Anda di halaman 1dari 13

STANDAR PENGUPAHAN DALAM EKONOMI ISLAM

(Studi Kritis atas Pemikiran Hizbut Tahrir)

Ahmad Syakur *
Abstract
The labour and wage problems is one of central issues in the contemporary industrial economy. Wagework is the
leading provider of tax-advantage consumer directed health, commuter and other employee benefit. In order to
compromise between employee and employer interest, the government set a minimum regional wage. Minimum
wage policy in Indonesia is set based an a survey of decent living needs.
Hizbut Tahrir is one of Islamic movement that calls to return to the practise of Islam in the all of life sides. Then,
Hizbut Tahrir concerns to study of Islamic economy, especially the economy of Islamic state and public finance.
Hizbut Tahrir has different opinion with other moslem economic about standard wage rates.
Standard wage rates – refers Hizbut Tahrir opinions- is only based the work utility of labor. The basic living
needs cannot be the standard of wage. The wage rate is prerogative right of employee and employer, described
a agreement based the utility of work. This opinion different with mainstream moslem economic. According
to maintreams moslem economic, standard of wage not only based work utility of labor, but also based decent
living needs.
Keyword: Standard, wage, living needs, Islamic economy

A. Latar belakang industri. Hubungan yang tidak harmonis antara


Permasalahan buruh dan upah buruh me- pekerja dan pengusaha ini tentu mempengaruhi
rupakan salah satu isu sentral dalam ekonomi kinerja dan produktifitas usaha dan pada
industrial saat ini, di mana mayoritas penduduk gilirannya perekonomian nasional.
menggantungkan hidupnya dari upah yang Sebagai salah satu gerakan Islam yang
diperoleh, mulai dari tingkat upah yang rendah menyeru untuk kembali kepada Islam (sya-
sampai ke sistem kontrak dalam kerja. Kese- riah) dalam semua lini kehidupan, Hizbut
luruhannya menjadi isu yang menggerakkan Tahrir1 sangat cocern dengan kajian ekonomi
demo kaum buruh. Ritual tahunan penetapan Islam, khususnya ekonomi negara. Pandangan
Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) men- dan pemikiran Hizbut Tahrir tentang eko-
jadi arena tarik menarik dua kepentingan; nomi banyak tertuang dalam buku-buku
kepentingan buruh dan pemilik modal/peng- rujukan mereka, baik yang langsung diatas-
usaha. Demonstrasi menuntut kenaikan UMK namakan Hizbut Tahrir maupun atas nama
selalu dilakukan oleh kaum buruh dengan para pemimpin mereka. Di antara buku-buku
alasan tingkat UMK yang telah ditetapkan tersebut yang terpenting adalah: Al-Niẓām
belum bisa memenuhi kebutuhan pokok pe- Al-Iqtiṣādy, Al-Dawlat Al-Islāmiyah dan Muqad-
kerja. Sebaliknya, pihak pengusaha selalu dimat al-Dustūr. Ketiganya karya Taqy al-Dīn
menyuarakan bahwa kenaikan UMK akan ber- Al-Nabhāny, serta buku Al-Amwāl fī Dawlat
akibat negatif bagi usaha mereka, yang bisa al-Khilāfah karya Abdul Qadīm Zallūm. Hizbut
jadi berakibat fatal; bangkrut atau beralih Tahrir menyeru agar umat Islam, baik indivi-
pada efisiensi sumber daya manusia yang ber- du, masyarakat maupun negara, kembali ke-
ujung PHK. Di samping itu masih banyak peng- pada ekonomi Islam dan meninggalkan eko-
usaha yang tidak taat dalam penerapan upah
minimum tersebut dan memberi upah di bawah Hizbut Tahrir adalah salah satu kelompok gerakan
1

standar minimum. Kondisi ini tentu tidak baik Islam yang didirikan pada tahun 1953 di Yordania oleh
bagi perekonomian kontemporer yang berbasis Taqy al-Din al-Nabhani. Pada tahun 1980-an Ḥizb Al-
Taḥrīr masuk ke Indonesia dibawa oleh M. Mustofa
dan Abdurrahman Al-Baghdady. Saat ini Ḥizb Al-Taḥrīr
*
Dosen tetap Jurusan Syariah STAIN Kediri telah eksis di hampir semua kota di Indonesia.

Ahmad Syakur, Standar Pengupahan dalam Ekonomi Islam 1


nomi kapitalis dan sosialis yang telah lama Undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/
diimport dari Barat. buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
Hizbut Tahrir sangat respek dengan isu-isu dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.5
politik ekonomi yang berkembang di masya- Selain upah, ada beberapa istilah yang
rakat, tidak terkecuali dalam masalah buruh sering dipakai untuk menunjuk makna yang
dan upah. Dalam banyak kesempatan, Hizbut sama, yaitu kompensasi dan imbalan. Secara
Tahrir menulis pandangan mereka tentang umum, para ahli ekonomi mempersamakan
problematika buruh dan sistem pengupahan ketiga istilah tersebut. Namun dalam mana-
serta mengkritisi kebijakan pemerintah. Arti- jemen sumber daya manusia modern, istilah
kel sederhana ini akan membahas tentang salah imbalan dan kompensasi lebih banyak digu-
satu pemikiran ekonomi Hizbut Tahrir, yaitu nakan.6 Dalam artikel ini, penulis lebih
tentang standar pengupahan, yang diharapkan memilih kata upah, daripada kata imbalan
memberikan kontribusi akademik problematika dan kompensasi. Penggunaan kata upah ini
perburuhan di Indonesia. dengan pertimbangan bahwa istilah ini yang
digunakan dalam ilmu ekonomi dan dalam re-
B. Teori Upah dan Standar Pengupahan gulasi peraturan per-Undang-Undangan kete-
dalam Ekonomi Konvensional nagakerjaan di Indonesia.
Dalam teori ekonomi, upah secara umum Sistem pengupahan di suatu negara didasar-
dimaknai sebagai harga yang dibayarkan ke- kan kepada falsafah atau sistem perekonomian
pada pekerja atas jasanya dalam produksi keka- negara tersebut. Selama ini teori yang men-
yaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga dasari pengupahan konvensional pada dasarnya
kerja diberikan imbalan atas jasanya yang dibedakan menjadi dua teori ekstrim, yaitu;
disebut upah.2 Sementara Sadono Soekirno (1) berdasarkan ajaran Karl Mark mengenai
mendefinisikan upah sebagai pembayaran teori nilai dan pertentangan kelas, dan (2) ber-
yang diperoleh atas berbagai bentuk jasa yang dasarkan pada teori pertambahan produk mar-
disediakan dan diberikan oleh tenaga kerja ke- ginal berdasarkan asumsi perekonomian bebas.
pada para pengusaha.3 Sedangkan T. Gilarso Sistem pengupahan pertama pada umumnya
memaknai upah sebagai balas karya untuk dilaksanakan di negara penganut paham so-
faktor produksi tenaga kerja manusia, yang sialis, sedangkan sistem pengupahan kedua
secara luas mencakup gaji, honorarium, uang banyak dipakai di negara berpaham kapitalis.
lembur, tunjangan dan lain lain.4 Dengan berpedoman pada pandangan
Secara lebih jelas pengertian tentang upah Karl Mark, tingkat upah dalam sistem eko-
dipaparkan dalam Undang Undang nomor 13 nomi sosialis ditentukan oleh pemerintah.
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam Pemerintah akan menentukan berapa tingkat
pasal 1 Undang-Undang tersebut dikatakan upah yang akan diterima oleh seorang pekerja
bahwa; upah adalah hak pekerja/buruh yang 5
UU RI Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang Pasal 1 poin 30
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi 6
Jusmaliani dan Sondang P. Siagian dalam buku mereka
kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan menggunakan istilah sistem imbalan. Upah dan gaji menurut
mereka merupakan salah satu komponen imbalan, disamping
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian imbalan yang dalam bentuk lain seperti insentif, bonus,
kerja, kesepakatan atau peraturan per-Undang- remunerasi, tunjangan dan fasilitas sosial lainnya. Sedang
Edy Sutrisno dan Veithzal Rivai lebih memilih menggunakan
2
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam. Jilid. 2. terj. istilah kompensasi. Lihat: Jusmaliani, Pengelolaan Sumber Daya
Soeroyo dan Nastangin, (Jogjakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Insani (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 116-127; Sondang
hlm. 361 P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Bumi
3
Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi Pengantar Teori, Edisi III Aksara, 2003), hlm. 252-284; Edy Sutrisno, Manajemen Sumber
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 350 Daya Manusia (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 183; Veithzal Rivai,
4
T. Gilarso, Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro (Yogyakarta: Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan: Dari Teori Ke
Kanisius, 2003), hlm. 211 Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 357

2 Vol. 9 No. 1 Januari 2015 | 1-13


sehingga para pekerja tidak berhak meminta bagi tenaga kerja manusia. Efisiensi produksi
suatu tingkat upah tertentu. Pertimbangan dan motivasi untuk memaksimumkan tingkat
penentuan upah oleh pemerintah pada dasarnya keuntungan akan mendorong para produsen
adalah sesuai dengan kepentingan pemerintah, untuk menggunakan tenaga kerja yang lebih
yang dapat beraspek ekonomi, politik atau murah dan memiliki produktifitas tinggi. Dengan
lainnya. Upah yang ditetapkan bisa saja berada alasan ini, banyak produsen yang mengganti
di atas atau di bawah harga pasar (market tenaga kerja manusia dengan mesin-mesin pro-
wage), seandainya mekanisme pasar tenaga duksi sehingga permintaan terhadap tenaga
kerja yang bebas dilakukan. Meskipun tujuan kerja semakin menurun. Akibatnya tingkat
utama Sosialisme adalah memberikan tingkat upah tenaga kerja manusia akan cenderung
kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. menurun karena kalah bersaing dengan mesin.8
Namun dalam dunia nyata nasib para pekerja Memang dalam kenyataan saat ini penen-
tidak lebih baik dibandingkan dalam sistem tuan upah tidaklah mengikuti cara yang eks-
Kapitalisme. trim seperti di atas. Dalam perekonomian
Sedangkan dalam pandangan Kapitalisme, kapitalis juga sering dijumpai intervensi
yang menggunakan teori pertambahan produk pemerintah dalam wujud penentuan kebijakan
marginal,7 tingkat upah (wage rate) akan pengupahan (seperti kebijakan upah minimum)
ditentukan berdasarkan kekuatan permintaan dan jaminan sosial-keselamatan bagi pekerja.
dan penawaran dalam pasar tenaga kerja. Jadi, Kesejahteraan masyarakat juga ditingkatkan
tingkat upah akan ditentukan berdasarkan dengan cara pemberian tunjangan sosial.
market wage. Karena tenaga kerja pada dasarnya Demikian juga dalam ekonomi sosialis saat ini
dianggap sama seperti barang-barang modal, kebanyakan juga telah dikombinasikan dengan
maka hukum permintaan dan penawaran unsur-unsur pasar. Penentuan tingkat upah,
barang akan berlaku dalam penentuan tingkat dengan sendirinya juga mempertimbangkan
upah. Jika penawaran tenaga kerja berlimpah unsur pasar. Tetapi dalam perekonomian kapi-
sementara permintaan terhadap tenaga kerja talis peranan mekanisme pasar dalam penen-
kecil maka tingkat upah akan rendah. Sebalik- tuan upah tetap dominan, sementara dalam
nya, jika penawaran tenaga kerja sangat Sosialisme peranan pemerintah juga tetap
terbatas sementara permintaannya sangat kuat dominan.
maka tingkat upah akan tinggi. Kenaikan atau Dalam perkembangan kontemporer, mun-
penurunan permintaan dan penawaran tenaga cul seruan untuk menjadikan pemenuhan kebu-
kerja dengan sendirinya akan berpengaruh tuhan pokok pekerja sebagai standar minimal
pada tingkat upah. upah. Cascio, sebagaimana dikutip Edy Sutrisno,
Secara teoritis, baik produsen maupun tena- mengatakan bahwa agar efektif kompensasi
ga kerja memiliki peluang untuk menentukan (upah) seharusnya dapat memenuhi kebutuhan
tingkat upah. Keduanya dapat mempengaruhi dasar, mempertimbangkan adanya keadilan
titik keseimbangan permintaan dan penawaran internal dan eksternal, dan pemberiannya dise-
tenaga kerja di pasar. Tetapi dalam dunia nya- suaikan dengan kebutuhan individu. Hal senada
ta, nasib tenaga kerja dalam perekonomian ka- juga dikemukakan oleh Robbins yang menyatakan
pitalis seringkali menyedihkan. Tenaga kerja bahwa penghargaan dapat meningkatkan
harus bersaing dengan tenaga mesin dan alat- prestasi kerja dan kepuasan kerja, apabila; 1).
alat fisik lain yang dapat menjadi substitusi Mereka merasakan adanya keadilan dalam
kompensasi; 2). Penghargaan yang mereka
7 Dalam teori konvensional dikenal istilah Marginal terima terkait dengan kinerja mereka; 3).
Product of labour (MPL), yaitu tambahan output yang diterima
oleh perusahaan sebagai akibat penambahan input sejumlah
satu unit. Dalam pandangan klasik MPL inilah yang dianggap
sama dengan upah riil yang diterima oleh tenaga kerja (MPL = 8
M.B. Hendrianto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami
W/P). Lihat misalnya: Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi, hlm. 331 (Jogjakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 225-227

Ahmad Syakur, Standar Pengupahan dalam Ekonomi Islam 3


Berkaitan dengan kebutuhan individu.9 Karena mengembalikan penetapan upah kepada nilai atau
itu, dalam penetapan tingkat upah terjadi harga sesuatu, hasil produk pekerja serta peme-
kombinasi antara standar kebutuhan pokok nuhan kebutuhan hidupnya, sebagaimana tidak ada
minimal dengan mekanisme pasar. Ketika peran bagi naik atau turunnya tingkat kehidupan
mekanisme pasar menghasilkan tingkat upah bagi penetapan upah tersebut. Penetapan upah
hanya merujuk kepada satu hal saja, yaitu manfaat
di bawah kebutuhan pokok minimum pekerja,
(jasa) karena ia merupakan akad atas manfaat
pemerintah harus menetapkan tingkat upah
dengan imbalan.”
minimum yang memenuhi standar kebutuhan
pokok pekerja. Hal senada juga dikatakan oleh Hafidz
Abdurrahman, salah satu tokoh utama Hizbut
C. Standar Pengupahan dalam Pemikiran Tahrir Indonesia (HTI). Abdurrahman menya-
Hizbut Tahrir takan bahwa dalam menentukan gaji buruh,
Standar upah seorang pekerja menurut standar yang digunakan oleh Islam adalah
Hizbut Tahrir ditakar berdasarkan jasa atau manfaat tenaga yang diberikan oleh buruh di
manfaat tenaganya, bukan diukur sesuai sebe- pasar, bukan living cost terendah. Karena itu,
rapa besar tenaga yang dicurahkan. Besar- tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para
kecilnya tenaga yang dikeluarkan bukan majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, ka-
merupakan standar pengupahan dan juga rena buruh mendapatkan upahnya sesuai de-
bukan standar jasa bagi dirinya. Dalam hal ini ngan ketentuan upah sepadan yang berlaku di
Al-Nabhani mengatakan: tengah masyarakat.11
îó¾ ¸üāÞä¾ ŧò. ¼äêùŋ. ýû 0ÎÄĄ. ÎĀÌí¾ úāóã ţɀĀ LȆ. :¸ÑĄ. H´é
Dasar dari konsep upah ini menurut Hizbut
Tahrir adalah definisi shar’i dari ijarah. Hal ini
ñöäóɎ ¼»ÒɃò¸º ƭ ½ÒɄòJ .ÖËÕɎ. îɎ7 J* ñöäò. îɎ7 ¸üāÞäĀ J* ǐäò.
karena definisi shar’i merupakan hukum shar’i.
,úĸ¿ø, ƷÄąɎ ¼»ÒɃò¸º ƭ ½ÒɄòJ ,úùöÁ ĈJ úāé ñöäĀ LȆ. (ƁɎ. ¼öāì
Dalam hal ini kedudukannya sama dengan
Ký¿Òɏ @¸ê¾8Ĉ ñÊ6 Ĉ îɎÍȠJ .ƷÄĄ. ¼Ä¸Ç 6.ÌÑ ½ÒɄò ¸üø* ¸öï kaidah shar’iyah, karena ia diambil dari dalil
¼öāíò 0ÎÄĄ. ÎĀÌí¾ âÄÎĀ H* ÆØĀ ĉé .¸ûÎĀÌí¾ Ɨ úÚ¸êļ.J* ¼ÕɄäŋ. shar’i dengan ijtihad yang benar. Dengan demi-
@¸ê¾8Ĉ ñÊ6 Ĉ J ú¿Ä¸Ç 6.ÌÑ ĈJ ñɏ¸äò. 3¸¿ø. J* úùöÁ J* µāÕɎ. kian definisi shar’i bisa dijadikan dalil bagi
ÌÇ.J (ƁɎ ¸ûÎĀÌí¾ âÄÎĀ ¸öøɉJ .¸ûÎĀÌí¾ Ɨ úÚ¸êļ.J* ¼ÕɄäŋ. Ký¿Òɏ masalah yang sesuai sebagaimana hukum
.=ýäº ¼äêùŋ. Ȃ Ìíã ¸üøĄ ,¼äêùŋ. ýû Üíé
YX shar’i. sedangkan definisi shar’i dari akad ijarah
10
adalah akad atas manfaat dengan pengganti.
Artinya;”Sesungguhnya asas dari penetapan Manfaat tersebut bagi pekerja bisa manfaat
upah adalah manfaat (jasa) yang diberikan baik kerja jika melakukan kerjanya berdasar ilmu
oleh barang, pekerjaan atau orang tersebut. Upah dan keahliannya seperti insinyur, atau manfaat
tersebut bagi suatu pekerjaan bukanlah nilai mau-
dirinya jika melakukan kerja berdasarkan
pun harga dari sesuatu tersebut. Sedang bagi pe-
kekuatan badannya seperti pembantu.12
kerja, upah tersebut bukanlah produk yang diha-
silkannya sebagaimana ia bukanlah pemenuhan
Al-Nabhani mengkritik teori upah menurut
kebutuhan pokoknya. Tidak ada peran sama sekali pertambahan produk marginal (produktifitas
bagi naik atau turunnya tingkat kebutuhan hidup marginal) dalam ekonomi konvensional. Seba-
bagi penetapan upah. Karena itu tidak absah gaimana Al-Nabhani juga menolak teori pengu-
pahan berdasar kebutuhan hidup minimal yang
Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya, hlm. 186
9
menjadi dasar pengupahan di berbagai negara
Taqy al-Din Al-Nabhani, al-Shakhsiyah al-Islāmiyah,
10

Vol. 2, (Beirut: Dār al-Ummah li al-Tibā’ah wa al-Nasr wa al- kontemporer. Di beberapa negara kapitalis,
Tawzī’, 2005), hlm. 94-95; Statemen senada juga ditulis dalam termasuk Indonesia, tingkat upah ditentukan
beberapa bukunya yang lain. Lihat: Taqyuddin Al-Nabhani,
al-Niẓām al-Iqtisādy Fī al-Islām (Beirut: Dār al-Ummah Li al- Hafidz Abdurrahman, Cara Islam Mengatasi
11

Ṭibā’ah wa al-Nashr wa al-Tawzī’, 2004), hlm. 92; al-Nabhani, Masalah Perburuhan dalam http://hizbut-tahrir.
Muqaddimat al-Dustur Aw al-Asbāb al-Mūjibah Lah (Beirut: or.id/2012/05/03/cara-islam-mengatasi-masalah-
t.p., 1963), hlm. 265; al-Nabhani, Daulah Islam, Terj. Umar perburuhan/ diakses pada 10 Oktober 2013
Faruq, Dkk (Jakarta: HTI Press, 2009), hlm. 331. 12 Al-Nabhani, Muqaddimat al-Dustūr, hlm. 265

4 Vol. 9 No. 1 Januari 2015 | 1-13


berdasar kebutuhan pokok minimal pekerja pemerintah. Untuk pegawai pemerintah,
untuk bertahan hidup. Adapun tingkat upah mayoritas ilmuwan berpendapat bahwa peme-
ditentukan berdasar harga kebutuhan pokok rintah harus memperhatikan tingkat kecu-
tanpa melihat manfaat atau nilai guna dari kupan hidup pegawainya, dalam arti standar
tenaga pekerja baik bagi individu maupun penetapan upah tidak boleh hanya berdasar
masyarakat. Hal ini menjadikan kaum pekerja manfaat al-juhd semata. Dalam hal ini, mereka
menjadi masyarakat kelas bawah yang tidak bisa mendasarkan pendapatnya pada beberapa
menikmati kehidupan lebih dari pemenuhan riwayat nabi dan sahabat yang menyebutkan
kebutuhan pokoknya, sebagaimana mereka ti- bahwa mereka memberikan gaji kepada pega-
dak bisa menabung untuk meningkatkan kese- wai publik dan pemerintah, selain berdasar
jahteraan ekonominya di masa akan datang. manfaat kerja juga berdasar kecukupan pe-
Upah menurut Hizbut Tahrir tidak diha- kerja yang berupa kebutuhan pokok, baik
ruskan mencukupi kebutuhan hidup pokok berupa makanan, pakaian, tempat tinggal,
para pekerja, tapi semata-mata berdasarkan pengobatan dan lainnya. Bahkan Nabi SAW
sejauhmana nilai manfaat dari tenaga kerja menganggap istri sebagai kebutuhan bagi yang
tersebut. Hal itu ditandai dengan terealisasinya belum punya istri, demikian juga pembantu
kesepakatan saling rela atas tingkat upah bagi pekerja yang tidak dapat melayani dirinya
tertentu antara pekerja dan orang yang sendiri. Rasulullah SAW bersabda:
mempekerjakannya. Jika nilai guna yang ¹ÒɁðāóé G6¸Ê Ȅ ÷ȲĀ ôɎ H´é ,¼ÄJ9 ¹ÒɁðāóé ĉɏȀ ¸ǽ HǓ ÷õ
dikerahkan oleh seorang tenaga kerja lebih Y]
¸ùðÒɏ ¹ÒɁðāóé ÷ȲÒɏ Ȅ ÷ȲĀ ôɎ H´é ¸õ6¸Ê
15
rendah dari kebutuhan pokok hidupnya,
maka pembayaran tingkat upah sesuai dengan Artinya: “Barangsiapa menjadi pekerja pada
kebutuhan pokok minimal merupakan bentuk kami, maka hendaklah ia mencari seorang istri,
kedzaliman terhadap pengusaha/musta’jir. jika tidak mempunyai pembantu maka hendaklah
dia mencari pembantu dan jika tidak mempunyai
Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat menurut
tempat tinggal hendaklah ia mencari tempat
Hizbut Tahrir adalah kewajiban pemerintah,
tinggal.”
bukan kewajiban pengusaha.13
Dengan standar pengupahan tersebut, Dalam riwayat lain dikatakan:
Hizbut Tahrir berpendapat bahwa pemerintah ÷ȲÒɏ Ȅ ÷ȲĀ ôɎ ÷õJ ,0*Îɏ. 3Jǃāóé 0*Îɏ. Ȅ ÷ȲĀ ôóé ¸·ɄÔ ¸ǽ ȟJ ÷õ
tidak boleh ikut campur tangan menentukan G6¸Ê Ȅ ÷ȲĀ ôɎ ¸»ȠÎɏ ÍË¿āóé ¹ȠÎɏ Ȅ ÷ȲĀ ôɎ ÷õJ,¸ùðÒɏ ÍË¿āóé
tingkat upah, baik berupa penentuan upah
Y^
...¸õ6¸Ê ÍË¿āóé
16
minimum ataupun lainnya.14 Standar upah Artinya;” Barangsiapa bekerja bagi kami sedang dia
harus berjalan mengikuti mekanisme pasar, belum punya istri maka hendaknya dia menikahi
yaitu berdasar kesepakatan antara pekerja seorang perempuan, dan barangsiapa tidak punya
dengan pengusaha. Pemerintah hanya boleh tempat tinggal hendaknya mengambil tempat
turun tangan jika terjadi kezaliman yang dila- tinggal, barangsiapa tidak mempunyai kendaraan
kukan oleh salah satu pihak terhadap yang hendaknya mengambil kendaraan untuknya, dan
lain. barangsiapa tidak mempunyai pembantu hendak-
nya ia mengambil pembantu.”
D. Standar Upah dalam Mainstream Hadis-hadis di atas menjadi patokan bagi
Pemikiran Ekonomi Islam para sahabat dan penerus mereka. Dalam
Dalam kajian pemikiran ekonomi Islam sebuah riwayat dari Abu Ubaidah, dalam
klasik, pegawai secara umum diklasifikasikan
menjadi dua; pegawai pemerintah yang me- 15
HR Abu Dawud (2945); al-Hakim dalam Bab Zakat dan
ngurusi urusan publik serta pegawai non disahihkan menurut syarat Bukhari (I/406) dan disepakati
oleh al-Dzahabi, disebutkan oleh al-Albani dalam Shahih al-
13
Al-Nabhani, al-Niẓām al-Iqtiṣādy, hlm. 106 Jami’ al-Saghir (6486).
14
Al-Nabhani, al-Shakhsiyah al-Islāmiyah, Vol. 2, hlm. 97 16
Abu Ubayd, al-Amwal )Beirut: Dar al-Fikr,1988) hlm. 338

Ahmad Syakur, Standar Pengupahan dalam Ekonomi Islam 5


dialognya dengan Khalifah Umar bin Khatab Begitu juga Al-Nawawi dalam kitab Al-
tentang upah para pekerja negara, disebutkan Majmū’ mengatakan;
bahwasanya Abu Ubaidah memohon agar batas “Setiap orang yang diberi tugas mengurusi perkara
minimal upah tersebut adalah upah yang bisa yang keberadaannya merupakan kemaslahatan
memenuhi kebutuhan pekerja baik, pangan, kaum muslimin dan jika orang tersebut sibuk
sandang maupun papan, serta menghindarkan mencari nafkah tugasnya terbengkalai, maka ia
mereka dari mengkhianati amanah yang dibe- berhak mendapatkan kecukupan atas kebutu-
hannya dari Baitul Mal. Termasuk dalam hal ini
bankan kepadanya. Sejarah mencatat bahwa
adalah semua ahli ilmu, pelajar, pekerja, juru tulis,
setelah wilayah Islam sangat luas, Khalifah
akuntan dan semua yang dibutuhkan. 19
Umar bin Khattab mengirim banyak sahabat
terkemuka ke daerah-daerah, baik dalam wila- Begitulah, para ulama klasik berpendapat
yah Arab maupun luar Jazirah Arab untuk bahwa pemerintah wajib memberi gaji kepada
menjalankan pekerjaan-pekerjaan kenegara- para pegawainya, orang-orang yang bekerja di
an. Abu Ubaidah takut bilamana kesibukan ruang publik dan orang-orang yang tenaganya
para sahabat terkemuka tersebut menjadikan dibutuhkan oleh masyarakat. Gaji tersebut
mereka tergelincir dengan urusan dunia, dengan ukuran yang mencukupi diri dan
daripada dengan urusan dakwah dan agama, keluarganya.
sehingga lebih baik mereka tidak sibuk dengan Sedang pegawai non-pemerintah (swasta)
urusan itu. Abu Ubaidah berkata kepada Kha- para ulama’klasik tidak secara eksplisit menegas-
lifah Umar; “Engkau telah mengotori Sahabat kan ketentuan ini. Riwayat yang menyatakan
Rasulullah SAW”. Khalifah Umar menjawab; kewajiban memberi upah sesuai kebutuhan pe-
“Jika saya tidak meminta bantuan ahli agama kerja di atas berlaku pada para pekerja negara
untuk keselamatan agama saya, lalu pada yang bekerja di ruang publik dan pemerintahan.
siapa saya minta bantuan?”. Kemudian Abu Namun banyak ulama’ yang cenderung untuk
Ubaidah menjawab; “Jika kamu lakukan itu, menjadikannya sebagai standar umum upah
maka cukupkan mereka dengan pekerjaan itu setiap pekerja yang bekerja kepada majikannya
dari khianat”, artinya bahwa gaji mereka harus secara penuh, baik pekerja negara maupun
mencukupi kebutuhan.17 swasta.20 Pendapat ini diperkuat oleh hadis
Al-Mawardi, ahli politik Islam klasik, dalam Rasul SAW tentang kewajiban mencukupi
bukunya al-Aḥkām al-Sulṭāniyah menyebutkan kebutuhan budak. Rasulullah SAW bersabda;
dasar-dasar penetapan gaji (al-‘aṭā’) bagi ten-
ZY
... ÐɀóĀ ¸Ō ÐɀóǾJ ñɈ²Ā ¸Ō ôäÞāóé IÌĀ ½ı IýÊ* HǓ ÷öé
21
tara yang berdasar pemenuhan kebutuhan Artinya: “Barangsiapa yang menjadikan saudara-
pokok. Dia mengatakan; nya (sesama muslim) berada dibawah kendalinya
Standar dalam penentuan pemberian adalah kecu- maka hendaklah memberinya makan sebagaimana
kupan (al-kifāyah) sehingga tidak perlu bekerja dia makan dan memberinya pakaian sebagaimana
dan mencari sumber penghasilan lain yang pakaiannya.”
bisa mengganggu tugas mereka dalam melin-
dungi dan menjaga keamanan negara. Batas
Al-Bukhari meletakkan hadis ini pada “Bab
kecukupan tersebut memperhatikan tiga hal; (1) Budak”. Ini menunjukkan bahwa Al-Bukhari
memperhatikan jumlah keluarga yang dinaf- berpendapat bahwa hadis ini bukan untuk pe-
kahinya; (2) jumlah persenjataan dan kudanya; gawai pemerintah, tetapi untuk semua orang
(3) memperhatikan harga barang di mana tentara yang berada di bawah tanggungjawab atau
tersebut ditempatkan. 18
19
Sharaf al-Dīn al-Nawawi, al-Majmu’, Vol 9, (Beirut: Dār
al-Fikr, 1995) hlm. 331
17
Ahmad al-Khuṣary, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah wa al-Nuẓum 20
Ahmad Jalaludin, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah Fī Ḍaw’ al-
al-Māliyah fī al-Fiqh al-Islāmi (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, Maṣlaḥah al-Shar’iyah (Malang, UIN Malang Press, 2008), hlm.
1986), hlm. 99-100 418
18
Al-Māwardi, al-Ahkām al-Sulṭāniyah (Beirut: Dār al-Fikr, 21
Lihat: al-Bukhāri, Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, Vol. 2 hadis no 2407
1960), hlm. 205 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2012), hlm. 899

6 Vol. 9 No. 1 Januari 2015 | 1-13


kekuasaan muslim yang lain. Dari hadits di atas Sesungguhnya hubungan antara majikan
dapat disimpulkan bahwa upah yang sifatnya dan pekerja dalam Islam berdiri atas dasar
materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan kemanusiaan, kasih sayang, kerjasama, keadilan
keterjaminan dan ketercukupan pangan dan atau kecukupan, kerelaan dan kebiasaan.23
sandang. Teks “harus diberinya makan seperti Afzalur Rahman mengatakan bahwa pe-
apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi kerja dalam hubungannya dengan majikan
pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)”, berada dalam posisi yang sangat lemah, karena
bermakna bahwa upah yang diterima harus itu Islam memberikan perhatian yang besar
menjamin makanan dan pakaian karyawan untuk melindungi hak-haknya dari pelang-
yang menerima upah. garan yang dilakukan oleh majikan. Sudah
Dari riwayat dan pendapat ulama’ klasik menjadi kewajiban para majikan untuk me-
di atas, para ahli hukum Islam dan ahli eko- nentukan upah minimum yang dapat menutupi
nomi Islam kontemporer menyimpulkan bah- kebutuhan pokok hidup termasuk makanan,
wa Islam memberikan hak kepada pekerja pakaian, tempat tinggal dan lainnya, sehingga
dengan beberapa jaminan kemanusiaan se- pekerja akan memperoleh suatu tingkat
perti kerelaan, keadilan, kemampuan dan kehidupan yang layak.24
kelayakan hidup. Islam melarang pemaksaan Berdasarkan hal itu, Afzalur Rahman me-
dalam kerja, memberi upah secara dzalim ngatakan bahwa tingkat upah yang patut akan
(tidak sepadan dengan kerja yang dilakukan), berada pada kisaran batas minimum peme-
sebagaimana juga melarang menunda-nunda nuhan kebutuhan pokok untuk melindungi
pembayaran upah. Islam menganggap orang hak-hak pekerja dan tidak melebihi batas mak-
yang menggunakan pekerja dengan tanpa simum untuk melindungi hak-hak majikan.
upah sebagai memperbudaknya. Sebagian ula- Upah yang patut akan berubah di antara dua
ma menganggap orang yang memakan kerja batas tersebut berdasarkan hukum penawaran
seorang pekerja (tidak memberinya upah) seba- dan permintaan tenaga kerja, yang tentunya
gaimana orang yang menjual orang tersebut akan dipengaruhi oleh standar hidup sehari-
kemudian memakan hasil penjualannya. Hal hari kelompok pekerja, efektivitas organisasi
ini berdasarkan hadis qudsi yang diriwayatkan pekerja dan sikap kemanusiaan majikan seba-
oleh Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah gai perwujudan kepercayaan pada Allah SWT
SAW bersabda; dan hari pembalasan.
:ú¿öØÊ úöØÊ ½ùï ÷õJ ¼õ¸āíò. GýĀ ôüöØÊ ¸ø* ¼ÁĉÁ : ñÄJ Ïã ¯. F¸ì Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwān al-Muslimīn,
.ƷÄ* ÎIJ¿Ñ. ñÄ8 J ,úùöÁ ñɈ*J .ÎÇ @¸º ñÄ8 J ,8Ìæ ôÁ ŗ þÞã* ñÄ8 memandang bahwa upah yang diterima oleh
ZZ
(L8¸ËǺ. J Ìʼn* úÄÎÊ*)"IÎÄ* úéýĀ ôɎJ úùõ Șý¿Ñ¸é kaum buruh harus mencukupi kebutuhan po-
22

Artinya: “Allah SWT. berfirman; tiga orang kok hidupnya. Pengupahan kaum buruh di ba-
yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat dan wah standar kebutuhan pokok menyebabkan
barangsiapa Aku adalah musuhnya maka Aku kemiskinan yang terlarang dalam Islam. Ketika
memusuhinya, yaitu seseorang yang memberi salah seorang direktur perusahaan menga-
karena-Ku kemudian khianat, seorang yang menjual takan kepadanya: ”Apakah engkau ridha melihat
orang merdeka kemudian memakan hasilnya kondisi para buruh yang miskin itu?” Al-Banna
dan seseorang yang mempekerjakan pekerja di menjawab: ”Apakah kamu tidak tahu bahwa
mana pekerja tersebut memenuhi pekerjaannya sebab dari kemiskinan tersebut adalah pelitnya
namun orang yang mempekerjakan tersebut tidak perusahaan dan keengganannya untuk memberi
memenuhi upahnya (HR. Ahmad dan Bukhari).
Wahbah Al-Zuhaili, ahli hukum Islam kon-
temporer, mengatakan:
23
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuh. Vol. 7
Al-Shawkani, Nayl al- Awṭār Vol.5 (Beirut: Dār al-Fikr,
22
(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1997), hlm. 5030
1999), hlm. 292-293 24
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, hlm. 366

Ahmad Syakur, Standar Pengupahan dalam Ekonomi Islam 7


upah yang sepadan dengan kebutuhan pokok hidup Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Al-
mereka!.25 Nawawi. Menurutnya, kecukupan itu bukan se-
Begitu juga Sayyid Qutb menyatakan bahwa suatu yang statis dan bukan pula bentuk baku
Islam mensucikan hak pekerja dalam menerima bagi semua orang, tetapi bagi setiap orang se-
upah. Penghormatan Islam ini tertuang dalam suai dengan kondisinya masing masing. Abu
aturannya, yaitu pertama, Islam menyerukan Bakar berkata; “tentukanlah untukku peng-
para pengusaha/majikan untuk membayar hidupan (seperti penghidupan) seorang dari
upah yang sepatutnya (layak) dan mengancam kalangan pertengahan orang Quraisy, bukan
serta memusuhi pengusaha yang bertindak yang tinggi dan bukan pula yang terendah di-
dzalim dan menyimpang dari aturan ini. Yang antara mereka”.28
kedua, Islam menyerukan untuk membayar Sementara Ahmad Khusari mengatakan
upah pekerja dengan segera. Dalam hal ini, bahwasannya kerja, baik kerja sendiri (wira-
Islam mempertimbangan kebutuhan material usaha dan sejenisnya), kerja di pemerintahan,
dan kebutuhan psikologis dari pekerja/buruh. lembaga maupun perorangan adalah hal mulia
Kebutuhan psikologisnya adalah kebutuhan yang ditinggikan oleh Islam. Karena itu orang
untuk diperhatikan, dihargai serta dianggap yang bekerja kepada orang lain sesungguhnya
penting. Penyegeraan pembayaran upah adalah kedudukannya adalah sejajar dengan yang
pemenuhan kebutuhan ini. Buruh akan merasa mempekerjakannya. Rasulullah SAW. menun-
jerih payahnya dihargai dan kedudukannya tut umat Islam untuk menghormati mereka
dalam masyarakat diperhitungkan. Sedangkan dengan memberi mereka makanan dan pa-
pemenuhan kebutuhan materialnya dimak- kaian yang layak sebagaimana yang mereka
sudkan dengan pembayaran upah yang layak.26 makan dan pakai, serta tidak membebani me-
Sedangkan Yusuf Qardawi menyatakan reka pekerjaan yang tidak sanggup mereka
bahwa standar penetapan upah harus memper- kerjakan. Jika mereka dipekerjakan dalam
hatikan dua hal: Pertama: nilai kerja itu sendiri, pekerjaan yang berat hendaklah membantu
karena tidak mungkin disamakan antara orang mereka, baik secara materi maupun non
yang pandai dengan orang yang bodoh, orang materi, yakni berupa penetapan jam kerja dan
yang tekun dengan orang yang malas dan lain penetapan upah yang tidak lebih kecil dari
sebagainya, karena menyamakan antara orang kebutuhan pekerja, baik kebutuhan pangan,
yang berbeda adalah suatu kezaliman. Kedua: sandang, papan dan kesehatan.29
kebutuhan pekerja, karena adanya kebutuhan Berbeda dengan ekonomi kapitalis yang
pokok manusia yang harus di penuhi, baik mempersamakan manusia (tenaga kerja) de-
berupa makanan, minuman, pakaian, tempat ngan barang-barang modal, dalam Islam ke-
tinggal, kendaraan, pengobatan, pendidikan duanya tidak bisa dipersamakan. Meskipun
anak, maupun segala sesuatu yang di perlukan sama-sama memberikan kontribusi dalam
sesuai dengan kondisi, tanpa berlebih-lebihan kegiatan produksi tetapi tenaga kerja tidak
dan tanpa kekikiran untuk pribadi orang ter- dapat diperlakukan sama dengan barang modal.
sebut, dan untuk orang yang menjadi tang- Mereka harus diperlakukan sebagai manusia
gungannya. Menurut Qardawi, taraf hidup secara utuh. Tenaga kerja manusia, menurut
layak ini bersifat selamanya dan tidak terbatas Islam, tidak dapat diperjual belikan sama
pada terpenuhinya kehidupan individu dalam seperti barang sehingga ditentukan semata
batas atau tingkat darurat saja. 27 atas dasar harga pasar. Demikian pula dalam
penentuan upah, tidak boleh hanya didasarkan
25
Ḥasan al-Banna, Majmū’at al-Rasāil (Kairo: Dār al-Tawzī’
wa al-Nashr al-Islāmiyah, 1992)., hlm. 352
26
Sayyid Qutb, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyah Fī al-Islām (Kairo: Rabbani Press, 2001). hlm. 406
Dār al-Shurūq, 1995), hlm. 106-107 28
Sharaf al-Dīn al- Nawawi, Riyāḍ al-Ṣāliḥīn,Vol. 2 (Beirut:
27
Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai Dan Moral Dalam Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1995), hlm. 311
Perekonomian Islam. Terj. Didin Hafidudin, dkk (Jakarta: 29
Ahmad al-Khusary, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah, hlm. 95-96

8 Vol. 9 No. 1 Januari 2015 | 1-13


pada market wage serta nilai kontribusi tenaga VACL akan menjadi batas kisaran atas
kerja terhadap produktifitas (value of marginal dari tingkat upah, sedang VMCL akan menjadi
product of labour). Penentuan upah harus selalu batas kisaran bawahnya. Sebagaimana VACL,
disertai dengan pertimbangan-pertimbangan perhitungan VMCL juga memperhitungkan
kemanusiaan. Di sinilah, Hendrianto menyim- nilai kontribusi tenaga kerja saja, tidak ter-
pulkan bahwa tingkat upah yang Islami diten- masuk nilai kontribusi marjinal faktor
tukan oleh aspek harga pasar, kontribusi tenaga produksi lain. VMCL sebagai batas kisaran
kerja terhadap produktifitas dan nilai-nilai bawah tingkat upah ini akan dapat diterima
kemanusiaan. Karena itu, dalam situasi pasar jika ia tetap merupakan tingkat upah yang
yang bersaing sempurna tingkat upah yang manusiawi. Karena tingkat upah seperti ini
adil terjadi pada tingkat market wage (ujrah al- adalah terendah, maka hal ini dimungkinkan
mithl, harga pasaran). Akan tetapi ajaran Islam akan terjadi pada kasus di mana penyediaan
yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan tenaga kerja relatif langka. Dalam kasus
akan mendorong para pemberi kerja untuk ini peranan faktor-faktor subyektif, yaitu
mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan faktor kemanusiaan, dalam penentuan upah
ini dalam penentuan upah. Nilai kemanusiaan diperkirakan akan kecil. Dengan demikian
yang harus dijunjung tinggi ini meliputi nilai tingkat upah yang Islami (W) akan berada pada
kerjasama dan tolong menolong, kasih sayang VMCL ≤ W ≤ VACL.
dan keinginan untuk menciptakan harmoni Nilai-nilai kemanusiaan inilah yang diba-
social. Tingkat pasar pada dasarnya bersifat hasakan oleh Pusat Pengkajian dan Pengem-
obyektif, sementara nilai kemanusiaan bersifat bangan Ekonomi Islam (P3EI) UII dengan
subyektif. 30 keberkahan. Berkah dalam menggunakan input
Adanya faktor subyektif dalam penentuan akan diperoleh jika nilai-nilai Islam diterapkan,
upah ini akan menyebabkan tingkat upah yang sebagaimana dalam pasar output. Dalam kon-
Islami tidak berada pada satu titik tertentu, teks tenaga kerja, nilai-nilai ini misalnya
melainkan pada suatu kisaran (range) tertentu. memperhatikan kebutuhan psikis dan religious
Lebar dan sempitnya kisaran ini akan sangat tenaga kerja, memberikan perlindungan dan
tergantung dari pertimbangan-pertimbangan keamanan kerja dan secara umum menghargai
kemanusiaan. Menurut Sadeq, sebagaimana nilai-nilai kemanusiaan tenaga kerja.31
dikutip oleh Hendrianto, tingkat upah yang
Islami akan berada pada kisaran antara tingkat E. Jaminan Pemenuhan kebutuhan Pokok
upah yang setara dengan nilai kontribusi tenaga oleh Negara
kerja rata-rata (Value of average contribution Hizbut Tahrir menegaskan bahwa peme-
of labour /VACL) dengan nilai kontribusi kerja nuhan kebutuhan pokok masyarakat adalah
marjinal (Value of Marginal contribution of tugas negara, sehingga jika pengusaha ditun-
labour /VMCL). VACL adalah kontribusi tenaga tut untuk membayar upah pekerja sesuai
kerja total (Total Contribution of Labour/TCL) standar kebutuhan pokoknya, maka hal itu
dibagi dengan jumlah tenaga kerja (quantity of berarti pengalihan kewajiban negara kepada
labour/QL), sedang AVPL adalah nilai produk pengusaha.32 Pendapat ini perlu dianalisis lebih
total (value of total product) dibagi dengan mendalam.
jumlah tenaga kerja (QL). Dalam VACL hanya Memang dalam konsep politik dan ekonomi
kontribusi tenaga kerja saja yang dihitung, ia Islam, salah satu tanggung-jawab asasi dari ne-
dipisahkan dari kontribusi faktor-faktor pro- gara adalah menyediakan jaminan sosial untuk
duksi yang lain. memelihara standar hidup seluruh individu

31
P3EI UII, Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
30
M.B. Hendrianto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami 2008), hlm. 358
(Jogjakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 228 32
Al-Nabhani, Al-Niẓām, hlm. 107

Ahmad Syakur, Standar Pengupahan dalam Ekonomi Islam 9


dalam masyarakat. Namun ini tidak berarti taan (meminta-minta kepada orang lain)
bahwa pemenuhan kebutuhan tiap warga ne- kecuali Allah akan membukakan baginya
gara berada di tangan pemerintah karena kemiskinan”.34
tanggungjawab pemerintah adalah menjamin
setiap warga negara terpenuhi kebutuhan Kewajiban mencari nafkah ini mengandung
hidupnya, bukan berkewajiban memenuhi implikasi pemahaman bahwa pada dasarnya
kebutuhan hidup mereka. tiap orang berkewajiban memenuhi kebutuhan
Dalam konsep jaminan sosial (al-Ḍamān hidupnya sendiri, kecuali karena keadaan
al-Ijtimā’i), pemenuhan kebutuhan pokok indi- tertentu yang menyebabkan ia tidak bisa
vidu pada dasarnya adalah kewajiban yang memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya.
bersangkutan, sehingga mencari penghasilan Memenuhi kebutuhan hidup adalah kewajiban
dan bekerja adalah hukumnya wajib. Orang maka setiap orang akan berusaha mencari
yang mampu bekerja harus bekerja supaya pekerjaan yang minimal bisa memenuhi kebu-
dapat menjaga diri dari meminta-minta, men- tuhan hidupnya. Karena itu jika para pekerja
cukupi diri dan keluarganya dengan harta sudah bekerja dalam suatu perusahaan, atau
halal. Sedangkan masyarakat diwajibkan mem- seseorang yang tidak memungkinkan baginya
bantu memberikan pekerjaan yang pantas untuk bekerja di tempat lain. Jika bekerja di
bagi mereka dan melatih mereka menekuni tempat lain akan menjadikan pekerjaannya
pekerjaan.33 tidak optimal, atau kehidupannya tidak nor-
Pada dasarnya Islam mewajibkan setiap mal karena dia harus bekerja pada waktu yang
orang untuk mencari pekerjaan yang dengan- seharusnya dia beristirahat. Dalam kondisi
nya ia dapat mencukupi kebutuhan hidup diri ini sudah selayaknya perusahaan atau orang
dan keluarganya, serta mencela orang yang yang mempekerjakannya memberi upah
malas bekerja dan meminta-minta. Rasulullah yang bisa memenuhi kebutuhan hidup diri
dalam berbagai kesempatan mendorong umat- dan keluarganya. Kondisi seperti inilah yang
nya untuk bekerja dan mencari nafkah. Di merupakan fenomena ekonomi industrial saat
antara beberapa sabda Rasulullah SAW adalah; ini, di mana mayoritas penduduk bekerja pada
a. “Berusaha mencari rizki dengan cara yang perusahaan atau perorangan dengan jam kerja
halal adalah bagian dari jihad”. yang tidak memungkinkan baginya untuk
b. “Barangsiapa kelelahan di sore hari karena mencari tambahan nafkah. Kondisi ini berbeda
bekerja sepanjang hari maka sore itu pula ia dengan ekonomi agraris, apalagi pada masa
mendapatkan ampunan”. Rasulullah dan masa klasik, di mana mayoritas
c. ”Tidak seorangpun makan makanan yang lebih masyarakat bekerja dalam sektor pertanian
baik dari apa yang dia usahakan dari tangan- dan perdagangan. Karena itu dalam ekonomi
nya sendiri, dan Nabi Allah Dawud makan dari industrial saat ini, kebijakan penetapan upah
hasil usahanya sendiri”. berdasar kebutuhan pokok pekerja sangat di-
d. ”Sesungguhnya Allah mencintai mukmin yang butuhkan dan tidak berarti memindahkan
bekerja”. kewajiban negara kepada pengusaha. Selama
penghidupan pekerja sangat tergantung de-
Rasulullah juga melarang umatnya me- ngan gaji dari pengusaha, maka kewajiban
nganggur, meminta-minta dan menggantung- pengusaha untuk memberikan upah yang dapat
kan hidupnya kepada orang lain. Rasulullah memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagaimana
SAW. bersabda: hadis Nabi SAW yang mewajibkan majikan
a. ”Sesungguhnya Allah membenci pemuda memberi makan dan pakaian kepada pekerja
yang menganggur”.
b. ”Seorang hamba tidak membuka pintu permin-
34
Miftahul Huda, Aspek Ekonomi dalam Syareat Islam
33
Yusuf al-Qardawi, Peran Nilai dan Moral, hlm. 411 (Mataram: LKBH IAIN Mataram, 2007), hlm. 16-17

10 Vol. 9 No. 1 Januari 2015 | 1-13


(budak)-nya, sebagaimana makanan dan Kewajiban takaful ini sesuai dengan kondisi
pakaian yang dikenakan majikannya. dan kemampuannya dan harus ditunaikan da-
Selain itu, riwayat-riwayat dari Rasulullah, lam kondisi apapun sebagaimana kewajiban-
sahabat dan ulama’ klasik tentang pemenuhan kewajiban yang lain. Tugas pemerintah dalam
kebutuhan bagi pegawai pemerintah dan yang hal ini adalah mendorong dan mengawasi agar
dipekerjakan di ruang publik juga membuktikan masyarakat melaksanakan kewajiban takaful
bahwa negara tidak wajib memenuhi semua ini, serta menjalankan fungsi sebagai pengelola
kebutuhan warga. Jika negara wajib memenuhi harta dari masyarakat untuk kepentinga ini
kebutuhan pokok setiap warga tentu mengupah melalui zakat dan sejenisnya.
para pekerja negara tersebut dengan batasan Asas kedua dari konsep jaminan sosial
kecukupan adalah tidak adil dan tidak menghargai adalah hak jamaah warga negara dari keka-
pekerjaannya. Hal itu sama saja dengan mereka yaan negara. Berdasarkan asas ini, negara
tidak mendapat upah/gaji, karena semua orang bertanggungjawab secara langsung terhadap
akan mendapatkan pemberian dari negara sesuai keberlangsungan hidup para lansia dan kaum
kebutuhan hidupnya. duafa, tanpa melihat asuransi sosial yang wajib
Karena itu, secara umum tugas negara bagi individu warga negara. Tanggungjawab
dalam melaksanakan jaminan sosial bagi rak- ini berdasar asas bahwa warga negara berhak
yatnya terbagi dalam dua tahap. Tahap Per- ikut menikmati kekayaan dan sumber-sumber
tama, negara menyediakan sarana-sarana penghasilan yang dimiliki atau dikelola oleh
dan kesempatan kerja, serta kesempatan ikut negara35
serta dalam aktivitas ekonomi yang produktif Dari paparan di atas, disimpulkan bahwa
kepada setiap individu agar masing-masing tugas negara dalam jaminan sosial berfokus
bisa hidup berdasarkan usaha dan kerjanya. pada pemenuhan kebutuhan hidup kaum duafa,
Namun jika individu tidak mampu bekerja atau sedang pemenuhan kebutuhan hidup mereka
mencari nafkah secara sempurna, misalnya yang mampu bekerja adalah tanggungjawab
karena cacat fisik atau negara dalam kondisi dia sendiri jika pekerjaannya adalah pekerjaan
tertentu sehingga tidak memungkinkannya independen, serta tanggungjawab orang yang
memberikan kesempatan kerja, maka berikut- mempekerjakannya jika pekerjaannya pada
nya adalah tahap kedua. Tahap Kedua, negara orang atau pihak lain. Penetapan standar upah
secara langsung melaksanakan konsep jaminan sesuai kebutuhan pokok pekerja bukan berarti
sosial ini. Negara menyediakan harta yang pemindahan kewajiban negara kepada peng-
cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok usaha, tetapi lebih tepatnya adalah pembagian
individu tersebut. tugas antara pengusaha dan negara.
Menurut Baqir Sadr, konsep jaminan
sosial dalam ekonomi Islam berpusat pada F. Menimbang Relevansi Pemikiran Hizbut
dua asas, yaitu Takaful ’am dan hak jamaah Tahrir dalam Ekonomi Kontemporer
warganegara dari kekayaan negara. Takaful Dalam masalah standar upah di era kon-
adalah semua umat Islam bertanggungjawab temporer, ada dua karakter pekerjaan dan
atas keberlangsungan hidup saudaranya yang akad kerjasama antara pekerja dan pengusaha
lain, sehingga ketika orang lain membutuhkan yang berbeda. Masing-masing seharusnya
atau terkena musibah, maka umat Islam yang mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam
lain harus membantunya. Takaful ini adalah penentuan standar pengupahan.
asas yang diwajibkan oleh Islam kepada se- Pertama, pekerjaan yang bersifat jangka
luruh umat Islam sebagai implementasi dari panjang dan membutuhkan kerja penuh waktu
ukhuwah, persaudaraan umat Islam yang di- seperti dalam pabrik dan perusahaan, di mana
gambarkan dalam hadis bahwa umat Islam
satu dengan yang lainnya bagaikan satu tubuh. 35
Muhammad Baqir Sadr, Iqtiṣādunā (Beirut: Dār al-Fikr,
1969), hlm. 615-619

Ahmad Syakur, Standar Pengupahan dalam Ekonomi Islam 11


pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup diri pokok pekerja pada saat ini sangat diperlukan
dan keluarganya hanya bersandar pada gaji demi kemaslahatan dunia pekerja. Karena
yang didapat dari pabrik atau perusahaannya. itu, selama tidak merugikan salah satu pihak,
Sedangkan dia tidak bisa mencari tambahan maka kebijakan tersebut dibolehkan, bahkan
penghasilan kecuali dengan mengorbankan diwajibkan jika kemaslahatan umat menuntut
waktu istirahatnya di sorehari, malam hari hal tersebut.
atau pada hari libur. Begitu juga dengan pem- Namun penetapan tingkat upah minimum
bantu yang bekerja sepanjang hari bahkan 24 tersebut tidak bisa diterapkan kepada semua jenis
jam siap siaga membantu majikannya. Para kontrak pekerja dengan pengusaha. Pemikiran
pekerja dalam pekerjaan jenis ini seyogyanya Hizbut Tahrir yang tidak membolehkan standar
mendapatkan gaji yang bisa memenuhi kebu- pengupahan berdasarkan kebutuhan pokok
tuhan hidup diri dan keluarganya, sehingga pekerja serta tidak membolehkan kebijakan
pertimbangan para ahli ekonomi di atas, yang penetapan upah minimum oleh pemerintah,
menyatakan standar pemenuhan kebutuhan layak diterapkan bagi kontrak pekerja yang
hidup dalam upah pekerja, lebih mendekati sifat pekerjaannya tidak menghabiskan waktu
keadilan dan lebih layak bagi kemanusiaan. pekerja. Sebagaimana kebijakan penetapan upah
Kedua, pekerjaan yang tidak membutuhkan minimum harus dibahas secara matang agar
seluruh waktu pekerja, atau dalam akadnya tidak menjadi kebijakan yang menzalimi salah
disepakati tidak menghabiskan waktu pekerja, satu pihak. Wa al-Allāh A’lam.
seperti kerja hanya di pagi hari saja, atau pe-
kerjaan insidental yang selesai dalam satu
hari dan sebagainya. Begitu juga akad lembaga
pendidikan dengan tenaga pengajar, di mana
pengajar (guru) hanya mengajar mata pela- DAFTAR PUSTAKA
jaran tertentu sesuai keahliannya pada jam-
jam tertentu saja, sedangkan pada jam lain Abu Ubayd, Al-Qasim Ibn Sallam, al-Amwāl,
atau pada hari lain dia bisa mengajar di tempat Beirut: Dar al-Fikr,1988.
lain. Dalam pekerjaan dengan karakteristik
Al-Banna, Ḥasan. Majmū’at al-Rasāil, Kairo: Dār
seperti ini, pandangan Hizb al-Tahrir tentang
al-Tawzī’ Wa al-Nashr al-Islāmiyah, 1992.
standar upah menemukan relevansinya. Seyog-
yanya upah dalam akad ijarah berdasar pada Al-Bukhāri, Muhammad ibn Ismail, Ṣaḥīḥ al-
manfaat kerja (al-juhd) dan diserahkan pada Bukhāri, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
mekanisme pasar, para pekerja masih bisa 2012.
mencari penghasilan tambahan dengan bekerja
pada perusahaan, lembaga atau orang lain Gilarso, T., Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro,
andaikan upah yang didapat tidak mencukupi Yogyakarta: Kanisius, 2003.
kebutuhan hidup diri dan keluarganya, atau Hendrianto, M.B., Pengantar Ekonomika Mikro
ingin meningkatkan taraf hidupnya. Bahkan, Islami, Jogjakarta: Ekonisia, 2003.
suatu bentuk ketidakadilan jika perusahaan
atau pengusaha dibebani pengupahan yang Huda, Miftahul, Aspek Ekonomi dalam Syareat
memenuhi kebutuhan hidup pekerja. Islam, Mataram: LKBH IAIN Mataram, 2007.
Jalaludin, Ahmad, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah fī
G. Penutup
Ḍaw’ al-Maṣlaḥah al-Shar’iyah, Malang, UIN
Masalah standar pengupahan merupakan Malang Press, 2008.
hal yang sangat urgen dalam ekonomi indus-
trial saat ini. Kebijakan penetapan standar Jusmaliani, Pengelolaan Sumber Daya Insani,
upah minimum yang memenuhi kebutuhan Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

12 Vol. 9 No. 1 Januari 2015 | 1-13


Al-Khuṣary, Ahmad, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah Sukirno, Sadono, Mikro Ekonomi Pengantar Teori,
wa al-Nuẓum al-Māliyah fī al-Fiqh al-Islāmi, Edisi III. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1986. 2005.
Al-Māwardi, Abu al-Hasan, al-Ahkām al- Sutrisno, Edy, Manajemen Sumber Daya Manusia,
Sulṭāniyah, Beirut: Dār al-Fikr, 1960. Jakarta: Kencana, 2011.
Al-Nabhani, Taqyuddin, al-Niẓām al-Iqtisādy Fī Al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmi wa
al-Islām, Beirut: Dār al-Ummah Li al-Ṭibā’ah Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir,
wa al-Nashr wa al-Tawzī’, 2004. 1997.
..…………., Muqaddimat al-Dustur Aw al-Asbāb al- UU RI Nomor 13 tahun 2003 tentang
Mūjibah Lah, Beirut: t.p., 1963. ketenagakerjaan
..…………., al-Shakhsiyah al-Islāmiyah, Beirut: Dār http://hizbut-tahrir.or.id/2012/05/03/cara-islam-
al-Ummah li al-Tibā’ah wa al-Nasr wa al- mengatasi-masalah-perburuhan/
Tawzī’, 2005. A

..…………., Daulah Islam, Terj. Umar Faruq, Dkk.


Jakarta: HTI Press, 2009.
Al- Nawawi, Sharaf al-Dīn, Riyāḍ al-Ṣāliḥīn,
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1995.
…………., Sharaf al-Dīn, al-Majmu’. Beirut: Dār
al-Fikr, 1995.
P3EI UII, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008.
Qutb, Sayyid, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyah Fī al-Islām,
Kairo: Dār al-Shurūq, 1995.
Al-Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai Dan Moral Dalam
Perekonomian Islam, terj. Didin Hafidudin,
dkk. Jakarta: Rabbani Press, 2001.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, terj.
Soeroyo dan Nastangin, Jogjakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1995.
Rivai, Veithzal, Manajemen Sumber Daya Manusia
Untuk Perusahaan: Dari Teori Ke Praktek,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Sadr, Muhammad Baqir, Iqtiṣādunā, Beirut: Dār
al-Fikr, 1969.
Al-Shawkani, Nayl al- Awṭār, Beirut: Dār al-Fikr,
1999.
Siagian, Sondang P., Manajemen Sumber Daya
Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Ahmad Syakur, Standar Pengupahan dalam Ekonomi Islam 13

Anda mungkin juga menyukai