Anda di halaman 1dari 2

MEREKAM KERINGAT PEREMPUAN MANDAR

Beberapa bulan sebelumnya, saya sudah dikabari salah seorang kawan dari Makassar
yang akan melakukan syuting film dokumenter di Mandar, sebagai pemenuhan tugas akhir.
Kami pun bertemu di pasar Tinambung, di hari-hari pertengahan ramadan dan membicarakan
project film tersebut yang ternyata tentang Towaine Mandar. Towaine, dalam bahasa Mandar
berarti perempuan. Pemaknaan perempuan tentu saja masih umum atau universal. Namun,
alam, lingkungan dan kebudayaan di mana perempuan berada, amat menentukan bagaimana
mereka hidup dan beraktivitas sepanjang hari. Jadi, bukan hanya soal perempuan, tetapi
sekaligus tentang Mandar itu sendiri.

Sudah ada beberapa tempat yang hendak kami tuju. Salah satunya adalah sungai
Mandar. Sebuah sungai besar yang membentang di kota kecil bernama Tinambung, yang
hulunya berbatasan langsung dengan Mamasa. Di bawah sungai inilah, kami bertemu para
perempuan passau’ uwai, yang berarti penimbah air. Massau’ atau menimbah, adalah
pekerjaan sehari-hari perempuan Mandar yang notabene tinggal di sekitar sungai. Setiap hari
mereka berangkat pada jam dini hari, berjalan kaki sekian kilo, masing-masing membawa
kurang lebih seratus jerigen yang akan diisinya hingga siang hari lalu pulang dengan cara
menghanyutkan diri sambil menarik beratus jerigen tersebut yang nanti dijualnya ke tetangga.

Kami memutuskan untuk tinggal di rumah salah seorang passau’. Sebuah rumah
panggung sederhana di desa Ga’de, yang posisinya berada tepi muara sungai. Kami lalu
berkenalan dengan Sa’dian, perempuan yang cukup gigih dan sudah lama menekuni
pekerjaannya sebagai penimbah. Sa’dianlah yang akan mengantar kami ke sungai, tempat ia
dan ibu, dan tetangga-tetangganya menimbah air. Malam itu, hujan deras mengguyur
Tinambung dan sekitar. “Bisa jadi esok kita tidak turun ke sungai”, kata nenek, ibu dari
Sa’dian. Air pasti pasang dan tidak ada tempat untuk membut sumur-sumur kecil. Kami
beberapakali mendapati cuaca demikian dan membuat kami harus menunggu. Tetapi tidak
bagi Sa’dian. Saat kami masih tertidur dan hujan reda pada jam jelang subuh, ia turun ke
sungai, berjalan kaki, membawa puluhan jerigennya, memastikan pasang surut air meski
ujung-ujungya ia pulang karena air sungai benar-benar pasang sehabis hujan. Biasanya,
jerigen-jerigen itu akan diletakkan di sana, dan kembali pada pagi atau jelang siang hari.
Butuh sekian jam bagi Sa’dian, dan para perempuan lainnya, mengisi beratus jerigen mereka
sebelum menghanyutkan diri untuk pulang.
Di hari yang lain, kami turun lebih pagi sungai. Kami melihat Sa’dian tampak sedang
kewalahan menggali pasir. Banyak peluh di dahinya. Cuaca memang sangat berpengaruh
akan kondisi air. Tetapi ia hanya sesekali berbicara. Seperti biasa, Sa’dian lebih banyak
tersenyum. Kameraman kami lalu menerbangkan drone. “Ada capung”, Sa’dian berceletuk
dan kami semua tertawa. Hingga hari sudah jelang siang, kami memutuskan untuk naik
perahu dan menunggu mereka di sekitar jembatan Tinambung.

Anda mungkin juga menyukai