Anda di halaman 1dari 41

BAHAN SKRIPSI UPAH KERJA

Pendahuluan

             Tenaga kerja dan upah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tenaga kerja
dan upah ini selalu menjadi tema yang menarik untuk dikaji. Sering kita dengar dan lihat,
demonstrasi kenaikan upah dari buruh-buruh atau serikat buruh yang concern terhadap
masalah ini. Seperti yang telah kita ketahui bahwa seringkali hak-hak buruh masih
terabaikan. Hal ini kebanyakan terjadi dinegara-negara berkembang. Oleh sebab itu kali
ini penulis mencoba untuk mengkaji masalah tenaga kerja dan upah di negara ini.

            Akhir-akhir ini terjadi suatu “gerakan” mengembalikan semua masalah kepada
agama. Kini orang-orang haus akan ajaran agama, berlomba-lomba untuk mencari solusi
dari kehidupan duniawi yang kompleks ini dengan kembali ke agama. Begitu juga
dengan bidang ekonomi. Timbul keraguan kepada Konsep Ekonomi Konvensional yang
selama ratusan tahun telah menjadi pedoman. Maka orang-orang mulai mencari konsep
ekonomi yang lebih baik, yaitu konsep ekonomi dari sudut pandang agama. Pembahasan
kali ini adalah Ekonomi Islam atau disebut juga Ekonomi Syariah.

Makalah ini ditulis dalam rangka sebagai tugas pengganti ujian tengah semester
untuk mata kuliah Ekonomi Syariah. Dengan ketentuan bahwa isi dari makalah ini adalah
komparasi mengenai tenaga kerja dan upah dari dua perspektif yang berbeda, yaitu
Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Syariah. Penulis melakukan studi literatur dari
sebuah tulisan Chris Manning, dari Australian National University, yang berjudul
“Kebijakan Upah Minimum: Apakah Indonesia Mulai Menempuh Rute Amerika
Latin?” , yang juga merupakan bahan dari kuliah Seminar Ekonomi Sumberdaya
Manusia dan Ketenagakerjaan penulis pada semester gasal 2004/2005 yang lalu. Dalam
tulisan ini diterangkan mengenai dua model kebijakan upah minimum, yaitu model
Amerika Latin dan model Asia Timur. Indonesia menggunakan dua model yang berbeda
ini, tepatnya pada saat pra krisis dan pasca krisis. Model Asia Timur digunakan pada
masa pra krisis sedangkan model Amerika Latin digunakan pada masa pasca krisis.
Setelah mengkaji tulisan itu, penulis akan mencoba mengkoreksi kekurangan-kekurangan
yang ada pada kedua model tersebut dengan menggunakan prinsip-prinsip yang ada pada
Ekonomi Islam.

 II. ISI

  Kebijakan yang sungguh-sungguh dibidang upah minimum merupakan suatu bagian


dari agenda reformasi ketenagakerjaan yang lebih luas. Kebijakan ini telah muncul dalam
periode setelah krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Pemerintah Indonesia telah
memberikan komitmennya kepada masalah yang satu ini, yaitu upah minimum tenaga
kerja. Menurut Chris Manning dari Australian National University, ada dua pendekatan
yang dapat dijadikan pilihan bagi Indonesia dalam menentukan upah minimum, yaitu
model kebijakan Amerika Latin dan model kebijakan Asia Timur. Nampaknya saat ini
pemerintah menggunakan model Amerika Latin, dimana buruh disektor modern
mendapatkan perlindungan yang ekstensif / luas. Perlindungan yang “berlebih” terhadap
buruh ini juga dapat menimbulkan masalah besar. Begitu juga dengan  model Asia Timur
yang kebalikan dari model Amerika Latin, dimana perlindungan terhadap tenaga kerja
tidak begitu diperhatikan. Dalam perjalanannya, penerapan model ini juga menghadapi
masalah, karena setiap model pasti tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu
digunakanlah Ekonomi Islam sebagai pembanding dan pengkoreksi.

Dalam makalah kali ini, penulis mencoba untuk menjelaskan terlebih dahulu
karakteristik dari model tenaga kerja Amerika Latin dan Asia Timur. Setelah itu
menghubungkannya dengan kondisi upah tenaga kerja yang ada di Indonesia.

Model Amerika Latin 

             Model ini lebih menyoroti sektor modern, yang meskipun relatif kecil dan
stagnan (pada negara-negara Amerika Latin), memiliki kelompok buruh yang terlindungi.
Model ini memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut :

1)     Biaya tenaga kerja tergolong tinggi menurut standar sektor modern di negara
sedang berkembang. Biaya yang tinggi tersebut tidak hanya disebabkan tingginya
upah minimum, tetapi juga dikarenakan tingginya payroll tax, pajak yang
dikenakan atas upah, dan ketatnya aturan terhadap penggunaan kontrak kerja dan
pemutuisan hubungan kerja.

2)     Terdapat ketimpangan yang besar dalam upah dan produktivitas antara sektor
modern dan sektor tradisional. Akibatnya distribusi pendapatan cenderung
timpang. Ketimpangan menjadi lebih parah karena kurangnya investasi dibidang
pendidikan pada negara-negara Amerika Latin.

3)     Tingkat pengangguran yang tetap tinggi. Mengapa tingkat pengangguran masih
tetap tinggi? Karena krisis ekonomi sering mengakibatkan PHK dan pekerjaan
baru tidak mudah diperoleh di sektor modern, karena kesempatan kerja yang baru
relatif kecil.

4)     Tingkat kemiskinan yang masih diatas negara-negara Asia Timur.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa biaya tenaga kerja disektor modern
di Amerika Latin tinggi? Peraturan perlindungan buruh yang meluas mendapat dukungan
dari gerakan serikat pekerja yang relatif kuat secara politis. Selain itu pembatasan-
pembatasan terhadap persaingan industri cenderung menguntungkan perusahaan-
perusahaan padat modal yang sanggup membayar upah yang sangat tinggi.

Model Asia Timur

            Asia Timur memilki sektor modern yang relatif besar dan pertumbuhan yang
pesat, dengan mobilitas yang tinggi. Namun  pada negara-negara Asia Timur ini, para
pekerja tidak dilindungi secara baik, baik melalui pengaturan kontrak kerja maupun
melalui ketatnya pengawasan terhadap PHK. Hak-hak mereka banyak yang belum
terpenuhi. Jaminan keselamatan kerja yang kurang baik adalah salah satu contohnya.
Namun model ini menawarkan kesempatan kerja yang relatif besar. Berikut adalah
karakteristik model Asia Timur :

1)     Biaya tenaga kerja disektor modern relatif rendah dibanding produktivitas
buruh.

2)     Distribusi pendapatan relatif merata, karena kecilnya perbedaan-perbedaan


dalam upah, biaya tenaga kerja, dan produktivitas antara sektor modern dan sektor
tradisional. Investasi dalam bidang pendidikan juga telah lebih baik daripada
negara-negara Amerika Latin tadi. Sehingga semakin banyak tenaga kerja
terampil yang tersedia.

3)     Tingkat pengangguran yang turun. Lebih mudah bagi para tenaga kerja di
negara-negara Asia Timur untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang
lainnya disektor modern daripada tenaga kerja yang berada di negara-negara
Amerika Latin, meskipun terjadi krisis ekonomi atau perubahan struktural.

4)     Tingkat kemiskinan telah berkurang di Asia Timur.

Namun serikat pekerja yang ada di negara-negara Asia Timur ini lemah, dan
dikendalikan oleh pemerintah dengan ketat. Peraturan mengenai syarat kerja sering
diabaikan, dan negara-negara Asia Timur ini sangat hati-hati dalam menerapkan upah
minimum, bahkan beberapa diantaranya tidak menerapkan sama sekali. Berarti telah
terjadi kegagalan untuk melindungi hak pekerja atau mengimplementasikan peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan buruh. Inilah kekurangan dari Model Asia
Timur.

Kondisi Tenga Kerja Indonesia Pra dan Pasca Krisisi Ekonomi 

            Pada saat sebelum krisis ekonomi terjadi atau tepatnya pada saat Orde baru masih
memerintah, Indonesia lebih condong untuk mengikuti model Asia Timur. Kesempatan
kerja tumbuh pesat disektor modern yang padat karya seiring dengan meluasnya ekspor.
Pekerja disektor modern mendapatkan penghasilan yang lebih banyak daripada disektor
tradisional. Investasi pemerintah dalam pendidikan dan kesehatan menyebabkan
meningkatnya produktivitas dan ketrampilan, dan menurunnya tingkat kemiskinan.
Namun dibalik semua itu terdapat kekurangan pada kondisi tenaga kerja Indonesia pada
saat itu. Serikat Buruh diIndonesia dikendalikan secara ketat dan penyalahgunaan hak-
hak buruh merupakan hal yang lumrah. Sekalipun undang-undang tentang perlindungan
tenaga kerja termasuk ekstensif, peraturan tenaga kerja, termasuk UMR, sering tidak
dilaksanakan.

            Setelah krisis ekonomi terjadi, sektor modern tumbuh kurang pesat dan
kemiskinan turun lebih lambat. Kesempatan kerja disektor informal meningkat lebih
cepat daripada sektor formal. Namun sekarang tidak terjadi pengekangan sebagaimana
yang terjadi pada masa Orde Baru. Undang-undang perburuhan telah benar-benar
diberlakukan secara semestinya dengan dukungan dari gerakan serikat pekerja yang lebih
kuat.

 Upah dalam Prinsip Ekonomi Islam     

Upah disebut juga dengan ujrah dalam Islam. Upah adalah bentuk kompensasi
atas jasa yang telah diberikan oleh tenaga kerja. Untuk mengetahui definisi upah versi
Islam secara menyeluruh, ada baiknya jika kita melihat terlebih dahulu Surat At Taubah :
105 dan An Nahl : 97.

Q.S. At Taubah : 105

“Dan Katakanlah:  Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberikanNya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.”

Q.S. An Nahl : 97

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Quraish Shihab dalam bukunya yaitu Tafsir Al Misbah menjelaskan At Taubah:105 ini
sbb, “bekerjalah kamu demi karena Allah semata dengan aneka amal yang shaleh dan
bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan
melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”. Ganjaran yang dimaksud
adalah upah atau kompensasi. Demikian juga dengan An Nahl:97, maksud dari kata
balasan dalam ayat tersebut adalah upah atau kompensasi. Jadi dalam Islam, jika
seseorang mengerjakan pekerjaan dengan niat karena Allah (amal shaleh) maka ia akan
mendapatkan balasan baik didunia (berupa upah) maupun diakhirat (berupa pahala), yang
berlipat ganda. Dari dua ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa upah dalam konsep
Islam memiliki dua aspek, yaitu dunia dan akhirat.

            Proses penentuan upah yang Islami berasal dari dua faktor, obyektif dan
Subyektif. Obyektif adalah upah ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah di pasar
tenaga kerja, sedangkan subyektif adalah upah ditentukan melalui pertimbangan-
pertimbangan sosial. Maksud dari pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai
kemanusiaan dari tenaga kerja tersebut. Selama ini ekonomi konvensional berpendapat
bahwa upah ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah dipasar tenaga kerja. Namun
ada sisi kemanusiaan yang harus diperhatikan pula. Misal, untuk tata cara pembayaran
upah, Rasulullah SAW bersabda:

“Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda:”Berikanlah upah orang upahan
sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani). Dari  hadist ini
dapat disimpulkan bahwa Islam sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Berbeda
dengan konvensional yang hanya memandang manusia sebagai barang modal. Manusia
tidak boleh diperlakukan seperti halnya  barang modal, misalnya mesin.

 Sadeeq(1992) menyebutkan beberapa ketentuan yang akan menjamin


diperlakukannya tenaga kerja secara manusiawi. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah
sbb:

-         Hubungan antara majikan (musta’jir) dan buruh (ajir) adalah man to man
brotherly relationship, yaitu hubungan persaudaraan.

-         Beban kerja dan lingkungan yang melingkupinya harus memperhatikan nilai-
nilai kemanusiaan. Seperti yang telah diutarakan diatas tadi manusia tidak sama
dengan barang modal. Manusia membutuhkan waktu untuk istirahat, sosialisasi,
dan yang terpenting adalah waktu untuk ibadah.

-         Tingkat upah minimum harus mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan dasar
dari para tenaga kerja.

Implementasi nilai-nilai kemanusiaan dalam penentuan upah yang Islami dapat berasal
dari dua sumber, yaitu :

1)     Musta’jir

2)     Pemerintah

Musta’jir yang beriman akan menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam penentuan upah
bagi ajir-nya. Termasuk didalam nilai kemanusiaan ini adalah unsur adil. Maksud dari
adil ini dapat kita lihat dari pandangan Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Pesan Nilai dan
Moral dalam Perekonomian Islam”, ia menjelaskan sebagai berikut :

Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan
pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam
terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan
yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal
itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya), karena setiap hak diiringi kewajiban.
Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi.
Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja” yang menjelaskan
masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Jadi maksud dari adil disini adalah harus ada kejelasan atau aqad (perjanjian) antara
musta’jir dan ajir. Seorang musta’jir harus adil dan tegas dalam proses penentuan upah
ini. Hak (upah) seorang ajir akan diberikan jika ia telah mengerjakan kewajibannya
(pekerjaannya) terlebih dahulu. Dalam implementasi nilai-nilai keadilan ini pemerintah
bertugas untuk melakukan intervensi dalam penentuan upah. Intervensi dari pemerintah
ini dilandasi oleh dua hal, yaitu :

-         Adanya kewajiban untuk mengawasi, menjaga, dan mengkoreksi implementasi


nilai-nilai keIslaman kehidupan rakyatnya, termasuk didalamnya kebijakan
mengenai upah

-         Adanya kewajiban pemerintah untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan


rakyatnya, dalam hal ini baik musta’jir maupun ajir.

Dalam Islam, intervensi pasar ini sebenarnya sifatnya hanya temporer. Pemerintah akan
melakukan intervensi jika  pasar terdistorsi sehingga akhirnya upah yang dihasilkan
bukanlah upah yang adil.

Jadi dapat disimpulkan dari keseluruhan penjelasan diatas mengenai upah


menurut prinsip Islam adalah, dalam penentuan upah, Islam menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dari tenaga kerja. Selama ini hak-hak tenaga kerja selalu dipinggirkan.
Model Asia Timur misalnya, tenaga kerja tidak dilindungi hak-haknya. Upah yang
mereka terima rendah, tidak cukup untuk menghidupi mereka dan keluarganya. Hal ini
sangat bertentangan dengan pandangan Islam, karena syarat upah dalam Islam adalah
adil. Adil itu tidak hanya dilihat dari sisi tenaga kerja (ajir), tetapi juga dari sisi majikan
(musta’jir). Oleh sebab itu Islam tidak membenarkan penetapan upah yang hanya
memperhatikan tenaga kerja, yaitu bertujuan hanya untuk mensejahterakan tenaga kerja
semata. Disisi lain pihak produsen atau majikan juga diperhatikan kesejahteraannya.

Ada alternatif yang ditawarkan oleh Islam, jika penentuan upah melalui
mekanisme pasar dan kebijakan upah minimum pemerintah tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Ada dua alternatif yang ditawarkan, yaitu:

-         Memberikan subsidi kepada pihak produsen. Subsidi tersebut diberikan agar
produsen tetap dapat memberikan upah yang layak kepada tenaga kerja.

-         Memberikan subsidi kepada pihak tenaga kerja. Subsidi ini lebih tepatnya
disebut dengan jaminan sosial. Jadi tenaga kerja tetap mendapat tingkat upah
pasar, namun mereka juga mendapat jaminan sosial sebagai bentuk perhatian
pemerintah terhadap kesejahteraan mereka.   

Dalam langkahnya ini pemerintah dapat menggunakan dana dari baitul maal (keuangan
negara). Contoh dari subsidi ini dapat dari, misalnya, masa  pemerintahan Umar, subsidi
itu diberikan dalam bentuk :

-         Ransum atau jatah tetap setiap orang.

-         Subsidi tahunan tunai yang bersifat tetap bagi mereka yang ikut berjihad.
Setelah membaca dari uraian diatas, maka tepat jika dikatakan Islam itu adalah
Rahmatan lil Alamiin, ajaran Islam itu tidak lekang oleh zaman. Prinsip-prinsip
konvensional yang selama ini menjadi pedoman ternyata juga memiliki keterbatasan-
keterbatasan. Dan akhirnya Islam lah yang menjawab keterbatasan-keterbatasan tersebut.

  III. Penutup

 Memang jika dilihat secara kasat mata, tenaga kerja di negara-negara


berkembang, sangat memerlukan kepastian akan perlindungan hak-haknya. Indonesia
misalnya, mengadopsi dua model kebijakan mengenai tenaga kerja, yaitu model Amerika
Latin dan Asia Timur. Dan penerapan dari kedua model ini dilakukan Indonesia pada dua
periode yang berbeda, yaitu pada masa Orde Baru dan setelah itu Orde Reformasi. Pada
saat sebelum terjadi krisis ekonomi atau dikenal juga dengan masa Orde Baru, Indonesia
lebih condong kepada model Asia Timur, dimana undang-undang perlindungan tenaga
kerja diabaikan, “pengkerdilan” peran serikat pekerja oleh pemerintah, dll. Sedangkan
saat ini pemerintah menggunakan model Amerika Latin, dimana buruh disektor modern
mendapatkan perlindungan yang ekstensif , luas, atau agresif.

Namun sebenarnya kebijakan upah minimum dan perlindungan tenaga kerja yang
agresif bisa saja merugikan kepentingan sebagian besar pekerja. Bahaya yang dapat
ditimbulkan dari kebijakan yang agresif adalah bahwa kesenjangan antara pekerja
disektor modern dan tradisional akan makin melebar, dan pertumbuhan kesempatan kerja
dalam pekerjaan lebih baik (better jobs) akan melambat. Begitu juga surplus tenaga kerja
dari sektor tradisional ke sektor modern juga akan ikut melambat. Yang sangat
dibutuhkan adalah kebijakan upah minimum dan kebijakan perlindungan buruh yang
paling efektif bagi semua pekerja, baik yang berada disektor modern dan tradisional.

Model Asia Timur dan Amerika Latin yang telah dijelaskan sebelumnya diatas
adalah bagian penerapan dari konsep-konsep konvensional. Dalam perjalanannya
penerapan konsep-konsep konvensional ini menemukan kebuntuan, karena konsep-
konsep konvensional ini juga memiliki kekurangan. Oleh karena itu Islam bisa dijadikan
alternatif sebagai solusi untuk memecah kebuntuan tersebut. Misal, masih banyak hak-
hak tenaga kerja yang belum terpenuhi. Standar kesejahteraan tenaga kerja yang masih
rendah. Islam sangat menentang hal-hal diatas ini. Didalam Islam hak-hak manusia telah
dijamin oleh Allah SWT. Allah telah memberikan semua apa yang kita butuhkan untuk
hidup didunia ini, udara untuk bernafas, air untuk minum, dll. Jika Allah berbuat
demikian, mengapa masih ada manusia yang mengekang hak-hak manusia yang lain,
mengapa masih ada majikan yang tidak memenuhi hak-hak pekerjanya.

Dari sini dapat kita lihat perbedaan yang mendasar antara pandangan Islam dan
konvensional. Perbedaan tersebut ada dua, yaitu :

1)     Islam melihat upah sangat besar kaitannya dengan konsep moral atau
kemanusiaan sedangkan konvensional tidak.
2)     Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi, tetapi juga menembus batas
kehidupan, yaitu dimensi akhirat yang disebut juga dengan pahala sedangkan
konvensional tidak.

Islam adalah solusi dari berbagai macam problema yang ada didunia ini, tak
terkecuali problema dalam bidang ekonomi. Oleh sebab itu marilah kita sama-sama
sadari bahwa sudah saatnya kita untuk kembali ke jalan agama, mencari solusi melalui
agama, mempelajari agama secara kaffah atau menyeluruh. Dengan demikian kita lebih
siap untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan permasalahan yang rumit ini.

Bahan 2

Author : Hendri Tanjung


Site : www.pusatartikel.com

Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak
tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah
pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut
pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan
atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga   dalam pengertian barat,
Perbedaan gaji  dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan
sistem pembayarannya (bulanan atau tidak).  Meskipun titik berat antara upah dan       
gaji    terletak    pada     jenis     karyawannya apakah tetap ataukah tidak.

“Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang
dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang,
oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja”  (Konvensi ILO
nomor 100).2

Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional : Upah adalah suatu penerimaan sebagai
imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah
dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi
kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.3

Dalam hal perbedaan pengertian upah dan gaji menurut konsep Barat di atas, maka Islam
menggariskan upah dan gaji lebih komprehensif dari pada Barat.

Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Qur’an sbb :

“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang
Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu
kerjakan.” (At Taubah : 105).
Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya
Tafsir Al-Misbah sbb :

“Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan
bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan
melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”4

Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran
terhadap amal-amal itu.  Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan atau upah atau
compensation.

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl : 97).

Dalam menafsirkan At Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya
Tafsir Al-Misbah sbb :

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki
maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas
dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan
kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan
kami berikan balasan kepada mereka semua di dunia  dan di akherat dengan pahala yang
lebih    baik dan   berlipat  ganda dari  apa   yang telah mereka kerjakan“.5

Tafsir dari balasan dalam keterangan d iatas adalah balasan di dunia dan di akherat.  Ayat
ini menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah
imbalan dunia dan imbalan akherat.  Amal Saleh sendiri oleh Syeikh Muhammad Abduh
didefenisikan sebagai segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok
dan manusia secara keseluruhan.6 Sementara menurut Syeikh Az-Zamakhsari, Amal
Saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah
Nabi Muhammad Saw.7 Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari diatas,
maka seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan
sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau
mengusahakan barang-barang yang haram.  Dengan demikian, maka seorang karyawan
yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan
imbalan di akherat.

“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al
Kahfi : 30).

Berdasarkan tiga ayat diatas, yaitu  At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan                  Al-Kahfi
30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan
akherat.  Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan kepada akherat  itu
lebih penting daripada penekanan  terhadap    dunia    (dalam   hal   ini     materi)
sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.

Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan
Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat
ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar.  Sebab
kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab.
Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan
balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).

Lebih jauh Surat An-Nahl : 97 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam
menerima upah / balasan dari Allah.  Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi
upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama.  Hal yang menarik
dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang
halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala).

Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang
telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil.  Allah tidak akan berlaku zalim
dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya.  Konsep keadilan dalam upah inilah yang
sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.

Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh
Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :

“ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka
di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya
maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi
pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka
dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti
itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8

Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia)
mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang.  Perkataan :
“harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus
menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.

Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w
bersabda :

“Siap yang menjadi pekerja bagi kita,    hendaklah    ia   mencarikan    isteri (untuknya);
seorang  pembantu  bila    tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk
pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat
tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw.
bersabda: “Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang
keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9
Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan
azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk
mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri).  Hal ini ditegaskan lagi
oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa
Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan
istri juga merupakan kewajiban majikan, karena istri adalah kebutuhan pokok bagi para
karyawan.10

Sehingga dari ayat-ayat  Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat
didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas
pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam
bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

Dari uraian diatas, paling tidak terdapat 2 Perbedaan konsep Upah antara Barat dan
Islam: pertama,  Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral,
sementara Barat tidak.  Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan
atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang
disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah
antara Barat dan Islam adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip
kelayakan (kecukupan).

Tabel 1. Konsep Upah antara Barat dan Islam

No Aspek Barat Islam


Keterkaitan yang
1 erat antara UPAH Tidak Ya
dengan MORAL
Upah memiliki
2 dua dimensi : Tidak Ya
Dunia dan akherat
Upah diberikan
berdasarkan
3 Ya Ya
Prinsip Keadilan 
(justice)
Upah diberikan
4 berdasarkan Ya Ya
prinsip Kelayakan

ADIL

Organisasi yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan


organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa.  Konsep adil ini merupakan ciri-ciri
organisasi yang bertaqwa.  Al-Qur’an menegaskan :

“Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
ADIL bermakna JELAS dan TRANSPARAN

“Hai orang-orang yang beriman, apabila   kamu   bemua’malah   tidak     secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.  Dan hendaklah seorang
penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.  Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya.  Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur.  Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki diantaramu.  Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang  perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya.  Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya.  Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mua’malahmu
itu), kecuali jika mua’malah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
(jika) kamu tidak menulisnya.  Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.  Jika kamu lakukan (yang
demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282)

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Maidah : 1).

Nabi bersabda :

“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan
gajinya, terhadap apa yang dikerjakan”. (HR. Baihaqi).11

Dari dua ayat Al-Qur’an dan hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa
prinsip utama keadilan terletak pada Kejelasan aqad (transaksi)  dan komitmen
melakukannya.  Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan
pengusaha.  Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah
yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara
pembayaran upah.  Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah bersabda :

“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan
sebelum kering keringatnya“. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).12

Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan
Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut :
Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan
pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam
terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram.  Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang
benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu
diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan
kewajiban.  Selama ia mendapatkan  upah  secara penuh, maka kewajibannya juga harus
dipenuhi.  Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja” yang
menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.13

Dari penjelasan Syeikh Qardhawi diatas, dapat dilihat bahwa upah atau gaji merupakan
hak karyawan selama karyawan tersebut bekerja dengan baik. Jika pekerja tersebut tidak
benar dalam bekerja (yang dicontohkan oleh Syeikh Qardhawi dengan bolos tanpa alasan
yang jelas), maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan. Hal ini menjelaskan kepada
kita bahwa selain hak karyawan memperoleh upah  atas apa yang diusahakannya, juga
hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari karyawan dengan baik. Bahkan Syeikh
Qardhawi mengatakan bahwa bekerja  yang baik merupakan  kewajiban karyawan atas
hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban
perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya.  Dalam keadaan masa kini,
maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian
yang ada di masing-masing perusahaan. Hadits lain yang menjelaskan tentang
pembayaran upah ini adalah :

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau
bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh
mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan
memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya.
Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan
uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan
dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya” (HR. Bukhari).14

Hadits-hadits diatas menegaskan tentang waktu pembayaran upah, agar sangat


diperhatikan.  Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim
dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi
oleh Nabi saw pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan
sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh).

ADIL bermakna PROPORSIONAL

“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan
agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang
mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf  :  19).

“Dan kamu tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.
Yaasin : 54).
“Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (QS. An-Najm : 39).

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas menurut berat
pekerjaannya itu.  Konteks ini yang oleh pakar manajemen Barat diterjemahkan menjadi
equal pay for equal job, yang artinya, upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama. 
Jika ada dua orang atau lebih mengerjakan pekerjaan yang sama, maka upah mereka
mesti sama.  Prinsip ini telah menjadi hasil konvensi International Labour Organization
(ILO) nomor 100.15

Sistem manajemen penggajian HAY atau yang sering disebut dengan Hay System, telah
menerapkan konsep ini.  Siapapun pekerja atau karyawannya, apakah tua atau muda,
berpendidikan atau tidak, selagi mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, maka mereka
akan dibayar dengan upah yang sama.

LAYAK

Jika Adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari
berat pekerjaannya,   maka  Layak  berhubungan dengan besaran yang diterima

LAYAK bermakna CUKUP PANGAN, SANDANG, PAPAN

Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w
bersabda :

“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di
bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya
maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi
pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka
dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti
itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).16

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw.
bersabda:

“Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda :  „Siapa yang menjadi pekerja bagi
kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pembantu bila tidak memilikinya,
hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. .  Bila ia tidak mempunyai tempat
tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu   Bakar   mengatakan:

Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda  : Siapa yang mengambil sikap
selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR Abu  Daud).17

Dari dua hadits diatas, dapat diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja
dilihat dari 3 aspek yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat
tinggal).  Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi tugas
majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya.  Artinya, hubungan antara
majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi
karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan.  Konsep menganggap karyawan
sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih 14 abad yang lalu telah
dicetuskan.

Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka
(pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya  di luar
lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson menulis
dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang artinya kira-
kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin
acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit
untuk dipahami para pengusaha Barat“.[1] Konsep inilah yang sangat berbeda dengan
konsep upah menurut Barat. Konsep upah menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari    
konsep moral.  Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang   pegawai di Barat  sangat   kecil

karena pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning service).  Tetapi dalam konsep
Islam, meskipun cleaning service, tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama
dalam menentukan berapa upah yang akan diberikan.

LAYAK bermakna SESUAI DENGAN PASARAN

“Dan janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syua’ra 26 : 183).

Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara
mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya.  Dalam pengertian yang lebih jauh,
hak-hak dalam upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh
dibawah upah yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi,
yang upah perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-.  Tetapi di perusahaan
tertentu diberi upah Rp 500.000,-.  Hal ini berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut.
Dengan kata lain, perusahaan tersebut telah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp
400.000,- perbulan.  Jika ini dibiarkan terjadi, maka pengusaha sudah tidak berbuat layak
bagi si pekerja tersebut.

Dari uraian Upah menurut Konsep Islam diatas, maka dapat digambarkan bagaimana
konsep Upah dalam Islam seperti tertera dalam Gambar 2  Dapat dilihat bahwa Upah
dalam konsep Syariah memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akherat. 
Untuk menerapkan upah  dalam  dimensi  dunia,   maka  konsep moral merupakan  hal
yang  sangat  penting    agar pahala dapat diperoleh sebagai dimensi akherat dari upah
tersebut.  Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak akan tercapai. Oleh karena
itulah konsep moral diletakkan pada kotak paling luar, yang artinya, konsep moral
diperlukan untuk menerapkan upah dimensi dunia agar upah dimensi akherat dapat
tercapai.
Dimensi upah di dunia dicirikan oleh 2 hal, yaitu adil dan layak.  Adil bermakna bahwa
upah yang diberikan harus jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa
upah yang diberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak
jauh berada di bawah pasaran. Aturan manajemen upah ini perlu didudukkan pada
posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam
mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan karyawannya di perusahan.

Kesimpulan

Upah menurut Barat adalah Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap
emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam
bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan
hubungan kerja.  Sedangkan Upah menurut Islam adalah imbalan yang diterima
seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan
dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

Perbedaan pandangan terhadap Upah antara Barat dan Islam terletak dalam 2 hal :
pertama,  Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara
Barat tidak.  Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau
keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut
dengan Pahala, sementara Barat tidak.  Adapun persamaan kedua konsep Upah antara
Barat dan Islam terletak pada prinsip keadilan (justice) dan prinsip kelayakan
(kecukupan).

Rambu-rambu pengupahan dalam Islam ada 2 yakni adil dan layak.  Adil bermakna 2
hal ; (1) jelas dan transparan, (2) proporsional.  Sedangkan Layak bermakna 2 hal;(1),
cukup pangan, sandang dan papan, (2), sesuai dengan pasaran.

Saran

Berhubung penelitian ini tidak membahas teori-teori pengupahan yang selama ini
dikenal, maka untuk penelitian lanjutan, perlu dilakukan penelitian tentang teori-teori itu
apakah sudah sesuai dengan syariah atau belum.  Jika belum sesuai dengan syariah, maka
perlu modifikasinya agar sesuai dengan syariah.

Simpan Artikel : Pengertian Upah dalam Konsep Islam


Click Here to Advertise on My Blog
Upload, Share dan Earn to ziddu.com

Bahan 3
Author : Hendri Tanjung
Site : www.pusatartikel.com

Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak
tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah
pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut
pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan
atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga   dalam pengertian barat,
Perbedaan gaji  dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan
sistem pembayarannya (bulanan atau tidak).  Meskipun titik berat antara upah dan       
gaji    terletak    pada     jenis     karyawannya apakah tetap ataukah tidak.

“Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang
dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang,
oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja”  (Konvensi ILO
nomor 100).2

Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional : Upah adalah suatu penerimaan sebagai
imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah
dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi
kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.3

Dalam hal perbedaan pengertian upah dan gaji menurut konsep Barat di atas, maka Islam
menggariskan upah dan gaji lebih komprehensif dari pada Barat.

Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Qur’an sbb :

“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang
Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu
kerjakan.” (At Taubah : 105).

Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya
Tafsir Al-Misbah sbb :

“Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan
bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan
melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”4

Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran
terhadap amal-amal itu.  Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan atau upah atau
compensation.
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl : 97).

Dalam menafsirkan At Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya
Tafsir Al-Misbah sbb :

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki
maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas
dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan
kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan
kami berikan balasan kepada mereka semua di dunia  dan di akherat dengan pahala yang
lebih    baik dan   berlipat  ganda dari  apa   yang telah mereka kerjakan“.5

Tafsir dari balasan dalam keterangan d iatas adalah balasan di dunia dan di akherat.  Ayat
ini menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah
imbalan dunia dan imbalan akherat.  Amal Saleh sendiri oleh Syeikh Muhammad Abduh
didefenisikan sebagai segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok
dan manusia secara keseluruhan.6 Sementara menurut Syeikh Az-Zamakhsari, Amal
Saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah
Nabi Muhammad Saw.7 Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari diatas,
maka seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan
sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau
mengusahakan barang-barang yang haram.  Dengan demikian, maka seorang karyawan
yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan
imbalan di akherat.

“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al
Kahfi : 30).

Berdasarkan tiga ayat diatas, yaitu  At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan                  Al-Kahfi
30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan
akherat.  Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan kepada akherat  itu
lebih penting daripada penekanan  terhadap    dunia    (dalam   hal   ini     materi)
sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.

Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan
Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat
ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar.  Sebab
kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab.
Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan
balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
Lebih jauh Surat An-Nahl : 97 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam
menerima upah / balasan dari Allah.  Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi
upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama.  Hal yang menarik
dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang
halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala).

Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang
telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil.  Allah tidak akan berlaku zalim
dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya.  Konsep keadilan dalam upah inilah yang
sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.

Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh
Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :

“ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka
di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya
maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi
pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka
dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti
itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8

Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia)
mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang.  Perkataan :
“harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus
menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.

Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w
bersabda :

“Siap yang menjadi pekerja bagi kita,    hendaklah    ia   mencarikan    isteri (untuknya);
seorang  pembantu  bila    tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk
pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat
tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw.
bersabda: “Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang
keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9

Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan
azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk
mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri).  Hal ini ditegaskan lagi
oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa
Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan
istri juga merupakan kewajiban majikan, karena istri adalah kebutuhan pokok bagi para
karyawan.10
Sehingga dari ayat-ayat  Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat
didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas
pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam
bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

Dari uraian diatas, paling tidak terdapat 2 Perbedaan konsep Upah antara Barat dan
Islam: pertama,  Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral,
sementara Barat tidak.  Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan
atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang
disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah
antara Barat dan Islam adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip
kelayakan (kecukupan).

Tabel 1. Konsep Upah antara Barat dan Islam

No Aspek Barat Islam


Keterkaitan yang
1 erat antara UPAH Tidak Ya
dengan MORAL
Upah memiliki
2 dua dimensi : Tidak Ya
Dunia dan akherat
Upah diberikan
berdasarkan
3 Ya Ya
Prinsip Keadilan 
(justice)
Upah diberikan
4 berdasarkan Ya Ya
prinsip Kelayakan

ADIL

Organisasi yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan


organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa.  Konsep adil ini merupakan ciri-ciri
organisasi yang bertaqwa.  Al-Qur’an menegaskan :

“Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).

ADIL bermakna JELAS dan TRANSPARAN

“Hai orang-orang yang beriman, apabila   kamu   bemua’malah   tidak     secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.  Dan hendaklah seorang
penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.  Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya.  Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur.  Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki diantaramu.  Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang  perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya.  Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya.  Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mua’malahmu
itu), kecuali jika mua’malah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
(jika) kamu tidak menulisnya.  Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.  Jika kamu lakukan (yang
demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282)

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Maidah : 1).

Nabi bersabda :

“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan
gajinya, terhadap apa yang dikerjakan”. (HR. Baihaqi).11

Dari dua ayat Al-Qur’an dan hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa
prinsip utama keadilan terletak pada Kejelasan aqad (transaksi)  dan komitmen
melakukannya.  Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan
pengusaha.  Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah
yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara
pembayaran upah.  Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah bersabda :

“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan
sebelum kering keringatnya“. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).12

Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan
Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut :

Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan
pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam
terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram.  Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang
benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu
diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan
kewajiban.  Selama ia mendapatkan  upah  secara penuh, maka kewajibannya juga harus
dipenuhi.  Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja” yang
menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.13

Dari penjelasan Syeikh Qardhawi diatas, dapat dilihat bahwa upah atau gaji merupakan
hak karyawan selama karyawan tersebut bekerja dengan baik. Jika pekerja tersebut tidak
benar dalam bekerja (yang dicontohkan oleh Syeikh Qardhawi dengan bolos tanpa alasan
yang jelas), maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan. Hal ini menjelaskan kepada
kita bahwa selain hak karyawan memperoleh upah  atas apa yang diusahakannya, juga
hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari karyawan dengan baik. Bahkan Syeikh
Qardhawi mengatakan bahwa bekerja  yang baik merupakan  kewajiban karyawan atas
hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban
perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya.  Dalam keadaan masa kini,
maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian
yang ada di masing-masing perusahaan. Hadits lain yang menjelaskan tentang
pembayaran upah ini adalah :

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau
bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh
mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan
memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya.
Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan
uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan
dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya” (HR. Bukhari).14

Hadits-hadits diatas menegaskan tentang waktu pembayaran upah, agar sangat


diperhatikan.  Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim
dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi
oleh Nabi saw pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan
sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh).

ADIL bermakna PROPORSIONAL

“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan
agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang
mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf  :  19).

“Dan kamu tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.
Yaasin : 54).

“Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah


diusahakannya.” (QS. An-Najm : 39).

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas menurut berat
pekerjaannya itu.  Konteks ini yang oleh pakar manajemen Barat diterjemahkan menjadi
equal pay for equal job, yang artinya, upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama. 
Jika ada dua orang atau lebih mengerjakan pekerjaan yang sama, maka upah mereka
mesti sama.  Prinsip ini telah menjadi hasil konvensi International Labour Organization
(ILO) nomor 100.15

Sistem manajemen penggajian HAY atau yang sering disebut dengan Hay System, telah
menerapkan konsep ini.  Siapapun pekerja atau karyawannya, apakah tua atau muda,
berpendidikan atau tidak, selagi mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, maka mereka
akan dibayar dengan upah yang sama.

LAYAK

Jika Adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari
berat pekerjaannya,   maka  Layak  berhubungan dengan besaran yang diterima

LAYAK bermakna CUKUP PANGAN, SANDANG, PAPAN

Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w
bersabda :

“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di
bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya
maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi
pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka
dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti
itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).16

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw.
bersabda:

“Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda :  „Siapa yang menjadi pekerja bagi
kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pembantu bila tidak memilikinya,
hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. .  Bila ia tidak mempunyai tempat
tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu   Bakar   mengatakan:

Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda  : Siapa yang mengambil sikap
selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR Abu  Daud).17

Dari dua hadits diatas, dapat diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja
dilihat dari 3 aspek yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat
tinggal).  Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi tugas
majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya.  Artinya, hubungan antara
majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi
karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan.  Konsep menganggap karyawan
sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih 14 abad yang lalu telah
dicetuskan.
Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka
(pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya  di luar
lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson menulis
dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang artinya kira-
kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin
acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit
untuk dipahami para pengusaha Barat“.[1] Konsep inilah yang sangat berbeda dengan
konsep upah menurut Barat. Konsep upah menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari    
konsep moral.  Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang   pegawai di Barat  sangat   kecil

karena pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning service).  Tetapi dalam konsep
Islam, meskipun cleaning service, tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama
dalam menentukan berapa upah yang akan diberikan.

LAYAK bermakna SESUAI DENGAN PASARAN

“Dan janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syua’ra 26 : 183).

Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara
mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya.  Dalam pengertian yang lebih jauh,
hak-hak dalam upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh
dibawah upah yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi,
yang upah perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-.  Tetapi di perusahaan
tertentu diberi upah Rp 500.000,-.  Hal ini berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut.
Dengan kata lain, perusahaan tersebut telah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp
400.000,- perbulan.  Jika ini dibiarkan terjadi, maka pengusaha sudah tidak berbuat layak
bagi si pekerja tersebut.

Dari uraian Upah menurut Konsep Islam diatas, maka dapat digambarkan bagaimana
konsep Upah dalam Islam seperti tertera dalam Gambar 2  Dapat dilihat bahwa Upah
dalam konsep Syariah memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akherat. 
Untuk menerapkan upah  dalam  dimensi  dunia,   maka  konsep moral merupakan  hal
yang  sangat  penting    agar pahala dapat diperoleh sebagai dimensi akherat dari upah
tersebut.  Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak akan tercapai. Oleh karena
itulah konsep moral diletakkan pada kotak paling luar, yang artinya, konsep moral
diperlukan untuk menerapkan upah dimensi dunia agar upah dimensi akherat dapat
tercapai.

Dimensi upah di dunia dicirikan oleh 2 hal, yaitu adil dan layak.  Adil bermakna bahwa
upah yang diberikan harus jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa
upah yang diberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak
jauh berada di bawah pasaran. Aturan manajemen upah ini perlu didudukkan pada
posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam
mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan karyawannya di perusahan.
Kesimpulan

Upah menurut Barat adalah Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap
emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam
bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan
hubungan kerja.  Sedangkan Upah menurut Islam adalah imbalan yang diterima
seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan
dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

Perbedaan pandangan terhadap Upah antara Barat dan Islam terletak dalam 2 hal :
pertama,  Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara
Barat tidak.  Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau
keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut
dengan Pahala, sementara Barat tidak.  Adapun persamaan kedua konsep Upah antara
Barat dan Islam terletak pada prinsip keadilan (justice) dan prinsip kelayakan
(kecukupan).

Rambu-rambu pengupahan dalam Islam ada 2 yakni adil dan layak.  Adil bermakna 2
hal ; (1) jelas dan transparan, (2) proporsional.  Sedangkan Layak bermakna 2 hal;(1),
cukup pangan, sandang dan papan, (2), sesuai dengan pasaran.

Saran

Berhubung penelitian ini tidak membahas teori-teori pengupahan yang selama ini
dikenal, maka untuk penelitian lanjutan, perlu dilakukan penelitian tentang teori-teori itu
apakah sudah sesuai dengan syariah atau belum.  Jika belum sesuai dengan syariah, maka
perlu modifikasinya agar sesuai dengan syariah.

Simpan Artikel : Pengertian Upah dalam Konsep Islam


Click Here to Advertise on My Blog
Upload, Share dan Earn to ziddu.com

Bahan 4

Fenomena buruh sedikit banyak telah menyedot perhatian masa sejak terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad
XV yang memaksa manusia untuk bekerja di pabrik-pabrik , lahan tambang, perkebunan dan lain-lain. Revolusi
industri yang diklaim sejarawan sebagai tonggak kebangkitan Eropa setelah sejak berabad-abad lamanya tenggelam
dalam kegelapan kekuasaan para Kaisar dengan doktrin-doktrin gerejanya ( sejak saat itu dimulai babak baru setelah
adanya kompromi antara Kaisar dengan kaum ilmuan untuk memisahkan agama dari kehidupan, sebagai cikal bakal
sekularisasi ), melahirkan fenomena-fenomena baru di tengah masyarakat. Di antaranya, muncul kelas pemodal
( kaum borjuis ) yang ' mengorganisasi' dan 'mengeksploitir' buruh untuk bekerja pada pabrik-pabrik mereka. Pada sisi
lain, sistim feodalistik ini melahirkan kelompok masyarakat miskin, kelas pekerja ( kaum proletar ), yang menjadi
'budak' bagi para pemodal. Mereka diperas tenaganya secara paksa, tidak hanya orang laki-laki dewasa tapi juga
anak-anak dan pekerja-pekerja wanita. Mereka diperlakukan layaknya seperti binatang.

Ide liberalisme ( kebebasan ) dengan landasan utama sekularisme, yang menjadi acuan para 'pembangkit' Eropa telah
melahirkan keserakahan demi keserakahan delam menggapai 'kemuliaan' dunia. Maka bangsa-bangsa Eropa ramai-
ramai melancarkan imperialisme ( penjajahan ) kepada bangsa-bangsa lain yang menguntungkan secara geografis
( adanya kekayaan alam ). Tercatatlah seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol dan Portugis menjadi kolonialis-
kolonialis pada era itu hingga diusirnya mereka dari daerah jajahannya.

Jan Bremen , sosiolog Belanda , mengobservasi nasib para buruh ( baca : kuli ) pada masa kolonialisme Belanda
dalam bukunya Menjinakkan Sang Kuli ( Pustaka Grafiti, 1977, terjemah ). Lewat penelitian dengan memanfaatkan
dokumen-dokumen resmi pemerintah kolonial yang selama ini tersembunyi, ia memaparkan praktek keji politik kolonial
terhadap ribuan kuli asal Cina, India, Jawa dan daerah-daerah lain di Sumatra yang dipekerjakan di perkebunan
Sumatra Timur pada awal abad 19 hingga awal abad 20.

Para kuli kontrak tersebut , tulis Jan Bremen--yang karena keberaniannya ia harus menanggung reksiko dituduh tidak
menghargai perstasi bangsanya sendiri--jika dianggap bersalah diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Mereka
diseret kuda dengan tangan terikat, dicambuk dengan daun jelantang kemudian disiram air, digantung, ditusuk bagian
bawah kukunya dengan serpihan bambu, dan untuk kuli perempuan--maaf--digosok kemaluannya dengan merica
halus.

Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang memilukan akibat imperialisme yang sudah menjadi bagian dari
paradaban kapitalisme.

Kapitalisme sebagai sebuah ideologi--diambil dari pengertian capital ( modal ) --memiliki aktivitas yang paling menonjol
yakni mencari harta sebanyak-banyaknya dengan sebebas-bebasnya. ( hurriyah at tamaluk ). Dengan demikian
sampai saat ini pun aktivitas imperialisme dari ideologi kapitalisme belum berakhir. Bahkan semakin merajalela,
dikarenakan ideologi kapitalisme menjadi ideologi tunggal setelah Islam ( mabda Islam ) dihancurkan Barat pada tahun
1924 , dan ideologi komunisme runtuh dengan sendirinya di tahun 1990.

Demi menyelesaikan problem perburuhan, para buruh di beberapa negara banyak yang membentuk partai politik .
Partai politik ini mereka maksudkan untuk perjuangan kelas ( class strunggle ) agar tercapai kesamaan ( equality )
diantara para buruh dan majikan. Teori ini dipengaruhi analisis Karl Marx ( Bapak Komunisme ) yang bercita-cita
menghilangkan sama sekali kelas dalam masyarakat ( masyarakat tampa kelas ). Padahal dengan tergantinya pihak
yang menzolimi ( kaum Borjuis ) oleh kaum proletar ( yang terzolimi ) , maka orang yang terzholimi itu kemudian ganti
menjelma menjadi kelas orang zolim baru, sebagai tindakan konservatif . ( Lihat, An Nabhaniy, Nizdam Iqthishad fil
Islam ).

Di Indonesia sendiri mulai nampak kesadaran kaum buruh akibat ulah kesewenang-wenangan pengusaha yang tidak
memberikan upah yang layak sebagai imbalan atas kerja mereka, PHK secara sepihak, dan lain-lain Maka berbagai
demonstrasi pun digelar ( tidak jarang yang disertai pengrusakan ) mogok kerja dan aksi-aksi lainnya dalam
memperjuangkan nasibnya. Harga mahal yang harus dibayar akibat berbagai aksi tersebut , baik bagi buruh sendiri,
pihak pengusaha dan stabilitas nasional pun terganggu. Buruh terancam PHK tampa pesangon, buruh diintimidasi
bahkan terancam jiwanya. Sementara pihak perusahaan menanggung reksiko kehilangan produktivitas, selain
ancaman kerugian fisik akibat amuk buruh. Dan secara politis, persoalan ini menjadi lahan subur untuk menyusupkan
ideologi komunisme, dengan senjata ampuhnya-pembelaan dan janji-janji indah kepada kaum lemah ini ( para buruh ).
Juga pemecahan dengan metode sekuler yang berakibat pada disfungsionalisasi ajaran agama. Bagaimanakah
dengan Islam ? apakah perlakuan ( aturan-aturan ) Islam terhadap buruh dapat menyelesaikan dan menuntaskan
problem perburuhan ?

KONTRAK KERJA DALAM ISLAM

Di dalam Islam , problem perburuhan diatur oleh hukum-hukum "kontrak kerja " ( Ijaroh ). Secara definisi, Ijaroh adalah
' transaksi ( aqad ) atas jasa/manfaat tertentu dengan suatu konpensasi atau upah'. ( lihat An Nabhaniy dalam
Nidzham Iqthishad fil Islam ). Syarat tercapainya transaksi ijaroh tersebut adalah kelayakan dari orang-orang yang
melakukan aqad, yaitu , si penyewa tenaga atau majikan ( disebut dengan Musta'jir ) dengan orang yang dikontrak
atau pemberi jasa/tenaga ( disebut dengan Ajiir ). Kelayakan tersebut meliputi :

1. Kerelaan ( ke-ridhlo-an ) dua orang yang bertransaksi


2. Berakal dan Mumayyis ( mampu membedakan dan memilih )

3. Jelas upah dan manfaat yang akan di dapat

UPAH

MAJIKAN AQAD PEKERJA

MANFAAT

Dengan Pengertian di atas, maka ' kontrak kerja ' dalam Islam meliputi 3 jenis, yaitu :

1. Manfaat yang di dapat seseorang dari benda ( Manafi'ul A'yan ). Semisal seseorang

menyewa rumah, kendaraan, komputer dan sejenisnya.

2. Manfaatyang di dapat seseorang atas kerja /amal seseorang ( Manfa'atul Amal ), semisal

rsitek, tukang kebun, buruh pabrik dan sejenisnya.

3. Manfaat yang di dapat seseorang atas pribadi atau diri seseorang ( Manfa'atul Syakhs ),

semisal mengontark kerja atau menyewa seorang pembantu, satpam dan sejenisnya.

Kebolehan " Kontrak Kerja " dalam Islam

Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk
orang tersebut. Allah SWT berfirman :

" Apakah mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka mempergunakan sebagian yang lain".

( QS.Az-Zukhruf : 32 )

Ibnu Shihab meriwayakan dengan mengatakan : Aku diberitahu oleh Urwah bin Zubeir bahwa Aisyah r.a berkata : "
Rosulullah SAW dan Abu Bakar pernah mengontrak (tenaga )orang dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan, sedangkan
orang tersebut beragama seperti agamanya orang kafir Quraisy. Beliau kemudian memberikan kedua kendaraan
beliau kepada orang tersebut. Beliau lalu mengambil janji dari orang tersebut ( agar berada ) di gua Tsur setelah tiga
malam, dengan membawa kedua kendaraan beliau pada waktu subuh di hari yang ketiga".

Allah SWT juga berfirman :

" Apabila mereka ( wanita-wanita ) menyusui ( anak ) kalian,maka berikanlah kepada mereka upah-upahnya".

( QS. At-Thalaq : 6 )
Ketentuan Kerja

Karena sewa menyewa atau kontrak kerja adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak dengan imbalan upah,
maka seorang yang dikontrak ( Ajiir ) haruslah dijelaskan bentuk kerjanya ( job description ), batas waktunya ( timing ) ,
besar gaji / upah nya ( take home pay ) serta berapa besar tenaga / keterampilannya harus dikeluarkan ( skill ). Bila
keempat hal pokok dalam kontrak kerja ini tidak dijelaskan sebelumnya , maka transaksinya menjadi fasid ( rusak ).

Dari Ibnu Mas'ud berkata : Nabi SAW bersabda :

" Apabila salah seorang diantara kalian, mengontrak ( tenaga ) seseorang ajiir maka hendaknya diberitahu upahnya ".

Termasuk yang harus ditentukan adalah tenaga yang harus dicurahkan oleh pekerja, sehingga para pekerja tersebut
tidak dibebani dengan pekerjaan yang di luar kapasitasnya. Allah SWT berfirman :

" Allah tidak akan membebani seseorang , selain dengan kemampuannya ".

( QS. Al Baqarah : 286 )

Nabi SAW juga bersabda :

" Apabila aku telah memerintahkan kepada kalian suatu perintah, maka tunaikanlah perintah itu semampu kalian ".

( HR.Imam Bukhari dan Muslim )

Maka tidak diperbolehkan untuk menuntut seorang pekerja agar mencurahkan tenaga , kecuali sesuai dengan
kapasitasnya yang wajar.

Karena tenaga tidak mungkin dibatasi dengan takaran yang baku, maka membatasi jam kerja dalam sehari adalah
takaran yang lebih ideal. Sehingga pembatasan jam kerja bisa mencangkup pembatasan tenaga yang harus
dikeluarkan. Misalnya buruh harian, mingguan atau bulanan.

Disamping itu bentuk pekerjaannya juga harus ditentukan, semisal menggali tanah, menopang atau melunakkan
benda, memalu besi, mengemudikan mobil atau bekerja di penambangan.

Dengan begitu , pekerjaan tersebut benar-benar telah ditentukan bentuknya, waktunya, upah dan tenaga yang
dicurahkan dalam melaksanakannya. Atas dasar inilah, maka ketika syara' memperbolehkan menggunakan pekerja,
maka syara' ikut menentukan pekerjaannya, jenis , waktu upah serta tenaganya. Sedangkan upah yang diperoleh oleh
seorang pekerja sebagai konpensasi dari kerja yang dia lakukan itu merupakan hak milik ( yang halal ) dari orang
tersebut, sebagai konsekuensi tenaga yang telah dia curahkakn.

Bentuk Kerja

Tiap pekerjaan yang halal, maka hukum kontrak kerja bagi pekerjaan tersebut juga halal. Sehingga kontrak kerja
tersebut boleh dilakukan dalam perdagangan, pertanian, industri, pelayanan ( jasa ) , perwakilan, dan lain sebagainya.
Pekerjaan-pekerjaan di bawah ini termasuk dalam kategori kontrak kerja ( ijaroh ) : menggali sumber dan pondasi
bangunan,, mengemudikan mobil dan pesawat, mencetak buku, menerbitkan koran dan majalah dan sejenisnya.
Mengontrak suatu pekerjaan, kadang-kadang bisa dilakukan terhadap jenis pekerjaan tertentu, ( misalnya mengontrak
tukang gali sumur ) atau pekerjaan yang di deskripsikan dalam suatu perjanjian, semisal menyewa arsitek untuk
membangun suatu bangunan dengan bentuk tertentu.

Apabila transaksi kerja tersebut dilakukan terhadap pekerjaan tertentu, atau terhadap pekerja tertentu, misalnya Khalid
mengontrak Mahmud untuk menjahitkan bajunya, maka hukumnya wajib bagi si Mahmud itu sendiri yang melakukan
pekerjaan tersebut, dan secara mutlak posisinya tidak boleh digantikan oleh orang lain. Karena dia telah diangkat,
dengan sebuah kesepakatan bersama. Apabila baju yang telah ditentukan untuk dijahit itu hilang, atau rusak, maka dia
bertanggung jawab penuh terhadapnya.

Sedangkan , apabila kontrak kerja tersebut terjadi pada zat yang dideskripsikan dalam suatu perjanjian, atau terjadi
pada pekerjaan yang telah dideskripsikan untuk melakukan kerja tertentu, maka dalam keadaan seperti ini si pekerja
boleh saja mengerjakan pekerjaan itu sendiri atau boleh juga orang lain menggantikan posisinya, apabila dia sakit atau
tidak mampu, selama pekerjaannya sesuai dengan deskripsinya.

Menentukan bentuk pekerjaan itu sekaligus menentukan siapa pekerja yang akan mengerjakannya., agar kadar
pengorbanan si pekerja bisa dijelaskan. Misalnya harus seorang insinyur atau seorang kondektur. Apabila seseorang
telah menerima suatu pekerjaan, kemudian pekerjaan tersebut dilemparkan kepada orang lain--dengan ongkos lebih
murah dari sebelumnya--lalu sisanya merupakan keuntungan bagi dirinya--maka hal semacam itu dibolehkan.

Sedangkan apabila seseorang telah bersepakat dengan orang lain untuk mendatangkan 100 orang pekerja dengan
upah tiap orang pekerja adalah 1 dollar, maka apabila si orang tersebut apabila kurang memberikan upah dari 1 dollar
terhadap para buruhnya , maka yang demikian diharamkan. Imam Abu Dawud telah meriwayatkan dari Abi Sa'id Al
Khudry , bahwa Nabi SAW bersabda :

" Hati-hatilah kalian terhadap Qasamah ? " Kemudian kami bertanya : " Qasamah itu apa ? Beliau menjawab : " Adalah
sesuatu ( yang disepakati sebagai bagian ) diantara manusia, kemudain bagian tadi dikurang."

Waktu Kerja

Transaksi kontrak kerja dalam Islam, sangat memperhatikan sekali masalah waktu. Ini dikarenakan ada aqad -aqad
kerja yang menggunakan waktu dan ada pula yang tidak. Pekerjaan menjahit atau mengemudikan mobil ke suatu
tempat bisa tampa disebutkan atau ditentukan waktunya. Tetapi ada yang harus disebutkan waktunya, misalnya
kontrak kerja di perusahaan atau pabrik-pabrik tertentu. Maka harus jelas lama kontrak tersebut, apakah dikontrak
selama 1 tahun, 1 bulan atau hanya 1 minggu. Apabila pekerjaan yang memang harus disebutkan waktunya -tetapi
tidak terpenuhi-maka pekerjaan tersebut menjadi tidak jelas dan tentu saja hukumnya menjadi tidak sah.

Apabila waktu kontrak sudah ditentukan misalnya dalam jangka waktu 1 tahun atau 1 bulan, maka tidak boleh salah
seorang diantara kedua belah pihak membubarkannya, kecuali apabila waktunya telah habis. Begitu pula tidak boleh
seseorang bekerja untuk selamanya ( tampa waktu yang jelas ) dengan perkiraan gaji yang juga tidak jelas. Hal ini
semisal yang terjadi pada pegawai-pegawai pemerintahan ( PNS ) yang standart gajinya sudah ditentukan ( bukan
berdasarkan hiyar/ pilihan ) berdasarkan lama bekerja dan golongannya ( bukan berdasarkan manfaat dari pegawai
tersebut ). Maka praktek-praktek semacam ini jelas bertentangan dengan hukum syara'

Upah Kerja

Disyaratkan dalam setiap transaksi kerja, upah atau honor yang jelas, dengan bukti dan ciri yang bisa menghilangkan
ketidakjelasan. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda :

" Apabila salah seorang diantara kalian, mengontrak seorang ' Ajiir' ( buruh ) maka hendaknya dia memberitahu upah (
honor )-nya kepada yang bersangkutan."

( HR. Imam Ad-Daruquthni, dari Ibnu Mas'ud )

Konpensasi--yang berupa honor--boleh saja dibayarkan tunai, boleh juga tidak. Honor tersebut juga bisa dalam bentuk
harta ( uang ) atau pun jasa. Sebab apa saja yang bisa dinilai dengan harga , maka boleh juga dijadikan sebagai
konpensasi, baik berupa materi maupun jasa, dengan syarat harus jelas. Apabila tidak jelas, maka tidak akan sah
transaksi tersebut. Pendek kata, gaji ( honor ) haruslah jelas sejelas-jelasnya, sehingga bisa menafikan kekaburan,
dus bisa dipenuhi tampa ada permusuhan.

Penentuan upah/gaji dalam Islam adalah berdasarkan jasa kerja atau kegunaan /manfaat tenaga seseorang. Berbeda
dengan pandangan kapitalis dalam menentukan upah, mereka memberikan upah kepada seseorang pekerja dengan
menyesuaikannya dengan biaya hidup dalam batas minimum. Mereka akan menambah upah tersebut, apabila beban
hidupnya bertambah pada batas yang paling minimum. Sebaliknya mereka akan menguranginya, apabila beban
hidupnya berkurang. Oleh karena itu, upah seseorang pekerja ditentukan berdasarkan beban hidupnya, tampa
memperhatikan jasa yang diberikan oleh tenaga seseorang dan masyarakat.

Dalam kondisi apapun, selama perkiraan tersebut tetap mengacu pada sarana-sarana kehidupan paling minim yang
dibutuhkan oleh seorang pekerja, maka itu akan mengakibatkan kepemilikan para pekerja tersebut tetap terbatas,
sesuai dengan standar paling minimum yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka,
sebagaimana yang dialami oleh pekerja yang terdapat di negara-negara yang terbelakang pemikirannya, seperti negri-
negri Islam, ataupun cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer serta sekunder dan tersier mereka,
sebagaimana yang dialami pekerja di negara-negara yang sudah maju pemikirannya, seperti Eropa dan Amerika.
Maka, pekerja yang ada di sana--baik yang maju ataupun belum--tetap saja sama nasibnya. Kepemilikan para pekerja
dibatasi sesuai dengan batas taraf hidup mereka yang paling minim, menurut ukuran komunitas mereka. Padahal
tinggi rendahnya masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun perkiraan tersebut tetap mengikuti
biaya hidup minimum yang dibutuhkan oleh pekerja tersebut. Itulah kapitalisme ! ( Lihat An Nabhany dalam Nidzam Al
Iqthishad fil Islam ).

Pandangan kapitalis di atas jelas tidak menghargai sama sekali jasa seseorang dan juga profesionalitas pekerja. Hal
ini pun bertentangan dengan tingkat kebutuhan manusia yang berbeda-beda yang ingin dipenuhi, akhirnya pekerja itu
yang harus mampu menekan tingkat kebutuhan tersebut. Di dalam Islam jelas akan berbeda penanganannya.
Profesionalisme kerja sangatlah dihargai oleh Islam. Sehingga upah seorang pekerja benar-benar didasari pada
keahlian dan manfaat yang bisa diberikan oleh si pekerja itu ! Bukan yang lainnya.

Hukum Kontrak Kerja Yang Haram

Tidak dibolehkan, mengontrak seseorang buruh atau pekerja untuk mengerjakan sesuatu yang haram. Atau
menyewakan dan memberikan suatu jasa yang juga telah diharamkan oleh syara'. Hal ini misalnya seseorang
mengontrak pekerja untuk mengirimkan ' heroin ' atau kamar ( minuman kerasa ) kepada seorang pelanggan. Atau
mengontrak kerja untuk berternak babi dan menjual bangkai.

Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bin Malik yang mengatakan :

" Rosulullah SAW melaknat dalam masalah Khamar ( minuman keras ) sepuluh orang, yaitu : pemerasnya, orang yang
diperaskan, peminumnya, pembawanya, orang yang dibawakan, orang yang mengalirkannya, penjualnya, pemakan
keuntungannya, pembelinya termasuk orang yang dibelikan "

Begitu pula tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijaroh dalam masalah riba, karena transaksi tersebut
merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan. Riwayat dari Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas'ud dari Nabi SAW :

" Bahwa beliau ( Nabi SAW ) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta
pencatatnya."

Begitu pula dengan beberapa pekerjaan haram lainnya, seperti ' Pelacur ' , atau menjadi pembunuh bayaran, menjadi
dukun santet dan sejenisnya. Semua itu telah diharamkan oleh syariat Islam, yang berarti haram pula mempekerjakan
seseraonag untuk melakukan semua itu.

Kontrak Kerja bagi Non Muslim


Islam memperbolehkan kontrak kerja dengan orang non Islam, berdasarkan perbuatan Rosulullah SAW serta Ijma'
Sahabat tentang bolehnya mengontrak kerja orang non muslim. Rosulullah SAW pernah mengontrak seorang yahudi
untuk menjadi penulis, dan mengontrak seorang yahudi lain untuk tenaga penterjemah. Abu Bakar dan Umar pun
pernah mengontrak orang Nashrani untuk menghitung harta kekayaan.

Sebagaimana seorang muslim boleh mempekerjakan npn muslim , maka seorang muslim pun boleh secara syar'i
bekerja pada non muslim sepanjang tidak bekerja untuk yang haram. Apabila perbuatan yang diinginkan oleh si non
muslim itu adalah perbuatan haram, maka bagi si muslim tidak boleh mengerjakannya. Dalam hal ini Ali radliyaallhu
'anhu pernah mengontakkan dirinya ( bekerja ) pada seorang Yahudi, untuk menyirami kebunnya dengan upah setiap
satu timba berarti sebutir kurma. Hal ini sampai kepada Rosulullah SAW, dan beliau pun tidak malarangnya.
Kesimpulannya transaksi tersebut berstatus boleh dan bukan perkara yang menghinakan seorang muslim.

Kontrak Kerja dalam Ibadah dan Jasa Umum

Karena setiap sesuatu yang menghasilkan manfaat ( yang halal ) bisa dikonpensasikan dengan upah , maka setiap
jasa umum dari seseorang boleh diambil upah darinya. Ini sebagaimana diperbolehkannya seorang tukang timbang
mengambil upah dari hasil timbangannya :

" Timbanglah dan mantabkan ( timbangannya )."

( HR. Abu Dawud )

Hal ini bererti berlaku pula untuk setiap jasa umum, sepanjang tidak mangandung unsur haram dan praktek haram.

Sedangkan dalam masalah ibadah, baik yang fardhu maupun yang sunnah , maka harusdilihat terlebih dahulu ;
apabila ibadah tersebut termasuk ibadah yang manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh si Pelakunya, seperti
menghajikan dirinya sendiri, membayarkan zakatnya sendiri, maka tidak boleh mengambil upah atas ibadahnya, sebab
upah merupakan konpensasi suatu pemerolehan jasa, sementara orang lain faktanya tidak mendapatkan jasanya
sama sekali ( dalam kasus ini ). Sehingga mengontrak dirinya sendiri--untuk melakukan ibadah haji-- lalu meminta
upah atas ibadah tersebut, maka tidak diperbolehkan dengan alasan tadi, disamping kewajiban itu sebenarnya
merupakan kewajiban pribadinya.

Namun apabila ibadah tersebut merupkan ibadah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh pelakunya, maka kontrak
kerja dalam ibadah seperti itu dibolehkan, semisal adzan utuk orang lain, menjadi imam untuk orang lain dan
sejenisnya. Maka semua ini telah dibolehkan oleh syara'.

Sedangkan dalam masalah mengajar, seseorang diperbolehkan untuk mengontrak seorang guru yang mengajar anak-
anaknya atau mengajarnya, ataupun mengajar siapa saja yang dia inginkan. Karena mengajar adalah jasa yang
mubah, dimana untuk mendapatkan kompensasi dari jasa tersebut adalah mubah / boleh. Syara juga telah
membolehkan untuk mendapatkan kompensasi dari mengajarkan Al-Qur'an. Maka tentu mendapatkan kompensasi di
luar mengajarkan Al-Qur'an ( semisal mengajarkan fiqh Islam ) adalah lebih layak mendapatkan upahnya. Imam
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda :

" Yang paling layak untuk kalian ambil upahnya adalah ( mengajarkan ) Kitabullah ( Al -Qur'an )."

Semuanya itu membuktikan , bahwa mendapatkan upah karena mengajar adalah boleh. Sedagkan adanya riwayat
hadist yang mengatakan tentang adanya larangan mengambil upah dalam mengajarkan Al-Qur'an itu tidak secara
otomatis merupakan larangan mengontrak orang untuk mengajarkannya. ( hal ini memang telah menjadi ikhtilaf para
ulama ). Maka semua itu menunjukkan, bahwa mendapatkan upah karena mengajarkan Al-Qur'an itu hukumnya
makruh, dan bukan haram ( lihat An Nabhany dalam Nidzamul Iqthishadi fil Islam). Begitulah beberapa aturan hukum
dari Islam guna kejelasan sebuah kontrak kerja.
PERLINDUNGAN BAGI PEKERJA

Selain memberikan aturan yang jelas dalam hal transaksi kontrak kerja, syariat Islam pun telah memberikan hukum-
hukum yang harus diperhatikan bagi para majikan untuk memberikan perlindungan bagi si pekerja. Hal - hal tersebut
menyangkut :

1. Perlindungan terhadap pekerja dan waktu istirahat yang layak.

Dalam hal ini Rosulullah SAW bersabda :

" Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu".

Sabdanya yang lain :

" Istirahatkanlah hati barang sejenak, karena sesungguhnya jika hati sampai jenuh

dia akan buta".

( HR. Baihaqi )

2. Jaminan penghidupan bagi pekerja

Rosulullah SAW bersabda :

" Barang siapa bekerja pada kami dan dia tidak memiliki rumah, maka hendaklah

dia mau mengambil rumah, jika dia tidak mempunyai istri, maka hendaklah dia

dipermudah menikah atau jika dia tidak mempunyai kendaraan maka hendaklah

dia mengambil kendaraannya".

( HR. An Nasa'i )

3. Menyegerakan gaji / upah

Dalam Islam hendaknya gaji dibayarkan secepat mungkin dan sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai.

Dalam hal ini Rosulullah SAW bersabda :

" Berikanlah gaji pekerja sebelum kering keringatnya ".

( HR. Ibnu Majah )

Dalam hadist yang lain Rosulullah bersabda :

" Sikap menunda-nunda pembayaran bagi orang kaya adalah suatu kedzaliman".

( HR. Abu Dawud )


Begitu pula dalam Islam para majikan dilarang memotong gaji mereka dengan alasan

apapun, sebagaimana hadist yang sudah dijelaskan di atas ( tentang qasamah ).

KESEJAHTERAAN PEKERJA

Siapakah yang menanggung kesejahteraan para pekerja ? Hal ini sering menjadi sumber problema perburuhan. Saat
ini terdapat kecenderungan pemahaman bahwa kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab pengusaha Yaitu
mencukupi KHM ( kebutuhan hidup minimum ) seorang pekerja --yang biasanya mencangkup kontrakan rumah,
kebutuhan akan gula, beras, piring, kemeja, sabun sampai potong rambut dan rekreasi. Negara dalam hal ini seolah-
olah lepas tangan sama sekali dari kewajiban di atas. Tindakan seperti ini sudah tentu bertentangan dengan tata cara
Islam. Dalam Islam, negara lah yang mengatur dan mengurus kepentingan rakyanya. Dalam hal ini Rosulullah SAW
bersabda :

" Imam ( kepala Negara ) itu bagaikan pengembala alias pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas
rakyat yang dia pimpin".

( HR.Ahmad.Syaikhan dan Abu Dawud )

Syekh Abdul Azis Al Badri dalam kitab Al Islam Dlaaminun lil Haajat al Asaasiyah likuli Fardin wa Ya'malu lirafaahiyatih
menyatakan , menurut Islam, sektor kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan dasar masyarakat yang harus
dipenuhi oleh negara. Sebab kedua sektor tersebut termasuk dalam katagori pemeliharaan kemaslahatan umum.
Negaralah yang harus menjamin seluruh fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai sehingga dapat dinikmati
oleh seluruh warga negara, tidak terkecuali para buruh. Dengan demikian tidak akan terjadi lagi tarik ulur antara
pengusaha dengan buruhnya mengenai masalah ini. Para buruh bisa bekerja dengan tenang--karena kebutuhan
primernya telah terpenuhi--sambil menunggu upahnya untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya. Dan para majikan
pun akan senang dengan lancarnya pekerjaan para buruh mereka, yang berarti produksi berjalan baik-dan keuntungan
tinggal ditangguk. Negara pun akan memperoleh bahagian dengan lancarnya roda perekonomian ini, yaitu melalui
zakat perniagaan para pengusaha yang memang telah sampai nisonya. Uang pemasukan negara itu pun toh akan
kembali lagi ke rakyat, karena memang sudah menjadi tanggung jawab negara--mencukupi--kebutuhan rakyatnya.
Sungguh betapa indahnya sistem kehidupan masyarakat seperti ini. Adakah yang lebih baik dari nya ?

Fenomena buruh sedikit banyak telah menyedot perhatian masa sejak terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad
XV yang memaksa manusia untuk bekerja di pabrik-pabrik , lahan tambang, perkebunan dan lain-lain. Revolusi
industri yang diklaim sejarawan sebagai tonggak kebangkitan Eropa setelah sejak berabad-abad lamanya tenggelam
dalam kegelapan kekuasaan para Kaisar dengan doktrin-doktrin gerejanya ( sejak saat itu dimulai babak baru setelah
adanya kompromi antara Kaisar dengan kaum ilmuan untuk memisahkan agama dari kehidupan, sebagai cikal bakal
sekularisasi ), melahirkan fenomena-fenomena baru di tengah masyarakat. Di antaranya, muncul kelas pemodal
( kaum borjuis ) yang ' mengorganisasi' dan 'mengeksploitir' buruh untuk bekerja pada pabrik-pabrik mereka. Pada sisi
lain, sistim feodalistik ini melahirkan kelompok masyarakat miskin, kelas pekerja ( kaum proletar ), yang menjadi
'budak' bagi para pemodal. Mereka diperas tenaganya secara paksa, tidak hanya orang laki-laki dewasa tapi juga
anak-anak dan pekerja-pekerja wanita. Mereka diperlakukan layaknya seperti binatang.

Ide liberalisme ( kebebasan ) dengan landasan utama sekularisme, yang menjadi acuan para 'pembangkit' Eropa telah
melahirkan keserakahan demi keserakahan delam menggapai 'kemuliaan' dunia. Maka bangsa-bangsa Eropa ramai-
ramai melancarkan imperialisme ( penjajahan ) kepada bangsa-bangsa lain yang menguntungkan secara geografis
( adanya kekayaan alam ). Tercatatlah seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol dan Portugis menjadi kolonialis-
kolonialis pada era itu hingga diusirnya mereka dari daerah jajahannya.

Jan Bremen , sosiolog Belanda , mengobservasi nasib para buruh ( baca : kuli ) pada masa kolonialisme Belanda
dalam bukunya Menjinakkan Sang Kuli ( Pustaka Grafiti, 1977, terjemah ). Lewat penelitian dengan memanfaatkan
dokumen-dokumen resmi pemerintah kolonial yang selama ini tersembunyi, ia memaparkan praktek keji politik kolonial
terhadap ribuan kuli asal Cina, India, Jawa dan daerah-daerah lain di Sumatra yang dipekerjakan di perkebunan
Sumatra Timur pada awal abad 19 hingga awal abad 20.

Para kuli kontrak tersebut , tulis Jan Bremen--yang karena keberaniannya ia harus menanggung reksiko dituduh tidak
menghargai perstasi bangsanya sendiri--jika dianggap bersalah diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Mereka
diseret kuda dengan tangan terikat, dicambuk dengan daun jelantang kemudian disiram air, digantung, ditusuk bagian
bawah kukunya dengan serpihan bambu, dan untuk kuli perempuan--maaf--digosok kemaluannya dengan merica
halus.

Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang memilukan akibat imperialisme yang sudah menjadi bagian dari
paradaban kapitalisme.

Kapitalisme sebagai sebuah ideologi--diambil dari pengertian capital ( modal ) --memiliki aktivitas yang paling menonjol
yakni mencari harta sebanyak-banyaknya dengan sebebas-bebasnya. ( hurriyah at tamaluk ). Dengan demikian
sampai saat ini pun aktivitas imperialisme dari ideologi kapitalisme belum berakhir. Bahkan semakin merajalela,
dikarenakan ideologi kapitalisme menjadi ideologi tunggal setelah Islam ( mabda Islam ) dihancurkan Barat pada tahun
1924 , dan ideologi komunisme runtuh dengan sendirinya di tahun 1990.

Demi menyelesaikan problem perburuhan, para buruh di beberapa negara banyak yang membentuk partai politik .
Partai politik ini mereka maksudkan untuk perjuangan kelas ( class strunggle ) agar tercapai kesamaan ( equality )
diantara para buruh dan majikan. Teori ini dipengaruhi analisis Karl Marx ( Bapak Komunisme ) yang bercita-cita
menghilangkan sama sekali kelas dalam masyarakat ( masyarakat tampa kelas ). Padahal dengan tergantinya pihak
yang menzolimi ( kaum Borjuis ) oleh kaum proletar ( yang terzolimi ) , maka orang yang terzholimi itu kemudian ganti
menjelma menjadi kelas orang zolim baru, sebagai tindakan konservatif . ( Lihat, An Nabhaniy, Nizdam Iqthishad fil
Islam ).

Di Indonesia sendiri mulai nampak kesadaran kaum buruh akibat ulah kesewenang-wenangan pengusaha yang tidak
memberikan upah yang layak sebagai imbalan atas kerja mereka, PHK secara sepihak, dan lain-lain Maka berbagai
demonstrasi pun digelar ( tidak jarang yang disertai pengrusakan ) mogok kerja dan aksi-aksi lainnya dalam
memperjuangkan nasibnya. Harga mahal yang harus dibayar akibat berbagai aksi tersebut , baik bagi buruh sendiri,
pihak pengusaha dan stabilitas nasional pun terganggu. Buruh terancam PHK tampa pesangon, buruh diintimidasi
bahkan terancam jiwanya. Sementara pihak perusahaan menanggung reksiko kehilangan produktivitas, selain
ancaman kerugian fisik akibat amuk buruh. Dan secara politis, persoalan ini menjadi lahan subur untuk menyusupkan
ideologi komunisme, dengan senjata ampuhnya-pembelaan dan janji-janji indah kepada kaum lemah ini ( para buruh ).
Juga pemecahan dengan metode sekuler yang berakibat pada disfungsionalisasi ajaran agama. Bagaimanakah
dengan Islam ? apakah perlakuan ( aturan-aturan ) Islam terhadap buruh dapat menyelesaikan dan menuntaskan
problem perburuhan ?

KONTRAK KERJA DALAM ISLAM

Di dalam Islam , problem perburuhan diatur oleh hukum-hukum "kontrak kerja " ( Ijaroh ). Secara definisi, Ijaroh adalah
' transaksi ( aqad ) atas jasa/manfaat tertentu dengan suatu konpensasi atau upah'. ( lihat An Nabhaniy dalam
Nidzham Iqthishad fil Islam ). Syarat tercapainya transaksi ijaroh tersebut adalah kelayakan dari orang-orang yang
melakukan aqad, yaitu , si penyewa tenaga atau majikan ( disebut dengan Musta'jir ) dengan orang yang dikontrak
atau pemberi jasa/tenaga ( disebut dengan Ajiir ). Kelayakan tersebut meliputi :

1. Kerelaan ( ke-ridhlo-an ) dua orang yang bertransaksi


2. Berakal dan Mumayyis ( mampu membedakan dan memilih )

3. Jelas upah dan manfaat yang akan di dapat

UPAH

MAJIKAN AQAD PEKERJA

MANFAAT

Dengan Pengertian di atas, maka ' kontrak kerja ' dalam Islam meliputi 3 jenis, yaitu :

1. Manfaat yang di dapat seseorang dari benda ( Manafi'ul A'yan ). Semisal seseorang

menyewa rumah, kendaraan, komputer dan sejenisnya.

2. Manfaatyang di dapat seseorang atas kerja /amal seseorang ( Manfa'atul Amal ), semisal

rsitek, tukang kebun, buruh pabrik dan sejenisnya.

3. Manfaat yang di dapat seseorang atas pribadi atau diri seseorang ( Manfa'atul Syakhs ),

semisal mengontark kerja atau menyewa seorang pembantu, satpam dan sejenisnya.

Kebolehan " Kontrak Kerja " dalam Islam

Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk
orang tersebut. Allah SWT berfirman :

" Apakah mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka mempergunakan sebagian yang lain".

( QS.Az-Zukhruf : 32 )

Ibnu Shihab meriwayakan dengan mengatakan : Aku diberitahu oleh Urwah bin Zubeir bahwa Aisyah r.a berkata : "
Rosulullah SAW dan Abu Bakar pernah mengontrak (tenaga )orang dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan, sedangkan
orang tersebut beragama seperti agamanya orang kafir Quraisy. Beliau kemudian memberikan kedua kendaraan
beliau kepada orang tersebut. Beliau lalu mengambil janji dari orang tersebut ( agar berada ) di gua Tsur setelah tiga
malam, dengan membawa kedua kendaraan beliau pada waktu subuh di hari yang ketiga".

Allah SWT juga berfirman :

" Apabila mereka ( wanita-wanita ) menyusui ( anak ) kalian,maka berikanlah kepada mereka upah-upahnya".

( QS. At-Thalaq : 6 )
Ketentuan Kerja

Karena sewa menyewa atau kontrak kerja adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak dengan imbalan upah,
maka seorang yang dikontrak ( Ajiir ) haruslah dijelaskan bentuk kerjanya ( job description ), batas waktunya ( timing ) ,
besar gaji / upah nya ( take home pay ) serta berapa besar tenaga / keterampilannya harus dikeluarkan ( skill ). Bila
keempat hal pokok dalam kontrak kerja ini tidak dijelaskan sebelumnya , maka transaksinya menjadi fasid ( rusak ).

Dari Ibnu Mas'ud berkata : Nabi SAW bersabda :

" Apabila salah seorang diantara kalian, mengontrak ( tenaga ) seseorang ajiir maka hendaknya diberitahu upahnya ".

Termasuk yang harus ditentukan adalah tenaga yang harus dicurahkan oleh pekerja, sehingga para pekerja tersebut
tidak dibebani dengan pekerjaan yang di luar kapasitasnya. Allah SWT berfirman :

" Allah tidak akan membebani seseorang , selain dengan kemampuannya ".

( QS. Al Baqarah : 286 )

Nabi SAW juga bersabda :

" Apabila aku telah memerintahkan kepada kalian suatu perintah, maka tunaikanlah perintah itu semampu kalian ".

( HR.Imam Bukhari dan Muslim )

Maka tidak diperbolehkan untuk menuntut seorang pekerja agar mencurahkan tenaga , kecuali sesuai dengan
kapasitasnya yang wajar.

Karena tenaga tidak mungkin dibatasi dengan takaran yang baku, maka membatasi jam kerja dalam sehari adalah
takaran yang lebih ideal. Sehingga pembatasan jam kerja bisa mencangkup pembatasan tenaga yang harus
dikeluarkan. Misalnya buruh harian, mingguan atau bulanan.

Disamping itu bentuk pekerjaannya juga harus ditentukan, semisal menggali tanah, menopang atau melunakkan
benda, memalu besi, mengemudikan mobil atau bekerja di penambangan.

Dengan begitu , pekerjaan tersebut benar-benar telah ditentukan bentuknya, waktunya, upah dan tenaga yang
dicurahkan dalam melaksanakannya. Atas dasar inilah, maka ketika syara' memperbolehkan menggunakan pekerja,
maka syara' ikut menentukan pekerjaannya, jenis , waktu upah serta tenaganya. Sedangkan upah yang diperoleh oleh
seorang pekerja sebagai konpensasi dari kerja yang dia lakukan itu merupakan hak milik ( yang halal ) dari orang
tersebut, sebagai konsekuensi tenaga yang telah dia curahkakn.

Bentuk Kerja

Tiap pekerjaan yang halal, maka hukum kontrak kerja bagi pekerjaan tersebut juga halal. Sehingga kontrak kerja
tersebut boleh dilakukan dalam perdagangan, pertanian, industri, pelayanan ( jasa ) , perwakilan, dan lain sebagainya.
Pekerjaan-pekerjaan di bawah ini termasuk dalam kategori kontrak kerja ( ijaroh ) : menggali sumber dan pondasi
bangunan,, mengemudikan mobil dan pesawat, mencetak buku, menerbitkan koran dan majalah dan sejenisnya.
Mengontrak suatu pekerjaan, kadang-kadang bisa dilakukan terhadap jenis pekerjaan tertentu, ( misalnya mengontrak
tukang gali sumur ) atau pekerjaan yang di deskripsikan dalam suatu perjanjian, semisal menyewa arsitek untuk
membangun suatu bangunan dengan bentuk tertentu.

Apabila transaksi kerja tersebut dilakukan terhadap pekerjaan tertentu, atau terhadap pekerja tertentu, misalnya Khalid
mengontrak Mahmud untuk menjahitkan bajunya, maka hukumnya wajib bagi si Mahmud itu sendiri yang melakukan
pekerjaan tersebut, dan secara mutlak posisinya tidak boleh digantikan oleh orang lain. Karena dia telah diangkat,
dengan sebuah kesepakatan bersama. Apabila baju yang telah ditentukan untuk dijahit itu hilang, atau rusak, maka dia
bertanggung jawab penuh terhadapnya.

Sedangkan , apabila kontrak kerja tersebut terjadi pada zat yang dideskripsikan dalam suatu perjanjian, atau terjadi
pada pekerjaan yang telah dideskripsikan untuk melakukan kerja tertentu, maka dalam keadaan seperti ini si pekerja
boleh saja mengerjakan pekerjaan itu sendiri atau boleh juga orang lain menggantikan posisinya, apabila dia sakit atau
tidak mampu, selama pekerjaannya sesuai dengan deskripsinya.

Menentukan bentuk pekerjaan itu sekaligus menentukan siapa pekerja yang akan mengerjakannya., agar kadar
pengorbanan si pekerja bisa dijelaskan. Misalnya harus seorang insinyur atau seorang kondektur. Apabila seseorang
telah menerima suatu pekerjaan, kemudian pekerjaan tersebut dilemparkan kepada orang lain--dengan ongkos lebih
murah dari sebelumnya--lalu sisanya merupakan keuntungan bagi dirinya--maka hal semacam itu dibolehkan.

Sedangkan apabila seseorang telah bersepakat dengan orang lain untuk mendatangkan 100 orang pekerja dengan
upah tiap orang pekerja adalah 1 dollar, maka apabila si orang tersebut apabila kurang memberikan upah dari 1 dollar
terhadap para buruhnya , maka yang demikian diharamkan. Imam Abu Dawud telah meriwayatkan dari Abi Sa'id Al
Khudry , bahwa Nabi SAW bersabda :

" Hati-hatilah kalian terhadap Qasamah ? " Kemudian kami bertanya : " Qasamah itu apa ? Beliau menjawab : " Adalah
sesuatu ( yang disepakati sebagai bagian ) diantara manusia, kemudain bagian tadi dikurang."

Waktu Kerja

Transaksi kontrak kerja dalam Islam, sangat memperhatikan sekali masalah waktu. Ini dikarenakan ada aqad -aqad
kerja yang menggunakan waktu dan ada pula yang tidak. Pekerjaan menjahit atau mengemudikan mobil ke suatu
tempat bisa tampa disebutkan atau ditentukan waktunya. Tetapi ada yang harus disebutkan waktunya, misalnya
kontrak kerja di perusahaan atau pabrik-pabrik tertentu. Maka harus jelas lama kontrak tersebut, apakah dikontrak
selama 1 tahun, 1 bulan atau hanya 1 minggu. Apabila pekerjaan yang memang harus disebutkan waktunya -tetapi
tidak terpenuhi-maka pekerjaan tersebut menjadi tidak jelas dan tentu saja hukumnya menjadi tidak sah.

Apabila waktu kontrak sudah ditentukan misalnya dalam jangka waktu 1 tahun atau 1 bulan, maka tidak boleh salah
seorang diantara kedua belah pihak membubarkannya, kecuali apabila waktunya telah habis. Begitu pula tidak boleh
seseorang bekerja untuk selamanya ( tampa waktu yang jelas ) dengan perkiraan gaji yang juga tidak jelas. Hal ini
semisal yang terjadi pada pegawai-pegawai pemerintahan ( PNS ) yang standart gajinya sudah ditentukan ( bukan
berdasarkan hiyar/ pilihan ) berdasarkan lama bekerja dan golongannya ( bukan berdasarkan manfaat dari pegawai
tersebut ). Maka praktek-praktek semacam ini jelas bertentangan dengan hukum syara'

Upah Kerja

Disyaratkan dalam setiap transaksi kerja, upah atau honor yang jelas, dengan bukti dan ciri yang bisa menghilangkan
ketidakjelasan. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda :

" Apabila salah seorang diantara kalian, mengontrak seorang ' Ajiir' ( buruh ) maka hendaknya dia memberitahu upah (
honor )-nya kepada yang bersangkutan."

( HR. Imam Ad-Daruquthni, dari Ibnu Mas'ud )

Konpensasi--yang berupa honor--boleh saja dibayarkan tunai, boleh juga tidak. Honor tersebut juga bisa dalam bentuk
harta ( uang ) atau pun jasa. Sebab apa saja yang bisa dinilai dengan harga , maka boleh juga dijadikan sebagai
konpensasi, baik berupa materi maupun jasa, dengan syarat harus jelas. Apabila tidak jelas, maka tidak akan sah
transaksi tersebut. Pendek kata, gaji ( honor ) haruslah jelas sejelas-jelasnya, sehingga bisa menafikan kekaburan,
dus bisa dipenuhi tampa ada permusuhan.

Penentuan upah/gaji dalam Islam adalah berdasarkan jasa kerja atau kegunaan /manfaat tenaga seseorang. Berbeda
dengan pandangan kapitalis dalam menentukan upah, mereka memberikan upah kepada seseorang pekerja dengan
menyesuaikannya dengan biaya hidup dalam batas minimum. Mereka akan menambah upah tersebut, apabila beban
hidupnya bertambah pada batas yang paling minimum. Sebaliknya mereka akan menguranginya, apabila beban
hidupnya berkurang. Oleh karena itu, upah seseorang pekerja ditentukan berdasarkan beban hidupnya, tampa
memperhatikan jasa yang diberikan oleh tenaga seseorang dan masyarakat.

Dalam kondisi apapun, selama perkiraan tersebut tetap mengacu pada sarana-sarana kehidupan paling minim yang
dibutuhkan oleh seorang pekerja, maka itu akan mengakibatkan kepemilikan para pekerja tersebut tetap terbatas,
sesuai dengan standar paling minimum yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka,
sebagaimana yang dialami oleh pekerja yang terdapat di negara-negara yang terbelakang pemikirannya, seperti negri-
negri Islam, ataupun cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer serta sekunder dan tersier mereka,
sebagaimana yang dialami pekerja di negara-negara yang sudah maju pemikirannya, seperti Eropa dan Amerika.
Maka, pekerja yang ada di sana--baik yang maju ataupun belum--tetap saja sama nasibnya. Kepemilikan para pekerja
dibatasi sesuai dengan batas taraf hidup mereka yang paling minim, menurut ukuran komunitas mereka. Padahal
tinggi rendahnya masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun perkiraan tersebut tetap mengikuti
biaya hidup minimum yang dibutuhkan oleh pekerja tersebut. Itulah kapitalisme ! ( Lihat An Nabhany dalam Nidzam Al
Iqthishad fil Islam ).

Pandangan kapitalis di atas jelas tidak menghargai sama sekali jasa seseorang dan juga profesionalitas pekerja. Hal
ini pun bertentangan dengan tingkat kebutuhan manusia yang berbeda-beda yang ingin dipenuhi, akhirnya pekerja itu
yang harus mampu menekan tingkat kebutuhan tersebut. Di dalam Islam jelas akan berbeda penanganannya.
Profesionalisme kerja sangatlah dihargai oleh Islam. Sehingga upah seorang pekerja benar-benar didasari pada
keahlian dan manfaat yang bisa diberikan oleh si pekerja itu ! Bukan yang lainnya.

Hukum Kontrak Kerja Yang Haram

Tidak dibolehkan, mengontrak seseorang buruh atau pekerja untuk mengerjakan sesuatu yang haram. Atau
menyewakan dan memberikan suatu jasa yang juga telah diharamkan oleh syara'. Hal ini misalnya seseorang
mengontrak pekerja untuk mengirimkan ' heroin ' atau kamar ( minuman kerasa ) kepada seorang pelanggan. Atau
mengontrak kerja untuk berternak babi dan menjual bangkai.

Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bin Malik yang mengatakan :

" Rosulullah SAW melaknat dalam masalah Khamar ( minuman keras ) sepuluh orang, yaitu : pemerasnya, orang yang
diperaskan, peminumnya, pembawanya, orang yang dibawakan, orang yang mengalirkannya, penjualnya, pemakan
keuntungannya, pembelinya termasuk orang yang dibelikan "

Begitu pula tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijaroh dalam masalah riba, karena transaksi tersebut
merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan. Riwayat dari Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas'ud dari Nabi SAW :

" Bahwa beliau ( Nabi SAW ) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta
pencatatnya."

Begitu pula dengan beberapa pekerjaan haram lainnya, seperti ' Pelacur ' , atau menjadi pembunuh bayaran, menjadi
dukun santet dan sejenisnya. Semua itu telah diharamkan oleh syariat Islam, yang berarti haram pula mempekerjakan
seseraonag untuk melakukan semua itu.

Kontrak Kerja bagi Non Muslim


Islam memperbolehkan kontrak kerja dengan orang non Islam, berdasarkan perbuatan Rosulullah SAW serta Ijma'
Sahabat tentang bolehnya mengontrak kerja orang non muslim. Rosulullah SAW pernah mengontrak seorang yahudi
untuk menjadi penulis, dan mengontrak seorang yahudi lain untuk tenaga penterjemah. Abu Bakar dan Umar pun
pernah mengontrak orang Nashrani untuk menghitung harta kekayaan.

Sebagaimana seorang muslim boleh mempekerjakan npn muslim , maka seorang muslim pun boleh secara syar'i
bekerja pada non muslim sepanjang tidak bekerja untuk yang haram. Apabila perbuatan yang diinginkan oleh si non
muslim itu adalah perbuatan haram, maka bagi si muslim tidak boleh mengerjakannya. Dalam hal ini Ali radliyaallhu
'anhu pernah mengontakkan dirinya ( bekerja ) pada seorang Yahudi, untuk menyirami kebunnya dengan upah setiap
satu timba berarti sebutir kurma. Hal ini sampai kepada Rosulullah SAW, dan beliau pun tidak malarangnya.
Kesimpulannya transaksi tersebut berstatus boleh dan bukan perkara yang menghinakan seorang muslim.

Kontrak Kerja dalam Ibadah dan Jasa Umum

Karena setiap sesuatu yang menghasilkan manfaat ( yang halal ) bisa dikonpensasikan dengan upah , maka setiap
jasa umum dari seseorang boleh diambil upah darinya. Ini sebagaimana diperbolehkannya seorang tukang timbang
mengambil upah dari hasil timbangannya :

" Timbanglah dan mantabkan ( timbangannya )."

( HR. Abu Dawud )

Hal ini bererti berlaku pula untuk setiap jasa umum, sepanjang tidak mangandung unsur haram dan praktek haram.

Sedangkan dalam masalah ibadah, baik yang fardhu maupun yang sunnah , maka harusdilihat terlebih dahulu ;
apabila ibadah tersebut termasuk ibadah yang manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh si Pelakunya, seperti
menghajikan dirinya sendiri, membayarkan zakatnya sendiri, maka tidak boleh mengambil upah atas ibadahnya, sebab
upah merupakan konpensasi suatu pemerolehan jasa, sementara orang lain faktanya tidak mendapatkan jasanya
sama sekali ( dalam kasus ini ). Sehingga mengontrak dirinya sendiri--untuk melakukan ibadah haji-- lalu meminta
upah atas ibadah tersebut, maka tidak diperbolehkan dengan alasan tadi, disamping kewajiban itu sebenarnya
merupakan kewajiban pribadinya.

Namun apabila ibadah tersebut merupkan ibadah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh pelakunya, maka kontrak
kerja dalam ibadah seperti itu dibolehkan, semisal adzan utuk orang lain, menjadi imam untuk orang lain dan
sejenisnya. Maka semua ini telah dibolehkan oleh syara'.

Sedangkan dalam masalah mengajar, seseorang diperbolehkan untuk mengontrak seorang guru yang mengajar anak-
anaknya atau mengajarnya, ataupun mengajar siapa saja yang dia inginkan. Karena mengajar adalah jasa yang
mubah, dimana untuk mendapatkan kompensasi dari jasa tersebut adalah mubah / boleh. Syara juga telah
membolehkan untuk mendapatkan kompensasi dari mengajarkan Al-Qur'an. Maka tentu mendapatkan kompensasi di
luar mengajarkan Al-Qur'an ( semisal mengajarkan fiqh Islam ) adalah lebih layak mendapatkan upahnya. Imam
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda :

" Yang paling layak untuk kalian ambil upahnya adalah ( mengajarkan ) Kitabullah ( Al -Qur'an )."

Semuanya itu membuktikan , bahwa mendapatkan upah karena mengajar adalah boleh. Sedagkan adanya riwayat
hadist yang mengatakan tentang adanya larangan mengambil upah dalam mengajarkan Al-Qur'an itu tidak secara
otomatis merupakan larangan mengontrak orang untuk mengajarkannya. ( hal ini memang telah menjadi ikhtilaf para
ulama ). Maka semua itu menunjukkan, bahwa mendapatkan upah karena mengajarkan Al-Qur'an itu hukumnya
makruh, dan bukan haram ( lihat An Nabhany dalam Nidzamul Iqthishadi fil Islam). Begitulah beberapa aturan hukum
dari Islam guna kejelasan sebuah kontrak kerja.
PERLINDUNGAN BAGI PEKERJA

Selain memberikan aturan yang jelas dalam hal transaksi kontrak kerja, syariat Islam pun telah memberikan hukum-
hukum yang harus diperhatikan bagi para majikan untuk memberikan perlindungan bagi si pekerja. Hal - hal tersebut
menyangkut :

1. Perlindungan terhadap pekerja dan waktu istirahat yang layak.

Dalam hal ini Rosulullah SAW bersabda :

" Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu".

Sabdanya yang lain :

" Istirahatkanlah hati barang sejenak, karena sesungguhnya jika hati sampai jenuh

dia akan buta".

( HR. Baihaqi )

2. Jaminan penghidupan bagi pekerja

Rosulullah SAW bersabda :

" Barang siapa bekerja pada kami dan dia tidak memiliki rumah, maka hendaklah

dia mau mengambil rumah, jika dia tidak mempunyai istri, maka hendaklah dia

dipermudah menikah atau jika dia tidak mempunyai kendaraan maka hendaklah

dia mengambil kendaraannya".

( HR. An Nasa'i )

3. Menyegerakan gaji / upah

Dalam Islam hendaknya gaji dibayarkan secepat mungkin dan sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai.

Dalam hal ini Rosulullah SAW bersabda :

" Berikanlah gaji pekerja sebelum kering keringatnya ".

( HR. Ibnu Majah )

Dalam hadist yang lain Rosulullah bersabda :

" Sikap menunda-nunda pembayaran bagi orang kaya adalah suatu kedzaliman".

( HR. Abu Dawud )


Begitu pula dalam Islam para majikan dilarang memotong gaji mereka dengan alasan

apapun, sebagaimana hadist yang sudah dijelaskan di atas ( tentang qasamah ).

KESEJAHTERAAN PEKERJA

Siapakah yang menanggung kesejahteraan para pekerja ? Hal ini sering menjadi sumber problema perburuhan. Saat
ini terdapat kecenderungan pemahaman bahwa kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab pengusaha Yaitu
mencukupi KHM ( kebutuhan hidup minimum ) seorang pekerja --yang biasanya mencangkup kontrakan rumah,
kebutuhan akan gula, beras, piring, kemeja, sabun sampai potong rambut dan rekreasi. Negara dalam hal ini seolah-
olah lepas tangan sama sekali dari kewajiban di atas. Tindakan seperti ini sudah tentu bertentangan dengan tata cara
Islam. Dalam Islam, negara lah yang mengatur dan mengurus kepentingan rakyanya. Dalam hal ini Rosulullah SAW
bersabda :

" Imam ( kepala Negara ) itu bagaikan pengembala alias pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas
rakyat yang dia pimpin".

( HR.Ahmad.Syaikhan dan Abu Dawud )

Syekh Abdul Azis Al Badri dalam kitab Al Islam Dlaaminun lil Haajat al Asaasiyah likuli Fardin wa Ya'malu lirafaahiyatih
menyatakan , menurut Islam, sektor kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan dasar masyarakat yang harus
dipenuhi oleh negara. Sebab kedua sektor tersebut termasuk dalam katagori pemeliharaan kemaslahatan umum.
Negaralah yang harus menjamin seluruh fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai sehingga dapat dinikmati
oleh seluruh warga negara, tidak terkecuali para buruh. Dengan demikian tidak akan terjadi lagi tarik ulur antara
pengusaha dengan buruhnya mengenai masalah ini. Para buruh bisa bekerja dengan tenang--karena kebutuhan
primernya telah terpenuhi--sambil menunggu upahnya untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya. Dan para majikan
pun akan senang dengan lancarnya pekerjaan para buruh mereka, yang berarti produksi berjalan baik-dan keuntungan
tinggal ditangguk. Negara pun akan memperoleh bahagian dengan lancarnya roda perekonomian ini, yaitu melalui
zakat perniagaan para pengusaha yang memang telah sampai nisonya. Uang pemasukan negara itu pun toh akan
kembali lagi ke rakyat, karena memang sudah menjadi tanggung jawab negara--mencukupi--kebutuhan rakyatnya.
Sungguh betapa indahnya sistem kehidupan masyarakat seperti ini. Adakah yang lebih baik dari nya ?

Anda mungkin juga menyukai