2
BAB 2. PENGELOLAAN HIPERTENSI ................................................... 19
2.1 Seberapa Jauh Peranan Gaya Hidup Terhadap Hipertensi? ........... 19
2.2 Bagaimana Strategi untuk Mencegah Hipertensi (Pencegahan
Primer)? ............................................................................................ 19
2.3 Apa Saja Pemeriksaan Penunjang pada Pemeriksaan Hipertensi? 21
2.4 Manfaat Modifikasi Diet Pada Penderita Hipertensi? ....................... 22
2.5 Seberapa Besar Manfaat Pembatasan Asupan Natrium Terhadap
Hipertensi? ....................................................................................... 25
2.6 Seberapa Besar Manfaat Latihan Fisik Terhadap Hipertensi? ......... 26
2.7 Apakah Prinsip Latihan Fisik Pada Penderita Hipertensi? ............... 26
2.8 Apa Saja yang Harus Diperhatikan Saat Latihan Fisik dan
Kontraindikasi Pada Penderita Hipertensi? ...................................... 27
2.9 Apa Saja Jenis Obat Antihipertensi ? ............................................... 27
2.10 Inisiasi Pengobatan Hipertensi Dengan Pengubahan Gaya Hidup
dan Obat Antihipertensi? .................................................................. 30
2.11 Kapan Kita Melakukan Terapi Kombinasi Antihipertensi? ................ 30
2.12 Apa Saja yang Penting Diperhatikan Saat Kunjungan Berikut/Follow
Up Pasien Hipertensi yang Belum Mencapai Target ? ..................... 32
3
3.5 Apa yang Harus Diperhatikan Hipertensi Pada Sindrom Metabolik ?
.......................................................................................................... 35
3.6 Seberapa Besar Hubungan Antara Sleep Apnea Obstruktif Dengan
Hipertensi ? ....................................................................................... 35
3.7 Apa yang Disebut Dengan Hipertensi Resisten ? ............................ 36
3.8 Bagaimana Menangani Hipertensi Resisten ? ................................. 36
3.9 Bagaimana Prinsip Tatalaksana Hipertensi Perioperatif ? ............... 37
3.10 Bagaimana Prinsip Melakukan Pencegahan Sekunder ? ................ 37
3.11 Bagaimana Prinsip Melakukan Pencegahan Tersier ? .................... 37
3.12 Apakah yang Dimaksud Dengan Krisis Hipertensi ? ....................... 37
3.13 Apa Saja Klasifikasi Hipertensi Krisis dan Manifestasi Klinis ? ........ 38
3.14 Bagaimana Pendekatan Awal Pada Krisis Hipertensi ? ................... 38
3.15 Prinsip Tatalaksana Hipertensi Emergensi dan Urgensi ? ............... 39
3.16 Apa Saja Faktor Risiko Krisis Hipertensi ? ....................................... 40
4
BAB 5. PENGELOLAAN HIPERTENSI PADA WANITA ........................ 53
5.1 Benarkah Laki-Laki Lebih Banyak Menderita Hipertensi? ................ 53
5.2 Benarkah Hipertensi Sebagai Salah Satu Penyebab Kematian
Maternal yang Utama? ..................................................................... 53
5.3 Apa Saja Risiko Khusus Pada Wanita yang Berkaitan Dengan
Hipertensi? ........................................................................................ 54
5.4 Adakah Faktor-Faktor Spesifik yang Menyebabkan Tingginya
Prevalensi Hipertensi Pada Wanita? ................................................ 54
5.5 Apa Saja yang Penting Diperhatikan Pada Kehamilan Dengan
Hipertensi? ........................................................................................ 55
5.6 Benarkah Kontrasepsi Oral Berhubungan Dengan Peningkatan
Risiko Hipertensi? ............................................................................. 58
5.7 Apakah Terapi Sulih Hormon Dapat Membantu Menurunkan
Tekanan Darah Pada Menopause? .................................................. 58
5
DAFTAR SINGKATAN
6
KATA PENGANTAR
Buku diagnosis dan tatalaksana hipertensi ini, disajikan dalam bentuk tanya-
jawab agar memudahkan untuk para pembaca. Jawaban disusun
berdasarkan bukti-bukti ilmiah terakhir dari berbagai konsensus maupun
buku praktis , ringkasan eksekutif , dan publikasi internasional terbaru.
Diharapkan buku ini dapat menjadi panduan dalam penanganan hipertensi
lebih optimal sesuai dengan ilmu kedokteran yang berbasis bukti ilmiah.
Jakarta,
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia
inash@inash.or.id
7
Bab
1 Diagnosis Hipertensi
1.1 Bagaimana Klasifikasi Hipertensi ?
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg.
Tingkatan hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik
dan diastolik (tabel 1.1)
8
Kapan Kita Mencurigai Adanya Hipertensi Sekunder ?
Beberapa kondisi yang mengarah pada kecurigaan hipertensi sekunder :
- Hipertensi berat atau hipertensi resisten.
- Peningkataan TD akut pada pasien dengan TD yang sebelumnya stabil
- Usia kurang dari 30 tahun pada pasien tidak obese tanpa riwayat
keluarga hipertensi dan tanpa faktor risiko hipertensi.
- Hipertensi maligna atau hipertensi terakselarasi (pasien hipertensi berat
dengan tanda kerusakan organ target)
- Awitan hipertensi sebelum pubertas
Keterangan: TDS: tekanan darah sistolik; TDD: tekanan darah diastolik; PGK:
penyakit ginjal kronik; DM: diabetes mellitus;PKV:penyakit kardiovaskular
Sumber: European Society of Hypertension-European Society of Cardiology (ESH-
ESC) 2013
9
1.3 Bagaimana Menilai Risiko Kardiovaskular ?
Seperti diketahui bahwa tatalaksana hipertensi tidak semata pada derajat
hipertensinya, namun juga mempertimbangkan adanya faktor risiko kardio-
serebro-vaskular lainnya. Pendekatan untuk mengurangi kejadian penyakit
kardio-serebro-vaskular diterapkan melalui penilaian faktor risiko global
kardiovaskular. Model stratifikasi faktor risiko global kardiovaskular
membagi penderita hipertensi menjadi risiko rendah, sedang, tinggi, dan
sangat tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun ke
depan (Tabel 1.2 dan tabel 1.3).
Keterangan faktor risiko dan kerusakan target organ yang dimaksud pada
tabel 1.2. dapat dilihat pada tabel 1.3.
Faktor Risiko
Laki-laki
Umur (laki-laki ≥ 55 tahun; perempuan ≥ 65 tahun)
Merokok
Dislipidemia
Kolesterol total > 190 mg/dL, dan/atau
Kolesterol LDL > 115 mg/dL, dan/atau
Kolesterol HDL: laki-laki < 40 mg/dL; perempuan < 46 mg/dL, dan/atau
Trigliserida > 150 mg/dL
Gula darah puasa 102-125 mg/dL
Uji toleransi glukosa abnormal
Obesitas (Indeks Masa Tubuh/IMT ≥ 25 kg/m2)
Obesitas abdominal (lingkar pinggang: laki-laki >90 cm; perempuan > 80 cm)
Riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dini (laki-laki usia < 55 tahun;
perempuan usia < 65 tahun)
Kerusakan organ asimptomatik
Tekanan nadi ≥ 60 mmHg (pada usia tua)
Hipertrofi ventrikel kiri dari EKG (indeks Sokolow Lyon) atau
Hipertrofi ventrikel kiri dari ekokardiografi (massa ventrikel kiri : laki-laki
>115g/m2, perempuan 95 g/m2)
Penebalan dinding karotis (IMT >0,9 mm) atau plak
10
Carotid-femoral PWV > 10 m/s
Indeks Ankle-brachial <0,9
Penyakit Ginjal Kronik dengan eGFR < 60 ml/menit/1,73 m2
Mikroalbuminuria (30-300 mg/24 jam), atau rasio albumin-kreatinin (30-300
mg/g; 3,4-34 mg/mmol),disarankan untuk pengambilan pada urin pagi hari
Diabetes Melitus
Gula darah puasa > 126 mg/dl atau Gula darah sewaktu > 200 dengan gejala
klasik DM, atau
Gula darah puasa > 126 mg/dl atau Gula darah sewaktu > 200 dalam 2 kali
pemeriksaan, atau
Kadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) > 200, atau
HbA1c >6,5%
Penyakit kardiovaskular atau ginjal yang sudah terdiagnosis
Penyakit serebrovaskular: stroke iskemik, perdarahan serebral, TIA
Penyakit jantung koroner: infark miokard, angina, revaskularisasi miokardial
dengan PCI atau CABG
Gagal jantung
Penyakit pembuluh darah perifer ekstremitas bawah yang simtomatik
Penyakit Ginjal Kronik dengan eGFR <60 mL/menit/1,73m2, proteinuria (>300
mg/24 jam)
Retinopati lanjut: perdarahan, eksudat, papiledema
Keterangan: BSA = body surface area; CABG = coronary artery bypass graft; eGFR
= estimated glomerular filtration rate; HbA1c = glycated haemoglobin; PCI =
percutaneous coronary intervention; PWV = pulse wave velocity.
Sumber: European Society of Hypertension-European Society of Cardiology (ESH-
ESC) 2013
11
Faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah :
Riwayat keluarga dengan hipertensi
Usia > 45 tahun pada pria dan > 55 tahun pada wanita
Etnik / suku bangsa
12
1.5.1 Seberapa Besar Manfaat dan Menilai Pengukuran Tekanan
Darah di Luar Klinik ?
Keuntungan pengukuran TD di luar Klinik adalah pengukuran TD bebas dari
pengaruh lingkungan medik, sehingga lebih mencerminkan nilai TD.
Pengukuran tekanan darah di luar Klinik biasanya dinilai dengan Ambulatory
Blood Pressure Monitoring (ABPM) atau Home blood Pressure Monitoring
(HBPM). ABPM dan HBPM merupakan data tambahan terhadap status TD
seseorang dan risiko kardiovaskular. Cut-off value definisi hipertensi
tekanan darah di Klinik dan di luar Klinik dapat dilihat pada Tabel 1.4.
13
Tabel 1.5 Indikasi Klinik Pemeriksaan TD di Luar Klinik
14
HBPM (jika ada)
15
Gambar 1.1 Algoritma pendekatan diagnosis Hipertensi
Sumber: Canadian Hypertension Education Program (CHEP) Recomendations 2015
1.6 Apa Saja Anamnesis yang Penting Pada Penderita Hipertensi ?
Anamnesis ditujukan untuk memastikan dan membuktikan diagnosis
hipertensi, mencari tanda-tanda kerusakan target organ simtomatik,
menyaring risiko kardiovaskular global, skrining terhadap kemungkinan
hipertensi sekunder, dan riwayat pengobatan hipertensi. (Tabel 1.6)
3. Faktor Risiko
Riwayat keluarga dan pribadi dengani hipertensi dan penyakit
kardiovaskular
Riwayat keluarga dan pribadi dengan dislipidemia
Riwayat keluarga dan pribadi dengan Diabetes Melitus (pengobatan, kadar
glukosa darah, poliuria)
Kebiasaan merokok
Pola makan
Perubahan berat badan terbaru; obesitas
Intensitas latihan fisik
Mendengkur; sleep apnea (informasi juga dari pasangan)
Berat badan lahir rendah
4. Hipertensi Sekunder
Riwayat keluarga Penyakit Ginjal Kronik (Penyakit ginjal polikistik)
Riwayat penyakit ginjal, infeksi saluran kencing, hematuria, penyalahgunaan
analgesik (penyakit ginjal parenkim)
16
Asupan obat/zat, seperti kontrasepsi oral, obat tetes hidung vasokonstriktif,
kokain, amfetamin, glukokortikosteroid dan mineralokortikosteroid, obat
antiinflamasi nonsteroid, erythropoietin, cyclosporine.
Kejadian berulang dari berkeringat/sweating, sakit kepala, kecemasan,
palpitasi (feokromositoma).
Terjadinya kelemahan otot (hiperaldosteronism)
Gejala sugestif penyakit tiroid
5. Manajemen Hipertensi
Pengobatan antihipertensi terbaru
Pengobatan antihipertensi sebelumnya
Bukti kepatuhan atau ketidakpatuhan terhadap terapi/pengobatan
Keberhasilan atau efek samping dari obat
17
Strok
Penyakit ginjal
Retinopati (kerusakan retina)
Penyakit pembuluh darah tepi
Impotensi
18
Bab
2 Pengelolaan Hipertensi
2.1 Seberapa Jauh Peranan Gaya Hidup Terhadap Hipertensi ?
Dari segi epidemiologi, hipertensi sangat terkait dengan gaya hidup (life
style) antara lain: pola makan, aktifitas fisik dan kegiatan sehari-hari.
Berbagai penelitian telah membuktikan: olahraga, penurunan berat badan,
pengurangan asupan garam dan pengendalian stres dapat menurunkan
tekanan darah. Sehingga dalam pengelelolaan hipertensi langkah pertama
yang harus dilakukan adalah mengubah gaya hidup yang sehat.
19
Tabel 2.1 Modifikasi Gaya Hidup dalam Penanganan Hipertensi*†
Perkiraan
Modifikasi Rekomendasi Penurunan TDS
(Skala)
Menurunkan Memelihara Berat Badan Normal 5-20 mmHg/10 kg
Berat Badan (Indeks Massa Tubuh 18.5–24.9 penurunan Berat
kg/m2). Badan
Melakukan pola Mengkonsumsi makanan yang kaya 8-14 mmHg
diet dengan buah-buahan, sayuran, produk
berdasarkan makanan yang rendah lemak, dengan
DASH kadar lemak total dan saturasi yang
rendah.
Diet Rendah Menurunkan asupan Garam sebesar 2-8 mmHg
Natrium tidak lebih dari 100 mmol per-hari (2.4
gr Natrium atau 6 gr garam).
Olahraga Melakukan Kegiatan Aerobik fisik 4-9 mmHg
secara teratur, seperti jalan cepat
(paling tidak 30 menit per-hari, setiap
hari dalam seminggu).
Membatasi Membatasi konsumsi alkohol tidak lebih 2-4 mmHg
Penggunaan dari 2 gelas ( 1 oz atau 30 ml ethanol;
Alkohol misalnya 24 oz bir, 10 oz anggur, atau
3 0z 80 whiski) per-hari pada sebagian
besar laki-laki dan tidak lebih dari 1
gelas per-hari pada wanita dan laki-laki
yang lebih kurus.
20
2.3 Apa Saja Pemeriksaan Penunjang Pada Penderita Hipertensi ?
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk membuktikan adanya faktor
risiko tambahan, mencari kemungkinan hipertensi sekunder, dan
ada/tidaknya kerusakan organ target. (Tabel 2.2)
21
2.4 Seberapa Besar Manfaat MODIFIKASI DIET Pada Penderita
Hipertensi ?
22
Keterangan:
• Satu porsi bahan makanan sumber karbohidrat contohnya adalah ¾ gelas
nasi, yang mengandung 175 kilokalori, 4 gram protein, dan 40 gram
karbohidrat
• Satu porsi sayuran contohnya 1 gelas daun singkong setelah dimasak dan
air masakannya ditiriskan, yang mengandung 50 kilokalori, 3 gram protein,
dan 10 gram karbohidrat
• Satu porsi buah contohnya 1 buah ukuran sedang pisang ambon atau 1
potong sedang pepaya, yang mengandung 40 kilokalori dan 10 gram
karbohidrat
• Satu porsi bahan makanan protein hewani contohnya 1 potong sedang
daging ayam atau 1 butir besar telur ayam negeri atau 1 potong sedang
daging sapi, yang mengandung 95 kilokalori, 10 gram protein dan 6 gram
lemak
• Satu porsi protein nabati contohnya 1 potong besar tahu atau 2 potong
sedang tempe, yang mengandung 80 kilokalori, 6 gram protein, 3 gram
lemak, dan 8 gram karbohidrat
• Satu gelas susu sapi (murni) mengandung 130 kilokalori, 7 gram protein,
7 gram lemak, dan 9 gram karbohidrat.
23
Tabel 2.3 Diet Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH)
Keterangan :
p = penukar, gls = gelas, ptg = potong, sdg = sedang, sdm = sendok makan, sdt =
sendok teh
*Oleh karena telur mengandung tinggi kolesterol, batasi asupan kuning telur tidak
lebih dari 4 butir per minggu
Daftar asupan makanan di atas berdasarkan 2000 kkal/hari.
24
2.5 Seberapa Besar Manfaat Pembatasan Asupan Natrium Terhadap
Hipertensi ?
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan asupan tinggi
natrium meningkatkan angka kejadian hipertensi, stroke, dan kematian
akibat penyakit kardiovaskular. Menurunkan asupan Natrium pada penderita
hipertensi hingga menjadi 75 mmol/hari (1,8 g/hari), dapat menurunkan
tekanan darah sistolik 4–5 mm Hg. Anjuran asupan Natrium untuk
pencegahan hipertensi dan pada prahipertensi adalah kurang dari 100
mmoL/hari atau 2,4 g/hari yang setara dengan 6 g garam dapur (natrium
klorida) atau satu sendok teh. Bagi pasien dengan hipertensi, asupan
natrium dibatasi menjadi 1,5 g/hari atau kurang lebih 3,5–4 g garam/hari.
Walaupun tidak semua pasien hipertensi sensitif terhadap natrium, namun
pembatasan asupan natrium merupakan hal penting dalam menurunkan TD.
Dari Mana Saja Sumber Asupan Natrium ?
Dalam makanan sehari-hari, asupan natrium dapat diperoleh dari berbagai
sumber, meliputi garam natrium yang ditambahkan pada produk olahan
seperti produk industri, berbagai bahan makanan sehari-hari, dan natrium
yang berasal dari penambahan garam pada waktu memasak atau
penambahan individual pada saat makan. Oleh karena itu untuk dapat
memenuhi pembatasan asupan natrium perlu diketahui bahan makanan
yang mempunyai kandungan tinggi natrium yang merupakan bahan
makanan yang harus dihindari. Umumnya bahan makanan jenis ini adalah
bahan makanan yang diasinkan, diasap, makanan kalengan, dan highly-
processed.
25
2.6 Seberapa Besar Manfaat Latihan Fisik Terhadap Hipertensi ?
Latihan fisik adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana, terstruktur
dan terprogram dengan melibatkan gerakan tubuh berulangulang serta
ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani. Latihan fisik yang
dianjurkan adalah latihan fisik aerobik dan latihan kekuatan otot. Berbagai
penelitian telah membuktikan bahwa hidup aktif, yaitu meningkatkan latihan
fisik sedang selama minimal 30 menit setiap hari dapat menurunkan risiko
terjadinya hipertensi (30-50%).
Tekanan darah sistolik turun 5-7 mmHg pada pasien hipertensi ringan yang
melakukan aktivitas fisik tingkat sedang secara teratur. Penurunan tekanan
darah dapat bertahan selama 22 jam setelah melakukan aktivitas fisik
tingkat sedang.
26
2.8 Apa Saja yang Harus Diperhatikan Saat Latihan Fisik dan
Kontraindikasi Pada Penderita Hipertensi ?
Perhatian saat melakukan latihan fisik:
a. Cukup istirahat 6-7 jam
b. Menggunakan pakaian olahrga yang agak longgar dan menyerap
keringat
c. Menggunakan sepatu olahraga yang sesuai dengan latihan yang dipilih
d. Membawa obat-obatan yang biasa diminum
27
Tabel 2.4 Kontraindikasi Pada Penggunaan Obat Antihipertensi
Antagonis Takiaritmia
kalsium Gagal jantung
dihidropiridin
Antagonis Blok A-V (Tingkat 2 atau 3,
kalsium non- trifascicular block)
dihidropiridin Gangguan ventrikel kiri berat
(verapamil, Gagal jantung
diltiazem)
28
Tabel 2.5 Obat-Obat yang Direkomendasikan Pada Kondisi Penyakit Tertentu
Kondisi Obat
Kerusakan organ asimptomatik
Hipertrofi ventrikular kiri ACEI, Antagonis kalsium, ARB
Aterosklerosis asimptomatik Antagonis kalsium, ACEI
Mikroalbuminuria ACEI, ARB
Gangguan ginjal ACEI, ARB
Kejadian kardiovaskular klinis
Riwayat strok Setiap zat efektif menurunkan
TD
Riwayat infark miokard BB, ACEI, ARB
Angina pektoris BB, Antagonis kalsium
Gagal jantung Diuretik, BB, ACEI, ARB,
Antagonis Mineralokortikoid
Aneurisma aorta BB
Fibrilasi atrial, pencegahan Pertimbangkan ARB, ACEI, BB
atau antagonis mineralokortikoid
Fibrilasi atrial, pengendalian BB, antagonis kalsium non-
denyut ventrikel dihidropiridin
Penyakit Ginjal Kronik/proteinuria ACEI, ARB
Penyakit arteri perifer ACEI, Antagonis kalsium
Lainnya
Hipertensi sistolik terisolasi (usia Diuretik, Antagonis kalsium
lanjut)
Sindrom metabolik ACEI, ARB, Antagonis kalsium
Diabetes melitus ACEI, ARB
Kehamilan Methyldopa, BB, Antagonis
kalsium
Kulit hitam Diuretik, Antagonis kalsium
ACE = angiotensin-converting enzyme; ARB = angiotensin reseptor blocker;
BB = beta-blocker
29
2.10 Inisiasi Pengobatan Hipertensi Dengan Pengubahan Gaya
Hidup dan Obat Antihipertensi ?
Prinsip tatalaksana selalu mengutamakan pengubahan gaya hidup dan
pemberian obat sesuai dengan derajat hipertensinya dan adanya faktor
risiko lainnya (tabel 2.6).
30
Tabel 2.6 Faktor Risiko dan Pemberian Obat Berdasarkan Derajat Hipertensi
Tekanan Darah (mmHg)
31
2.12 Apa Saja yang Penting Diperhatikan Saat Kunjungan Berikut/
Follow Up Pasien Hipertensi yang Belum Mencapai Target ?
Kunjungan ulang pasien yang belum mencapai target TD bertujuan untuk
meningkatkan intensitas gaya hidup dan konsumsi obat, serta memantau
respons terhadap pengobatan yang diberikan dan kepatuhan pasien dalam
mengonsumsi obat dengan tujuan akhir menurunkan risiko kardiovaskular,
serta menurunkan TD sesuai target.
Target TDS lebih sulit dicapai. Selain itu, mengontrol TDS merupakan
hal penting, tetapi tidak lebih penting dibandingkan mengontrol TDD.
Biasanya diberikan dua atau lebih obat-obatan dan pengubahan gaya
hidup
32
Keterangan: Garis hijau lurus: kombinasi yang dianjurkan; Garis hijau putus-
putus: kombinasi yang bermanfaat (dengan beberapa keterbatasan); garis
hitam putus-putus: kombinasi yang mungkin, tetapi kurang uji klinis; garis
merah lurus: kombinasi yang tidak direkomendasikan. Meskipun verapamil
dan diltiazem terkadang digunakan dengan beta-blocker untuk
meningkatkan pengendalian rerata ventrikular pada fibrilasi atrial permanen,
hanya antagonis kalsium dihidropiridin yang dianjurkan berkombinasi
dengan beta-blocker.
33
Bab
Pengelolaan Hipertensi pada
3 Kondisi Khusus
34
3.4. Apa yang Harus Diperhatikan Pada Penderita Diabetes Mellitus
Dengan Hipertensi?
Dianjurkan untuk memonitor TD dengan ABPM selama 24 jam, karena
hipertensi masked sering ditemukan pada penderita diabetes. Pengobatan
dengan obat antihipertensi pada penderita diabetes dianjurkan diberikan
pada pasien TD ≥140/90 mmHg. Semua golongan obat antihipertensi dapat
dipakai pada penderita dengan diabetes, tetapi yang sangat dianjurkan
adalah obat-obat yang tergolong penghambat RAS, terutama bila ada
proteinuria/albuminuria. Pemberian bersamaan dua obat golongan
penghambat RAS tidak dianjurkan dan harus dihindari pada penderita
diabetes
35
3.7 Apa yang Disebut Dengan Hipertensi Resisten?
Hipertensi resisten didefinisikan sebagai : Kegagalan mencapai target
tekanan darah yang optimal ketika pasien sudah mengkonsumsi 3 macam
obat dengan dosis optimal yang dapat ditoleransi, termasuk diuretik.
Dilaporkan berkisar antara 5%-30%, dengan 10% di antaranya yang
termasuk kategori resisten sesungguhnya. Ada 2 jenis hipertensi resisten:
1. Resisten sesungguhnya (True-resistant). Disebabkan oleh (i)
Komorbiditas dan faktor pola hidup seperti diabetes, obesitas, merokok,
konsumsi garam dan alkohol berlebihan, yang dapat melawan
mekanisme kerja dari obat penurun tekanan darah; (ii) sleep apnea
obstruktif; (iii) hipertensi sekunder yang tidak terdeteksi; (iv) kegagalan
sistem barorefleks; (v) hipertensi white coat; (vi) resistensi fisiologis
akibat kelebihan beban cairan intravaskular.
2. Resisten semu (Apparent/pseudo-resistant). Disebabkan oleh (i)
Tidak akuratnya pengukuran, cuff yang terlalu kecil; (ii) Ketidakpatuhan
pasien dalam mengkonsumsi obat dan menjalankan perubahan pola
hidup; (iii) Kekurangan dokter, yang tidak mengikuti panduan
penanganan hipertensi, pemberian obat yang kurang tepat, atau dosis
yang belum optimal.
36
3.9 Bagaimana Prinsip Tatalaksana Hipertensi Perioperatif?
Kenaikan tekanan darah adalah sebab tersering ditundanya tindakan
operasi. Beberapa studi melaporkan insiden hipertensi perioperatif berkisar
antara 10-25%, dan berkaitan erat dengan morbiditas dan mortalitas
perioperatif. Batasan tekanan darah optimal pada fase perioperatif sendiri
belum ada panduannya, namun yang penting untuk dilakukan adalah
menilai risiko kardiovaskular dari pasien yang akan menjalani tindakan
operasi itu sendiri.
37
3.13 Apa Saja Klasifikasi Krisis Hipertensi dan Manifestasi Klinis?
a. Hipertensi Emergensi
Merupakan kenaikan tekanan darah mendadak yang disertai kerusakan
organ target yang progresif. Pada keadaan ini diperlukan tindakan
penurunan tekanan darah yang segera dalam kurun waktu menit/jam.
b. Hipertensi Urgensi
Merupakan kenaikan tekanan darah mendadak yang tidak disertai
kerusakan organ target. Penurunan tekanan darah pada keadaan ini
harus dilaksanakan dalam kurun waktu 24-48 jam.
Kedua jenis krisis hipertensi ini perlu dibedakan dengan cara anamnesis dan
pemeriksaan fisik, karena baik faktor risiko dan penanggulangannya
berbeda.
38
- Pemeriksaan laboratorium awal
o Urinalisis
o Hb, Ht, Ureum, kreatinin, gula darah, dan elektrolit
- Pemeriksaan penunjang
o EKG
o Foto toraks
- Pemeriksaan penunjang lain bila memungkinkan
o CT scan kepala
o Ekokardiogram
o Ultrasonogram
4. Penetapan diagnostik
Walau biasanya pada krisis hipertensi ditemukan tekanan darah >
180/120 mmHg perlu diperhatikan kecepatan kenaikan tekanan darah
tersebut dan derajat gangguan organ target yang terjadi
39
Tabel 3.1 Obat-Obatan yang Digunakan Di Indonesia
Obat Cara Farmakologi Dosis
Pemberian
ACE-inhibitor Sublingual Mulai kerja 6,25 – 50 mg/kali
(Captopril) Oral SL 10-15 mnt
(dikunyah, Oral 15-30 mnt
diisap)
Efek maks
SL 60 mnt
Oral 1-2 jam
Lama kerja 8 Jam
40
Bab
Pengelolaan Hipertensi pada Lanjut
4 Usia (Lansia)
41
4.4 Seberapa Besar Manfaat Menurunkan TD Pada Usia Lanjut ?
Pemberian obat anti hipertensi pada usia lanjut dengan TDS atau TDD yang
tinggi telah menunjukkan keberhasilan dalam menurunkan angka morbiditas
dan mortalitas. Dari hasil penelitian yang terakhir, HYVET (2008), pada
penderita populasi usia sangat lanjut yang berusia lebih dari 80 tahun,
pengobatan hipertensi berhasil mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Semakin besar perbedaan TDS dan TDD atau tekanan nadi (pulse
pressure), semakin besar risiko komplikasi kardiovaskular. Tekanan nadi
yang meningkat pada usia lanjut dengan HST berkaitan dengan besarnya
kerusakan yang terjadi pada organ target; jantung, otak dan ginjal.
Bahaya yang timbul akibat TDS telah dikenal luas, dan studi-studi minor
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengendalian HST secara
bermakna berperan sebagai faktor protektif terhadap morbiditas maupun
mortalitas kejadian kardiovaskular (penurunan 35% risiko kardiovaskular).
Pada usia lanjut, hasil pengobatan tidak hanya diukur oleh keberhasilan
penurunan tekanan darah pada morbiditas dan mortalitas kardiovaskular,
tetapi juga oleh berbagai hal, termasuk efek terhadap stroke, pencegahan
demensia atau penurunan kognitif, serta pengaruh dari diabetes, dan indeks
massa tubuh (IMT atau obesitas).
Stroke
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke utama yang memiliki potensi tinggi
untuk dimodifikasi. Setiap peningkatan 7 mmHg TDD dapat meningkatkan
42
risiko relatif untuk terkena stroke sebesar 100%. Terapi preventif untuk
menurunkan angaka morbiditas dan mortalitas stroke dengan cara
pengendalian hipertensi menunjukkan keberhasilan yang bermakna.
Regimen terapi hipertensi yang dapat mempertahankan penurunan TDD
sebesar 5-6 mmHg dalam jangka waktu lama dapat menurunkan faktor
risiko sebesar 35-40%.
43
tinggi. Oleh karena itu, selain dari pengendalian tekanan darah diperlukan
pula pengelolaan faktor-faktor yang mempengaruhi progresivitas PGK
seperti: diet rendah protein, pengendalian anemia, kalsium, fosfat, hormon
paratiroid, menghindari obat yang nefrotoksik, dll.
Hipertensi pada usia lanjut sama seperti hipertensi pada usia lainnya.
Walaupun risiko terjadinya komplikasi lebih besar. Penurunan tekanan
darah akan menurunkan risiko morbiditas maupun mortalitas akibat
komplikasi kardiovaskular. Hasil-hasil dari penelitian besar yang telah
dilakukan pada hipertensi sistolik dan diastolik menghasilkan penurunan
risiko yang sama.
44
Pengobatan hipertensi harus dimulai sejak dini untuk mencegah kerusakan
organ target (KOT), tanpa memandang usia. Pada keadaan khusus seperti
DM sasaran tekanan darah <140/90 mm Hg. Sedangkan pada penyakit
ginjal kronik (PGK), penyakit jantung koroner (PJK) tekanan darah
ditargetkan lebih rendah yang dapat ditolerir. Akan tetapi harus diperhatikan
bahwa penurunan dicapai secara bertahap dan TDD tidak terlalu rendah
karena dapat mengurangi perfusi jaringan. Pengobatan pada usia
berapapun selalu dimulai dengan modifikasi gaya hidup
Keterangan:
A = ACE inhibitor atau ARB ( antagonis reseptor
angiotensin II)
C = Calcium Channel Blocker
D = Diuretik golongan thiazide
45
Pada Gambar 4.1 dapat dilihat tahapan pemilihan pengobatan yang
dianjurkan NICE/BHS (2006), sebagai berikut:
Beta blocker bukan lagi pilihan terapi awal pada > 55 tahun, tetapi
merupakan alternatif pada pasien dengan intoleransi atau indikasi kontra
terhadap ACE inhibitor. Beta blocker juga dianjurkan sebagai terapi
tambahan pada penderita hipertensi yang telah diberikan CCB (Calcium
Channel Blocker), ACEI (Angitotensin Converting Enzyme Inhibitor) atau
ARB (Angiotensin Receptor Blocker) dan diuretik, juga dianjurkan pada
penyakit jantung kongestif, angina pectoris.
1. Mengobati HST,
2. Terapi lini pertama: diuretik golongan thiazide,
3. Terapi lini kedua harus berdasarkan komorbiditas dan faktor risiko (tabel3)
4. Pasien dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan diastolik
> 100 mmHg biasanya akan membutuhkan dua atau lebih obat anti
hipertensi untuk mencapai target tekanan darah
46
5. Terapi sebaiknya dimulai dengan obat anti hipertensi terpilih dalam dosis
rendah, dititrasi perlahan untuk meminimalisasi efek samping seperti
hipotensi ortostatik
6. Penurunan berat badan dan pengurangan konsumsi natrium telah terbukti
sebagai salah satu intervensi hipertensi yang efektif pada populasi lanjut
usia. Rekomendasi modifikasi gaya hidup dapat dilihat pada tabel 4.
Adopsi dari rekomendasi JNC 7 mengenai pendekatan diet untuk
mencegah hipertensi (DASH: Dietary Approaches to Stop Hypertension)
dapat menurunkan tekanan darah sebanding dengan penggunaan obat
antihipertensi tunggal.
7. Untuk memperbaiki ketaatan pasien terhadap regimen antihipertensi,
sebaiknya pasien dilibatkan dengan perencanaan kontrol tekanan darah
dan sasaran terapi, disesuaikan dengan agama/kepercayaan,
kebudayaan, dan pengalaman terapi sebelumnya.
Pada usia lanjut penurunan tekanan darah harus dilakukan hati-hati dengan
memperhatikan apakah terdapat hipertensi berat yang lama. Pada
hipertensi resisten diperlukan waktu yang cukup untuk mencapai target
tekanan darah.
Pada usia lanjut penurunan berat badan (pada obese) dan mengurangi
asupan garam amat penting dalam pengelolaan hipertensi. Dalam studi
TONE (trial of nonpharmacologicic interventions in the elderly),
pengurangan asupan natrium sampai 2 gram (Na = 80 mmol) atau garam
dapur 5 gram/sehari, berhasil menurunkan TD selama lebih dari 30 bulan
bahkan 40% pasien dapat menghentikan penggunaan obat hipertensi.
Apabila disertai dengan penurunan berat badan bisa didapatkan penurunan
TD lebih lanjut. Selain itu dianjurkan melakukan latihan atau aktivitas fisik
secara teratur dan menghentikan konsumsi alkohol.
47
suplemen kalium, atau penambahan potassium-sparing diuretic seperti
spironolakton, atau menggunakan kombinasi obat-obatan seperti
triamterene/hydrochlorothiazide. Hal ini penting, karena pada studi SHEP,
pasien lanjut usia dengan kadar kalium < 3.5 mg/dL akan kehilangan
proteksi kardiovaskuler yang seharusnya merupakan keuntungan dari
penggunaan thiazide.
Populasi lanjut usia lebih rentan terhadap dehidrasi yang dipicu oleh thiazide
sehingga dokter sebaiknya selalu melakukan pengecekan terhadap
kemungkinan terjadinya hipotensi orthostatik dan monitoring kadar elektrolit
serum.
48
Beta-Blockers (BB)
Obat golongan beta blocker dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas
pasien lanjut usia dengan hipertensi. Indikasi tambahan untuk penggunaan
obat golongan BB bagi lansia adalah pasien dengan risiko tinggi penyakit
koroner dan prevensi serangan infark miokard kedua, serta gagal jantung
(tabel 3).
49
Tabel 4.2 Perbandingan Keamanan, Tolerabilitas, dan Efikasi Obat
Antihipertensi Pada Usia Lanjut
Efikasi Hipertensi, HST, gagal Hipertensi, gagal jantung, Hipertensi, gagal jantung, Hipertensi, diabetes,
jantung, diabetes, pasien post myocardial infark, post myocardial infark, pasien risiko tinggi
risiko tinggi pasien risiko tinggi pasien risiko tinggi kardiovaskuler, angina
kardiovaskuler, prevensi kardiovaskuler kardiovaskuler, diabetes, stabil kronik, iskemik
rekurensi stroke GGK, prevensi rekurensi jantung, fibrilasi atrium
stroke
Efisiensi 1x/hari 1-2x/hari 1-2x/hari 1-2x/hari
Secara umum, ACE inhibitor dan ARB ditoleransi dengan baik, dan insidensi
efek sampingnya jarang (tabel 3). Walaupun jarang, angioedema dapat
terjadi setiap saat pada masa terapi dan tampaknya insidensinya lebih tinggi
pada ras Afro-Amerika. Batuk terjadi pada 25% pasien dan seringkali
menjadi penyebab terapi dihentikan. ARB (seperti candesartan merupakan
alternatif yang terpilih untuk menggantikan terapi ACE-inhibitor yang
dihentikan karena alasan batuk tersebut.
50
First-dose hypotension harus diwaspadai pada pasien dehidrasi, pasien
payah dan gagal jantung, serta pasien stenosis arteri renalis bilateral.
Walaupun ACE inhibitor potensial menjaga fungsi ginjal, kadar kreatinin
dapat meningkat pada pasien dengan insufisiensi renal, dehidrasi, atau
payah jantung dengan segera setelah konsumsi ACE inhibitor. Dan karena
keadaan-keadaan ini (insufisiensi renal, dehidrasi, atau payah jantung)
merupakan hal yang seing sekali didapatkan pada pasien lanjut usia,
hipotensi dan fungsi ginjal harus dimonitor ketat pada awal pemberian obat
tersebut. Tidak ada ketentuan batas nilai kreatinin yang menjadi
kontraindikasi pemberian ACE inhibitor, tetapi peningkatan akut kadar
kreatinin sebesar 30% biasanya digunakan tanda untuk penghentian
sementara atau penurunan dosis ACE inhibitor yang digunakan. Karena
ACE inhibitor juga dapat menyebabkan hiperkalemia, kadar elektrolit dan
kreatinin harus dimonitor pula secara periodik, terutama pada pasien-pasien
yang mendapat diuretic tidak hemat kalium. Seperti thiazide, NSAID juga
dapat menurunkan efikasi antihipertensi dari ACE inhibitor dan ARB.
Efek first dose hypotension sebaiknya selalu diwaspadai pada insiasi terapi
hipertensi dengan ACEI pada penderita usia lanjut.
51
terhadap obat antihipertensi lain. CCB lebih efektif pada pasien hipertensi
yang sensitive terhadap garam, seperti warga Afro-America dan populasi
lanjut usia. Interaksi calcium channel blocker dengan obat dan makanan lain
telah dilaporkan (tabel 3). Grapefruit (di Indonesia dikenal sebagai jeruk bali)
dapat meningkatkan bioavaibilitas felodipin secara signifikan sehingga
dapat menyebabkan hipotensi berat, dan diltiazem dapat menghambat
metabolism cyclosporine yang banyak diberikan pada pasien-pasien
transplantasi organ sehingga menimbulkan intoksikasi cyclosporine.
Pada penderita usia 55 tahun keatas, obat pilihan pertama yang sebaiknya
diberikan adalah dari golongan CCB atau diuretik thiazide.
52
Bab
Walaupun pada populasi umum pria memiliki faktor risiko yang lebih tinggi
untuk semua penyakit CVD, penderita hipertensi baik pria maupun wanita
mengalami berbagai kejadian komplikasi seperti stroke, hipertrofi ventrikel
kiri, dan gangguan fungsi ginjal dengan insidensi yang sama tinggi. Tiga dari
lima penyebab payah jantung pada wanita adalah hipertensi. Data dari AHA,
“Heart Disease and Stroke Statitics – 2008 Update” menunjukkan bahwa
hipertensi sebagai penyebab kematian lebih banyak pada wanita
dibandingkan pada pria. Pada wanita pengguna kontrasepsi oral, angka ini
mencapai 2 - 3x lebih tinggi daripada wanita yang tidak menggunakan
kontrasepsi oral.
53
maupun Renin Inhibitor (Aliskerin) adalah kontraindikasi karena efek
teratogeniknya.
5.3 Apa Saja Risiko Khusus Pada Wanita yang Berkaitan Dengan
Hipertensi ?
Wanita memiliki risiko khusus dan unik dalam kaitannya dengan hipertensi.
Selain itu, wanita juga memiliki beberapa kondisi khusus yang perlu
diperhatikan pada saat penatalaksanaannya hipertensi, seperti misalnya:
Hipertensi dan asupan Kalsium
Hipertensi dalam masa kehamilan
Hipertensi dan Kontrasepsi oral
Hipertensi dan Menopause
Prevalensi wanita hipertensi lebih tinggi bila dibandingkan dengan pria. Hal
ini juga dipengaruhi beberapa faktor, seperti angka harapan hidup wanita
yang lebih panjang, kenaikan insidens hipertensi pada masa menopause
dan peningkatan insidensi hipertensi kronik selama kehamilan yang
merupakan akibat dari “trend” penundaan/perencanaan masa kehamilan.
54
ini menimbulkan dugaan bahwa faktor perubahan hormonal dan biokimiawi
yang terjadi pada masa menopause memegang peran penting dalam
hipertensi.
Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional merupakan hipertensi yang diinduksi oleh
kehamilan. Tekanan darah > 140/90 mm Hg tanpa proteinuria pada wanita
hamil > 20 minggu. Sekitar 50% penderita hipertensi gestasional pada usia
kehamilan 24-35 minggu berkembang menjadi pre-eklampsia.
55
Preeklampsia
Dari tinjauan restropektif 28 kasus preeklampsia berat + stroke, > 90% kasus
terjadi saat TDS > 160 mmHg dan 12.5% kasus dengan TDD > 110 mmHg
o Target TDS 140- 150 mmHg; target TDD 90 – 105 mmHg.
o Target tekanan darah dicapai dengan menurunkan mean arterial
pressure 20% waktu datang secara bertahap
o Dengan menggunakan labetalol dan hidralazine intravena untuk kasus
pre-eklampsia akut
Hidralazine 5 – 10 mg intravena setiap 15 – 30 menit (maks. 30 mg)
Inisiasi labetalol intravena dosis 20 mg. Bila tidak efektif naikkan 40
mg, lau 80 mg tiap 10 menit sampai target tekanan darah tercapai
atau bila dosis maksimal harian telah tercapai (dosis maksimal harian
labetalol intravena adalah 220mg/24 jam).
o Atau lebih praktis menggunakan nifedipin, dosis tergantung berat-
ringannya hipertensi.
o Awasi efek potensiasi bila diberikan bersamaan dengan MgSO4. Siapkan
Kalsium glukonas 1gr intravena untuk pencegahan depresi respiratorik
akibat penggunaan MgSO4.
56
o Magnesium sulfat (MgSO4)
Sering digunakan pada ibu hamil dengan pre-eklampsia untuk
mencegah terjadinya kejang ( 1 prevented for 100 death treated)
Mekanisme kerja
Belum dipahami secara jelas
Diperkirakan menyebabkan dilatasi pembuluh darah serebral
sehingga mengurangi risiko iskemia serebral.[18] Diperkirakan
memblok reseptor kalsium dengan menghambat resepto N-methyl-D-
aspartat di otak.
Menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan vasodilatasi
perifer.
Mengubah transmisi neuromuskuler dengan berkompetitif pada sinap.
Efek samping berupa flushing pada 25% kasus
Pengawasan yang ketat saat pemberian MgSO4 harus dilakukan
terutama pada pasen yang menunjukkan peningkatan kreatinin,
penurunan output urin, dan reflex tendon yang menurun.
Tanda toksisitas MgSO4: paralysis, depresi susunan saraf pusat,
henti jantung.
Antidotum: Kalsium Glukonas 1 gram i.v/2 menit.
o Manajemen cairan:
Mempertahankan produksi urin > 30 ml/jam
Asupan cairan kristaloid intravena 1-2 ml/kg/jam dengan
memperhatikan diuresis
(Cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru, asites, dan
overload kardio-pulmoner)
Sedangkan dehidrasi akan menyebabkan konstriksi vaskuler dan
yang dapat menimbulkan iskemia end-organ
57
5.6 Benarkah Kontrasepsi Oral Berhubungan Dengan Peningkatan
Risiko Hipertensi?
Hasil penelitian The Nurses’ Health Study terhadap kejadian hipertensi pada
pengguna kontrasepsi oral menunjukkan:
Kemungkinan terjadinya hipertensi pada wanita pengguna kontrasepsi
oral lebih tinggi 80% bila dibandingkan wanita yang tidak menggunakan
kontrasepsi oral.
Risiko terjadinya hipertensi tersebut sedikit lebih tinggi pada wanita yang
telah mengkonsumsi kontrasepsi oral selama > 6 tahun. Tidak ada
perbedaan risiko yang bermakna berdasarkan perbedaan kadar
estrogen maupun progestin dalam pil kontrasepsi.
Sediaan progestin baru seperti drospirenone, dengan efek anti-
mineralokortikoid, memperlihatkan efek menurunkan tekanan darah.
Penelitian yang dilakukan oleh Suthipongse dan Taneepanichskul (2004)
dan Oelkers, dkk (1995) menunjukkan pemberian drospirenone/EE
menurunkan tekanan darah yang bermakna secara statistik
dibandingkan levonogestrel/EE.
Jumlah wanita yang diperkirakan menderita hipertensi akibat
mengkonsumsi pil konsentrasi sebenarnya kecil, kurang lebih 41 per
1000 kasus per tahun (0.4%)
Suatu studi Belgia yang melibatkan 315 wanita sehat usia 30 -70 tahun
mengemukakan bahwa dalam periode 5 tahun pengamatan, 44 orang
diantaranya mengalami menopause. Didapatkan peningkatan tekanan
darah sistolik sekitar 5 mmHg yang diakibatkan menopause itu sendiri. Tidak
ditemukan perbedaan tekanan diastolik antara sebelum dan sesudah
menopause.
58
sebaliknya, penurunan tekanan darah ( belum diketahui bagaimana
mekanisme ini terjadi ).
59
Bab
Aplikasi Panduan InaSH dalam
6 Praktek Sehari-hari
Ny. S, 64 tahun, seorang ibu rumah tangga datang ke klinik untuk follow-up
dengan tekanan darah (TD) yang telah meningkat setelah 2 bulan lalu (pada
3 kunjungan sebelumnya, TD 178/96 mmHg, 170/94 mmHg, dan 168/96
mmHg), Ny. S sudah mengikuti diet DASH dan jalan pagi 30 menit selama
5 hari per minggu. Sebelumnya Ny. S pernah didiagnosa dislipidemia dan
hipertensi. Hasil lab darah dan urin tidak menunjukkan adanya kelainan dan
Ny. S tidak mempunyai faktor risiko lainnya untuk penyakit kardiovaskular.
Ny.S sedang dalam pengobatan simvastatin untuk dislipidemianya.
60
Pertanyaan: Bila Ny. S, diterapi dengan hidroklorothiazide (HCT ) 12,5 mg
per hari. Apa saja yang harus diperhatikan ?
Komentar: Gangguan metabolik seperti hipokalemia, dislipidemia, dan
hiperglikemia tidak sering terjadi pada dosis rendah HCT. Jika terdapat
efek samping dengan HCT maka dapat digantikan oleh obat lain dari
berbagai pilihan lini pertama.
Pasien yang diberikan obat harus kembali untuk follow-up tekanan darah
setiap 1-2 bulan sampai target TD tercapai. Pada pasien yang menderita
hipertensi belum terkontrol dengan obat, adanya komorbiditas penyakit lain,
terdapat kerusakan target organ dapat dimonitor lebih sering. Saat
tingkatan target tercapai, tekanan darah harus dimonitor pada interval 3-6
bulan.
61
pengobatan, atau hipertensi resisten. Pengukuran dengan ABPM 24 jam
dapat digunakan untuk memastikan diagnosis ini.Jika target tekanan darah
masih sulit dicapai, rujukan kepada dokter spesialis.
Ilustrasi Kasus 2
Ny. W 52 tahun, nyeri pinggang setelah angkat berat. Tekanan darah saat
diukur adalah 196/102 mmHg.
62
Ilustrasi Kasus 3
63
pembacaan tekanan darahnya dua kali sehari selama seminggu dan untuk
mendata hasil. Ketika kembali pada kunjungan hipertensi ketiga, pendataan
menunjukkan pembacaan tekanan darah 130/78 mmHg (membuang nilai
pada hari pertama). Tekanan darahnya di klinik pada hari itu adalah 177/76
mmHg.
Ilustrasi Kasus 4
64
Pertanyaan: Karena tekanan darah pasien masih tetap tinggi, dapatkah
hipertensi didiagnosis dan diobati?
Komentar: Belum. Hipertensi dapat didiagnosis pada kunjungan kedua jika
tekanan darahnya 180/110 mmHg atau lebih tinggi atau jika ada kerusakan
organ, diabetes, penyakit ginjal kronik atau adanya kerusakan
makrovaskular. Oleh karena itu, tingginya tekanan darah Ny.U memerlukan
pengukuran TD lain, yang dapat dilihat pada kunjungan klinis berikutnya
atau dengan rerata monitor dari pengukuran tekanan darah sendiri/rumah
atau rawat jalan.
Pasien memilih ABPM karena ia khawatir untuk mengetahui segera apakah
ia menderita hipertensi. Pengukuran berdasarkan ABPM rerata tekanan
darah 24 jam adalah 166/96 mmHg.
Ilustrasi Kasus 5
Tn. P 63 tahun, datang ke klinik untuk kontrol tekanan darah. Tn. P juga
menderita diabetes mellitus tipe 2 selama 15 tahun, dimana pertama diobati
dengan agen oral hipoglikemi dan selama 5 tahun belakangan, dengan
insulin subkuntan, dengan alasan kontrol diabetesnya (konsentrasi
hemoglobin A 0,68%). Tn. P telah menderita hipertensi selama 15 tahun.
Saat ini, hipertensinya diobati dengan 3 obat: ACE inhibitor (ramipril 5 mg
setiap hari), CCB (amlodipine 5 mg setiap hari), dan diuretik
(hydrochlorothiazide 25 mg setiap hari). Namun, dalam 2 bulan belakangan
ini, pemeriksaan tekanan darah di rumah cenderung naik dari tingkat
sebelumnya yaitu 130/80 mmHg ke rerata 145/85 mmHg. Berat badan 90
kg dan pengobatan lainnya hanya ASA 81 mg/ hari dan atorvastatin 20 mg/
hari.
65
risiko kardiovaskular merupakan baik berkelanjutan dan dinilai pada orang
dengan diabetes. Bahkan dengan tekanan darah pada rerata tinggi-normal
(130-139/80-89 mmHg), pasien diabetik ada pada peningkatan risiko dari
penyakit kardiovaskular. Antihipertensi terapi mengurangi risiko baik
penyakit kardiovaskular dan disfungsi ginjal pada orang dengan diabetes.
Pada guideline penanganan hipertensi terbaru (2014), tidak ada perbedaan
target TD antara penderita DM dan tanpa DM ( lihat guideline INASH 2014),
yaitu < 140/ 90 mmHg
66
Daftar Pustaka
67
blood pressure measurement, diagnosis, assessment of risk, prevention, and
treatment of hypertension. Can J Cardiol. 2013;29(5):528-42.
Hansson L, Lindholm LH, Ekbom T et al. Randomised trial of old and new
antihypertensive drugs in elderly patients:cardiovascular mortality and mortality
the Swedish Trial in Old Patients with Hypertension-2 study. Lancet
1999;9192:1751-1756
Hansson L, Zanchetti A, Carruthers SG et al. Effects of intensive blood-pressure
lowering and low dose aspirin in patients with hypertension: principal results of
the Hypertension Optimal Treatment (HOT) randomized trial. HOT Study Group.
Lancet 1998;9118:1755-1762
Hollier L M, Ramin SM, Gilstrap LC. Antihypertensive Medications in Pregnant
Women with Chronic Hypertension. Prim Care Update Ob/Gyns 2001;8:175-177.
James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler J,
dkk. 2014 evidence-based guideline for the management of high blood pressure
in adults: report from the panel members appointed to the Eighth Joint National
Committee (JNC 8). JAMA. 2014;311(5):507-20.
KDIGO. Clinical Practice Guidline for Management of Blood Pressure in Chronic
Kidney Disease. Kidney int suppl 2012; 2: 337
Kearney PM, Whelton M, Reynolds K, Whelton PK, He J. Worldwide Prevalence of
Hypertension: a Systematic Review. J. Hypertens 2004; 22:11-19.
Kearney PM, Whelton M, Reynolds K, Muntner P, Whelton PK, He J. Global Burden
of Hypertension: analysis of worldwide data. 2005: 365; 217-23.
Krendel DA. Hypermagnesemia and neuromuscular transmission. Semin Neurol
1990;10:42-5
Konsensus INASH 2013. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi Pada Keadaan
Khusus (Update): Gangguan Neurologik Stroke Kelainan Jantung dan Pembuluh
Darah Penyakit Ginjal Kronik. Perhimpunan Hipertensi Indonesia 2013
Leeman L ,Fontaine P. Hypertensive Disorders in Pregnancy . Am Fam Physician.
2008; 78(1):93-100.
Maas AH, Franke HR. Women’s health in menopause with a focus on hypertension.
Neth Heart J. 2009; 17(2): 68–72).
Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redon J, Zanchetti A, Böhm M, dkk. 2013
ESH/ESC guidelines for the management of arterial hypertension: the Task Force
for the Management of Arterial Hypertension of the European Society of
Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart
J. 2013;34(28):2159-219.
Mosca L, Banka CL, Benjamin EJ et al. Evidence-Based Guidelines for
Cardiovascular Disease Prevention in women 2007-Update. Circulation 2007;
115: 1481-1501
NICE clinical guideline 34. Hypertension: Management of hypertension in adults in
primary care. National Institute for Health and Clinical Excellence, June 2006
Oelkers W, Foidart JM, Dombrovicz N, Welter A, Heithecker R. Effects of a new oral
contraceptive containing an antimineralocorticoid progestogen, drospirenone, on
the renin-aldosterone system, body weight, blood pressure, glucose tolerance,
and lipid metabolism. J Clin Endocrinol Metab 1995; 80: 1816–21.
68
Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH). Ringkasan Eksekutif Krisis Hipertensi.
Perhimpunan Hipertensi Indonesia, Jakarta. 2008
Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH). Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi
Pada Keadaan Khusus: Hipertensi Pada Usia Lanjut. Perhimpunan Hipertensi
Indonesia, Jakarta. 2009
Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH). Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi
dengan Modifikasi Gaya Hidup. Perhimpunan Hipertensi Indonesia, Jakarta.
2011
Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH). Hipertensi pada Wanita. Perhimpunan
Hipertensi Indonesia, Jakarta
Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH). Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi
Pada Keadaan Khusus: Hipertensi Pada Usia Lanjut. Perhimpunan Hipertensi
Indonesia, Jakarta. 2009
Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH). Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi
Pada Keadaan Khusus (Update): Gangguan Neurologik Stroke Kelainan Jantung
dan Pembuluh Darah Penyakit Ginjal Kronik. Perhimpunan Hipertensi Indonesia,
Jakarta. 20013
Preston RA. Comparative effects of conventional vs. novel hormone replacement
therapy on blood pressure in postmenopausal women. Climacteric. 2009; 12
Suppl 1:66-70.
Raini M. Prevalensi Ibu HJamil dan Wus serta Determinan Hepertensi Wus di
Masyarakat Urban Indonesia 2007 (Analisis Lanjut Riskesdas 2007). Research
Report dari JKPKBPPK / 2009-10-16
Report of the National High Blood Pressure Education program. Working group
report on high blood pressure in pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2000; 183:
181–92
Report of the Working Group on Research of Hypertension during Pregnancy.
Available at http http://www.nhlbi.nih/resources/hypertenspreg/index.html
Sadeh M. Action of Magnesium sulphate in the treatment of preeclampsia and
eclampsia. Stroke 1989;20:1273-5
Sarafidis PA, Li S, Chen SC et al. Hypertension awareness, treatment, and control
in Chronic Kidney Disease. Am J Med 2008; 121: 332-340
Staessen JA; Gasowski J; Wang JG; Thijs L; Den Hond E; Boissel JP; Coope J;
Ekbom T; Gueyffier F; Liu L; Kerlikowske K; Pocock S; Fagard RH. Risks of
untreated and treated isolated systolic hypertension in the elderly: meta-
analysis of outcome trials. Lancet 2000 Mar 11;355(9207):865-72.
Staessen JA and colleages. Conventional and Ambulatory Blood Pressure and
Menopause in a prospective population study. Journal of Human Hypertension
1997; 11: 507.
Staessen J, Fagard R, Thijs L et al. Randomized double-blind comparison of
placebo and active treatment for older patients with isolated systolic
hypertension. The Systolic Hypertension in Europe (Syst-Eur) Trial
Investigators. Lancet 1997;350:757-764.
69
Suthipongse W, Taneepanichskul S. An open-label randomized comparative study
of oral contraceptives between medications containing 3 mg drospirenone/30
microg ethinylestradiol and 150 microg levonogestrel/30 microg ethinylestradiol
in Thai women. Contraception 2004; 69: 23–6.
Toto RD. Treatment of Hypertension in Chronic Kidney Disease. Semin Neprol 2005;
25: 435-9
Vigorito C, Giordano A, Ferraro P. Haemodynamic effects of magnesium sulfate on
the normal human heart. Am J Cardiol 1990;65:709-12
Wong JG, Staessen JA, Gong L, Liu L. Chinese trial on systolic hypertension in the
elderly. Arch Intern Med. 2000;160:211-220
Penyusun
Dr. dr. Yuda Turana, SpS
dr. Arieska Ann Soenarta, SpJP(K), FIHA
Prof. Dr. dr. Suhardjono, SpPD, KGer, KGH
dr. Amanda Tiksnadi, SpS
dr. A. Sari S. Mumpuni, SpJP, FIHA
dr. Bambang Widyantoro, SpJP, FIHA
dr. Pringgodigdo, SpPD
70