Anda di halaman 1dari 38

Mengklarifikasi

Arti Pluralisme Religius1


Oleh Kautsar Azhari Noer

Mukadimah

Abu Rizal Bakri, ketika menjadi Ketua Umum Golkar, dalam suatu kesempatan di depan
kader-kader Golkar pada 2013, mengatakan, “Golkar sangat menghargai pluralisme.” Ali
Masykur Musa, Ketua Umum Sarjana Nahdlatul Ulama, “mengingatkan pentingnya sosok
pemimpim yang mampu mengedepankan pluralisme, kebersamaan, dan toleransi.” 2 Para
pembicara dalam diskusi yang bertema “Agama di Indonesia dalam Angka: Dinamika
Demografis Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2000 dan 2010,” di Universitas Paramadina,
Jakarta, Rabu, 5 Februari 2014, mendengungkan himbauan agar “kita harus mengembangkan
kesadaran tentang pluralisme, toleransi, dan sikap saling menghormati antarkelompok yang
berbeda.”3 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2013 mengeluarkan hasil survei
tentang figur pemimpin yang pluralis dan menempatkan Surya Paloh, Ketua Umum Partai
NasDem, “sebagai figur tertinggi memiliki wawasan Keindonesiaan, membela hak minoritas,
dan pro terhadap kebijakan pluralisme.”4
Di sini muncul beberapa pertanyaan: apa yang dimaksud dengan istilah “pluralisme”
yang digunakan oleh Abu Rizal Bakri, Ali Masykur Musa, para pembicara dalam diskusi di
Universitas Paramadina, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia? Apakah arti pluralisme
dalam konteks ini berbeda dengan arti pluralisme yang dibicarakan oleh para teolog dan filsuf
seperti John Hick, Alan Rice, Paul Knitter, Perry Schmidt-Leukel, Diana L. Eck, Farid Esack,
dan Ashgar Ali Engineer dalam teologi agama-agama dan filsafat agama? Jika ya, apa perbedaan
antara dua arti pluralisme itu? Atau, apakah istilah pluralime sering kali digunakan oleh banyak
orang tanpa memahami apa yang dimaksud dengan istilah ini? Makalah ini berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini.
Dalam penulisan makalah ini, perlu saya sampaikan bahwa secara teknis kutipan-kutipan
langsung teks-teks Inggris sengaja saya tampilkan dalam tulisan ini agar para pembaca tidak
penasaran apa persisnya teks-teks Inggrisnya dan sekaligus agar mereka diyakinkan bahwa

1
Artikel ini, dengan tambahan yang panjang, adalah penyempurnaan dari makalah yang disampaikan pada
workshop Training Kelas Pengelolaan Keragaman (KPK) dengan tema “Keragaman dan Kerukunan” yang
diselenggarakan oleh Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, pada Senin, 14 September 2015, di Fakultas Ushuluddin. Semula, workshop ini direncanakan
dengan tema “Pluralisme dan Kerukunan,” yang akan diselenggrakan pada Jumat, 14 Agustus 2015, di Fakultas
Ushuluddin. Workshop ini ditunda dari rencana itu karena jumlah peserta tidak mencukupi jumlah yang ditargetkan.
Perubahan tema “Pluralisme dan Kerukunan” menjadi “Keragaman dan Kerukunan” tidak dijelaskan oleh Ketua
Jurusan Perbandingan Agama, tetapi dapat diduga bahwa perubahan ini kelihatannya dilakukan untuk menyamakan
kata “Keragaman” yang digunakan dalam tema dengan kata yang sama, yang terdapat dalam tema “Training Kelas
Pengelolaan Keragaman.” Makalah ini telah ditulis sesuai dengan tema semula, “Pluralisme dan Kerukunan.”
2
Kompas, 27 November 2013.
3
Kompas, 6 Febuari 2014.
4
Media Indonesia, 11 November 2013.
1
kutipan-kutipan itu bisa dipertanggungjawaban secara akademik. Cara ini juga bertujuan untuk
menghindari kesalahpahaman tentang maksud atau ketidakjelasannya yang terkandung dalam
kutipan-kutipan itu apabila kutipan-kutipan yang ditampilkan hanya dalam terjemahan
Indonesianya, karena boleh jadi terjemahan Indonesianya megandung kekeliruan-kekeliruan,
yang menimbukan kesalahpahaman atau ketidakjelasan.

Beberapa Arti Pluralisme

Apabila kita ingin memahami arti pluralisme dengan benar, maka kita harus mengetahui
konteks penggunaan istilah ini. Pada kesempatan ini saya mencoba secara tentatif menampilkan
enam konteks penggunaan istilah pluralisme: ontologis, kosmologis, etis, mistikal,5 sosio-politis,
dan religius/teologis.
Dalam konteks ontologis, istilah pluralisme berarti “the theory that reality is composed
of a multiplicity of ultimate beings, principles, or substances”6 (“teori bahwa realitas terdiri dari
multiplisitas wujud-wujud, prinsip-prinsip atau substansi-substansi fundamental/terdasar”) Atau,
pluralisme dalam konteks ini adalah teori bahwa “there are more than one and more than two
kinds of realities”7 (“ada lebih dari satu dan lebih dari dua jenis realitas”).
Pluralisme dalam arti ini dikontraskan dengan dualisme dan monisme. Dualisme dalam
konteks ontologis adalah teori bahwa ada dua realitas atau substansi individual yang tak dapat

5
Menurut kaidah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku, seharusnya kata ini sebagai serapan dari kata asing,
yang berasal dari kata Inggris “mystical” (dengan akhiran “-ical”), ditulis “mistis” atau “mistik,” tetapi dalam
makalah ini saya menulisnya “mistikal.” Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang disusun oleh J.B. Badudu
dan Sutan Mohammad Zain (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 903, kata “mistik” berarti “ilmu kebatinan;
ajaran yang berhubungan dengan hal-hal yang gaib.” Kata “mistis” berarti “bersifat mistik.” Dalam kamus ini, kata
“mistisisme” tidak ditemukan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat (Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 917, kata “mistik” berarti “1 subsistem emosi yang ada dalam
hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan bersatu dengan
Tuhan; tasawuf; suluk; 2 hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal yang biasa.” Kata “mistis” berarti “bersifat
mistik.” Kata mistikisme” [jika ingin sesuai dengan pengucapannya dalam bahasa Inggris, maka seharusnya ditulis
“mistisisme] berarti “ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia.”
Dalam kedua kamus ini, kita tidak menemukan kata yang dapat digunakan untuk menerjemahkan kata
Inggris “mystic” sebagai kata benda (nomina), yang berarti “seorang yang mengalami keadaan bersatu atau
berkomunikasi dengan Tuhan” atau “seorang yang menempuh jalan mistikal.” Kata “mystic” dalam bahasa Inggris
sebagai kata benda saya terjemahkan “mistikus.”
Bila bertitik tolak dari kata-kata Inggris “mysticism,” “mystical,” dan “mystic,” maka Kamus Umum
Bahasa Indonesia tidak bisa dijadikan pedoman karena kata “mistik” tampaknya adalah terjemahan dari kata Inggris
“mysticism.” Seharusnya kata “mistik” adalah terjemahan dari kata “mystic.” Karena kata “mistik” dan “mistis”
sering diasosiasikan dengan ilmu gaib dan kadang-kadang dengan ilmu perdukunan, maka tulisan ini tidak
menggunakan dua kata itu tetapi menggunakan tiga kata “mistikal, ” “mistikus,” dan “mistisisme” untuk
menghindari kesan-kesan negatif dan menjaga makna positifnya yang menunjukkan watak pengetahuan esoterik
yang ditemukan dalam semua agama besar dunia. Saya menggunakan kata “mistikal” sebagai terjemahan kata
“mystical,” menggunakan kata “mistikus” sebagai terjemahan kata “mystic” sebagai kata benda, dan menggunakan
kata “mistisisme” sebagai terjemahan kata “mysticism.”
6
Victoria Neufeldt, editor in chief, & David B. Guralnik, editor in chief emeritus, Webster’s New World
Dictionary of American English (Cleveland & New York: Webster’s New World, 1988), h. 1040.
7
Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy (New York: Barnes & Noble Books, A Division of Harper &
Row, Publishers, 1981), h. 214.
2
dipisahkan dan tak dapat direduksi satu sama lain seperti realitas supernatural dan realitas
natural, realitas spiritual dan realitas fisikal, Tuhan dan alam semesta.
Monisme dalam konteks ontologis adalah “the doctrine that there is only one ultimate
substance or principle, whether mind (idealism), matter (materialism), or some third thing that is
the basis of both”8 (“doktrin bahwa hanya ada satu substansi atau prinsip fundamental, apakah
itu pikiran [idealisme], materi [materialisme], atau sesuatu yang ketiga yang merupakan basis
kedua-duanya”). Atau monisme di sini berarti “the doctrine that reality is an organic whole
without independent parts”9 (“doktrin bahwa realitas adalah suatu keseluruhan organik tanpa
bagian-bagian independen”). Dapat pula dikatakan bahwa monisme dalam konteks ontologis
adalah teori bahwa “all things are derived from one single ultimate source” (“segala sesuatu
berasal dari satu sumber fundamental tunggal”). Atau monisme dalam konteks ini adalah teori
bahwa “reality is One, and everything else is illusion”10 (“realitas adalah Satu, dan segala sesuatu
yang lain adalah ilusi”).
Dalam konteks kosmologis, pluralisme diartikan sebagai teori bahwa “there are many
separate, irreducible, and independent levels of things in the universe” (“ada banyak tingkat
segala sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, tidak bisa direduksi, dan independen dalam alam
semesta”), dan dapat juga berarti teori bahwa “the universe is basically indeterminate in form; it
has no basic harmonious unity or continuity, no fundamental rational and coherent order”11
(“alam semesta pada dasarnya tidak bisa ditentukan dalam bentuknya; ia tidak mempunyai
kesatuan atau kontinuitas harmonis dasar, juga tidak mempunyai tatanan rasional dan koheren
yang fundamental”).
Perlu ditegaskan bahwa dua konteks yang dibicarakan di atas, konteks ontologis dan
konteks kosmologis, termasuk dalam wilayah/bidang metafisis. Ontologi, yang biasanya
digunakan sebagai sinonim metafisika umum, adalah cabang metafisika, — dan metafisika
sendiri adalah cabang filsafat — yang bekenaan dengan tatanan dan struktur wujud (being),
realitas (reality) atau substansi fundamental/terdasar/terakhir (ultimate substance).
Adapun kosmologi adalah cabang metafisika yang berkenaan dengan asal-usul dan
struktur alam semesta. Kosmologi sebagai cabang metafisika, yang disebut pula kosmologi
filosofis (philosophical cosmology), berbeda dengan kosmologi fisikal (physical cosmology),
yang berurusan dengan kajian struktur dan dinamika skala terbesar alam semesta dan berkenaan
dengan persoalan-persoalan fundamental tentang asal-usul, struktur, evolusi dan nasib
terakhirnya.
Dalam konteks etis, pluralisme adalah “the theory that (a) a number of intrinsically
worthwhile ethical values or goods (such as charity, love, sharing, benevolence, kindness) exist,
and (b) the summum bonum of an individual is to participate in as many as he can”12 (“teori
bahwa (a) sejumlah nilai-nilai atau kebaikan-kebaikan yang secara hakiki bermanfaat (seperti
amal, cinta, berbagi, kebajikan, baik hati) terus ada, dan (b) summum bonum [kebaikan tertinggi]
seorang individu adalah berpartisipasi dalam sebanyak [nilai] yang ia bisa”). Pluralisme dalam
arti ini disebut pula “pluralisme etis” (“ethical pluralism”) dan “etika pluralistik” (“pluralistic
ethics”). Pluralisme dalam konteks etis dikontraskan dengan etika monistik (monistic ethics),

8
Webster’s New World Dictionary, h. 877.
9
Webster’s New World Dictionary, h. 877.
10
Angeles, Dictionary of Philosophy, h. 178.
11
Angeles, Dictionary of Philosophy, h. 85.
12
Angeles, Dictionary of Philosophy, h. 85.
3
yaitu “the theory that only one intrinsically worthwhile ethical good such as pleasure exists. All
things are done for the sake of that good”13 (“teori bahwa hanya satu kebaikan etis yang
bermanfaat secara intrinsik seperti kesenangan menjadi real dan hadir. Segala sesuatu dilakukan
demi kebaikan itu”).
Berbeda dengan konteks ontologis dan konteks kosmologis, konteks etis di sini adalah
wilayah/bidang filosofis yang merupakan wilayah/bidang moral. Etika sebagai cabang filsafat,
yang disebut juga filsafat moral (moral philosophy), adalah kajian normatif tentang standar-
standar tingkah-laku dan pertimbangan moral, yang mancakup baik-buruk, benar-salah,
kewajiban-hak, tanggungjawab, dan lain-lain, yang bertujuan agar manusia menjalani kehidupan
yang baik secara etis atau moral. Etika tidak mempersoalkan siapa atau apa manusia tetapi
mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya atau sebaiknya bertingkah-laku.
Dalam konteks mistikal, muncul teori baru yang dirumuskan oleh Randall Studstill,
seorang pustakawan, peneliti, penulis dan editor dari California, Amerika Serikat, tentang
tradisisi-tradisi mistikal yang berbeda. Terori itu disebutnya “pluralisme mistikal” (“mystical
pluralism”). Ia menyebut teori itu “pluralisme mistikal” karena keserupaannya dengan
interpretasi pluralis John Hick tentang agama. Teori itu bersifat esensialis baik dalam arti
terapautik maupun dalam arti epistemologis. Tesis pluralisme mistikal itu adalah,

that mystical traditions initiate common transformative processes in the consciousness of


mystics. Though mystical doctrines and practices may be quite different across traditions,
they nevertheless function in parallel ways — they disrupt the processes of mind that
maintain ordinary, egocentric experience and induce a structural transformation of
consciousness. The essential characteristic of this transformation is an increasingly
sensitized awareness/knowledge of Reality that manifests as (among other things) an
enhanced sense of emotional well-being, an expanded locus of concern engendering
greater compassion for others, an enhanced capacity to creatively negotiate one’s
environment, and a greater capacity for aesthetic appreciation.14

bahwa tradisi-tradisi mistikal memprakarsai proses-proses transformatif yang sama dalam


kesadaran para mistikus. Meskipun doktrin-doktrin dan praktik-praktik mistikal mungkin
betul-betul berbeda di antara tradisi-tradisi, namun doktrin-doktrin dan praktik-praktik itu
berfungsi dengan cara-cara yang sangat serupa/sama — doktrin-doktrin dan praktik-
praktik itu mengacaukan proses pikiran yang memelihara pengalaman egosentrik biasa
dan menimbulkan sebuah transformasi struktural kesadaran. Karakteristik esensial
transformasi ini adalah kesadaran/pengetahuan yang makin bertambah peka terhadap
Realitas yang memanifestasikan diri sebagai (di antara segala sesuatu yang lain) sebuah
rasa kesejahteraan/kebahagiaan yang meningkat, sebuah lokus perhatian luas yang
menimbulkan kasih sayang yang lebih besar terhadap orang-orang lain, sebuah
kemampuan besar untuk mengatasi lingkungan seseorang, dan sebuah kemampuan lebih
besar bagi apresiadsi estetik.

13
Angeles, Dictionary of Philosophy, h. 84.
14
Standall Studstill, Unity of Mystical Traditions: The Transformation of Consciousness in Tibetan and
German Mysticism (Leiden & Boston: Brill, 2005). Kutipan di atas diambil melalui goodreads,
https://www.goodreads.com/quotes/tag/mystical-pluralism, Diunduh Jumat, 12 Februari 2021.
4
Di sini kita melihat bahwa tradisi-tradisi mistikal yang berbeda mengajarkan doktrin-
doktrin dan praktik-praktik mistikal berbeda pula. Namun demikian doktrin-doktrin dan praktik-
praktik itu memulai proses-proses transformatif yang sama dalam kesadaran para mistikus. Jadi
proses-proses transformatif yang sama dalam kesadaran para mistikus dimulai dengan doktrin-
doktrin dan praktik-praktik yang diajarkan bukan oleh satu tradisi mistikal tetapi oleh banyak
tradisi mistikal. Itulah sebabnya mengapa Studstill memberi bukunya judul The Unity of Mystical
Traditions, yang menggambarkan tesis teori yang dirumuskannya itu. Tesis itu didukung oleh
sebuah analisis komparatif tentang dua tradisi mistikal: mistisisme Tibet dan mistisisme Jerman.
Tesis ini adalah hasil dari kajian komparatif Studstill tentang Dzogchen Buddhis Tibet, pada satu
pihak, dan mistisme Meister Eckhart, Henry Suso, dan Johannes Tauler, pada pihak lain. Tesis
ini dipandang berlaku pula bagi tradisi-tradisi mistikal lain.
Dalam konteks sosio-politis, pluralisme berarti “the belief that it is possible and good for
different groups of people to live together in peace in one society”15 (“kepercayaan bahwa adalah
mungkin dan baik bagi banyak kelompok rakyat yang berbeda hidup dalam kedamaian dalam
satu masyarakat”). Dapat pula dikatakan bahwa pluralisme dalam konteks ini adalah “the
existence within a nation or society of groups distinctive in ethnic origin, cultural patterns,
religion, or the like” (“cara berada/hidup dalam sebuah bangsa atau masyarakat dari kelompok-
kelompok yang berbeda asal etnik, pola-pola kultural, agama, atau yang serupa”) atau “a policy
of favoring the preservation of such groups wthin a given nation or society.”16 (“sebuah
kebijakan pemerintahan yang menyokong perlindungan bagi kelompok-kelompok yang berbeda
seperti itu dalam sebuah bangsa atau masyarakat tertentu”). Pluralisme dalam konteks sosio-
politis disebut “pluralisme sosio-politis.”
Konteks sosio-politis terkait dengan isu-isu yang ditentukan oleh karakteristik-
karakteristik sosial dan politisnya. Apa pun bisa menjadi isu sosio-politis bila ditentukan oleh
karakteristik sosial dan politis yang “menempel” padanya. Gaji di perusahaan bukanlah isu
sosio-politis, tetapi gaji itu menjadi isu sosio-politis ketika muncul persoalan-pesoalan sosial dan
politis yang “menempel” padanya seperti penetapan seberapa besar gaji para buruh yang harus
dibayar oleh perusahaan sehingga mereka setujui dan tidak melakukan demonstrasi untuk
memprotes penetapn itu. Identitas agama bukanlah isu sosio-politis, tetapi identitas agama
menjadi isu sosio-politis ketika muncul persoalan-pesoalan sosial dan politis yang “menempel”
padanya seperti menjadikan identitas agama sebagai alat dan senjata untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan politis, yang tidak jarang membelah dan memecah belah persatuan
sebuah bangsa. Dalam kehidupan bernegara, konteks sosio-politis bertalian dengan ideologi,
regulasi, kebijakan, kondisi, hukum, tradisi, dan lain-lain.
Salah satu organisasi internasional yang mengkampanyekan pluralisme sosio-politis atau,
lebih tepatnya, pluralisme sosial, adalah “Global Centre for Pluralism,” yang didirikan oleh
Yang Mulia Aga Khan dan Pemerintah Kanada pada 2017. Organisasi ini berpusat di Ottawa,
ibukota Kanada. Menurut organisasi ini, “Pluralism is a positive response to diversity. Pluralism
involves taking decisions and actions, as individuals and societies, which are grounded in
respect for diversity”17 (“Pluralisme adalah respons positif terhadap perbedaan/keanekaan.

15
A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Sixt Edition, edited by Sally
Wehmeier (Oxford, UK: Oxford University Press, 2000), h. 971.
16
Webster’s New World Dictionary, h. 1040.
17
Global Centre for Pluralism, https://www.pluralism.ca/who-we-are-2/, diunduh pada Ahad, 14 Februari
2021.
5
Pluralisme melibatkan diri dalam mengambil keputusan-keputusan dan aksi-aksi, sebagai
individu-individu dan masyarakat-masyarakat, yang didasarkan pada penghormatan/penghargaan
terhadap perbedaan/keanekaan”). Global Centre for Pluralism mengusung salah satu slogannya
yang berbunyi, “we believe that societies thrive when differences are valued”18 (“kita percaya
bahwa masyarakat-masayarakat berkembang pesat ketika perbedaan-perbedaan dihargai”). Di
sini kita melihat bahwa pluralisme menekankan penghargaan pada perbedaan-perbedaan dalam
masyarakat-masyarakat dari latar belakang apapun.
Para pendiri organisasi ini menyadari bahwa masyarakat-masyarakat di seluruh dunia
sedang ditantang menghadapi isu-isu ketidakadilan, ketidaksetaraan dan sikap eksklusif. Ketika
masyarakat-masyarakat itu berjuang menjadi lebih adil, lebih damai dan lebih makmur dengan
menghargai perbedaan dan melawan ketidaksetaraan sistematik, pengaruh kuatnya bisa
mengubah keadaan. Ketika martabat setiap individu dihargai, setiap orang merasa menyatu
secara nyaman dengan masyarakatnya. Dengan demikian, diharapkan keadaan lebih baik bukan
hanya untuk semua orang sekarang tetapi juga untuk generasi-generasi yang akan datang.
Dalam konteks religius/teologis, pluralisme diartikan sebagai kepercayaan bahwa “all
religious communities bear witness to the same ultimate truth, each in its own way”19 (“semua
komunitas keagamaan menyaksikan kebenaran terdasar yang sama, masing-masing dengan
caranya sendiri”). John Hick (1922-2012), seorang teolog dan filsuf terkemuka kelahiran Inggris,
mengatakan bahwa pluralisme adalah “the view that the transformation of human existence from
self-centeredness to Reality-centeredness is taking place in different ways within the contexts of
all great religious traditions. There is not merely one but a plurality of ways of salvation or
liberation”20 (“pandangan bahwa transformasi kehidupan manusia dari keterpusatan-pada-diri
kepada keterpusatan-pada-Realitas terjadi dengan/melalui jalan-jalan yang berbeda dalam
konteks semua tradisi agama besar. Bukan hanya satu tetapi banyak jalan keselamatan atau
pembebasan”). Di sini kita melihat bahwa transformasi eksistensi manusia berpusat pada Tuhan,
bukan pada Kristus, Kristen atau agama lain manapun. Dapat pula dikatakan bahwa, dalam
semua tradisi agama besar, keselamatan atau pembebasan berporos pada Tuhan. Pandangan ini,
menurut hemat saya, adalah “pandangan teosentrik.” Pada kesempatan lain Hick mengatakan,
pluralisme religius adalah “the idea that the great world religions are different human responses
to the same ultimate transcendent reality. That reality is in itself beyond the scope of our human
conceptual systems”21 (“ide bahwa agama-agama dunia adalah respons-respons manusia yang
berbeda-beda terhadap realitas transenden terdasar yang sama. Realitas ini di luar lingkup
sistem-sistem konseptual kemanusian kita”). Pluralisme dalam arti ini memandang agama-agama
dunia sebagai respons-respons manusia yang berbeda-beda terhadap Tuhan yang satu dan sama.
Keselamatan berpusat pada Tuhan melalui banyak agama, bukan berpusat pada satu agama, dan
bukan pula melalui satu agama. Jadi pluralisme adalah kepercayaan bahwa jalan untuk mencapai
keselamatan dimiliki bukan hanya oleh satu agama, tetapi dimiliki oleh banyak agama, yang
berpusat pada Tuhan. Singkatnya, jalan untuk mencapai keselamatan bukan satu tetapi banyak.

18
Global Centre for Pluralism.
19
Douglas Sturm, “Crossing the Boundaries: On the Idea of Interreligious Dialogue and the Political
Question,” Journal of Ecumenical Studies 30/1 (1993): 1.
20
John Hick, “Religious Pluralism,” dalam Frank Whaling, ed., The World’s Religious Traditions: Current
Perspectives in Religious Studies, Essays in Honour of Wilfred Cantwell Smith (New York: Crossroad, 1984), h.
153.
21
John Hick, The Fifth Dimension: An Exploration of the Spiritual Realm (Oxford, UK: Oneworld
Publications, 1999), h. 77.
6
Di sini kita menemukan kata “Reality” (dengan huruf besar) dan kata “reality” (dengan
hurus kecil), yang berarti Tuhan dalam dalam konteks agama-agama teistik. Perlu kita
mengetahui bahwa istilah Tuhan (God) dalam konteks ini diungkapkan dengan berbagai sebutan
seperti Yang Real (the Real), Realitas (the Reality), Realitas Tertinggi (the Supreme Reality),
Wujud Tertinggi (the Supreme Being), Realitas Terdasar/Terakhir (the Ultimate Reality),
Realitas Absolut (the Absolut Reality), Yang Absolut (the Absolute), Yang Transenden (the
Transcendent), Yang Ilahi (the Divine), Yang Kudus (the Holy), Yang Abadi (the Eternal), dan
Yang Tak Terbatas (the Infinite).
Pluralisme dalam agama-agama monoteis atau teistik memandang bahwa Tuhan yang
satu dan sama disebut dengan banyak nama, ditangkap dengan banyak persepsi, dan disembah
dengan banyak cara. Diana L. Eck, seorang sarjana religious studies dari Amerika Serikat,
mengungkapkan praktik keagamaan yang dilakukannya sebagai seorang Kristen dan praktik
keagamaan yang dilakukan oleh sahabatnya Ranjin, seorang Hindu. Perempuan dari Montana,
Amerika Serikuat, itu mengatakan bahwa dalam pandangan pluralis (teologis) yang dia dukung,
“perhaps we honor the same God, whom Christians and Hindus know by different names,
experence in different ways, and see from different perspectives and angles”22 (“barangkali kami
[dia sebagai seorang Kristen dan temannya Ranjini sebagai seorang Hindu] menyembah Tuhan
yang sama, yang dikenal oleh orang-orang Kristen dan orang-orang Hindu dengan nama-nama
yang berbeda, yang mereka alami dengan cara-cara yang berbeda, dan mereka pandang dari
perspektif-perspektif dan sudut-sudut yang berbeda”).
Pluralisme dalam arti teologis/religius disebut dengan singkat dalam tulisan ini
“pluralisme religius,” “pluralisme teologis,” atau “pluralisme.” Pluralisme dalam arti ini
dikontraskan dengan “eksklusivisme,” yaitu kepercayaan bahwa, “misalnya, di antara semua
agama dunia, Kristen adalah satu-satunya [agama] yang benar.”23 Dari sudut pandang Kristen,
karena agama ini adalah satu-satunya agama yang benar, keselamatan dicapai hanya melalui
Kristen; tidak ada keselamatan di luar Kristen, tidak ada keselamatan di luar gereja. Apabila
berangkat dari pihak Islam, maka eklusivisme berarti kepercayaan bahwa Islam adalah satu-
satunya agama yang benar, yang merupakan satu-satunya jalan keselamatan.
Di samping dua sikap teologis ini (pluralisme dan eksklusivisme), ada sebuah sikap
teologis lain, yang jauh lebih dekat kepada pluralisme daripada kepada eksklusivisme. Sikap ini
adalah inklusivisme, bila berangkat dari sudut pandang Kristen, misalnya, yang berarti
kepercayaan bahwa agama-agama lain adalah [juga] pembawa sebuah “kadar” kebenaran, tetapi
dalam Kristenlah agama-agama lain itu menemukan kulminasi kebenarannya. Di sini kita
melihat bahwa inklusivisme Kristen mengakui adanya kebenaran dalam agama-agama lain,
tetapi kebenaran tertinggi dan sempurna hanya ada dalam Kristen. Bila bertolak dari teologi
Islam, inklusivisme berarti bahwa Islam mengakui adanya kebenaran dalam agama-agama lain,
tetapi kebenaran tertinggi dan sempurna hanya ada dalam Islam.
Perbedaan antara pluralisme dan inklusivisme adalah “tipis” karena kedua-duanya
mengakui kebenaran agama-agama lain, tetapi inklusivisme memandang bahwa para penganut
agama-agama lain di luar Kristen, misalnya, juga dikarunia rahmat oleh Tuhan dan bisa
diselamatkan, tetapi pemenuhan keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus, jika dilihat dari
sudut pandangan Kristen. Pluralisme dan inklusivisme sama-sama bersifat inklusif. Bersifat

22
Diana L. Eck, Encountering God: A Spiritual Journey from Bozeman to Banaras (Boston: Beacon Press,
1993), h. 52-53.
23
Sturm, “Crossing the Boundaries,” h. 1.
7
inklusif berarti “memasukkan” atau “meliputi” agama-agama lain ke dalam kelompok agama-
agama yang dipercayai/diakui benar meskipun keselamatan berpusat pada satu agama, yaitu
“agamaku.” Seorang pluralis adalah inklusif (tetapi ia bukan inklusivis), demikian juga seorang
inklusivis adalah inklusif (tetapi ia bukan pluralis). Perbedaan “tipis” antara pluralisme dan
inklusivisme adalah bahwa yang pertama mengakui kesejajaran, keparalelan, atau kesetaraan
agama-agama, sedangkan yang kedua mengakui adanya kebenaran dalam agama-agama lain,
tetapi kebenaran tertinggi dan sempurna hanya ada dalam agamaku. Kebenaran tertinggi dan
sempurna hanya ada dalam Islam, misalnya, jika dilihat sudut pandang seorang Muslim.
Tiga sikap teologis ini, eksklusivisme, inklusisvisme, dan pluralisme, pertama kali
diperkenalkan oleh Alan Rice ke dalam sebuah teologi Kristen tentang agama-agama (Christian
theology of religions) dalam karyanya Christians and Religious Pluralism: Patterns in the
Christian Theology of Religions, yang terbit pada 1983.24 Selama bertahun-tahun kemudian tiga
istilah ini menjadi sebuah bagian standar wacana profesional meskipun belakangan menjadi
objek beberapa kritik yang tajam. Tipologi tiga-kutub (tripolar typology) atau klasifikasi tiga-
kutub (tripolar classification) ini menjadi sebuah model yang lazim digunakan dalam wacana
teologi agama-agama (theology of religions) dan filsafat agama (philosophy of religion) untuk
menjawab pertanyaan kebenaran agama sebagai jalan untuk mencapai keselamatan. Bisa pula
dikatakan bahwa tipologi tiga-kutub ini digunakan untuk mendiskusikan masalah klaim-klaim
kebenaran yang bertentangan (conflicting truth-claims) dari agama-agama.
Model tipologi tiga-kutub (tripolar typology) ini juga digunakan oleh Diana L. Eck dalam
karyanya Encountering God, yang diterbitkan pada 1993. Dia mengatakan model tipologi tiga-
kutub ini dia gunakan dalam konteks memberikan respons, tanggapan, atau interpetasi teologis
terhadap keragaman agama, meskipun tidak bisa dipisahkan dari respons-respons sosial dan
politis. Maka Diana L. Eck mengatakan bahwa tiga interpretasi eksklusivisme, inklusisvisme,
dan pluralisme sebagai tiga interpretasi teologis terhadap keragaman agama mempunyai gaung-
gaung sosial dan politis karena teologi tidak terpisah dari konteks sosial dan politis. 25
Dalam pembicaraan selanjutnya, saya akan memokuskan perhatian pada pluralisme
dalam konteks religius/teologis, yang sering dikacaukan dengan pluralisme dalam konteks sosio-
politis dan toleransi beragama, dan sering disalahpahami.

Kekacauan Penggunaan Istilah “Pluralisme”:


Kritik terhadap Nurcholish Madjid

Kembali kepada pertanyaan yang diajukan pada mukadimah tulisan ini, yaitu: apa yang
dimaksud dengan istilah “pluralisme” yang digunakan oleh Abu Rizal Bakri, Ali Masykur Musa,
para pembicara dalam diskusi di Universitas Paramadina, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia? Kita bisa menjawab bahwa yang dimaksud dengan pluralisme dalam konteks ini
adalah pluralisme sosio-politis, bukan pluralisme religius. Lalu, apa perbedaan antara pluralisme
sosio-politis dengan pluralisme religius? Pluralisme sosio-politis memfokuskan perhatiannya
pada perlunya hubungan sosial dan politis yang harmonis antarkelompok dalam sebuah
manyarakat tanpa menyinggung masalah kebenaran agama sebagai jalan untuk mencapai

24
Alan Rice, Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions (London:
SCM, 1983).
25
Eck, Encountering God, h. 170.
8
keselamatan. Adapun pluralisme religius mempersoalkan masalah kebenaran agama sebagai
jalan untuk mencapai keselamatan.
Banyak orang, termasuk para pemikir, menggunakan istilah pluralisme dalam
membicarakan hubungan antaragama atau hubungan antarumat beragama tanpa menyadari —
dan mungkin juga tanpa memahami — perbedaan antara pluralisme religius dan pluralisme
sosio-politis, dan juga tanpa menyadari perbedaan antara pluralisme dan toleransi [beragama].
Nurcholish Madjid, seorang pemikir Muslim Indonesia terkemuka, misalnya, dalam banyak
kesempatan dalam karya-karyanya, tidak membedakan dengan tegas antara pluralisme religius
dan pluralisme sosio-politis, dan juga tidak membedakan dengan jelas antara pluralisme dan
toleransi [beragama]. Ia menggunakan istilah “pluralisme” berkali-kali, misalnya, dalam lima
tulisannya: pertama, “Kata Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki Zaman Modern,” yang
dimuat sebagai pengantar karyanya Islam, Doktrin, dan Peradaban;26 kedua, “Cita-Cita Politk
Kita” dalam Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi;27 ketiga, “Memberdayakan Masyarakat,
Menuju Negeri yang Adil, Terbuka dan Demokratis,” dalam Cita-Cita Politik Islam Era
Reformasi;28 keempat, “Pluralisme dalam Konsep Islam dan Barat: Tentang Musyawarah,
Partisipasi, dan Kebebasan Asasi Manusia,” dalam Masyarakat Religius;29 dan kelima, “Asas-
asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,” yang dimuat dalam Titik-Temu edisi
yang sekarang sedang Anda baca. Dalam tulisan pertama ia menggunakan istilah “pluralisme”
tidak kurang dari 25 kali; dalam tulisan kedua tidak kurang dari 4 kali; dalam tulisan ketiga tidak
kurang dari 2 kali; dalam tulisan keempat tidak kurang dari 8 kali; dan dalam tulisan kelima tidak
kurang dari 25 kali.
Ketika menjelaskan pandangan Islam tentang kemajemukan dan toleransi yang
dipraktikkan oleh para penguasa Muslim di Andalusia (Spanyol), Nurcholish Madjid
mengatakan,

Paham kemajemukan masyarakat … adalah salah satu nilai keislaman yang sangat tinggi,
yang para pengamat modern pun banyak yang mampu menghargainya dengan tulus.
Pluralisme inilah salah satu ajaran pokok Islam yang amat relevan dengan zaman
sekarang. Pengalaman Spanyol Islam yang telah disebutkan dipuji oleh Ibn Taymiyyah
adalah contoh klasik pelaksanaan pluralisme Islam itu secara konsisten dalam waktu yang
sangat lama (5 abad). Sebenarnya apa yang dipraktikkan oleh para penguasa Islam
Spanyol itu, seperti tersirat dari pujian Ibn Taymiyyah, adakah Sunnah Nabi saw (yang
terpelihara dengan baik di Madinah).30

Pluralisme Islam yang dikemukan oleh [Max] Dimont … adalah nilai yang sama yang
diamati oleh Bertrand Russel (seorang ateis-sekularis militan yang sangat benci kepada
Kristen), dan ia namakan “sikap kurang fanatik” (lack of fanaticism) dari kaum Muslim,

26
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 1992), h. vii-cxiii.
27
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, diberi “Pengantar” oleh Budhy Munawar-
Rachman (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 43-93.
28
Madjid, Cita-Cita Politik Islam, h. 163-180.
29
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina. 1997), h. 34-35.
30
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxxvi.
9
yang membuat mereka mampu memerintah daerah amat luas dari berbagai bangsa
dengan peradaban duniawi yang lebih tinggi. 31

Apa yang dimaksud dengan istilah “pluralisme” pada kutipan di atas, pluralisme religius
atau pliralisme sosio-politis? Mari kita cari jawaban terhadap pertanyaan ini. Di sini penggunaan
istilah “pluralisme” oleh Nurcholish Madjid disambungkan dengan kata “Islam” setelahnya
seperti terlihat pada ungkapan “pluralisme Islam” yang dikutip di atas. Kata “Islam” pada
lazimnya berarti sebuah agama. Karena itu, maka ungkapan “pluralisme Islam” harus diartikan
dengan pluralisme agama/keagamaan/religius (religious pluralism) atau pluralisme teologis
(theological pluralism) dalam pandangan Islam: selain Islam, agama-agama lain adalah juga
benar sebagai jalan untuk mencapai keselamatan. Penggunaan istilah “pluralisme” di sini dengan
arti “pluralisme religius” seakan-akan dapat dibenarkan karena sejalan dengan bagian lain dari
tulisan Nurcholish Madjid yang sama, yang menegaskan bahwa “al-Qur’an juga mengisyaratkan
bahwa para penganut berbagai agama, asalkan percaya kepada Tuhan dan Hari Kemudian serta
berbuat baik, semuanya akan selamat (Lihat Q 2:62; 5:26, serta berbagai kemungkinan
tafsirnya).”32
Kita tidak boleh terburu-buru menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pluralisme di
sini adalah pluralisme religius yang dipraktikkan oleh para penguasa Muslim di Andalusia
(Spanyol). Tunggu dulu. Kita harus memeriksa dengan cermat dan teliti apa aliran atau mazhab
teologi para penguasa Muslim itu. Jika kita mengkaji sejarah Islam di Andalusia, kita akan
mengetahui bahwa Islam yang berkembang di sana pada masa itu adalah Islam beraliran Ahlu al-
Sunnah wal Jama‘ah atau, sebutan singkatnya, Ahlu al-Sunnah. Pada umumnya Ahlu al-Sunnah
adalah kaum eksklusivis, yang percaya bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar
sebagai jalan untuk mencapai keselamatan. Bahkan banyak ulama Ahlu al-Sunnah bukan hanya
bersikap eksklusivis secara teologis terhadap agama-agama lain tetapi juga bersikap eksklusivis
secara teologis terhadap aliran-aliran lain dalam Islam sendiri.
Sikap eksklusivis Ahlu al-Sunnah bisa kita ketahui dari karya-karya kalam/teologi para
ulama mereka. Salah satu contoh terbaik adalah al-Farq bayn al-Firaq karya ‘Abd al-Qahir ibn
Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi (w. 429/1038). Karya ini adalah sebuah kajian teologis
tentang aliran-aliran dalam Islam dan penjelasan aliran yang selamat (al-firqah al-nājiyah) di
antara aliran-aliran itu. Persoalan mana aliran yang selamat dalam Islam dijelaskan oleh al-
Baghdadi berdasarkan hadis Nabi saw bahwa umat beliau akan terpecah menjadi 73 aliran dan
hanya satu aliran yang selamat, yaitu Ahlu al-Sunnah wal Jama‘ah. Ulama Ahlu al-Sunnah
bermazhab Syafi‘i ini mengatakan,

Sesungguhnya Nabi saw ketika menyebut bahwa umat beliau terpecah setelah masa
beliau kepada tujuhpuluh tiga aliran, beliau mengabarkan bahwa satu aliran di antaranya
adalah [aliran yang] selamat (nājiyah). Beliau ditanya tentang aliran yang selamat (al-
firqah al- nājiyah) dan karakteristiknya. Maka beliau mengisyaratkan apa yang beliau
dan para Sahabat beliau imani seperti disebutkan di atas. Kita tidak menemukan pada hari
ini aliran-aliran umat yang benar sesuai dengan para Sahabat ra selain Ahlu al-Sunnah
wal Jama‘ah, baik para fuqaha mereka maupun para mutakallim (teolog) Sifatiyah
(mereka yang mempercayai adanya sifat-sifat Allah), tanpa mencakup Rafidlah,

31
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxxvii.
32
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxxvii.
10
Qadariyah, Khawarij, Jahmiyah, Najjariyah, Musyabbihah (Antropomorfis), Ghulat, dan
Hululiyah.33

Dari kutipan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa al-Farq bayn al-Firaq menyatakan
dengan tegas bahwa aliran-aliran lain selain Ahlu al-Sunnah di kalangan umat Muhammad saw
adalah aliran-aliran sesat. Kita dapat pula menyimpulkan secara logis bahwa menurut al-
Baghdadi aliran-aliran lain selain Ahlu al-Sunnah dalam Islam saja tidak akan membawa para
penganutnya kepada keselamatan, apalagi agama-agama lain tentu saja dalam pandangannya
dipercayai tidak membawa kselamatan. Bisa dipastikan bahwa ulama Ahlu al-Sunnah bermazhab
Syafi‘i ini bersikap eksklusivis bukan hanya kepada aliran-aliran lain selain Ahlu al-Sunnah
dalam Islam tetapi tentu saja bersikap eksklusivis terhadap agama-agama lain.
Sekarang mari kita simak contoh lain sikap eksklusivis Ahlu al-Sunnah dalam al-Milal
wa al-Nihal karya Muhammad ‘Abd al-Karim al-Syahrastani (w. 574/1153), seorang teolog
Asy‘ari terkemuka. Karya ini adalah salah satu karya teologi Islam klasik yang paling terkenal
dan mungkin paling banyak dibaca oleh para ulama dan sarjana Muslim. Al-Syahrastani
membagi para penduduk dunia dari segi pemikiran-pemikiran dan mazhab-mazhab ke dalam dua
kelompok besar: pertama, para penduduk yang disebutnya “para penduduk agama-agama dan
kepercayaan-kepercayaan” (ahl al-diyānāt wa al-milal); dan kedua, para penduduk yang
disebutnya “para penduduk sekte-sekte dan kredo-kredo” (ahl al-ahwā’ wal al-nihal). Para
penduduk agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan mencakup orang-orang Muslim, Ahli
Kitab, dan Semi-Ahli Kitab. Ahli Kitab meliputi orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani.
Semi-Ahli Kitab meliputi orang-orang Majusi dan para penganut Dualisme. Para penduduk
sekte-sekte dan kredo-kredo meliputi orang-orang Shabi’in, para filsuf, para penganut
pandangan-pandangan Arab pada masa Jahiliah, dan para penganut pandangan-pandangan
India.34
Al-Syahrastani menuturkan bahwa setiap kelompok manusia terpecah ke dalam aliran-
aliran. Para penganut sekte-sekte dan kepercayaan-kepercayaan, jumlah aliran mereka tidak
terbatas dan tidak diketahui dengan pasti. Para penganut agama-agama, jumlah mazhab mereka
terbatas sesuai dengan yang diberitakan oleh khabar (hadis) tentang mazhab-mazhab itu. Orang-
orang Majusi terpecah ke dalam 70 aliran, orang-orang Yahudi terpecah ke dalam 71 aliran,
orang-orang Nasrani terpecah ke dalam 72 aliran, dan orang-orang Muslim terpecah ke dalam 73
aliran. Yang selamat (al-nājiyah) di antara aliran-aliran itu hanya satu karena bila ada dalil-dalil
yang bertentangan, maka kebenaran (al-haqq) dimiliki hanya oleh satu aliran, dan aliran-aliran
lain pasti mengandung kedustaan. Kebenaran diketahui hanya melalui wahyu, sebagaimana

33
‘Abd al-Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi, Al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.th), h. 244.
34
Muhammad ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, Kitāb al-Milal wa al-Nihal, diedit oleh ‘Abd al-‘Aziz
Muhammad al-Wakil (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 10-11, 209, 234, 245, 257, 259, 213, 487, 506, 522-32. Al-Milal
ini telah diterjemahkan, yaitu Bagian Aliran-Aliran Islam ke dalam bahasa Inggris oleh A.K. Kazi dan J.G. Flynn
dengan judul Muslim Sects and Divisions: The Section on Muslim Sects in Kitāb al-Milal wa al-Nihal (London:
Kegan Paul International, 1984). Karya terjemahan Inggris ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: pertama
oleh Karsidi Diningrat dengan judul Sekte-sekte Islam: Bagian tentang Sekte-sekte Islam dalam Kitāb al-Milal wa
al-Nihal (Bandung: Penerbit Pustaka, 1416/1996), dan kedua oleh Suaidi Asy‘ari dengan judul Al-Milal wa al-
Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam (Bandung: Mizan, 2004). Al-Milal keseluruhannya telah diterjemahkan
oleh Asywadie Syukur dengan judul Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia,
Edisi Lengkap, 3 buku (Surabaya: PT Bina Ilmu, t.th).
11
firman-Nya: “Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberikan
petunjuk dengan kebenaran (al-haqq) dan dengan kebenaran itu pula mereka berbuat adil” (Q 7:
181). Nabi saw memberitakan: “Umatku akan terpecah ke dalam tujuh puluh tiga aliran, tetapi
yang selamat di antara aliran-aliran itu hanya satu, dan sisanya akan binasa. Ketika ditanya,
“Mana aliran yang selamat?,” beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikuti Sunnah dan
Jama‘ah.” Ketika ditanya, “Apa itu Sunnah wal Jama‘ah?,” beliau menjawab, “Apa yang aku dan
para sahabatku praktikkan.”35
Klasifikasi yang dibuat oleh al-Syahrastani ini adalah klasifikasi normatif, yang tidak
memiliki nilai ilmiah, karena klasifikasi ini bersifat sewenang-wenang dan subjektif, tanpa
didukung oleh data-data empiris. Sikap al-Syahrastani terhadap agama-agama, kepercayaan-
kepercayaan, aliran-aliran dan sekte-sekte lain menunjukkan sikap eksklusivisnya, yang tidak
hanya memandang agama-agama, kepercayaan-kepercayaan, aliran-aliran dan sekte-sekte lain di
luar Islam tetapi juga kepercayaan-kepercayaan, aliran-aliran dan sekte-sekte lain dalam Islam
sendiri sebagai yang dusta, palsu, menyimpang dan sesat. Aliran dalam Islam yang dianggap
benar hanya satu, yaitu aliran Ahlu al-Sunnah wal Jama‘ah seperti diberitakan oleh khabar
(hadis). Kita dapat menyimpulkan dengan pasti bahwa satu-satunya aliran yang selamat adalah
aliran yang dianut dan dibela oleh teolog Asy‘ari terkemuka ini, yang diklaimnya sebagai aliran
Ahlu al-Sunnah wal Jama‘ah.
Al-Farq bayn al-Firaq al-Baghdadi dan Al-Milal wa al-Nihal al-Syahrastani adalah
sejenis karya-karya teologis yang telah menjadi corong utama sebuah tradisi dalam wacana
pemikiran teologis Islam klasik, yang disebut oleh W. Montgomery Watt, seorang sarjana
Inggris, ”tradisi heresiografis” (heresiographical tradition”).36 Mungkin banyak di antara kita
orang-orang Muslim tidak menyadari bahwa memandang bid‘ah dan sesat aliran, mazhab, atau
kelompok keagamaan lain dalam Islam adalah “tradisi” klasik yang tetap hidup subur dalam
sejarah Islam sampai hari ini. Di antara karya-karya heresiogafis klasik yang terkenal, selain al-
Farq bayn al-Firaq al-Baghdadi al-Milal wa al-Nihal al-Syahrastani, adalah Maqālāt al-
Islāmiyyīn al-Asy‘ari dari sudut pandang Ahlu al-Sunnah; dan Firaq al-Syi‘ah al-Nawbakhti dari
sudut pandang Syi‘ah.37 Karya-karya ini tetap menjadi rujukan bagi para ulama dan para
pengkaji sejarah pemikiran teologis Islam. Para penulis karya-karya heresiografis ini selalu
mempropagandakan bahwa aliran mereka adalah satu-satunya aliran yang selamat (firqah
nājiyah), sementara aliran-aliran lain adalah sesat.
Berdasar data-data yang dijelaskan di atas, Nurcholish Madjid adalah keliru dalam
menggunakan istilah “pluralisme” jika yang ia maksud dengan istilah ini adalah pluralisme
religius yang dipraktikkan oleh orang-orang Muslim di Andalusia (Spanyol) sebagai Ahlu al-
Sunnah, termasuk para penguasa di sana, karena mereka adalah kaum eksklusivis secara teologis.
Karena itu lebih tepat jika Nurcholish Madjid menggunakan istilah “pluralisme” dengan arti
pluralisme sosio-politis, yang berbeda dengan pluralisme religius. Ingatlah bahwa pluralisme
sosio-politis tidak berurusan dengan klaim kebenaran agama sebagai jalan untuk mencapai
keselamatan. Pluralisme sosio-politis, seperti dipraktikkan oleh para penguasa Muslim di
Andalusia, adalah sikap toleran, menghargai, menghormati, dan melindungi semua kelompok

35
Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, h. 11.
36
Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1972), h. 1.
37
Lihat W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1985), h. 164-165.
12
yang berbeda dari segi etnik, kultural, dan agama dalam sebuah bangsa atau masyarakat tertentu,
tanpa mempersoalkan masalah kebenaran agama sebagai jalan untuk mencapai keselamatan.
Nurcholish Madjid sama sekali tidak pernah menjelaskan bahwa istilah “pluralisme” yang ia
gunakan dalam konteks ini adalah pluralisme sosio-politis. Inilah yang menyebabkan
penggunaan istilah “pluralisme” yang ia gunakan menimbulkan “kebingunan” karena pluralisme
religius dikacaukan dengan pluralisme sosio-politis.
Kekacauan penggunaan istilah “pluralisme” oleh Nurcholish Madjid bisa pula diketahui
dari label-label yang dia “ditempelkan” pada istilah ini seperti “Islam,” “agama,” “Madinah,”
“Spanyol,” “Amerika,” “demokrasi Barat,” “demokratis,” “modern,” “sosial,” dan “Pancasila.”
Penempelan “Islam” dan “agama” pada istilah “pluralisme” — sehingga menjadi “pluralisme
Islam”38 dan “pluralisme agama”39 — menimbulkan kesan bahwa yang dimaksud dengan
pluralisme oleh Nurcholish Madjid di sini adalah pluralisme religius, kepercayaan bahwa jalan
untuk mencapai keselamatan bukan hanya melalui satu agama (Islam dilihat dari sudut pandang
Islam), tetapi melalui banyak agama.
Apakah benar bahwa yang dimaksud dengan pluralisme oleh Nurcholish Madjid adalah
pluralisme religius? Jika ya, mengapa ia mengunakan pula ungkapan-ungkapan “pluralisme
Madinah,”40 “pluralisme Spanyol,”41 “pluralisme Amerika,”42 “pluralisme demokrasi Barat,”43
“pluralisme demokratis,”44 “pluralisme sosial,”45 “pluralisme modern,”46 dan “pluralisme
Pancasila”47 dalam tulisan-tulisannya? Mari kita mencari jawaban terhadap pertanyaan ini.
Penggunaan ungkapan “pluralisme Madinah” ditemukan dalam perkataan Nurchlish Madjid
dalam tulisannya yang berkenaan dengan perihal tatatan kenegaraan, sosial dan politik di
Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. Nurcholish Madjid mengatakan,

Pluralisme Madinah di bawah pimpinan Rasulullah saw dan berdasarkan Konstitusinya


itu berjalan secara baik dan lancar, dengan tiap-tiap kelompok mengambil bagian
kegiatan sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing, termasuk pertahanan
terhadap musuh dari luar, sampai dengan terjadinya pengkhianatan demi pengkhianatan
yang fatal oleh beberapa kelompok orang-orang Yahudi Madinah [pada] penandatangan
Konstitusi. Karena pengkhianatan itu sangat membahayakan tatanan sosial yang sedang
dibangun, maka para pelakunya mendapat hukuman setimpal: sebagian dipersilakan
dengan leluasa meninggalkan kota, sebagian lagi diusir dengan paksa, dan sebagian lagi
kekuatan militernya dihancurkan sama sekali. Maka sejak itu masyarakat politik Madinah
berkembang ke arah yang lebih homogen.48

38
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxxiii, lxxvi, lxxvii, lxxxii.
39
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxxi, lxxxii.
40
Madjid, Cita-Cita Politik Islam, h. 59.
41
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxxiii.
42
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxxx-lxxxi.
43
Madjid, Masyarakat Religius, h. 34
44
Madjid, Masyarakat Religius, h. 35, catatan kaki no. 4.
45
Madjid, Cita-Cita Politik Islam, h. 55, 74.
46
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxxxii.
47
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxxxii.
48
Madjid, Cita-Cita Politik Islam, h. 59-60.
13
Ungkapan “pluralisme Madinah” dalam kutipan ini digunakan oleh Nurcholish Madjid
ketika ia membicarakan tatanan sosial dan politis di Madinah di bawah kepemimpinan
Rasulullah saw berdasar pada dokumen politik yang disebut “Konstutusi Madinah.” Ungkapan
“pluralisme Madinah” sama sekali tidak berkaitan persoalan kebenaran agama sebagai jalan
untuk menuju keselamatan. Maka yang dimaksud dengan pluralisme pada ungkapan “pluralisme
Madinah” adalah pluralisme sosio-politis. Begitu pula ungkapan-ungkapan “pluralisme
Spanyol,” “pluralisme Amerika,” “pluralisme demokrasi Barat,” “pluralisme demokratis,”
“pluralisme sosial,” “pluralisme modern,” dan “pluralisme Pancasila” digunakan oleh keluaran
Universitas Chicago ini ketika ia membicarakan tatanan sosial dan politis, yang sama sekali tidak
menyinggung persoalan teologis terkait dengan kebenaran agama sebagai jalan untuk mencapai
keselamatan. Maka tidak diragukan bahwa yang dimaksud dengan pluralisme dalam ungkapan-
ungkapan ini tidak lain daripada pluralisme sosio-politis.
Di sini kita melihat kekacauan penggunaan istilah “pluralisme” oleh Nurcholish Madjid
pada bagian tulisannya yang dikutip di atas dan pada bagian-bagian tertentu dari tulisan-tulisanya
yang lain,49 karena ia menggunakan istilah ini untuk membicarakan dua masalah sekaligus,
teologis dan sosio-politis, tanpa membedakan dua masalah ini secara tegas meskipun keduanya
saling terkait. Kita harus mengingat kembali penggunaan istilah “pluralisme,” seperti dijelaskan
di atas, yang digunakan dalam enam konteks: ontologis, kosmologis, etis, mistikal, sosio-politis,
dan religious/teologis. Pluralisme dalam enam konteks ini mempunyai makna masing-masing
yang berbeda karena menjawab persoalan-persoalan yang berbeda.
Kembali kepada perihal penggunaan istilah “pluralisme” dalam dua konteks sekaligus,
teologis dan sosio-politis, kita harus menyadari bahwa seorang pluralis secara sosio-politis
(penganut pluralisme sosio-politis) belum tentu seorang pluralis secara religius atau teologis
(penganut pluralisme religius). Dalam kasus pengalaman Islam di Andalusia (Spanyol), seperti
dijelaskan di atas, orang-orang Muslim di sana, termasuk para penguasa Muslim, adalah Ahlu al-
Sunnah yang pada umumnya adalah kaum eksklusivis secara teologis, meskipun mereka adalah
kaum pluralis secara sosio-politis. Jadi tidak tepat jika dikatakan bahwa orang-orang Muslim di
Andalusia itu adalah kaum pluralis baik secara sosio-politis maupun secara religius. Mereka
adalah kaum pluralis secara sosio-politis tetapi sekaligus mereka adalah kaum eksklusivis secara
religius/teologis.
Perbedaan antara pluralisme sosio-politis dan pluralisme religius harus ditegaskan agar
terhindar dari kekeliruan dalam membedakan antara dua arti pluralisme yang berbeda ini. Saya
setuju dengan apa yang dikatakan oleh Perry Schmidt-Leukel:

And it [pluralism in theology of religions] should not be confused with pluralism in the
sense of a socio-political theory that conceptualizes and calls for societies that can
accommodate ideological, religious, and cultural diversity. In order to defend a pluralist
society in this sence, there is no need to hold a pluralist theology of religions. Apart from
adequate political mechanisms, the defense of a pluralist society is ultimately based on

49
Misalnya, Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxviii-lxxiii; Madjid, “Asas-asas Pluralisme dan
Toleransi” dalam Titik-Temu edisi ini.
14
the acceptance of human rights and the virture of tolerance. And again, tolerance does
not require a pluralist theology of religions.50

Dan ia [pluralisme dalam teologi agama-agama] tidak boleh dikacaukan dengan


pluralisme dalam arti teori sosio-politis yang membentuk konsep dan menghendaki
masyarakat-masyarakat yang bisa mengakomodir perbedaan ideologis, keagamaan, dan
kultural. Untuk mempertahankan sebuah masyarakat pluralis dalam arti ini, tidak ada
keperluan untuk menganut sebuah teologi pluralis [tentang] agama-agama. Selain dari
mekanisme-mekanisme politis yang memadai, pembelaan bagi sebuah masyarakat
pluralis akhirnya didasarkan pada penerimaan hak-hak asasi manusia dan kebaikan
toleransi. Dan sekali lagi, toleransi tidak memerlukan sebuah teologi pluralis [tentang]
agama-agama.

Seperti dikatakan Schmidt-Leukel dalam kutipan di atas, masyarakat pluralis dalam arti
teori sosio-politis bisa dipertahankan dan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh plurarisme
teologis. Penegakan hak-hak asasi manusia dan toleransi tidak membutuhkan pluralisme teologis.
Dalam konteks sosio-politis seperti ini para anggota masyarakat pada umunya boleh jadi adalah
para eksklusivis secara teologis meskipun mereka adalah para pluralis secara sosio-politis. Jadi
seseorang pada saat yang sama bisa menganut eksklusivisme teologis dan pluralisme sosio-
politis.
Dilihat dari segi hubungan antaragama (atau hubungan antarumat beragama), sebenarnya
istilah yang lebih tepat digunakan dalam konteks pengalaman Islam di Andalusia itu adalah
“toleransi” [beragama] dalam arti bahwa para penguasa Muslim di sana memberikan kebebasan
beragama kepada kaum Yahudi untuk menjalan agama mereka. Penggunaan istilah toleransi
sesuai dengan realitas historis bahwa orang-orang Yahudi menikmati kebebasan beragama di
bawah kekuasaan Islam di Andalusia, tetapi mereka menderita di bawah kekuasaan Kristen yang
kejam dan tidak toleran. Dalam konteks ini, tidaklah tepat penggunaan istilah “pluralisme,” dan
yang tepat adalah penggunaan istilah “toleransi.” Istilah “toleransi” tidak bisa dipertukarkan
dengan istilah “pluralisme.”
Kekacauan penggunaan istilah “pluralisme” oleh Nurcholish Madjid diperparah oleh
pernyataannya bahwa, “Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah,
“Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.” 51
Pernyataan bahwa pluralisme adalah Aturan Tuhan (“Sunnatullah”) yang tidak akan berubah,
yang lazimnya diartikan hukum alam (“natural law”), membingungkan para pembaca yang kritis
dan akrab dengan diskursus teologi agama-agama (“theology of religions”), khususnya diskursus
teologi Kristen tentang agama-agama (“Christian theology of religions”), karena pluralisme
religius bukanlah hukum alam (ciptaan Tuhan), tetapi adalah “-isme” (ajaran, kepercayaan,
doktrin, teori, sistem, paham, atau sikap) yang dirumuskan dan dianut oleh para teolog, para
filsuf dan kemudian dianut oleh para pengikut mereka. Jika pun yang dimaksud dengan istilah
“pluralisme” oleh Nurcholish Madjid dalam konteks ini adalah pluralisme sosio-politis, maka
pernyataan bahwa pluralisme adalah hukum alam tetap tidak tepat karena pluralisme ini pun

50
Perry Schmidt-Leukel, “Exclusivism, Inclusivism, Pluralism: The Tripolar Typology – Clarified and
Reaffirmed,” dalam Paul F. Knitter, ed., The Myth of Religious Superiority: Multifaith Explorations of Religious
Pluralism (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2005), h. 22.
51
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. lxx.
15
bukanlah hukum alam tetapi adalah “-isme” (ajaran, kepercayaan, doktrin, teori, sistem, paham,
atau sikap).
Pandangan Nurcholish Madjid seperti ini, meskipun secara akademik saya kritik karena
kekeliruan-kekeliruannya, tetapi secara moral dan sosial pandangan ini sangat bermanfaat untuk
kemaslahat masyarakat, bangsa, dan umat karena menampilkan Islam, berwajah damai, ramah
dan sejuk dan menyejukkan. Sangat disayangkan, para penulis buku-buku dan disertasi-disertasi
tentang pemikiran Nurcholish Madjid tekait dengan penggunaan istilah pluralisme, sejauh yang
saya ketahui, tidak jeli, tidak teliti, dan sama sekali tidak kritis, mungkin karena mereka
terpesona pada kebesaran nama tokoh ini atau menjadi pengikut setianya. Media Zainul Bahri,
sekarang Guru Besar Pemikiran Islam pada Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, misalnya, memberikan pujian yang berlebihan kepada Nurcholish Madjid atas
“kehebatan”-nya dalam merumuskan konsep pluralisme agama. Mas Media, panggilan akrabnya
bagi saya, menulis,

Barangkali di antara empat tokoh pengusung pluralisme [Nurcholish Madjid,


Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan Jalaluddin Rakhmat] …, kiranya dapatlah
dikatakan bahwa Cak Nur adalah satu-satunya tokoh Islam Indonesia yang merumuskan
konsep pluralisme agama dengan sedemikian canggih (sophisticated), sistematis dan
komprehensif, dapat memadukan antara pendekatan teologis dengan kesejarahan,
kemudian ia tarik signifikansi dan relevansinya ke dalam konteks dunia (Indonesia)
modern.52

Andaikata Mas Media benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan pluralisme
agama (religious pluralism) secara akademik dan mengetahui kekacauan penggunaan istilah
pluralisme oleh Nurcholish Madjid, saya kira ia tidak akan memuji Nurcholish Madjid tentang
penggunaan istilah pluralisme agama atau tentang perumusan konsep pluralisme agama — dan
mungkin ia akan mengkritiknya — karena gerbong pembaruan pemikiran Islam kontemporer ini
menggunakan istilah pluralisme dengan arti yang membingungkan: pluralisme religius tidak atau
sulit dibedakan dengan pluralisme sosio-politis dan toleransi beragama, dan pluralisme pernah
beliau katakan sebagai sebagai Aturan Allah (“Sunnatullah”), yang tidak berubah, yang
semestinya dipandang sebagai “-isme” (ajaran, kepercayaan, doktrin, teori, sistem, paham, atau
sikap), yang bisa berubah.
Bagaimanapun kerasnya kritik yang saya lancarkan kepada pemikir dan cendekiawan
Muslim asal Jombang ini, kritik itu sama sekali tidak mengurangi kebesarannya sebagai seorang
pembaru pemikiran Islam kontemporer dan sebagai guru bangsa yang telah memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan pemikiran Islam dan kehidupan beragama,
berbangsa dan bernegara di Indonesia. Secara tulus saya mengakui bahwa Nurcholish Madjid
adalah guru saya dan pembimbing disertasi saya yang sangat saya kagumi dan hormati. Saya dan
ayah saya pernah tinggal satu kamar bersama beliau dan beberapa orang lain di asrama Mesjid
Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, selama sepuluh bulan pada 1967 ketika ayah saya
dan saya mengerjakan penulisan khat (kaligrafi) Arab dan ornamennya di Mesjid itu.
Pengalaman berkenalan dengan beliau telah membuat saya mengagumi beliau dan mendorong
saya untuk menjadi santri di Pondok Modern Gontor Darussalam. Beliau memberi saya nasehat

52
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa
Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 271.
16
dan memotivasi saya agar saya “betah” dan sukses belajar di Gontor sebelum berangkat ke sana
pada Januari 1968. Beliau telah ikut mengambil bagian dalam mempengaruhi jalan hidup saya.
Jazāhu’Llāh khayran katsīran! Saya sama sekali tidak mengurangi takzim dan penghormatan
saya kepadanya dan tidak mengkritik kepribadiannya, tetapi tidaklah salah jika saya mengkritik
pemikirannya secara akademik atau ilmiah.

Kesalahpahaman tentang Pluralisme:


Kritik terhadap kritik Gerardette Philips

Pada kesempatan ini saya perlu pula membicarakan kritik Suster Gerardette Philips
terhadap pluralisme seperti disampaikannya dalam disertasinya, 53 yang kemudian diterbitkan
dalam bentuk buku,54 karena disertasi dianggap sebagai karya terakhir pada jenjang tertinggi di
perguruan tinggi, yang pengerjaannya pada umumnya dilakukan dengan (sangat) serius di bawah
bimbingan dua atau tiga dosen dan dipertahankan dalam ujian promosi Doktor. Menurut saya,
kritik Suster Geraradette tehadap pluralisme tidak didasarkan pada bukti-bukti akademik tetapi
didorong oleh sikap teologisnya yang subjektif, yang memandang pluralisme sebagai ancaman
yang berbahaya baginya sebagai seorang suster Kongregasi Hati Kudus Yesus (Religieuses du
Sacré-Cœur de Jésus [RSCJ]) Indonesia dari Gereja Katolik.
Suster Gerardette mengatakan bahwa pluralisme memiliki cacat secara metodologis
karena, demi upaya menemukan apa yang umum bagi semua agama, para pluralis terpaksa
mengabaikan secara serius unsur-unsur penting masing-masing agama. Unsur-unsur yang
membuat agama-agama unik — seperti Trinitas bagi orang-orang Kristen dan kenabian
Muhammad bagi orang-orang Muslim — disepelekan secara rutin dan dianggap sebagai
tambahan-tambahan yang tidak dibutuhkan.55
Kritik Suster Gerardette ini tidak didukung oleh bukti-bukti akademik tetapi didorong
oleh sikap teologisnya yang subjektif, yang memandang pluralisme sebagai ancaman yang
berbahaya baginya sebagai seorang suster Gereja Katolik. Perhatikan pandangan Hick bahwa
pluralisme membiarkan agama-agama tetap berbeda dan mengakui keunikannya seperti
dikatakannya sebagai berikut,

On the contrary, religious pluralism sees them as different, often very different, totalities
consisting of distinctive ways of conceiving and experiencing the Real. And the practical
outcome is not that there should be a new global religion, the same for everyone, but that
the adherents of each of the existing world faiths should respond as fully as possible to
the Real, the Ultimate, in their own way by devoutly living out their own tradition. So in
this respect religious pluralism leaves the different traditions just as they are. They are

53
Gerardette Philips, “Moving beyond Pluralism: Approaches of Hans Küng and Seyyed Hossein Nasr to
Muslim-Christian Dialogue,” disertasi yang ditulis untuk memenuhi salah syarat untuk mempeoleh gelar Doktor dari
STF Driyarkara, Jakarta, 2012.
54
Gerardette Philips, Melampaui Pluralisme: Intergritas Terbuka sebagai Pendekatan yang Sesuai bagi
Dialog Muslim-Kristen, dengan Pengantar oleh Seyyed Hossein Nasr dan Prolog oleh Buddhy Munawar-Rachman
(Malang: Madani, 2016).
55
Philips, “Moving Beyond Pluralism,” h. 182; Philips, Melampaui Pluralisme, h. 231.
17
recognized, respected, affirmed as authentic contexts of salvation/liberation, each with its
own unique character and historical particularities.56

Sebaliknya, pluralisme religius melihat agama-agama [besar dunia] sebagai totalitas-


totalitas yang berbeda, [bahkan] seringkali sangat berbeda, yang terdiri dari cara-cara
khusus memahami dan mengalami Yang Real [KAN: al-Haqq dalam Sufisme]. Dan hasil
praktisnya tidaklah seharusnya ada sebuah agama baru global, yang sama bagi setiap
orang, tetapi para penganut masing-masing agama dunia yang ada seharusnya merespons
sesempurna mungkin Yang Real, Yang Terdasar/Terakhir, dengan caranya sendiri
dengan hidup saleh menjalani tradisinya sendiri. Maka dalam hal ini pluralisme religius
membiarkan tradisi-tradisi yang berbeda persis sebagaimana adanya. Agama-agama besar
dunia diakui, dihormati, dikokohkan sebagai konteks-konteks autentik keselamatan/
pembebasan, masing-masing dengan karakter unik dan partikularitas-partikularitas
historis sendiri.

Dalam kutipan di atas sangat jelas terlihat bahwa “religious pluralism leaves the different
[religious] traditions just as they are” (“pluralisme religius membiarkan tradisi-tradisi
[keagamaan] yang berbeda persis sebagaimana adanya”) dan mengakui masing-masing agama
besar dunia sebagai cara-cara autentik keselamatan “with its own unique character and historical
particularities” (“dengan karakter unik dan partikularitas-partikularitas historis sendiri”). Karena
itu tidaklah benar kritik Suster Gerardette bahwa dalam pluralisme unsur-unsur penting masing-
masing agama yang membuatnya unik disepelekan secara rutin dan dianggap sebagai tambahan-
tambahan yang tidak dibutuhkan. Sebaliknya, seperti dikatakan Hick, pluralisme religius justru
membiarkan masing-masing tradisi keagamaan berbeda sebagaimana adanya dan mengakui
karakter unik masing-masing.
Suster Gerardette juga keliru ketika memberikan dua contoh unsur yang membuat agama
unik — Trinitas bagi orang-orang Kristen dan kenabian Muhammad bagi orang-orang Muslim
— yang, menurut anggapannya, diabaikan secara serius oleh para pluralis. Sekarang mari kita
bicarakan contoh pertama, yaitu Trinitas bagi orang-orang Kristen. Apakah Trinitas diabaikan
oleh Hick sebagai seorang pluralis? Ternyata jika kita perhatikan pandangan Hick tentang
Trinitas, kita akan mengetahui bahwa Trinitas tidak diabaikan oleh Hick tetapi doktrin ini
diberinya interpretasi baru, yaitu interpretasi metaforis. Dengan demikian anggapan Suster
Gerardette bahwa Trininitas diabaikan secara serius tidak didukung oleh bukti akademik atau
ilmiah. Kekeliruan anggapan Suster Gerardette dapat dilihat dengan memahami interpretasi
metaforis Hick tentang Trinitas. Teolog dan filsuf Kristen kelahiran Scarborough, England, ini
menulis,

The idea of the Trinity no longer involves three mysteriously inter-related centres of
divine consciousness and will, but is a symbol for the three-fold character of our human
awareness of God — as the creative source of all life, as the transforming salvific power,
and as the divine spirit living within us.57

56
Joh Hick, A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths (Louisville, Kentucky: Westminster
John Knock Press, 1995), h. 41-42.
57
Hick, A Christian Theology of Religions, h. 136.
18
Ide Trinitas tidak lagi melibatkan tiga pusat kesadaran dan kehendak ilahi yang-saling-
terkait secara misterius, tetapi adalah sebuah simbol untuk karakter-rangkap-tiga
kesadaran manusia terhadap Tuhan — sebagai sumber kreatif keseluruhan kehidupan,
sebagai kekuatan keselamatan yang mentransformasi, dan sebagai roh ilahi yang hidup di
dalam diri kita.

Hick sebagai seorang teolog dan filsuf Kristen sama sekali tidak mengabaikan Trinitas,
tetapi memberikan sebuah interpretasi baru Trinitas sebagai salah satu doktrin unik Kristen yang
tetap ia pertahankan. Hick tidak menyetujui pemaknaan Trinitas sebagai “three mysteriously
inter-related centres of divine consciousness and will” (“tiga pusat kesadaran dan kehendak ilahi
yang-saling-terkait secara misterius”): Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Ia memberikan arti
metaforis Trinitas dan memandangnya sebagai “three-fold character of our human awareness of
God” (“karakter-rangkap-tiga kesadaran manusia terhadap Tuhan”): Bapa adalah simbol sumber
kreatif keseluruhan kehidupan; Anak adalah simbol kekuatan keselamatan yang
mentransformasi; dan Roh Kudus adalah simbol roh ilahi yang hidup di dalam diri kita. Menurut
saya, dengan memberikan interpretasi metaforis Trinitas, Hick telah menciptakan keunikan baru
dalam Kristen, tentu saja yang berbeda dengan konsep-konsep Trinitas dalam Katolik, Protestan
dan Ortodoks Timur, dan pasti juga tidak ditemukan dalam agama-agama non-Kristen.
Tentu saja interpretasi metaforis Trinitas yang dirumuskan oleh Hick ini tidak diterima
oleh Suster Gerardette sebagai seorang Katolik, yang terikat dengan doktrin Trinitas dalam
pandangan Gereja Katolik Roma. Sedangkan Hick adalah seorang teolog dan filsuf berpikir
bebas sampai batas tertentu karena ia tetap seorang Kristen yang selama bertahun-tahun menjadi
anggota United Reformed Church, dan pada 2009 ia diterima menjadi anggota Religious Society
of Friends (Quakers) sampai wafat pada 2012. Sebenarnya orang-orang Katolik tidak perlu
khawatir pada formulasi Trinitas Hick karena mereka menganut doktrin Trinitas mereka sendiri
yang tidak mungkin direvisi, diubah, atau ditukar oleh siapa atau kelompok manapun di luar
Gereja Katolik. Kewenangan untuk merumuskan ajaran-ajaran Katolik ada di tangan para uskup
Gereja Katolik Roma di bawah pimpinan Paus melalui konsili oikumenis. Demikian pula
masing-masing aliran, mazhab, sekte, atau kelompok dalam agama-agama lain mempunyai
kewenangan untuk menentukan ajaran-ajaran mereka sendiri. Tawaran Hick sebagai seorang
teolog dan filsuf berpikir bebas di kalangan umat Kristen agar mereka bersedia menyetujui
interpretasi metaforis Trinitas yang dirumuskannya adalah wajar karena, sebagaimana para
teolog dan filsuf lain, ingin menyebarkan pemikiran yang dianggapnya mengandung pesan-pesan
religius/teologis dan moral yang ideal.
Sekarang kita beralih kepada pembicaraan tentang kenabian Muhammad bagi orang-
orang Muslim sebagai contoh kedua unsur penting yang membuat agama (maksudnya: Islam)
unik, yang menurut anggapan Suster Gerardette, diabaikan secara serius oleh para pluralis.
Kembali kita melihat bahwa anggapan Suster Gerardette keliru karena tidak didukung oleh bukti
akademik, bahkan bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Hick bahwa pluralisme religius
membiarkan tradisi-tradisi [keagamaan] yang berbeda persis sebagaimana adanya dan mengakui
masing-masing agama besar dunia sebagai cara-cara autentik keselamatan dengan karakter unik
dan partikularitas-partikularitas historis sendiri.
Kekeliruan tuduhan Suster Gerardette bawa kenabian Muhammad bagi orang-orang
Muslim diabaikan para pluralis semakin terlihat jelas ketika membaca bagian-bagian tertentu
dari tulisan-tulisan Hick sebagai seorang pluralis yang berkenaan dengan kenabian Muhammad

19
bagi orang-orang Muslim. Teolog dan filsuf Kristen ini mengatakan, misalnya, “The equivalent
title ‘Allah’, as used by Muslim, refers to the Qur’anic Revealer, whose message, delivered
through the prophet Muhammad, completes and fulfils the earlier revelations contained in the
Torah and the New Testament”58 (“Padanan nama ‘Allah,’ seperti yang digunakan oleh orang-
orang Muslim, mendeskripsikan Pemberi Wahyu Qur’ani yang pesan-Nya, yang disampaikan
melalui Nabi Muhammad, menyempurnakan dan menyelesaikan wahyu-wahyu terdahulu yang
terkandung dalam Taurat dan Perjanjian Baru”). Jika Hick mengabaikan kanabian Muhammad
bagi orang-orang Muslim, seperti disangka oleh Suster Gerardette, mengapa teolog dan filsuf
pluralis ini menyebut ungkapan “the prophet Muhammad” (“Nabi Muhammad”) sebagai
Penerima Wahyu Qur’ani dari Allah, Pemberi Wahyu Qur’ani? Penggunaan ungkapan “Nabi
Muhammad” ini oleh Hick jelas membuktikan bahwa ia mengakui kenabian Muhammad bagi
orang-orang Muslim. Dengan demikian kritik Suster Gerardette terhadap pluralisme dalam
konteks ini terbukti keliru. Kritiknya jelas terpatahkan.
Suster Geradette mengatakan bahwa bahaya lain dari pluralisme adalah bahwa pluralisme
bermasalah secara moral. Masalah ini muncul karena, menurutnya, Yang Real (Tuhan) dalam
pandangan pluralisme tidak menyatakan/mengungkapkan Diri-Nya kepada umat manusia dalam
sejarah, maka praktik-praktik keagamaan orang-orang Hindu, orang-orang Yahudi, orang-orang
Kristen, dan orang-orang Muslim yang beriman didasarkan kesalahpahaman. Karena Yang Real,
yang tak terlukiskan, menyembunyikan Diri-Nya dan pada dasarnya tetap misterius bagi kita,
kita secara moral berada dalam kegelapan dan tidak bisa hidup dengan cara yang menyenangkan
Yang Real. Agnostisisme mendalam menjalari pluralisme religius yang membuat orang sulit
membedakan antara yang benar dan yang salah, yang pada gilirannya menggoda orang untuk
menuduh pluralis mempromosikan relativisme radikal. Pada akhirnya pluralisme, menurut Suster
Gerardette, yang memandang bahwa agama-agama dunia adalah sama/setara, mendorong orang
bisa dengan mudah menyangkal klaim kebenarannya sendiri. 59
Para pembaca perlu mengetahui bahwa kritik Suster Gerardette ini ditujukan kepada
pluralisme yang dirumuskan oleh Hick. Saya kira kritik ini muncul karena ketidakpahaman atau
kesalahpahaman Suster Gerardette tentang apa yang dimasud dengan pluralisme yang
dirumuskan oleh Hick. Betul bahwa Hick banyak membicarakan konsep tentang Yang Real (the
Real), istilah yang lebih disukainya daripada istilah-istilah Yang Terdasar/Terakhir (the
Ultimate), Realitas Terdasar/Terakhir (the Ultimate Reality), Yang Esa (the One), dan istilah-
istilah lain yang semakna dengannya. Mengapa Hick sering membicarakan konsep tentang Yang
Real dalam agama-agama besar dunia? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan kita ketahui jika
kita memahami bahwa teolog dan filsuf ini ingin menunjukkan bahwa pluralisme berpusat pada
Tuhan, yang disebutnya Yang Real, bukan pada tradisi keagamaan apapun. Bisa juga dikatakan
bahwa keselamatan berpusat kepada Tuhan melalui agama-agama sebagai jalan-jalan yang
berbeda. Pluralisme dalam arti ini memandang agama-agama dunia sebagai respons-respons
manusia yang berbeda-beda terhadap Tuhan. Agama-agama itu adalah jalan-jalan yang bebeda
untuk mencapai keselamatan yang berpusat pada Tuhan. Ini adalah pandangan yang saya sebut
“pandangan teosentrik.”
Hick membedakan antara Yang Real an sich (in his/her/itself) dan Yang Real sebagai
yang dialami dan dipikirkan secara beragam oleh komunitas-komunitas manusia yang berbeda

58
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (Basingstoke &
London: Macmillan Press, 1989), h. 270; lihat pula h. 230, 166.
59
Philips, “Moving Beyond Pluralism,” h. 183-84; Philips, Melampaui Pluralisme, h. 233-34.
20
sebagaimana terlihat dalam tradisi-tradisi keagamaan besar.60 Yang Real an sich adalah
transenden, melampaui sistem-sistem konseptual manusia. Yang Real an sich tidak bisa
dilukiskan (ineffable) atau terlalu besar dan jauh untuk dilukiskan dengan kata-kata. Suster
Grardette Philips mengatakan bahwa Hick memberikan penekanan besar pada ketakterlukisan
(ineffability) Yang Real, “sehingga Yang Real benar-benar di luar jangkauan jangkauan kategori-
kategori linguistik koseptual manusia.”61 Apa yang dikatakan oleh Suster ini adalah benar sejauh
Yang Real dilihat dari sisi transendensi-Nya. Jika Yang Real, lebih tepatnya Yang Real an sich,
adalah transenden, maka Yang Real tidak bisa dilukiskan dengan bahasa manusia manapun.
Yang Real, yang sering kita sebut Tuhan, bukan personal dan bukan impersonal, bukan personae
dan bukan inpersonae, bukan “He/She” dan bukan “It.”
Penekanan Hick pada ketakterlukisan (inseffability) Yang Real an sich inilah
kelihatannya yang mendorong Suster Gerardette untuk menyimpulkan bahwa Yang Real “tidak
menyatakan/ mengungkapkan Diri-Nya kepada umat manusia dalam sejarah,” tidak hadir kepada
umat manusia dalam sejarah. Tetapi Suster Gerardette lupa bahwa Yang Real, menurut Hick,
bukan hanya sebagai Yang Real an sich (in his/her/itself) tetapi juga Yang Real sebagai yang
dialami dan dipikirkan secara beragam oleh komunitas-komunitas manusia yang berbeda
sebagaimana terlihat dalam tradisi-tradisi keagamaan besar. Yang Real hadir kepada umat
manusia dalam sejarah. Yang Real adalah imanen dalam alam semesta. Suster Gerardette lupa
bahwa Yang Real, menurut Hick, bukan hanya transenden tetapi juga imanen.
Suster Gerardette melanjutkan kesimpulan keliru tadi dengan kesimpulan-kesimpulan
yang tentu keliru pula, yaitu “maka praktik-praktik keagamaan orang-orang Hindu, orang-orang
Yahudi, orang-orang Kristen, dan orang-orang Muslim yang beriman didasarkan
kesalahpahaman.” Suster Gerardette masih meneruskan kesimpulan keliru ini dengan
kesimpulan-kesimpulan keliru lain, yaitu pluralisme membuat “kita secara moral berada dalam
kegelapan,” penekanan pluralisme religius pada ketakterlukisan Yang Real membuatnya dijalari
oleh “agnostisisme mendalam yang membuat orang sulit membedakan antara yang benar dan
yang salah,” dan “mendorong orang bisa dengan mudah menyangkal klaim kebenarannya
sendiri.” Andaikan Suster Gerardette benar-benar memahami bahwa Hick menekankan bukan
hanya transendensi Yang Real tetapi juga imanensi-Nya, tentu ia tidak akan mengambil
kesimpulan-kesimpulan keliru ini. Imanensi Yang Real bisa dibuktikan dalam pandangan Hick
tentang Yang Real sebagai yang dialami dan dipikirkan secara beragam oleh komunitas-
komunitas manusia yang berbeda sebagaimana terlihat dalam tradisi-tradisi keagamaan besar.
Menurut Hick, Yang Real hadir kepada semua bentuk eksistensi sebagai dasar kehidupan yang
selalu berubah. Ketika Yang Real hadir kepada kesadaran manusia, Yang Real dipercayai
sebagai “yang personal” dalam agama-agama teistik dan dipepercyai sebagai “yang non-
personal” atau “yang impersonal” dalam agama-agama non-teistik. Fakta bahwa Yang Real
dipercayai sebagai yang personal ditemukan dalam agama-agama teistik seperti Yudaisme,
Kristen, dan Islam. Fakta bahwa Yang Real dipercayai sebagai yang non-personal ditemukan
dalam agama-agama non-teistik seperti Hinduisme, Buddhisme, Taoisme.62
Kekeliruan kesimpulan Suster Gerardette bahwa, menurut pandangan pluralisme yang
dirumuskan oleh Hick, Yang Real (Tuhan) tidak hadir kepada umat manusia dalam sejarah,

60
Hick, An Interpretation of Religion, h. 236; Hick, “Religious Pluralism,” h.159.
61
Philips, “Moving Beyond Pluralism,” h. 183, catatan kaki no. 118; Philips, Melampaui Pluralisme, h.
233, catatan kaki no. 6.
62
Hick, An Interpretation of Religion, h. 233-96.
21
dapat pula dilihat dengan jelas dalam penjelasan Hick bahwa Tuhan Yang Esa, yang oleh
komunitas-komunitas yang berbeda disebut dengan nama-nama yang berbeda, hadir kepada
umat-umat yang berbeda dalam sejarah-sejarah yang berbeda. Teolog dan filsuf pluralis ini
mengatakan bahwa “Adonai,” “Bapa surgawi,” “Allah,” “Shiva,” “Vishnu,” dan lain-lain adalah
nama-nama yang berbeda untuk Tuhan personal yang sama. Nama-nama yang berbeda ini
mengekspresikan pemahaman-pemahaman yang berbeda tentang satu Tuhan. Nama-nama ini
merupakan bagian integral dengan tradisi-tradisi yang berbeda dan tertanam dalam sejarah-
sejarah yang berbeda. Nama “Adonai” seperti digunakan oleh orang-orang Yahudi berarti secara
khusus Tuhan yang hubungan perjanjian-Nya dengan bangsa Israel terdokumentasikan dalam
Taurat. Nama “Tuhan” seperti digunakan oleh orang-orang Kristen berarti Bapa surgawi Yesus
Kristus, yang inkarnasinya adalah penyataan/pengungkaan-diri ilahi yang sempura dan final
secara unik. Nama padanan “Allah” seperti digunakan oleh orang-orang Muslim berarti Pemberi
Wahyu Qur’ani yang pesan-Nya, yang disampaikan melalui Nabi Muhammad, menyempurnakan
dan menyelesaikan wahyu-wahyu terdahulu yang terkandung dalam Taurat dan Perjanjian Baru.
Dan seterusnya.63
Anggapan Suster Gerardette bahwa pluralisme yang dirumuskan oleh Hick, seperti
disebutkan di atas, jatuh ke dalam “agnostisisme mendalam yang membuat orang sulit
membedakan antara yang benar dan yang salah,” dan “mendorong orang bisa dengan mudah
menyangkal klaim kebenarannya sendiri” adalah anggapan sewenang-wenang tanpa didukung
oleh bukti-bukti akademik atau ilmiah. Sebaliknya, Hick justru menawarkan pluralisme religius
bukan hanya untuk membedakan antara yang benar dan yang buruk tetapi juga — dan terutama
— untuk melawan kejahatan yang ditimbulkan oleh konflik-konflik yang dipersengit oleh
agama. Dalam sebuah kuliah yang disampaikannya di Tehran pada 2005 ia mengatakan,

We live as part of a world wide human community that is at war with itself. In many
places men, women and even children are killing and being killed in conflicts that are
both validated and emotionally intensified by religion. And this is possible because each
faith has traditionally made its own absolute claim to be the one and only true faith.
Absolutes can justify anything. Today, to insist on the unique superiority of your own
faith is to be part of the problem.64

Kita hidup sebagai bagian dari sebuah komunitas seluruh dunia yang dalam keadaan
perang dengan dirinya sendiri. Di banyak tempat, para perempuan, para laki-laki, dan
bahkan anak-anak membunuh dan dibunuh dalam konflik-konflik yang disahkan dan
secara emosional diperdahsyat oleh agama. Dan ini adalah mungkin karena masing
masing-masing agama secara tradisional telah membuat klaim absolutnya menjadi satu-
satunya agama yang benar. Apa-apa yang absolut bisa membenarkan apapun. Hari ini,
sikap tetap bersikukuh mempertahankan superioritas unik agama Anda akan menjadi
bagian problem.

Anggapan Suster Gerardette bahwa pluralisme memandang bahwa agama-agama besar


dunia adalah sama (equal) dan dapat memunculkan relativisme, yang mendorong orang bisa

63
Hick, An Interpretation of Religion, h. 270.
64
Hick, “Religious Pluralism and Islam,” makalah untuk kuliah yang disampaikan di the Institute for
Islamic Culture and Thought di Tehran, pada Februari 2005, h. 8.
22
dengan mudah menyangkal klaim kebenarannya sendiri, perlu dipertanyakan. Jika yang
dimaksud dengan kata “sama” di sini adalah setara, maka anggapan ini benar. Tetapi jika yang
dimaksud dengan kata “sama” adalah mengabaikan perbedaan-perbedaan antara agama-agama,
maka anggapan ini adalah keliru. Agama-agama besar dunia, menurut Hick, adalah respons-
respons manusia yang berbeda-beda terhadap realitas transenden terdasar yang sama (the same
ultimate transcendent reality).
Hick menegaskan bahwa

Religious pluralism is emphatically not a form of relativism. That would be a


fundamental misunderstanding of the critical realist principle, which requires criteria for
distinguishing between perception and delusion. In contrast to this, for relativism
anything goes. The religions themselves include essentially the same criteria, which are
ethical, distinguishing between, for example, Islam and Christianity, on the one hand,
and such movements as, for example, the Aum Shinrikyo sect which put sarin gas in the
Tokyo underground system in 1995, or the Order of the Solar Temple in Canada in 1997,
and many others, as well of course as the dark places and evil moments within the history
of the world religions themselves.65

Pluralisme jelas bukanlah sebuah bentuk relativisme. Relativisme merupakan sebuah


kesalahanpahaman fundamental tentang prinsip realis kritis, yang membutuhkan kriteria-
kriteria untuk membedakan antara persepsi dan delusi. Berbeda dengan prinsip yang
didukung kuat oleh pluralisme ini, bagi relativisme apa saja boleh. Agama-agama itu
sendiri secara esensial mencakup kriteria-kriteria etis yang sama, yang membedakan
antara, misalnya, Islam dan Kristen, pada satu sisi, dan gerakan-gerakan, misalnya, sekte
Aum Shinrikyo yang meletakkan gas sarin dalam sistem kereta bawah tanah di Tokyo
pada 1995, atau Ordo Kuil Solar di Kanada pada 1997, dan tentu juga bagian-bagian
gelap dan momen-momen buruk di dalam sejarah agama-agama itu sendiri, [pada sisi
lain].

Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa, menurut Hick, pluralisme bukanlah sebuah
bentuk relativisme. Teolog and filsuf yang lahir di Scarborough, Inggris, ini menegaskan bahwa
relativisme tidak mempunyai prinsip realis kritis (the critical realist principle), yang menuntut
kriteria-kriteria yang sama (the same criteria) secara esensial, yang membedakan antara persepsi
dan delusi, antara yang benar dan yang salah, antara yang bermoral dan yang tidak bermoral.
Maka bagi relativisme, apa saja boleh dilakukan. Inilah kelihatanya disebut “relativisme radikal”
oleh Suster Gerardette. Sebaliknya, pluralisme tetap mempertahankan bahwa agama-agama,
khususnya agama-agama besar dunia, bersandar pada prinsip realis kritis, yang mewajibkan
ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang sama pada intinya, yang membedakan antara persepsi
dan delusi, antara yang benar dan yang salah, antara yang bermoral dan yang tidak bermoral.
Dengan demikian, pluralisme membedakan antara agama-agama, pada satu sisi, dan gerakan-
gerakan “aneh” seperti Aum Shinrikyo dan Ordo Kuil Solar, dan bagian-bagian gelap dan
momen-momen buruk di dalam sejarah agama-agama itu sendiri, pada sisi lain.
Meskipun Hick berpendapat bahwa agama-agama secara esensial mencakup kriteria-
kriteria etis yang sama, kita tidak boleh buru-buru menyimpulkan bahwa semua agama adalah
65
Hick, “Religious Pluralism and Islam,” h. 8.
23
sama dalam arti identik atau tidak berbeda dalam doktrin-doktrin, ritual-ritual, dan institusi-
istitusinya. Doktrin Trimurti dalam Hinduisme, misalnya, berbeda dengan doktrin Trinitas dalam
Kristen, yang masing-masing juga berbeda dengan doktrin Tauhid dalam Islam. Bahkan Trinitas
dalam Kristen yang dianut oleh umat Katolik berbeda dengan Trinitas dalam Kristen yang
dirumuskan oleh Hick. Kebaktian di gereja berbeda dengan salat di masjid. Gereja dalam Kristen
bebeda dengan mesjid dalam Islam. Dan seterusnya.
Sejalan dengan Hick, Paul K. Knitter, seorang teolog Katolik Roma yang lahir di
Chicago, Amerika Serikat, mengatakan bahwa pluralisme bukanlah berarti relativisme. Teolog
Katolik Roma ini mengatakan bahwa para pluralis tidak pernah menyatakan bahwa “all religions
are essentially the same” (“semua agama secara esensial adalah sama”) atau “all religious beliefs
or practices are equally valid” (“semua kepercayaan keagamaan atau praktik adalah sama-sama
sah/valid”). Meskipun para pluralis menegaskan validitas — atau secara lebih praktis, hak-hak
yang sama — banyak agama, para pluralis juga menegaskan kemungkinan, sebenarnya
kemestian, membedakan antara ketentuan-ketentuan dan praktik-praktik keagamaan “yang baik
dan yang buruk,” atau “yang bermanfaat dan yang berbahaya.”66
Di sini kita kembali melihat bahwa kekelirauan anggapan Suster Gerardette bahwa
pluralisme memunculkan relativisme atau bahwa pluralisme berarti sebuah bentuk relativisme.
Anggapan Suster ini bukan hanya tidak terbukti tetapi juga bertentangan dengan fakta bahwa
para pluralis dengan tegas menyatakan bahwa pluralisme, seperti dikatatan oleh Hick dan Paul
K. Knitter, jelas bukanlah relativisme atau sebuah bentuk relativisme.
Mari kita lanjutkan pembicaraan kita pada pandangan Suster Gerardette bahwa bahaya
lain pluralisme adalah bahwa “pluralism is logically impossible”67 (“pluralisme secara logis
mustahil”). Menurut pendapatnya, seperti ditunjukkan oleh banyak sarjana, “the idea that all
religions are true in their own way flies in the face of common sense”68 (“ide bahwa semua
agama adalah benar dengan cara mereka sendiri bertentangan dengan pikiran sehat”). Di sini
saya akan memberikan tiga catatan. Pertama, sejauh pengetahuan saya, Hick dan para pluralis
religius lain tidak pernah mengatakan bahwa semua agama adalah benar dengan cara mereka
sendiri. Tetapi jika dikatakan bahwa setiap agama dipercayai benar oleh masing-masing
penganutnya, maka pernyataan ini adalah logis dan tidak ada orang ynag membantahnya. Tentu
saja “aneh” — dan tidak logis — jika ada manusia yang menganut sebuah agama yang tidak
dipercayainya benar. Yang pernah dikatakan oleh Joh Hick, seperti dikutip di atas, adalah bahwa
pluralisme religius adalah “ide bahwa agama-agama dunia adalah respons-respons manusia yang
berbeda-beda terhadap realitas transenden terdasar yang sama (the same ultimate transcendent
reality). Realitas ini di luar lingkup sistem-sistem konseptual kemanusian kita.”69 Pluralisme
memandang agama-agama dunia sebagai respons-respons manusia yang berbeda-beda terhadap
Tuhan. Keselamatan berpusat pada Tuhan melalui banyak agama, bukan berpusat pada satu
agama, dan bukan pula melalui satu agama. Jadi pluralisme adalah kepercayaan bahwa jalan
untuk mencapai keselamatan dimiliki bukan hanya oleh satu agama, tetapi dimiliki oleh banyak
agama, yang berpusat pada Tuhan. Singkatnya, jalan untuk mencapai keselamatan bukan satu
tetapi banyak. Dapat pula dikatakan bahwa agama yang benar sebagai jalan untuk mencapai
keselamatan bukan hanya satu, tetapi banyak agama, khususnya agama agama-agama besar

66
Paul K. Knitter, “Introduction,” dalam Knitter, ed., The Myth of Religious Superiority, h. xi.
67
Philips, “Moving Beyond Pluralism,” h. 84; Philips, Melampaui Pluralisme, h. 235.
68
Philips, “Moving Beyond Pluralism,” h. 84; Philips, Melampaui Pluralisme, h. 235.
69
Hick, The Fifth Dimension, h. 77.
24
dunia. Pada kesempatan lain, Hick mengatakan bahwa pluralisme dalam artinya yang paling luas
adalah “the belief that no one religion has a monopoly of the truth or of the life that leads to
salvation”70 (“kepercayaan bahwa tidak satu agama pun memiliki monoplogi kebenaran atau
[monopoli] kehidupan yang membawa kepada keselamatan”).
Kedua, ketika kita menyebut istilah “agama,” yang biasanya berarti agama terlembaga
(institutionalized religion), maka kita harus memahami bahwa tidak ada agama — paling tidak di
antara agama-agama besar dunia — yang diberi penafsiran tunggal yang disetujui oleh semua
penganutnya. Dalam Kristen selama berabad-abad dalam sejarahnya, misalnya, muncul banyak
penafsiran, yang menimbulkan banyak cabang seperti Katolik Roma, Protestan, dan Ortodoks
Timur. Pada masa modern, dalam Protestan muncul banyak kelompok yang disebut denominasi,
yang terbesar di antaranya adalah Lutheranisme, Calvinisme, Anabaptisme, Anglikanisme,
Baptis, Methodisme, Moravianisme, dan Pentekostalisme. Dalam sejarah Islam lahir beberapa
aliran seperti Khwarij, Murji’ah, Mu‘tazilah, Ahli Sunnah, dan Syiah. Sebagai respons terhadap
modernitas, baik dalam Kristen maupun dalam Islam, muncul aliran-aliran atau gerakan-gerakan
fundamentalis, konservatis, liberal, moderat. Sebagai jawaban terhadap persoalan kebenaran
untuk mencapai keselamatan, dalam Kristen dan Islam muncul aliran-aliran, yang meliputi
eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Agama-agama besar dunia mempunyai banyak
versi, interpretasi, atau penafsiran, yang melahirkan banyak aliran, mazhab, kelompok, golongan,
atau apapun namanya. Yang pasti adalah bahwa tidak ada versi, interpretasi atau penafsiran
tunggal yang disepakati oleh semua penganut sebuah agama besar. Pluralisme adalah salah satu
pandangan teologis dalam agama-agama besar. Tidak benar jika dikatakan bahwa pluralisme
adalah mustahil muncul dalam dalam sejarah agama-agama.
Ketiga, sejalan dengan catatan kedua di atas, anggapan Suster Gerardette bahwa
pluralisme secara logis adalah mustahil adalah anggapan yang keliru karena bertentangan dengan
fakta bahwa tidak sedikit orang beragama beriman yang menganut pluralisme religius seperti Sri
Ramakrishna Paramahamsa, Swami Vivekananda, Mahatma Gandhi, Arvind Sharma, Dharam
Singh, Michael S. Kogan, Dan Cohn-Sherbok, John Hick, Alan Rice, Paul Knitter, Perry
Schmidt-Leukel, Peter C. Hodgson, Roger Haight, Wilfred Cantwell Smith, Diana L. Eck, Ibn
‘Arabi, Jalal a-Din Rumi, Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Farid Esack, dan Ashgar Ali
Engineer, yang semua mereka mengakui bahwa jalan untuk mencapai keselamatan bukan hanya
melalui satu agama tetapi melalui banyak agama. Dengan kata lain, menurut mereka, agama
yang benar untuk meraih keselamatan bukan hanya satu tetapi banyak. Mereka mempunyai para
murid dan para pengikut.
Bagaimana menciptakan kedamaian di antara (para penganut) agama-agama yang
masing-masing mempropagandakan klaim-klaim absolut — bahwa “agamaku adalah satu-
satunya agama yang benar sebagai jalan untuk mencapai keselamatan — yang saling menafikan?
Menjawab pertanyaan ini, Hick mengutip kata-kata teolog Katolik Hans Küng, “Tidak akan ada
kedamaian di antara umat manusia di dunia ini tanpa kedamaian di antara agama-agama dunia.”
Karena memandang nasehat Küng ini tidak memadai untuk menciptakan dan memelihara
kedamaian real, maka Hick menambahkan syarat lain dengan mengatakan,

And I would add that there will be no real peace among the world religions so long as
each thinks of itself as uniquely superior to all the others. Dialogue between the faiths
must continue on an ever increasing scale. But the only stable and enduring basis for
70
Hick, “Religious Pluralism and Islam,” h. 6.
25
peace will come about when dialogue leads to a mutual acceptance of the world religions
as different but equally valid relationships to the ultimate reality.71

Dan saya akan menambahkan bahwa tidak akan ada kedamaian real di antara agama-
agama dunia selama masing-masing agama menganggap dirinya sebagai satu-satunya
yang superior terhadap semua agama lain. Dialog antara agama-agama harus berlanjut
terus pada skala yang selalu meningkat. Tetapi satu-satunya basis yang kukuh dan
mampu bertahan lama untuk kedamaian akan terwujud ketika dialog melahirkan sikap
saling menerima antara agama-agama dunia sebagai hubungan-hubungan yang berbeda
tetapi sama-sama sah terhadap realitas terdasar/terakhir [Tuhan].

Bayangkan bahwa agama Anda adalah satu-satunya agama yang benar sebagai jalan
untuk mencapai keselamatan! Konsekuensi logisnya adalah bahwa agama-agama lain tidak
benar, yang tentu saja bukan jalan untuk mencapai keselamatan. Singkatnya, tidak ada
keselamatan di luar agama Anda. Para penganut agama Anda adalah orang-orang beriman,
sedangkan para penganut agama-agama lain adalah, meminjam istilah Islam, orang-orang kafir.
Jika para penganut masing-masing agama memandang diri mereka sebagai orang-orang beriman
dan memandang para penganut agama-agama lain sebagai orang-orang kafir, maka tidak
mungkin dialog antariman (interfaith dialogue) diadakan karena para penganut agama-agama
lain dianggap orang-orang kafir. Dialog antariman dimungkinkan jika para penganut masing-
masing agama mengakui kebenaran agama-agama lain.
Ada kejanggalan disertasi Suster Gerardette: philosophia perennis Nasr digunakan oleh
Suster ini untuk mengkritik pluralisme.72 Apakah Suster ini lupa atau tidak memahami bahwa
Nasr — sebagaimana para perenialis lain, misalnya, Frithjof Schuon, Rene Guenon, Titus
Burckhardt, Leo Schaya, Ananda K. Coomaraswamy, Huston Smith, Whitall N. Perry, William
Stoddar, Harry Oldmeadow, dan Marco Pallis — mengkampanyekan kesatuan transenden
agama-agama (transcendent unity of religions), yang mengukuhkan validitas pluralisme religius.
Filsuf Sufi dari Iran ini mengatakan,

Being itself the message of the essence in the form or of the Center at the periphery,
Sufism can guide man from the phenomena to the noumena, from the form (ṣūrah) to the
meaning (ma‘nā) to use the Sufi technical terminology itself. This fact coupled with the
universal character of Islam, as reflected in the insistence of the Qur’an upon man’s
accepting the authenticity of previous religions, has made of the Sufis throughout history
the great proponents of the ‘transcendent unity of religions’, whose principles they have
explicitly formulated.73

71
Hick, “Religious Pluralism and Islam,” h. 8.
72
Suster Grardette Philips memanfaatkan pemikiran Seyyed Hossein Nasr untuk menyerang pluralisme
religius seperti terlihat dalam disertasinya “Moving Beyond Pluralism,” khususnya pada Bab IV sampai Bab VII, h.
99-219; dan Philips, Melampaui Pluralisme, khususnya juga pada Bab V sampai Bab VIII, h. 145-305. Ada
perbedaan penyusunan Bab-Bab dalam disertasi dan karya terjemahan Indonesia karena dalam karya terjemahan
Indonesia ada satu Bab tambahan tentang biografi Küng dan Nasr yang menjadi Bab II. Maka Bab IV dalam
disertasi menjadi Bab V dan terjemahan Indonesianya, dan Bab VII dalam disertasi menjadi Bab VIII dalam
terjemahan Indonesia.
73
Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism (London: Mandala Books, Unwin Paperbacks, 1980), h. 26.
26
Sebagai pesan esensi dalam bentuk atau pesan Pusat pada garis lingkaran, Sufisme bisa
menuntun manusia dari rupa (shūrah) kepada makna (ma‘nā) dengan munggunakan
terminologi Sufi itu sendiri. Fakta ini bergandengan dengan karakter universal Islam
sebagaimana tercermin dalam penegasan al-Qur’an bahwa manusia menerima autentisitas
agama-agama terdahulu. Fakta ini telah membuat para Sufi sepanjang sejarah menjadi
para pendukung besar ‘kesatuan transenden agama-agama’, yang prinsip-prinsipnya telah
mereka rumuskan secara eksplisit.

Sebagai pengikut Frithjof Schuon, Nasr mengatakan bahwa “philosopnia perennis


melihat sebuah kesatuan yang mendasari keragaman bentuk-bentuk dan praktik-praktik
keagamaan, sebuah kesatuan yang terletak dalam kebenaran paling esensial pada jantung agama-
agama yang tidak lain dari philosophia perennis itu sendiri. Tetapi kesatuan ini bukan dalam
bentuk-bentuk lahiriah.”74 Mazhab tradisionalis menolak penyamaan semua agama dan
pengabaian perbedaan ajaran-ajaran dasarnya. Kaum tradisionalis mengakui kemampuan
spiritual partikular setiap agama dan keunikannya dan menegaskan bahwa ciri-ciri ini adalah
bukti asal-usul transenden setiap agama dan realitas arketipenya dalam Intelek Ilahi. Kesatuan
yang dimaksud oleh kaum tradisionalis adalah kesatuan transenden yang melampaui bentuk-
bentuk dan manifestasi-manifestasi lahiriah. Kesatuan transenden agama-agama bisa dicari
hanya pada tingkat Esensi Teragung (“the Supreme Essence”) atau Substansi Teragung (“the
Supreme Substance”). “Bila para Sufi mengatakan ‘doktrin Tauhid adalah unik’ (al-tawhīd
wāhid), orang bisa pula mengatakan bahwa kesatuan transenden yang mendasari keragaman
agama itu tidak bisa lain dari Yang Unik atau Yang Esa itu sendiri. Di bawah ‘tingkat’ itu, setiap
agama mempunyai kualitas-kualitas dan karakteristik-karakteristik berbeda yang tidak bisa
diabaikan atau dihilangkan.”75
Tanpa ragu-ragu Nasr menyatakan dengan tegas bahwa,

The Qur’an does not limit the term mu’min only to those who follow the Islamic religion;
it includes the faithful of Islam along with followers of other religions, as is evidenced by
the Qur’anic assertion, “Verily, those who have faith (in what is revealed to the Prophet)
and those who are Jews and Christians and Sabaeans — whoseover has fear in God and
the Last Day and does right — surely their reward is with their Lord, and no fear shall
overcome them and neither shall they grieve” (2:62). In this verse as well as verse 69 of
Surah 5 (“The Table Spread” [al-Māidah]), which nearly repeats the same message,
recognition of other religions is extended even beyond Judaism, Christianity, and
Sabaenism to universal. Likewise, the boundary between the Muslim faithful and the
faithful of other religions is lifted.76

Al-Qur’an tidak membatasi istilh “mu’min” [“orang yang beriman”] hanya pada orang-
orang yang mengikuti agama Islam; istilah “mu’min” mencakup orang-orang mukmin

74
Seyyed Hossein Nasr, “The Philosophia Perennis and the Study of Religion,” dalam Frank Whaling, ed.,
The World’s Religious Traditions: Current Perspectives in Religious Studies: Essays in Honour of Wilfred Cantwell
Smith (New York: Crossroad, 1984), h. 189.
75
Nasr, “The Philosophia Perennis,” h. 190.
76
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values of Humanity (New York, NY:
HarperSanfrancisco, HarperCollins, 2002), p. 43.
27
dari Islam bersama-sama dengan para pengikut agama-agama lain, seperti ditunjukkan
oleh pernyataan tegas al-Qur’an, “Sungguh, orang-orang yang beriman (kepada apa yang
diwahyukan kepada Nabi [Muhammad]), orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan
orang-orang Sabi’in — siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat
kebaikan — pasti bagi mereka pahala dari Tuhan mereka, tidak perlu mereka takut, dan
tidak pula mereka akan bersedih hati” (2:62). Dalam ayat ini dan juga ayat 69 Surat 5
(“Meja Makan” [al-Māidah]), yang hampir mengulangi pesan yang sama, pengakuan
terhadap agama-agama lain diperluas bahkan di luar Kristen, Yudaisme, dan Sabi’isme
sampai semesta. Demikian juga batas antara orang-orang mukmin Muslim dan orang-
orang mukmin dari agama-agama lain terhapus.

Al-Qur’an seperti tergambar dalam dua ayat ini (Q 2: 62; 5:69), menurut Nasr,
menegaskan bahwa orang-orang mukmin ditemukan bukan hanya di kalangan para penganut
Islam tetapi juga ditemukan di kalangan para penganut agama-agama lain. Jika mereka “beriman
kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat kebaikan, pasti bagi mereka pahala dari Tuhan mereka,
tidak perlu mereka takut, dan tidak pula mereka akan bersedih hati.” Pernyataan ini mengandung
arti bahwa mereka yang memenuhi tiga syarat — yaitu beriman kepada Allah, beriman kepada
Hari Akhir, dan melakukan kebajikan — akan menerima balasan baik dan hidup dalam
kedamaian, ketenteraman dan ketenangan di Hari Akhir. Ini juga berarti bahwa mereka akan
memperoleh keselamatan. Orang-orang mukmin dari agama apapun akan mencapai keselamatan
jika mereka memenuhi tiga syarat yang telah disebutkan tadi.
Pernyataan tentang Masalah (Statement of Problem) yang diajukan oleh Suster Gerardette
dalam disertasinya berbentuk dua pertanyaan: “Why should we move beyond pluralism in our
approach to dialogue? Why Küng and Nasr’s writings on the issue of Muslim-Christian
Dialogue help us to move beyond pluralism?”77 (“Mengapa kita seharusnya bergerak melampaui
pluralisme dengan pendekatan kita kepada dialog? Mengapa tulisan-tulisan Küng dan Nasr
tentang isu Dialog Muslim-Kristen membantu kita bergerak melampaui pluralisme?”). Kemudian
Suster Gerardette menulis tesis disertasinya yang berbunyi: “This dissertation will show the
limitation of the three classical approaches to dialogue and especially why we should move
beyond pluralism. Based on Küng and Nasr’s writings on the issue of Muslim-Christian
Dialogue, I would argue that their approaches help us to move beyond pluralism”78 (“Disertasi
ini ingin menunjukkan keterbatasan tiga pendekatan klasik kepada dialog dan khususnya
mengapa kita seaharusnya bergerak melampaui pluralisme. Didasarkan pada tulisan-tulisan Küng
dan Nasr tentang isu dialog Muslim-Kristen, saya akan membuktikan bahwa pendekatan mereka
membantu kita bergerak melampaui pluralisme”).
Berkenaan dengan pernyataan tentang masalah dan tesis disertasi ini, saya akan
memberikan tiga catatan. Pertama, masalah yang ingin disampaikan di sini adalah masalah
dialog. Menurut Gerardette, dialog memerlukan sebuah pendekatan yang tepat untuk digunakan
dalam melakukannya. Kelihatannya yang dimaksud dengan dialog di sini adalah dialog
antaragama. Pendekatan yang tepat untuk melakukan dialog antaragama, menurut penulis
disertasi ini, adalah pendekatan yang bergerak melampaui pluralisme religius. Disertasi ini ingin
menunjukkan keterbatasn tiga pendekatan klasik kepada dialog dan khususnya ingin

77
Philips, “Moving Beyond Pluralism,” h.9.
78
Philips, “Moving Beyond Pluralism,” h.9.

28
menunjukkan keterbatasan pluralisme sebagai pendekatan kepada dialog. Pendekatan yang tepat
itu, yang melampaui pluralisme, ditemukan dalam tulisan-tulisan Küng dan Nasr.
Kedua, masalah utama terkait dengan tiga sikap ini, eksklusivisme, inklusivisme, dan
pluralisme, bukanlah masalah dialog antaragama tetapi adalah masalah kebenaran agama sebagai
jalan untuk mencapai keselamatan. Tipologi tiga-kutub (tripolar typology) atau klasifikasi tiga-
kutub (tripolar classification) ini, seperti disebutkan di atas, menjadi sebuah model yang lazim
digunakan dalam wacana teologi agama-agama dan filsafat agama untuk menjawab pertanyaan
kebenaran agama sebagai jalan untuk mencapai keselamatan. Tiga sikap dalam tipologi-tiga-
kutub ini adalah tiga jawaban terhadap pertanyaan, “Apakah agamaku adalah satu-satunya agama
yang benar untuk mencapai keselamatan?” (Pertanyaan ini bisa disingkat menjadi, “Apakah
agamaku adalah satu-satunya jalan keselamatan?”). Atau pertanyaan, “Apakah agama-agama
lain adalah juga jalan untuk mencapai keselamatan?” (Pertanyaan ini bisa disingkat menjadi,
“Apakah agama-agama lain adalah juga jalan keselamatan?”).
Jadi tipologi tiga-kutub bukanlah sebuah model yang digunakan dalam wacana dialog
antaragama tetapi sebuah model dalam wacana teologi agama-agama dan filsafat agama tentang
klaim-klaim kebenaran atau klaim-klaim keselamatan, meskipun dua sikap teologis, inklusivisme
dan pluralisme, sangat membantu para penganut sebuah agama untuk melakukan dialog. Adapun
eksklusivisme, jika digunakan sebagai sebuah pendekatan kepada dialog antaragama, khususnya
dalam masalah-masalah teologis, maka yang akan terjadi bukan dialog lagi tetapi perdebatan,
yang tidak jarang menimbulkan sikap saling mengkritik dan saling menyerang antara dua pihak
kelompok keagamaan yang sama-sama eksklusivis. Pada umumnya para eksklusivis bersikap
eksklusif bukan hanya kepada agama-agama lain tetapi juga kepada aliran-aliran, mazhab-
mazhab, golongan-golongan, atau kelompok-kelompok keagamaan lain yang seagama dengan
mereka. Ketika bertemu dengan kolompok keagamaan lain, para eksklusivis cenderung
mendakwahi kelompok keagamaan lain itu.
Kritik Gerardette terhadap apa yang disebutnya “the thrree classical approaches” (“tiga
pendekatan klasik”), yang salah satu adalah eksklusivisme, terhadap dialog antaragama adalah
salah sasaran, karena tiga pendekatan (lebih tepat, tiga sikap) ini bukan masalah dialog
antaragama tetapi masalah klaim-klaim kebenaran yang bertentang (conflicting truth-claims).
Ketiga, saya melihat jelas bahwa pernyataan tentang masalah dan tesis disertasi
Gerardette, yang menunjukkan bahwa tulisan-tulisan Kung dan Nasr tentang isu Dialog Muslim-
Kristen membantu kita bergerak melampaui pluralisme — sebagaimana tergambar pada judul
disertasi ini, “Moving beyond Pluralism” — dan kritik terhadap pluralisme yang dianggap
berbahaya, adalah sebuah upaya Gerardette untuk menolak pluralisme religius. Pluralisme,
meskipun dianggap satu langkah lebih maju daripada eksklusivisme dan inklusivisme, dianggap
oleh Gerardette tidak hanya tidak relevan untuk melakukan dialog dan menciptakan perdamaian
tetapi juga megandung beberapa bahaya secara metodologis, secara moral, dan secara logis.
Seakan-akan pluralisme harus dijauhkan dari dialog antaragama.
Kritik Gerardette terhadap pluralisme dalam kaitannnya dengan dialog jelas keliru karena
bertentangam dengan fakta bahwa kaum pluralis adalah kelompok yang paling siap dan banyak
terlibat dalam dialog. Diana L. Eck, misalnya, adalah seorang pluralis (pendukung pluralisme)
yang sering terlibat dalam dialog antaragama dengan para peserta dari agama-agama lain.
Perempuan dari Montana, Amerika Serikat, ini adalah pendiri The Pluralism Project pada 1991
di Harvard University. Ia terlibat dalam program dialog antaragama Dewan Gereja Dunia selama
empatbelas tahun. Perempuan pendukung pluralisme ini mengatakan bahwa “pluralism is based

29
on interreligious dialogue.”79 (“pluralisme didasarkan pada dialog antaragama”). Pernyataan ini
adalah ekspresi pengalaman personal Eck bahwa pluralisme bermula dari dialog yang justru
menjadi dasarnya. Pengalaman Eck ini bertolak belakang dengan anggapan Gerardette bahwa
pluralisme berbahaya dan, karena itu, tidak sesuai dengan dialog.
Berkenaan dengan hubungan pluralisme dengan dialog, Eck mengatakan,

The isolation or dogmatism of the exclusivist is not open to dialogue. The inclusivist,
while open to dialogue, does not really hear the self-understanding of the other. The truth
seeking of the pluralist, however, can be built on no other foundation than the give-and
take of dialogue. There is something we must know — both about the other and about
ourselves — that can be found in no other way.80

Isolasi atau dogmatisme sang eksklusivis [pendukung eksklusivisme] tidak terbuka pada
dialog. Sang inklusivis [pendukung inklusivisme], walaupun terbuka pada dialog,
sebenarnya tidak mendengarkan pemahaman-diri orang lain. Bagaimanapun juga,
pencarian kebenaran [yang dilakukan oleh] sang pluralis [pendukung pluralisme] tidak
bisa dibangun selain atas fondasi “the give-and-take” dialog. Ada sesuatu yang harus kita
sadari — baik tentang orang lain maupun tentang diri kita — yang tidak bisa
ditemukan/diketahui dengan jalan lain.

Di sini kita melihat bahwa seorang pluralis lebih terbuka, berani, jujur dan siap untuk
melakukan dialog daripada seorang seorang inklusivis dan seorang eksklusivis. Seorang pluralis
benar-benar siap mendengarkan orang-orang lain tentang apa yang mereka pahami dan mereka
katakan tentang diri mereka. Metode ini sejalan dengan metode dialogis yang ditawarkan oleh
Krister Stendahl, mantan Dekan Sekolah Tinggi Teologi (Divinity School), Harvard University:
“Allow others to define themselves”81 (“Izinkanlah orang-orang lain mendefinisikan diri
mereka”). Dan tentu saja seorang pluralis siap pula menyampaikan apa yang dia pahami tentang
dirinya.
Wilfred Cantwell Smith (1916-2000), seorang comparative religionist, sarjana terkemuka
Islamic studies dan pendeta Presbyterian asal Kanada, adalah seorang pluralis yang sangat
terkenal dengan pendekatan dialogis untuk memahami agama-agama lain. Bagi Smith, dialog
adalah pedekatan terbaik untuk comparative religion atau religious studies. Smith mengkritik
para sarjana Barat yang memperlakukan agama sebagai “it” dalam studi mereka tentang agama,
yang bertumpu hanya pada akumulasi, pengaturan dan analisis fakta-fakta. Bagi Smith, studi
agama tidak cukup hanya dengan memeriksa, mengamati, menyelidiki, dan meneliti apa yang
disebutnya “externals of religion” (“tampilan-tampilan luar agama”) atau singkatnya “externals”
(“tampilan-tampilan luar”). Tampilan-tampilan luar agama mencakup doktrin-doktrin, simbol-
simbol, institusi-institusi, dan praktik-praktik keagamaan.
Menurut Smith, tampilam-tampilan luar (externals) itu bukan agama dalam arti yang
sebenarnya. Sarjana dari Kanada ini mamandang bahwa agama dalam arti terdalamnya adalah

79
Eck, Encountering God, h. 197.
80
Eck, Encountering God, h. 197.
81
Krister Stendahl, “Judaism and Islam in the Perspective of Christianity,” dalam Ismai’il Raji al-Faruqi,
ed., Trialogue of the Abrahamic Faiths: Papers presented to the Islamic Studies Group of American Academy of
Religion (Beltsville, Maryland: Amana Publications, 1995), h. 19.
30
kualitas personal dalam hati manusia: iman (faith). “Faith is a quality of men’s lives”82 (“Iman
adalah sebuah kualitas [personal] hidup manusia”).
Bagi Smith, cara terbaik untuk melakukan studi agama adalah dialog. Dalam dialog tentu
saja ada dua pihak atau lebih yang berkomunikasi. Prinsip yang harus dipegang teguh oleh para
peserta dalam situasi dialog adalah: agar sebuah pernyataan orang luar tentang sebuah agama
adalah valid, tepat, atau sahih, maka pernyataan itu harus bisa dipahami dan bisa diterima oleh
orang-orang yang menganut agama itu. Agar tulus dan berguna, pernyaatan itu tentu juga harus
bisa dipahami dan bisa diterima oleh orang luar yang membuat pernyataan itu. Ketika orang-
orang Muslim dan orang-orang Buddhis bertemu, misalnya, maka yang harus dibutuhkan adalah
sebuah pernyataan tentang Islam yang bisa diakui valid, tepat, atau sahih, oleh orang-orang
Muslim dan bisa diakui oleh orang-orang Buddhis sebagai pernyataan yang berarti. Demikian
juga sebuah pernyataan tentang Buddhisme yang bisa diakui oleh orang-orang Buddhis dan
dipahami oleh orang-orang Muslim.83
Smith menyimpulkan secara umum bahwa salah satu tugas studi-studi dalam bidang studi
komparatif tentang agama adalah apa yang dirumuskannya sebagai berikut: “it is the business of
comparative religion to construct statements about religion that are intelligible within at least
two traditions simultaneously”84 (“tugas perbandingan agama adalah membangun pernyataan-
pernyataan tentang agama yang bisa dipahami paling sedikit dalam dua tradisi [keagamaan]
secara serempak”). Tugas ini akan terlaksana dan berjalan dengan baik jika masing-masing
kelompok dari dua tradisi Islam dan Kristen, misalnya, berbicara dengan tulus dan terbuka
tentang agama mereka masing-masing dan mendengarkan pernyataan-pernyataan kelompok lain
dengan metode yang disebut “dialog.”
Smith sebagai seorang sarjana Barat non-Muslim, melalui pendekatan dialogis, telah
mencoba menghilangkan prasangka keagamaan, prasangka kultural, dan bahkan prasangka
intelektual Barat terhadap orang-orang Muslim dan Islam. Ia telah mememberikan kontribusi
metodologis sangat besar kepada Islamic studies. Prinsip yang ditawarkan Smith yang harus
dipegang oleh para pengkaji Islam adalah apa yang dikatakannya sebagai berikut, “Anything that
I say about Islam as a living faith is valid only in so far as Muslims can say ‘amen’ to it” 85
(“Apapun yag saya katakan tentang Islam sebagai sebuah iman yang hidup adalah
valid/tepat/sahih hanya sejauh bisa disetujui/diterima/diakui oleh orang-orang Muslim”).86
Prinsip ini dipandang “excellent” (paling baik) oleh Fazlur Rahman.87 Prinsip ini adalah
pedoman, timbangan, ukuran, dan kriteria validitas (kesahihan) untuk memahami Islam. Prinsip
yang sama juga berlaku bagi para pengkaji agama-agama lain.
Pada kesempatan lain, Smith mengatakan, “To understand the faith of Buddhists, one
must not look at something called ‘Buddhism’. Rather, one must look at the world, so far as

82
Wilfred Cantwell Smith, “Comparative Religion: Whither and Why?” dalam Mircea Eliade and Joseph
M. Kitagawa, editors, History of Religions: Essays in Methodology (Chicago & London: The University of Chicago
Press, 1959), h. 34-35.
83
Smith, “Comparative Religion,” h. 52.
84
Smith, “Comparative Religion,” h. 52.
85
Smith, “Comparative Religion,” h. 43.
86
Smith, “Comparative Religion,” h. 43.
87
Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay,” dalam Richard C. Martin,
editor, Approaches to Islam in Religious Studies (Tocson, Arizona: The University of Arizona Press, 1980), h. 190.
31
possible through Buddhist eyes.”88 (“Untuk memahami iman orang-orang Buddhis, seseorang
tidak boleh melihat kepada sesuatu yang disebut 'agama Buddha’ [atau ‘Buddhisme’]. Lebih
baik, seseorang melihat kepada dunia, sejauh mungkin melalui pandangan [orang] Buddhis”).
Untuk memahami Buddhisme, seorang pengkaji non-Buddhis harus memahami Buddhisme
melalui pandangan Buddhis. Cara ini tidak mungkin dilakukan kecuali melalui dialog.
Anggapan Gerardette bahwa pluralisme tidak sesuai untuk dialog adalah keliru bila kita
melihat fakta bahwa salah satu pendekatan, bahkan pendekatan terbaik, untuk religious studies
— menurut Smith, seorang comparative religionist dan pluralis — adalah dialog.
Pada awal tahun 2000-an (saya lupa tahun berapa persisnya), seorang yang tidak
menyebutkan namanya melalui SMS mengkritik saya sebagai orang yang tidak setia lagi pada
Islam, agama saya, karena saya dianggap seorang pluralis (pendukung pluralisme). Lalu saya
jawab: “Saya tetap menjalankan salat lima waktu, puasa Ramadan, berzakat, dan telah
menunaikan ibadah haji. Kesetiaan saya pada Islam tidak berkurang. Saya tidak akan pindah
agama. Saya bangga sebagai seorang Muslim.”
Jika yang dimaksud dengan pluralisme oleh pengirim SMS itu adalah kepercayaan bahwa
jalan untuk mencapai keselamatan dimiliki bukan hanya oleh satu agama tetapi dimiliki oleh
banyak agama, yang berpusat pada Tuhan, saya setuju dan tidak menolak jika saya disebut
seorang pluralis. Tetapi jika pengirim SMS itu melajutkan, pluralisme memandang bahwa semua
agama adalah sama dalam arti mengabaikan perbedaan-perbedaan, dan dengan demikian terseret
kepada relativisme yang membuat para pendukungnya tidak mempunyai kriteria-kriteria teologis
dan etis yang harus dipegang kuat, sehingga mereka tidak perlu setia pada agama mereka,
dengan tegas saya tolak. Saya meyakini sepenuhnya bahwa al-Qur’an, Kitab Suci orang-orang
Muslim, misalnya, adalah mutlak benar, tetapi tafsir, pemahaman, atau pembacaan manusia
tentang Kitab Suci ini tidak mutlak benar, bisa benar dan bisa salah. Iman saya sebagai seorang
Muslim tidak menghalangi saya untuk mengakui kebenaran agama-agama lain. Pengalaman saya
menunjukkan bahwa sikap religius atau teologis saya mengalami perubahan dari seorang
eksklusivis — dari masa kecil sampai pertengahan kedua 1980-an — menjadi seorang pluralis
justru karena banyak mempelajari agama-agama lain, Sufisme, dan melakukan dialog dalam arti
luas. Pengalaman ini menunjukkan bahwa posisi saya sebagai seorang pluralis semakin kukuh
karena keterlibatan dalam dialog dengan para penganut agama-agama lain. Pengalaman ini
secara tidak langsung mematahkan kritik Suster Gerardette terhadap pluralisme.
Perlu dikemukan di sini bahwa para pluralis sangat getol menganjurkan dan melakukan
dialog. Hick sendiri, misalnya, mengajak agar dialog yang telah berlangsung dari generasi ke
generasi harus dilanjutkan dengan semakin meningkat di masa depan. Langkah selanjutnya
adalah meningkatkan kualitas, nilai dan status dialog. Ini adalah langkah dari dialog antara
orang-orang yang percaya bahwa agama mereka adalah satu-satunnya agama yang benar atau
yang sepenuhnya benar kepada dialog antara orang-orang yang menerima kualitas keagamaan
asli orang lain (the genuine religious quality of the other), supaya mereka bisa saling
menguntungkan secara bebas dari penglihatan-penglihatan batini spiritual khusus (distinctive
spitual insights) dan bebas bekerja sama dalam menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi
dan politik dunia yang besar. 89 Langkah selanjutnnya bukan berarti agama-agama yang berbeda

88
Wilfred Cantwell Smith, Toward a World Theology: Faith and the Comparative History of Religion
(Houndmills, Basingstoke, Hampshire and London: The Macmillan Press Ltd., 1981), h. 47.
89
John Hick, “The Next Step beyond Dialogue,” dalam Knitter, ed., The Myth of Religious Superiority, h.
3.
32
menjadi satu, yang menyatu untuk membentuk semacam agama global baru. Sebaliknya,
pluralitas dan perbedaan agama-agama adalah positif dan berharga. Keanekaragaman budaya-
budaya dan agama-agama besar di seluruh dunia adalah sesuatu yang harus dirayakan dan
dipahami, bukan sesuatu yang yang harus dihilangkan.90
Bagi Hick, dialog tidak boleh berhenti, bahkan harus ditingkatkan. Langkah ini berawal
dari dialog antara orang-orang yang mengakui bahwa kebenaran ada hanya dalam agama mereka
masing-masing, lalu bekembang kepada dialog antara orang-orang yang menerima kualitas
keagamaan asli orang-orang lain supaya mereka saling menguntungkan dari berbagi pengalaman
spiritual, dan akhirnya bekerjasama dalam menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi dan
politik dunia. Langkah ini ditandai oleh sikap positif dan menghargai pluralitas dan perbedaaan
agama-agama, dan berujung pada kesediaan untuk merayakan dan memahami budaya-budaya
dan agama-agama besar dunia.
Melihat pandangan Hick ini dan para pluralis lain, kita mengetahui dengan jelas bahwa
kritik Suster Gerardette terhadap pluralisme salah sasaran. Ia sebenarnya bukan mengkritik
pluralisme tetapi mengkritik pikirannya sendiri yang keliru tentang pluralisme. Kritik Suster
Gerardette terhadap pluralisme bukan berdasar pada bukti-bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi bedasar pada prasangka-prasangka yang
ditimbulkan oleh kekhawatiran dan ketakutannya secara teologis terhadap pluralisme yang
dianggapnya berbahaya. Tidak benar anggapan Suster Gerardette bahwa pluralisme
menyepelekan keunikan masing-masing agama, memandang semua agama sama, memunculkan
relativisme, mudah menyangkal klaim kebenaran sendiri, dan tidak sesuai dengan dialog.
Sebaliknya, pluralisme tetap mengakui dan menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing
agama, menolak tegas relativisme, mempertahankan klaim kebenaran sendiri sambil mengakui
klaim kebenaran agama-agama lain, dan paling sesuai dengan dan paling siap untuk dialog.

Islam dan Pluralisme Religius

Jika diajukan pertanyaan, apakah sebagian besar orang Muslim eksklusivis, inklusivis,
atau pluralis secara religius atau teologis? Sejauh pengamatan saya, sebagian besar orang
Muslim adalah eksklusivis, penganut eksklusivisme. Sikap “mengkafirkan” atau “mengganggap
sesat” orang lain yang berbeda aliran, paham, mazhab atau kelompok dalam satu agama, yaitu
Islam, apalagi orang lain yang berbeda aagama, sering kali kita temukan. Sikap teologis yang
memandang bid‘ah dan sesat aliran, paham, mazhab, atau kelompok keagamaan lain dalam Islam
adalah “tradisi” klasik yang tetap hidup subur dalam sejarah Islam sampai hari ini. Tradisi dalam
wacana pemikiran teologis Islam klasik ini, seperti dijelaskan di atas, disebut oleh W.
Montgomery Watt, tradisi heresiografis (heresiographical tradition). Karya-karya heresiografis,
seperti dijelaskan di atas, tetap menjadi rujukan bagi para ulama dan pengkaji sejarah pemikiran
teologis Islam. Para penulis karya-karya heresiografis ini selalu mempropagandakan bahwa
aliran mereka adalah satu-satunya aliran yang selamat (firqah nājiyah), sementara aliran-aliran
lain adalah sesat. Aliran-aliran lain dalam Islam sendiri dianggap sesat, apalagi agama-agama
lain tentu saja sesat dan kafir dalam tradisi heresiografis Islam.
Kontras dengan pandangan eksklusivis dalam pemikiran teologis Islam adalah pandangan
pluralis, kepercayaan bahwa kebenaran yang membawa keselamatan dimiliki oleh banyak
90
Hick, “The Next Step beyond Dialogue,” h. 3.
33
agama. Para penganut agama-agama lain bisa mencapai keselamatan bila mereka beriman
kepada Tuhan dan Hari Akhir, dan beramal saleh. Untuk mendukung pandangan mereka bahwa
para penganut agama-agama lain juga bisa selamat, para pluralis Muslim sering menggunakan
firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman [yaitu para pengikut Nabi Muhammad],
orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen, dan orang-orang Sabi’in, siapa saja [di antara mereka]
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan beramal saleh, maka akan menerima pahala dari
Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran atas diri mereka, dan mereka tidak pula berdukacita” (Q
2: 62); firman-Nya yang mirip, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman [yaitu para pengikut
Nabi Muhammad], orang-orang Yahudi, orang-orang Sabi’in, dan orang-orang Kristen, siapa
saja [di antara mereka] yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan beramal saleh, maka
tidak ada kekhawatiran atas diri mereka, dan mereka tidak pula berdukacita” (Q 5: 69); dan
firman-Nya, “Dan Kami telah menurunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran, yang
membenarkan kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya; maka putuskanlah perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan berpaling dari kebenaran yang datang kepadamu. Bagi setiap kalian, Kami
berikan aturan dan jalan. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kalian satu
umat, tetapi Allah hendak menguji kalian tentang apa yang telah Dia berikan kepada kalian;
maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kalian semua kembali, lalu
Dia memberitahukan kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan” (Q 5: 48).
Bagamana dengan firman Allah yang lain, yang biasanya digunakan oleh para eksklusivis
Muslim untuk mendukung pandangan eksklusivis dan sekaligus untuk menolak pandangan
pluralis? Dua ayat al-Qur’an sering digunakan untuk tujuan ini adalah firman Allah,
“Sesungguhnya satu-satunya al-dīn [yang benar] dalam pandangan Allah adalah al-islām” (Q 3:
19); dan firman-Nya, “Dan barang siapa mencari agama selain al-islām, dia tidak akan diterima,
dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi” (Q 3: 85). Kata al-dīn dan al-islām, masing-masing
bisa mempunyai dua arti yang berbeda. Pertama, dua kata ini sering diartikan sebagai sistem
keagamaan dan sekaligus sebagai identitas. Ketika al-islām menjadi sebuah sistem keagamaan,
yang pada giliranya tentu menjadi identitas, maka Islam [huruf awal harus ditulis dengan huruf
besar sebagai nama diri, yang merupakan terjemahan dari kata al-islām] dalam arti ini adalah
“sebuah” agama di antara agama-agama lain. Maka terjemahannya adalah “Sesunggguhnya
agama [yang benar] dalam pandangan Allah adalah Islam (Q 3:19); dan “Dan barang siapa
mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang
rugi” (Q 3:85). Pemaknaan kata al-islām seperti ini sesuai dengan — atau melahirkan —
pandangan eksklusivis bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya
jalan untuk mencapai keselamatan.
Kedua, dua kata ini, al-dīn dan al-islām, diartikan sebagai sikap, amal, perbuatan, nilai,
atau kualitas. Apabila dua kata ini diartikan seperti ini, maka keduanya menjadi milik siapa saja
yang mempunyai sikap, amal, perbuatan, nilai, atau kualitas itu. Maka terjemahannya adalah
“Sesungguhnya satu-satunya ketaatan (al-dīn) [yang benar] dalam pandangan Allah adalah
kepasrahan kepada-Nya (al-islām)” (Q 3: 19); dan “Dan barang siapa mencari ketaatan (al-dīn)
selain kepasrahan kepada-Nya (al-islām), dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk
orang yang rugi” (Q 3: 85). Terjemahan ini sejalan dengan penjelasan Ibn Jarir al-Thabari.
Mufasir besar ini mengatakan bahwa kata dīn pada ayat pertama (Q 3: 19) berarti “ketaatan” (al-
thā‘ah) dan “kepatuhan” (al-dzillah), dan kata al-islām pada ayat yang sama berarti “sikap

34
berserah diri” (al-inqiyād) dengan “kepatuhan” (al-tadzallul) dan “ketundukan” (al-khusyū‘).91
Dalam penjelasan cukup panjang tentang ayat ini, ia mengatakan,

Maka takwil firman-Nya, “Sesungguhnya ketaatan (al-dīn) [yang benar] dalam pandangan
Allah adalah berserah diri kepada-Nya (al-islām)” [Q 3: 19], adalah: Sesungguhnya
ketaatan yang adalah satu-satunya ketaatan di mata-Nya adalah ketaatan kepada-Nya,
pengikraran lidah dan kalbu kepada-Nya dengan penghambaan dan kepatuhan, dan
ketundukan lisan dan kalbu kepada-Nya dengan ketaatan tentang apa yang disuruh dan
dilarang, kepatuhan lisan dan kalbu kepada-Nya dengan itu tanpa menyombongkan diri
kepada-Nya, tanpa berpaling dari-Nya, dan tanpa menyekutukan segala sesuatu selain Dia
dengan Dia dalam kehambaan dan ketuhanan.92

Al-Thabari tidak menjelaskan secara khusus makna kata al-dīn (dan juga kata al-islām)
dalam ayat yang kedua (Q 3: 85) barangkali karena sudah dijelaskan dalam ayat sebelumnya (Q
3:19). Ini berarti bahwa makna kedua kata ini, yaitu al-dīn dan islām, dalam ayat terakhir, sama
dengan makna dua kata yang sama dalam ayat pertama tadi yang telah dijelaskannya.
Sebenarnya lima kata yang disebut di sini, yaitu al-dīn, al-thā‘ah, al-dzillah, al-tadzallul, al-
islām, al-inqiyād, dan al-khusyū‘ mempunyai makna asal yang berdekatan yang sulit dibedakan
dan dalam konteks-konteks tertentu yang satu menjadi sinonim bagi yang lain.
Muhammad Asad (1900-1992), seorang cendekiawan Muslim berdarah Austro-Hungaria,
menerjemahkan kata al-islām dalam dua ayat al-Qur’an di atas (Q 3:19, 85) secara berturut-turut
dengan “[man’s] self-surrender unto Him” (“penyerahan diri [manusia] kepada-Nya”) dan “self-
surrender unto God” (penyeraha diri kepada Allah”). Perhatikan terjemahan asli Inggris dua ayat
ini sebagai berikut: “Behold, the only [true] religion in the sight of God is [man’s] self-surrender
unto Him”93 (“Perhatikanlah, satu-satunya agama [yang benar] dalam pandangan Allah adalah
penyerahan diri [manusia] kepada-Nya” (Q 3:19); dan “For, if one goes in search of a religion
other than self-surrender unto God, it will never be accepted from him, and in the life to come he
shall be among the lost”94 (“Dan barang siapa mencari agama selain penyerahan diri kepada
Allah, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi”) (Q 3:85).
Dalam pemahaman Asad, al-islām dalam al-Qur’an — yang disebut delapan kali (Q 3:19, 85;
5:3; 6:125; 9:74; 39:22; 49:17; 61:7) — tidaklah berarti sistem (keagamaan) atau jalan hidup
tetapi berarti sikap, amal, perbuatan, nilai, atau kualitas. Dalam sejarahnya yang panjang, kata ini
telah berubah dari sikap menjadi sistem, dari kualitas menjadi identitas. Ketika menjadi sistem
atau identitas, istilah ini menjadi terbatas milik satu kelompok tertentu yang disebut “umat
Islam” atau “komunitas Muslim”, yang memeluk “Islam”, salah satu agama besar dunia.
Penyerahan diri kepada Allah, yang dalam bahasa Arab adalah al-islām, terdapat pula
dalam agama-agama lain. Dalam Hinduisme kita menemukan ajaran agar manusia bersikap
pasrah kepada Tuhan. Dalam Bhagawat Gita, misalnya, dikatakan, sabagai berikut:

91
Ibn Jarir al-Thabari, Jāmi‘al-Bayān‘an Ta’wīl Âyial-Qur’ān, Volume 3/Juz 3 (Beirut: dar al-Fikr,
2005/1425-1426), h. 1779/259.
92
Al-Thabari, Jāmi‘al-Bayān, 3/3, h. 1780/260.
93
Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, Translated and Explained by Muhammad Asad
(Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), h. 69.
94
Asad, The Message of the Qur’an, h. 80.
35
Orang yang berbuat tanpa kemelekatan, yang memasrahkan semua perbuatannya kepada
Yang Ilahi, tidak tersentuh oleh dosa, bagai daun padma yang tidak basah oleh sentuhan
air. Para yogī melakukan seluruh perbuatan tanpa kemelekatan, hanya menggunakan
badan, atau pikiran, atau kecerdasan, atau hanya pancaindra, semata-mata untuk
penyucian diri. Manusia yang tekun berbakti kepada Yang Ilahi tanpa mengharapkan
pahala kerja akan mencapai kedamaian abadi; sedangkan orang yang tidak menyatu
dengan Yang Ilahi akan dikendalikan oleh kemelekatan pada pahala kerja karena hawa
nafsu menginginkan pahala itu dan karena itu ia terjerat pada karma kerja (Bhagawatgita,
5: 10-12).

Pemaknaan kata al-islām sebagai penyerahan diri kepada Tuhan seperti ini sesuai dengan — atau
melahirkan — pandangan pluralis bahwa kebenaran yang membawa keselamatan, dimiliki oleh
banyak agama.
Pluralisme dalam Islam, seperti dikemukan di atas, melahirkan konsep kesatuan
transenden agama-agama, yang diklaim oleh Nasr sebagai visi philosophia perennis (filsafat
perenial) yang didukung oleh mazhab tradisionalis yang tetap hidup dan terpelihara dalam
Sufisme. Nasr mengatakan bahwa “philosopnia perennis melihat sebuah kesatuan yang
mendasari keragaman bentuk-bentuk dan praktik-praktik keagamaan, sebuah kesatuan yang
terletak dalam kebenaran paling esensial pada jantung agama-agama yang tidak lain dari
philosophia perennis itu sendiri. Tetapi kesatuan ini bukan dalam bentuk-bentuk lahiriah.”95
Nasr mengatakan pula bahwa mazhab tradisionalis menyadari sepenuhnya kemapuan
besar spiritual partikular setiap agama dan keunikannya, dan memegang teguh bahwa ciri-ciri
yang menonjol ini justru adalah bukti asal transenden setiap agama dan realitas arketipenya pada
Intelek Ilahi. Kesatuan yang dimaksud oleh kaum tradisionalis adalah kesatuan transenden yang
melampaui bentuk-bentuk dan manifestasi-manifestasi lahiriah. Kesatuan transenden agama-
agama bisa dicari hanya pada tingkat Esensi Teragung (“the Supreme Essence”) atau Substansi
Teragung (“the Supreme Substance”). “Bila para Sufi mengatakan ‘doktrin Tauhid adalah unik’
(al-tawhīd wāhid), orang bisa pula mengatakan bahwa kesatuan transenden yang mendasari
keragaman agama itu tidak bisa lain dari Yang Unik atau Yang Esa itu sendiri. Di bawah
‘tingkat’ itu, setiap agama mempunyai kualitas-kualitas dan karakteristik-karakteristik berbeda
yang tidak bisa diabaikan atau dihilangkan.” 96

Khatimah

Pada akhir tulisan ini, jawaban terhadap pertanyaan-pertayaan yang diajukan pada
mukadimah di atas harus disampaikan. Istilah “pluralisme” yang digunakan oleh Abu Rizal
Bakri, Ali Masykur Musa, para pembicara dalam diskusi di Universitas Paramadina, dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia adalah pluralisme sosio-politis, bukan pluralisme religius.
Pluralisme sosio-politis adalah kepercayaan bahwa satu masyarakat yang terdiri dari banyak
kelompok rakyat yang berbeda dari segi etnik, kultural, agama dan lain-lain bisa hidup dalam
kedamaian, atau kebijakan pemerintahan yang menyokong perlindungan bagi kelompok-

95
Nasr, “The Philosophia Perennis,” h. 189.
96
Nasr, “The Philosophia Perennis,” h. 190.
36
kelompok yang berbeda dari segi asal etnik, pola kultural, agama dan lain-lain dalam sebuah
bangsa atau masyarakat tertentu.
Istilah pluralisme dalam arti ini berbeda dengan istilah pluralisme religius, yang
digunakan oleh para teolog dan filsuf seperti John Hick, Alan Rice, Paul Knitter, Perry Schmidt-
Leukel, Diana L. Eck, Farid Esack, dan Ashgar Ali Engineer. Pluralisme religius adalah
kepercayaan bahwa semua komunitas keagamaan menyaksikan kebenaran terdasar yang sama
(the same ultimate truth), masing-masing dengan caranya sendiri. Pluralisme dalam arti ini
mengakui bahwa kebenaran yang membawa keselamatan (di dunia dan di akhirat) dimiliki bukan
hanya oleh satu agama tetapi dimiliki oleh banyak agama. Jadi, menurut pluralisme dalam arti
ini, jalan untuk mencpai keselamatan melalui banyak agama.
Jelas sekali bahwa pluralisme sosio-politis berbeda dengan pluralisme religius: yang
pertama berurusan dengan tatatan sosial dan politis suatu masyarakat, sedangkan yang kedua
berurusan dengan kebenaran teologis atau religius sebagai jalan untuk mencapai keselamatan.
Kekacauan penggunaan istilah “pluralisme” terjadi ketika dua tipe pluralisme ini digunakan
secara keliru karena tidak sesuai dengan objek yang diberi label “pluralisme.” Kekacauan juga
terjadi karena dua tipe pluralisme ini dicampuradukkan atau dipertukarkan satu sama lain.
Kekacauan ini diperparah oleh “penempelan” banyak label-label pada istilah “pluralisme.”
Kekacauan ini semakin diperparah oleh anggapan bahwa pluralisme — sebagai ajaran,
kepercayaan, doktrin, teori, sistem, paham, atau sikap — adalah “Sunnatullah,” yang berarti
hukum alam.
Istilah “pluralisme” sering kali digunakan oleh banyak orang di Indonesia, termasuk para
pemikir, tanpa memahami apa yang dimaksud dengan istilah ini. Nurcholish Madjid, seperti
dijelaskan di atas, dalam banyak kesempatan dalam karya-karyanya, tidak membedakan dengan
tegas antara pluralisme religius dan pluralisme sosio-politis, dan juga antara pluralisme dan
toleransi [beragama]. Akibatnya, penggunaan istilah “pluralisme” menjadi kacau jika dilihat
secara akademik: tidak jelas mana yang pluralisme religius, mana yang pluralisme sosio-politis,
dan mana yang toleransi. Apalagi ketika istilah “pluralisme” berkeliaran di mana-mana di ruang
publik, baik di media cetak maupun di media elektronik, arti istilah ini juga menjadi liar dan
kesasar ke mana-mana.
Istilah “pluralisme” sering digunakan untuk menggambarkan sikap toleran dan
menghargai kelompok-kelompok yang berbeda agama. Padahal toleransi beragama tidak sama
dengan pluralisme dalam ranah teologi agama-agama dan filsafat agama. Seorang Muslim,
misalnya, boleh jadi adalah seorang yang toleran terhadap kemajemukan dan keragaman
keagamaan, tetapi ia pada saat yang sama adalah seorang eksklusivis secara religius atau
teologis. Sikap toleran dan menghargai kemajemukan dan keragaman keagamaan tidak
memerlukan teologi pluralis. Tetapi harus diakui bahwa kaum pluralis pada umumnya cenderung
lebih toleran terhadap kemajemukan dan keragaman keagamaan daripada kaum eksklusivis.
Kritik Suster Gerardette terhadap pluralisme salah sasaran. Ia sebenarnya bukan
mengkritik pluralisme tetapi mengkritik persepsinya sendiri yang salah tentang pluralisme. Kritik
Suster ini terhadap pluralisme bukan berdasar pada bukti-bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah tetapi bedasar pada prasangka-prasangka yang
ditimbulkan oleh kekhawatiran dan ketakutannya secara teologis terhadap pluralisme yang
dianggapnya berbahaya. Tidak benar anggapan Suster Gerardette bahwa pluralisme mengabaikan
keunikan masing-masing agama, memandang semua agama sama, menimbulkan relativisme,
mudah menyangkal klaim kebenaran sendiri, dan tidak sesuai dengan dialog. Sebaliknya,

37
pluralisme tetap mengakui dan menghargai keunikan masing-masing agama, mengakui bahwa
masing-masing agama berbeda dan unik, menolak tegas relativisme, mempertahankan klaim
kebenaran sendiri sambil mengakui klaim kebenaran orang lain, dan paling sesuai dengan dan
paling siap untuk dialog.

Wa Allāh a‘lam bi al-shawāb.

Kautsar Azhari Noer adalah dosen Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.

38

Anda mungkin juga menyukai