Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Wilayah Bendungan


Kabupaten Kepulauan Buru merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten
Maluku Tengah pada tahun 2008 berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun
Pembentukan Kabupaten Buru Selatan di Provinsi Maluku, maka secara otomatis
cakupan wilayah Kabupaten Buru juga berkurang konsekwensinya cakupan
Kecamatan di Kabupaten Buru juga berkurang sehingga hanya tersisa lima
Kecamatan, yakni (1) Kecamatan Namlea, (2) Kecamatan Waplau, (3) Kecamatan
Airbuaya, (4) Kecamatan Waeapo dan (5) Kecamatan Batabual.. Adapun letak
geografis dan luas wilayah dari Kabupaten Kepulauan Aru disajikan dalam Tabel
2.1 berikut :
Tabel 2.1. Data Wilayah Kabupaten Kepulauan Aru

1. Letak Geografis 2º25’ - 3º83’ LS dan 125º08’ - 127º20’ BT


2. Luas Wilayah 7.595,58,22 km2
3. Luas Daratan 5.577,48 km2

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Buru (2017)


Gambar 2.1 Citra Dan Kontur Perencanaan Bendungan Way Apu
Kondisi iklim kabupaten buru secara umum beriklim tropis dengan dua musim
yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pada bulan desember – mei terjadi musim
hujan , sedangkan musim kemarau jatuh pada bulan juni- november dengan curah
hujan rata-rata pertahun 1.354,8 milimeter, dengan suhu udara antara 20,2°C –
31,7°C. berdasarkan pada klasifikasi koppen, dengan menggunakan rata-rata curah
hujan dan temperatur baik bulanan maupun tahunan maka wilayah kabupaten uru
termasuk dalam tipe iklim A (Bappeda Buru ,2003).
Kecamatan Waeapo merupakan kecamatan memiliki jumlah penduduk terpadat
di Kabupaten Buru. Penduduknya sebagian besar bekerja pada sektor pertanian,.
Kecamatan Waeapo termasuk dalam wilayah pertanian untuk Kabupaten Buru
dengan padi sebagai penghasilan terbesar bagi Provinsi Maluku dan khususnya
bagi Kabupaten Buru. Hasil pertanian pada kecamatan waeapo tidak hanya padi
ada juga hasil pertanian yang lain misalkan ubi-ubian, kacang-kacangan dan
lainnya.
2.2 Bendungan
Bendungan way apu termasuk dalam bendungan urugan tegak. Definisi
bendungan urugan adalah bendungan dibangun dengan hasil penggalian bahan
tanpa tambahan bahan lain yang bersifat campuran secara kimia. Bahan pembentuk
bendungan dari material sekitar bendungan asli (Soedibyo,2003).
Bendungan urugan tegak memiliki saluran drainase yang tegak lurus dari
puncak bendungan. Pembuatan urugan tegak bertujuan meninggkatkan keamanan
bendungan, yaitu dalam rangka mendapatkan kekuatan yang cukup, serta
pengendalian rembesan dan retakan. Untuk mendapat desain yang aman.
Bendungan urugan tanah dilengkapi dengan bengunan pelimpah dengan kapasitas
yang memadai.
2.3 Bangunan pelimpah
Menurut Soedibyo, dalam bukunya yang berjudul Teknik Bendungan
bangunan pelimpah atau spillway adalah bangunan beserta instalasinya untuk
mengalirkan air banjir yang masuk ke dalam waduk agar tidak membahayakan
keamanan bendungan. Fungsi dari spillway adalah untuk membuang/menyalurkan
sebagian debit air yang tidak diperlukan dalam pengoperasian bendungan, kembali
ke sungai.

Gambar 2.2 Bangunan Pelimpah (Soedibyo,2003)


2.4 Banjir
2.4.1 Umum
Banjir merupakan suatu bencana alam yang terjadi akibatkan permukaan air
sungai yang mengalami overtopping karena ketidakmampuan suatu penampang
sungai menahan atau mengalirkan limpasan air. Banjir terjadi karena meluapnya
air sungai melibihi batas eksisting sungai. Berdasarkan SK SNI M-18-1989-
F(1989) dalam suparta 2004, bahwa banjir adalah aliran air yang relatif tinggi dan
tidak tertampung oleh alur sungai atau saluran. Menurut suripin (2003) Banjir
adalah suatu kondisi tidak tertampungnya air dalam saluran pembuangan,sehingga
air meluap menggenangi daerah (dataran banjir ) sekitarnya. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi limpasan air yaitu hujan dan daerah alirang sungai (DAS).

1.
2.
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.4.1.
2.4.2. Faktor hujan
Faktor Hujan sangat berpengaruh pada limpasan sungai yang menyebabkan
terjadinya luapan air pada sungai. hujan dapat meningkatkan debit puncak
banjir sungai dan terjadi overtopping. Faktor-faktor hujan yang
berpengaruh terhadap limpasang sungai adalah sebagai berikut :
a. Kelebatan Curah Hujan Semaking tinggi tingkat kelebatan curah hujan akan
semakin meningkatkan limpasan air pada sungai.
b. Lamanya Curah Hujan Lamanya curah hujan berpengaruh terhadap kondisi
kejenuhan tanah. Semakin jenuh tanah akan mengakibatkan peningkatan
limpasan air pada sungai.
c. Intensitas Curah Hujan Apabila intensitas curah hujan lebih besar dari
kapasitas infiltrasi suatu sungai, akan mengakibatkan meningkatnya limpasan
sesuai dengan meningkatnya intensitas curah hujan.
d. Distribusi Curah Hujan Distribusi curah hujan mempengaruhi besarnya
limpasan yang terjadi. Jika curah hujan pada suatu DAS yang diakibatkan hujan
lebat terdistribusi secara merata akan meningkatkan limpasan yang besar pada
aliran sungai, karena pada curah hujan yang distribusinya merata setelah dipakai
untuk memenuhi terjadinya kejenuhan tanah sebagian besar akan mengalir
menjadi aliran permukaan.
2.5 Data topografi
Kabupaten buru memiliki wilayah yang dapat dikelompokkan berdasarkan
daratan pantai, perbukitan dan dataran tinggi dengan bentuk kelerengan variatif.
Kawasan pegunungan dengan elevasi rendah berlereng agak curam mendominasi
kawasan pada kabupaten buru dengan kemiringan lereng kurang dari 40% yang
meliputi luas 15,43% dari keseluruhan luas wilayah.
Bagian timur kabupaten buru terutama sekitar sungai waeapo merupakan daerah
dengan elevasi rendah dengan jenis lereng landai sampai agak curam.  Sedangkan
secara geomorfologis, bentang alam di Kabupaten Buru dapat dikelompokan
menjadi 4 (empat), yaitu bentang alam asal vulkanis yang dicirikan dengan adanya
topografi bergungung-gunung dan lereng terjal, bentang alam asal denudasional
yang berbentuk rangkaian pegunungan dan perbukitan berbentuk kubah, bentang
alam asal solusial dan bentang alam asal fluvial yang cenderung membentuk
topografi datar pada lembah-lembah sungai.

2.6 Data Hidrologi


2.6.1 Analisa hidrologi
Dalam suatu perencanaan bangunan-bangunan air, langkah pertama yang harus
diperhitungkan adalah analisis hidrologi dari wilayah yang akan direncanakan.
Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai
terjadinya, peredarannya dan penyebarannya, sifat-sifatnya dan hubungan dengan
lingkungannya terutama makhluk hidup (Triatmodjo,2008). Pengertian yang
terkandung di dalamnya adalah bahwa informasi dan besaran-besaran yang
diperoleh dalam analisis hidrologi merupakan masukan penting dalam analisis
selanjutnya. Analisis hidrologi dilakukan untuk menghitung debit air yang akan
masuk ke saluran dari curah hujan maksimum yang terjadi, dari hujan maksimum
yang terjadi tersebut di dapat suatu debit banjir rencana yang akan menjadi dasar
perencanaan bangunan. Analisis hidrologi termasuk dalam tahapan perencanaan
teknis dalam aspek hidrolis. Perencanaan dalam aspek hidrolis ini sangat penting
dilakukan agar suatu bangunan air yang dibangun mampu mengalirkan debit
tertentu dengan aman dan dapat mengendalikan air dengan optimal.
Dalam analisis hidrologi banyak diterapkan ilmu-ilmu statistik untuk mencari
hubungan antara kejadian ekstrim yang terjadi dengan frekuensinya. Yang
dimaksud dengan kejadian ekstrim dalam hal ini adalah curah hujan maksimum
yang terjadi yang akan dicari hubungannya dengan kala ulang terjadinya. Data-data
yang diperlukan dalam analisis hidrologi yaitu : peta topografi, data curah hujan,
data luasan daerah aliran sungai, dan data tata guna lahan.

2.6.1.1 Analisa Curah Hujan Daerah Rata-Rata


Curah hujan rata-rata atau biasa digunakan istilah curah hujan wilayah adalah
jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar,tidak mengalir dan menguap
selama periode tertentu yang diukur dalam satuan milimeter. Data curah hujan
yang diperoleh dari stasiun hujan hanyalah curah hujan yang terjadi di suatu titik
tertentu (point rainfall) (Soemarto,1987). Untuk analisis hidrologi diperlukan data
hujan dari beberapa stasiun hujan untuk memperkirakan besar curah hujan rata-
rata.
Menurut Suripin 2004, untuk menghitung curah hujan rata-rata wilayah daerah
aliran sungai (DAS) terdapat beberapa cara diantaranya yaitu cara rata-rata aljabar,
Polygon Thiessen, dan Isohyet ( Suripin 2004 ). Analisis rata-rata aljabar
digunakan apabila stasiun hujan yang digunakan dalam perhitungan minimal dua
stasiun hujan. Analisis Polygon Thiessen digunakan apabila stasiun hujan yang
digunakan dalam perhitungan minimal tiga stasiun hujan. Analisis Isohyet
digunakan apabila ada banyak stasiun hujan yang digunakan dalam perhitungan
dan semakin banyak stasiun hujan yang digunakan maka semakin baik hasilnya.
Apabila pada suatu daerah yang minim stasiun hujan maka stasiun hujan yang
terdekat tersebut dapat dianggap mewakili kondisi curah hujan daerah
tersebut.dalam perhitungan curah hujan rata rata suatu daerah aliran sungai
memiliki beberapa metode yaitu :
1. Metode Arithmatik : metode digunakan untuk daerah datar dan penyebaran
stasiun hujan merata
2. Metode Polyghon Thiessien : metode dalam penghitungan daerah dengan
stasiun hujan tidak merata.
3. Metode ishoet : metode untuk wilayah atau daerah pegunungan.

2.6.1.1.1 Metode arithmatik


Metode arithmatik dalam perhitungn dilakukan dengan membagi rata jumlah
dari hasil data yang dicatat oleh stasiun hujan. Stasiun hujan yang digunakan
yaitu pada daerah aliran sungai karena distribusi atau penyebaran hujannya
merata dengan rumus sebagai berikut :
P 1+ P 2+ P3+ … Pn
P= n
..............................(2.1)
Dimana

P : Hujan rata-rata (mm)

P1,P2,P3 : jumlah hujan masing-masing stasiun yang diamati (mm)

2.6.1.1.2 Metode Polygon Thiessen


Metode polygon thiessen digunakan pada stasiun hujan yang
memiliki distribusi hujan tidak merata. Perhitungan polygon thiessen
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Menghubungkan masing-masing stasiun hujan dengan garis
polygon sehingga berpola gabungan beberapa segitiga.
2. Membuat garis antara 2 stasiun hujan hingga bertemu dengan garis
lainnya pada satu titik.
3. Luas area yang mewakili masing-masing stasiun hujan dibatasi
oleh garis pada polygon.
4. Luas sub-area masing-masing stasiun hujan dipakai sebagai faktor
pemberat dalam menghitung hujan rata-rata.
Sehingga perhitungan hujan rata-rata pada suatu daerah aliran
sungai dapat dirumuskan sebagai berikut :
P 1. A 1+ P 2. A 2+ P3. A 3+… Pn . An
P= A 1+ A 2+ A 3+…+ An
...............(2.2)

Dimana

P : Hujan rata-rata (mm)

P1,P2,P3 : jumlah hujan masing-masing stasiun yang diamati (mm)

A1,A2,.....Pn : Luas sub-area yang mewakili masing-masing stasiun hujan


( km 2 ¿

2.6.1.1.3 Metode Isohiet


Isohiet adalah garis kontur yang menghubungkan tempat yang mempunyai data
hujan yang sama sehingga dapat digunakan pada tempat dengan elevasi yang tinggi
seperti bukit atau pegunungan. Perhitungan hujan rata-rata metode Isohiet dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Memploting setiap stasiun hujan pada peta dasar
2. Mencatat data hujan pada setiap stasiun hujan
3. Membuat interpolasi dengan garis kontur antara stasiun-stasiun
hujan menurut interval yang diingikan.
4. Luas dari sub-area antara 2 garis kontur yang dipakai sebagai faktor
dalam menghitung hujan rata-rata.

Sehingga perhitungan hujan rata-rata pada suatau daerah aliran


sungai dapat dirumuskan sebagai berikut :

X 1+ X 2 X 2+ X 3 X 3+ X 4 X 1 n+ X 2 n
( ). A 1+( ). A 2+( ). A 3+…( ) . An
P = 2 2 2 2
A 1+ A 2+ A 3+ …+ An
...............(2.3)

Dimana

P : Hujan rata-rata (mm)

P1,P2,P3 : jumlah hujan masing-masing stasiun yang diamati (mm)

A1,A2,.....An : Luas sub-area yang mewakili masing-masing stasiun hujan


( km 2 ¿

2.6.2 Perhitungan Parameter Dasar Statistik


2.6.3 Analisis Distribusi Probabilitas
Analisis distribusi probabilitas dilakukan menggunakan ilmu statistik
berdasarkan pada data hujan yang didapat dari stasiun penakar hujan. Analisis
distribusi probabilitas didasarkan pada sifat-sifat statistik data yang diperoleh
untuk mendapatkan kemungkinan besaran hujan pada kala ulang tertentu. Analisis
ini dilakukan dengan memilih salah satu dari beberapa jenis distribusi statistik
yang tersedia.
Dalam analisis distribusi probabilitas data hujan atau data debit guna
memperoleh nilai hujan rencana atau debit rencana,dikenal beberapa distribusi
probabilitas kontinu yang sering digunakan,yaitu : Gumbel, Normal, Log Normal,
dan Log Pearson Tipe III (Kamiana,2010).

2.6.3.1 Pemilihan DIstribusi probabilitas


Penentuan jenis distribusi probabilitas yang sesuai dengan data dilakukan
dengan mencocokan parameter data tersebut dengan syarat masing-masing jenis
distribusi (Kamiana,2010).
Tabel 2.2. Persyaratan Pemilihan Distribusi
No Distribus Persyaratan
i
1 Gumbel Cs = 1,14
Ck = 5,4
2 Normal Cs = 0
Ck = 3
3 Log Cs = Cv3 + 3Cv
Normal Ck=
Cv8+6Cv6+15Cv4+16Cv2+3
4 Log Selain nilai diatas
Pearson III

Sumber : Kamiana (2010)

Koefisien kepencengan (Cs) merupakan nilai yang menunjukkan derajat


ketidaksimetrisan dari suatu distribusi. Persamaannya yaitu:

n . Σ( X −X )³
Cs= ..................................................................................................
( n−1 ) . ( n−2 ) . S ³
(2.4)
Dimana :
Cs = Koefisien kemencengan
S = Deviasi Standard
X = Data dalam sampel
X = Nilai rata-rata hitung
n = Jumlah data

Koefisien ketajaman (Ck) merupakan suatu nilai yang digunkan untuk


mengukur keruncingan dari kurva distribusi yang dibandingkan dengan distribusi
normal.
n ² Σ ( X −X ) ⁴
Ck = .........................................................................................
( n−1 ) ( n−2 )( n−3 ) S ⁴
(2.5)
Dimana:
Ck = Koefisien ketajaman X = Nilai rata-rata hitung
S = Deviasi Standard n = Jumlah data
X = Data dalam sampel

2.6.3.2 Distribusi Normal


Rumus dasar yang digunakan dalam menggunakan analisis distribusi normal
adalah:
XT = X + Sd.KT...................................................................................................(2.6)
Dimana :
XT = Perkiraan nilai yang diharapkan dengan priode ulang T tahun
X = Nilai rata-rata hitung variat
Sd = Standard Deviasi

=
√ Σ( X−X )
n−1
KT = Faktor frekuensi.Nilai KT dapat diperoleh dari nilai variabel Gauss

Tabel 2.3. Nilai Variabel Reduksi Gauss


Periode Ulang Peluang KT
1.001 0.999 -3.050
1.005 0.995 -2.580
1.01 0.990 -2.330
1.05 0.952 -1.640
1.11 0.901 -1.280
1.25 0.800 -0.840
1.33 0.752 -0.670
1.43 0.699 -0.520
1.67 0.599 -0.250
2 0.500 0.000
2.5 0.400 0.250
3.33 0.300 0.520
4 0.250 0.670
5 0.200 0.840
10 0.100 1.280
20 0.050 1.640
50 0.020 2.050
100 0.010 2.330
200 0.005 2.580
500 0.002 2.880
1000 0.001 3.090
Sumber : Kamiana (2010)

2.6.3.3 Distribusi log Normal


Rumus dasar yang digunakan dalam menggunakan analisis distribusi normal adalah :
log X = log X + K.S logX....................................................................(2.7)
Σ log X
log X =
n

S log X =
√ Σ(log X−log X)²
(n−1)

Dimana :

X = nilai variat X (mm)


log X = rerata logaritmik variat X
K = karakteristik distribusi log normal. Nilai K dapat diperoleh dari nilai
variabel Gauss
S log X = deviasi standard dari log X

2.6.3.4 Distribusi Log Person Type III


Perhitungan hujan rencana berdasarkan Distribusi Probabilitas Log Person
Type III, jika data yang dipergunakan adalah berupa sampel, dilakukan dengan
rumus – rumus berikut :
ZT = Z + KT.σZ................................................................................(2.8)

Dimana :
ZT = Log X
Z = log X
σZ = S Log X
Σ(log X−log X )² 0.5
S Log X = ( )
n−1
XT = Antilog (ZT)
Dimana :
ZT = Data hujan sebanyak n dalam bentuk logaritmik

z = Logaritmik Hujan rata-rata

σz = Standard Deviasi

n = Jumlah data

Tabel 2.4. Nilai KT


Recurrence interval T in years
Cs
2 10 25 50 100 200 1000
3.0 -0.396 1.180 2.27 3.152 4.051 4.97 7.250
8 0
2.5 -0.360 1.250 2.26 3.048 3.845 4.65 6.600
2 2
2.2 -0.330 1.284 2.24 2.970 3.705 4.44 6.200
0 4
2.0 -0.307 1.302 2.21 2.912 3.605 4.29 5.910
9 8
1.8 -0.282 1.318 2.19 2.848 3.499 4.14 5.660
3 7
1.6 -0.254 1.329 2.16 2.780 3.388 3.99 3.390
3 0
1.4 -0.225 1.337 2.12 2.706 3.271 3.82 5.110
8 8
1.2 -0.195 1.340 2.08 2.626 3.149 3.66 4.820
7 1
1.0 -0.164 1.340 2.04 2.542 3.022 3.48 4.540
3 9
0.9 -0.148 1.339 2.01 2.498 2.957 3.40 4.395
8 1
0.8 -0.132 1.336 1.99 2.453 2.891 3.31 4.250
8 2
0.7 -0.116 1.333 1.96 2.407 2.824 3.22 4.105
7 3
0.6 -0.099 1.328 1.93 2.359 2.755 3.13 3.960
9 2
0.5 -0.083 1.323 1.91 2.311 2.686 3.04 3.815
0 1
0.4 -0.066 1.317 1.88 2.261 2.615 2.94 3.670
0 9
0.3 -0.050 1.309 1.84 2.211 2.544 2.85 3.525
9 6
0.2 -0.033 1.301 1.81 2.159 2.472 2.76 3.380
8 3
0.1 -0.017 1.292 1.78 2.107 2.400 2.67 3.235
5 0
0.0 0.000 1.282 1.75 2.054 2.326 2.57 3.090
1 6
-0.1 0.017 1.270 1.71 2.000 2.252 2.48 2.950 Sumber :
6 2 Kamiana (2010)
-0.2 0.033
2.6.3.5 1.258 1.68 1.945 2.178 2.38 2.810 Distribusi Gumbel
0 8
-0.3 0.050 1.245 1.64 1.890 2.104 2.29 2.675
3 4
-0.4 0.066 1.231 1.60 1.834 2.029 2.20 2.540
6 1
Menurut Gumbel dalam Soemarto (1987), persoalan tertua yang berhubungan
dengan harga-harga ekstrim adalah datang dari persoalan banjir. Tujuan dari teori
statistik harga-harga ekstrim adalah untuk menganalisis hasil pengamatan harga-
harga ekstrim tersebut untuk meramal harga-harga ekstrim berikutnya. Persamaan
metode distribusi Gumbel adalah sebagai berikut :
S
XT= X + (Y- Yn)................................................... ..................(2.9)
Sn
Dimana :
XT =Hujan dengan masa ulang T
X =Nilai Rata-rata hitung Variat
S = Standart Devisiasi
Y= Nilai Reduksi Variat dari variable pada periode ulang tertentu
Y = ln T............................................................................................(2.10)

Tabel 2.5. Harga Reduced Mean (Yn)


n Yn n Yn N Yn n Yn N Yn n Yn
10 0.4592 26 0.5320 42 0.5448 58 0.5515 74 0.555 90 0.5586
7
11 0.4996 27 0.5332 43 0.5453 59 0.5518 75 0.555 91 0.5587
9
12 0.5035 28 0.5343 44 0.5458 60 0.5521 76 0.556 92 0.5589
1
13 0.5070 29 0.5453 45 0.5463 61 0.5524 77 0.556 93 0.5590
3
14 0.5100 30 0.5362 46 0.5468 62 0.5527 78 0.556 94 0.5592
5
15 0.5128 31 0.5371 47 0.5473 63 0.5530 79 0.556 95 0.5593
7
16 0.5157 32 0.5280 48 0.5477 64 0.5533 80 0.556 96 0.5595
9
17 0.5181 33 0.5388 49 0.5481 65 0.5535 81 0.557 97 0.5596
0
18 0.5202 34 0.5396 50 0.5485 66 0.5538 82 0.557 98 0.5598
2
19 0.5220 35 0.5402 51 0.5489 67 0.5540 83 0.557 99 0.5599
4
20 0.5236 36 0.5410 52 0.5493 68 0.5543 84 0.557 100 0.5600
6
21 0.5252 37 0.5413 53 0.5497 69 0.5545 85 0.557
8
22 0.5268 38 0.5424 54 0.5501 70 0.5548 86 0.558
0
23 0.5283 39 0.5430 55 0.5504 71 0.5550 87 0.558
1
24 0.5296 40 0.5436 56 0.5508 72 0.5552 88 0.558
3
25 0.5309 41 0.5442 57 0.5511 73 0.5555 89 0.558
5

Tabel 2.6. Harga Reduced Deviation (Sn)

n Sn N Sn n Sn n Sn n Sn n Sn
10 0.9496 26 1.0961 42 1.1458 58 1.1721 74 1.1890 90 1.2007
11 0.9676 27 1.1004 43 1.1480 59 1.1734 75 1.1898 91 1.2013
12 0.9833 28 1.1047 44 1.1499 60 1.1747 76 1.1906 92 1.2020
13 0.9971 29 1.1086 45 1.1519 61 1.1759 77 1.1915 93 1.2026
14 1.0095 30 1.1124 46 1.1538 62 1.1770 78 1.1923 94 1.2032
15 1.0206 31 1.1159 47 1.1557 63 1.1782 79 1.1930 95 1.2038
16 1.1316 32 1.1193 48 1.1574 64 1.1793 80 1.1938 96 1.2044
17 1.0411 33 1.1226 49 1.1590 65 1.1803 81 1.1945 97 1.2049
18 1.0493 34 1.1255 50 1.1607 66 1.1814 82 1.1953 98 1.2055
19 1.0565 35 1.1285 51 1.1623 67 1.1824 83 1.1959 99 1.2060
20 1.0628 36 1.1313 52 1.1638 68 1.1834 84 1.1967 100 1.2065
21 1.0696 37 1.1339 53 1.1658 69 1.1844 85 1.1973
22 1.0754 38 1.1363 54 1.1667 70 1.1854 86 1.1980
23 1.0811 39 1.1388 55 1.1681 71 1.1863 87 1.1987
24 1.0864 40 1.1413 56 1.1696 72 1.1873 88 1.1994
25 1.0915 41 1.1436 57 1.1708 73 1.1881 89 1.2001

Sumber : Soewarno (1995)

2.6.4 Uji Kesesuaian Distribusi Frekuensi


Uji distribusi probabilitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah persamaan
distribusi probabilitas yang dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data
yang dianalisis atau tidak. Sebagaimana telah diketahui bahwa terdapat dua metode
pengujian distribusi probabilitas, yaitu Metode Chi Kuadrat dan Metode Smirnov
Kolmogorov (Kamiana,2010).

1.
2.
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.5.
2.6.
2.6.1.
2.6.2.
2.6.3.
2.6.4.
2.6.4.1. Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji Smirnov Kolmogorof digunakan untuk menguji kesesuaian dari distribusi
secara horizontal dari data. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan
probabilitas tiap data antara sebaran empiris dan sebaran teoritis. Sebagai alternatif
untuk menguji kesesuaian distribusi (goodness of fit), dapat digunakan Uji
Smirnov-Kolmogorov. Adapun persamaannya yaitu :
Δmax = Pe –Pt................................................................................(2.11)
Dimana :
Δ max = Selisih antara peluang teoritis dengan peluang empiris
Δ cr = Simpangan kritis (dari tabel)
Pe = Peluang empiris
Pt = Peluang teoritis
Kemudian dibandingkan antara Δ max dengan Δ cr bila Δ max < Δ cr maka
pemilihan distribusi probabilitas dapat ditrapkan pada data tersebut.
Tabel 2.7. Harga Δ cr Untuk Uji Smirnov Kolmogorov
Α
N
0.200 0.100 0.050 0.010
5 0.450 0.510 0.560 0.670
10 0.320 0.370 0.410 0.490
15 0.270 0.300 0.340 0.400
20 0.230 0.260 0.290 0.360
25 0.210 0.240 0.270 0.320
30 0.190 0.220 0.240 0.290
35 0.180 0.200 0.230 0.270
40 0.170 0.190 0.210 0.250
45 0.160 0.180 0.200 0.240
50 0.150 0.170 0.190 0.230
N > 1.07 1.22 1.36 1.63
−0.5 −0.5 −0.5 −0.5
50 N N N N

2.6.4.2. Uji Chi Kuadrat


Uji keselarasan chi kuadrat menggunakan rumus :
N 2
(Of - Ef )
X =∑2
...............................................................(2.12)
t=1 Ef
Dimana:
X2 = nilai Chi-Square terhitung
Ef = frekuensi (banyak pengamatan) yang diharapkan sesuai dengan
pembagian kelasnya
Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama
N = jumlah sub-kelompok dalam satu grup

Sumber : Soewarno (1995)


Suatu distribusi dikatakan selaras jika nilai X2 hitung diperoleh lebih kecil dari nilai
X2cr (Chi-Kuadrat kritis), untuk suatu derajat nyata tertentu, yang sering diambil
5%. Derajat kebebasan dihitung dengan persamaan berikut :
DK = K - (α + 1)...............................................................................(2.9)

Dimana :
DK = derajad kebebasan
K = banyaknya kelas
α = banyaknya keterikatan (banyaknya parameter), untuk uji Chi-Kuadrat adalah
2.
Nilai X2cr , diperoleh dari Tabel 2.8 dibawah ini :
Tabel 2.7. Harga X2 Kritis untuk Chi Square Test
α α
dk Dk
0.200 0.100 0.050 0.010 0.200 0.100 0.050 0.010
1 1.642 2.706 3.841 6.635 12 15.812 18.549 21.026 26.217
2 3.219 2.605 5.991 9.210 13 16.985 19.812 22.362 27.688
3 4.642 6.251 7.815 11.345 14 18.151 21.064 23.685 29.141
4 5.989 2.229 9.488 13.277 15 19.311 22.307 24.996 30.578
5 7.289 9.236 11.070 15.086 16 20.465 23.542 26.296 32.000
6 8.558 10.645 1.592 16.812 17 21.615 24.769 27.587 33.409
7 9.803 12.017 14.067 18.475 18 22.760 25.989 28.869 34.805
8 11.03 13.362 15.507 20.090 19 23.900 27.204 30.144 36.191
0
9 12.24 14.987 16.919 21.666 20 25.038 28.412 31.410 37.566
2
10 13.44 15.987 18.307 23.209 21 26.171 29.615 32.671 38.932
2
11 14.63 17.275 19.675 24.725 22 27.301 30.813 33.924 40.289
1

2.6.5 Perhitungan Debit Banjir Rencana


Perhitungan debit rencana dilakukan sebagai dasar dari perencanaan
pembangunan bangunan air. Debit banjir rencana adalah besarnya debit banjir kala
ulang tertentu yang ditetapkan sebagai dasar penentuan kapasitas dan dimensi
bangunan-bangunan hidraulik, sehingga kerusakan yang ditimbulkan baik
langsung maupun tidak langsung oleh banjir tidak boleh terjadi selama besaran
banjir tidak terlampaui (Harto,1993). Dalam perhitungan debit banjir rencana
terdapat banyak metode yang dapat digunakan diantaranya yaitu metode rasional,
Melchior, Weduwen, dan Haspers.
2.6.5.
2.6.5.1. Metode Hidrograf

Hidrograf merupakan gambar grafik aliran yang menggambarkan


respon daerah alirang suatu sungai terhadap hujan sebagai input datanya.
Bentuk dan lengkung hidrograf tergantung pada karakteristik hujan yang
terjadi sehingga berpengaruh terhadap aliran sungai. Grafik hidrograf
terdiri dari aliran permukaan (surface runoff), aliran dalam tanah
(interflow), dan aliran air tanah (base flow).

2.6.5.1.1 Hidrograf Satuan


Hidrograf satuan dapat didefinisikan sebagai hidrograf aliran langsung
(direct runoff), yang dihasilkan oleh 1 unit tebal 1 mm curah hujan efektif
yang jatuh merata pada daerah aliran sungai pada periode waktu tertentu.
Secara tidak langsung hidrograf satuan juga menjelaskan :

1. Merepresentasikan respon curah hujan efektif yang jatuh pada suatu


DAS, untuk menghasilkan direct runoff.

2. Mempertimbangkan hujan yang terjadi sebagai intensitas hujan


efektif rata-rata.

3. Distribusi hujan lebat yang jatuh pada DAS dianggap seragam.

2.5.13.2 Hidrograf Satuan Sintetik Metode Soil Conservation Service


Metode hidrograf sintetik metode Soil Conservation Service (SCS)
adalah hidrograf satuan sintetik tidak berdimensi yang merepresentasikan
ordinat debit diekspresikan sebagai rasio antara debit q dengan debit
puncak qp dan absis waktu diekspresikan sebagai rasio waktu t dengan
waktu puncak tp, dimana waktu naik Tp diekspresikan sebagai bagian dari
waktu punck tp dan lama hujan efektif tr, sehingga didapatkan rumus
sebagai berikut :

Jika ditetapkan rasio debit dengan debit puncak (q/q p) = 1,0 dan rasio
waktu dengan waktu puncak (t/tp) = 1,0 maka koordinat hidrograf satuan
sintetik SCS tidak berdimensi dapat didapatkan sesuai tabel 2.15 dengan
pengembangan ordinat dan absis hidrograf pada gambar

Pada beberapa hasil penelitian hidrograf satuas SCS didapatkan


bahwa waktu resesi (time of recession) dapat diperkirakan sebesar 1,67 tp,
agar volume hidrograf satuan = 1 cm aliran langsung, sehingga diperoleh
persamaan sebagai berikut :

CA
T p= ........... (2.)
Tp

Dimana :

3
qp = Debit puncak (m /detik)

C = Nilai Koefisien = 2,08

2
A = Luas daerah aliran sungai (km )

2.5.13.3 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Dalam penggunaan metode hidrograf satuan sintetik nakayasu


diperlukan beberapa parameter yang berhubungan dengan
karakteristik daerah aliran sungai yaitu sebagai berikut :

1. Luas daerah aliran sungai


2. Panjang sungai utama
3. Koefisien pengaliran
Sehingga dalam perhitungan nakayasu didapatkan rumus
hidrograf sebagai berikut :
C A Ro
Q p= ........... (2.)
3,6( 0,3T ¿ ¿ p+T 0,3)¿

Dimana :

Qp = Debit puncak banjir (m3/detik)

Ro = Hujan satuan (mm)

Tp = Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak


banjir (jam)

T 0,3= Waktu yang diperlukan penurunan debit, dari debit puncak


sampai 30% dari debit puncak

Dimana, nilai tenggang waktu dari permulaan hujan sampai


puncak banjir Tp dihitung dengan persamaan :

T p=T g +0,8 T r ..............()

Dimana :

Tp = Tenggang waktu permulaan hujan sampai puncak banjir

(jam)


tg = Waktu konsentrasi (jam)Untuk L < 15 km tg = 0,21
L0,7 ... … … … … … … … .. (2,47)

Untuk L > 15 km tg = 0,4 + 0,058 L … … … … … … … (2,48)

tr = Waktu hujan efektif (jam)


tr = 0,5 tg sampa tg (jam) … … … … … … … … … … (2.49)

Waktu yang diperlukan penurunan debit T0,3 dihitung dengan

persamaan sebagai berikut :

T0,3 = α x tg … … … … … (2.50)
Nilai adalah faktor koefisien yang
ditetapkan berdasarkan bentuk hidrograf banjir yang terjadi pada
daerah aliran sungai adalah sebagai berikut :

a. Untuk daerah aliran α = 2,0


b. Untuk bagian naik hidrogarf yang lambat dan bagian
menurun yang cepat α = 1,5
c. Untuk bagian naik hidrogarf yang cepat dan bagian menurun
yang cepat α = 3,0

Pada bagian rising limb hidrograf satuan memiliki persamaan

sebagai berikut :

0 ≤ t ≤ Tp

2,4
t
Qt =Q p ( ¿) ...............
Tp¿

Dimana :

Qt = debit limpasan sebelum sampai puncak banjir (jam)

t = Waktu (jam)

Pada bagian decreasing limb hidrograf satuan mempunyai


persamaan sebagai berikut :

Tp ≤ t ≤ Tp + T0,3

t −T p

Qt =Q p 0,3
(
T 0,3 ................(2.52)
)

Tp + T0,3 ≤ t ≤ Tp + T0,3 + 1,5 T0,3

t −T p +0,5 T 0,3

Qt =Q p 0,3
(
1,5T 0,3
)
......................(2.53)

t ≥Tp + T0,3 + 1,5 T0,3


t −T p −0,5 T 0,3
(
Q t =Q p 0,3
2T 0,3 ................. (2.54)
)

Sehingga berdasarkan persamaan tersebut didapatkan segmen


hidrogarf satuan sintetik Nakayasu

2.6.6 Analisa Kebutuhan Air


2.6.6.1 Kebutuhan Air Tanaman
Tanaman memerlukan air untuk tumbuh pada masa
pertumbuhannya. Kebutuhan air memiliki kuantitas yang berbeda
tergantung pada jenis tanamannya. Suplai air yang baik dan tepat akan
menghasilkan panen yang optimal. Kebutuhan air tanaman adalah
sejumlah air yang diambil dari sungai atau bendungan yang dialirkan
melalui sistem jaringan irigasi yang berguna untuk menjaga
keseimbangan air yang terdapat pada lahan pertanian.beberapa bagian
yang diperlukan dalam perhitungan kebutuhan air tanaman sebagai
berikut:
1. Evapotranpirasi
2. Perlokasi
3. Curah hujan efektif
4. Kebutuhan air penyiapan lahan di sawah (IR)
5. Kebutuhan bersih air di sawah (NFR)
6. Kebutuhan air di pintu pengambilan (DR)
2.6.6.2 Evapotranpirasi
Evapotranspirasi merupakan gabungan peristiwa antara
evaporasi dari permukaan tanah atau air dan transpirasi dari
tumbuh-tumbuhan. Evaporasi adalah peristiwa berubahnya air
menjadi uap, bergerak dari permukaan tanah dan permukaan air ke
udara, terjadi pada sungai, danau, laut, waduk dan permukaan
tanah. Sedangkan transpirasi adalah peristiwa penguapan dari
tanaman, terjadi melalui sel-sel stomata. Evapotranspirasi sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur udara,
kelembaban udara relatif, kecepatan angin, tekanan udara, radiasi
matahari, dan lain-lain yang saling berhubungan. Disamping faktor
tersebut, jenis tanaman, pelaksanaan pemberian air, panjangnya
musim tanam, hujan, kadar kelembaban tanah untuk tanaman,
terlebih pada fase pertumbuhan tanaman, keadaan alami daun-
daunan sangat menentukan besarnya nilai evapotranspirasi.
Evapotranspirasi potensial adalah transpirasi suatu tanaman
rumput yang tumbuh seragam, sepenuhnya menutup tanah,
tumbuh subur dan tidak kekurangan air serta dipangkas setinggi 8-
15cm. Evapotranspirasi potensial (ETo) disebut juga
evapotranspirasi tetapan atau referensi. Data evapotranspirasi
dipergunakan sebagai data bagi pendugaan kebutuhan air irigasi,
agar ketersediaan air bagi tanaman dapat dipertahankan.
Kebutuhan air bagi tanaman didefinisikan sebagai kedalaman air
yang diperlukan untuk memenuhi kehilangan air melalui
evapotranspirasi suatu tanaman yang bebas penyakit, tumbuh
diareal pertanian pada kondisi cukup air, kesuburan tanah dengan
potensi pertumbuhan yang baik dan tingkat lingkungan
pertumbuhan yang baik pula, sehingga secara potensial tanaman
akan berproduksi dengan baik. Evapotranspirasi potensial (ETo).
Khusus untuk perhitungan evapotranspirasi dengan metode
empiris, Metode Penman. Metode Penman menggunakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan keseimbangan energi (radiasi) dan
pendekatan aerodinamika (angin dan kelembaban).
Besaran evapotranspirasi potensial dihitung memakai cara
Penman Modifikasi (FAO), dengan memasukkan data iklim
berikut : letak lintang, temperatur, kelembaban relatif, kecepatan
angin dan lama penyinaran matahari. Persamaan Penman
dirumuskan sebagai berikut :
ETo = c[ W . Rn+ ( 1−W ) . f ( u ) . (℮a−℮ d) ]
(19)
dimana :
ETo : Evapotranspirasi potensial (mm/hari)
c : Faktor koreksi (penyesuaian), untuk cuaca
penggantian siang dan malam
W : Faktor pemberat, antara temperatur dan
penyinaran matahari
Rn : Radiasi bersih / netto (mm/hari) = Rn = Rns
– Rnl
Rns : Harga netto gelombang pendek = Rs (1-α)
Rs : Radiasi gelombang pendek = (0.25+0.50
n/N)Ra
Ra : Radiasi ekstra terristrial (berdasar lokasi
stasiun pengamatan)
α : Koefisien pemantulan = 0.25
Rnl : Harga netto gelombang panjang
: (2.01 x 109·T4)(0.34 - 0.44 ed0,5)(0.1 + 0.9
n/N)
n/N : Lama penyinaran matahari
f (u ) : Fungsi kecepatan angin (km/hari) = 0.27 (1+
u/100)
u : Kecepatan angin 24 jam dengan ketinggian 2
meter (m/dt)
℮a-℮d : Perbedaan antara tekanan uap air jenuh
dengan tekanan uap air
aktual (mbar).

Faktor pemberat W merupakan faktor penyesuaian


terhadap pengaruh angin. Faktor ini merupakan fungsi dari suhu
dan elevasi. Sedangkan ( 1−W ) adalah faktor pemberat untuk
pengaruh kecepatan angin dan kelembaban udara pada ETo. Faktor
f ( u ) merupakan fungsi dari kecepatan angin pada ketinggian dua
meter dari permukaan tanah dan dihitung berdasarkan persamaan
sebagai berikut.

[
f ( u )=0.27 1+
u
100 ] (4)

dimana :
f (u ) : fungsi kecepatan angin (km/hari)
u : kecepatan angin pada ketinggian dua meter (km/hari)

Evapotranspirasi dipengaruhi oleh kelembaban udara.


Kelembaban udara ditunjukkan dari perbedaan antara tekanan uap
air jenuh rata-rata (℮a) dengan tekanan uap air yang sebenarnya
(℮d). data yang diperlukan dalam menentukan perbedaan tekanan
uap air (℮a-℮d) ini adalah kelembaban udara relatif rata-rata (Rh
rata-rata), dimana tekanan uap air jenuh rata-rata merupakan
fungsi dari suhu rata-rata. Tekanan uap air yang sebenarnya dapat
dihitung dengan rumus.

℮ d=℮ a
[ Rh rata−rata
100 ] (5)

dimana :
℮d : tekanan uap air sebenarnya (mbar)
℮a : tekanan uap air jenuh (mbar)
Rh rata-rata : kelembaban udara relatif rata-rata (%)

Radiasi netto (Rn) adalah perbadaan antara radiasi yang


datang dan radiasi yang dipantulkan. Untuk lebih jelasnya radiasi
netto ditunjukkan pada Gambar 2.1. Pada gambar tersebut dibawah
menunjukkan neraca energi (radiasi) yang terjadi di permukaan
bumi.
Besarnya energi yang diterima oleh permukaan bumi
berupa radiasi netto adalah perbedaan antara besarnya radiasi
gelombang pendek yang diterima oleh bumi netto dengan radiasi
gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh bumi ke
atmosfir, dan ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut

Rn = Rns – Rnl (6)

dimana :
Rn : radiasi netto (mm/hari)
Rns : radiasi gelombang pendek yang diterima bumi netto
(mm/hari)
: Rs (1-α)

Faktor koreksi (c) merupakan faktor penyesuaian dari berbagai


kondisi lingkungan. Hal ini dilakukan dalam pendugaan ETo
dengan Metode Penman terutama akibat pengaruh kondisi
lingkungan. Komponen-komponen lingkungan tersebut meliputi :
(1) kelembaban udara maksimum; (2) radiasi netto; (3) kecepatan
angin pada siang hari; dan (4) perbandingan kecepatan angin pada
siang hari dan malam hari
2.6.6.3 Perlokasi
Perkolasi adalah suatu proses masuknya air kedalam tanah
melalui infiltrasi, yang akan menyebabkan meningkatkan
kadar air pada kondisi kapasitas lapang. Setelah mencapai
kondisi kapasitas lapang maka air akan mengalami perkolasi
ke lapisan tanah dibawahnya. Air yang masuk ke dalam tanah
ini mengalami pergerakan kearah horizontal dan vertikal.
Proses gerakan air kelapisan bawah tanah secara vertikal ini
disebut perkolasi, sedangkan ke arah horizontal atau samping
disebut rembesan. Dalam kenyataannya kedua proses tersebut
dikenal dengan istilah perkolasi. Laju perkolasi sangat
tergantung pada sifat-sifat tanah. Pada tanah liat berat dengan
karakteristik pengelolaan yang baik, laju perkolasi dapat
mencapai 1-3 mm/hari. Pada tanah yang ringan, laju
perkolasi bisa lebih tinggi. Beberapa faktor yang sangat
berpengaruh dalam menentukan besarnya laju perkolasi, yaitu
tekstur tanah, permeabilitas, tebal lapisan tanah atas dan letak
muka air tanah.
2.6.6.4 Curah hujan efektif (Re)

Curah hujan merupakan air yang jatuh di atas permukaan


bumi. Hal ini terjadi karena penguapan air, baik dari dataran
maupun permukaan laut, kemudian naik ke atmosfir. Setelah
adanya proses kondensasi uap air di udara, lalu terbentuklah
butir-butir hujan yang akhirnya jatuh sebagian diatas laut dan
sebagian lagi diatas permukaan tanah. Pada hakekatnya curah
hujan yang jatuh diatas permukaan tanah tidak selalu
semuanya dapat dipergunakan untuk pertumbuhan tanaman,
misalnya ada sebagian curah hujan yang tertahan tanaman
atau bangunan dan hilang karena menguap lagi ke atmosfir.
Curah hujan efektif (Re) adalah curah hujan yang secara
efektif berguna untuk memenuhi kebutuhan air untuk
tanaman, tidak termasuk air yang mengalami proses perkolasi
dan aliran permukaan. Curah hujan efektif untuk tanaman
padi diambil sebesar setengah dari 70% curah hujan rata-rata
10 harian yang terlampaui (R 80%) dari waktu dalam periode
tersebut. Secara matematika dirumuskan dengan persamaan
sebagai berikut.

ℜpadi =
2[
1 0.70 x R 80 %
10 ] (12)

dimana :
ℜpadi : curah hujan efektif pada sawah (mm/hari)
R 80 % : curah hujan andalan dengan peluang 80% berhasil,
dalam periode
tertentu (mm)

ℜpalawija =
2[
1 0.70 x R 50 %
10 ] (13)

dimana :
ℜpalawija : curah hujan efektif pada sawah (mm/hari)
R 50 % : curah hujan andalan dengan peluang 50%
berhasil, dalam periode tertentu (mm)
2.6.6.5 Kebutuhan air selama penyiapan lahan (IR)

Untuk perhitungan kebutuhan air irigasi selama penyiapan


lahan, didasarkan pada laju air konstan dalam l/dt selama
penyiapan lahan dan menghasilkan rumus berikut :

IR = M. ek / ( ek – 1 ) (9)

Dimana :
IR : Kebutuhan air irigasi untuk pengolahan tanah
(mm/hari)
M : Kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air
akibat evaporasi dan
perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan : M = Eo + P
Eo : Evaporasi air terbuka (mm/hari) = ETo x 1,10
P : Perkolasi (mm/hari) (Tergantung tekstur tanah)
k : MT/S
T : Jangka waktu penyiapan tanah ( hari )
S : Kebutuhan air (untuk penjenuhan ditambah dengan
lapisan air 50 mm,
yakni 250 + 50 = 300 mm)

2.6.6.6 Kebutuhan bersih air di sawah (NFR)

Kebutuhan bersih air di sawah atau Net Field Water


Requirement (NFR) adalah satuan kebutuhan bersih air di
sawah, dalam hal ini merupakan air yang dibutuhkan tanaman
pada kondisi pertumbuhan yang optimal tanpa kekurangan
air. Dalam perhitungannya kebutuhan bersih air di sawah ini
sudah di perhitungkan faktor curah hujan efektif, dan
dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut

NFRpadi = ETcrop + IR + P + WLR - REpadi (8)

dimana :
NFRtanaman: kebutuhan bersih air di sawah untuk tanaman
tertentu (mm/hari)
ETcrop : kebutuhan air tanaman (mm/hari) (c . ETo)
c : koefisien tanaman terdapat pada tabel 2.8
ETo : evapotranspirasi tetapan (mm/hari)
P : perkolasi (mm/hari)
WLR : kebutuhan air untuk pergantian lapisan air
(mm/hari)
REtanaman : curah hujan efektif untuk tanaman tertentu
(mm/hari)
IR : kebutuhan air untuk penyiapan lahan
Tabel 2.8 Koefisien Tanaman (Kc) Untuk Tanaman Padi dan Palawija

2.6.6.7 Eisiensi irigasi (Ef)


Konsep efisiensi irigasi adalah untuk menunjukkan
dimana peningkatan dapat dilakukan yang akan
menghasilkan pemberian air irigasi lebih efisien.
Pengendalian dalam pemberian air irigasi yang memadai
membutuhkan bahwa metode yang ada untuk mengevaluasi
pelaksanaan pemberian air irigasi pada saat air meninggalkan
titik pengambilan sampai air tersebut digunakan oleh
tumbuh-tumbuhan. Akibat dari kehilangan air selama di
perjalanan, debit air irigasi yang sampai di sawah menjadi
berkurang. Untuk keperluan perencanaan diasumsikan bahwa
seperempat sampai sepertiga dari jumlah air yang diambil
akan hilang sebelum air itu sampai di sawah. Kegiatan ini
disebabkan oleh kegiatan eksploitasi, evaporasi, kebocoran,
rembesan dll. Pada umumnya kehilangan air di jaringan
irigasi dapat di kategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu .
1. Kehilangan di tingkat primer (saluran induk) berkisar antara
7,5 – 12,5 %, misal 10 %.
2. Kehilangan di tingkat sekunder (saluran sekunder) berkisar
antara 10 – 15 %, misalk 15 %
3. Kehilangan di tingkat tersier (antara bangunan sadap tersier
sampai sawah) berkisar antara 15 – 25 %, misal25 %
Agar air yang sampai ke tanaman tepat jumlahnya,
maka air yang di ambil pada pintu pengambilan harus lebih
besar dari kebutuhannya, untuk itu harus dibagi dengan faktor
efisiensi irigasi, yaitu perbandingan antara jumlah debit air
irigasi yang dikeluarkan dari pintu pengambilan dan
dinyatakan dalam prosentase (%). Efisiensi secara
keseluruhan (total) adalah efisiensi tersier dikalikan efisiensi
sekunder dikalikan efisiensi primer, yang berkisar antara 55,8
– 70,1 %. Klasifikasi efisiensi irigasi secara lengkap disajikan
pada Tabel 2.3
Efisiensi irigasinya adalah :
1. Saluran Primer 100% - 10% = 90%
2. Saluran Sekunder 100% - 15% = 85%
3. Saluran Tersier 100% - 25% = 75%
4. Efisiensi Jaringan Irigasi Sampean Baru = 90% x 85% x 75%
= 57,4%

2.6.6.8 Kebutuhan air di pintu pengambilan (DR)

Penentuan kebutuhan air di pintu pengambilan dapat di


lakukan dengan menentukan air irigasi di petak tersier secara
keseluruhan dalam daerah irigasi, atau dengan perkataan lain
kebutuhan air irigasi dapat dicari dari penentuan debit di pintu
tersier, pintu sekunder serta penentuan debit di pintu primer
atau bendung (Suranto dan Supriyono, 1989). Kebutuhan air
irigasi di pintu pengambilan (Intake) atau Diversion
Requirement (DR) didefinisikan sebagai kebutuhan bersih air
di sawah di bagi dengan efisiensi irigasi, dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut (Anonim 2, 1986).
NFR padi
DR padi= (14)
( E f . x .8 .64 )
NFR plw
DR plw= (15)
( E f . x .8 .64 )
DR total =DR padi + DR plw (16)

dimana :
DR padi : kebutuhan pengambilan untuk tanaman padi
(liter/detik/ha)
DR plw : kebutuhan pengambilan untuk tanaman palawija
(liter/detik/ha)
NFR padi : kebutuhan bersih air di sawah untuk tanaman padi
(mm/hari)
NFR plw : kebutuhan bersih air di sawah untuk tanaman
palawija (mm/hari)
Ef . : efisiensi jaringan irigasi total (%)

2.6.6.9 Debit andalan

Debit andalan (dependable flow) adalah debit rencana yang


diharapkan tersedia untuk keperluan tertentu sepanjang tahun
dengan resiko kegagalan yang telah diperhitungkan, jadi
apabila ditetapkan peluang keandalan 80 % berarti akan
dihadapi resiko adanya debit-debit yang lebih kecil dari debit
andalan sebesar 20 %. Untuk penentuan debit andalan dengan
tingkat keandalan tertentu perlu dipertimbangkan terminologi
debit sungai yang terbagi sebagai berikut :
1. Debit air musim kering
Debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak 355 hari
dalam setahun dengan kata lain debit ini mempunyai tingkat
keandalan sebesar 97.26 %.
2. Debit air rendah
Debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak 275 hari
dalam setahun dengan kata lain debbit ini mempunyai tingkat
keandalan sebesar 75.34 %.
3. Debit normal
Debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak 185 hari
dalam setahun dengan kata lain debit ini mempunyai tingkat
keandalan sebesar 50.60 %
4. Debit air cukup
Debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak 95 hari
dalam setahun dengan kata lain debit ini mempunyai tingkat
keandalan sebesar 26.03 %.
Dalam praktek untuk keperluan perencanaan penyediaan air
irigasi umumnya digunakan debit andalan dengan tingkat
keandalan 80 % dengan pertimbangan bahwa akan terjadi
peluang disamai atau dilampaui debit-debit kering sebanyak
72 hari atau 2,5 bulan dalam setahun. Ini berarti bahwa pada
musim tanam 3 (MT 3) jika terjadi kekeringan, tanaman
masih mendapat air selama 1,5 bulan atau 0,5 dari masa
tanamnya, dengan demikian diharapkan masih tidak
membahayakan tanaman dari ancaman kematian.

2.6.6.10 Kebutuhan air irigasi

Kebutuhan air irigasi adalah jumlah Volume air


yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan evaporasi,
kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan
memperhatikan jumlah air yang diberikan oleh alam melalui
hujan dan kontribusi air tanah. (Anonim,1996). Kebutuhan
air irigasi tergantung pada rencana pola tanam pada suatu
jaringan irigasi. Dalam pembangunan jaringan irigasi
banyaknya air yang diperlukan untuk pertanian harus
diketahui dengan tepat, sehingga pemberian air irigasi dapat
seefisien mungkin. Kebutuhan air irigasi sangat dipengaruhi
oleh keadaan iklim, tanah, dan jenis tanaman yang
diusahakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya
pemakaian air irigasi adalah :
1. Jenis tanaman
Beragamnya jenis tanaman menyebabkan perhitungan
kebutuhan air menjadi banyak dan rumit, karena setiap
tanaman kebutuhan airnya berbeda-beda. Oleh karena itu,
untuk menyederhanakannya dikelompokkan menjadi tiga
yaitu kelompok padi, tebu dan palawija.
2. Pola tata tanam
Pola tata tanam yang direncanakan untuk suatu daerah irigasi
merupakan jadwal tanam yang disesuaikan dengan
ketersediaan airnya dan memberikan gambaran tentang jenis
dan luas dari tanaman yang akan diusahakan dalam satu
tahun. Secara umum pola tata tanam dimaksudkan untuk
menghindari ketidakseragaman tanaman, melaksanakan
waktu tanam sesuai dengan jadwal yang telah di tentukan dan
untuk menghemat air
3. Cara pemberian air
Pemberian air secara serentak untuk satu daerah irigasi
membutuhkan air yang relatif lebih banyak dibandingkan
dengan pemberian air secara golongan atau giliran. Jadi
waktu tanam diatur secara berurutan, sehingga memudahkan
pergiliran air.
4. Jenis tanah dan cara pengolahannya
5. Keperluan air untuk pengolahan tanah diperlukan dalam satu
periode yang singkat secara terkonsentrasi, sehingga
keperluan air ini mempunyai pengaruh yang penting dalam
pemakaian air irigasi
6. Iklim dan cuaca yang meliputi curah hujan, angin, letak
lintang, kelembaban dan suhu udara.
7. Cara pengoperasian dan pemeliharaan (OP) saluran dan
bangunan dengan memperhitungkan kehilangan air.

2.6.6.11 Metode FPR (Faktor palawijo relatif )

Untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan cara


perhitungan kebutuhan air tanaman di Jawa Timur memakai
metode Faktor Polowijo Relatif (FPR). Metode ini merupakan
perbaikan dari metode-metode yang telah diteapkan di negara
Belanda, yaitu metode pasten.
Persamaan metode FPR yaitu :

Q
FPR= (18)
LPR

dimana :
FPR : Faktor Palawija Relatif (lt/dt/ha.pol)
Q : Debit air yang akan masuk ke saluran (lt/dt)
LPR : Luas Palawija Relatif (ha.pol)
Kategori nilai FPR untuk keperluan operasional
pembagian air pada petak tersier dapat dikategorikan sebagai
berikut :
1. Cukup, FPR = 0,45 – 0,55 lt/dt/ha.pol (bulan nopember sampai
februari)
2. Sedang, FPR = 0,35 – 0,45 lt / dt / ha.pol (bulan maret sampai
juni)
3. Kurang, FPR = 0,25 – 0,35 lt / dt / ha.pol (bulan juli sampai
oktober)
Misalnya pada bulan nopember – februari, FPR = 0,20 berarti
nilai tersebut kurang dari 50% FPR yang telah ditentukan
sehingga perlu diadakan pergiliran air. Kriteria FPR berdasarkan
jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.9 berikut :

Tabel 2.9. Nilai Faktor Palawija Relatif (FPR)


FPR (lt/dt/ha.pol)
Jenis Tanah
Air Kurang Air Cukup Air Memadai
Alluvial 0,18 0,18 – 0,36 0,36
Latosol 0,12 0,12 – 0,23 0,23
Grumosol 0,06 0,06 – 0,12 0,12
Giliran Perlu Mungkin Tidak

2.6.6.12 Kebutuhan air baku


Bendungan juga harus menyediakan pasokan air baku
selain memenuhi kebutuhan untuk pengairan daerah irigasi
dan juga kebutuhan PLTA.kebutuhan air baku yan perlu
disediakan bendungan way apu perlu mengetahui besar
kebutuhan air baku masyarakat kecamatan waeapo. Dalam
perhitungan kebutuhan air baku deiperlukan proyeksi jumlah
penduduk kecamatan waeapo dari tahun 2018 hingga tahun
2100 sesuai dengan umur perencanaan waduk way apu. Dari
perhitungan proyeksi jumlah penduduk kemudian dihitung
jumlah kebutuhan air dari sektor domestik yang meliputi
rumah tangga hidran umum serta sektor Non-domestik yang
meliputi sosial, pemerintahan, TNI/PORLI, dan Niaga.
Perhitungan kebutuhan air baku daiatur berdasarkan kategori
kota dalam kriteria perncanaan Dirjen Cipta Karya Dinas PU
tahun 1996.
2.6.6.13 Debit andalan
Debit andalan merupakan debit yang tersedia dapat
diperhitungkan guna keperluan tertentu sepanjang tahun.
Debit andalan tergantung pada debit yang dihasilkan.
Semakin besar angka keandalan maka semakin kecil debit
yang dihasilkan. Debit andalan ditetapkan dengan 80%
berarti akan dihadapi resiko adanya debit-debit yang lebih
kecil dari debit andalan sebesar 20%. Utnuk menentukan
besarnya debit andalan dapat dihitung dengan metode yang
disesuaikan dengan data yang tersedia. Data yang tersedia
dapat berupa data debit yang dimiki oleh setiap stasiun sungai
pengamatan maupun data curah hujan yang dimiliki setiap
stasiun curah hujan pada DAS.
2.6.6.14 Neraca Air
Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan air pada
suatu daerah sekitar bendungan, pada umumnya
diperlukan perhitungan neraca air. Neracaair memiliki
variasi persamaan kontunity yang dikembangakn menjadi
persamaan berikut

P+ I (import) =Q+ Et +O(eksport) + Sm + S g +S d + L


Atau
P+ ( I c + I g )=Q+ E t + ( Oc +Og ) + S m+ S g + Sd + L ….( )
Dimana :
P = Hujan
Ic = Suplai aliran pembukaan melalui sungai dan
saluran dari luar
Q = Aliran permukaan (run off)
Et = Evapotranspirasi
Oc = Suplai aliran permukaan keluar
Og = Air tanah yang mengalir keluar
Sm = perubahan kelembapan tanah
Sd = perubahan simpanan air pada daerah cekungan
L = Kehilangan air melalui perkolasi

Gambar Neraca Air


Sumber Aplikasi Hidologi (2010,6)
2.6.7
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.
1.6.
1.7. Analisa hidrolika
2.
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.5.
2.6.
2.6.1.
2.6.2.
2.6.3.
2.6.4.
2.6.5.
2.6.6.
2.6.7.
2.6.7.1. Ambang Pelimpah
Ambang pelimpah terdapat tiga bentuk yang sering
digunakan,yaitu:
1. TIPE I, tipe ini cocok untuk pelimpah ogee yang
mempunyai beda tinggi tekanan yang rendah (low
head ).
2. TIPE II, yang paling banyak digunakan. Permukaan
pelimpah bagian hulu/depan berbentuk vertikal dan
melengkung ke atas sampai mercu dan setelah itu akan
membentuk lereng.
3. TIPE III, permukaan pelimpah bagian depan berbentuk
vertikal dan memebesar pada bagian mercu yang
menggantung ( overhang ).
Rumus debit yang melewati ambang pelimpah Tipe II dengan
penampang segi empat dapat dihitung dengan menggunakan rumus
(Sosrodarsono,1977:181).
3
Q ❑=C d . Leff . H d 2

Dimana

Q = debit (m3/detik)
C = koefisien debit
Leff = lebar efektif ambang (m)
3
Hd 2 = tinggi tekan di atas ambang (m)

2.6.7.2. Koefisien Debit


Koefisien debit salah satunya ditentukan dengan berdasarkan pada
rumus empiris Iwasaki yang berlaku untuk tipe standart dari
spillway (Sosrodarsono,1997).
H d 0,99
C d=2,200−0,0416
P
h 0,99
1+2 a (
)
Hd ❑
C=1,6
h
1+a ( )
Hd

Dimana

C = koefisien limpahan untuk semua tinggi tekan

Cd =koefisien limpahan untuk tinggi tekan rencaana

h = tinggi air diatas mercu ambang (m)

Hd = tinggi tekan rencana diatas mercu ambang (m)


P = tinggi ambang

a = konstanta diperoleh pada saat h= H d ,yang berarti C = C d

2.6.7.3. Saluran Transisi


saluran transisi adalah saluran yang mengkondisikan aliran.
Perhitunganpada saluran transisi bertujuan merencanakan Aliran
yang terdapat pada ujung saluran transisi adalah subkritis dan pada
hilir saluran kritis sesuai dengan rumus kekekalan energi sebagai
berikut (masrevaniah,2012)
2 2 2
V V K (V B ¿ ¿2−V C )
Z + Y B+ B = Y C + C + ¿ + hf
2g 2g 2g

Dimana ;

Z = Beda tinggi B dan C

YB = tinggi aliran di titik B (ujung hulu transisi )

VB = kecepatan air di titik B (ujung hulu transisi )

YC = kedalaman kritis di titik C (ujung hilir transisi )



VC = kecepatan kritis di titik C (ujung hilir transisi )

K = koefisien kehilangan tinggi akibat perubahan penampang (0,1-

0,2)

hf = kehilangan tinggi tekan akibat gesekan


Gambar.Bagian bangunan pelimpah (spillway)

2.6.7.4. Saluran Peluncur


Menentukan profil muka pada saluran peluncur dapat
menggunakan metode kekekalan energi, utnuk saluran yang memiliki
panjang cukup besar perhitungan dapat dilakukan dengan secara
bertahap dengan jarak tertentu dengan rumus sebagai berikut
(masrevaniah,2012)
2 2
V2 V
Z + Y 1+ = V 2 +Y 2 + 2 + hf
2g 2g
2.6.7.5. Peredam Energi

Bangunan peredam energi digunakan untuk meredam aliran


dengan tekanan hirdosatis yang tinggi dan debit yang besar. Tipen
kolam oalk yang direncanakan bergantung pada energi air yanng
masuk, yang dinyatakan dengan bilangan froude. Berdasarkan
bilangan froude dapat dibuat pengelompokan peredam energi.

1. Untuk Fr < 1,7 tidak diperlukan kolam olak atau peredam


energi .
2. Untuk 1,7 < Fr < 2,5 maka diperlukan peredam energi
untuk meredam enrgi secara efektif.
3. Jika fr memiliki nilai 2,5< Fr < 4,5 maka akan timbul
situasi yang sulit dalam memilih peredam energi yang
tepat. Karena pada nilai fr tersebut dapat menimbulkan
olakan turbulensi yang tinggi. Peredam energi yang
dibutuhkan harus berukuran besar (USBR tipe IV)
4. Jika nilai Fr > 4,5 ini akan memerlukan peredam energi
yang paling ekonomis. Biasanya cocok dengan peredam
energi USBR tipe III atau tipe II.
Gambar. Tipe Peredam Energi Datar

2.8 Perencanaan spillway


perencanaan struktur spillway pada pondasi, tubuh pelimpah, dinding
penahan saluran transisi, saluran peluncur, peredam energi. Struktur yang
perlu direncanakan yaitu pada penulangan sturktur bangunan.perencanaan
struktur menggunakan f’c = 30 MPa, dengan tebal selimut beton 100 mm,
menggunakan mutu baja fy 400 MPa.

Anda mungkin juga menyukai