Anda di halaman 1dari 11

Biografi Lengkap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

dan Thariqat Qadiriyah

Diriwayatkan bahwa saat mengandung beliau usia ibunya 60 tahun. Ada yang
menyatakan bahwa pada usia 60 tahun tidak ada wanita yang bisa hamil lagi. Ibu
beliau bernama Fathimah binti Syekh Abdullah Ash-Shaumai. Setelah lahir
Syekh Abdul Qodir tidak mau menyusupada saat bulan Ramadhan, sehingga jika
masyarakat tidak dapat melihat hilal penentuan bulan Ramadhan, masyarakat
mendatangi ayah Syekh Abdul Qodir. Jika ayah beliau menjawab hari ini anakku
tidak menyusu maka orang-orangpun mengerti bahwa bulan Ramadhan telah
tiba.
Syekh Abdul Qadir al-Jaylani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia.
Peringatan Haul waliyullah ini pun selalu dirayakan setiap tahun oleh umat Islam
Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah
ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran
spiritualnya.Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi
(manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat
dengan sebutan manaqiban.
Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat alJaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang Tabaristan.

Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga dengan Jaylan
dan Kilan.
NASAB
Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Iraq, pada
bulan Ramadhan 470 H, bertepatan dengan th 1077 M. Ayahnya bernama
Shahih, seorang yang taqwa keturunan Hadhrat Imam Hasan, r.a., cucu
pertama Rasulullah saw, putra sulung Imam Ali ra dan Fatimah r.a., puteri
tercinta Rasul. Ibu beliau adalah puteri seorang wali, Abdullah Saumai, yang
juga masih keturunan Imam Husein, r.a., putera kedua Ali dan Fatimah.
Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalah Hasaniyin sekaligus Huseiniyin.
MASAAMUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih
baik, apa yang disebut pengalaman-pengalaman mistik. Ketika berusia
delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan untuk bersama para
orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat
ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-Adzam atau
wali Ghauts terbesar.
Dalam terminologi kaum sufi, seorang Ghauts menduduki jenjang ruhaniah
dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi
ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama besar di masa kini, telah
menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Quran
bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada
peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke
Baghdad.
Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang
sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan
pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal.
Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk
menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya
berpesan agar jangan berdusta dalam segala keadaan. Sang anak berjanji
untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah
segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak

memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan


salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak.
Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab:
Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang dijahitkan di dalam baju
oleh ibuku. Tentu saja para perampok terperanjat keheranan. Mereka heran,
ada manusia sejujur ini.
Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan
jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah
delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala
perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan
ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka
akan tak bermakna upayanya menimba ilmu agama.
Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di kali
Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan.
Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya.
Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar,
maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis,
tak mungkin baginya.
BELAJARADIABAGHDAD
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia
terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat
menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli
hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam
gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam
dalam belajar, ia gemar musyahadah*).
Ia sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari seseorang, meski
harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering menjumpai
orang-orang yang berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka. Dalam
masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang penjual
sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya.
Lambat laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir. Hadhrat
Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya

sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini
menerima semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.
LATIHAN-LATIHANARUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai
mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan
tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Quran suci. Shalat sedemikian
menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa berwudhu lagi,
karena belum batal.
Diriwayatkan pula, beliau kerapkali khatam membaca Al-Quran dalam satu
malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan
manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila
ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya ia tinggalkan
Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan dari Baghdad.
Selama sebelas tahun, ia menutup diri dari dunia. Akhir masa ini menandai
berakhirnya latihannya. Ia menerima nur yang dicarinya. Diri-hewaninya kini
telah digantikan oleh wujud mulianya.
DICOBAAIBLIS
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam
bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh
keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang
penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang,
suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya ke
puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan
duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi raja
dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai pemimpin
ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa perjuangan jiwa
sang pemimpin dalam hidupnya.
Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh
berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuhmusuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta
dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: Aku

sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh
Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia, menyampaikan risalahNya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di
dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian menolak, tentu Allah akan
menentukan antara kalian dan aku.
Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan
duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh Abdul
Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis
menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia
membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di
langit tertinggi.
Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis,
karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi
Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: Baiklah
Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu.
Enyahlah!, bentak sang wali. Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku,
tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu.
Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba
belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan
menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan
dahaganya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: Akulah
Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram. Sang Syaikh
berucap: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar berkata:
Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku.
Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya.
Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang
haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan
dari Allah.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara
perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan
ruhaniahnya.

Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan


kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah
berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi
pemimpin sejati manusia.
PANUTANAMASYARAKAT
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata
atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari ruhaninya.
Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin
menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena
dalam pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan
upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia melihat
dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Baghdad,
yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi jalan,
menyalaminya.
Ketika sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk
membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan
tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syaikh
terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: Akulah
agama kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah telah
menyehatkanku kembali melalui bantuanmu.
Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan
menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan,
menamainya Muhyiddin, pembangkit keimanan, gelar yang kemudian
dipandang sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia
tinggalkan kesendiriannya (uzlah), ia tak jua berkhutbah di depan umum.
Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim di sebuah sudut kota, dan
meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian mempercerah ruhaniyah.
KEHIDUPANARUMAHATANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan
kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima
puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia

menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu


beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan
mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan
taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak dua puluh putra,
dan yang lainnya putri.
Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola
madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga
berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan
masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan
demikian termasyhur.
Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal
juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga
Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.Syaikh Abdul Razaq. Ia
adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia
terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan
sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.Syaikh Musa. Ia
adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh
Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali,
diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke
tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti
disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz,
dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat
terakhirnya.
KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam
seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia
mengajar tentang Tafsir Al Quran, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata pelajaran
lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum,
yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum
sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat
Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun.

Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara


tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya,
sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan
sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah suatu
amalan yang dianjurkan Quran Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia
curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia,
dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.
PENGARUHADANAKARYA
Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal ini membuat
Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan,
bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap disiplin ilmu,
karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan, sepertinya
perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan masyarakat
justru saran seorang yang bisa meluruskan yang bengkok dan membenahi
kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini
pula yang menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis
Syekh.
Memang ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai tulisannya.
Namun, yang disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:
1. Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq
merupakan karyanya yang mengingatkan kita dengan karya monumental
al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din. Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik
tema maupun gaya bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini terlihat
dengan penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai
dengan membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika Islam,
etika doa, keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian
membincangkan juga anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar,
tawakal, dan akhlak yang baik.
2. Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani
merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang
pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema.
Semua pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan
pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal
Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai 90 halaman. Format buku ini

mirip dengan format pengajian Syekh dalam berbagai majelisnya.


Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada
forum pengajian itu.
3. Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh
berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya
sama dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212
halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa
halamannya diisi dengan himpunan senandung pujian yang dinisbatkan
pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.
KESAKSIANAULAMA
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul
Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh
Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang
bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata,
Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan
beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi, Aku diberitahukan bahwa kelak
akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar
Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan
mengatakan, Kakiku ada di atas pundak para Wali. Syekh Abu Bakar ibn
Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah
seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di
majelisnya, ia berkata: Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah;
1) Syekh Maruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al
Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri
as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani.
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh
Muhammad ash-Shanbaki bertanya, Kami telah mendengar ke tujuh nama
itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul
Qadir Jailani? Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, Abdul Qadir adalah
shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap
di Baghdad.

Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam kitabnya
Risalatul Muawanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih
Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya. Seorang yang benarbenar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun
mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan
bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun di saat kebutuhannnya
itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam
situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh
seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat
para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qadir, lalu masuk
ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan
beliau tetap tenang dan tak gentar sedikit pun, bahkan beliau tak
menghentikan ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir
Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.
Ibnu Rajab juga berkata, Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat
yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu
makrifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li
Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab
Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang
banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalahmasalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. Al-Dzahabi
juga berkata, Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup
dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh Abdul Qadir Al
Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada
yang mustahil terjadi.
WAFAT
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan,
ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya seharisemalam. Ia wafat pada
malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90
tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan
bertausiah. Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama
Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:

Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan


berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza
wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya
pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah!
Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.
Demikian manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah, manfa,at, dan
Ridho allah swt, syafaat Rosululloh serta karomah Auliyaillah khushushon
Syekh Abdul Qodir Jailani selalu terlimpahkan kepada kita, keluarga dan
anak turun kita semua Dunia Akhirat. Amien
Diambil dari berbagai sumber
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan
segala

kekuasaan

dan

keadilan

Allah

melalui

mata

hati.

**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas
terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira maupun
ancaman.
http://www.sarkub.com/2012/riwayat-syaikh-abdul-qadir-aljailani/#axzz2MBuHtIx9

Anda mungkin juga menyukai