Anda di halaman 1dari 2

Pak Bujang

Suatu masa di Desa Selingsing hidup seorang pemuda tampan dan rajin sedang membantu orang
tuanya di ladang. Namanya Purnama, sehari-hari pekerjaannya membantu orang tua. Semua itu
dilakukan karena orang tua Purnama sudah tua renta. Semua dikerjakan Purnama dengan penuh
keiklasan demi kebahagiaan orang tua. Orang tua Purnama pun sesekali meneteskan air mata
melihat bakti seorang Purnama. Sesekali mereka mengingatkan Purnama untuk menikah. “Pur,
kapan kau menikah, usiamu sudah cukup” ujar Bapaknya. “Iya Pak segera, jodoh pun tak
kemana,” sahut Purnama. Sambil meninggalkan kedua orangtuanya, untuk mengambil air yang
dibutuhkan ibunya.

Pada suatu pagi, Purnama seperti biasa pergi ke ladang. Ladang Purnama berada di bawah
Gunung Selumar. Sekitar Gunung Selumar ditumbuhi hutan yang sangat lebat, di dekat hutan itu
terdapat telaga yang sangat indah, airnya jernih, dan di huni ikan-ikan yang besar. Walaupun
memiliki keindahan dan berbagai macam ikan yang besar tak seorang penduduk pun yang berani
beristirahat di dekat telaga tersebut. 

Purnama terus melangkah menuju kebunnya. Dan pada akhirnya, dia melintasi telaga tersebut.
Pada saat itu, suasana sunyi terkadang suara serangga yang bergantian menemani perjalanannya.
Ntah apa yang dipikirkan saat itu, Purnama melepaskan letihnya di pinggir telaga. Saat
beristirahat, Purnama mendengar suara keramaian orang yang sedang bermain air. Saat Purnama
melirik ke arah telaga itu tidak siapapun yang terlihat olehnya. “Apa yang barusan kudengar
tadi”, Purnama berbisik. Namun begitu, Punama bukanlah orang yang penakut karena dia sudah
terbiasa dengan hal mistis seperti itu. Dia pun melanjutkan perjalanannya menuju kebun. Pada
waktu itu, hari masih pagi hanya Purnama yang sudah pergi ke ladang. Seperti biasa, dia
memanen hasil kebunnya dan mengolah lahan yang akan ditanami. 

Sepintas tetangga Purnama melintas, “Pagi betul Pur,” sahut tetangga. “Betul Pak, banyak
pekerjaan,” balas Purnama. Melanjutkan mencangkul lahannya. Saat matahari tepat di atas
kepala, Purnama beristirahat didekat pondoknya. Tak lama kemudian, Purnama pun terpejam
melupakan kepenatan yang dirasakan. Dalam tidurnya, seakan Purnama didatangi oleh lima
bidadari yang sangat cantik jelita berbeda dengan manusia yang biasa ia temui. Mereka
tersenyum kepada Purnama. Purnama hanya tersipu malu. Dalam mimpinya itu, Purnama
diperlakukan layaknya raja. Tiba-tiba, angin kencang membangunkan tidurnya. Mimpinya yang
begitu indah hilang bak kilat menyambar. Purnama hanya bisa tertunduk lesuh. Berharap mimpi
itu datang lagi. Purnama pun tersadar, ia  melirak-lirik sekitar kebunnya ternyata hari sudah sore.
Dia pun memberesi hasil kebunnya dan kemudian melanjutkan perjalanan.

Dalam perjalanan pulang, Purnama tampak haus sekali terlihat pada bibirnya yang sudah
mengering dan seluruh tubuhnya yang kotor. Di saat itu, dia berpikir untuk membersihkan
tubuhnya dan beristirahat melepas dahaga yang tadi dia rasakan.

Saat melintasi telaga, berhentilah Purnama. Dia letakkan hasil panen dan tanpa berpikir panjang,
ia menuruni tebing yang tidak begitu terjal untuk menuju telaga tersebut. Sesampai di telaga, dia
meneguk berkal-kali air yang tampak bersih dan dingin. Sehingga seluruh tubuhnya tampak
segar kembali. Selain itu, Purnama tergiur dengan air yang besih dan dingin itu. Sehingga dia
ingin membenamkan dirinya ke dalam kesejukan telaga tersebut. Setelah sekian lama, Purnama
berenang, terdengar suara tertawaan yang tak asing di telinganya. “Siapakah yang ada di sana”,
teriak Purnama. Mendengar teriakan itu, tertawa bidadari semakin kencang terdengar di telinga
Purnama. Purnama mencoba mencari sumber suara tersebut dan akhirnya baru ia tersadar bahwa
suara wanita itu tak jauh keberadaannya dengan Purnama. Mereka saling memercikan air telaga
dengan penuh suka cita. Padahal saat Purnama berenang mereka tidak ada. Ada rasa takut yang
menggerogoti, tapi hilang saat melihat sesosok perempuan yang ia kagumi di antara  beberapa
sosok perempuan tersebut.

Empat sosok perempuan itu mendatangi Purnama, “Tuan kami ingin anda menghadap,” sahut
salah satu perempuan. Tanpa ada keraguan Purnama menyanggupi ajakan mereka.
Berhadapanlah Purnama dengan sosok perempuan yang paling cantik di antara mereka.
Perempuan itu adalah Putri Merantik. “Hai pemuda siapa namamu, putri kami bertanya,” ujar
salah satu perempuan. “Purnama,” dengan penuh gelisah dan ketakutan. Salah satu perempuan
dengan ketus “Berani sekali kau menginjakkan kakimu di istana kami.” “Istana,” dengan suara
bergetar, Purnama menyahut dengan penuh keheranan. Dengan membelalakan matanya, ternyata
telaga yang tadi di kelilingi hutan seketika sudah berubah menjadi istana yang di sana-sini
dilapisi dengan logam mulia dan memiliki taman-taman yang indah. “Maaf saya tidak
bermaksud lancang, maafkan saya, saya hanya orang biasa, tidak bermaksud mencuri,” Purnama
dengan bergetar. Mereka pun tertawa mendengar jawaban Purnama. 

“Tuan putri kami menyukaimu dan kamu akan dijadikan suaminya, apakah kamu
menyanggupinya,” ujar teman sang putri. Karena rasa suka yang luar biasa, Purnama
menyanggupi permintaan Putri Merantik. Purnama sudah gelap matanya tidak bisa lagi
membedakan mana yang nyata dengan tidak nyata. Semua yang dilakukan untuk orang tua sirna
begitu saja. 

Pada hari itu juga dilakukan pesta pernikahan.  Pesta  pernikahan mereka sangat meriah. Di
istana sang putri, Purnama diperlakukan bak raja. Semua yang dibutuhkan Purnama sangat
tercukupi. Secara kasat mata, banyak orang yang menyerupai manusia yang berbeda dengan
penduduk yang di kampung. Di sana, Purnama hidup dengan bahagia. 

Di sisi lain, penduduk sibuk membantu orang tua Purnama mencari anaknya yang hilang. Dari
peristiwa itu, sudah dua puluh tahun Purnama dinyatakan hilang dan penduduk pun tidak
sanggup mencarinya dan melupakannya. Apalagi orang tua Purnama sudah lama meninggal
dunia. Suasana Desa Selingsing mengalami perubahan yang pesat. Seiring dengan jumlah 
penduduk yang semakin padat dan pusat keramaian seperti pasar tumbuh berkembang.

Pada suatu ketika, Desa Selingsing dilanda musim kemarau panjang. Sumber-sumber air di
seluruh kampung kering sehingga mereka harus jauh mencari sumber air. Karena sudah letih
menghadapi kekeringan, pemuka desa berinisiatif untuk warga mengolah telaga yang selama ini
mereka tak berani mendekatinya. Mereka khawatir akan terjadi musibah yang menimpa
kampung mereka. Namun akhirnya, penduduk bersepakat untuk mengolah telaga tersebut.

Keesokan harinya, semua pemuka masyarakat berkumpul bersama-sama penduduk memanjatkan


doa-doa keselematan dan dijauhi marabahaya. Setelah doa dipanjatkan, beramai-ramai mereka
membuka telaga untuk dibersihkan. Di sisi lain, istana tuan putri dan Purnama terguncang
dahsyat. Penduduk kasat mata berlarian karena doa-doa yang memekikan telinga. Purnama
hanya bisa berlindung di balik tugu besar yang sebenarnya itu adalah batu sungai. Putri Merantik
pun tak kuasa melindungi istananya sehingga mereka pun lenyap ntah kemana. Tinggallah
Purnama yang ketakutan berlindung di batuan besar. 

Tak disengaja salah seorang penduduk, mendapatkan Purnama yang sudah tidak berbusana dan
tidak terawat. Tubuhnya yang gagah tinggal kulit yang membaluti tulangnya. Rambutnya
dipenuhi warna putih. Oleh karena itulah, mengapa ia dijuluki Pak Bujang. Sampai tuanya dia
belum mempunyai isteri.  

Anda mungkin juga menyukai