1 Landasan Teori
2.1.1 Signalling Theory (Teori Sinyal)
Teori sinyal (signaling theory) merupakan salah satu teori pilar dalam
memahami manajemen keuangan. Secara umum, sinyal diartikan sebagai isyarat
yang dilakukan oleh perusahaan (manajer) kepada pihak luar (investor). Sinyal
tersebut dapat berwujud berbagai bentuk, baik yang secara langsung dapat diamati
maupun yang harus dilakukan penelaahan lebih mendalam untuk dapat
mengetahuinya. Apapun bentuk atau jenis dari sinyal yang dikeluarkan, semuanya
dimaksudkan untuk menyiratkan sesuatu dengan harapan pasar atau pihak
eksternal akan melakukan perubahan penilaian atas perusahaan. Artinya, sinyal
yang dipilih harus mengandung kekuatan informasi (information content) untuk
dapat merubah penilaian pihak eksternal perusahaan (tatang a gumanti 2009).
Teori Sinyal berakar pada teori akuntansi pragmatik yang memusatkan
perhatiannya kepada pengaruh informasi terhadap perubahan perilaku pemakai
informasi. Salah satu informasi yang dapat dijadikan sinyal adalah pengungkapan
yang dilakukan oleh suatu emiten. Pengungkapan informasi ini nantinya dapat
mempengaruhi naik turunnya harga sekuritas perusahaan emiten tersebut.
Pengungkapan informasi akuntansi dapat memberikan sinyal bahwa perusahaan
mempunyai prospek yang baik (good news) atau sebaliknya sinyal buruk (bad
news) di masa mendatang (sri rokhlinasari 2009).
Secara umum, teori sinyal berkaitan dengan pemahaman tentang
bagaimana suatu sinyal sangat bernilai atau bermanfaat sementara sinyal yang lain
tidak berguna. Teori sinyal mencermati bagaimana sinyal berkaitan dengan
kualitas yang dicerminkan di dalamnya dan elemen-elemen apa saja dari sinyal
atau komunitassekitarnya yang membuat sinyal tersebut tetap meyakinkan dan
menarik. Selain itu, teori ini juga mencermati apa yang akan terjadi manakala
sinyal yang diisyaratkan tidak sepenuhnya meyakinkan atau seberapa besar yang
ketidakyakinan yang dapat ditoleransi sebelum sinyal tersebut menjadi tidak
bermakna sama sekali (tatang a gumanti 2009).
Dalam literatur ekonomi dan keuangan, teori sinyal dimaksudkan untuk
secara eksplisit mengungkapkan bukti bahwa pihak-pihak di dalam lingkungan
perusahaan (corporate insiders, yang terdiri atas officers dan directors) umumnya
memiliki informasi yang lebih bagus tentang kondisi perusahaan dan prospek
masa depan dibandingkan dengan pihak luar, misalnya investor, kreditor, atau
pemerintah, bahkan pemegang saham. Dengan kata lain, pihak perusahaan
mempunyai kelebihan penguasaan informasi daripada pihak luar yang memiliki
kepentingan dengan perusahaan. Kondisi dimana satu pihak memiliki kelebihan
informasi sementara pihak lain tidak dalam teori keuangan disebut dengan
ketimpangan informasi (information asymmetry).
Menurut (Septia, 2015) isyarat atau signal adalah suatu tindakan yang
diambil perusahaan untuk memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana
manajemen memandang prospek perusahaan. Sinyal ini berupa informasi yang
menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu, saat
ini maupun masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan.
Informasi yang dikeluarkan perusahaan penting karena memiliki pengaruh dalam
pengambilan keputusan investasi.
Dalam teori sinyal, profitabilitas dapat menjadi sinyal positif atau negatif
bagi investor tergantung besarnya laba yang dihasilkan oleh perusahaan. Laba
akuntansi memiliki hubungan positif dengan fluktuasi harga saham. Apabila
terjadi kenaikan laba maka hal tersebut merupakan sinyal positif, sebaliknya
apabila terdapat penurunan laba atau bahkan rugi maka hal terseut merupakan
sinyal negatif (Vitarini & Siswanto, 2017).
Dalam kondisi yang dialami perusahaan baik sedang mengalami kenaikan
laba atau mengalami penurunan laba, maka pihak manajer diharapkan dapat
memberikan informasi yang sama kepada semua pihak menenai keadaan yang
sedang dialami perusahaan. Tindakan manajer dalam memberikan informasi yang
sama ini bertujuan agar para investor yang akan menanamkan atau telah
menanamkan sahamnya kepada suatu perusahaan dapat melihat prospek
perusahaan tersebut dan informasi ini dapat digunakan investor untuk
mempertimbangkan dalam mengambil keputusan mengenai modal investasinya
(Rachmawati & Pinem, 2013).
2.1.2 Agency Theory
Teori agensi menggambarkan perusahaan sebagai suatu titik temu antara
pemilik perusahaan (principal) dengan manajemen (agent). Jensen dan Meckling
menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak yang terjadi
antara manajer (agent) dengan pemilik perusahaan (principal). Wewenang dan
tanggung jawab agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas
persetujuan Bersama (sri rokhlinasari).
Konflik kepentingan dalam hubungan keagenan. Terjadinya konflik
kepentingan antara pemilik dan agen karena kemungkinan agen bertindak tidak
sesuai dengan kepentingan prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan (agency
cost). Teori agensi mampu menjelaskan potensi konflik kepentingan diantara
berbagai pihak yang berkepentingan dalam perusahaan tersebut. Konflik
kepentingan ini terjadi dikarenakan perbedaan tujuan dari masing-masing pihak
berdasarkan posisi dan kepentingan terhadap perusahaan. Sebagai agen, manajer
bertanggungjawab secara moral untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik
(principal), namun demikian manajer juga menginginkan untuk selalu
memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak. Dengan demikian terdapat dua
kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan di mana masing-masing pihak
berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang
dikehendaki (sri rokhlinasari).
Pada teori agensi juga dijelaskan mengenai masalah asimetri informasi
(information asymmetry). Asimetri informasi antara manajemen (agent) dengan
pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk
melakukan tindakan oportunis seperti manajemen laba (earnings management)
mengenai kinerja ekonomi perusahaan sehingga dapat merugikan pemilik
(pemegang saham). Dengan adanya masalah agensi yang disebabkan karena
konflik kepentingan dan asimetri informasi ini, maka perusahaan harus
menanggung biaya keagenan (agency cost). Agency cost merupakan biaya yang
dikeluarkan oleh prinsipal untuk biaya pengawasan terhadap agen, pengeluaran
yang mengikat oleh agen, dan adanya residual loss. Adanya penyimpangan antara
keputusan yang diambil agen dan keputusan yang akan meningkatkan
kesejahteraan prinsipal akan menimbulkan kerugian atau pengurangan
kesejahteraan prinsipal, nilai uang yang timbul dari adanya penyimpangan
tersebut disebut residual loss.
Perusahaan yang melakukan pengungkapan informasi tanggung jawab sosial
dalam hal ini adalah corporate environmental disclosure memiliki tujuan untuk
membangun image positif terhadap perusahaan dan mendapatkan perhatian dari
masyarakat. Dalam rangka memberikan informasi pertanggungjawaban sosial
perusahaan memerlukan biaya, sehingga laba yang dilaporkan dalam tahun
berjalan menjadi lebih rendah. Ketika perusahaan menghadapi biaya pengawasan
dan biaya kontrak yang rendah dan visibilitas politis yang tinggi akan cenderung
untuk mengungkapkan informasi pertanggungjawaban sosial. Jadi pengungkapan
informasi pertanggungjawaban sosial berhubungan positif dengan kinerja sosial,
kinerja ekonomi dan visibilitas politis dan berhubungan negatif dengan biaya
pengawasan dan biaya kontrak (biaya keagenan).
Berdasarkan teori agensi, perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan
dan biaya kontrak yang rendah cenderung akan melaporkan laba bersih rendah
atau dengan kata lain akan mengeluarkan biaya-biaya untuk kepentingan
manajemen salah satunya biaya yang dapat meningkatkan reputasi perusahaan di
mata masyarakat. Kemudian sebagai wujud pertanggungjawaban, manajer sebagai
agen akan berusaha memenuhi seluruh keinginan pihak prinsipal dengan
melakukan corporate environmental disclosure sebagai tindakan CSR. Corporate
environmental disclosure merupakan sinyal yang dapat mengalihkan perhatian
pemegang saham dari pengawasan manipulasi laba atau isu-isu lainnya dan
sebagai hasilnya harga saham di pasar modal akan meningkat seiring
meningkatnya kepercayaan pemegang saham terhadap transparansi informasi
yang diungkapkan oleh perusahaan.
2.1.3 Pecking Order Theory
Pecking Order Theory mampu menjelaskan preferensi perusahaaan dalam
menentukan struk tur modal optimal. Teori ini menyatakan bahwa terdapat tata
urutan keputusan pendanaan perusahaan dalam menentukan struktur modal
optimal, yaitu memilih sumber internal kemudian sumber dana eksternal, dengan
urutan utang terlebih dahulu dan sekuritas ekuitas sebagai alternatif terakhir.
Sumber dana initernal yang dimaksud adalah laba ditahan dan cadangan
depresiasi aktifa tetap. Perusahaan lebih menyukai dana internal karena tidak
perlu mengungkapkan sejumlah informasi kapada pihak eksternal berupa
prospektus perusahaan (cahyani niswandari 2013).
Pecking order theory mengasumsikan bahwa perusahaan bertujuan untuk
memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham. Teori ini dikenalkan pertama
kali oleh Donaldson pada tahun 1961 sedangkan penamaan pecking order theory
dilakukan oleh Myers (1984) dalam (cahyani niswandari 2013). Teori
menyatakan bahwa perusahaan lebih menyukai internal financing yaitu
pendanaan dari hasil operasi perusahaan yang berwujud laba ditahan. Apabila
diperlukan pendanaan eksternal maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas
paling aman terlebih dahulu yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian
diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi, baru akhirnya apabila masih
belum mencukupi akan menerbitkan saham baru. Jadi urutan penggunaan sumber
pendanaan dengan pengacu pada Pecking order theory adalah internal fund (dana
internal), debt (hutang) dan equity (ekuitas). Dana internal lebih disukai dari dana
eksternal karena dana internal memungkinkan perusahaan untuk tidak perlu
“membuka diri lagi” dari sorotan pemodal luar. Di samping itu pengaruh
asimetrik informasi dan biaya penerbitan saham cenderung mendorong perilaku
pecking order (Pangeran, 2010).
Pecking order theory berfokus pada motivasi manajer korporat bukan pada
prinsip-prinsip penilaian pasar modal (Pangeran, 2010). Pecking order theory
mendasarkan pada asimetri informasi. Para manajer memiliki informasi superior.
Para manajer diyakini memiliki informasi awal yang lebih baik. Oleh karena itu
pasar mempelajari perilaku manajer. Asumsi asimetrik informasi menyiratkan
bahwa para manajer mengembangkan dan menemukan kesempatan baru investasi
yang menarik dengan NPV positif namun mereka tidak dapat menyampaikan
informasi tersebut dengan baik kepada pemegang saham luar karena pernyataan
manajer tidak dipercayai oleh investor (cahyani niswandari 2013).
Preferensi pendanaan eksternal Pecking Order Theory berdasarkan asumsi
asimetri informasi, bahwa manajer tahu lebih banyak daripada investor luar
tentang profitabilitas dan prospek perusahaan. Maka investor mungkin tidak dapat
menilai nilai sebenarnya dari penerbitan sekuritas baru oleh perusahaan. Investor
terutama enggan membeli saham biasa yang baru diterbitkan, karena mereka
khawatir bahwa saham baru itu ternyata dihargai terlalu tinggi serta manajemen
memandang penerbitan saham biasa sebagai sumber pendanaan yang relative
mahal.
Hirarki keputusan pendanaan Pecking Order Theory yang dikemukakan
Myers dan Majluf (1984) dalam devita dan arif 2017 adalah perusahaaan
menggunakan pendanaan internal pertama kali karena dianggap pendanaan
internal mempunyai biaya yang murah. Pendanaan kedua adalah pendanaan
eksternal yaitu menerbitkan utang dan pilihan terakhir dengan penerbitan saham.
Karena saham dianggap sebagai biaya yang paling mahal dan paling berisiko.
Model Pecking Order dalam menentukan pendanaan perusahaa menjelaskan
bahwa ketika arus kas internal perusahaan tidak cukup untuk mendanai investasi
real dan dividen, perusahaan akan menerbitkan utang. Sekuritas tidak akan
diterbitkan kecuali biaya financial distress perusahaan tinggi dan perusahaan
hanya dapat menerbitkan junk debt. Pecking order theory menjelaskan mengapa
perusahaan yang sangat menguntungkan pada umumnya mempunyai hutang yang
lebih sedikit. Hal ini terjadi bukan karena perusahaan tersebut mempunyai target
debt ratio yang rendah, tetapi disebabkan karena perusahaan memang tidak
membutuhkan dana dari pihak eksternal (devita dan arif 2017).
Teori bird in the hand theory merupakan teori yang dikembangkan oleh
Myron Gordon dan John Lintner. Berdasarkan teorinya para investor lebih
menyukai keuntungan dalam bentuk dividen, dibandingkan capital gain. Sesuai
dengan penjelasan Ayu Afrilia Dwiyanto 2019 bird in the hand theory, adanya
kebijakan dividen memiliki pengaruh positif terhadap harga saham. Maksudnya
adalah jika pembagian dividen perusahaan tinggi, maka akan mempengaruhi
harga saham perusahaan tersebut yang tinggi pula.
Menurut Ayu Afrilia Dwiyanto 2019 bird in the hand theory memaparkan
tentang investor yang menghendaki pembayaran dividen tinggi dari keuntungan
perusahaan. Para investor menganggap bahwa memilih memiliki satu burung dara
ditangan, dibandingkan seribu burung dara di udara. Artinya para investor lebih
menyukai pembagian dividen yang tinggi dikarenakan adanya suatu kepastian,
dibandingkan dengan capital gain. Banyak investor mempercayai teori ini karena
Ketika pembayaran dividennya tinggi, maka dapat menghasilkan harga saham
yang tinggi pula. Dalam penelitian ini bird in the hand theory digunakan pada
variabel kebijakan dividen
2.1.6 Tobin’s Q
Salah satu alternatif yang digunakan dalam menilai perusahaan adalah dengan
menggunakan Tobin’s Q. Tobin’s Q ini dikembangkan oleh professor James
Tobin. Rasio ini merupakan konsep yang sangat berharga karena menunjukkan
estimasi pasar keuangan saat ini tentang tentang hasil pengembalian dari setiap
dolar investasi inkremental. Tobin’s Q dihitung dengan membandingkan rasio
nilai pasar saham perusahaan dengan nilai buku ekuitas perusahaan. Rumusnya
sebagai berikut:
EMV + D
Q=
EBV + D
Keterangan:
Q = Nilai Perusahaan
EMV diperoleh dari hasil perkalian harga saham penutupan pada akhir tahun
(clossing price) dengan jumlah saham yang beredar pada akhir tahun. EBV
diperoleh dari selisih total asset perusahaan dengan total kewajibannya.
lababesih
ROA =
total aset
Alasan dipilihnya Return On Asset (ROA) adalah karena ROA digunakan untuk
mengukur kemampuan manajemen keuangan dalam memperoleh keuntungan
secara keseluruhan. Semakin besar ROA keuangan, semakin besar pula tingkat
keuntungan yang dicapai perusahaan tersebut dan semakin baik pula posisi
keuangan tersebut dan segi penggunaan aset.
Semakin tinggi rasio ini maka semakin baik prduktivitas aset dalam memperoleh
keuntungan bersih. Dengan mengetahui ROA kita dapat menilai apakah
perusahaan telah efisien dalam menggunakan aktivanya dalam kegiatan operasi
untuk menghasilkan keuntungan. Laba bersih (net income) merupakan ukuran
pokok keseluruhan keberhasilan perusahaan. ROA dapat membantu perusahaan
yang telah menjalankan praktik akuntansi dengan baik untuk mengukur efisiensi
penggunaan modal yang menyeluruh terhadap setiap hal yang mempengaruhi
keadaan keuangan perusahaan sehingga dapat diketahui posisi perusahaan
terhadap industri.
2.2.3 Leverage
Leverage digambarkan untuk melihat sejauh mana aktivitas operasional
perusahaan dibiayai oleh hutang atau modal sendiri. Leverage dapat dikatakan
bahwa suatu rasio keuangan yang mengukur seberapa banyak perusahaan dibiayai
dengan menggunakan hutang. Penggunaan hutang mendapat tanggapan positif
karena hutang dapat melunasi kewajiban perusahaan yang memiliki hutang
dimasa yang akan datang (Wiagustini, 2010).
Menurut (Hanafi, 2011) menyatakan bahwa penggunaan hutang tersebut
diharapkan akan mendapat respon positif oleh pihak luar, jadi hutang merupakan
tanda atau sinyal positif untuk meningkatkan perusahaan dimata investor.
Penggunaan hutang yang terlalu banyak dianggap tidak sehat karena dapat
menurunkan laba. Nilai hutang yang tinggi memberikan dampak negatif bagi
investor pada nilai perusahaan. Hal ini karena tingginya tingkat hutang dapat
mempengaruhi ketertarikan para investor pada perusahaan. Pemenuhan kebutuhan
dana dapat diperoleh dari sumber internal maupun external perusahaan.
Perusahaan yang melakukan sumber internal adalah sumber dana yang dihasilkan
sendiri oleh perusahaan yaitu laba ditahan. Sebaliknya perusahaan yang
melakukan sumber external adalah dana yang berasal dari kreditur dan investor.
Pendanaan yang berasal dari kreditur adalah pendanaan yang berasal dari modal
asing.
(Glover & Hambusch, 2014) dalam penelitiannya mengatakan bahwa jika
perusahaan terlalu terfokus pada pembayaran beban tetap atau biaya operasi
perusahaan, maka dapat berakibat buruk kepada kelangsungan perusahaan
tersebut karena tidak ada jaminan bahwa pembayaran biaya tetap yang dilakukan
juga akan meningkatkan perolehan laba atau meningkatnya penjualan pada suatu
produk yang ditawarkan. Oleh karena itu pihak manajerial harus benar-benar
mempertimbangkan hal tersebut sebelum menerapkannya di perusahaan.
2.2.3.1 Indikator Debt To Equity Ratio (DER)
Rasio leverage membandingkan antara keseluruhan beban utang dengan aset
atau ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan. Hal tersebut dapat menggambarkan
perbandingan antara banyaknya aset yang dimiliki oleh pemegang saham dengan
banyaknya aset yang dimiliki oleh kreditur. Jika kreditur memiliki lebih banyak
aset maka dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki tingkat leverage
yang tinggi. Sebaliknya, jika pemegang saham lebih banyak memiliki aset maka
dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki tingkat leverage yang
rendah. Rasio ini digunakan untuk membantu manajemen ataupun investor untuk
lebih memahami tingkat risiko struktur modal pada perusahaan. Semakin tinggi
rasio leverage, maka semakin tinggi kewajiban perusahaan (Hamidah, Ahmad, et
al., 2015). Rasio leverage dihitung menggunakan Debt to Equity Ratio (DER)
yaitu:
total liability
DER =
total equity
(Nino et al., 2016) dalam penelitian nya juga mengemukakan bahwa ukuran
perusahaan menunjukkan besar atau kecilnya kekayaan atau asset yang dimiliki
oleh suatu perusahaan. Semakin besar total aktiva, total penjualan ataupun laba
yang dimiliki maka akan semakin besar pula ukuran perusahaannya. Total aktiva
merupakan suatu hak perusahaan yang digunakan untuk kegiatan produksi dan
operasi di dalam perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Costuleanu, C. L., Dumitrescu, D., Ignat, G., & Bobitan, N. (2014). Instruments
for the Quantification of Economic Performances of the Enterprise.
Agronomy Series of Scientific Research, 57(2), 275–280.
Dayal, S., & Singh, S. (2016). Profitability and Liquidity Analysis of Bajaj Auto
Ltd. and Hero MotoCorp Ltd. Global Journal of Enterprise Information
System, 8(2), 1–12. https://doi.org/10.18311/gjeis/2016/7088
Dolontelide, C. M., & Wangkar, A. (2019). Pengaruh Sales Growth Dan Firm
Size terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan Makanan dan Minuman
yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jurnal EMBA: Jurnal Riset
Ekonomi, Manajemen, Bisnis Dan Akuntansi, 7(3), 3039–3048.
Glover, K. J., & Hambusch, G. (2014). The Trade-off Theory Revisited: On the
Effect of Operating Leverage. International Journal of Managerial Finance,
10(1), 1–22.
Hamidah, H., Hartini, H., & Mardiyati, U. (2015). Pengaruh Inflasi, Suku Bunga
Bi,Profitabilitas, dan Risiko Finansial terhadap Nilai Perusahaan Sektor
Properti Tahun 2011-2013. Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia, 6(1),
395–416. https://doi.org/https://doi.org/10.21009/JRMSI.006.1.04
Kusumawati, R., & Rosady, I. (2018). Pengaruh Struktur Modal dan Profitabilitas
terhadap Nilai Perusahaan dengan Kepemilikan Manajerial sebagai Variabel
Moderasi. Jurnal Manajemen Bisnis, 9(2), 147–160.
https://doi.org/https://doi.org/10.18196/mb.9259
Lumoly, S., Murni, S., & Untu, V. N. (2021). Pengaruh Likuiditas, Ukuran
Perusahaan dan Profitabilitas terhadap Nilai Perusahaan (Studi pada
Perusahaan Logam dan Sejenisnya yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Jurnal EMBA, 5(2), 128.
https://doi.org/https://doi.org/10.35794/emba.6.3.2018.20072
Mayogi, D. G., & Fidiana. (2016). Pengaruh Profitabilitas, Kebijakan Dividen dan
Kebijakan Utang terhadap Nilai Perusahaan. Jurnal Ilmu Dan Riset Akuntasi,
15(1), 1–15. http://jurnalmahasiswa.stiesia.ac.id/index.php/jira/issue/view/47
Nino, Y., Murni, S., & Tumiwa, J. R. (2016). Analisis Ukuran Perusahaan,
Struktur Modal, Non Performing Loan (NPL), Capital Adequacy Ratio
(CAR), dan Return On Equity (ROE) Terhadap Harga Saham Perusahaan
pada Indeks LQ45. Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis
Dan Akuntansi, 4(3), 717–728.
Prasetia, T. E., Tommy, P., & Saerang, I. S. (2014). Struktur Modal, Ukuran
Perusahaan dan Risiko Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan Otomotif yang
Terdaftar di Bei. Jurnal EMBA, 2(2), 879–889.
Vitarini, T., & Siswanto, E. (2017). Sinyal yang ditimbulkan oleh Informasi Arus
Kas, Laba dan Nilai Tambah Pasar dalam Mendongkar Harga Saham
Perusahaan Consumer Goods di Indonesia. Jurnal Ekonomi Bisnis, 22(1),
27–34.
Wibowo, A., & Wartini, S. (2012). Efisiensi Modal Kerja, Likuiditas dan
Leverage terhadap Profitabilitas pada Perusahaan Manufaktur di Bei. Jurnal
Dinamika Manajemen, 3(1), 49–58.
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jdm
Widiastari, P. A., & Yasa, G. W. (2018). Pengaruh Profitabilitas, Free Cash Flow
dan Ukuran_perusahaan. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 23(2),
957–981. https://doi.org/https://doi.org/10.24843/EJA.2018.v23.i02.p06