diri sendiri yang
menurut para ahli tafsir melawan hawa nafsu. Jihad itu sendiri dimaknai
sebagai pengerahan seluruh potensi dan kerja keras untuk mencapai
sesuatu. Ulama fikih membagi jihad menjadi tiga bentuk (a) berjihad
memerangi musuh secara nyata, (b), berjihad melawan setan, (c), berjihad
terhadap diri sendiri, yaitu memerangi hawa nafsu. Kosakata Jihad dengan
berbagai derivasi (sharf)-nya ada sekitar 42 kosakata dengan rincian
berbagai ayat dan Surah, seperti contoh-contoh dari ayat ayat di atas. Jihad
dapat dikategorikan dalam beberapa aspek. a. Jihad memerangi hawa
nafsu yang pertama dan yang utama yang harus didahulukan. Sungguh
godaan setan dan hawa nafsu yang akan menjerumuskan orang beriman
selalu ada dalam kehidupan ini. Maka orang beriman harus mampu berjihad
untuk memelihara dirinya, mulai akidah agar tidak terjerumus pada yang
diharamkan agama; memelihara keimanan dari syirik, bidah, dan khurafat;
dalam aspek ibadah agar terpelihara secara baik dan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang diajarkan Rasul Saw, bahkan muamalah yang
amat banyak itu perlu kerja keras melaksanakan dan memeliharanya,
sehingga tidak masuk pada jurang kerusakan; orang yang mengeluarkan
zakat bila sudah sampai nisab, infak, sedekah, dan wakaf bagian dari jihad
memerangi kerakusan dan kepelitan. b. Jihad kerja keras atau memerangi
kebodohan. Jihad dalam aspek pendidikan dan dakwah harus menjadi
fokus kaum Muslimin pula saat ini karena SDM di kalangan kaum Muslimin
amat lemah bila dibandingkan dengan umat lainnya. c. Jihad dalam
dakwah untuk menegakan amar makruf, nahi mungkar. Kemungkaran dan
dan kejahatan yang memerlukan kerja keras para ulama, mubalig dan dai,
sungguh amat banyak, apalagi di zaman milenial ini dengan melakukan
jihad lewat lisan dan tulisan, seperti tv, radio, bahkan pada Medsos. d.
Jihad dalam aspek ekonomi harus menjadi fokus pula; pada zaman now
gaya hidup, life style jauh dari ajaran Al-Quran dan sunah Rasul Saw; hidup
berlebihan, berkemubaziran, dan mutra n, berkemewahan yang amat
dilarang Al-Quran dan sunah Rasul-Nya. Ekonomi Ribawi yang menggurita
dan amat membahayakan kaum Muslimin dunia dan akhirat. Di sini kaum
Muslimin harus apik pula dalam menggunakan dan menyimpan uangnya.
Jauhilah usaha dan bank-bank yang ribawi. Dalam berbagai Surah banyak
340 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

membicarakan riba antara lain, Surah Al-Baqarah (2): 275 dan 276-279.
Ribawi ini malahan harus diperangi, seperti pada ayat 278-279 itu:
(278). Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman; (279) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
d. Jihad siyâsî atau politik harus menjadi bagian penting, lebih-lebih setiap
kaum Muslimin dihadapkan pada masalah politik yang belum dan tidak akan
kunjung selesai karena perbuatan kekuasaan selalu berlangsung. Maju dan
mundurnya kaum Muslimin akan bersandar pada kebijakan politik. Memilih
pemimpin adalah amat penting, dan harus memilih pemimpin yang memiliki
kemampuan adil, shidiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Segala sesuatu
keberlangsungan kebijakan pemerintahan tergantung eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Amanat tergantung pada kebijakan politik yang menguasai
dunia ini. Hancurnya kaum Muslimin sejak abad pertengahan sampai
sekarang amat berkaitan dengan kebijakan politik. Jihad melawan orang-
orang yang memusuhi kaum Muslimin merupakan keniscayaan sepanjang
zaman. Memperbanyak amal saleh dan meyakinkan diri atas ajaran-Nya
bukan perkara yang mudah, kecuali kerja keras, mujahadah. Seseorang
yang melakukan apapun, apalagi kebaikan itu untuk dirinya sendiri, bukan
untuk Allah karena Allah amat kaya.
Sementara itu ayat 7 dari Surah tersebut jelas Allah amat memperhatikan
dan memuji orang yang beramal saleh karena dengannya segala dosa
yang pernah dilakukannya akan dihapuskan bahkan akan diganti dengan
yang lebih baik. Dalam Tafsîru l-Munîr, sebagaimana dalam terjemahnya
dinyatakan fikih kehidupan dari dua ayat tersebut, sebagai berikut: “Orang
jihad demi agama, sabar untuk berperang melawan orang-orang kafir dan
amal ketaatan maka dia berbuat itu untuk dirinya sendiri. Pahala semua
perbuatannya itu untuknya. Tidak ada manfaat sedikitpun yang kembali
pada Allah. Barang siapa yang mengabaikan jihad melawan dirinya tidak
menaati Tuhannya dan tidak menjauhi yang haram, dia hanya berbuat jelek
pada dirinya. Sebagaimana pada firman-Nya pada Surah Fushshilat (41):
46 dan Al-Isrâ` (17): 7. Selanjutnya, pada ayat ke 7 menerangkan kualitas
balasan amal saleh tidak ada bandingannya di dunia bagi siapapun makhluk
Allah. Allah menutupi kejelekan dengan ampunan, melipatgandakan
kebaikan dan pahala ketaatan. Dia tidak mengabaikan apapun perbuatan
baik hamba meskipun sedikit. Dia menghargainya dengan cara yang lebih
baik dan lebih sempurna. Dia membalas orang-orang yang membenarkan
Allah dan rasul-Nya serta beramal saleh dengan balasan yang lebih baik”.
Tafsîru l-Munîr-Terjemahan, vol 10, hal. 453. Wallâhu Alam bi l-shshawâb.
Catatan Akhir 341

20. Sikap Orang yang Lemah Imannya dalam Menghadapi


Cobaan
Manusia merupakan makhluk Allah Swt yang paling mulia di bumi ini,
dan di dalam tubuh manusia terdapat anggota yang mulia yakni hatinya.
Sedangkan sifat yang paling mulia di dalam hati adalah keimanan. Oleh
karena itu, dapat dimaklumi bahwa mendapat petunjuk sehingga menjadi
manusia yang beriman, merupakan kenikmatan yang paling agung yang
dimiliki oleh seseorang dan karunia Allah Swt yang paling mulia yang
dilimpahkan kepada hamba-Nya (Sayyid Sabiq, 1979: 124).
Keimanan ini tidak dapat sempurna melainkan terdapat rasa cinta yang
hakiki yang sebenarnya. Cinta ini ditujukan kepada Allah Swt, kepada rasul-
Nya dan kepada syariat yang diwahyukan oleh Allah Swt kepada rasul-Nya.
(Sayyid Sabiq, 1979, 124) Keimanan ini banyak dirangkaikan penguraiannya
dengan persoalan jihad, karena memang jihad ini adalah jiwa keimanan dan
merupakan kenyataan amaliahnya. (Sayyid Sabiq, 1979, 124) Oleh karena
itu, orang-orang yang imannya kuat, apabila mendapat musibah, maka
musibah ini merupakan sumber kebahagiaan dan ketentraman jiwa mereka
(Al-Maraghi, XX, t.t.: 180).
Orang-orang yang imannya goyah, bimbang dalam beragama, tidak mantap
terhadap akidahnya dan tidak berpendirian. Jika mendapat kebaikan,
maka mereka merasa senang dan cenderung kepada agama ini. Tetapi
jika diri, keluarga atau hartanya terkena bencana dan kesusahan, maka
mereka menjadi murtad dan kafir, sehingga mereka menemui kerugian dan
kehancuran, baik dalam urusan agama maupun dunianya. Sesungguhnya
ini adalah kerugian yang tiada bandingnya.
Dalam kondisi seperti ini, mereka kembali menyembah patung dan berhala,
dengan harapan tuhan-tuhan itu dapat menolak bencana yang menimpa
mereka. Sungguh mereka telah melakukan kesesatan yang sangat jauh.
Mereka selalu merasa gelisah dan goncang dalam memegang agamanya,
tidak pernah merasa tenang dan tentram. Perumpamaannya seperti tentara
yang berada di tepi pasukan, jika mendapat harta rampasan merasa senang
dan tenang, tetapi jika merasa akan kalah, maka dia lari dan berbalik ke
belakang (Al-Maraghi XX, t.t.: 93-94).
Oleh karena itu, kemantapan beragama baru dikatakan tercapai, jika yang
menjadi tujuannya adalah mendapat yang hak, ketaatan kepada Allah
Swt dan takut kepada siksa-Nya. Adapun jika yang menjadi tujuan ialah
kebaikan di dunia, sehingga dia tampak beragama pada waktu senang dan
tampak tidak beragama pada waktu susah, maka sesungguhnya ini adalah
kemunafikan. Di antara manusia ada yang tidak mempunyai kemantapan
dalam beragama, tetapi selalu ragu dan bimbang; beribadah kepada Allah
Swt sekadar coba-coba saja, hanya menunggu datangnya nikmat. Jika
mendapat kebaikan, maka dia akan tetap beriman, tetapi jika mendapat
keburukan berupa penyakit, atau harta dan anaknya hilang, maka dia
kembali murtad, kembali kepada kekafiran. (Al-Maraghi, XX t.t, 94) Hati
orang-orang kafir seperti ini adalah hampa, karena tidak merasa tenang
342 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

dengan mengingat Allah Swt, tetapi merasa tenang dengan dunia dan
cenderung kepada kesenangannya (Al-Maraghi, XX, t.t.: 101).

21. Jenis-jenis Ilmu ladunni


Secara holistik semua ilmu berasal dari Allah Swt (QS Al-Baqarah [2]: 31-
32). Tidak ada ilmu yang tidak berasal dari Allah Swt, meski penerima ilmu
itu, kemudian, tidak bertuhan kepada Allah Swt. Manusia diberi akal oleh
Allah, yang dengannya manusia berpikir dan berilmu, yang berguna untuk
mengarungi kehidupan ini sesuai dengan kemampuannya. Ilmu yang datang
dari Allah menjadikan manusia memiliki kemampuan dan kebermanfaatan
duniawi dan ukhrawi. Untuk kemanfaatan didunia semua manusia berkarya
dengan rekadayanya, namun untuk kepentingan ukhrawi hanya orang yang
beriman sajalah yang mendapatkannya. Ilmu yang integral menjadikan
manusia memiliki kesetimbangan kehidupan (lives equillibrium).
Ilmu ada yang dicari melalui pendidikan formal (akademik), seperti melewati
jalur sekolah dan universitas formal. Namun ada pula yang tidak ditempuh
melalui jalur pendidikan formal (non-akademik). Ilmu yang diperoleh bukan
melalui jalur pendidikan formal, tetapi didapat langsung dari Allah disebut
Ilmu ladunni. Sedangkan non-ladunni merupakan ilmu yang diperoleh
melalui jalur iktisâbî (usaha) melalui belajar dan kiprah intelektual, yang
selalu berkembang karena distimulasi oleh berbagai temuan terdahulu.
Ilmu ladunni merupakan ilmu yang berasal dari Allah Swt yang
pemerolehannya bukan melalui cara acquicition (iktisâb), tetapi melalui cara
khas (ala) Islam, yaitu dengan membersihkan hati (al-qalb), beramal saleh
dan berpikir benar. Ilmu ladunni merupakan jenis ilmu yang berasal dari
Allah yang diperoleh secara talaqqî, di mana ilmu ini menjadi kekuatan Islam
dan kaum Muslimin, yang tidak dimiliki oleh umat agama lain. “Doktrin ilmu
ladunni mempunyai signifikansi sentral, baik bagi filsafat maupun teoritis
(al-ma’rifah)”. (Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, 2003: 45-46)
Ilmu ladunni tidak menjadikan umat Islam terlena untuk mendapatkan
ilmu-ilmu iktisâbî. Islam mengajarkan bahwa bila ingin mendapatkan ilmu
maka bisa melalui dua jalur, yaitu: iktisâbî dan ladunni. Pada ilmu ladunni
dia dianjurkan melalui jalur riyâdhah (latihan-latihan spiritual), sehingga
kegunaan ilmu berlangsung panjang. Ilmu ladunni bersifat permanen
karena dibimbing oleh Allah Swt. Agar umat Islam memperolehnya
diperlukan latihan khas dengan persiapan-persiapan khusus, mulai dari
menjaga pandangan, memelihara lisan, menjaga perbuatan, dan menjaga
hati. Hati senantiasa diisi dengan tauhid dan zikrullah. Tidak bermaksiat
dan menyebarluaskan kemanfaatan bagi kehidupan. Bersikap tulus ikhlas,
berwudu, salat hajat, puasa sunah, infak dan membantu fakir dan anak-
anak yatim.
Ilmu ladunni mengada dalam konteks kesadaran manusia akan adanya
Ilah pemberi kemampuan yang utuh. Ilmu yang berasal dari Allah, sebagai
refleksi dari ciptaan-Nya, tidak ada yang sia-sia. Dengan demikian, ilmu
yang sia-sia berarti diajarkan oleh setan, seperti sihir. Manusia memberi nilai
Catatan Akhir 343

yang utuh secara bajik. Pada Ilmu ladunni isy’ar (rasa-perasaan) menjadi
kunci diterimanya ilmu yang khas ini.
Ada 2 jenis ilmu ladunni, yaitu: ilmu-ilmu yang terkait dengan agama
dan ilmu yang terkait dengan alam raya. Allah memberikan umat Islam
ilmu yang terbaik, dalam artian memberikan berkah bagi kehidupan umat
manusia dan alam raya. Ilmu ini akan selalu membawa kebajikan dalam
langkah kehidupan. Sedangkan ilmu-ilmu keduniawian semata menjadikan
umat manusia maju dari sisi duniawi tetapi buta tentang akhirat (QS Al-
Rûm [30]: 7). Sebagian lainnya dinyatakan bahwa ‘barangsiapa yang buta
(ajaran agama) di dunia ini maka ia buta pula di akhirat’ (QS Al-Isrâ` [17]:
72). Tentu, kondisi ini bukan merupakan suatu yang ideal dalam pandangan
Islam. Visi Islam adalah mencari akhirat melalui dunia; bukan dunia untuk
dunia dan bukan pula akhirat untuk dunia, yang kemudian menjadikan
manusia terasing dan menemui bencana. Misalnya, narkotika, shabu dan
minuman keras oplosan. Semuanya itu menjadikan pemakainya mengalami
kerusakan dan mara-bahaya. Kita perlu mengukur kebajikan dunia dengan
dimensi ukhrawinya. Dalam artian amal Muslim di dunia yang direfleksikan
untuk akhirat akan berbuah akhirat pula. Karena ilmu yang disandarkan
pada Allah diikuti kaidah ukhrawi.
Kondisi Umat Islam kini lamban dalam ekonomi, kesehatan dan pendidikan,
karena lebih tersibukkan oleh persoalan doktriner, yang kadang tidak
kontekstual, sehingga tidak bermanfaat bagi kemajuan umat. Meski
mayoritas umat Islam terpuruk dalam kehidupan, namun negara-negara
Timur Tengah justru mencapai kemakmuran yang spektakuler. Meski
mereka bekerja hanya sedikit waktu, namun mereka mendapatkan
kemakmuran tingkat tinggi, karena, sebagian lainnya dipergunakan untuk
ibadah, membawa berkah. Berkah menjadikan amal duniawi memiliki
nilai tambah yang spektakuler, di luar jangkauan matematika rasional. Ini
merupakan impak dari ilmu ladunni dalam bidang ilmu-ilmu duniawi dengan
dukungan agama. Sikap istikamah kepada ajaran Islam menjadikan Muslim
meninggalkan maksiat.
Mengkontektualisasikan ilmu-ilmu yang bersifat alami (natural sciences)
menjadikan kita mendapatkan invensi yang merupakan langkah awal dari
inovasi. Riyadhah secara intens guna meraih ilmu ladunni menjadikan
manusia meraih berkah Allah Swt.

22. Latar Belakang dan Penyebab Munculnya LGBT


LGBT adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Bisex, and Transgender. Lesbian
adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya
kepada sesama perempuan, Gay adalah sebuah istilah bagi laki-laki yang
umumnya digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat
homoseksual, biseksualitas merupakan ketertarikan romantis, ketertarikan
seksual, atau kebiasaan seksual kepada pria maupun wanita. Istilah
ini umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan manusia untuk
menunjukkan perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun wanita
344 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

sekaligus, dan Transgender merupakan ketidaksamaan identitas gender


seseorang terhadap jenis kelaminnya yang ditentukan, atau kelaminnya
dari laki-laki menjadi perempuan. Transgender bukan merupakan orientasi
seksual.
Istilah-istilah tersebut digunakan pada tahun 1990 untuk menggantikan
frasa “komunitas gay”, karena istilah tersebut sudah mewakili kelompok-
kelompok yang telah disebutkan. Istilah terdekat, “gender ketiga”, telah
ada sejak tahun 1860-an, tetapi tidak banyak disetujui. Istilah pertama
yang banyak digunakan, “homoseksual”, dikatakan mengandung konotasi
negatif dan cenderung digantikan oleh “homofil” pada era 1950-an dan
1960-an, dan lalu gay pada tahun 1970-an. Frasa “gay dan lesbian” menjadi
lebih umum setelah identitas kaum lesbian semakin terbentuk.
Selanjutnya, kaum biseksual dan transgender juga meminta pengakuan
dalam komunitas yang lebih besar. Setelah euforia kerusuhan Stonewall
mereda, dimulai dari akhir 1970-an dan awal 1980-an, terjadi perubahan
pandangan; beberapa gay dan lesbian menjadi kurang menerima kaum
biseksual dan transgender. Kaum transgender dituduh terlalu banyak
membuat stereotip dan biseksual hanyalah gay atau lesbian yang takut untuk
mengakui identitas seksual mereka. Setiap komunitas yang disebut dalam
akronim LGBT telah berjuang untuk mengembangkan identitasnya masing-
masing, seperti apakah, dan bagaimana bersekutu dengan komunitas lain;
konflik tersebut terus berlanjut hingga kini.
Akronim LGBT kadang-kadang digunakan di Amerika Serikat dimulai dari
sekitar tahun 1988. Baru pada tahun 1990-an istilah ini banyak digunakan.
Meskipun komunitas LGBT menuai kontroversi mengenai penerimaan
universal atau kelompok anggota yang berbeda (biseksual dan transgender
kadang-kadang dipinggirkan oleh komunitas LGBT), istilah ini dipandang
positif. Walaupun singkatan LGBT tidak meliputi komunitas yang lebih
kecil. Akronim ini secara umum dianggap mewakili kaum yang tidak
disebutkan. Secara keseluruhan, penggunaan istilah LGBT telah membantu
mengantarkan orang-orang yang terpinggirkan ke komunitas umum.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab LGBT tersebut, di antaranya :
(1) Faktor keluarga
Didikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya memiliki
peranan yang penting bagi para anak untuk lebih cenderung menjadi
seorang anggota LGBT daripada hidup normal layaknya orang yang
lainnya.
Ketika seorang anak mendapatkan perlakuan yang kasar atau
perlakuan yang tidak baik lainnya, maka pada akhirnya kondisi itu
bisa menimbulkan kerenggangan hubungan keluarga serta timbulnya
rasa benci si anak pada orang tuanya. Sebagai contoh adalah ketika
seorang anak perempuan mendapatkan perlakuan yang kasar atau
tindak kekerasan lainnya dari ayah atau saudara laki-lakinya yang lain,
maka akibat dari trauma tersebut nantinya anak perempuan tersebut
bisa saja memiliki sifat atau sikap benci terhadap semua laki-laki.
Akibat sikap orang tua yang terlalu mengidam-idamkan untuk memiliki
Catatan Akhir 345

anak laki-laki atau perempuan, namun kenyataan yang terjadi justru


malah sebaliknya. Kondisi seperti ini bisa membuat anak akan
cenderung bersikap seperti apa yang diidamkan oleh orang tuanya.
Orang tua yang terlalu mengekang anak juga bisa malah menjerumuskan
anak pada pilihan hidup yang salah.
Kurangnya didikan perihal agama dan masalah seksual dari orang
tua kepada anak-anaknya. Orang tua sering beranggapan bahwa
membicarakan masalah yang menyangkut seksual dengan anak-
anak mereka adalah suatu hal yang tabu, padahal hal itu justru bisa
mendidik anak agar bisa mengetahui perihal seks yang benar.
(2) Faktor Lingkungan dan pergaulan
Lingkungan serta kebiasaan seseorang dalam bergaul disinyalir telah
menjadi faktor penyebab yang paling dominan terhadap keputusan
seseorang untuk menjadi bagian dari komunitas LGBT. Beberapa poin
terkait dengan faktor ini adalah:
Seorang anak yang dalam lingkungan keluarganya kurang
mendapatkan kasih sayang, perhatian, serta pendidikan baik masalah
agama, seksual, maupun pendidikan lainnya sejak dini bisa terjerumus
dalam pergaulan yang tidak semestinya. Di saat anak tersebut mulai
asik dalam pergaulannya, maka ia akan beranggapan bahwa teman
yang berada di dekatnya bisa lebih mengerti, menyayangi, serta
memberikan perhatian yang lebih padanya. Dan tanpa ia sadari, teman
tersebut justru membawanya ke dalam kehidupan yang tidak benar,
seperti narkoba, miras, perilaku seks bebas, serta perilaku seks yang
menyimpang (LGBT).
Masuknya budaya-budaya yang berasal dari luar negeri mau tidak mau
telah dapat mengubah pola pikir sebagian besar masyarakat kita dan
pada akhirnya terjadilah pergeseran norma-norma susila yang dianut
oleh sebagian masyarakat. sebagai contoh adalah perilaku seks yang
menyimpang seperti seks bebas maupun seks dengan sesama jenis
atau yang lebih dikenal dengan istilah LGBT.
(3) Faktor genetik
Dari beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa salah satu
faktor pendorong terjadinya homoseksual, lesbian, atau perilaku seks
yang menyimpang lainnya bisa berasal dari dalam tubuh si pelaku yang
sifatnya bisa menurun dari anggota keluarga terdahulu. Ada beberapa
hal yang perlu Anda ketahui terkait masalah ini, seperti :
Dalam dunia kesehatan, pada umumnya seorang laki-laki normal
memiliki kromosom XY dalam tubuhnya, sedangkan wanita yang
normal kromosomnya adalah XX. Akan tetapi dalam beberapa kasus
ditemukan bahwa seorang pria bisa saja memiliki jenis kromosom XXY,
ini artinya bahwa laki-laki tersebut memiliki kelebihan satu kromosom.
Akibatnya, lelaki tersebut bisa memiliki berperilaku yang agak mirip
dengan perilaku perempuan.
Keberadaan hormon testosteron dalam tubuh manusia memiliki
andil yang besar terhadap perilaku LGBT. Seseorang yang memiliki
346 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

kadar hormon testosteron yang rendah dalam tubuhnya, maka


bisa mengakibatkan antara lain berpengaruh terhadap perubahan
perilakunya, seperti perilaku laki-laki menjadi mirip dengan perilaku
perempuan.
(4) Faktor akhlak dan moral
Faktor moral dan akhlak yang dimiliki seseorang juga memiliki pengaruh
yang besar terhadap perilaku LGBT yang dianggap menyimpang. Ada
beberapa hal yang dapat berpengaruh pada perubahan akhlak dan
moral yang dimiliki manusia yang pada akhirnya akan menjerumuskan
manusia tersebut kepada perilaku yang menyimpang seperti LGBT,
yaitu: Iman yang lemah dan rapuh. Ketika seseorang memiliki tingkat
keimanan yang lemah dan rapuh, besar kemungkinan kondisi tersebut
akan membuatnya lemah dalam hal mengendalikan hawa nafsu.
Kita tahu bahwa iman adalah benteng yang paling efektif dalam
diri seseorang untuk menghindari terjadinya perilaku seksual yang
menyimpang. Jadi dengan lemahnya iman, maka kekuatan seseorang
untuk dapat mengendalikan hawa nafsunya akan semakin kecil,
dan itu nantinya bisa menjerumuskan orang itu pada perilaku yang
menyimpang, salah satunya dalam hal seks.
Semakin banyaknya rangsangan seksual. Banyak contoh yang bisa
kita ambil sebagai pemicu rangsangan seksual seseorang. Misalnya
semakin maraknya VCD porno, majalah porno, atau video-video lain
yang bisa kita akses melalui internet.
(5) Faktor Pendidikan dan pengetahuan tentang agama
Faktor internal lainnya yang menjadi penyebab kemunculan perilaku
seks menyimpang seperti kemunculan LGBT adalah pengetahuan serta
pemahaman seseorang tentang agama yang masih sangat minim. Di
atas dikatakan bahwa agama atau keimanan merupakan benteng
yang paling efektif dalam mengendalikan hawa nafsu serta dapat
mendidik kita untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang tidak baik. Untuk itulah, sangat perlu ditanamkan pengetahuan
serta pemahaman agama terhadap anak-anak sejak usia dini untuk
membentuk akal, akhlak, serta kepribadian mereka.
LGBT dan Kesehatan
Kaum LGBT lebih rentan terhadap berbagai penyakit baik fisik maupun
psikologis. Beberapa bahaya dan penyakit yang sering dijumpai pada kaum
LGBT adalah sebagai berikut :
(1) Terputusnya / punahnya keturunan
Hubungan LGBT tidak akan bisa menghasilkan keturunan karena
fitrahnya keturunan lahir dari adanya laki-laki dan perempuan.
Walaupun teknologi saat ini mampu untuk menciptakan manusia baru
sekalipun, hal ini tidak akan bisa menggantikan peran dari seorang ibu
dan ayah yang sama-sama melahirkan anak ke dunia. Anak-anak hasil
dari teknologi tentu tidak akan mungkin menjadi manusia yang benar-
benar mendapat kasih sayang, kejelasan status keluarga, status diri,
pertanggungjawaban hak asuh, dan sebagainya.
Catatan Akhir 347

(2) Depresi dan bunuh diri


Masalah kesehatan psikis utama kaum LGBT adalah depresi dan
keinginan besar untuk bunuh diri. Salah satu pencetusnya akibat
diskriminasi lingkungan serta keterikatan berlebihan terhadap
pasangan homoseksualnya.
(3) Penyalahgunaan Obat terlarang, rokok dan alkohol
Pemakaian obat terlarang, rokok dan alkohol meningkat pesat di
lingkungan kaum LGBT.
(4) Kanker
Bagi pelaku gay, kanker anus lebih banyak dijumpai dari pada lelaki/
wanita normal. Kanker anus merupakan jenis kanker yang jarang
terjadi, tetapi jika makin banyak orang yang melakukan seks anal
maka kasusnya pun akan makin meningkat. Sedangkan untuk wanita
pelaku lesbian mudah terkena penyakit kanker payudara dan kanker
endometriosis.
(5) Penyakit gangguan hormon
Penyakit akibat gangguan hormon sering dialami oleh kaum
transgender. Apabila seorang pria ingin mengubah identitas menjadi
wanita, ia akan mendapatkan terapi hormon estrogen yang rutin. Hal
ini dapat meningkatkan risiko gangguan liver, tumor kelenjar endokrin,
dan kanker prostat. Sedangkan jika seorang wanita ingin mengubah
identitas menjadi pria, ia akan mendapatkan terapi hormon androgen.
Ini dapat menaikkan risiko terjadinya penyakit jantung dan kanker
endometrium.
(6) Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS
LGBT merupakan gaya hidup yang paling potensial menyebarkan
infeksi penyakit menular seksual serta penyebaran HIV/AIDS, terutama
dengan perilaku anal seks yang kerap menjadi pilihan kaum LGBT.
Fitrah Manusia untuk Berpasang-pasangan
Di dalam islam, Allah memerintahkan agar manusia hidup berpasang-
pasangan, membentuk keluarga, dan menghasilkan keturunan yang
saleh-salehah. Semua itu dilakukan dalam bingkai keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan penuh rahmah.
Menciptakan Manusia Berpasang-pasangan
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah. (QS Al-Dzâriyât [51]: 49)
Manusia terdiri dari pria dan wanita
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan
wanita. (QS Al-Najm [53]: 45)
Dan lebih ditegaskan pula pada ayat berikut :
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa
yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan
dan rezki yang mulia (surga). (QS Al-Nûr [24]: 26)
348 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

LGBT merupakan penyimpangan orientasi seksual yang dilarang oleh semua


agama terlebih lagi Islam. Selain karena perbuatan keji ini akan merusak
kelestarian manusia, yang lebih penting Allah Swt dan Rasulullah melaknat
perbuatan kaum Nabi Luth ini. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban
bagi umat Islam untuk melawan segala jenis opini yang seolah atas nama
HAM membela kaum LGBT akan tetapi sesungguhnya mereka membawa
manusia menuju kerusakan yang lebih parah.

23. Bekas-Bekas Kehancuran Kaum Sodom (Arkeologi).


Ditahun 2015 Arkeolog Amerika, Steve Collins dan Phillip Silvia dari Trinity
Southwest University, New Mexico, setelah melakukan penggalian selama
10 tahun di Middle Ghor, Lembah Jordan menemukan reruntuhan kota kuno
dari masa 3500 – 1540 tahun sebelum Masehi, yang diperkirakan sebagai
kota Sodom. Lokasinya terletak di Tall-el-Hammam, 14 km di Timur Laut,
Laut Mati. Reruntuhan itu terdiri dari kota bawah dan kota atas, dikelilingi
tembok tinggi, mempunyai beberapa pintu gerbang kota, dan di pusatnya ada
lapangan terbuka. Dinding bangunan-bangunan terbuat dari bata berbahan
lumpur. Penggalian di 5 lokasi Middle Ghor, Jordan, mengindikasikan bahwa
tempat itu terus menerus dihuni oleh 40.000 -65.000 manusia selama
2500 tahun lalu tiba-tiba hancur. Analisa radiokarbon menunjukkan bahwa
tembok bata lumpur tiba-tiba lenyap 3700 tahun yng lalu, dan tinggal
pondasi batu yang tersisa. Temuan benda-benda gerabah tanah liat dari
masa itu menunjukkan lapisan luarnya meleleh menjadi gelas. Kristal zircon
dilapisan luar itu terbentuk dalam tempo satu detik oleh suhu panas yang
ekstrim sepanas permukaan matahari. Diperkirakan bahwa kehancuran
itu disebabkan oleh sebuah meteor yang meledak diatmosfir yang
memusnahkan kawasan kota seluas 25 km2 dengan penduduknya. Ledakan
itu juga menyebarkan garam yang mendidih dari Laut Mati ke daerah subur
yang luas disekitarnya. Manusia baru mendiami lokasi itu lagi setelah 700
tahun kemudian.

24. Likuefaksi dan Prosesnya


Pada ayat 40 dari Surah Al-Ankabût antara lain disebutkan: “... dan di
antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara
mereka ada yang Kami tenggelamkan,...” (Departemen Agama RI: 2005).
Kutipan sebagian ayat ini menyebutkan suatu fenomena bencana berupa
pergerakan tanah amblas yang menenggelamkan semua yang ada di
atasnya. Fenomena “terbenam ke dalam bumi” sebagaimana tersebut pada
ayat di atas merupakan salah satu bencana mengerikan yang oleh para ahli
geologi disebut dengan istilah likuefaksi (dari bahasa Inggris: liquefaction).
Likuifaksi secara harfiah berarti pencairan tanah atau tanah menjadi lumpur
“hidup” yang menyedot (Ahmad S, Khan MZ, Anwar A dan Husain SMA,
2015: 53-54), (Cudmani R, (2013).
Secara sederhana, fenomena likuefaksi diartikan sebagai perubahan material
yang padat, dalam hal ini berupa endapan sedimen atau tanah sedimen,
Catatan Akhir 349

seakan berubah karakternya menjadi cenderung seperti cairan yang terjadi


akibat kejadian gempa. Likuifaksi umumnya terjadi pada gempa di atas 5
Skala Richter dengan kedalaman sumber gempa termasuk dalam kategori
dangkal. Material yang terlikuefaksi umumnya berada pada kedalaman
sekitar 20 meter, meskipun terkadang dapat pula lebih. Likuifaksi hanya
bisa terjadi pada tanah yang jenuh air. Air tersebut terdapat di antara
pori-pori tanah dan membentuk tekanan air pori. Tanah yang berpotensi
likuefaksi pada umumnya tersusun atas material dengan dimensi yang
didominasi komponen seukuran pasir. Oleh karena itu, gempa bumi yang
terjadi di zona dengan tanah yang mengandung air tinggi sangat beresiko
untuk terjadi likuefaksi. Biasanya fenomena ini terjadi pada tanah di daerah
yang dekat dengan pantai. Karena adanya gempa bumi yang umumnya
menghasilkan gaya guncangan yang sangat kuat dan tiba-tiba, tekanan air
pori tersebut naik seketika. Proses itulah yang menyebabkan material pasir
penyusun tanah menjadi seakan melayang di antara air. Jika posisi tanah ini
berada di suatu kemiringan, tanah dapat “bergerak” menuju bagian bawah
lereng secara gravitasional dan seakan dapat “berjalan” dengan sendirinya
(Ahmad S, Khan MZ, Anwar A dan Husain SMA, 2015: 53-54), (Cudmani R,
(2013), (Permana A, 2018: https://www.itb.ac.id/news)
Beberapa dampak yang akan terjadi jika sebuah area terkena pencairan tanah
atau likuefaksi di antaranya adalah tanah menjadi bergeser. Pergeseran
tanah ini akan menyebabkan material di atas tanah menjadi hanyut.
Dengan demikian, pohon atau pun bangunan yang berada di atasnya akan
roboh atau ikut bergeser. Selain itu, permukaan tanah menjadi turun dan
membuat perbedaan permukaan. Pada akhirnya area tanah tersebut akan
menjadi seperti bukit, yaitu ada bagian yang permukaannya turun dan ada
pula yang naik. Likuifaksi seperti ini merupakan jenis likuefaksi mengalir.
Selain likuefaksi yang mengalir terdapat pula jenis likuefaksi yang berputar
(Ahmad S, Khan MZ, Anwar A dan Husain SMA, 2015: 53-54), (Cudmani R,
(2013), (Permana A, 2018: https://www.itb.ac.id/news)
Dalam sejarah peradaban umat manusia, likuefaksi selalu menimbulkan
jumlah korban dan material yang besar dan yang termutakhir adalah di
negara kita, yaitu Palu dan Donggala (Sulawesi Tengah) pada tahun 2018
(Cudmani R, (2013), (Munawar R, 2018, m.hidayatullah.com). Dengan
demikian manusia berupaya agar mampu mendeteksi potensi munculnya
likuefaksi untuk menghindarkan terjadinya korban. Saat ini telah mulai
dikembangkan instrumen untuk memperkirakan potensi likuefaksi seperti
yang telah dilakukan di Meksiko (Shelley EO, Mussio V, Rodriguez M
and Chang JGA, 2015): 54-1: 95-109). Di Indonesia pun telah mulai
dikembangkan alat pendeteksi likuefaksi sebagaimana telah dilakukan di
Prodi Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia Bandung (Shelley EO,
Mussio V, Rodriguez M and Chang JGA, 2015): 54-1: 95-109) dan Fakultas
Teknik Universitas Semarang (Tini, Tohari A dan Iryanti M, 2017 : 8-25.
Namun semua upaya tersebut terbukti masih belum dapat memperkirakan
datangnya likuefaksi dengan tepat. Oleh karena itu, dalam upaya untuk
menghindari dampak likuefaksi di atas, maka sejumlah negara kini
350 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

mewajibkan para insinyur untuk mempertimbangkan efek likuefaksi dalam


desain bangunan dan infrastruktur baru seperti jembatan atau bendungan
(EN1998-5, 2004).
Sebagian orang berpendapat bahwa likuefaksi hanyalah gejala alamiah
biasa. Padahal ayat 40 dari Surah Al-Ankabût di atas dengan tegas
menyatakan bahwa sebenarnya, likuefaksi adalah salah satu peringatan
dari Allah Swt atas perbuatan dosa umat manusia di dunia ini. Kekuatan
Allah Swt yang Maha Perkasa-lah yang menyebabkan pergerakan kulit bumi,
sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Naml (27): 88 bahwa gunung-
gunung itu bergerak (Departemen Agama RI: 2005).
Dalam Al-Quran diceritakan pula kisah-kisah umat terdahulu yang mendapat
azab dalam bentuk bencana alam likuefaksi seperti yang ditimpakan pada
umat Nabi Luth as atau pada nasib Qarun, pada zaman Nabi Musa as.
Kisah bencana likuefaksi pada umat Nabi Luth as terdapat pada QS Al-
Syu’arâ` (26): 160, QS Al-Hijr (15): 67-76 serta QS Al-Furqân (25): 38.
Bencana yang merupakan azab Allah tersebut menimpa umat Nabi Luth
as karena merupakan kaum dengan perilaku seksual menyimpang yang
sekarang dikenal dengan istilah komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual,
dan transgender). Kisah bencana likuefaksi pada Qarun terdapat pada QS
Al-Qashash (28): 81 Qarun, yang sombong dan ingkar, mendapat azab Allah
Swt dengan cara ditenggelamkan ke dalam bumi beserta seluruh harta
kekayaannya (Departemen Agama RI: 2005).

25. Konstruksi Jaring Laba-Laba Itu Sangat Kuat


Jaring laba-laba itu sangat kuat. Setiap seratnya yang berukuran 1/1000
rambut manusia terdiri dari ribuan kawat nano berukuran 1/20 juta
millimeter yang elastis bisa memanjang dan mengkerut. Serat itu tersusun
dari molekul panjang protein asam amino dan glycine. Serat jaring laba-
laba itu 5 kali lebih kuat dari baja berdiameter sama. Hampir sekuat
serat Kevlar buatan manusia untuk rompi anti peluru. Jaring laba-laba
berdiameter seukuran pensil bisa kuat menghentikan pesawat Boeing 747.
Tapi bukan hanya itu. Selain fungsi struktur yang sangat kuat, setiap serat
itu juga mempunyai fungsi sensor. Jaring laba-laba menyerap energi yang
menekannya lalu menyalurkan getaran longitudinal dan transversal kepada
sang laba-laba yang bersembunyi. Sehingga dia bisa mendapat informasi
akurat tentang apa yang menabrak jaring. Apakah hanya angin, mangsa
yang terperangkap atau musuh, predator pemangsa laba-laba. Kemampuan
serat ini dikontrol oleh laba-laba ketika dia memilih kekenyalan jaring dari
cairan tubuhnya untuk menentukan kecepatan gelombang menjalar.

26. Murâqabah menurut Ahli Sufi


Saidi Syekh Sulaiman Zuhdi Al-Khalidi mengatakan : “Zikir Murâqabah ialah
berkekalannya seorang hamba ingat pada dirinya senantiasa dimonitor oleh
Tuhannya dalam seluruh keadaan tingkah lakunya”.
Murâqabah artinya saling mengawasi, saling mengintai atau saling
Catatan Akhir 351

memperhatikan. Dalam kajian Tasawuf/Tarekat, murâqabah dalam


pengertian bahasa tersebut, terjadi antara hamba dengan Tuhan nya.
Murâqabah bisa juga digambarkan sebagai intai mengintai antara hamba
dengan Tuhannya. Sebagian Syeikh menggambarkan Murâqabah itu adalah
saat dimana ucapan salam seorang hamba dijawab oleh Tuhan.
Arti dari murâqabah adalah: meletakkan sesuatu di bawah perhatian,
penantian, pengawasan, dan hidup di bawah perasaan sedang diawasi.
Bagi para sufi, murâqabah adalah: Bertawajjuh kepada Allah dengan
sepenuh hati, melalui pemutusan hubungan dengan segala yang selain
Allah Swt menjalani hidup dengan mengekang nafsu dari hal-hal terlarang;
dan mengatur kehidupan di bawah cahaya perintah Allah dengan penuh
keimanan bahwa pengetahuan Allah selalu meliputi segala sesuatu.
Murâqabah juga sebagai: usaha sungguh-sungguh di bawah naungan
kehendak Allah dan menjalani hidup dan suluk kita dengan cara terbaik
melalui keselarasan antara isi hati dengan penampilan di bawah pengawasan
Allah Swt. Kondisi ini hanya dapat terwujud dengan meyakini bahwa Allah
selalu melihat segala kondisi manusia; atau bahwasannya Dia selalu
mendengar dan mengetahui ucapan mereka, mengetahui keadaan mereka
lalu menetapkan takdirnya, dan selalu melihat perbuatan yang mereka
lakukan lalu mencatatnya.
Dengan penjelasannya yang gamblang, Al-Quran mengingatkan kita
mengenai realitas ini seperti yang termaktub dalam ayat: Kamu tidak
berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran
dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi
saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. (QS Yûnus [10]: 61)
Jika murâqabah adalah menutup hati secara total dari segala yang tidak
diridai Allah Swt baik berbentuk bisikan hati yang tidak layak, pikiran dungu
yang jauh dari kehadiran Allah Swt, maupun berupa pandangan kotor yang
ada di dalam perilaku kita; serta upaya untuk mengatur semua “penangkap
sinyal” di dalam jiwa yang senantiasa terbuka ke alam keabadian agar dapat
menangkap “siaran” anugerah Ilahi, maka yang harus kita lakukan adalah
mengukur buka-tutup dan negatif-positif dengan baik.
Langkah pertama dalam murâqabah adalah: Mendahulukan apa yang
didahulukan oleh Allah dan mengutamakannya di bagian terdalam dari
keinginan internal kita, membesarkan apa yang dianggap besar oleh Allah
Swt dengan menjadikannya berada di atas kepala kita, serta menganggap
kecil apa yang dianggap kecil oleh Allah Swt dengan menyingkirkannya dari
dalam hati kita.
Tidak diragukan lagi bahwa tafakur terhadap keluasan rahmat Allah Swt akan
meletupkan kecintaan kepada Allah dan kerinduan terhadap ibadah pada-
Nya. Adapun rasa segan (mahâbbah) dan takut (khaûf) kepada Allah akan
menghilangkan syahwat dan memupus keinginan untuk berbuat maksiat,
serta mendorong manusia menuju kehidupan yang penuh kewaspadaan
dan kehati-hatian. Adapun murâqabah, akan membersihkan ibadah dan
kepatuhan kepada Allah dari kotoran hasud sehingga yang tersisa hanyalah
hal-hal yang dikehendaki Allah Swt seperti layaknya sebuah alat penyaring
352 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

membersihkan kotoran. Itu terjadi karena murâqabah adalah upaya


sungguh-sungguh yang dilakukan seseorang agar perasaan dan pikirannya
tidak dikotori apapun, termasuk ketika ia sedang bersendirian, karena ia
merasa bahwa dirinya selalu disaksikan dan diawasi setiap saat.
Jalan murâqabah adalah jalan terpenting dan sekaligus yang terpendek
bagi manusia untuk mencapai Allah Swt tanpa membutuhkan mursyid atau
pemandu karena jalan ini berada di bawah pengawasan al-Wilâyatu l-Kubrâ.
Dengan menempuh jalan ini, manusia dapat bertawajjuh kepada Allah
Al-Haqq Swt kapan pun dan di mana pun. Ketika mereka menampakkan
kelemahan dan kefakiran, mereka pun mengarah kepada khalwat dengan
mengingat kebutuhan mereka. Ketika mereka merenungkan alam semesta
di setiap waktu dalam kehidupan, mereka senantiasa merasakan bahwa
Allah sedang mengawasi mereka sehingga mereka selalu mengalihkan
pandangan dari semua yang selain Allah.
Ketika mereka mendengar berbagai hal, mereka selalu menutup telinga
dari segala bentuk suara yang terlontar tanpa menyebut nama Allah Swt.
Mereka selalu berusaha mengetahui setiap hal yang berhubungan dengan
Allah Swt. Ketika mereka berbicara tentang entitas wujud, mereka selalu
fasih menuturkan tentang keindahan dan kebaikannya, tanpa pernah
menganggap penting hal-hal yang tidak dapat menghubungkan diri mereka
dengan Allah Swt dan memilih diam terhadap hal-hal semacam itu.
Ya, jika mata tidak ingat bahwa Allah adalah sang Maha Melihat, jika telinga
tidak ingat bahwa Allah adalah sang Maha Mendengar, jika lidah tidak
ingat akan penjelasan yang Allah sampaikan, lantas apalah bedanya antara
anggota tubuh kita dengan potongan daging?
Maulana Rumi menganggap murâqabah sebagai tirai pelindung dari segala
bentuk hasrat yang merusak dan dari perilaku yang hina, serta sebagai satu-
satunya jaminan untuk menjaga hak-hak Allah. Rumi menyatakan: “Allah
menyematkan Diri-Nya dengan sifat al-bashîr (Maha Melihat) agar engkau
takut menghadapi hal-hal merusak. Dia menyematkan sifat al-ssamî’ (Maha
Mendengar) agar kau menahan mulutmu dari segala hal yang merusak...
Allah menyatakan bahwa Diri-Nya adalah al-’alîm (Mahamengetahui),
untuk memberi tahu kepadamu tentang pengetahuan-Nya atas dirimu dan
mengingatkanmu dari pikiran yang rusak.”
Sesungguhnya awal dan tahapan pertama dari murâqabah adalah:
tercapainya keyakinan bahwa Allah selalu hadir, memandang, dan melihat
semua keadaan kita, dengan penyerahan hati kepada kehendak dan
keinginan-Nya, mengutamakan keinginan-Nya di atas keinginan kita, dan
dengan mengembara di dalam cakrawala ayat: Dan adalah Allah Maha
Mengawasi segala sesuatu. (QS Al-Ahzâb [33]: 52)
Tahapan kedua dari murâqabah adalah: sang sâlik bertawajjuh kepada
Allah dengan hati yang “hadir”, sembari menunggu limpahan anugerah
Ilahi ke dalam hatinya dengan penuh kesabaran, keteguhan, dan mawas
diri. Dalam kondisi tawajjuh seperti itu, tidak diperlukan mursyid, zikir, dan
hubungan. Ketika semua ini dapat bersijalin dengan adab-adab syariat,
maka itu merupakan sesuatu yang sangat baik.
Catatan Akhir 353

Adalah sama saja apakah di tahapan pertama atau kedua, ketika


seorang sâlik (seorang yang menjalani disiplin spiritual dalam menempuh
jalan sufisme Islam untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya) mampu
bersikap teguh di jalan kebenaran dalam bentuk keselarasan antara dirinya
dengan sifatnya yang mampu merepresentasikan semangat ihsan yang
dijelaskan oleh hadis Rasulullah sebagai “Kau menyembah Allah seakan-
akan kau melihat-Nya, kalau kau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya
Dia melihatmu.”
Sang sâlik melihat dirinya dengan penyerahan diri yang total bahwa tidak
ada daya dan kekuatan yang dimilikinya, serta bahwa dirinya adalah
lemah dan fakir, yang tujuannya adalah agar “penglihatannya” kepada
kekuasaan Allah tidak terputus. Ia selalu mengakui bahwa hanya Allah-
lah satu-satunya titik sandaran yang dapat menolongnya, lalu ia berkata:
“Hamba tak mampu berpaling dari-Mu. Raihlah tangan hamba wahai Ilahi...
raihlah tangan hamba...”. Dengan makrifat seperti itu, ia selalu berada
di jalan murâqabah yang benar sehingga akan membuat dirinya dapat
dianggap telah berada di dalam keamanan.
Orang-orang yang melewati hidup mereka dengan karakter dan jalan suluk
seperti ini, seiring dengan berlalunya waktu, di dalam jiwa mereka akan
muncul sebuah kemampuan (malakah), yang dapat juga kita sebut sebagai
hudhûru l-qalb yang kemampuan itu akan membuat hari mereka senantiasa
terbuka terhadap berbagai anugerah Ilahiah, sehingga aliran anugerah
dari Hadrahu l-Ahadiyyah akan selalu melimpah kepadanya.
Sesungguhnya elemen murâqabah yang terpenting adalah muhâsabah,
yang sudah kami bahas di bagian khusus, yang berarti: upaya manusia
untuk meneliti seluruh bagian jiwa dan kesadarannya untuk mencari
kesalahan dan dosa yang mungkin ada, serta mengerahkan seluruh panca-
indra demi memperoleh keteguhan.
354 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
Daftar Pustaka 355

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran:

Al-Qur`ânu l-Karîm

Departemen Agama RI. 1984/1985. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta:


Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran.

Departemen Agama RI. 2000. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang:


Bumi Restu.

Departemen Agama. 2009. Syaamil Al-Quran The Miracle 15 in 1, Bandung:


PT Syigma Examedia Arkanleema.

Khadim Al-Haramain Al-Syarifain. 1971. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Saudi


Arabia.

Buku:

Abu Saud, Muhammad Ibnu Muhammad Al-Amadi. t.t. Irsyâdu l-’Aqli


l-Salîm ilâ Mazâya l-Qur`âni l-Karîm. Beirut: Dâru Ihyâ`i l-Tturâtsi
l-’Arabî.

Al-Andalusi, Muhammad Ibnu Yusuf Abu Hayyan. 2001. Tafsir Al-Bahru


l-Muhîth. Beirut: Dâru l-Kutubi l-Ilmiyyah.

Ansari, Muhammad Fazlur Rahman. 1983. The Qur`anic Foundations And


Structure Of Muslim Society (Konsepsi Masyarakat Islam Modern).
Terj. Juniarso Ridwan Dkk. Bandung: Risalah.

Anwar, Samsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad
Dalam Fikh Muamalat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Atahillah, Ibnu. 2015. Mengaji Tajul Arus Rujukan Utama Mendidik Jiwa
356 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Disertai Ulasan oleh Muhamad Najdat. Jakarta: Zaman.

Bahreisy, Salim. 1988. Sejarah Hidup Nabi-Nabi (Qashashul Anbiyâ).


Surabaya: Bina Ilmu. Ibnu Katsir. 1969. Tafsîr Al-Qur`ânu l-’Azhîm,
Beirut: Dâru l-Ma’rifah.

Departemen Agama RI. 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta:
Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.

Glaxo, Iwan Gayo. 2013. Encyclopedia Islam International. Jakarta:


Pustaka Warga Negara.

Haaretz News, 15 Oktober 2018Ibnu Katsir. 1969. Tafsîr Al-Qur`ânu


l-’Azhîm, Beirut: Dâru l-Ma’rifah.

Halim, Amanullah. 2011. Musa Versus Firaun. Jakarta: Lentera Hati.

HAMKA. 1982. Tafsir al-Azhar. Jakarta: PT. Pustaka Panji Masyarakat.

Al-Hamsi, Muhammad Hasan. 1999. Tafsîr wa Bayân Mufradâti l-Qur`ân


‘alâ Mushhâ l-Ttajwîd. Beirut: Muassah Al-Aimân.

Huang, W. T. 1962. Petrology. McGraw-Hill Book Company.

Jackson, K. T. 1970. Textbook of Lithology. McGraw Hill Book Company N.J.

Jailani, Abdul Qadir. 2013. Mensucikan Jiwa Membuat hati menjadi tenang
dan Damai. Bandung: Penerbit Jabal.

Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim. 2004. Manajemen Kalbu Melumpuhkan Senjata


Syetan. Jakarta: Dar El- Falah.

Al-Ju’fi, Muhammad Ibnu Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari. 1987. Al-Jâmi’u


l-Shahîhu l-Mukhtashar. Beirut: Dâru Ibni Katsîri l-Yamâmah.

Jum’ah, Ali. 2017. Sejarah Ushul Fiqih Histori Ilmu Ushul Fiqih dari Masa
Nabi Hingga

Mallory, R.F., and Cargo, D.N. 1979, Physical Geology. New York: McGraw-
Hill Book Company.
Daftar Pustaka 357

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1974. Tafsîr Al-Marâghî, Beirut: Dâru Ihyâ`i


l-Tturâts l-’Arabî.

Menard, H.W. 1974. Geology, Resources, and Society, An Introduction to


Earth Science. San Francisco: W.H. Freeman and Co.

Mills, J.V.G. 1970. Ma Huan: Ying-yai sheng-lan ‘The overall survey of the
ocean’s shores’ (1433). Cambridge: Cambridge University Press.

Pranggono, Bambang. 2008. Percikan Sains dalam al-Qur’an, Menggali


Inspirasi Ilmiah. Bandung: Khasanah Intelektual.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Rahman, Fazlur. 1984. Islam. Bandung: Pustaka.

REPUBLIKA - Minggu, 24 Mei 2009

Al-Sajastani, Abu Daud Sulaiman Ibnu Al-Asy’ats. t.t. Sunanu Abi Dâwud.
Beirut: Dâru l-Kitâbi l-‘Arabî.

Sarwono, Billi K. (2015). Komunikasi Massa. Tanggerang Selatan:


Universitas Terbuka

Sarwono, Sarlito. W & Eko A. Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta:


Salemba Humanika.

Sekarang. Jakarta: Keira.

As-Shalih, Subhi. 1994. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka


Firdaus.

Shihab, M. Quraish. 1997. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan.

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Edisi III),


Jakarta: Balai Pustaka, 2006.

W.J.S. Poerwadarminta. 2006.Kamus Umum Bahasa Indonesia (Edisi III).


358 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Jakarta: Balai Pustaka.

Yusuf, Ahmad Muhammad. 2009. Ensiklopedi Tematis Ayat Al-Quran &


Hadits Jilid 4. Jakarta: Widya Cahaya.

Yusuf, Ahmad Muhammad. 2010. Ensiklopedi Tematis Ayat Al-Quran &


Hadits. Jakarta: Widya Cahaya.

Al-Zuhaili, Wahbah. 1991. Al-Tafsîr Al-Munîr fî l-’Aqîdah wa l-Sysyarî’ah wa


l-Manhaj. Beirut: Dâru l-Fikr.

Al-Maktabah Al-Syâmilah

Ahmad, Imam. Musnad Ahmad bin Hanbal, Al-Maktabah Al-Syâmilah. v.


2.09.

Al-Bukhari. Shahîh Al-Bukhârî, Al-Maktabah Al-Syâmilah. v. 3.04.

Ibnu Hajar Al-’Asqalani. Fathu l-Bâri (Syarhu Shahîhi l-Bukhârî), Al-


Syâmilah v. 3.04.

Muslim. Shahîh Muslim. Al-Maktabah Al-Syâmilah v. 3.04.

Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidî, Al-Maktabah Al-Syâmilah. v. 3.04.


Daftar Pustaka 359

INTERNET:

http://hidupnyahidup-yes.blogspot.co.id/2013/04/sembilan-mukjizat-nabi-
musa-as.html

http://ical88.multiply.

http://id.wikipedia.org/wiki/Mukjizat#cite_note.0

http://id.wikipedia.org/wiki/Santet

http://ilmufromalquran.blogspot.co.id/2015/08/9-mukjizat-nabi-musa-as-
yang-diberikan.html

http://mukjizatdiislam.blogspot.com/2008/05/pengertian-mukjizat.html

https://en.wikipedia.org/wiki/Plant_nutrition

https://en.wikipedia.org/wiki/Soil

https://en.wikipedia.org/wiki/Soil_chemistry

https://muhammaddohan.wordpress.com

https://muhammaddohan.wordpress.com.

https://muslim.or.id/1729-takwa-semudah-itukah.html

https://www.academia.edu/30862529/Sejarah-komunikasi

https://www.kompasiana.com/mega33298/5bb1c2b9ab12ae3a8f52e256/
sejarah-komunikasi-dari-zaman-dahulu-hingga-sekarang

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, 1992.

www.dakwahsunnah.com

www.muslim.or.id

www.risalahislam.com
360 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
Indeks 361

Indeks Nama
xx , 35 6 ,33 7 , 29 3 ,22 0 ,14 5 , 10 9 ,97 - 98 , 14 A bdu l ah

Ahmad, xiii, xiv, 41-42, 147, 233, 235, 239,


A
270, 291, 303, 305, 307, 309, 335,
Abdullah Ibnu Abbas, 14 348-349, vi
Abdullah Ibnu Masud ra, 109 Aisyah ra, 316
Abdullah Ibnu Salam, 145 Al-Aswad, 227, 317
Abdullah Ibnu Ubaid Ibnu Amir, 220 Al-Baihaqi, 152, 270, 291, 335
Abdullah Ibnu Umar, 98 Al-Bazzar, 130
Abu Bakar, 109, 112, 309 Al-Biqa’i, 300
Abu Daud, 42-43, 199, 225, 233, 318 Al-Bukhari, 38, 58, 147, 194, 203, 225,
230, 265, 307, 315, 318, 335, x
Abu Hayyan, 19, 25
Al-Dhahak, 96, 201, 237
Abu Hudzaifah, 316
Alexander du Toit, 312
Abu Hurairah, 14, 42, 61, 152, 208, 230,
245, 292 Alfred Wagener, 312
Abu Jahal, 149, 152-153, 227, 233, 237 Al-Ghazali , 305, 334
Abu Manaf, 335 Al-Hakim, 235, 291
Abu Manshur Al-Maturidi, 115 Al-Harits, 237
Abu Musa Al-Asy’ari, 115, 147 Al-Hasan, 67, 86, 149
Abu Said Al-Khudri, 130 Al-Hasan Al-Bashri, 86
Abu Sa’id Al-Khudri, 226 Ali, 144, 172, 199, 306, 309
Abu Thalib, 152, 154-155, 199, 270, 335 Ali Al-Mashhur, 309
Abu Umamah, 147, 245 Ali Urwah Ibnu Mas’ud Al-Tsaqafi, 172
Abu Usamah, 314 Al-Jauzi, 305
Adam, 49, 245 Al-Maraghi, 67, 74, 76, 78-79, 85, 88, 96,
99-101, 127, 163-164, 191-192, 213-
Afif Abdullah, 337 214, 223, 226, 237, 290, 293, 341-
Agus Halimi, vi, xv, v 342, xiv

Ahmad Ibnu Hambal, 307 Al-Miqdad Ibnu Al-Aswad, 317

Ahmad S, 348-349 Al-Munawwir, 183

Ahmad Warson Munawwir, 305 Al-Najasyi , 145


362 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Al-Naqqasy, 97 C
Al-Qasimi, 262, 278, 291, xiv Campbell, 330
Al-Qurthubi, 43, 49, 179, 317, 335 Cecep Alba, xviii
Al-Razi, 92, 155, 191, 195, 202, 221, 232, Cicero, 329
291
Cudmani, 348-349
Al-Suddi, 7, 76
D
Al-Thabrani, 270, 291-292
Daud, 42-43, 199, 225, 233, 265, 302, 318
Al-Tirmidzi, 42, 152, 233, 239, 270, 292,
305, 308, 318, 335 Din Syamsudin, xix
Al-Walid Ibnu Al-Mughirah, 172, 227
E
Al-Walid Ibnu Al-Walid, 224
Edi Setiadi, xii, xvi, xxiv, v
Al-Walid Ibnu Utbah, 227
Eduard Suess, 312
Al-Zamakhsyari, 15, 30, 54
EZ. Muttaqien, xiii
Al-Zuhaili xxi, 68-69, 76, 79, 84-85, 89,
96-97, 100-101, 115, 127, 179, 191- F
193, 195, 198, 202-203, 215-216,
221, 248, 253-254, 278, 300, 335, Firaun, xxvi, xxviii, 68-96, 101-102, 104,
338, xi 108, 113, 117-119, 121-132, 140,
199, 202, 215, 276-277, 279, 281-282,
Al-Zujaj, 239 301, 319, 323-324, 327-328, 330-332
Amir Ibnu Al-Hadhrami, 221 Foss, 329
Ammar Ibnu Yasir, 220, 224
H
Amr Ibnu Tsa’labah Al-Bahrani, 317
Hafsah, 112
Anas, 239, 244, 291-292, 308, 318
Hakim Ibnu Hazam Ibnu Khuwailid, 314
Anas Ibnu Malik, 244, 292, 308, 318
Haman, 72, 77, 79-82, 86, 125, 127, 276-
Anas Ibnu Malik ra, 308, 318 277, 279, 281-282
Anwar A, 348-349 Hamnah, 233
Aristoteles, 329 Hamzah, 153, 338
Asiyah, 84, 88, 90, 92 Hamzah Ya’qub, 338
Atha, 67 Hanzhalah Ibnu Abu Sufyan, 227
Ayyasy, 233, 237 Haritsah, 314, 316-317
Harun Shihab, 327
B
Harun, xxvi, xxviii, 84, 118-122, 124, 126,
Barton, 319
132, 138, 140, 143, 217, 327
Bukhari, 38, 58, 147, 194, 203, 225, 230,
Hasyim, 155, 265, 335, xviii
265, 307, 315, 318, 335, x
Hasyim Muzadi, xviii
Indeks 363

Hendi Suhendi, 338 Isa as, 34


Hud, 130, 217, 247, 277-279, 281 Isa Ibnu Maryam, 42, 265, 309
Hud as, 279 Isa Ibnu Maryam as, 42, 309
Hudzaifah Ibnu Usaid Al-Ghifari, 42-43, Ishak, 260, 264-265
309
Ismail, 136, 264-265, 314, 356
Husain, 348-349
Israfil, 48-49, 55
I
J
Ibnu Abbas, 14, 53, 57, 89, 107, 111, 127,
Jabir, 198, 286
152, 172, 183-184, 194, 203, 225,
227, 233-234, 248, 270, 291, 293, Jamieson, 330
307, 318
Jibril, 48, 111, 202, 309
Ibnu Asakir, 152
Joshua Gunn, 330
Ibnu Asyur, 300
Ibnu Athiyah, 224 K

Ibnu Jarir, 111, 130, 144-145, 152-153, Karen A. Foss, 329


198-199, 220, 270, 293 Karen A. Foss, 329
Ibnu Jarir Al-Thabari, 199, 293 Khabab Ibnu Al-Arat, 225
Ibnu Katsir, 42, 166, 168, 187, 191, 193- Khadijah, 314
195, 198-199, 203, 223, 227, 229,
248, 285, 291, 293, 315 Khan MZ, 348-349

Ibnu Majah, 226, 239, 244, 307 L


Ibnu Mardawaih, 127, 335 Labid, 208
Ibnu Mas’ud, 172, 196 Louis Ma’luf, 303
Ibnu Mundzir, 220 Lukman, 32, 61
Ibnu Sa’ad, 220
Luth as, xxvi, 4, 7, 264, 268-270, 272, 350
Ibnu Umar, 98, 152, 186, 310 Luth, xxvii, xxvi, xxix, 3-9, 69, 130, 217,
Ibrahim as, xxvi,, 104, 252-253, 260-262, 247, 260, 263-264, 266-275, 277, 288,
264-266, 303, 307 348, 350

Ibrahim, xxvi, xxix, 6-7, 43, 104, 217, 231, M


247, 251-254, 259-268, 271-272, 275,
277, 288, 303, 307 Mahmud Al-Mishri Abu Ammar, 305

Imam Suprayogo, xxi M. Amin Abdullah, xx

Imran, 235, 291 Manna’ Al-Qaththan, 327


Iping Zaenal Abidin, xiii Ma’ruf Amin, xix

Iryanti M, 349 M. Djawad Dahlan, xiv

Isa, 34, 42, 92-93, 136, 265, 309 Miftah Faridl, xx, v
364 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Mihja, 221 Nuh, xxix, 130, 215, 217, 247-250, 252,


271, 277, 281, 288
Mikail, 48
M. Rasyidi, xiii P

M. Sya’rawi, 319 Permana A, 349

Mu’adz Ibnu Jabal, 17 Plato, 329

Muhammad Ibnu Ishaq, 149


Q
Muhammad, ix, x, xiv, xxi, xxiii, 10-11, 22-
Qarun, xxvi, xxviii, 67-68, 71, 80, 182-187,
24, 26, 28-30, 33-36, 41, 51, 56-57,
189-197, 199-200, 202, 215, 276-277,
60, 70-71, 74, 80, 132-141, 143-147,
279, 281-282, 350
149-155, 158, 167, 169, 171, 175-177,
180, 188, 201-205, 208-209, 217-218, Qatadah, 44, 53, 145, 194, 220, 317
224, 239-240, 248-249, 252, 256,
265, 269, 286, 288, 290, 303, 307, Qibthi, 68, 70, 95-96, 99, 319-320
310, 315-318, 333-334, 355-356, 358, Quraisy Shihab, 300
xxv, xxvi, xxvii, xxviii, vi
Muhammad Saw, x, xxiii, 11, 23, 33-35, R
41, 70-71, 74, 80, 132-133, 136-139, Rachmat Syafe’i, 338
145-146, 149, 154, 158, 169, 180,
202, 208-209, 217-218, 224, 239, Ramses, 323
265, 307, 310, 334, xxv, xxvii, xxviii, ix
Ramses II , 323
Muhammad Sayyid Ahmad, 303
Rasul Saw, 173, 300, 321, 335-336, 339
Mujahid, 14, 153, 237, 242
Rasulullah , 12, 14, 17, 29, 31-32, 37-38,
Munawar, 349 42-43, 56-57, 60-61, 71, 98, 111, 127,
134, 139, 147, 149, 152, 154, 159,
Muqatil, 67, 221 194, 199, 201-202, 208, 217, 225-
Musa as xxvi, 67-71, 74, 79, 81, 86, 88, 226, 239, 247-248, 270, 286, 292,
95-99, 101-102, 104-105, 107-108, 304-305, 307-309, 314-319, 322, 326,
110-111, 114-124, 126-128, 130-131, 334, 348, 353, x
183, 194, 280, 319, 323, 328, 350 Rasulullah Saw, 12, 14, 17, 29, 31-32,
Musa, xxviii, xxvi, xxix, 67-74, 79-128, 37-38, 42-43, 56, 60-61, 71, 98, 111,
130-136, 138-140, 143, 147, 178, 182- 127, 134, 139, 147, 149, 152, 154,
184, 194, 199, 202, 215, 217, 265, 159, 194, 199, 201-202, 208, 217,
276-277, 279-280, 301, 306, 319-320, 225, 239, 247-248, 270, 286, 292,
323-326, 328, 331-332, 350, 356 304-305, 307-309, 314-319, 322, x

Muslim, 14, 17, 23, 32, 38-39, 41-43, 56, Rasul, xxviii, 132, 136, 147, 173, 199, 225,
58-59, 63, 97, 144, 146-147, 152-153, 230, 252, 270, 294, 300, 321, 335-
199, 205, 233, 237, 245, 265, 294, 336, 339
300-301, 307, 309-310, 316, 318, 335, Rifa’ah, 144
338, 343, 355, 358
Ritsa, 7
M. Wildan Yahya, vi, xxiv, v
Robert T. Craig, 329
N
Nasaruddin Umar xvii
Indeks 365

S Umar, xvii
Sa’ad, 214, 220, 233 Ummu Sa’ad, 233
Sa’id Ibnu Jabir, 198 Uqbah Ibnu Abu Mu’aid, 227
Saidi Syekh Sulaiman Zuhdi Al-Khalidi, 350 Utbah, 227
Salamah Ibnu Hisyam, 224
W
Salman Al-Farisi, 145
Wahbah Al-Zuhaili xxi, 179, 191-193,
Samiri, 183 195, 198, 203, 300, 338, xi
Sarah, 264, 266, 272, 275
Y
Sayyid, 214, 221, 303, 341, xiv
Yahya, vi, xiv, xv, xxiv, 93, 231, v
Sayyid Quthub, 214, 221
Ya’qub, 104, 264-265, 272, 275, 338
Sayyid Sabiq, 341
Yashhur Ibnu Qahatsa, 183
Seyyed Hossein Nasr, 342
Yusuf, 109, 258, 265, 355, 358, vi
Shafura, 324-325
Z
Shaleh, 278
Zagharta, 7
Shihab, 300, 308, 327, 330, 357
Zaid, 314-317
Siti Asiyah, 2
Zaid Ibnu Haritsah, 314, 316-317
Siti Sarah, 264
Zifora, 324-325
Sufyan Al-Tsauri, 198
Sulaiman Al-Qanuni, 333
Syekh Madyan, 104, 108, 110
Syu’aib as 68, 70, 105, 108, 110-111, 114
Syu’aib, xxviii, xxix, 68, 70, 103, 105, 108-
112, 114, 135, 217, 247, 276-278, 324

T
Thahir Al-Jazairi, 327-328
Thawus, 67
Tini , 349
Tirmidzi, 42, 152, 233, 239, 270, 292, 305,
308, 318, 335, 358
Tohari A, 349
U
Umar Ibnu Abdul Aziz, 61
Umar ra, 307, 309
366 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX
Indeks 367

Indeks Subjek
A H
Afrika, 312, 334 Hadramaut, 226, 279
Albanisa, 334 Harran, 264
Al-Hijr, 279 Helenica, 312
Al-Jazair, 334 Hijaz, 28, 279, 323
Amerika, 312, 329, 344, 348 Hongaria, 334
Amerika Selatan, 312
I
Antartika, 312
India, 313
Arab, 42, 73, 112, 136, 152, 158, 279,
Indonesia, xx, xxi, 308, 310, 313, 325,
303, 305, 309-310, 312, 314, 327,
349, 357, 359, xix
334, 337, iv
Inggris, 322, 348
Armenia, 334
Irak 98, 264, 266, 334
Asia, 334
Iran, 312
B
J
Babilonia, 266
Jepang, 313
Badar, 30, 32, 38, 221
Jordan, 348
Bandung, v, xii, xvi, xvii, xviii, xxiii, xxiv,
349, 355-357, xxvi, iv Juhfah, 67, 201-202
Bulgaria, 334
K
D Karibia, 312
Donggala, 349 Kokos, 312

E L
Eropa, 334 Libia, 334
Eurasia, 312-313
M
F Madaniyyah, 67, 213-214
Fathu Makkah, 58, 147, 204, 208
368 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Madyan 68, 70, 95, 101-108, 110-112, Y


132, 134-135, 276-278, 281-282, 323-
326 Yaman, 17, 28, 279, 301, 334
Yogyakarta, xxi, xx
Makkiyyah, xxv, 67, 213-214
Malang, xxi Yordania, 275, 323

Mekah, xxvi, xxviii, 29, 56-58, 63, 71, 138- Yugoslavia, 334
140, 149, 156, 158, 160-161, 172, Yunani, 308, 329, 334
201-204, 208, 214, 218, 220, 224,
238, 274, 279, 310
Memphis, 94, 96
Mesir, xxviii, 68, 70, 72, 75-81, 83, 89, 94-
97, 99-100, 102, 104-105, 107-109,
111-112, 114, 117, 119, 126, 215,
279, 319, 323, 330, 332

N
Nazka, 312
Neraka Jahanam, 160
New Mexico, 348

P
Palestina, 105, 111, 264, 266, 323
Palu, 349

R
Romawi, 329

S
San’a, 226
Sodom, 6-7, 264, 268-275, 348
Sulawesi, 313, 349
Sumatera, 313
Suriah, 323
Syam, 28, 77-78, 80-81, 279

T
Taif, 172
Tunis, 334
Turki, 312, 333-334
Indeks 369

Indeks Surah
A Al-Mâ`idah, 134, 168, 203, 205, 306, 327,
338
Al-Ahzâb, 121, 222, 306, 315-317, 352
Al-Mujâdilah, 306
Al-A’lâ, 159
Al-Mu'minûn, 13, 19, 332
Al-An’âm, 304
Al-Mursalât, 188
Al-Anbiyâ`, 53, 262, 265, 336
Al-Muzzammil, 207
Al-Anfâl, 306, 310
Al-Nahl, 14, 18, 157, 159, 188, 220, 244,
Al-Ankabût, xxvi, xxv, xxix, 5-7, 14, 17, 307
211, 213-217, 219-222, 224, 227-229,
232-235, 237-238, 240, 242-244, 247- Al-Najm, 347
258, 260-264, 267-274, 276-280, 282-
Al-Naml, xxvi, xxv, xxvii, 1, 3-6, 8-16, 18-
285, 288-290, 292, 339, 348, 350
20, 22-31, 33-38, 40-41, 44-45, 47-
Al-A’râf, 24, 78, 158, 203, 221, 263, 270, 50, 52-54, 56-62, 67-69, 200, 297,
278, 303, 306 299, 302, 304, 306, 309, 311, 350
Al-Baqarah, 37, 91, 145, 155, 166, 179, Al-Nisâ`, 91, 136, 180, 230, 239, 306,
188, 221, 223, 302-303, 335-337, 340, 321, 326, 338
342, xi
Al-Nûr, 188, 301-302, 310, 321, 347
Al-Burûj, 19
Al-Qashash, xxviii, xxvi, xxv, xxix, 65,
Al-Dukhân, 330 67-69, 71-73, 75-79, 82-92, 94-101,
103-111, 113-123, 125-130, 132-136,
Al-Dzâriyât, 62, 289, 347 138-142, 144-148, 151-153, 156-157,
Al-Fath, 147, 317 159-160, 162-163, 165-168, 170-173,
175-180, 182, 184-187, 190-195, 197-
Al-Fâtihah , 172, 303, 335, xv 199, 201-208, 214-216, 223, 319, 327,
Al-Furqân, 16, 148-149, 178, 284, 306, 330-332, 336, 350
350 Al-Qiyâmah, 308
Al-Hadîd, 147, 185 Al-Ra’d, 31, 60, 123, 173
Al-Hajj, 32, 222, 238 Al-Rahmân, 188, 207
Al-Hijr, 188, 268, 279, 350, 367 Al-Rûm, 19, 50, 213, 222, 256, 343
Al-Isrâ, 50, 146, 158, 229, 234, 306, 340, Al-Sajdah, 165, 193, 222
343
Al-Shâffât, 11
Al-Kâfirûn , 172
Al-Syu’arâ , 5, 68-69, 78, 278, 306, 332,
Al-Kahfi, 25, 51, 166 350
370 Tafsir Al-Quran Unisba Juz XX

Al-Syûrâ, 153, 158, 310 S


Al-Tahrîm, 222 Saba`, 53, 124
Al-Taubah, 306, 321 Shâd, 221, 302
Al-Thalâq, 307
T
Al-Thûr, 50, 256
Thâhâ, 31, 51, 84, 87, 98, 120-121, 293,
Al-Zukhruf, 14, 127, 172, 263, 331 331

Al-Zumar, 48, 180, 187, 203


Y

D Yâsîn, 49, 221

Dzâriyât, 62, 289, 347 Yûnus, 17, 38, 57, 302, 330, 332, 351
Yûsuf, 74, 155, 258, 336
F
Fâthir, 243
Fushshilat , 53, 61, 75, 222, 229, 256, 280,
340

G
Ghâfir, 16, 127-128, 331

H
Hûd, 60, 129-130, 268, 278, 281, 301, 306

I
Ibrâhîm, 51, 303, xx

L
Luqmân, 23, 32, 61

M
Maryam, 42, 50, 121, 165, 222, 264-265,
309, 363

N
Nûh, 248, 271

Q
Quraisy, 106
Indeks 371

Anda mungkin juga menyukai