Anda di halaman 1dari 6

RELEVANSI KONSEP UPAH DALAM PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH

TERHADAP SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA

LATAR BELAKANG

Islam menekankan tentang sistem pengupahan dengan kontrak antara kedua


belah pihak, sehingga asas keadilan yang dijunjung tinggi Islam dapat terlaksana, semua
saling rela tanpa ada paksaan dari salah satu pihak, kemudian Islam juga mengajarkan
supaya membayar upah secepat mungkin, karena masing-masing pekerja tidak tahu
kebutuhan hidupnya. Untuk mempertahankan suatu standar upah yang layak, Islam
telah memberikan kebebasan sepenuhnya atas mobilisasi tenaga kerja, cara kedua yang
dianjurkan Islam dalam menstandarisasikan upah diseluruh negeri adalah dengan
memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pekerja untuk memilih jenis pekerjaan yang
diinginkan.

Upah dalam konsep syariah memiliki dua dimensi, yaitu dimensi dunia dan
dimensi akherat. Untuk menerapkan upah dalam dimensi dunia, maka konsep moral
merupakan hal yang sangat penting agar pahala dapat diperoleh sebagai dimensi akherat
dari upah tersebut. Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak akan tercapai.
Oleh karena itulah konsep moral diletakkan pada kotak paling luar, yang artinya konsep
moral diperlukan untuk menerapkan upah dimensi dunia agar upah dimensi akherat
dapat tercapai.

Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sedikit pengusaha yang sadar dan


sukarela meningkatkan penghidupan karyawannya, terutama golongan pekerja yang
paling rendah. Sedangkan karyawan melalui Serikat Pekerja atau Serikat Buruh dengan
mengundang campur tangan pemerintah selalu menuntut kenaikan upah dan perbaikan
tunjangan-tunjangan lainnya (fringe benefits). Masalah dalam bidang pengupahan
adalah keanekaragaman sistem pengupahan sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu
proporsi bagian upah dalam bentuk natura dan fringe benefits cukup besar, dan besarnya
tidak seragam antara perusahaan-perusahaan. Kesulitan sering ditemukan dalam
perumusan kebijaksanaan nasional.

Penanganan mengenai pengupahan ini tidak hanya menyangkut aspek teknis dan
aspek ekonomis saja, tetapi juga aspek hukum yang menjadi dasar bagaimana hal-hal
yang berkaitan dengan pengupahan itu dilaksanakan dengan aman dan benar
berdasarkan regulasi pemerintah yang berlaku. Oleh karena itu, untuk menangani
pengupahan secara profesional mutlak memerlukan pemahaman ketiga aspek tersebut
secara komprehensif. Pemerintah Indonesia selalu merubah kebijakan
ketenagakerjaanya terutama menyangkut penanganan pengupahan. Kebijakan
penentuan upah minimum didasarkan pada kebutuhan fisik minimum yang kemudian
berubah menjadi kebutuhan hidup minimum, lalu sekarang namanya menjadi
pencapaian kebutuhan hidup layak.

Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang penetapan upah di atas menggambarkan


bahwa upah yang setara akan dipertimbangkan oleh penetapan upah (musamma), jika
ketetapan upah itu ada, di mana dua pihak dapat menerima. Adil, seperti dalam kasus
penjual atau penerima upah/harga yang ditetapkan (thaman musamma) berpijak pada
harga yang setara. Prinsip ini berlaku bagi pemerintah maupun individu. Jadi, jika
pemerintah ingin menetapkan upah atau kedua pihak (employer dan employee) tidak
bersepakat tentang besarnya upah, mereka harus sepakat tentang besarnya upah yang
ditetapkan pemerintah yang berpijak pada kondisi normal. Pendapat ini merupakan
sebuah pemikiran yang sangat mendalam dan lebih maju dalam menginterpretasikan
makna upah yang adil dalam Al-Quran dan Sunnah.

Dari paparan diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji, menganalisa dan
membandingkan mengenai pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah tentang konsep upah dan
relevansinya dalam sistem pengupahan di Indonesia untuk itu judul yang diambil
penulis adalah “RELEVANSI KONSEP UPAH DALAM PEMIKIRAN IBNU
TAIMIYAH TERHADAP SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA “
RUMUSAN MASALAH

1. Apa perbedaan dan persamaan konsep upah dalam pemikiran Ibnu Taimiyah dan
system pengupahan di Indonesia?
2. Bagaimana relevansi konsep upah dalam pemikiran Ibnu Taimiyah terhadap
system pengupahan di Indonesia?

PENELITIAN TERDAHULU

1. Penelitian terdahulu oleh FirmanSyah, R., & Fauzy, M. Q. (2017). Sistem


upah minimum Kabupaten dalam perspekti Islam (Studi kasus pada upah
minimum Kabupaten Sidoarjo). Jurnal Ekonomi Syariah Teori Dan
Terapan, 4(6), 434-448. Seperti halnya dalam perumusan upah, tahapan
perumusan upah ini pertama kali dilakukan oleh Dewan Pengupahan dengan
melakukan survei kebutuhan hidup layak pada tiga pasar tradisional yaitu pasar
wadung asri, krian, dan larangan. Hasil yang didapatkan dalam survei pasar
dijadikan pedoman yang kemudian dibahas dalam Dewan Pengupahan dengan
berdasarkan musyawarah atau perundingan kedua belah pihak sehingga
menghasilkan sebuah kesepakatan bersama. Hasil dari kesepakatan tersebut
hanya digunakan sebagai pengusulan saja bukan sebagai penentunya, wewenang
penentuan besaran upah minimum berada pada tingkat Gubernur. Dalam
indikator keadilan, indikator kelayakan, dan indikator kebajikan kedua belah
pihak masih sama-sama belum menerima kepuasan apa yang menjadi
kepentingan mereka, pada pengusaha menekankan bahwa kenaikan upah tidak
dibarengi dengan tingkat produktivitas pekerjanya sehingga membuat pengusaha
merasa keberatan dalam membayar upah minimum tersebut. Sedangkan bagi
pekerja menekankan bahwa upah minimum yang layak selama ini hanya
dihitung berdasarkan pekerja lajang saja sehingga bagi pekerja yang telah
berkeluarga merasa bahwa upah minimum tersebut tidak dapat mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya. Padahal Islam memberikan pedoman untuk
memberikan upah yang sepadan (ajr almitli) dimana upah yang sepadan dengan
kerja dan kondisi pekerjaannya, dan tidak ada penganiayaan terhadap pekerja
maupun majikan.
2. Penelitian terdahulu oleh Nugraheni SL, V., & Cahyono, D. (2017). Sistem
Pengupahan di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam
(ECONOMIC), 8(2), 144-153. Berdasarkan Undang-Undang no.13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan: Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Upah adalah hak pekerja/buruh
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian,kesepakatan dan perundang-
undangan,termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerja dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Sehubungan dengan hal
tersebut, dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 serta peraturan
pelaksanaannya yang antara lain dituangkan dalam Keputusan Menteri Tenaga
Kerja harus dipahami dan dipatuhi oleh semua pihak yang terkait dengan
hubungan kerja, hal ini disebabkan dalam perjanjian kerja merupakan dasar bagi
masing-masing pihak bila terjadi perselisihan dikemudian hari, maka
penyusunan perjanjian kerja yang benar dan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku merupakan hal yang sangat penting dan strategis.
3. Peneltian terdahulu oleh Riyadi, F. (2015). Sistem dan Strategi Pengupahan
Perspektif Islam. Iqtishadia, 8(1). Tulisan  ini membahas  tentang  strategi dan
sistem pemberian upah bagi  buruh dalam   perspektif  Islam. Pendekatan  yang
dipergunakan  dalam  kajian ini adalah pendekatan  normatif, sosiologis-politis
dengan  menggunakan   metode analisis- deskriptif    kualitatif.   Sistem  
kapitalisme    dan   sosialisme masih belum  secara  signifikan   memberikan   
solusi  terhadap problematika upah dan buruh.  Kapitalisme  menjadi  hal  yang
menakutkan dan sangat tidak manusiawi,  karena sering terjadi pelanggaran 
HAM, penyelewengan kekuasaan  dan wewenang untuk  mendapatkan
kekuasaan   sebesar-besarnya.  Sementara sosialisme lebih mengutamakan
kepentingan  dan kesejahteraan sosial  di atas kepentingan  dan kesejahteraan
individu. Hasil penelitian menunjukkan  bahwa Islam  memberikan ketentuan
dan tatanan tentang upah dan buruh. Syariah Islam bertujuan untuk
merealisasikan kesejahteraan manusia, tidak hanya pada kesejahteraan   secara
ekonomi,  tetapi juga  persaudaraan  dan keadilan sosio-ekonomi, kedamaian
dan kebahagiaan jiwa, serta keharmonisan keluarga sosial.
4. Penelitian terdahulu oleh Ridwan, M. (2013). Standar upah pekerja menurut
sistem ekonomi islam. Equilibrium, 1(2), 241-257. Artikel ini mendeskripsikan
tentang konsep upah dalam sistem ekonomi Kapitalis, Sosialis dan Islam.
Tulisan ini juga mendeskripsikan tentang peran serikat buruh dalam
memperjuangkan hak-hak pekerja khususnya dalam memperjuangkan kadar
upah minimum. Kajian ini menarik untuk dibahas karena ada perbedaan
mendasar antara konsep upah menurut Kapitalis, Sosialis dan Islam. Dalam
Islam, pekerja tidak seperti faktor produksi yang lain sehingga dalam
menentukan upah pekerja tidak dapat diperlakukan seperti faktor produksi yang
lain yang didasarkan pada hukum permintaan dan penawaran. Standar upah
minimum dalam Islam harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat adil dan layak
dimana upah yang diterima seorang pekerja harus dapat mencukupi kebutuhan
pokok pekerja dan keluarganya. Dan jika upah yang diterima tidak mencukupi
kebutuhannya, maka Islam mengkategorikan pekerja dalam ashanaf yang berhak
menerima zakat.
5. Penelitian Terdahulu oleh Faozi, M. M., & Rahmiyanti, P. I. (2016). Sistem
Pengupahan Tenaga Kerja Home Industriperspektif Ekonomi Islam. Al-
Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Syariah, 4(1). Rumusan masalah
yang diangkat dalam penelitian ini yaitu mengenai bagaimana sistem
pengupahan tenaga kerja di Home Industri Konveksi ABR dan Bagaimana
sistem pengupahan tenaga kerja di Home Industri Konveksi ABR perspektif
ekonomi Islam. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui sistem
pengupahan tenaga kerja di Home Industri Konveksi ABR dan untuk
mengetahui sistem pengupahan tenaga kerja di Home Industri Konveksi ABR
perspektif ekonomi Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Dari hasil penelitian, sistem
pengupahan tenaga kerja Home Industri Konveksi ABR menggunakan sistem
pengupahan borongan yang dikombinasi dengan sistem upah menurut hasil,
jumlah upah tenaga kerja dikaitkan dengan jumlah hasil produksi dikalikan
dengan jumlah upah yang ditetapkan, ditambah upah lembur, tunjangan makan,
dan tunjangan THR. Jumlah upah yang diperoleh tidak sama karena adanya
perbedaan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tanggung jawab dan
jabatan pekerjaan. Secara aplikasinya sistem pengupahan tenaga kerja Home
Industri Konveksi ABR telah sesuai dengan ekonomi Islam.

Anda mungkin juga menyukai