Anda di halaman 1dari 8

Manaqib Syeih Abdul Qodir aljiilany ra 1

Silahkan bagikan ke

Facebook Twitter

‫الر ِحي ِم‬ ِ ‫الر ْح‬


َّ ‫من‬ ِ ‫بِس ِم‬
َّ ‫اهلل‬ ْ
ِّ َّ‫ِك الن‬
‫بي‬ َ ‫ِك َونبيِّ َك ورسول‬ ٰ ‫صل‬
َ ‫على َسيِّدنا ُم َحمٍدّ عبد‬ ِّ َّ ‫الل ُهم‬
ٰ ‫ال ِمي‬
‫ِك في‬ ِ ‫وسلِّم تسليمًا‬
َ ‫بقدر عظم ِة ذاَت‬ َ ‫ص ْح ِب ِه‬َ ‫َو ّعلى ٰال ِه َو‬ ُ‫ا‬
‫حيـن‬
ٍ ‫قت َو‬ ِّ
ٍ ‫كُـل َو‬
Syekh Abdul Qodir Al Jaelani

Kelahiran
AbdulQadir Jailani adalah seorang ulama terkenal. Ia bukan hanya terkenal di mana ia tinggal,
Baghdad, Irak saja. Tetapi hampir seluruh umat Islam di seluruh dunia mengenalnya. Hal itu
dikarenakan kesalihan dan ilmunya yang demikian tinggi dalam bidang ajaran Islam, terutama
dalam bidang tasawuf.
Name sebenarnya adalah Abdul Qadir. Ia juga dikenal dengan berbagai gelar atau sebutan
seperti; Muhyiddin, al Ghauts al Adham, Sultan al Auliya, dan sebagainya. Abdul Qadir Jailani
masih keturunan Rasulullah SAW. Ibunya yang bernama Ummul Khair Fatimah, adalah
keturunan Husain, cucu Nabi Muhammad Saw. Jadi, silsilah keluarga Syaikh Abdul Qadir
Jailani jika diurutkan ke atas, maka akan sampai ke Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Abdul Qadir Jailani dilahirkan pada tahun 1077 M. Pada saat melahirkannya, ibunya sudah
berusia 60 tahun. Ia dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Jailan. Karena itulah di belakang
namanya terdapat julukan Jailani. Penduduk Arab dan sekitarnya memang suka menambah nama
mereka dengan nama tempat tinggalnya.

Abdul Qadir dan Perampok

Setelah menginjak masa remaja, Abdul Qadir pun minta izin pada sang ibu untuk pergi menuntut
ilmu. Dengan beat hati sang Ibu mengizinkannya. Oleh sang ibu, ia dibekali sejumlah uang yang
tidak sedikit, dengan disertai pesan agar ia tetap menjaga kejujurannya, jangan sekali-sekali
berbohong pada siapapun. Maka, berangkatlah Abdul Qadir muda untuk memulai pencarian
ilmunya.
Namun ketika perjalanannya hampir sampai di daerah Hamadan, tiba-tiba kafilah yang
ditumpanginya diserbu oleh segerombolan perampok hingga kocar-kacir. Salah seorang
perampok menghampiri Abdul Qadir, dan bertanya,
“Apa yang engkau punya?”

Abdul Qadir pun menjawab dengan terus terang bahwa ia mempunyai sejumlah uang di dalam
kantong bajunya. Perampok itu seakan-akan tidak percaya dengan kejujuran Abdul Qadir.
Bagaimana mungkin ada orng engaku jika memiliki uang kepada perampok. Kemudian
perampok itupun melapor pada pemimpinnya.
Sang pemimpin perampokpun segera menghampiri Abdul Qadir. Ia menggeledah baju Abdul
Qadir. Ternyata benar, di balik bajunya itu memang ada sejumlah uang yang cukup banyak.
Kepala perampokitu benar-benar dibuat seolah tidak percaya. Ia lalu berkata kepada Abdul
Qadir,
“Kenapa kau tidak berbohong saja ketika ada kesempatan untuk itu?”
Maka Abdul Qadir pun menjawab, “Aku telah dipesan oleh ibundaku untuk selalu berkata jujur.
Dan aku tak sedikitpun ingin mengecewakan beliau.”
Sejenak kepala rampok itu tertegun dengan jawaban Abdul Qadir, lalu berkata: “Sungguh
engkau sangat berbakti pada ibumu, dan engkau pun bukan orang sembarangan.”
Kemudian kepalaperampok itu menyerahkan kembali uang itu pada Abdul Qadir dan
melepaskannya pergi. Konon, sejak saat itu sang perampok menjadi insyaf dan membubarkan
gerombolannya.

Mengembara

Pencarian ilmunya berlanjut. Kemudian berangkatlah Abdul Qadir ke Baghdad. Baghdad adalah
ibukota Irakl. Saat itu Baghdad adalah sebuah kota yang paling ramai di dunia. Di Baghdad
berkembang segala aktiitas manusia. Ada yang datang untuk berdagang atau bisnis, mencari
pekerjaan atau menuntut ilmu. Baghdad merupakan tempat berkumpulnya para ulama besar pada
saat itu.
Saat itu tahun 488 H. Usia Abdul Qadir baru 18 tahun. Pada saat itu, khalifah atau penguasa yang
memimpin Baghdad adalah Khalifah Muqtadi bi-Amrillah dari dinasti Abbasiyyah.
Ketika Syaikh Abdul Qadir hampir memasuki kota Baghdad, ia dihentikan oleh Nabi Khidir as.
Nabi Khidir adalah seorang Nabi yang disebutkan dalamAl-Qur'an dan diyakini para ulama
masih hidup hingga kini. Saat menemui Abdul Qadir itu, Nabi Khidir mencegahnya masuk ke
kota Bagdad itu.
Nabi Khidir berkata, “Aku tidak mempunyai perintah (dari Allah) untuk mengijinkanmu masuk
(ke Baghdad) sampai 7 tahun ke depan.”

Tujuh Tahun Tinggal di Tepi Sungai

Tentu saja Abdul Qadir bingung.mengapa ia tidak diperbolehkan masuk ke kota Baghdad
selamatujuh tahun? Tetapi Abdul Qadir tahu, bahwa jika yang mengatakan itu adalah Nabi
Khidir, tentu dia harus mengikuti perntahnya tersebut.
Oleh karena itu, Abdul Qadir pun kemudian menetap di tepi sungai Tigris selama 7 tahun. Tentu
sangat berat. Ia yang selama di umah bisa hidup bersamaorang tua dan saudara-saudaranya di
rumah, sekarang harus hidup sendiri di tepi sebuah sungai. Tidak ada yang dapat dimakannya
kecuali daun-daunan. Maka selama tujuh tahun itu ia memakan dedaunan dan sayuran yang bisa
dimakan.
Pada suatu malam ia tertidur pulas, sampai akhirnya ia terbangun di tengah malam. Ketika itu ia
mendengar suara yang jelas ditujukan kepadanya. Suara itu berkata, “Hai Abdul Qadir, masuklah
ke Baghdad.”
Keesokan harinya, iapun mengadakan perjalanan ke Baghdad. Maka, ia pun masuk ke Baghdad.
Di kota itu ia berjumpa dengan para Syaikh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar. Di
antaranya adalah Syaikh Yusuf al Hamadani. Dari dialah Abdul Qadir mendapat ilmu tentang
tasawuf. Syaikh al Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa Abdul Qadir adalah seorang yang
istimewa, dan kelak akan menjadi seorang yang terkemuka di antara para wali.

Berguru Kepada Para Ulama Besar

Syaikh al-Hamdani berkata, “Wahai Abdul Qadir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa kelak
engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat itu engkau akan
berkata, Kakiku ada di atas pundak para wali.”
Selain berguru kepada Syaikh Hamdani, Abdul Qadir bertemu dengan Syaikh Hammad ad-
Dabbas. Iapun berguru pula kepadanya. Dari Syaikh Hammad, Abdul Qadir mendapatkan ilmu
Tariqah. Adapun akar dari tariqahnya adalah Syari’ah. Dalam taiqahnya itu beliau mendekatkan
diri pada Allah dengan doa siang malam melalui dzikir, shalawat, puasa sunnah, zakat maupun
shadaqah, zuhud dan jihad, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi. Di Babul Azaj,
Syaikh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil. Karena beliau telah tua, maka pengelolaan
madrasah itu diserahkan kepada Abdul Qadir. Di situlah Syaikh Abdul Qadir berdakwah pada
masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim.
Dan dari Syaikh al Mukharimi itulah Syaikh Abdul Qadir menerima khirqah (jubah ke-sufi-an).
Khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung.
Di antaranya adalah Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Siri as-Saqati, Syaikh Ma’ruf al Karkhi,
dan sebagainya.

Menjadi Ulama Besar

Syaikh Abdul Qadir tidak hanya berguru kepada para ulama di atas. Dia juga memperdalam
ilmunya kepada para ulama besar yang lain. Di antaranya adalah Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul
Husein Al Farra dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Seluruh guru-guru Syaikh Abdul Qadir
tersebut adalah para ulama besar yang ilmunya sangat luas dalam bidang agama. Sebab itulah,
tidak heran jika kemudian Syaikh Abdul Qadir menjadi ulama besar menggantikan para ulama
tersebut.
Sebegaimana telah disebutkan, suatu ketika Abu Saad Al Mukharrimi, guru Syaikh Abdul Qadir,
membangun sekolah atau Madrasah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini
diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini
dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang
yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak
orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak
cukup untuk menampung orang yang datang ingin berguru kepada Syaikh Abdul Qadir.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab. Ia berdakwah
kepada semua lapisan masyarakat, hingga dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syaikh
Abdul Qadir Jailani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq.
Akhirnya beliau dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia
memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di
tahun 561 H.
Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya, Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196
M). Kemudian diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua
Syaikh Abdul Qadir Jailani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M). Namun sayang sekali,
sekolah yang besar itu akhirnya hancur ketika Baghdad diserang oleh tentara Mongol yang
biadab pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir Jailani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat
terbesar di dunia bernama tarekat Qadiriyah.

Kesaksian Para Syaikh

Syaikh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syaikh Abdul Qadir. Namun,
pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika
Syaikh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia
berkata, Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata
Syaikh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar,
namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak
Allah, ia akan mengatakan, Kakiku ada di atas pundak para Wali.”
Syaikh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syaikh Abdul Qadir. Ia adalah salah
seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syaikh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam
Ahmad ibn Hanbal, 3) Syaikh Bisri al Hafi, 4) Syaikh Mansur ibn Amar, 5) Syaikh Junaid al-
Baghdadi, 6) Syaikh Siri as-Saqoti, 7) Syaikh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syaikh Abdul Qadir
Jailani.”
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syaikh Muhammad ash-Shanbaki
bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum
mendengarnya. Siapakah Syaikh Abdul Qadir Jailani?”
Maka Syaikh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di
Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad ra. (1044-1132 H), dalam kitabnya “Risalatul
Mu’awanah” menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syaikh Abdul Qadir Jailani
sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun
mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat
ia membutuhkan sesuatu ataupun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak
pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Dalam hal ini, contohnya adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika beliau sedang
berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas
tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syaikh Abdul Qadir,
lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap
tenang dan tak gentar sedikitpun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya.
Ini membuktikan bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan
memiliki karamah.
Hafidz al Barzali, mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah seorang ahli fiqih dari
madzhab Hanbali dan Syafi’i sekaligus, dan merupakan Syaikh (guru besar) dari penganut kedua
madzhab tersebut. Dia adalah salah satu pilar Islam yang doa-doanya selalu makbul, setia dalam
berdzikir, tekun dalam tafakur dan berhati lembut. Dia adalah seorang yang mulia, baik dalam
akhlak maupun garis keturunannya, bagus dalam ibadah maupun ijtihadnya.”
Abdullah al Jubba’i mengatakan:
“Syaikh Abdul Qadir Jailani mempunyai seorang murid yang bernama Umar al Halawi. Dia
pergi dari Baghdad selama bertahun-tahun, dan ketika ia pulang, aku bertanya padanya:
“Kemana saja engkau selama ini, ya Umar?” Dia menjawab: “Aku pergi ke Syiria, Mesir, dan
Persia. Di sana aku berjumpa dengan 360 Syaikh yang semuanya adalah waliyullah. Tak satu
pun di antara mereka tidak mengatakan: “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah Syaikh kami, dan
pembimbing kami ke jalan Allah.”

Manaqib Syeih Abdul Qodir aljiilany ra 2

Kisah Yang terkenal

Pada suatu malam ketika beliau sedang bermunajat kepada Allah yang panjang. Tiba muncullah seberkas
cahaya terang. Bersamaa dengan itu, terdengar suara, “Wahai Syaikh, telah kuterima ketaatanmu dan
segala pengabadian dan penghambaanmu, maka mulai hari ini kuhalalkan segala yang haram dan
kubebaskan kau dari segala ibadah”.
Abdul Qadir Jailanai mengambil sandalnya dan melemparkan ke cahaya tersebut dan menghardik
“Pergilah kau syetan laknatullah!”.
Cahaya itu hilang lalu terdengar suara “Dari manakah kau tau aku adalah syetan?,”
Syaikh Abdul Qadir menjawab,Aku tahu kau syetan adalah dari ucapanmu. Kau berkata telah
menghalalkan yang haram dan membebaskanku dari syariat, sedangkan Nabi Muhammad SAW saja
kekasih Allah masih menjalankan syariat dan mengharamkan yang haram.
Syetan berkata lagi, Sungguh keluasan ilmumu telah menyelamatkanmu
Syaikh Abdul Qadir berkata,Pergilah kau syetan laknattullah! Aku selamat karena rahmat dari Alah Swt.
bukan karena keluasan ilmuku.

Syaikh Abdul Qadir dan Anak Seorang Wanita Miskin

Suatu saat, seorang wanita membawa anak laki-lakinya kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani. Wanita itu
berkata, Ya Sayyidii, aku tahu bahwa Anda adalah Ghawts, dan aku tahu demi kehormatan dari Nabi,
engkau memberi.
Wanita itu adalah seorang wanita yang miskin. Ia selalu menghadiri suhbat (asosiasi), dan ia melihat
seluruh murid Syaikh menghadiri suhbat (nasihat) dan dzikir. Di hadapan setiap orang ada seekor ayam
yang kemudian mereka makan.
Wanita itu berkata pada dirinya sendiri, Alhamdulillah, aku miskin dan Sayyidina Abdul Qadir kaya baik
di dunia maupun di akhira. Aku akan suruh anakku untuk duduk di sana. Setidaknya ia akan ikut makan
di pagi dan malam hari.
Ia berkata, Aku ingin anakku menjadi muridmu.
Beliau menerimanya. Anak itu adalah seorang anak yang berbadan cukup gemuk. Beliau menyuruh
seorang murid, Muhamad Ahmad, Bawa dia ke ruang bawah tanah dan berikan padanya award (roti
kering) untuk khalwat (menyepi). Berikan untuknya sekerat roti dan minyak zaitun untuk makan setiap
hari.
Wanita tadi datang setelah satu bulan dan berpikir bahwa anak laki-lakinya pasti makan ayam setiap
harinya. Saat datang itu, ia melihat para murid Syaikh duduk dan sedang makan ayam.
Wanita itu bertanya pada Syaikh tentang anaknya. Syaikh Abdul Qadir menjawab, Ia sedang di ruang
bawah tanah memakan makanan yang istimewa.
Wanita itu senang, karena ia berpikir bahwa kalau para murid saja sedang makan ayam, pastilah
anaknya sedang makan sapi.
Wanita itupun turun ke bawah dan melihat anak laki-lakinya. Dilihatnya anaknya tampak sangat kurus.
Tapi, dia sedang duduk, membaca doa, berdzikir, dan cahaya memancar dari wajahnya.
Wanita itu mendatanginya.ia melihat sekerat roti di situ. Ia berkata, Apa ini?
Anaknya menjawab, Itulah yang aku makan, sekerat roti setiap hari.
Wanita itu kecewa. Ia kemudian mendatangi Syaikh Abdul Qadir dan berkata, Aku membawa anakku
untuk bersamamu.
Saat wanita itu berbicara sang Syaikh memerintahkan para muridnya, Makan.
Setiap murid memakan ayam di hadapannya masing- masing. Yang dimakan bukan potongan-potongan,
tapi ayam yang utuh yang telah masak, beserta tulang-tulangnya. Kemudian beliau berkata pada wanita
itu, Jika kau ingin anakmu mencapai suatu tingkat untuk dapat memakan ayam beserta tulang-
tulangnya, maka ia harus lebih dahulu menjalani tarbiyah atau pelatihan.
Tarbiyah itu adalah untuk membina dan melatih pikiran, yang merupakan hal paling sulit. Itulah yang
diperlukan.
Seorang yang ingin senang tentu harus berusaha keras untuk mencapainya. Demikian juga orang yang
ingin berhasil, maka ia harus belajar dengan sungguh-sungguh sebagaimana dikatakan yekh Abdul Qadir
di atas.

Dalam Suatu Perjalanan

Pada suatu saat, Syaikh Abdul Qadir sedang berada dalam suatu perjalanan. Perjalanan yang
ditempuhnya benar-benar berat. Ia harus melewati gurun padang pasir. Berhari-hari lamanya ia tidak
menemukan air. Syaikh Abdul Qadir sudah sangat kehausan.
Tiba-tiba muncul segerombolan awan di langit. Awan itu seolah melindunginya. Dari awan itu jatuh
tetesan air. Maka Syaikh Abdul Qadir segera meminum tetesan air dari atas itu. Hilanglah rasa
dahaganya.
Kemudian aku melihat cahaya terang benderang, tiba-tiba ada suara memanggilku, Wahai Abdul Qadir,
Aku Rabbmu dan Aku telah halalkan segala yang haram kepadamu.
Maka Abdul Qodir berkata:Pergilah wahai engkau Syetan terkutuk.
Tiba-tiba awan itu berubah menjadi gelap dan berasap. Kemudian ada suara yang mengucapkan: Wahai
Abdul Qadir, engkau telah selamat dariku (syetan) dengan amalmu dan fiqihmu
Demikian sedikit kisah tentang Abdul Qodir.
Syaikh Abdul Qadir memiliki 49 orang anak, 27 di antaranya adalah laki-laki. Beliaulah yang mendirikan
tariqat al-Qadiriyah. Di antara tulisan beliau antara lain kitab
Al-Fathu Ar-Rabbani,
Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan
Futuh Al-Ghaib.
Beliau wafat pada tanggal 10 Rabiul Akhir tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M pada saat usia beliau
90 tahun.

Manaqib Syeih Abdul Qodir aljiilany ra 3

Pertemuan Jailani dengan al-Hamadani

Abu Said Abdullah ibn Abi Asrun (w. 585 H.), seorang imam dari Mazhab Syafiy, berkata, Di awal
perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan Ibn al-Saqa, seorang pelajar di Madrasah
Nizamiyyah, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Aku mendengar bahwa di Baghdad ada
orang bernama Yusuf al-Hamadani yang dikenal dengan sebutan al-Ghawts. Ia bisa muncul dan
menghilang kapan saja sesuka hatinya.
Maka aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn al-Saqa dan Syaikh Abdul Qadir Jailani, yang
pada waktu itu masih muda. Ibn al-Saqa berkata, Apabila bertemu dengan Yusuf al-Hamadani, aku akan
menanyakan suatu pertanyaan yang jawabannya tak akan ia ketahui.
Aku menimpali, Aku juga akan menanyakan satu pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan ia
katakan.
Sementara Syaikh Abdu-Qadir Jailani berkata, Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu
pertanyaan kepada seorang suci seperti Yusuf al-Hamadani Aku akan menghadap kepadanya untuk
meminta berkah dan ilmu ketuhanannya.
Maka, kami pun memasuki majelisnya. Ia sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya
hingga beberapa lama. Saat bertemu, ia memandang kepada Ibn al-Saqa dengan marah dan berkata,
tanpa ada yang memberitahu namanya sebelumnya, Wahai Ibn al-Saqa, bagaimana kamu berani
menanyakan pertanyaan kepadaku dengan niat merendahkanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan
jawabannya adalah ini! dan ia melanjutkan, Aku melihat api kekufuran menyala di hatimu.
Kemudian ia melihat kepadaku dan berkata, “Wahai hamba Allah, apakah kamu menanyakan satu
pertanyaan kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah
ini. Biarlah orang-orang bersedih karena tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.
Kemudian ia memandang kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani, mendudukkannya bersebelahan
dengannya, dan menunjukkan rasa hormatnya. Ia berkata, Wahai Abdul Qadir, kau telah menyenangkan
Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu yang tulus kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki
tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara, memberi petunjuk kepada orang-orang, dan
mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir
melihat di hadapanku setiap wali pada masamu memberimu hak lebih tinggi karena keagungan
kedudukan spiritualmu dan kehormatanmu.
Ibn Abi Asrun melanjutkan, Kemasyhuran Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syaikh al-
Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika ia mengatakan, ˜Kedua kakiku
berada di atas leher semua wali. Syaikh Abdul Qadir menjadi rujukan dan lampu penerang yang
memberi petunjuk kepada setiap orang pada masanya menuju tujuan akhir mereka.
Berbeda keadaannya dengan Ibn Saqa. Ia menjadi ahli hukum yang terkenal. Ia mengungguli semua
ulama pada masanya. Ia sangat suka berdebat dengan para ulama dan mengalahkan mereka hingga
Khalifah memanggilnya ke lingkungan istana. Suatu hari Khalifah mengutus Ibn Saqa kepada Raja
Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Nasrani untuk berdebat
dengannya. Ibn al-Saqa sanggup mengalahkan mereka semua. Mereka tidak berdaya memberi jawaban
di hadapannya. Ia mengungkapkan berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak
sekolahan.
Kepandaiannya mempesona Raja Bizantium itu yang kemudian mengundangnya ke dalam pertemuan
pribadi keluarga Raja. Pada saat itulah ia melihat putri raja. Ia jatuh cinta kepadanya, dan ia pun
melamar sang putri untuk dinikahinya. Sang putri menolak kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa
harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk agama sang
putri, yaitu Nasrani. Setelah menikah, ia menderita sakit parah sehingga mereka melemparkannya ke
luar istana. Jadilah ia peminta-minta di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang meski tak
seorang pun memberinya.

Manaqib Syeih Abdul Qodir aljiilany ra 4

Kegelapan Menutupi Mukanya.

Suatu hari seseorang melihat Ibnu al-Saqa. Orang yang bertemu dengan Ibn al-Saqa itu menceritakan
bahwa ia bertanya kepadanya, Apa yang terjadi kepadamu?
Ibn al-Saqa menjawab, Aku terperosok ke dalam godaan.
Orang itu bertanya lagi, Adakah yang kau ingat dari Al Quran Suci?
Ibnu al-Saqa menjawab, Aku ingat ayat yang berbunyi, Sering kali orang-orang kafir itu menginginkan
sekiranya saja dulu mereka itu menjadi orang Islam (Q.S. al-Hijr [15]: 2).
Orang itu menceritakan Ibnu al-Saqa gemetar seakan-akan sedang meregang nyawa. Aku berusaha
memalingkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia terus saja menghadap ke timur. Sekali lagi aku berusaha
mengarahkannya ke Ka’bah, tetapi ia kembali menghadap ke timur. Hingga tiga kali aku berusaha,
namun ia tetap menghadapkan wajahnya ke timur. Kemudian, bersamaan dengan keluarnya ruh dari
jasadnya, ia berkata, Ya Allah, inilah akibat ketidakhormatanku kepada wali-Mu, Yusuf al-Hamadani
Sementara salah satu orang yang dulu menemui yaikh al-Hamadani, Ibn Abi Asrun menceritakan,
Sementara aku sendiri mengalami kehidupan yang berbeda. Aku datang ke Damaskus dan raja di sana,
Nuruddin al-Syahid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerima tugas itu. Sebagai
hasilnya, dunia datang dari setiap penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan
selama sisa hidupku. Itulah apa yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku.

Anda mungkin juga menyukai