Ambillah contoh sila kedua: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Para petinggi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu hafal betul bunyi sila tersebut. Tapi, bagaimana
sepatutnya kita memahami sila kedua itu? Apa arti kata ”kemanusiaan”, ”adil” dan juga kata
”beradab” dalam sila tersebut? Mengapa rumusannya bukan: ”Kemanusiaan yang
berbudaya”, atau ”Kemanusiaan yang berbudi luhur”, atau ”Kemanusiaan yang berkarakter”?
Mengapa?
Jika dicermati, rumusan sila kedua Pancasila itu menunjukkan kuatnya pengaruh ’Pandangan
alam Islam” (Islamic worldview). Makna sila kedua itu sangat berbeda dengan rumusan yang
diajukan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK. Ketika itu, Bung Karno
mengusulkan “lima sila” untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia (2)
Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan
Sosial (5) Ketuhanan.
Jadi, berdasarkan sila kedua Pancasila yang resmi berlaku, maka konsep kemanusiaan yang
seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab; bukan
kemanusiaan yang zalim dan biadab. Pertanyaannya kemudian, pandangan alam manakah
yang bisa menjelaskan makna ”adil” dan ”adab” secara tepat?
Jawabnya, tentu ”Pandangan-alam Islam”. Sebab, kedua istilah itu – adil dan adab –
merupakan istilah yang berasal dari kosa kata dasar Islam (Islamic basic vocabularies).
Cobalah simak dan cermati, apakah ada padanan kata yang tepat untuk istilah ”adil” dan
”adab” dalam bahasa-bahasa yang ada di wilayah Nusantara? Hingga kini! Apakah bahasa
Jawanya kata ”adil”? Apakah bahasa Sundanya kata ”adab”? Bagaimana kita harus
menerjemahkan sila ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” ke dalam bahasa Jawa?
Bisa disimpulkan, kedua istilah dan konsep itu – yakni ”adil” dan ”adab” – mulanya memang
hanya ditemukan dalam konsep Islam, dan karena itu penelusuran makna hakikinya tentu
ditemukan dalam pandangan alam (worldview) Islam. Minimal, tidaklah salah, jika orang
Muslim Indonesia menafsirkan kedua istilah itu secara Islami. Rumusan sila kedua Pancasila
itu menunjukkan, bahwa Pancasila sejatinya bukan sebuah konsep sekular atau konsep netral
agama, sebagaimana sering dipaksakan penafsirannya selama beberapa dekade ini.
Masuknya kata ”adil” dan ”adab” dalam rumusan Pancasila, sebenarnya merupakan indikasi
yang lebih jelas tentang cukup kuatnya pengaruh pandangan-alam Islam pada rumusan
Pembukaan UUD 1945, yang memuat rumusan Pancasila.