Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

SISTEM PEMIKIRAN FILSAFAT

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Muh. Fajar (F041211013)

Ranizza Triana Putri Cahyaningrum (F041211030)

Eben Haezer Rense (F041 211047)

Maudy Yunita W.S.A (F041211060)

Dhio Aridh Naufal (F041211065)

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami dalam mengerjakan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalwat dan salam juga
kami curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat tahu lebih mendasar dan lebih
mendalam tentang sistem pemikiran filsafat. Penulis juga menyajikan pengertian
filsafat, aspek kajian filsafat, dan kesimpulan. Makalah ini disusun oleh penyusun
dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun dari
luar. Namun dengan kesabaran dan utamanya dengan pertolongan Tuhan akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan.

Walaupun mekalah ini masih memiliki kekurangan, penulis berharap semoga


makalah ini dapat memberikan wawasan yang luas dan berguna bagi pembaca.
Penulis memohon untuk keritik dan sarannya. Terima kasih.

Makassar, 29 Agustus 2021

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.....................................................................................................i

KATA PENGANTAR....................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG.......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................1

2.1 DEFINISI FILSAFAT.........................................................................................1

2.2 ASPEK KAJIAN FILSAFAT...............................................................................2

A. ONTOLOGI...................................................................................................2

B. EPISTEMOLOGI........................................................................................11

C. AKSIOLOGI................................................................................................18

BAB III PENUTUP.....................................................................................................19

3.1 KESIMPULAN................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pada dasarnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran, karena
mereka tidak akan pernah puasa dengan apa yang sudah ada. Mereka kan
terus mencari kebenaran dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan
jawaban yang dapat membuat mereka merasa puas.
Filsafat memiliki peran penting dalam kehidupan manusia setidaknya ada
tiga peran penting filsafat dalam kehidupan manusia yaitu sebagai pendobrak,
pembebas, dan pendidik. Ada beberapa hal yang mendukung manusia untuk
berfilasafat yaitu keheranan, kesangsian dan kesadaran atas keterbatasan.
Berfilsafat sering kali dilakukan untuk mencari tahu apa yang tidak kita
ketahui bahkan yang sudah kita ketahui sekali pun, berfilsafat berarti
berendah hati bahwa tidak semuanya dapat kita ketahui dalam kesemestaan
yang terlihat seakan tidak terbatas ini.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI FILSAFAT


Filsafat merupakan sebuah studi yang membahas segala fenomena yang ada
di dalam kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan skeptis dengan
mendalami sebab sebab terdala, lalu di jabarkan secara teoritis dan mendalam.
Filsafat berasal dari kata Yunani philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan.

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata
serapan dari bahasa Arab: ‫فلسفة‬, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk, dan
berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia =
kebijaksanaan, kearifan), sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di
Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia
seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".

1
Secara tradisional, istilah "filsafat" mengacu pada badan (atau ibu) dari
segala pengetahuan. Dalam pengertian ini, filsafat sangat erat kaitannya dengan
agama, matematika, ilmu alam, pendidikan, dan politik. "Prinsip Matematika Filosofi
Alam", karya Newton pada tahun 1687 diklasifikasikan pada tahun 2000-an sebagai
buku fisika; ia menggunakan istilah "filsafat alam" karena istilah itu digunakan untuk
mencakup disiplin ilmu yang kemudian dikaitkan dengan ilmu pengetahuan
seperti astronomi, kedokteran, dan fisika.

2.2 ASPEK KAJIAN FILSAFAT


A. ONTOLOGI

1. PENGERTIAN ONTOLOGI

Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada,
dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut
istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak. [1]

Ada beberapa pengertian ontology menurut para tokoh-tokoh filsafat diantaranya:

 Menurut Suriasumantri (1985),

Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin
tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah
ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :

a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,

b) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan

c) bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.

 Menurut Soetriono & Hanafie (2007)

Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud
yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari
pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek
ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang
menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan
alam kenyataan dan keberadaan.

2
 Menurut Pandangan The Liang Gie

Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah
eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan:

1. Apakah artinya ada, hal ada?


2. Apakah golongan-golongan dari hal yang ada?
3. Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
4. Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori
logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal,
abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada ? [2]

2. Menanggapi kenyataan yang terdalam

Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidaikan


kefalsafatan yang paling kuno. Awal mula pikiran Barat yang tertua di antara
segenap filsuf Barat yang kita kelan ialah orang Yunani yang bijak dan arif yang
bernama Thales. Atas perenungannya terhadap air yang terdapat dimana-mana, ia
sempai pada kesimpulan bahwa air merupakan subtansi terdalam yang merupakan
asal mula dari segala sesuatu. Yang penting bagi kita sesungguhnya bukanlah
ajaran-ajarannya yang mengatakan bahwa air itulah asal mula segala sesuatu,
melainkan pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu
subtansi belaka.

Thalas merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-


tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Disinilah letak pentingnya tokoh
tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu
sebagaimana keadaan yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air,
danging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai subtansi-subtansi
(yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada
pemeliharaan antara kenampakan (appearance) dangan kenyataan (reality).

Jarang terjadi sekali, si polon (orang kebanyakan) umpamanya, menjadi sadar apa
yang secara selayang pandang tampak sabagai makanan yang sedap, namun
setelah dicicipinya ternyata sebatang lilin dan sama sekali bukan makanan. Jika kita
menginginkan suatu istilah yang dapat diterapkan kepada orang kebanyakan
semacam itu, kiranya mereka dapat dinamakan para penganut paham pluralisme
yang bersahaja di bidang ontologi. Dikatakan bersahaja kerena segala sesuatu di
pandang dalam keadaan yang wajar. Dikatakan penganut paham pluralisme kerena
perpendirian ada banyak subtansi yang terdalam.

3
A. Ontologi yang bersahaja

Kebanyakan orang setidak-tidaknya mengadakan pembedaan antara barang-barang


yang dapat dilihat, diraba, yang tidak bersifat kejasmanian atau yang dipahamkan
“jiwa”. Kadang-kadang orang banyak menjumpai mereka yang berpendirian bahwa
sesungguhnya jiwa itu tidak ada, yang ada dalam kenyataan ialah barang-barang
kejasmanian. Pertimbangan keselamatan diri mereka.

Tetapi kadang-kadang mereka sangat resah akan ajaran-ajaran semacam itu.


Mungkin sekali mereka memaki-maki dengan keres para penganut paham
meterialisme tersebut, atau mungkin mereka juga setelah mendengar pendirian
tersebut beristirahat sejenak menjauhi keramaian dunia dan memikirkan masalah
tersebut sambil bertanya-tanya: siapakah sesungguhnya yang benar dalam hal ini?
Dan sesungguhnya apakah hakekatnya itu?

Yang demikian ini merupakan pertanyaan di bidang ontologi. Selanjutnya dapat


menyababkan pertanyaan-pertanyaan lain seperti: hubungan apakah yang terdapat
di antara berbagai bagian dari keyataan dan bagaimanakah caranya kenyataan itu
berubah? Pernyataanpernyataan semacam ini di acap kali dinamakan pertanyaan-
pertanyaan ‘di bidang kosmologi’, sebab menyangkut ketertiban serta tatanan
kenyataan, dan bukan hakekatnya yang terdalam.

B. Ontologi kuantitatif dan kualitatif

Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua macam sudut
pandang. Orang mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau jamak?” yang
demikian ini merupakan pendekatan secara kauntitatif. Atau orang dapat juga
mengajukan pertayaan, “dalam bab terahir, apakah yang merupakan kenyataan itu?”
yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan
tertentu, segenap masalah dibidang ontologi dapat dikembalikan kepada sejumlah
pertanyaan yang bersifat umum, seperti “bagaimanakah cara kita hendak
membicarakan kenyataan?”

Kiranya jelas, penyifati-penyifati yang satu dan sama dapat diberikan kepada
segenap segi kenyataan, maka kenyataan itu tunggal. Kesimpulan diatas dapt
ditarik, karena juga terdapat dua bagian kenyataan yang berbeda-beda, maka
keadaannya yang berbeda-beda itu, pastilah ada salah satu penyifatan yang tidak
dapat diberikan kepada seluruh yang ada.

4
C. Istilah-istilah dasar dalam bidang ontologi

Sebagaimana telah dikatakan filsafat dapat dipandang sebagai sejenis bahasa


yang bertugas sebagai alat yang membahas segala sesuatu. Sesuai dengan
pendapat ini, maka usaha pertama untuk memahami ontologi ialah menyusun daftar
dan memberikan keterangan mengenai sejumlah istilah dasar yang digunakan di
dalamnya.

Di antara istilah-istilah terpenting yang terdapat dalam bidang antologi ialah: yang-
ada (being), kenyataan (reality), eksistensi (existence), perubahan (change), tunggal
(one), jamak (many). Pertama-tama akan dibahas adalah isi atau makna yang
terkandung oleh istilah-istilah tersebut, termasuk di dalamnya, sejumlah pernyatan
yang menggunakan istilah-istilah tadi.[4]

3. Aspek Ontologi (Hakekat Jenis Ilmu Pengetahuan)

ontologi, dalam bahasa Inggris ‘ontology’, berakar dari bahasa yunani ‘on’ berarti
ada, dan ‘ontos’ berarti keberadaan. Sedangkan ‘logos’ berarti pemikiran. Jadi,
antologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaan. Selanjutnya
menurut A.R. Lacey, antologi diartikan sebagai “a central part of metaphisics”
(bagian sentral dari metafisika). Sedangkan metafisika diartikan sebagai “that which
comes after ‘physics’,………the study of nature in generla”. (hal yang hadir setelah
fisika,………..study umum mengenai alam). Dalam metafisika, pada dasarnya
dipersoalkan mengenai substansi atau hakikat alam semesta. Apakah alam semesta
iniberhakikat monistik atau pluralistic, bersifat tetap atau berubah-ubah, dan apakah
alam semesta ini merupakan kesungguhan (actual) atau kemungkinan (potency).

Beberapa karekteristik ontology seperti diungkapkan oleh Bagus, antara lain dapat
disederhanakan sebagai berikut

a. Ontologi adalah study tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial
dari yang ada dalam dirinya sendirinya, menurut bentuknya yang paling abstrak.

b. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam
arti seluas mungkin, dengan menggunakan katagori-katagori seperti: ada atau
menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau
eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan, dan sebagainya

c. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang
ada, yaitu yang satu, yang absolute, bentuk abadi, sempurna, dan keberadaan
segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-nya.

d. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu,
apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya.[5]

5
Seperti telah diungkap diatas, hakikat abstrak atau jenis menentukan kesatuan
(kesamaan ) dari berbagai macam jenis, bentuk dan sifat hal-hal atau barang-barang
yang berbeda-beda dan terpisah-pisah,. Perbedaan dan keterpisahan dari orang-
orang bernama Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya, terikat dalam satu
kesamaan sebagai manusia. Manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda lain
yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, tyersatukan dengan kesamaan jenis sebagai
makhluk. Jadi, hakikat jenis dapat dipahami sebagai titik sifat abstrak tertinggi
daripada sesuatu hal (an ultimate nature of a thing). Pada titik abstrak tertinggi inilah
segala macam perbedaan dan keterpisahan menyatu dalam subtansi dalam filsafat,
study mengenai hakikat jenis atau hakikat abstrak ini masuk kedalam bidang
metafisika umum (general metaphisics) atau ontology. Oleh sebab itu, pembahasan
tentang hakikat jenis ilmu pengetahuan berarti membahas ilmu pengetahuan secara
ontologis. Persoalannya adalah sejauh mana fakta perbedaan dan keterpisahan ilmu
pengetahuan ini merupakan kesungguhan (actus) atau kemungkinan (potency),
dalam arti seharusnya ilmu pengetahuan itu tentang pluralistic atau monolistik

Secara ontologis, artinya secara metafisika umum, objek materi yang dipelajari
didalam pluralitas ilmu pengetahuan, bersifat monistik pada tingkat yang paling
abstrak. Seluruh objek materi pluralitas ilmu pengetahuan, seperti manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan dan zat kebendaan berada pada tingkat abstrak
tertinggi yaitu dalam kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk. Kenyataan itu
mendasari dan menentukan kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan. Dengan kata lain,
pluralitas ilmu pengetahuan berhakikat satu, yaitu dalam kesatuan objek materinya.

Disamping objek materi, keradaan ilmu pengetahuan juga lebih ditentukan oleh
objek forma. Objek forma ini sering dipahami sebagai sudut atau titik pandang (point
of view), selanjutnya menentukan ruang lingkup study (scope of the study).
Berdasarkan ruang lingkup studi inilah selanjutnya ilmu pengetahuan berkembang
menjadi plural, berbeda-beda dan cenderung saling terpisah antara satu dengan
yang lain. Berdasarkan pada objek forma, selanjutnya ilmu pengetahuan cenderung
dikembangkan menjadi plural sesuai dengan jumlah dan jenis bagian yang ada
didalam objek meteri. Dari objek materi yang sama dapat menimbulkan cabang-
cabang ilmu pengetahuan yang plural dan berbeda-beda. Dari objek materi manusia,
misalnya: melahirkan ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu
pendidikan dengan ranting-rantingnya. Dari objek materi alam, melahirkan ilmu
fisika, ilmu kimia, ilmu biologi, dan matematika dengan ranting-rantingnya.

Jadi secara ontologis, hakikat pluralitas ilmu pengetahuan menurut perbedaan


objek forma itu tetap dalam kesatuan system, baik “interdisipliner” maupun
“multidisipliner”. Interdisipliner artinya keterkaitan antar pluralitas ilmu pengetahuan
dalam objek materi yang sama, dan multidisipliner artinya keterkaitan antar pluralitas
ilmu pengetahuan dalam objek materi yang berbeda.

6
Berdasarkan kedua system tersebut, perbedaan antar ilmu pengetahuan justru
mendapatkan validitasnya, Tetapi secara ontologios pemisahan atas perbedaan ilmu
pengetahuan yang berbeda-beda berkonsekuensi negative berupa perilaku disorder
(pengrusakan) terhadap realitas kehidupan .disamping, pendekatan kuantitatif
menurut objek materi dan objek forma terhadap pemecahan masalah hakikat ilmu
pengetahuan, secara ontologis masih ada pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan
kualitatif, persoalan yang sama, yaitu aspek ontology ilmu pengetahuan dengan
persoalan hakikat keberadaan pluralitas ilmu pengetahuan, dapat digolongkan
kedalam tingkat-tingkat abstrak universal, teoretis potensial dan konkret fungsional.
[7]

Pada tingkat abstrak universal, pluralitas ilmu pengetahuan tidak tampak. Pada
tingka ini yang menampak adalah ilmu pengetahuan itu satu dalam jenis, sifat dan
bentuknya didalam ilmu pengetahuan ‘filsafat’. Karena filsafat memandang suatu
objek materi menurut seluruh segi atau sudut yang ada didalamnya.dari keseluruhan
segi itulah filsafat mempersoalakan nilai kebenaran hakiki objek materinay, yaitu
kebenaran universal yang berlaku bagi semua ilmu pengetahuan yang berbeda
dalam jenis, sifat dan dalam bentuk yang bagaimanapun. Lebih dari itu, bagi filsafat,
perbedaan objek materi itu hanyalah bersifat aksidental, bukan substansial.
Bagaimanapun perbedaan objek materi, tetap dalam satu system yang tak
terpisahkan, yaitu tak terpisahkan dalam substansi mutlak (causa prima). Didalam
causa prima inilah kebenaran universal tertinggi yang bersifat demikian, maka
meliputi pluralitas kebenaran, dan berfungsi sebagai sumber dari segala sumber
kebenaran.

Selanjutnya, pada tingkat teoreti potencial, pluralitas ilmu pengetahuan mulai


tampak. Pada tingkat teoretis, boleh jadi pluralitas ilmu pengetahuan masih berada
dalam satu kesatuan system. Suatu teori berlaku bagi banyak jenis ilmu
pengetahuan serumpun, tetapi tidak berlaku bagi banyak jenis ilmu
pengetahuanyang berlainan rumpun. Teori ilmu pengetahuan social, cenderung
tidak dapat digunakan dalam rumpun ilmu pengetahuan alam, karena perbedaan
watak objek materi. Manusia dan masyarakat, sebagai objek materi ilmu
pengetahuan social, berpotensi labil dan cenderung berubah-ubah, sedangkan
badan-badan benda sebagai objek materi ilmu pengetahuan alam berpotensi stabil
dan cenderung tetap. Karena itu, teori ilmu pengetahuan social cenderung berubah-
ubah menurut dinamika eksistensi kehidupan manusia dan masyarakat, dan teori
ilmu pengetahuan alam cenderung bersifat tetap.

Kemudian, pada tingkat praktis fungsional, pluralitas ilmu pengetahuan justru


mendapatkan legalitas akademik. Karena pada tingkat ini, ilmu pengetahuan dituntut
untuk memberikan kontribusi praktis secara langsung terhadap upaya reproduksi
demi kelangsungan eksistensi kehidupan manusia.

7
Pada tingkat ini, kebenaran teoretis potensial disusun dalam suatu system
tekhnologis, sehingga membentuk tekhnologi yang siap memproduksi barang dan
jasa sesuai dengan kebutuhan manusia dan masyarakat. Pada tingkat praktis
fungsional ini, pluralitas dalam hal perbedaan dan keterpisahan ilmu pengetahuan,
tersatukan dalam suatu system tekhnologi, yang semata-mata bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan demi kelangsungan eksistensi kehidupan.[8]

4. Aliran-aliran dalam Ontologi

A. Ontologi Yang Bersahaja

Kebanyakan orang setidak-tidaknya mengadakan pembedaan antara barang-


barang yang dapat dilihat, diraba, yang tidak bersifat kejasmanian atau yang
dipahamkan ‘jiwa’. Kadang kadang orang kebanyakan menjumpai mereka yang
berpendirian bahwa sesungguhnya jiwa itu tidak ada, yang ada dalam kenyataannya
ialah barang kejasmanian, pendirian yang demikian ini tidak begitu diperhatikan,
demi pertimbangan keselamatan diri mereka. Tapi kadang mereka sangat resah
akan ajaran-ajaran semacam itu. Mungkin mereka sesekali memaki-maki dengan
keras para penganut paham materialisme tersebut.

B. Ontologi Kuantitatif dan Kualitatif

Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua macam sudut
pandang. Orang dapat mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau jamak?” yang
demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan
pertanyaan, “dalam babak terakhir, apakah yang merupakan kenyataan itu?’ yang
demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan tertentu,
segenap masalah dibidang ontology dapat dikembalikan kepada sejumlah
pertanyaan yang bersifat umum, seperti “bagaimanakah cara kita hendak
membicarakan kenyataan”.[9]

C. Ontologi Monistik

Lama berselang diyunani kuno, Parmenides mengatakan, kenyataan itu tunggal


adanya, dan segenap keanekaragaman, perbedaan serta perubahan, bersifat semu
belaka. Dewasa ini system monistik seperti itu tidak umum dianut orang. Karena,
justru perbedaanlah yang merupakan katagori dasar segenap kenyataan yang ada
yang tidak dapat disangkal lagi kebenarannya. Tetapi, ada juga orang-orang yang
berpendirian bahwa pada dasarnya segala sesuatu sama hakekatnya. Pendirian
yang demikian ini dianut oleh para pendukung paham monisme dewasa ini.yaitu
kaum idealism dan kaum materialisme

8
Sesungguhnya, yang tersngkut dalam hal ini ilah masalah terdapat atau tidaknya
macam-macam kenyataan yang berbedah-bedah. Sudah tentu jika kita mengatakan
segala sesuatu merupakan kenyataan, maka sampai sejauh itu memang segala
sesuatu sama. Perbedaan yang pokok diantara par penganut monisme dengan para
pengenut non monisme ialah dalam sikap mereka masing-masing yang menerima
atau menolak pernyataan.[10]

5. Ontologi Penyelesaian Masalah

A. Naturalisme

kejadian sebagai katagori pokok.William R. Dennis seorang pengenut paham


naturalisme dewasa ini mengatakan, naturelisme modern-ketika berpendirian bahwa
apa yang di namakan kenyataan pasti bersifat kealaman-beranggapan bahwa
katagori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan ialah kejadian.
Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusun
kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami oleh manusia biasa. Hanya
satuan-satuan semacam itulah yang merupakan satu-satunya penyusun dasar bagi
segenap hal yang ada.

Yang nyata pasti bereksistensi.Ada dua macam kesimpulan yang segera dapat
ditarik dari pendirian di atas . pertama, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang
dan waktu tidak mungkin merupakan kenyataan. Kedua apa pun yang di anggap
tidak mungkin untuk ditangani dengan menggunakan metode-metode yang
digunakan dalam ilmu-ilmu alam, tidak mungkin merupakan kenyataan. Ini bukan
hanya berarti bahwa yang bereksistensi bukan merupakan himpunan bawahan dari
kenyataan melainkan bahwa kedua himpunna tersebut persis sama artinya.[11]

B. Materialisme

Yang terdalam ialah materi.seorang naturalisme mendasarkan ajarannya pada


pengertian “alam”, berusaha melampaui pengertian “alam” dan mendasar diri pada
macam substansi atau kenyataan terdalam yang dinamakan “materi”. Sebelum
berkembangnya fisika modern dengan hasil panyelidikannnya yang menunjukkan
bahwa substansi reniks yang keras, bulat serta tidak tertimbus yaitu atom ternyata
masih dapat dipecahkan lebih lanjut, maka substansi semacam itulah yang
dipandang sebagai materi. Kaum materalisme pada masa lampau memandang alam
semesta tersusun dari zat-zat renik yang terdalam tersebut dan memandang alam
semesta dapat diterangkan berdasarkan hukum-hukum dinamika. Berangakta dari
pemahaman itu kaum materialis dewasa ini mengenal rumus yang paling
mengejutkan di dalam fisika yaitu E=MC2, yang menggambarkan bahwa tenaga E
kedudukannya dapat saling dipertukarkan dengan massa M. [12]

9
C. Edealisme

Definisi Edialisme.Para pengatutu faham naturialisme dan materialisme


mengatakan bahwa istilah-istilah yang mereka sarankan (meteri, alam, dsb). Sudah
cukup untuk memberikan keterangan mengenai segenap kenyataan. Namun
kiranya ada banyak orang benar-benar dapat merasakan bahwa ada hal-hal serat
gejala-gejala yang tidak dapat semata-mata diterangkan berdasarkan penegertian
alam lebih-lebih sekedar berdasarkan pengertian materi. Kiranya ada hal-hal seperti
pengelaman nilai, makna dan sebagainya yang tidak akan mengandung makna,
kecuali jika ada usaha untuk memperkenalkan istilah-istilah yang lain, atau
merupakan tambahan terhadap istilaih-istilah yang bersifat naturalistik.

Alam sebagai sesuatu bersifat rohani.Secara umum dapat dikatakan ada dua
macam kaum idealis; kaum spiritualis dan kaum dualis. Para pengatut paham
spiritualisme (jangan di campur adukkan dengan ilmu pengetahuan semu yang
disebut spiritisme) berpendirian bahwa segenap tatanan alam dapat di kembalikan
kepada atau berasal dari sekumpulan roh yang beraneka ragam dan berbeda-beda
derajatnya.

Memang mereka memandang alam sebagai keseluruhan yang bertingkat-tingkat


dan diri kita masing-masing sebagai pusat-pusat rohani yang berkesinambungan
dengan tingkat-tingkat yang lain. Sebab, kita sendiri merupakan pusat-pusat dan
berkesinambungan dengan tingkat-tingkat yang lain dan dapat disimpulkan bahwa
bahwa tingkat-tingkat yang lain pun tentu merupakan pusat rohani pula. Apa yang
kita namakan dunia material juga merupakan dunia dengan pusat-pusat rohani yang
mempengaruhi alat-alat indrawi kita.[13]

D. Dualisme

Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam
pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa
fenomena mental adalah entitas non-fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga
berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan
spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan.

Plato dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa “kecerdasan”


seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan
dengan fisik.

Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes
(1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes
adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran
dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia
adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang
ada sekarang.

10
Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan
fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis
materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis materilasme emergent
sehingga akan hanya bertentangan dengan materialisme non-emergent.[14]

E. Agnostisisme

Agnotisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari
suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika,
keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal
pikiran manusia yang terbatas. Seorang agnostik mengatakan bahwa adalah tidak
mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif pengetahuan tentang “Yang-
Mutlak”; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif
dimungkinkan, namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki
informasi yang dapat diverifikasi.

Dalam kedua hal ini maka agnostikisme mengandung unsur skeptisisme.


Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (tahu) dan a (tidak). Arti
harfiahnya “seseorang yang tidak mengetahui”.Agnostisisme tidak sinonim dengan
ateisme.[15]

B. EPISTEMOLOGI

1.Pengertian Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari bahasa Inggeris ‘epistemology’ yang merupakan


gabungan dua perkataan yunani iaitu ‘episteme’ yang bermaksud “pengetahuan”
dan ‘logos’, yang bermaksud “ilmu, sains, kajian, teori dan pembahasan”. 16
Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang suatu
hakikat, makna, kandungan, sumber dan proses ilmu. Jadi dapat dikatakan bahwa
epistemologi itu berarti “pembahasan tentang ilmu pengetahuan”. 17

Istilah epistemologi juga dikaitkan dengan konsep ilmu yaitu suatu pengetahuan
yang membawa kepada pemahaman kebenaran. Oleh karena itu pembahasan
epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas asal-usul,
struktur, metode dan keabsahan ilmu.

11
2. Pemikiran Epistemologi para Filosof Yunani dan Barat.

A.Filosof Yunani

Sejak awal, para filosof pra-Sokratik tidak memberikan perhatian pada cabang
filsafat epistemologi, sebab mereka memusatkan perhatian pada alam dan
kemungkinan perubahannya, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam. Mereka
mengandaikan begitu saja, bahwa pengetahuan mengenai itu mungkin, meski
beberapa di antara mereka menyarankan bahwa pengetahuan tentang struktur
kenyataan dapat lebih dimunculkan dari sumber-sumber tertentu, ketimbang
sumber-sumber lain. Heraclitus (535-475 SM), misalnya, menekankan penggunaan
indera, sementara Parmanides (540-475 SM) menekankan penggunaan akal. Meski
demikian, tidak seorang pun meragukan adanya pengetahuan tentang kenyataan
(realitas).38

Pengetahuan tentang “realitas” atau kebenaran obyektif mendapat momentum-nya


pada filsafat Socrates (469–399 SM). Menurutnya, ada kebenaran obyektif yang
tidak tergantung pada saya atau pada kita. Untuk membuktikannya, Socrates
menggunakan metode dialektika (berasal dari kata kerja Yunani dialegesthai, yang
berarti bercakap-cakap atau berdialog), yang terdiri dari induksi dan definisi.39 Yang
disebut pertama adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan yang khusus,
kemudian menyimpulkan pengetahuan yang umum, sedangkan yang disebut
belakangan tiada lain adalah pengertian umum. Di sini Socrates memunculkan
pengetahuan yang bersifat umum sebagai pengetahuan yang benar, dan
pengetahuan yang khusus sebagai pengetahuan yang kebenarannya relatif. Pada
abad 5 SM, muncul keraguan terhadap adanya kemungkinan itu. Mereka yang
meragukan manusia mengetahui realitas adalah kaum Shofis. Mereka
mempertanyakan, seberapa jauh kita benar-benar mengetahui kenyataan obyektif ?

Perkembangan selanjutnya, epistemologi mendapat bentuknya dalam sistem


pemikiran Plato (427-347 SM). Filosof Yunani ini, bahkan disebut-sebut sebagai
pencetus epistemologi atau the real originator of epistemology, karena ia telah
menguraikan masalah-masalah mendasar tentang pengetahuan. Apa itu
pengetahuan? Dimana pengetahuan diperoleh? Sejauhmanakah yang kita anggap
pengetahuan adalah benar-benar merupakan pengetahuan? Apakah indera
menghasilkan pengetahuan? Dapatkah budi memberi pengetahuan? Dan apakah
hubungan antara pengetahuan dengan keyakinan yang benar?.41

Plato menguraikan pemikirannya tentang epistemologi dan mengawalinya dengan


menegaskan bahwa realitas itu tidak berubah.Menurutnya, pengetahuan sejati
adalah apa yang disebut epistem, yakni pengetahuan tunggal dan tidak berubah
sesuai dengan idea-idea abadi.

12
Apa yang nampak di dunia ini hanyalah “bayangan” dari yang baka. Bayangan yang
bermacam-macam dan selalu berubah, sehingga kebenaran menurut Plato bersifat
apriori. Pandangan ini ingin menentukan apa kiranya yang mendahului adanya
segala kenyataan itu? Bagi Plato, benda indrawi bukanlah objek pengetahuan, tapi
objek opini. Juga pencerapan indrawi bukanlah pengetahuan, melainkan sekedar
opini, karena selalu dalam perubahan dan kemungkinan salah.42

Kemudian datang Aristoteles (384 SM), murid Plato, meneruskan pendapat


gurunya, tetapi dengan mengubah segi-segi mendasar. Aristoteles menetapkan
abstraksi sebagai ganti dari ingatan dan intuisi. Dalam proses abstraksi, pengertian
semakin meluas sejauh isi yang dapat disentuh dengan panca indera semakin
menipis. Illustrasi itu dapat dilihat dari urutan berikut : itik – burung – hewan –
makhluk hidup. Di sini pengertian tentang ―makhluk hidup‖ semakin meluas karena
semakin jauh dijangkau panca indera. Sebaliknya, pengertian ―itik‖ semakin
menyempit karena semakin dekat dari jangkauan panca indra. Dengan gambaran
ini, Aristoteles berangkat dari pengamatan dan penelitian aposteriori, karena segala
ungkapan-ungkapan ilmu terjadi sesudah pengamatan. Jadi, pengetahuan terjadi
jika subyek diubah di bawah pengaruh obyek. Artinya, bentuk-bentuk dari dunia luar
meninggalkan bekas di dalam ruang bathin, seperti halnya stempel meninggalkan
bekas pada kertas.43

Metode empirisme yang dibangun Aristoteles mendapat tanggapan dari para


filosof yang datang kemudian, seperti filosof renaissance Francois Bacon (1561-
1626 M).44 Filsafat Bacon mempunyai peranan penting dalam metode induksi dan
sistimatisasi prosedur ilmiah. Menurut Russel, dasar filsafat Bacon bersifat praktis,
yakni untuk memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui penyelidikan
ilmiah. Bacon, mengkritik filsafat Yunani yang lebih menekankan pada perenungan-
perenungan, dan akibat-nya filsafat Yunani tidak mempunyai nilai praktis bagi
kehidupan manusia.45

B. Filsof Barat Modern

Ada empat macam mazhab pemikiran epistemologi barat modern,

yakni :

a. Mazhab empirisme.

Menurut Bacon, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan berarti selama


ia tidak mempunyai kekuatan yang dapat membantu manusia merubah kepada
kehidupan yang lebih baik.

13
Francois Bacon, menulis, “Knowledge is power, it is not opinion to be held, but a
work to be done, and I am laboring to lay the foundation not of any sector of doctrine,
but of utility and power.”(Pengetahuan adalah kekuatan. Ia bukanlah suatu pendapat
melainkan suatu pekerjaan untuk dilakukan. Dan saya bekerja bukan untuk
meletakkan fondasi ajaran apapun, melainkan meletakkan fondasi kegunanaan dan
kekuatan pengetahuan)46

b. Mazhab rasionalisme.

Salah satu tokoh yang mempopulerkan mazhab ini adalah Rene Descartes (1596-
1650 M). Menurutnya, persoalan dasar filsafat pengetahuan, bukanlah bagaimana
kita dapat tahu, tetapi mengapa kita dapat membuat kekeliruan.47 Filosof yang
populer dengan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) ini mengatakan bahwa
salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak pasti adalah dapat
diragukan. Sehingga untuk mencapai kepastian, harus menempuh keraguan
metodis universal. Keraguan ini bersifat universal, karena direntang tanpa batas.
Artinya, usaha meragukan itu akan berhenti bila ada sesuatu yang tidak dapat
diragukan lagi. Usaha meragukan itu disebut metodik, karena keraguan yang
diterapkan di sini, merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif philosofis
untuk mencapai kebenaran. Bagi Descartes, kekeliruan tidak terletak pada
kegagalan melihat sesuatu, malainkan di dalam mengira tahu apa yang tidak
diketahuinya, atau mengira tidak tahu apa yang diketahuinya.48

Pemikiran epistemologi Descartes yang didasarkan kepada kebenaran apriori-rasio


ini mendapat sanggahan dari mazhab empirisme John Locke (1632-1704). Bagi
Locke, seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman, bukan dari ide-ide
bawaan apriori. John Locke yang terkenal sebagai pencetus teori tabula rasa (blank
teble) mengatakan bahwa jiwa manusia pada dasarnya kosong dan pengalamanlah
yang mengisi kekosongan tersebut. Dengan landasan ini, Locke menolak akal,
menolak innate ide, menolak clear and distint Descartes, adeguate idea Spinoza,
dan truth of reason Leibniz. Oleh karenanya, dalam pandangan Locke, gagasan
berasal dari dua sumber, yakni sensasi dan persepsi jiwa. Dan persepsi adalah
langkah dan tindakan pertama menuju pengetahuan. Di sini tampak Locke lebih
mementingkan pengetahuan indrawi, ketimbang lainnya.50

14
C.Mazhab kantinian.

Perkembangan berikutnya, muncul gagasan yang mensistesiskan antara rasional-


isme dan empirisme oleh Imanuel Kant (1724-1804). Filsafat Kant, bermaksud
membedakan antara pengetahuan yang murni dan tidak murni. Ia membersihkan
pengetahuan dari keterikatannya kepada segala penampakkan yang bersifat
sementara. Filsafat Kant dimaksudkan sebagai penyadaran atas kemampuan rasio
secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuannya untuk memberikan
tempat kepada kepercayaan. Inilah persolan yang mengarah pada problem
phenomena dan noumena. Setelah Kant, muncul pemikiran epistemologi positivistik
Auguste Comte (1798-1857). Filosof yang nama lengkapnya Isidore Auguste Marie
Francois Xavier Comte dikenal sebagai the father of positivisme, dengan Law of
three stages sebagai tesis utamanya.

Pencapaian terbesar Comte adalah keberhasilannya menggabungkan deduksi


rasional dan induksi empirik sebagai satu-satunya paradigma yang dapat dipegang
untuk menghasilkan pengetahuan yang benar. Karenanya, Comte mengajukan
capaian-capaian ilmiah sebagai “religion humanity.” (Aiken, 1957: 115).51 Filsafat
Comte berpangkal dari apa yang diketahui, yang faktual, dan yang positif. Apa yang
diketahui secara positif adalah segala yang tampak, dan karenanya Comte
membatasi filsafat dan pengetahuan kepada bidang-bidang gejala saja. Implikasi
pemikiran ini dengan sendirinya menolak dan memberangus metafisika.

d. Mazhab postivisme.

Mazhab ini lahir dari komunitas yang didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun
1924. Ia melahirkan pandangan baru yang disebut neo-positivisme atau positivisme
logis. Kemudian pada abad 20 Masehi, dominasi epistemologi positivistik mengalami
perkembangan baru dan mencapai kematangannya melalui kemunculan Vienna
Circle (lingkaran Wina), suatu komunitas intelektual yang terdiri dari sarjana-sarjana
ilmu pasti dan ilmu alam di Wina, Austria (Bertens, 1990: 166). Mereka memberi
batas pada kenyataan ―yang bermakna‖ (meaningful) dan ―tidak bermakna‖
(meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Di sini para sarjana
Wina mengajukan dua pertanyaan How do you know?, dan what do you mean?
Yang pertama dimaksudkan dengan ”how do you verify?”, sedangkan yang disebut
belakangan dimaksudkan dengan “berikanlah uraian atau analisis logis dari
pernyataan anda!” Dengan dua pertanyaan ini, mereka menolak semua ungkapan
tentang teologi atau hal-hal yang terkait dengan metafisika, seperti adanya Tuhan,
penciptaan, jiwa, dan lain-lain karena dianggap tidak bermakna.

15
Masalah-masalah filsafat juga dipandang semu, karena tidak didasarkan kepada
penggunaan bahasa yang bermakna, melainkan pada bahasa emosi dan perasaan
(emotional use of language). Maka, filsafat hanya memiliki tugas tunggal, yakni
memeriksa susunan logis bahasa ilmiah, baik dalam perumusan penyelidikan ilmu
alam, maupun dalam bidang logika dan matematika.

Di sini epistemologi dipandang sebagai logika ilmu (the logic of science).52


Gagasan para sarjana Wina tersebut ditentang keras oleh Karl Raimund Popper
(lahir di Wina 1902). Popper menentang pembedaan antara ungkapan yang
bermakna (meaningful) dari yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria
dapat dan tidaknya dibenarkan secara empiris. Pembedaan itu digantikan oleh
Popper dengan pembedaan ungkapan “ilmiah” dan “tidak ilmiah‖. Pokok pembedaan
terletak pada ada dan tidak adanya dasar empiris bagi ungkapan-ungkapan
bersangkutan. Maka, ungkapan yang tidak ilmiah, mungkin sekali amat bermakna
(meaningful). Di sini kriteria ilmiah dan tidak ilmiah adalah falsifibilitas.Suatu
ungkapan dinyatakan ilmiah jika diklasifikasikan secara empiris. Dengan kriteria ini,
pernyataan metafisis memang tidak ilmiah, tetapi bukan berarti ia tidak bermakna.
Sejarah membuktikan bahwa spekulasi metafisis telah menjadi sumber ilmu
empiris.53

Setelah Popper, epistemologi mengalami perkembangan baru, terutama dengan


munculnya Thomas Kuhn yang menulis The Structure of Scientific Revolutions tahun
(1962). Kuhn mengatakan, filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada sejarah ilmu baru.
Dengan begitu, filsafat ilmu bisa mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah
sesungguhnya. Konsep sentral Kuhn adalah paradigma.

Menurutnya, ilmu yang sudah matang dikuasai oleh paradigma tunggal.


Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal. Paradigma
akan diperiksa dan dipertanyakan orang manakala seorang ilmuan dalam
penelitiannya menjumpai gejala-gejala yang tidak bisa diterangkan melalui teorinya.
Ketika itu ilmuan dapat mengembangkan paradigma tandingan yang bisa
memecahkan masalah dan membimbing penelitian berikutnya. Pendapat Kuhn
mengimplikasikan bahwa ilmu tidak berkembang secara kumulatif dan evolusioner,
melainkan secara revolusioner. Dengan begitu, ilmu pengetahuan tak lepas dari
faktor ruang dan waktu. Inilah penyerangan Kuhn terhadap pendirian positivistik-
rasionalistik.

Tampilnya Kuhn dengan gagasan revolusi ilmu pengetahuan yang ditandai dengan
adanya perubahan paradigma ternyata masih menyisakan kritik bagi Imre Lakatos,
pemikir asal Hungaria yang lahir tahun 1922. Imre Lakatos menawarkan “metodologi
program riset ilmiah” sebagai evaluasi dan kritik dari kekurangan yang ditinggalkan
Kuhn.

16
Tawaran Lakatos ini mendapat momentumnya sejak tahun 1965 ketika ia
mempertemukan gagasan Popper dan Kuhn. “Metodologi Program Riset” ia
maksudkan sebagai struktur metodologis yang memberikan bimbingan bagi riset
masa depan dengan cara positif dan negatif. Dalam program riset ini terdapat
aturan-aturan metodologis yang disebut dengan “heuristik”, yaitu kerangka kerja
konseptual sebagai konsekwensi dari bahasa.

Heuristik adalah suatu keharusan untuk melakukan penemuan-penemuan melalui


penalaran induktif dan percobaan-percobaan sekaligus menghindarkan kesalahan
dalam memecahkan masalah. Menurut Lakatos, ada tiga elemen yang harus
diketahui dalam kaitannya dengan program riset, yaitu : Pertama, inti pokok (hard-
core), yakni asumsi dasar yang menjadi ciri program riset ilmiah. Inti pokok ini
dilindungi dari ancaman falsifikasi. Kedua, lingkaran pelindung (protective belt) yang
terdiri dari hipotesa-hipotesa bantu (auxiliary hypothese) dalam kondisi-kondisi awal.
Elemen kedua ini harus menahan berbagai serangan, pengujian dan memperoleh
penyesuaian, bahkan perubahan dan pergantian untuk mempertahankan hard-core.
Dalam aturan metodologi riset, lingkaran pelindung ini disebut “heuristik positif” yang
berfungsi menerangkan dan meramalkan fenomena-fenomena nyata. Ketiga,
serangkaian teori (a series theory), yaitu keterkaitan teori dimana teori berikutnya
merupakan akibat dan klausul bantu yang ditambahkan dari teori sebelumnya.54

Dengan demikian, bagi Lakatos, yang harus dinilai ilmiah atau tidak ilmiah
bukanlah teori tunggal, melainkan rangkaian beberapa teori. Dalam konteks ini,
Lakatos sepenuhnya mendukung objektifitas Popper dan menghendaki program
riset ilmiah menjadi pandangan objektif dan mendistorsi refleksi terhadap pemikiran
manusia, baik yang menciptakan maupun yang memahami. Selanjutnya,
kemunculan ilmu pengetahuan biologi (yang mengelaborasi gejala kehidupan
material) dan fisika (yang mengelaborasi benda-benda mati) sebagai implikasi pola
positivistik Comte yang diterapkan pada ilmu-ilmu alam, yang kemudian disusul oleh
program riset ilmiah ala Lakatos, ternyata tidak serta merta memberikan kepuasan
bagi para ilmuan, sosiolog, dan filosof dalam mengembangkan pengetahuan.
Faktanya positivisme ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan Auguste Comte
menyisakan persoalan serius terkait dengan hilangnya peran subjek. Maka
muncullah upaya metodologis dengan tujuan mengembalikan peran subjek ke dalam
proses keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama
menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subyek yang menafsirkan
obyeknya sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu
fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.

17
C. AKSIOLOGI

Aksiologi merupakan salah satu bagian dari kajian filsafat ilmu yang membahas
tentang kegunaan atau manfaat dari ilmu pengetahuan. Kajian terhadap ilmu
pengetahuan telah menjadi bagian terpenting dari kehidupan sosial manusia. Maju
mundurnya suatu bangsa atau masyarakat tertentu sangat dipengaruhi oleh sejauh
mana bangsa atau masyarakat itu menguasi ilmu pengetahuan. Semakin sempurna
ilmu pengetahuan yang dimiliki, maka semakin modern pula kehidupan masyarakat
yang bersangkutan, baik modernisasi ekonomi, politik, agama, ilmu pengetahuan
dan teknologi, maupun sosial budaya.

Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axio dan logos. Axio artinya pantas
atau layak sedangkan logos. Jadi, aksiologi merupakan suatu teori nilai yang
berhubungan dengan kegunaan dari pengetahuan yang telah diperoleh.

Teori aksiologi memiliki ranah di antaranya yaitu tentang etika dan estetika.
Apabila kita sudah memahami dan mengetahui tentang suatu ilmu pengetahuan
kemudian dilanjutkan dengan kajian aksiologi, aksiologi ini yang akan membahas
tentang manfaat yang didapatkan dari ilmu pengetahuan tersebut yang
didapatkan.Apakah ilmu pengetahuan tersebut dapat memberikan manfaat atau
malah sebaliknya. Jadi jika dikaitkan dengan 2 contoh di atas yaitu meja dan kursi,
bisa dikaitkan apakah pengetahuan tentang meja dan kursi tersebut dapat
memberikan manfaat di dalam kehidupan sehari-hari kita. Inilah contoh ontologi,
epistemologi, dan aksiologi yang saling berhubungan dalam kehidupan sehari-hari.

 KEGUNAAN/MANFAAT ILMU

a. Pada dasarnya, suatu ilmu dikatakan bermanfaat apabila dapat memberikan/


mendatangkan kesejahteraan, kemaslahatan dan kemudahan bagi kehidupan
manusia. Dalam konsep ilmu dakwah kriteria ini disebut Al-Amr bi al-ma’ruf, yaitu
serangkat upaya yang dilakukan ilmuan (da’i) dalam rangka membina kesejahteraan
dan membangun kemaslahatan sosial. Dalam realitas sosial didapatkan data bahwa
ilmu pengetahuan memiliki andil cukup besar bagi kemajuan manusia. Yuyun
Suriasumantri menjelaskan, terdapat kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa
peradaban manusia sangat berhutang budi pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa
dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai
kemudahan dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman
pendidikan dan komunikasi.

b. Ilmu dikatakan bermanfaat apabila dapat memberikan informasi tentang


kebenaran, baik kebenaran indrawi, kebenaran ilmiah maupun kebenaran agama.
Kebenaran indrawi adalah kebenaran yang hanya didasarkan pada hasil
pengamatan indrawi,

18
seperti hasil observasi terhadap suatu fenomena yang muncul dalam kehidupan
sosial. Indra merupakan salah satu alat untuk menyerap segala objek yang ada di
luar diri manusia. Dalam kajian filsafat, aliran yang mengedepankan indra untuk
menangkap fenomena disebut dengan realisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa
semua yang diketahui hanyalah kenyataan.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil adalah filsafat merupakan pengetahuan yang
membahas tentang segala fenomena yang ada di dalam kehidupan kita yang
kemudian dijabarkan secara teoritits dan mendalam.Selain definisi filsafat itu sendiri,
filsafat juga memiliki pokok-pokok kajian seperti Ontologi yang merupakan ilmu yang
membahas tentang hakikat yang ada,Epistomologi yang merupakan ilmu yang
membahas tentang suatu hakikat makna,kandungan,sumber dan proses ilmu, dan
yang terakhir ada Aksiologi yang merupakan salah satu ilmu yang membahas
tentang kegunaan atau manfaat dari ilmu pengetahuan.Dengan demikian,filsafat
merupakan ilmu yang memerlukan pendalaman dan pemikiran yang kritis dalam
mempelajari ilmu tersebut.

19
DAFTAR PUSTAKA

Adams & Co., h. 94 dan 161. Lihat juga Resse (1980), op.cit., h. 151-152 dan h. 283.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum ..., op. cit., hlm. 12

C. Verhaak, Filsafat Ilmu ..., op. cit., hlm. 154

C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Atas Cara Kerja Ilmu, Jakarta :
Gramedia

Cambridge University Press, 1974, hlm. 135

Chatib Saefullah, Pemikiran Seyyed Hossein Nasr Tentang Epistemologi, Tesis,


Jakarta

Henry D. Aiken, The Age of Ideology, New York : The New American Library of
World

http://alicia-komputer.blog.friendster.com/2008/10/filsafat-ilmu-dan-logika

http://alicia-komputer.blog.friendster.com/2008/10/filsafat-ilmu-dan-logika

http://amrull4h99.wordpress.com/2009/10/01/ontologi-metafisika-asumsi-dan-
peluang/

http://amrull4h99.wordpress.com/2009/10/01/ontologi-metafisika-asumsi-dan-
peluang/

http://id.wikipedia.org/wiki/ Agnostisism

http://id.wikipedia.org/wiki/ Agnostisisme.com

http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme

http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme.com

http://umum.kompasiana.com/2010/01/24/ontologi/

http://umum.kompasiana.com/2010/01/24/ontologi/

IBID,hal:112-114

IBID,Hal:115

20
IBID,Hal:115-117

IBID,Hal:187

IBID,Hal:208

IBID,Hal:212

Ibid., 10

IBID,Hal:216

Imre Lakatos dan Alan Musgrave (ed.), Critisme and the Growth of Knowledge,
Cambridge :

Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research


Programmes”, dalam

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX : Prancis, Jakarta : Gramedia, 1996, hlm. 320

Kattasoff .O Louis,2004. Pengantar filsafat, Yogyakarta :Tiara Wacana

Knowledge”, Yogyakarta : Kanisius, 1994, hlm. 28-29

Literature Inc., 1957, hlm. 61

Louis o. Kattasoff,2004,pengantar filsafat,Tiara Wacana,Yogyakarta,Hal:186

Louis o. Kattsoff, pengantar FILSAFAT, 2004. Hal: 185-186

M. A. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern, Bandung : Alumni, 1986, hlm. 25

M. J. Langiveld, Menuju Pemikiran Filsafat, Jakarta : Pustaka Sarjana, 1979, hlm. 73

Magistes PPs IAIN Jakarta, 1995, hlm. 59

Muhammad Al-Musya‘sya‘, Beirut : Al-Ma‘ârif, tt, hlm. 162

Muhammad Zainiy Uthman (1998), “Latāif al-Asrār Li Ahl Allāh al-Atyar Karangan
Nūr al-Din al-Raniri: Satu Tinjauan Epistemologi Dalam Falsafah
Epistemologinya” dalam Hashim Awang et.al (eds.), Pengajian Sastera
dan Sosiobudaya Melayu Memasuki Alaf Baru, Kuala Lumpur:
Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya, h. 408.

21
P. Hardono Hadi, Epistemologi, saduran dari Kenneth T. Gallagher, “The Philosophy
of

Paul Edward (Ed.), The Encyclopedia ..., op. cit., hlm 12

Paul Edward (Ed.), The Encyclopedia of Philoshophy, New York-London : Mac


Millan

Popper”, Vol. I

Publishing Co. Inc, 1972, hlm. 9

Pustaka Utama, 1991, hlm. 9-11

Reese, William L. (1980), Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and


Western Thought, New Jersey: Humanities Press, h. 151.

Runes, Dagobert D. (1982), Dictionary Of Philosophy (1982), Totowa, New Jersey:


Little-Field,

Suhartono Suparlan, 2005. Filsafat Ilmu pengetahuan. Jogjakarta :AR-RUZZ MEDIA


194

Suparlan Suhartono,2005,filsafat ilmu pengetahuan,AR-RUZZ MEDIA


194,Jogjakarta,hal:111

Victor Kraft, “Popper and the Vienna Circle” dalam P. Schilp (ed.) “The Philosophy of
Karl

Will Durant, Qishah al-Falsafah Min Aflathon ilâ John Dewey, alih bahasa Fathullah

22

Anda mungkin juga menyukai