Anda di halaman 1dari 15

EKLAMPSIA

A. Definisi
Eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang serius, dan dapat
dikarakteristikkan dengan adanya kejang. Biasanya eklampsia merupakan lanjutan
dari pre- eklampsia walaupun kadang – kadang tidak diketahui terlebih dahulu.
Definisi lain dari eklampsia adalah onset baru hipertensi gestasi yang diikuti dengan
kejang grand mal (Zeeman, Fleckenstein, twickler,& Cunningham,2004), dan kejang
pada pre-eklampsia yang tidak bisa dikaitkan dengan penyebab lain (Abbrescia &
Sheridan,2003). Kejang pada eklampsia tidak berhubungan dengan kondisi otak dan
biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan. Eklampsi adalah kelainan akut pada
wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau
koma, kejang timbul bukan akibat kelainan neurologic (PBPOGI, 1991)
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar. Kata-kata
tersebut dipergunakan karena seolah-olah gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba
tanpa didahului tanda-tanda lain. Eklampsi umumnya timbul pada pada wanita hamil
atau dalam nifas dengan tanda–tanda pre-eklampsi, timbul serangan kejang yang
diikuti oleh koma.
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia
partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum), berdasarkan saat
timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin
meningkat saat mendekati kelahiran. Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada
usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum
melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat
timbul setelah 6 minggu postpartum.
Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working
Group on Blood Pressure in Pregnancy preeklampsia adalah timbulnya hipertensi
disertai dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera
setelah persalinan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal yang biasa
dan tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg.
Proteinuria adalah adanya protein dalam urin dalam jumlah ≥300 mg/dl dalam urin
tampung 24 jam atau ≥ 30 mg/dl dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tanda-
tanda infeksi saluran kencing.
B. Etiologi
Eklampsia dapat terjadi apabila pre-eklampsia tidak ditangani, sehingga
penyebab dari eklampsia sama dengan penyabab pre-eklampsia. Ada beberapa factor
resiko predisposisi tertentu yang dikenal, antara lain:
1. Status primigravida
2. Riwayat keluarga pre-eklampsia atau eklampsia
3. Pernah eklampsia atau pre-eklampsia
4. Suami baru
5. Usia ibu yang ekstrem (< 20 tahun, > 35 tahun)
6. Sejak awal menderita hipertensi vascular, penyakit ginjal atau autoimun
7. Diabetes Mellitus
8. Kehamilan ganda

C. Manifestasi Kinis
Gejala dan tanda yang terdapat pada pasien eklampsia berhubungan dengan
organ yang dipengaruhinya, antara lain yaitu:
 Oliguria (kurang dari 400ml/24 jam atau urin tetap kurang dari 30 ml/jam
 Nyeri Epigastrium

 Penglihatan kabur

 Dyspnea

 Sakit kepala

 Nausea dan Vomitting

 Scotoma

 Kejang

Kebanyakan kasus dihubung- hubungkan dengan hipertensi dikarenakan


kehamilan dan proteinuria tapi satu – satunya tanda nyata dari eklampsia adalah
terjadinya kejang eklamtik, yang dibagi menjadi empat fase.
1. Stadium Premonitory

Fase ini biasanya tidak diketahui kecuali dengan monitoring secara konstan,
mata berputar – putar ketika otot wajah dan tangan tegang.. Stadium ini
berlangsung kira-kira 30 detik.

2. Stadium Tonik

Segera setelah fase premonitory tangan yang tegang berubah menjadi


mengepal. Terkadang ibu menggigit lidah seiring dengan ibu mengatupkan gigi,
sementara tangan dan kaki menjadi kaku. Otot respirasi menjadi spasme, yang
dapat menyebabkan ibu berhenti bernafas. Stadium ini berlangsung selama sekitar
30 menit.

3. Stadium Klonik

Pada fase ini spasme berhenti tetapi otot mulai tersentak dengan hebat. Berbusa,
saliva yang bercampur sedikit darah pada bibir dan kadang – kadang bisa menarik
nafas. Setelah sekitar dua menit kejang berhenti, menuju keadaan koma, tapi
beberapa kasus menuju gagal jantung.

4. Stadium coma

Ibu tidak sadar, suara nafas berisik. Keadaan ini bisa berlangsung hanya beberapa
menit atau bahkan dapat menetap sampai beberapa jam. Lamanya ketidaksadaran
(koma) ini berlangsung selama beberapa menit sampai berjam-jam. Kadang-
kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya ibu tetap dalam
keadaan koma. Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat dan suhu
naik sampai 40oC.

D. Patofisiologi
Pada kehamilan normal, volume vascular dan cardiac output meningkat.
Meskipun meningkat, tekanan darah tidak normal pada kehamilan normal. Hal ini
mungkin disebabkan oleh karena wanita hamil menjadi resisten terhadap efek
vasokonstriktor, seperti angitensin II. Tahanan vascular perifer meningkat karena efek
beberapa vasodilator seperti prostacyclin (PGI2), prostaglandin E (PGE), dan
endothelium derived relaxing factor(EDRF). Rasio tromboxan dan PGI 2 meningkat.
Tromboxane diproduksi oleh ginjal dan jaringan trophoblastic, menyebabkan
vasokonstriksi dan agregasi platelet.
Vasospasme menurunkan diameter pembuluh darah, yang akan merusak sel
endothelial dan menurunkan EDRF. Vasokonstriksi juga akan mengganggu darah dan
meningkatkan tekanan darah. Hasilnya, sirkulasi ke seluruh organ tubuh termasuk
ginjal, hati, otak, dan placenta menurun.
Perubahan – perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut:
 Penurunan perfusi ginjal menyebabkan penurunan glomerular filtration rate (GFR);
sehingga urea nitrogen darah, kreatinin, dan asam urat mulai meningkat.
 Penurunan aliran darah ke ginjal juga menyebabkan kerusakan ginjal. Hal ini
menyebabkan protein dapat melewati membrane glomerular yang pada normalnya
adalah impermeable terhadap molekul protein yang besar. Kehilangan protein
menyebabkan tekanan koloid osmotic menurun dan cairan dapat berpindah ke ruang
intersisial. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya edema dan penurunan volume
intravascular, yang meningkatkan viskositas darah dan meningktanya hematokrit.
Respon untuk mengurangi volume intravascular, angiotensin II dan aldosteron akan
dikeluarkan untuk memicu retensi air dan sodium. Terjadilah lingkaran proses
patologik: penambahan angiotensin II semakin mengakibatkan vasospasme dan
hipertensi; aldosteron meningkatkan retensi carian dan edema akan semakin parah.
 Penurunan sirkulasi ke hati mengakibatkan kerusakan fungsi hati dan edema hepatic
dan perdarahan sibcapsular, yang dapat mengakibatkan hemorrhagic necrosis. Di
manifestasikan dengan peningkatan enzim hati dalam serum ibu.
 Vasokonstriksi pembuluh darah menyebabkan tekanan yang akan menghancurkan
dinding tipis kapiler, dan perdarahan kecil cerebral. Gejala vasospasme arteri adalah
sakit kepala, gangguan penglihatan, seperti penglihatan kabur, spot, dan hiperaktif
reflek tendon dalam.
 Penurunan tekanan koloid onkotik dapat menyebabkan bocornya kapiler pulmonal
mengakibatkan edema pulmonal. Gejala primer adalah dyspnea
 Penurunan sirkulasi plasenta mengakibatkan infark yang meningktakan factor resiko
abruptio placentae dan DIC. Ketika aliran darah maternal melalui placenta berkurang,
mengakibatkan pembatasan perkembangan intrauterine janin dan janin mengalami
hipoksemia dan asidosis.
E. Pemeriksaan dan Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis di atas seluruh kejang eklampsia didahului dengan
preeklampsia. Preeklampsia dibagi menjadi ringan dan berat. Preeklampsia
digolongkan berat bila ada satu atau lebih tanda dibawah ini :
1. Tekanan darah diastolik ≥110 mmHg
2. Proteinuria ≥2+
3. Oliguria, <400 ml per 24 jam
4. Edema paru : nafas pendek, sianosis, dan adanya ronkhi
5. Nyeri daerah epigastrium atau kuadran atas kanan perut
6. Gangguan penglihatan: skotoma atau penglihatan yang berkabut
7. Nyeri kepala hebat yang tidak berkurang dengan pemberian analgetik biasa
8. Hiperrefleksia
9. Mata : spasme arteriolar, edema, ablasio retina
10. Koagulasi : koagulasi intravaskuler disseminata, sindrom HELLP
11. Pertumbuhan janin terhambat
12. Otak : edema serebri
13. Jantung : gagal jantung

Eklampsia ditandai oleh gejala preeklampsia berat dan kejang


1. Kejang dapat terjadi dengan tidak tergantung pada beratnya hipertensi
2. Kejang bersifat tonik-klonik, menyerupai kejang pada epilepsy grand mal
3. Koma terjadi setelah kejang dan dapat berlangsung lama (beberapa jam)
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Albuminuria +2 atau +4
Proteinuria (5 g dalam urine 24 jam atau +3 atau lebih pada dipstick)
Nitrogen urea darah (BUN) kurang dari 10
Kreatinin serum meningkat
Klirens kreatinin 130-180
Trombositopenia (Trombosit < 100.000/mm3)
AST meningkat
Hipofibrinogenemia
Oligohydramnion: amniotic fluid index  50 mm
Asam urat: 7 mg/100ml
pH darah janin: < 7,20
b. Pemeriksaan Diagnostik
MRI : terlihat adanya ptekie/edema

F. Komplikasi
1. Komplikasi Maternal
a. Paru
Edema paru adalah tanda prognostik yang buruk yang menyertai eklampsia.
Faktor penyebab atau sumber terjadinya edema adalah :
1) Pneumonitis aspirasi setelah inhalasi isi lambung jika terjadi muntah
pada saat kejang;
2) kegagalan fungsi jantung yang mungkin sebagai akibat hipertensi
akibat berat dan pemberian cairan intravena yang berlebihan.
b. Otak
Pada preeklampsia, kematian yang tiba-tiba terjadi bersamaan dengan kejang
atau segera setelahnya sebagai akibat perdarahan otak yang hebat. Hemipelgia
terjadi pada perdarahan otak yang sublethal. Perdarahan otak cenderung terjadi
pada wanita usia tua dengan hipertensi kronik. Yang jarang adalah sebagai
akibat pecahnya aneurisma arteri atau kelainan vasa otak (acute vascular
accident, stroke). Koma atau penurunan kesadaran yang terjadi setelah kejang,
atau menyertai preeklampsia yang tanpa kejang adalah sebagai akibat edema
otak yang luas. Herniasi batang otak juga dapat menyebabkan kematian. Bila
tidak ada perdarahan otak yang menyebabkan koma dan dengan pemberian
terapi suportif yang tepat sampai penderita kembali sadar umumnya prognosis
pada penderita adalah baik.
c. Mata
Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung
sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina;
hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
d. Psikosis
Eklampsia dapat diikuti keadaan psikosis dan mengamuk, tapi keadaan ini
jarang terjadi. Biasanya berlangsung selama beberapa hari sampai dua
minggu, tetapi prognosis untuk kembali normal umumnya baik, selama tidak
ada kelainan mental sebelumnya.
e. Sistem hematologi
Plasma daeah menurun, viskositas darah meningkat, hemokonsentrasi,
gangguan pembekuan darah, disseminated intravascular coagulation (DIC),
sindroma HELLP (Haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
f. Ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma
sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
g. Hepar
Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia
merupakan akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk
eklampsia, tetapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-
sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan
enzim-enzimnya.
h. Uterus
Solusio plasenta yang dapat menyebabkan perdarahan pascapartum. Abrutio
plasenta yang dapat menyebabkan DIC.
i. Kardiovaskuler
Cardiac arrest, acute decompensatio cordis, spasme vaskular menurun,
tahanan pembuluh darah tepi meningkat, indeks kerja ventrikel kiri naik,
tekanan vena sentral menurun, tekanan paru menurun.
j. Perubahan Metabolisme umum
Asidosis metabolik, gangguan pernapasan maternal.
k. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat
kejang-kejang pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular
coogulation).

2. Kematian Maternal
Kematian maternal adalah kematian setiap ibu dalam kehamilan,
persalinan, masa nifas sampai batas waktu 42 hari setelah persalinan, tidak
tergantung usia dan tempat kehamilan serta tindakan yang dilakukan untuk
mengakhiri kehamilan tersebut dan bukan disebabkan oleh kecelakaan.
Kematian maternal pada eklampsia disebabkan karena beberapa hal antara lain
karena perdarahan otak, kelinan perfusi otak, infeksi, perdarahan dan sindroma
HELLP.
3. Perinatal
Saat kejang terjadi peningkatan frekuensi kontraksi uterus sehingga tonus
otot uterus meningkat. Peningkatan tersebut menyebabkan vasospasme
arterioli pada miometrium makin terjepit. Aliran darah menuju retroplasenter
makin berkurang sehingga dampaknya pada denyut jantung janin (DJJ) seperti
terjadi takikardi, kompensasi takikardi dan selanjutnya diikuti bradikardi.
Rajasri dkk menyebutkan terjadinya komplikasi neonatal pada kasus
eklampsia seperti asfiksia neonatorum (26%), prematuritas (17%), aspirasi
mekoneum (31%), sepsis (4%), ikterus (22%).vGeorge dkk dalam
penelitiannya menyebutkan Sebanyak 64,1% bayivdilaporkan harus
mendapatkan perawatan di Special Care Baby Unit denganvindikasi
prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, asfiksia neonatorum berat (skor
Apgar 5 menit <7), ikterus neonatal, sepsis neonatal. Angka kematian
perinatal pada kasus eklampsia adalah 5411,1 per 1000 kelahiran hidup
diaman 51,4% kematian intrauterin dan 48,6% kematian neonatal. Penyebab
kematian perinatal terbanyak adalah asfiksia (33,3%), sindrom distress
respirasi (22,2%), dan prematuritas (22,2%).25
1) Dismaturitas
Dismaturitas adalah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya tidak
sesuai dengan berat badan seharusnya untuk masa gestasi. Berat lahir
kurang dibawah beratlahir yang seharusnya untuk masa gestasi tertentu
atau kecil untuk masa kehamilan (KMK) yaitu kalau berat lahirnya
dibawah presentil ke-10 menurut kurva pertumbuhan intrauterin Lubhenco
atau dibawah 2 SD menurut kurva pertumbuhan intrauterin Usher dan
Mc.Lean.
Pada preeklampsia atau eklampsia terdapat spasmus arteriola
spiralis desidua dengan akibat menurunnya aliran darah ke plasenta.
Perubahan plasenta normal sebagai akibatnya kehamilan, seperti
menipisnya sinsitium, menebalnya dinding pembuluh darah dalam villi
karena fibrosis dan konversi mesoderm menjadijaringan fobrotik,
dipercepat dprosesnya pada preeklampsia atau eklampsia dan hipertensi.
Menurunnya alrand arah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungdi
plasenta. Pada hipertensi yang agak lama pertumbuhan janin terganggu
sehingga menimbulkan dismaturitas, sedangkan pada hipertensi yang lebih
pendek terjadi gawat janin sampai kematiannya karena kekurangan
oksigenasi.
2) Prematuritas Partus
Prematuritas sering terjadi pada ibu dengan eklampsia karena
terjaadi kenakan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan yang
meningkat.
3) Sindroma Distress Respirasi
Yoon (1980) melaporkan insidens sindrom distres respirasi pada
bayi yang dilahirkan dari ibu preeklampsia-eklampsia sebanyak 26,1-
40,8%. Beberapa faktor yang berperan terjadinya gangguan ini adalah
hipovolemk, asfiksia, dan aspirasi mekonium.
4) Trombositopenia
Trombositopenia pada bayi baru lahir dapat merupakan penyakit
sistemik primer sistem hemopoetik atau transfer faktor-faktor yang
abnormal ibu. Kurang lebih 25-50% bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
trombositopenia juga mempunyai jumlah trombosit kurang dari
150.000/mm3 pada waktu lahir, tapi jumlah ini dapat segera menjaadi
normal.
5) Kematian Perinatal
Kematian perinatal terjadi karena asfiksia nonatorum berat, trauma
saat kejang intrapartum, dismaturitas yang berat. Beberapa kasus
ditemukan bayi meninggal intrauterin.

G. Penatalaksanaan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya
dikurangi. Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas  :
1. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua
wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil muda.
2. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya
segara apabila ditemukan.
3. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas
apabila setelah dirawat tanda-tanda preeklampsia tidak juga dapat dihilangkan.

Penanganan

1. Segera lakukan penilaian keadaan umum dan tanda vital, jika ibu tidak bernafas
atau bernafas dangkal periksa dan bebaskan jalan nafas, mulai ventilasi dengan
masker dan balon kalau perlu intubasi.
2. Jika ibu bernafas beri oksigen 4-6 liter permenit melalui masker atau kanul nasal
3. Jika kejang baringkan pada sisi kiri, tempat tidur arah kepala ditinggikan sedikit
untuk mencegah terjadinya aspirasi, bebaskan jalan nafas, hindari pasien jatuh
dan lakukan pengawasan ketat, lindungi pasien dari kemungkinan trauma (pasang
spatel lidah, fiksasi tetapi jangan ikat terlalu keras)
4. Jika ibu tidak sadar / koma : bebaskan jalan nafas, baringkan sisi kiri, ukur suhu
dan periksa adakah kaku tengkuk
5. Berikan antikonvulsan (MgSo4/ Magnesium sulfat).

Pada tahun 1995, Pritchard memulai suatu regimen terapi terstandarisasi di


Parkland Hospital, dan regimen ini digunakan hingga tahun 1999 untuk menangani
lebih dari 400 wanita dengan eklampsia. Hasil pengobatan 245 kasus eklampsia yang
dianalisis dengan cermat ini dilaporkan oleh Pritchard dkk (1984). Sebagian besar
regimen eklampsia yang digunakan di Amerika Serikat menerapkan filosofi yang
sama, prinsip-prinsipnya mencakup:

1. Pengendalian kejang dengan magnesium sulfat intravena dosis bolus. Terapi


magnesium sulfat ini dilanjutkan dengan infuse kontinu atau dosis bolus
intramuscular dan diikuti oleh suntikan intramuscular berkala.
2. Pemberian obat antihipertensi oral atau intravena intermiten untuk menurunkan
tekanan darah apabila tekanan diastolic dianggap terlalu tinggi dan berbahaya.
Sebagian dokter mengobati pada saat tekanan diastolic mencapai 100 mmHg,
sebagian lagi pada 110 mmHg.
3. Menghindari diuretic dan pembatasan pemberian cairan intravena, kecuali apabila
pengeluaran cairan berlebihan. Zat-zat hiperosmotik dihindari.
4. Pelahiran.
Tujuan pengobatan :
1. Untuk menghentikan dan mencegah kejang
2. Mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya hipertensi krisis
3. Sebagai penunjang untuk mencapai stabilisasi keadaan ibu seoptimal mungkin
4. Mengakhiri kehamilan dengan trauma ibu seminimal mungkin.
Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah
komplikasi eklampsia terhadap ibu dan janin. Cara terbaru pada penatalaksanaan
wanita dengan eklampsia meliputi beberapa aspek, yaitu mempertahankan fungsi vital
ibu, mencegah kejang dan mengontrol tekanan darah, mencegah kejang berulang dan
evaluasi untuk persalinan. Bila terjadi kejang, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu
berbaring miring ke kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam mulutnya.
1. Mengontrol Kejang
Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4
menit, obat anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obat-obat
terpilih untuk mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat
(MgSO4). Pada wanita yang telah mendapat pengobatan MgSO4 profilaksis,
kadar magnesium plasma harus dipertahankan dengan pemberian infus MgSO4 1-
2 gram secara cepat. Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan
profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6 gram MgSO4 secara cepat, diulang
setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan untuk diberikan pada ibu-ibu
dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja MgSO4 dalam mereduksi
kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme kerja MgSO4 adalah
memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak juga
memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal bebas,
mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau memiliki
efek antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-D–aspartat (yang
merupakan fokus epileptogenik).
Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan
kejang eklampsia. Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat dimana
efek anti konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek diazepam ini
akan mengontrol kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit. Akan tetapi saat ini
banyak peneliti menganjurkan untuk tidak menggunakan benzodiazepin karena
sangat berpotensi untuk menyebabkan depresi pada janin. Secara klinis, efek ini
menjadi bermakna ketika dosis total benzodiazepin pada ibu > 30 mg.
2. Penatalaksanaan hipertensi
Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian
pada eklampsia. Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara
langsung dengan derajat peningkatan tekanan darah sistolik dan sedikit
berhubungan dengan tekanan darah diastolik. Terapi emergensi pada keadaan
terjadinya peningkatan tekanan darah tersebut masih belum jelas. Sebagian besar
peneliti menganjurkan untuk menggunakan anti hipertensi yang poten untuk
mengatasi tekanan darah diastolik pada kadar 105-110 mmHg dan tekanan darah
sistolik > 160 mmHg, walaupun hal ini belum diuji secara prospektif.
Pada wanita yang telah mengalami hipertensi kronik, pembuluh darah
otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah sistolik yang lebih tinggi tanpa
terjadinya kerusakan pada pembuluh darahnya, sedangkan pada orang dewasa
dengan tekanan darah yang normal atau rendah mungkin akan menguntungkan
jika terapi dimulai pada kadar tekanan darah yang lebih rendah. Peningkatan
tekanan darah yang berat dan persisten (>160/110 mmHg) harus diatasi untuk
mencegah perdarahan serebrovaskular.
Penatalaksanaannya termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV, diikuti
dengan pemberian 5-10 mg bolus sesuai kebutuhan dalam waktu 20 menit) atau
labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap 10-20 menit dengan dosis ganda, namun
tidak lebih dari 80 mg pada dosis tunggal, dengan dosis kumulatif total 300 mg).
Pada keadaan yang tidak menunjukkan perbaikan dengan segera setelah
mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau mereka yang memiliki
kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut.
3. Pencegahan kejang berulang
Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang walaupun
telah ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa wanita
dengan eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk mencegah kejang
dan komplikasi dari berulangnya aktivitas kejang tersebut, seperti: asidosis,
pnemonitis aspirasi, edema pulmonal, neurologik dan kegagalan respirasi. Namun,
pemilihan jenis obat untuk keadaan ini masih kontroversial. Ahli obstetrik telah
lama menggunakan MgSO4 sebagai obat pilihan untuk mencegah berulangnya
eklampsia, sementara ahli neurologi memilih anti konvulsan tradisional yang
digunakan pada wanita yang tidak hamil seperti fenitoin atau diazepam.
Permasalahan ini telah disepakati oleh sejumlah penelitian klinis terakhir dengan
hasil seperti dibawah ini :
a. The Eclampsia Trial Collaborative Group melakukan penelitian prospektif
terhadap 905 wanita eklampsia yang secara random dipilih untuk mendapat
Magnesium atau Diazepam dan 775 wanita eklampsia yang dipilh secara random
menerima Magnesium atau Fenitoin. Pengukuran keluaran primer adalah kejang
rekuren dan kematian maternal. Wanita dengan terapi Magnesium mendapatkan
separuh angka kejang rekuren dibandingkan dengan diazepam (13% dan 28%).
Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kematian maternal atau perinatal atau
angka komplikasi diantara kedua kelompok. Wanita yang diberi magnesium
memiliki sepertiga angka kejang rekuren dibandingakan dengan fenitoin (6% dan
17%). Dalam rangkaian penelitian ini wanita yang menerima magnesium <8%
yang menerima perawatan intensif, <8% mendapat bantuan ventilator dan <5%
menjadi pneumonia, dibandingkan dengan wanita yang diberikan fenitoin. Tidak
ada perbedaan signifikan pada angka kematian maternal dan perinatal.
b. Chocrane melaporkan bahwa MgSO4 lebih hemat dan lebih baik daripada litik
koktail (terdiri dari prometazin hidroklorid, klorpromazin dan meperidin
hidroklorid) untuk mencegah pengulangan kejang pada wanita eklampsia.
Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah, cara
pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung) dan lebih sedikit
efek sedasi dari pada diazepam dan fenitoin. Magnesium juga tampak secara
selektif meningkatkan aliran darah serebral dan konsumsi oksigen pada wanita
dengan preeklampsia. Hal ini tidak pada fenitoin. Dosis pemeliharaan MgSO4
adalah 2-3 gram/jam diberikan sebagai infus IV yang kontinyu. Fase
pemeliharaan hanya jika reflek patella ada (kehilangan reflek tendon yang dalam
adalah manifestasi pertama gejala hipermagnesemia), respirasi >12X/menit, urine
output > 100 ml/ 4jam. Pemantauan kadar serum magnesium tidak diperlukan
jika status klinis wanita tersebut dimonitor secara ketat untuk membuktikan
toksisitas potensial magnesium. Juga tidak tampak suatu konsentrasi ambang
yang jelas untuk meyakinkan pencegahan kejang, meskipun telah
direkomendasikan sekitar 4,8-8,4 mg/dL.
4. Pengobatan Medisinal
Sama seperti pengobatan pre eklampsia berat kecuali bila timbul kejang-
kejang lagi maka dapat diberikan MgSO4 2 gram intravenous selama 2 menit
minimal 20 menit setelah pemberian terakhir. Dosis tambahan 2 gram hanya
diberikan 1 kali saja. Bila setelah diberi dosis tambahan masih tetap kejang maka
diberikan amobarbital /thiopental 3-5 mg/kgBB/IV perlahan-lahan.Perawatan
bersama : konsul bagian saraf, penyakit dalam / jantung, mata, anestesi
dananak.Perawatan pada serangan kejang : di kamar isolasi yang cukup terang /
ICU.

5. Pengobatan Obstetrik
Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri dengan tanpa
memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Bilamana diakhiri, bila sudah
terjadi stabilisasi (pemulihan) hemodinamik dan metabolisme ibu. Stabilisasi ibu
dicapai dalam 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah :
a. Setelah pemberian obat anti kejang terakhir
b. Setelah kejang terakhir
c. Setelah pemberian obat-obat antihipertensi terakhir
d. Penderita mulai sadar (responsif dan orientasi)

6. Terminasi Kehamilan
Setelah pengobatan terdahulu, dilakukan penilaian tentang status obstetrik
penderita : keadaan janin, keadaan serviks dan sebagainya. Setelah kejang dapat
diatasi, keadaan umum penderita diperbaiki, kemudian direncanakan untuk
mengakhiri kehamilan atau mempercepat jalannya persalinan dengan cara yang
aman. Langkah-langkah yang dapat diambil adalah :
a. Apabila pada pemeriksaan, syarat-syarat untuk mengakhiri persalinan
pervaginam dipenuhi maka dilakukan persalinan tindakan dengan trauma yang
minimal.
b. Apabila penderita sudah inpartu pada fase aktif langsung dilakukan amniotomi
selanjutnya diikuti sesuai dengan kurva dari Friedman, bila ada kemacetan
dilakukan seksio sesar.
c. Kala II harus dipersingkat dengan ekstrasi vacuum atau forceps. Bila janin
mati dilakukan embriotomi.
d. Bila serviks masih tertutup dan lancip (pada primi),serta kepala janin masih
tinggi atau ada kesan terdapat disproporsi sefalovelvik, atau ada indikasi
obstetric lainnya, sebaiknya dilakukan seksio sesarea(bila janin hidup).
Anastesi yang dipakai local atau umum dikonsultasikan dengan ahli anestesi.
e. Selain itu tindakan seksio sesar dikerjakan pada keadaan-keadaan:
1) Penderita belum inpartu
2) Fase laten dan gawat janin.
3) Pemilihan metode persalinan

Pilihan pervaginam diutamakan :


1. Dapat didahului dengan induksi persalinan
2. Bahaya persalinan ringan
3. Bila memenuhi syarat dapat dilakukan dengan memecahkan ketuban,
mempercepat pembukaan, dan tindakan curam untuk mempercepat kala
pengeluaran.
4. Persalinan plasenta dapat dipercepat dengan manual
5. Menghindari perdarahan dengan diberikan uterotonika

Pertimbangan seksio sesarea :


1. Gagal  induksi persalinan pervaginam
2. Gagal pengobatan konservatif

Anda mungkin juga menyukai