Disusun Oleh :
Kelompok 4
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami dalam mengerjakan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalwat dan salam juga
kami curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat tahu lebih mendasar dan lebih
mendalam tentang sistem pemikiran filsafat. Penulis juga menyajikan pengertian
filsafat, aspek kajian filsafat, dan kesimpulan. Makalah ini disusun oleh penyusun
dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun dari
luar. Namun dengan kesabaran dan utamanya dengan pertolongan Tuhan akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan.
Kelompok 4
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.....................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................1
A. ONTOLOGI...................................................................................................2
B. EPISTEMOLOGI........................................................................................11
C. AKSIOLOGI................................................................................................18
3.1 KESIMPULAN................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata
serapan dari bahasa Arab: فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk, dan
berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia =
kebijaksanaan, kearifan), sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di
Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia
seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
1
Secara tradisional, istilah "filsafat" mengacu pada badan (atau ibu) dari
segala pengetahuan. Dalam pengertian ini, filsafat sangat erat kaitannya dengan
agama, matematika, ilmu alam, pendidikan, dan politik. "Prinsip Matematika Filosofi
Alam", karya Newton pada tahun 1687 diklasifikasikan pada tahun 2000-an sebagai
buku fisika; ia menggunakan istilah "filsafat alam" karena istilah itu digunakan untuk
mencakup disiplin ilmu yang kemudian dikaitkan dengan ilmu pengetahuan
seperti astronomi, kedokteran, dan fisika.
1. PENGERTIAN ONTOLOGI
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada,
dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut
istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak. [1]
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin
tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah
ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :
c) bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud
yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari
pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek
ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang
menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan
alam kenyataan dan keberadaan.
2
Menurut Pandangan The Liang Gie
Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah
eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan:
Jarang terjadi sekali, si polon (orang kebanyakan) umpamanya, menjadi sadar apa
yang secara selayang pandang tampak sabagai makanan yang sedap, namun
setelah dicicipinya ternyata sebatang lilin dan sama sekali bukan makanan. Jika kita
menginginkan suatu istilah yang dapat diterapkan kepada orang kebanyakan
semacam itu, kiranya mereka dapat dinamakan para penganut paham pluralisme
yang bersahaja di bidang ontologi. Dikatakan bersahaja kerena segala sesuatu di
pandang dalam keadaan yang wajar. Dikatakan penganut paham pluralisme kerena
perpendirian ada banyak subtansi yang terdalam.
3
A. Ontologi yang bersahaja
Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua macam sudut
pandang. Orang mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau jamak?” yang
demikian ini merupakan pendekatan secara kauntitatif. Atau orang dapat juga
mengajukan pertayaan, “dalam bab terahir, apakah yang merupakan kenyataan itu?”
yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan
tertentu, segenap masalah dibidang ontologi dapat dikembalikan kepada sejumlah
pertanyaan yang bersifat umum, seperti “bagaimanakah cara kita hendak
membicarakan kenyataan?”
Kiranya jelas, penyifati-penyifati yang satu dan sama dapat diberikan kepada
segenap segi kenyataan, maka kenyataan itu tunggal. Kesimpulan diatas dapt
ditarik, karena juga terdapat dua bagian kenyataan yang berbeda-beda, maka
keadaannya yang berbeda-beda itu, pastilah ada salah satu penyifatan yang tidak
dapat diberikan kepada seluruh yang ada.
4
C. Istilah-istilah dasar dalam bidang ontologi
Di antara istilah-istilah terpenting yang terdapat dalam bidang antologi ialah: yang-
ada (being), kenyataan (reality), eksistensi (existence), perubahan (change), tunggal
(one), jamak (many). Pertama-tama akan dibahas adalah isi atau makna yang
terkandung oleh istilah-istilah tersebut, termasuk di dalamnya, sejumlah pernyatan
yang menggunakan istilah-istilah tadi.[4]
ontologi, dalam bahasa Inggris ‘ontology’, berakar dari bahasa yunani ‘on’ berarti
ada, dan ‘ontos’ berarti keberadaan. Sedangkan ‘logos’ berarti pemikiran. Jadi,
antologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaan. Selanjutnya
menurut A.R. Lacey, antologi diartikan sebagai “a central part of metaphisics”
(bagian sentral dari metafisika). Sedangkan metafisika diartikan sebagai “that which
comes after ‘physics’,………the study of nature in generla”. (hal yang hadir setelah
fisika,………..study umum mengenai alam). Dalam metafisika, pada dasarnya
dipersoalkan mengenai substansi atau hakikat alam semesta. Apakah alam semesta
iniberhakikat monistik atau pluralistic, bersifat tetap atau berubah-ubah, dan apakah
alam semesta ini merupakan kesungguhan (actual) atau kemungkinan (potency).
Beberapa karekteristik ontology seperti diungkapkan oleh Bagus, antara lain dapat
disederhanakan sebagai berikut
a. Ontologi adalah study tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial
dari yang ada dalam dirinya sendirinya, menurut bentuknya yang paling abstrak.
b. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam
arti seluas mungkin, dengan menggunakan katagori-katagori seperti: ada atau
menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau
eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan, dan sebagainya
c. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang
ada, yaitu yang satu, yang absolute, bentuk abadi, sempurna, dan keberadaan
segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-nya.
d. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu,
apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya.[5]
5
Seperti telah diungkap diatas, hakikat abstrak atau jenis menentukan kesatuan
(kesamaan ) dari berbagai macam jenis, bentuk dan sifat hal-hal atau barang-barang
yang berbeda-beda dan terpisah-pisah,. Perbedaan dan keterpisahan dari orang-
orang bernama Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya, terikat dalam satu
kesamaan sebagai manusia. Manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda lain
yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, tyersatukan dengan kesamaan jenis sebagai
makhluk. Jadi, hakikat jenis dapat dipahami sebagai titik sifat abstrak tertinggi
daripada sesuatu hal (an ultimate nature of a thing). Pada titik abstrak tertinggi inilah
segala macam perbedaan dan keterpisahan menyatu dalam subtansi dalam filsafat,
study mengenai hakikat jenis atau hakikat abstrak ini masuk kedalam bidang
metafisika umum (general metaphisics) atau ontology. Oleh sebab itu, pembahasan
tentang hakikat jenis ilmu pengetahuan berarti membahas ilmu pengetahuan secara
ontologis. Persoalannya adalah sejauh mana fakta perbedaan dan keterpisahan ilmu
pengetahuan ini merupakan kesungguhan (actus) atau kemungkinan (potency),
dalam arti seharusnya ilmu pengetahuan itu tentang pluralistic atau monolistik
Secara ontologis, artinya secara metafisika umum, objek materi yang dipelajari
didalam pluralitas ilmu pengetahuan, bersifat monistik pada tingkat yang paling
abstrak. Seluruh objek materi pluralitas ilmu pengetahuan, seperti manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan dan zat kebendaan berada pada tingkat abstrak
tertinggi yaitu dalam kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk. Kenyataan itu
mendasari dan menentukan kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan. Dengan kata lain,
pluralitas ilmu pengetahuan berhakikat satu, yaitu dalam kesatuan objek materinya.
Disamping objek materi, keradaan ilmu pengetahuan juga lebih ditentukan oleh
objek forma. Objek forma ini sering dipahami sebagai sudut atau titik pandang (point
of view), selanjutnya menentukan ruang lingkup study (scope of the study).
Berdasarkan ruang lingkup studi inilah selanjutnya ilmu pengetahuan berkembang
menjadi plural, berbeda-beda dan cenderung saling terpisah antara satu dengan
yang lain. Berdasarkan pada objek forma, selanjutnya ilmu pengetahuan cenderung
dikembangkan menjadi plural sesuai dengan jumlah dan jenis bagian yang ada
didalam objek meteri. Dari objek materi yang sama dapat menimbulkan cabang-
cabang ilmu pengetahuan yang plural dan berbeda-beda. Dari objek materi manusia,
misalnya: melahirkan ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu
pendidikan dengan ranting-rantingnya. Dari objek materi alam, melahirkan ilmu
fisika, ilmu kimia, ilmu biologi, dan matematika dengan ranting-rantingnya.
6
Berdasarkan kedua system tersebut, perbedaan antar ilmu pengetahuan justru
mendapatkan validitasnya, Tetapi secara ontologios pemisahan atas perbedaan ilmu
pengetahuan yang berbeda-beda berkonsekuensi negative berupa perilaku disorder
(pengrusakan) terhadap realitas kehidupan .disamping, pendekatan kuantitatif
menurut objek materi dan objek forma terhadap pemecahan masalah hakikat ilmu
pengetahuan, secara ontologis masih ada pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan
kualitatif, persoalan yang sama, yaitu aspek ontology ilmu pengetahuan dengan
persoalan hakikat keberadaan pluralitas ilmu pengetahuan, dapat digolongkan
kedalam tingkat-tingkat abstrak universal, teoretis potensial dan konkret fungsional.
[7]
Pada tingkat abstrak universal, pluralitas ilmu pengetahuan tidak tampak. Pada
tingka ini yang menampak adalah ilmu pengetahuan itu satu dalam jenis, sifat dan
bentuknya didalam ilmu pengetahuan ‘filsafat’. Karena filsafat memandang suatu
objek materi menurut seluruh segi atau sudut yang ada didalamnya.dari keseluruhan
segi itulah filsafat mempersoalakan nilai kebenaran hakiki objek materinay, yaitu
kebenaran universal yang berlaku bagi semua ilmu pengetahuan yang berbeda
dalam jenis, sifat dan dalam bentuk yang bagaimanapun. Lebih dari itu, bagi filsafat,
perbedaan objek materi itu hanyalah bersifat aksidental, bukan substansial.
Bagaimanapun perbedaan objek materi, tetap dalam satu system yang tak
terpisahkan, yaitu tak terpisahkan dalam substansi mutlak (causa prima). Didalam
causa prima inilah kebenaran universal tertinggi yang bersifat demikian, maka
meliputi pluralitas kebenaran, dan berfungsi sebagai sumber dari segala sumber
kebenaran.
7
Pada tingkat ini, kebenaran teoretis potensial disusun dalam suatu system
tekhnologis, sehingga membentuk tekhnologi yang siap memproduksi barang dan
jasa sesuai dengan kebutuhan manusia dan masyarakat. Pada tingkat praktis
fungsional ini, pluralitas dalam hal perbedaan dan keterpisahan ilmu pengetahuan,
tersatukan dalam suatu system tekhnologi, yang semata-mata bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan demi kelangsungan eksistensi kehidupan.[8]
Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua macam sudut
pandang. Orang dapat mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau jamak?” yang
demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan
pertanyaan, “dalam babak terakhir, apakah yang merupakan kenyataan itu?’ yang
demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan tertentu,
segenap masalah dibidang ontology dapat dikembalikan kepada sejumlah
pertanyaan yang bersifat umum, seperti “bagaimanakah cara kita hendak
membicarakan kenyataan”.[9]
C. Ontologi Monistik
8
Sesungguhnya, yang tersngkut dalam hal ini ilah masalah terdapat atau tidaknya
macam-macam kenyataan yang berbedah-bedah. Sudah tentu jika kita mengatakan
segala sesuatu merupakan kenyataan, maka sampai sejauh itu memang segala
sesuatu sama. Perbedaan yang pokok diantara par penganut monisme dengan para
pengenut non monisme ialah dalam sikap mereka masing-masing yang menerima
atau menolak pernyataan.[10]
A. Naturalisme
Yang nyata pasti bereksistensi.Ada dua macam kesimpulan yang segera dapat
ditarik dari pendirian di atas . pertama, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang
dan waktu tidak mungkin merupakan kenyataan. Kedua apa pun yang di anggap
tidak mungkin untuk ditangani dengan menggunakan metode-metode yang
digunakan dalam ilmu-ilmu alam, tidak mungkin merupakan kenyataan. Ini bukan
hanya berarti bahwa yang bereksistensi bukan merupakan himpunan bawahan dari
kenyataan melainkan bahwa kedua himpunna tersebut persis sama artinya.[11]
B. Materialisme
9
C. Edealisme
Alam sebagai sesuatu bersifat rohani.Secara umum dapat dikatakan ada dua
macam kaum idealis; kaum spiritualis dan kaum dualis. Para pengatut paham
spiritualisme (jangan di campur adukkan dengan ilmu pengetahuan semu yang
disebut spiritisme) berpendirian bahwa segenap tatanan alam dapat di kembalikan
kepada atau berasal dari sekumpulan roh yang beraneka ragam dan berbeda-beda
derajatnya.
D. Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam
pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa
fenomena mental adalah entitas non-fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga
berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan
spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan.
Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes
(1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes
adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran
dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia
adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang
ada sekarang.
10
Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan
fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis
materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis materilasme emergent
sehingga akan hanya bertentangan dengan materialisme non-emergent.[14]
E. Agnostisisme
Agnotisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari
suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika,
keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal
pikiran manusia yang terbatas. Seorang agnostik mengatakan bahwa adalah tidak
mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif pengetahuan tentang “Yang-
Mutlak”; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif
dimungkinkan, namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki
informasi yang dapat diverifikasi.
B. EPISTEMOLOGI
1.Pengertian Epistemologi
Istilah epistemologi juga dikaitkan dengan konsep ilmu yaitu suatu pengetahuan
yang membawa kepada pemahaman kebenaran. Oleh karena itu pembahasan
epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas asal-usul,
struktur, metode dan keabsahan ilmu.
11
2. Pemikiran Epistemologi para Filosof Yunani dan Barat.
A.Filosof Yunani
Sejak awal, para filosof pra-Sokratik tidak memberikan perhatian pada cabang
filsafat epistemologi, sebab mereka memusatkan perhatian pada alam dan
kemungkinan perubahannya, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam. Mereka
mengandaikan begitu saja, bahwa pengetahuan mengenai itu mungkin, meski
beberapa di antara mereka menyarankan bahwa pengetahuan tentang struktur
kenyataan dapat lebih dimunculkan dari sumber-sumber tertentu, ketimbang
sumber-sumber lain. Heraclitus (535-475 SM), misalnya, menekankan penggunaan
indera, sementara Parmanides (540-475 SM) menekankan penggunaan akal. Meski
demikian, tidak seorang pun meragukan adanya pengetahuan tentang kenyataan
(realitas).38
12
Apa yang nampak di dunia ini hanyalah “bayangan” dari yang baka. Bayangan yang
bermacam-macam dan selalu berubah, sehingga kebenaran menurut Plato bersifat
apriori. Pandangan ini ingin menentukan apa kiranya yang mendahului adanya
segala kenyataan itu? Bagi Plato, benda indrawi bukanlah objek pengetahuan, tapi
objek opini. Juga pencerapan indrawi bukanlah pengetahuan, melainkan sekedar
opini, karena selalu dalam perubahan dan kemungkinan salah.42
yakni :
a. Mazhab empirisme.
13
Francois Bacon, menulis, “Knowledge is power, it is not opinion to be held, but a
work to be done, and I am laboring to lay the foundation not of any sector of doctrine,
but of utility and power.”(Pengetahuan adalah kekuatan. Ia bukanlah suatu pendapat
melainkan suatu pekerjaan untuk dilakukan. Dan saya bekerja bukan untuk
meletakkan fondasi ajaran apapun, melainkan meletakkan fondasi kegunanaan dan
kekuatan pengetahuan)46
b. Mazhab rasionalisme.
Salah satu tokoh yang mempopulerkan mazhab ini adalah Rene Descartes (1596-
1650 M). Menurutnya, persoalan dasar filsafat pengetahuan, bukanlah bagaimana
kita dapat tahu, tetapi mengapa kita dapat membuat kekeliruan.47 Filosof yang
populer dengan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) ini mengatakan bahwa
salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak pasti adalah dapat
diragukan. Sehingga untuk mencapai kepastian, harus menempuh keraguan
metodis universal. Keraguan ini bersifat universal, karena direntang tanpa batas.
Artinya, usaha meragukan itu akan berhenti bila ada sesuatu yang tidak dapat
diragukan lagi. Usaha meragukan itu disebut metodik, karena keraguan yang
diterapkan di sini, merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif philosofis
untuk mencapai kebenaran. Bagi Descartes, kekeliruan tidak terletak pada
kegagalan melihat sesuatu, malainkan di dalam mengira tahu apa yang tidak
diketahuinya, atau mengira tidak tahu apa yang diketahuinya.48
14
C.Mazhab kantinian.
d. Mazhab postivisme.
Mazhab ini lahir dari komunitas yang didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun
1924. Ia melahirkan pandangan baru yang disebut neo-positivisme atau positivisme
logis. Kemudian pada abad 20 Masehi, dominasi epistemologi positivistik mengalami
perkembangan baru dan mencapai kematangannya melalui kemunculan Vienna
Circle (lingkaran Wina), suatu komunitas intelektual yang terdiri dari sarjana-sarjana
ilmu pasti dan ilmu alam di Wina, Austria (Bertens, 1990: 166). Mereka memberi
batas pada kenyataan ―yang bermakna‖ (meaningful) dan ―tidak bermakna‖
(meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Di sini para sarjana
Wina mengajukan dua pertanyaan How do you know?, dan what do you mean?
Yang pertama dimaksudkan dengan ”how do you verify?”, sedangkan yang disebut
belakangan dimaksudkan dengan “berikanlah uraian atau analisis logis dari
pernyataan anda!” Dengan dua pertanyaan ini, mereka menolak semua ungkapan
tentang teologi atau hal-hal yang terkait dengan metafisika, seperti adanya Tuhan,
penciptaan, jiwa, dan lain-lain karena dianggap tidak bermakna.
15
Masalah-masalah filsafat juga dipandang semu, karena tidak didasarkan kepada
penggunaan bahasa yang bermakna, melainkan pada bahasa emosi dan perasaan
(emotional use of language). Maka, filsafat hanya memiliki tugas tunggal, yakni
memeriksa susunan logis bahasa ilmiah, baik dalam perumusan penyelidikan ilmu
alam, maupun dalam bidang logika dan matematika.
Tampilnya Kuhn dengan gagasan revolusi ilmu pengetahuan yang ditandai dengan
adanya perubahan paradigma ternyata masih menyisakan kritik bagi Imre Lakatos,
pemikir asal Hungaria yang lahir tahun 1922. Imre Lakatos menawarkan “metodologi
program riset ilmiah” sebagai evaluasi dan kritik dari kekurangan yang ditinggalkan
Kuhn.
16
Tawaran Lakatos ini mendapat momentumnya sejak tahun 1965 ketika ia
mempertemukan gagasan Popper dan Kuhn. “Metodologi Program Riset” ia
maksudkan sebagai struktur metodologis yang memberikan bimbingan bagi riset
masa depan dengan cara positif dan negatif. Dalam program riset ini terdapat
aturan-aturan metodologis yang disebut dengan “heuristik”, yaitu kerangka kerja
konseptual sebagai konsekwensi dari bahasa.
Dengan demikian, bagi Lakatos, yang harus dinilai ilmiah atau tidak ilmiah
bukanlah teori tunggal, melainkan rangkaian beberapa teori. Dalam konteks ini,
Lakatos sepenuhnya mendukung objektifitas Popper dan menghendaki program
riset ilmiah menjadi pandangan objektif dan mendistorsi refleksi terhadap pemikiran
manusia, baik yang menciptakan maupun yang memahami. Selanjutnya,
kemunculan ilmu pengetahuan biologi (yang mengelaborasi gejala kehidupan
material) dan fisika (yang mengelaborasi benda-benda mati) sebagai implikasi pola
positivistik Comte yang diterapkan pada ilmu-ilmu alam, yang kemudian disusul oleh
program riset ilmiah ala Lakatos, ternyata tidak serta merta memberikan kepuasan
bagi para ilmuan, sosiolog, dan filosof dalam mengembangkan pengetahuan.
Faktanya positivisme ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan Auguste Comte
menyisakan persoalan serius terkait dengan hilangnya peran subjek. Maka
muncullah upaya metodologis dengan tujuan mengembalikan peran subjek ke dalam
proses keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama
menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subyek yang menafsirkan
obyeknya sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu
fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.
17
C. AKSIOLOGI
Aksiologi merupakan salah satu bagian dari kajian filsafat ilmu yang membahas
tentang kegunaan atau manfaat dari ilmu pengetahuan. Kajian terhadap ilmu
pengetahuan telah menjadi bagian terpenting dari kehidupan sosial manusia. Maju
mundurnya suatu bangsa atau masyarakat tertentu sangat dipengaruhi oleh sejauh
mana bangsa atau masyarakat itu menguasi ilmu pengetahuan. Semakin sempurna
ilmu pengetahuan yang dimiliki, maka semakin modern pula kehidupan masyarakat
yang bersangkutan, baik modernisasi ekonomi, politik, agama, ilmu pengetahuan
dan teknologi, maupun sosial budaya.
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axio dan logos. Axio artinya pantas
atau layak sedangkan logos. Jadi, aksiologi merupakan suatu teori nilai yang
berhubungan dengan kegunaan dari pengetahuan yang telah diperoleh.
Teori aksiologi memiliki ranah di antaranya yaitu tentang etika dan estetika.
Apabila kita sudah memahami dan mengetahui tentang suatu ilmu pengetahuan
kemudian dilanjutkan dengan kajian aksiologi, aksiologi ini yang akan membahas
tentang manfaat yang didapatkan dari ilmu pengetahuan tersebut yang
didapatkan.Apakah ilmu pengetahuan tersebut dapat memberikan manfaat atau
malah sebaliknya. Jadi jika dikaitkan dengan 2 contoh di atas yaitu meja dan kursi,
bisa dikaitkan apakah pengetahuan tentang meja dan kursi tersebut dapat
memberikan manfaat di dalam kehidupan sehari-hari kita. Inilah contoh ontologi,
epistemologi, dan aksiologi yang saling berhubungan dalam kehidupan sehari-hari.
KEGUNAAN/MANFAAT ILMU
18
seperti hasil observasi terhadap suatu fenomena yang muncul dalam kehidupan
sosial. Indra merupakan salah satu alat untuk menyerap segala objek yang ada di
luar diri manusia. Dalam kajian filsafat, aliran yang mengedepankan indra untuk
menangkap fenomena disebut dengan realisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa
semua yang diketahui hanyalah kenyataan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil adalah filsafat merupakan pengetahuan yang
membahas tentang segala fenomena yang ada di dalam kehidupan kita yang
kemudian dijabarkan secara teoritits dan mendalam.Selain definisi filsafat itu sendiri,
filsafat juga memiliki pokok-pokok kajian seperti Ontologi yang merupakan ilmu yang
membahas tentang hakikat yang ada,Epistomologi yang merupakan ilmu yang
membahas tentang suatu hakikat makna,kandungan,sumber dan proses ilmu, dan
yang terakhir ada Aksiologi yang merupakan salah satu ilmu yang membahas
tentang kegunaan atau manfaat dari ilmu pengetahuan.Dengan demikian,filsafat
merupakan ilmu yang memerlukan pendalaman dan pemikiran yang kritis dalam
mempelajari ilmu tersebut.
19
DAFTAR PUSTAKA
Adams & Co., h. 94 dan 161. Lihat juga Resse (1980), op.cit., h. 151-152 dan h. 283.
C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Atas Cara Kerja Ilmu, Jakarta :
Gramedia
Henry D. Aiken, The Age of Ideology, New York : The New American Library of
World
http://alicia-komputer.blog.friendster.com/2008/10/filsafat-ilmu-dan-logika
http://alicia-komputer.blog.friendster.com/2008/10/filsafat-ilmu-dan-logika
http://amrull4h99.wordpress.com/2009/10/01/ontologi-metafisika-asumsi-dan-
peluang/
http://amrull4h99.wordpress.com/2009/10/01/ontologi-metafisika-asumsi-dan-
peluang/
http://id.wikipedia.org/wiki/ Agnostisism
http://id.wikipedia.org/wiki/ Agnostisisme.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme
http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme.com
http://umum.kompasiana.com/2010/01/24/ontologi/
http://umum.kompasiana.com/2010/01/24/ontologi/
IBID,hal:112-114
IBID,Hal:115
20
IBID,Hal:115-117
IBID,Hal:187
IBID,Hal:208
IBID,Hal:212
Ibid., 10
IBID,Hal:216
Imre Lakatos dan Alan Musgrave (ed.), Critisme and the Growth of Knowledge,
Cambridge :
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX : Prancis, Jakarta : Gramedia, 1996, hlm. 320
Muhammad Zainiy Uthman (1998), “Latāif al-Asrār Li Ahl Allāh al-Atyar Karangan
Nūr al-Din al-Raniri: Satu Tinjauan Epistemologi Dalam Falsafah
Epistemologinya” dalam Hashim Awang et.al (eds.), Pengajian Sastera
dan Sosiobudaya Melayu Memasuki Alaf Baru, Kuala Lumpur:
Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya, h. 408.
21
P. Hardono Hadi, Epistemologi, saduran dari Kenneth T. Gallagher, “The Philosophy
of
Popper”, Vol. I
Victor Kraft, “Popper and the Vienna Circle” dalam P. Schilp (ed.) “The Philosophy of
Karl
Will Durant, Qishah al-Falsafah Min Aflathon ilâ John Dewey, alih bahasa Fathullah
22