Anda di halaman 1dari 18

Laporan Pendahuluan

Tension Pneumothorax
KONSEP TEORI
A. Definisi

Tension pneumotoraks adalah bertambahnya udara dalam ruang pleura secara progresif,
biasanya karena laserasi paru-paru yang memungkinkan udara untuk masuk ke dalam
rongga pleura tetapi tidak dapat keluar atau tertahan didalam rongga pleura.
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana akumulasi udara dalam
rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks
mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi
paru yang mengalami tekanan. (Alagaff, Hood, 2005)
Tension pneumothoraks adalah pengumpulan/ penimbunan udara di ikuti peningkatan
tekanan di dalam rongga pleura. Kondisi ini terjadi bila salah satu rongga paru terluka,
Sehingga udara masuk ke rongga pleura dan udara tidak bisa keluar secara alami. Kondisi
ini bisa dengan cepat menyebabkan terjadinya insufisiensi pernapasan, kolaps
kardiovaskuler, dan, akhirnya, kematian jika tidak dikenali dan ditangani. Hasil yang baik
memerlukan diagnosa mendesak dan penanganan dengan segera. Tension pneumothoraks
adalah diagnosa klinis yang sekarang lebih siap dikenali karena perbaikan di pelayanan-
pelayanan darurat medis dan tersebarnya penggunaan sinar-x dada.

B. Etiologi
Etiologi Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena iatrogenik
atau berhubungan dengan trauma. Yaitu, sebagai berikut:
1. Trauma benda tumpul atau tajam – meliputi gangguan salah satu pleura visceral atau
parietal dan sering dengan patah tulang rusuk (patah tulang rusuk tidak menjadi hal
yang penting bagi terjadinya Tension Pneumotoraks)
2. Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat), biasanya vena
subclavia atau vena jugular interna (salah arah kateter subklavia).
3. Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, Pneumotoraks sederhana ke Tension
Pneumotoraks
4. Ketidakberhasilan mengatasi pneumothoraks terbuka ke pneumothoraks sederhana di
mana fungsi pembalut luka sebagai 1-way katup
5. Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan pneumothoraks. (Corwin,
2009)

C. Patofisiologi
Tension pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki tekanan yang
lebih tinggi daripada udara dalam paru sebelahnya.Udara memasuki rongga pleura dari
tempat ruptur pleura yang bekerja seperti katup satu arah. Udara dapat memasuki rongga
pleura pada saat inspirasi tetapi tidak bisa keluar lagi karena tempat ruptur tersebut akan
menutup pada saat ekspirasi.
Pada saat inspirasi akan terdapat lebih banyak udara lagi yang masuk dan tekanan udara
mulai melampaui tekanan barometrik.Peningkatan tekanan udara akan mendorong paru
yang dalam keadaan recoiling sehingga terjadi atelektasis kompresi.
Udara juga menekan mediastinum sehingga terjadi kompresi serta pergeseran jantung
dan pembuluh darah besar. Udara tidak bisa keluar dan tekanan yang semakin meningkat
akibat penumpukan udara ini menyebabkan kolaps paru.Ketika udara terus menumpuk dan
tekanan intrapleura terus meningkat, mediastinum akan tergeser dari sisi yang terkena dan
aliran balik vena menurun.Keadaan ini mendorong jantung, trakea, esofagus dan
pembuluh darah besar berpindah ke sisi yang sehat sehingga terjadi penekanan pada
jantung serta paru ke sisi kontralateral yang sehat (Sudoyo, 2009).
Dalam keadaan normal pleura parietal dan visceral seharusnya dapat dipertahankan
tetap berkontak karena ada gabungan antara tekanan intraprgleura yang negative dan
tarikan kapiler oleh sejumlah kecil cairan pleura. Ketika udara masuk ke ruang pleura
factor-faktor ini akan hilang dan paru di sisi cedera mulai kolaps, dan oksigenasi menjadi
terganggu. Jika lebih banyak udara yang memasuki ruang pleura pada saat inspirasi di
bandingkan dengan yang keluar pada saat ekspirasi akan tercipta efek bola katup dan
tekanan pleura terus meningkat sekalipun paru sudah kolaps total dan akhirnya tekanan ini
menjadi demikian tinggi sehingga mendiastinum terdorong ke sisi berlawanan dan paru
sebelah juga terkompresi dan dapat menyebabkan hipoksia yang berat dapat timbul dan
ketika tekanan pleura meninggi dan kedua paru tertekan, aliran darah yang melalui
sirkulasi sentral akan menurun secara signifikan yang mengakibatkan hipotensi arterial
dan syok. (Kowalak, 2011).
D. Pathway
Terlampir

E. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi awal : nyeri dada, dispnea, ansietas, takipnea, takikardi, hipersonor dinding
dada dan tidak ada suara napas pada sisi yang sakit.
2. Manifestasi lanjut : tingkat kesadaran menurun, trachea bergeser menuju ke sisi
kontralateral, hipotensi, pembesaran pembuluh darah leher/ vena jugularis (tidak ada
jika pasien sangat hipotensi) dan sianosis (Boshwick, 1997).
3. Terjadi sesak napas yang progresif dan berat.
4. Terdapat kolaps dengan pulsus kecil dan hipotensi berat sebagai akibat gangguan pada
jantung dan terhalangnya aliran balik vena ke jantung.
5. Tanda-tanda pergesaran mediastinum jelas terlihat.
6. Perkusi biasanya timpani, mungkin pula redup karena pengurangan getaran pada
dinding toraks .
7. Apabila pneumotoraks meluas, atau apabila yang terjadi adalah tension pneumothoraks
dan udara menumpuk di ruang pleura, jantung dan pembuluh darah besar dapat
bergeser ke paru yang sehat sehingga dada tampak asimetris (Corwin, 2009).

F. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa tension pneumothorax merupakan diagnosa dari klinis, bukan
dari radiologi.Tanda-tanda klasik dari tension pneumotoraks adalah adanya distress nafas,
takikardi, hiporensi, adanya deviasi trakea, hilangnya suara nafas unilateral, distensi vena
leher, dan bisa menjadi sianosis pada manifestasi lanjutnya. Gelaja klinis dari tension
pneumothorax ini mungkin mirip dengan gejala klinis dari cardiac tamponade, tetapi
angka kejadian tension pneumotorax ini lebih besar dari cardiac tamponade. Selain itu
untuk membedakannya juga bisa dilakukan dengan mengetahui bahwa dari perkusi
didapatkan adanya hiperresonansi pada bagian dada ipsilateral.
I. Pada pemeriksaan fisik thorak didapatkan :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang

II. Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan pada:


1. Foto Röntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara
lain:
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak
garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

2. Analisa Gas Darah


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan thoraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner
dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

4. USG
Pneumotoraks dapat juga didiagnosis oleh USG. Udara di rongga pleura
ditampilkanpantulan gelombang yang sangat tajam. Tidak seperti udara
intrapulmoner, pantulan gelombang tidak bergerak saat respirasi. Bagaimanapun
juga, luas pneumotoraks ditentukan dengan radiologis dada9.
Menggunakan Linear array transducer (Small parts/high frequency probe) dengan
pasien dalam posisi supinasi, scan dipermukaan anterior dinding dada menarik garis
sagital (longitudinal). Scan mulai dari anterior axillary line ke para sternal line
Tension pneumotoraks dapat berkembang (memburuk) dengan sendirinya,
terutama pada pasien dengan ventilasi tekanan positif. Hal ini bisa segera
terjadi atau dalam beberapa jam ke depan. Sebuah takikardi hipotensi,
dijelaskan dan peningkatan tekanan udara sangat progresif dari tekanan yang
semakin meningkat.
Dengan derajat tension pneumotoraks, tidak sulit untuk menilai bagaimana fungsi
kardiovaskuler dapat terganggu akibat tension, karena terdapat
adanya obstruksi padavena yang kembali ke jantung. Masif tension
pneumotoraks memang seharusnya sudah dapat dideteksi secara klinis dan, dalam
menghadapi kolaps hemodinamik, tatalaksana dengan cara emergency thoracostomy
- needle atau sebaliknya.

III. CT dari tension pneumotoraks


Adanya (chest tube) bukan berarti pasien tidak bisa berkembang menjadi tension
pneumotoraks. Pasien di bawah ini memiliki ketegangan sisi kanan
meskipun adanya sebuah chest tube. Sangat mudah untuk menilai bagaimana hal ini
dapat terjadi pada gambar CT yang menunjukkan chest tube dalam
fisura oblique. Chest tube disini akan
ditempatkan bagian belakang dada, sehingga akan di pertahankan tetap disana
ketikaparu-paru didepannya menekan ke arah atas-belakang. Chest tube pada pasien
trauma terlentang harus ditempatkan secara posterior untuk menghindari komplikasi
ini. Komplikasi lain dari tension pneumothorax lainnya seperti haemothoraks masih
akan di-drainase asalkan paru-paru telah mengembang sepenuhnya.
CT scan juga menunjukkan mengapa tension pneumotoraks tidak terlihat pada X-
raydada polos paru yang dikompresi belakang tetapi meluas keluar ke tepi dinding
dada, sehingga tanda-tanda paru-paru terlihat di seluruh bidang paru-paru. Namun
ada pergeseran garis tengah dibandingkan dengan film sebelumnya.
Tension pneumotoraks juga dapat bertahan jika ada cedera pada jalan napas
besar, mengakibatkan fistula bronkhopleura. Dalam hal ini sebuah tabung dada tidak
dapat mengatasi kebocoran udara utama. Dalam kasus ini thorakotomi biasanya
ditunjukkan untuk memperbaiki saluran udara dan paru-paru yang rusak.
Hati-hati juga pasien dengan tension pneumotoraks bilateral. Trakea
merupakan central, ketika perkusi dan suara nafas yang sama di kedua sisi. Pasien-
pasien ini biasanyasecara haemodinamika terancam atau dalam traumatik arrest.
Gawat darurat dekompresi dada bilateral dapat menjadi bagian dari prosedur untuk
traumatik arrest dimana hal inidimungkinkan.

G. Penatalaksanaan
1. Needle Thoracostomy
Tension pnumothorax membutuhkan dekompresi yang segera. Dekompresi ini dapat
dilakukan dengan memasukkan jarum ke ruang intercostal ke dua pada garis
midclavicular pada sisi dada yang terkena. Terapi definitifnya biasanya
membutuhkan insersi chest tube ke dalam ruang pleural melalui ruang intercostal
ke lima (setinggi puting susu) dibagian depan di garis midclavicular.
Prinsip terapi dari tension pneumothrax ini adalah menjaga jalan nafas agar tetap
terbuka, menjaga kualitas ventilasi, oksigenasi, menghilangkan penyebab traumanya
dan menghilangkan udara di ruang pleura, dan mengontrol ventilasi.
Keberhasilan dari terapi yang kita lakukan bisa dinilai dari hilangnya udara bebas
pada ruang interpleural dan pencegahan pada kekambuhan atau recurensi.
Pada kasus tension pneumotoraks, tidak ada pengobatan non-invasif yang dapat
dilakukan untuk menangani kondisi yang mengancam nyawa ini. Pneumotoraks adalah
kondisi yang mengancam jiwa yang membutuhkan penanganan segera. Jika diagnosis
tension pneumotoraks sudah dicurigai, jangan menunda penanganan meskipun
diagnosis belum ditegakkan.
Pada kasus tension pneumotoraks, langsung hubungkan pernafasan pasien dengan
100% oksigen. Lakukan dekompresi jarum tanpa ragu. Hal-hal tersebut seharusnya
sudah dilakukan sebelum pasien mencapai rumah sakit untuk pengobatan lebih lanjut.
Setelah melakukan dekompresi jarum, mulailah persiapan untuk melakukan
torakostomi tube. Kemudian lakukan penilaian ulang pada pasien, perhatikan ABCs
(Airway, breathing, cirvulation) pasien. Lakukan penilaian ulang foto toraks untuk
menilai ekspansi paru, posisi dari torakostomi dan untuk memperbaiki adanya deviasi
mediastinum. Selanjutnya, pemeriksaan analisis gas darah dapat dilakukan.
Dekompresi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra
pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif
karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian
infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol
yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara
yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol.
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula.
Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai
menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini
kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan
tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam
botol.
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang menggunakan
water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura (rongga pleura)
Tujuan:
• Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut
• Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi
sedikit cairan pleura / lubrican.

2. Tindakan bedah:
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang yang
menyebabkan pneumothoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan paru
tidak bisa mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan reseksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau terdapat
fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua
pleura dilekatkan satu sama lain.

H. Komplikasi
1. Gagal napas akut (3-5%)
2. Komplikasi tube torakostomi àlesi pada nervus interkostales
3. Henti jantung-paru
4. Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
5. Kematian timbul cairan intra pleura, misalnya Pneumothoraks disertai efusi pleura :
eksudat, pus. Pneumothoraks disertai darah : hemathotoraks.
6. Syok (Alagaff, 2005)
7. Tension pneumothoraks dapat menyebabkan pembuluh darah kolaps, akibatnya
pengisian jantung menurun sehingga tekanan darah menurun. Paru sehat juga dapat
terkena dampaknya.
8. Pneumothoraks dapat menyebabkan hipoksia dan dispnea berat. Kematian dapat
terjadi(Corwin, 2009).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat
b. Sirkulasi
Tanda : takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama jantung gallop,
nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda homman
(bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan udara dalam
mediastinum).
c. Psikososial
Tanda : ketakutan, gelisah.
d. Makanan / cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
e. Nyeri / kenyamanan
Tanda : Perilaku distraksi, mengerutkan wajah
Gejala : nyeri dada unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba gejala sementara
batuk atau regangan, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
f. Pernapasan
Tanda : pernapasan meningkat / takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot
aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun/ hilang
(auskultasi mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang dalam rongga pleura),
fremitus menurun, perkusi dada : hipersonor diatas terisi udara, observasi dan palpasi
dada : gerakan dada tidak sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental:
ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis,
inflamasi / infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi tumor).
g. Keamanan
Gejala : adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.

Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural; dapat
menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.
b. GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
c. Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosa.
d. Hb : mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
2. Resiko tinggi trauma penghentian napas berhubungan dengan kurang pendidikan
keamanan/pencegahan.
3. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan pengobatan berhubungan dengan kurang
menerima informasi.
4. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret
pada bronkus.
5. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan sekret terakumulasi pada paru.
6. Nyeri kronis berhubungan dengan adanya peradangan pada bronkus.
7. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan anoreksia.
8. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan
peningkatan peristaltik usus.
9. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan infeksi pada traktus
respiratorius.
10. Resiko tinggi gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama.
11. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, kelemahan umum, batuk berlebihan dan dispnea.
12. Gangguan kebutuhan bermain berhubungan dengan hospitalisasi, pembatasan
aktivitas.
13. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan keluarga mengenai penyakit
yang diderita klien.
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Pola Nafas tidak efektif NOC: NIC:
berhubungan dengan : • Respiratory status : - Posisikan pasien untuk
- Hiperventilasi Ventilation memaksimalkan ventilasi
- Kelelahan otot • Respiratory status : - Pasang mayo bila perlu
pernafasan Airway patency - Lakukan fisioterapi dada
- Hipoventilasi • Vital sign Status jika perlu
sindrom • Setelah dilakukan tindakan - Keluarkan sekret dengan
keperawatan selama 3x24 batuk atau suction
jam pasien menunjukkan - Auskultasi suara nafas, catat
keefektifan pola nafas, adanya suara tambahan
dibuktikan dengan kriteria - Berikan bronkodilator
hasil: - Berikan pelembab udara
• Mendemonstrasikan batuk Kassa basah NaCl Lembab
efektif dan suara nafas - Atur intake untuk cairan
yang bersih, tidak ada mengoptimalkan
sianosis dan dyspneu keseimbangan.
(mampu mengeluarkan - Monitor respirasi dan status
sputum, mampu bernafas O2
dg mudah, tidakada pursed - Bersihkan mulut, hidung dan
lips) secret trakea
• Menunjukkan jalan nafas - Pertahankan jalan nafas
yang paten (klien tidak yang paten
merasa tercekik, irama - Observasi adanya tanda
nafas, frekuensi tanda hipoventilasi
pernafasan dalam rentang - Monitor adanya kecemasan
normal, tidak ada suara pasien terhadap oksigenasi
nafas abnormal) - Monitor vital sign
• Tanda Tanda vital dalam - Informasikan pada pasien
rentang normal (tekanan dan keluarga tentang tehnik
darah, nadi, pernafasan) relaksasi untuk memperbaiki
pola nafas.
- Ajarkan bagaimana batuk
efektif
- Monitor pola nafas

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko infeksi NOC : NIC :
- v Immune Status - Pertahankan teknik aseptif
Faktor-faktor risiko : - v Knowledge : Infection - Batasi pengunjung bila
- Prosedur Infasif control perlu
- v Risk control - Cuci tangan setiap sebelum
- Setelah dilakukan tindakan dan sesudah tindakan
keperawatan selama 3x24 keperawatan
jam,pasien tidak - Gunakan baju, sarung
mengalami infeksi dengan tangan sebagai alat
kriteria hasil: pelindung
- v Klien bebas dari tanda - Ganti letak IV perifer dan
dan gejala infeksi dressing sesuai dengan
- v Menunjukkan petunjuk umum
kemampuan untuk - Gunakan kateter intermiten
mencegah timbulnya untuk menurunkan infeksi
infeksi kandung kencing
- v Jumlah leukosit dalam - Tingkatkan intake nutrisi
batas normal - Berikan terapi
- v Menunjukkan perilaku antibiotikMonitor tanda dan
hidup sehat gejala infeksi sistemik dan
- v Status imun, lokal
gastrointestinal, - Pertahankan teknik isolasi
genitourinaria dalam batas k/p
normal - Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
- Monitor adanya luka
- Dorong masukan cairan
- Dorong istirahat
- Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
- · Kaji suhu badan pada
pasien neutropenia setiap 4
jam

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi


sekret pada bronkus ditandai dengan klien mengatakan sesak dan susah
bernafas, tampak tarikan dinding dada, tampak napas cuping hidung, terdengar
suara napas tambahan ronkhi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan jalan
nafas klien kembali efektif dengan kriteria hasil:
a. Pasien menunjukkan perilaku mencapai bersihan jalan napas
b. Pasien menunjukkan jalan napas dengan bunyi napas bersih,tidak ada dispnea
dan sianosis
c. Fisik tampak rileks saat bernafas, tidak menggunakan alat bantu pernafasan
d. Kaji atau pantau pernapasan klien
e. Auskultasi bunyi napas tambahan (ronchi,wheezing)
f. Berikan posisi yang nyaman misalnya posisi semi fowler
g. Terapi inhalasi dan latihan napas dalam dan batuk efektif
h. Memberian cairan per oral/IV sesuai usia anak,tawarkan air hangat daripada
dingin.
i. Kolaborasi dengan dokter dalam pengisapan lendir sesuai indikasi
j. Mengetahui frekuensi pernapasan klien sebagai indikasi dasar
gangguan pernapasan.
k. Adanya bunyi napas tambahan yang menandakan gangguan pernapasan.
l. Posisi semi fowler memungkinkan ekspansi paru lebih maksimal
m. Napas dalam memudahkan ekspirasi maksimum paru-paru atau jalan
napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme membersihkan jalan napas
alami, membantu silia mempertahankan jalan napas paten.
n. Cairan khususnya yang hangat memobilisasi serta mengeluarkan lendir.
o. Merangsang batuk serta membersihkan jalan napas secara mekanik pada
pasien yang tidak mampu melakukan pernapasan karena batuk tidak
efektif atau penurunan kesadaran.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan sekret terakumulasi pada paru
ditandai dengan ketidak mampuan membuang sekret, hipoksemi, dispnea berat,
sianosis, gelisah, bingung.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
gangguan pertukaran gas dengan kriteria hasil:
a. Pasien akan menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dan tidak ada
gejala distress pernapasan.
b. Tanda-tanda vital dalam batas normal
c. Tidak ada tanda-tanda sianosis
a. Monitor atau kaji tanda-tanda vital, kesulitan bernapas, retraksi stomal.
b. Observasi warna kulit, membran mukoasa dan kuku, catat adanya sianosis

c. Kaji status mental

d. Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi,napas dalam dan batuk
efektif.

e. Pertahankan istirahat tidur a. Data dasar untuk pengkajian lebih lanjut.

b. Sianosis kuku menunjukkan vasokontriksi atau respon tubuh terhadap demam atau
menggigil namun sianosis daun telinga, membran mukosa, dan kulit sekitar mulut
menunjukkan hipoksemia sistemik.

c. Gelisah, mudah terangsang, bingung dan samnolens dapat menunjukkan


hipoksemia atau penurunan oksigenasi serebral.
d. Tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran sekret
untuk memperbaiki ventilasi.
e. Mencegah kelelahan dan menurunkan kebutuhan oksigen untuk kemudahan
perbaikan infeksi
3 Nyeri kronis berhubungan dengan adanya peradangan pada bronkus ditandai dengan
pasien mengeluh nyeri dada, pasien mengeluh pusing, klien nampak lemah, klien
nampak pucat, klien nampak meringis kesakitan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan klien tidak
mengalami gangguan nyaman nyeri dengan kriteria hasil:
a. Tidak terdapat tanda- tanda peradangan
b. Nyeri berkurang
c. Pasien tampak rileks
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b. Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi atau latihan nafas dalam.
c. Berikan analgesik yang sesuai
d. Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan
e. Anjurkan pasien untuk istirahat
a. Mengetahui tingkat nyeri dalam menentukan tindakan selanjutnya.
b. Klien mengetahui teknik distraksi dan relaksasi sehingga dapat mempraktekkannya
bila mengalami nyeri
c. Untuk mengurangi rasa nyeri
d. Memberikan rasa nyaman pada klien
e. Untuk mempercepat proses penyembuhan.

4 Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan anoreksia ditandai dengan


pasien mengeluh nafsu makan menurun, pasien mengatakan mual muntah, pasien
tampak lemah, pasien tidak mau makan, BB klien menurun, nampak sisa makanan
yang disediakan RS, wajah tampak pucat.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nutrisi klien
terpenuhi dan tidak terjadi anoreksia dengan
Kriteria hasil:
a. Pasien menunjukkan peningkatan nafsu makan dan mempertahankan berat badan
b. Menghabiskan porsi yang disediakan RS
c. Tampak lebih segar a. Indentifikasi factor yang menyebabkan kesulitan menelan
(nyeri)
b. Auskultasi bunyi usus , observasi atau palpasi distensi abdomen
c. Berikan makan porsi kecil tapi sering
d. Timbang berat badan setiap hari
a. Pilihan intervensi tergantung pada penyebaran masalah
b. Bunyi usus mungkin menurun atau tak ada bila proses infeksi berat atau
memanjang.
c. Tindakan ini dapat meningktkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat
untuk kembali.
d. Peningkatan berat badan secara bertahap menandakan adanya perbaikan status
nutrisi pasien

5 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan


peningkatan peristaltik usus ditandai dengan klien mengatakan tidak ada tenaga, klien
biasanya mengatakan haus, klien nampak pucat, lemas, turgor kulit menurun,
konjungtiva pucat.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan klien tidak
mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan kriteria hasil:
a. Kebutuhan cairan pasien terpenuhi dan adekuat
b.Tanda vital (suhu) rentang
normal.
a. Kaji perubahan tanda vital, contoh peningkatan suhu atau demam
b. Kaji turgor kulit, kelembapan membran mukosa (bibir, lidah)
indikator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membran mukosa mulut
mungkin kering karena napas mulut dan oksigen tambahan.
keseimbangan cairan. Waspadai kehilangan yang tak tampak. Ukur BB sesuai
indikasi.c. Pantau masukan dan haluaran, catat warna, karakter urine. Hitung
d. Pertahankan pemasukan cairan yang adekuat.
e. Beri obat sesuai indikasi, misalnya antipiretik
f. Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
a. Peningkatan suhu atau demam meningkatkan laju metabolik Sn kehilangan cairan
melalui evaporasi .
b. Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan
penggantian.
c. Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan
penggantian.
d. Pada anak volume cairan adalah 20-25 % dari BB anak.
e. Berguna menurunkan kehilangan cairan serta peningkatan suhu.
f. Pada adanya penurunan masukan atau banyak kehilangan penggunaan parenteral
dapat memperbaiki dan mencegah kekurangan.

6 Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan infeksi pada traktus respiratorius
ditandai dengan klien mengatakan badannya panas, klien nampak pucat dan suhu
tubuh meningkat, kulit nampak merah, kulit lecet, adanya iritasi pada kulit.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan infeksi tidak
terjadi dengan kriteria hasil :
a. Tidak ada tanda-tanda infeksi.
b. Bebas drainase purulen atau eritema, dan demam.
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal
d. Pasien tampak nyaman a. Tingkatkan cuci tangan yang baik ; oleh pemberi
perawatan dan pasien.
b. Pertahankan teknik aseptic ketat pada prosedur atau perawatan luka.
c. Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.
d. Motivasi perubahan posisi atau ambulasi yang sering, latihan batuk dan napas
dalam.
e. Tingkatkan masukkan cairan adekuat.
f. Pantau atau batasi pengunjung. Berikan isolasi bila memungkinkan.
g. Pantau suhu tubuh. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa
demam.
h. Amati eritema atau cairan luka.
i. Ambil specimen untuk kultur atau sensitivitas sesuai indikasi (kolaborasi)
j. Berikan antiseptic topical ; antibiotic sistemik (kolaborasi).
a. Mencegah kontaminasi silang atau kolonisasi bacterial. Catatan : pasien dengan
anemia berat atau aplastik dapat berisiko akibat flora normal kulit.
b. Menurunkan risiko kolonisasi atau infeksi bakteri.
c. Menurunkan risiko kerusakan kulit atau jaringan dan infeksi.
d. Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu memobilisasi sekresi
untuk mencegah pneumonia.
e. Membantu dalam pengenceran secret pernapasan untuk mempermudah pengeluaran
dan mencegah stasis cairan tubuh misalnya pernapasan dan ginjal.
f. Membatasi pemajanan pada bakteri. Perlindungan isolasi dibutuhkan pada anemia
aplastik, bila respons imun sangat terganggu.
g. Adanya proses inflamasi atau infeksi membutuhkan evaluasi dan pengobatan.
h. Indikator infeksi lokal. Catatan : pembentukan pus mungkin tidak ada bila
granulosit tertekan.
i. Membedakan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen khusus dan mempengaruhi
pilihan pengobatan.
j. Mungkin digunakan secara propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk
pengobatan proses infeksi local.

7 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama ditandai
dengan klien mengatakan tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari seperti bermain
dan aktivitas lainnya, klien hanya berbaring ditempat tidur, kulit nampak kering dan
bersisik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan klien dapat
mempertahankan integritas kulit dengan kriteria hasil :
Mengidentifikasi factor risiko atau perilaku individu untuk mencegah cedera dermal.
a. Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat local,
eritema, ekskoriasi.
b. Reposisi secara periodic dan pijat permukaan tulang apabila pasien tidak bergerak
atau ditempat tidur.
c. Anjurkan permukaan kulit kering dan bersih , batasi penggunaan sabun.
d. Bantu untuk latihan rentang gerak.
e. Gunakan alat pelindung, misalnya kulit domba, keranjang, kasur tekanan udara atau
air. Pelindung tumit siku dan bantal sesuai indikasi. (kolaborasi) a. Kondisi kulit
dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi dan imobilisasi. Jaringan dapat menjadi rapuh dan
cenderung untuk infeksi dan rusak.
b. Meningkatkan sirkulasi kesemua kulit, membatasi iskemia jaringan atau
mempengaruhi hipoksia seluler.
c. Area lembab, terkontaminasi, memberikan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan organisme patogenik. Sabun dapat mengeringkan kulit secara
berlebihan.
d. Meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis.
e. Menghindari kerusakan kulit dengan mencegah atau menurunkan tekanan.

8 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan oksigen, kelemahan umum, batuk berlebihan dan dispnea ditandai dengan
klien mengatakan lamah dan tidak ada tenaga, klien hanya berbaring ditempat tidur,
aktivitas klien dibantu oleh keluarga dan perawat.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan klien dapat
melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan keluarga atau perawat dengan
kriteria hasil:
Pasien menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan
tidak adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan tanda vital normal. a. Monitor
keterbatasan aktivitas, kelemahan saat beraktivitas.
b. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas.
c. Bantu pasien perawatan diri yang diperlukan
d. Lakukan istirahat yang adekuat setelah beraktivitas
e. Berikan diet yang adekuat dengan kolaborasi ahli diet.
f. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan
a. Merencanakan intervensi yang tepat.
b. ADL-nya dapat terpenuhi.
c. Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai darah dan kebutuhan
O2
d. Membantu mengembalikan energi.
e. Metabolisme membutuhkan energi.
f. Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan
metabolic,menghemat energi untuk penyembuhan
10 Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan keluarga mengenai penyakit
yang diderita klien ditandai dengan keluarga klien mengatakan cemas dengan keadaan
klien, keluarga klien tidak mengetahui tanda dan gejala serta penyebab dari penyakit
bronkopneumonia, keluarga sering bertanya mengenai penyakit yang diderita klien.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan cemas keluarga
berkurang dan pengetahuan tentang penyakit yang dialami klien bertambah dengan
kriteria hasil:
a. Keluarga mengatakan tidak lagi khawatir dengan kondisi anaknya
b. Keluarga menunjukkan interaksi sosial yang epektif
c. Keluarga mengatakan tidak gelisah lagi
d. Keluarga tampak tenang a. Berikan kesempatan kepada keluarga untuk
mengungkapkan perasaannya
b. Berikan penjelasan kepapada keluarganya tentang penyakit yang dideritanya
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk berdoa Berikan kesempatan kepada klien untuk
memberikan masukan pada proses pengambilan keputusan a. Memberikan
kesempatan untuk memudahkan memecahkan masalah.
b. Mengurangi kecemasan klien dan keluarga terhadap penyakit yang dialaminya.
c. Agar merasa tenang
D. Daftar Pustaka
Alagaff, Hood, dkk. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press.
Aru W.Sudoyo,dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed V. Jakarta:
Bosswick, John A., Jr. 1988. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC.
Doenges, Marylin E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Kowalak, Jennifer P, Dkk. 2011. Buku Ajar Patofisiologi: Sistem Pernapasan
Manson, J. Robert. 2010. Murray & Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine, 5/e.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dangan Gangguan System
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Ed. IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Sudoyono, Aru W., dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai