Anda di halaman 1dari 10

Siti Khadijah

Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga

Mekkah, tahun 68 Sebelum Hijrah atau bertepatan dengan


tahun 555 Masehi adalah tahun yang istimewa bagi keluarga
Khuwailid bin Asad. Karena di tahun itu lahir seorang bayi
perempuan cantik di tengah-tengah keluarga Khuwailid bin
Asad. Bagi masyarakat suku Quraisy waktu itu, mempunyai
anak perempuan merupakan sebuah aib. Banyak dari mereka
yang mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, bahkan
sebelum sang bayi merasakan udara dunia. Namun tidak
demikian dengan Khuwailid bin Asad. Kehadiran bayi
perempuan ditengah keluarganya, disambut dengan sukacita.
Khuwailid bin Asad menamai putrinya Siti Khadijah. Nama
lengkap sang bayi itu adalah Siti Khadijah binti Khuwailid bin
Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al Qurasyiyah al
Asadiyah.

Tumbuh di tengah-tengah keluarga yang terpandang dan


bergelimang harta, tidak menjadikan Siti Khadijah sebagai
sosok yang sombong. Justru keistimewaan yang ada pada
dirinya membuatnya rendah hati. Julukan Ath-Thahirah
tersemat padanya sebagai penghargaan bahwa Siti Khadijah
adalah sosok yang mampu menjaga kesucian dirinya.

Tahun 575 Masehi, ibunda Siti Khadijah meninggal dunia. 10


tahun kemudian, ayahnya meninggal dunia. Menjadi yatim-
piatu beserta harta warisan yang berlimpah bagi sebagian
manusia bisa menjadikan diri terlena dan berfoya-foya. Namun
tidak demikian dengan Siti Khadijah. Justru kematian kedua
orang tuanya membuatnya tumbuh menjadi wanita mandiri.
Siti Khadijah melanjutkan tradisi keluarganya sebagai
pedagang. Tangan dingin Siti Khadijah membuat bisnis
keluarganya berkembang pesat.

Pernikahan-pernikahan Sebelum dengan Rasulullah

Cantik, kaya, dan dari keluarga terpandang membuat Siti


Khadijah menjadi bunga di Mekkah. Banyak bangsawan dan
saudagar kaya berebut ingin meminangnya. Namun yang
mampu memenangkan persaingan nan ketat tersebut adalah
Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi. Pasangan ini dikarunia dua
orang anak yang diberi nama Halah dan Hindun.  Namun
sayang, pernikahan itu tidak panjang usianya. Abu Halah
meninggal dunia dengan meninggalkan anak dan harta yang
banyak untuk Siti Khadijah.

Menyandang predikat janda muda nan kaya di kota seperti


Mekkah tentu bukan hal yang mudah untuk dijalani bagi
seorang Siti Khadijah. Namun, kecerdasan dan kepandaiannya
dalam bergaul dan memanfaatkan peluang, menjadikan
seorang Siti Khadijah wanita karier yang cemerlang masa
depannya.

Ternyata setangguh apapun Siti Khadijah, ia tetap saja seorang


perempuan yang butuh perlindungan seorang laki-laki. Apalagi
dengan bisnis yang semakin berkembang pesat, membuat Siti
Khidijah merasa sudah saatnya untuk memulai lagi biduk
rumah tangga. Diantara sekian banyak pinangan yang datang
kepadanya, Siti Khadijah memutuskan untuk menerima
pinangan Atiq bin ‘Aid Al-Makhzumi. Namun, lagi-lagi Allah
menguji kekuatan mental Siti Khadijah. Suami keduanya pun
meninggal dunia.

Pernikahan dengan Rasulullah

Kembali dalam kesendirian membuat Siti Khadijah tertempa


menjadi wanita yang kuat. Banyak sebenarnya pinangan yang
datang kepadanya. Tapi Siti Khadijah menolak semua pinangan
itu dengan halus. Siti Khadijah memilih untuk berkonsentrasi
pada bisnis dan mengurus putra-putrinya.

Suatu hari, Siti Khadijah mendengar kabar tentang seorang


pemuda yang pandai, cerdas, dan sangat terpercaya. Dialah
Muhammad bin Abdullah. Pemuda itu menjadi buah bibir
warga Mekkah karena kejujurannya. Tak heran julukan Al-
Amin tersemat pada pemuda itu. Penasaran dengan pemuda
tersebut, Siti Khadijah mengutus asistennya, Maisarah untuk
datang kepada Muhammad bin Abdullah menawarkan
pekerjaan  yaitu membawa barang dagangan Siti Khadijah ke
negri Syam. Muhammad menerima tawaran tersebut.

Sebelum hari keberangkatan kafilah dagang ke negri Syam, Siti


Khadijah berpesan kepada Maisarah untuk melaporkan segala
sesuatu yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah di Syam.
Maisarah menyanggupinya. Dan bertolaklah rombongan
dagang milik Siti Khadijah dengan Muhammad bin Abdullah
sebagai penanggung jawabnya.

Selang beberapa lama, rombongan itu kembali ke Mekkah


dengan sukses. Muhammad bin Abdullah mampu
meningkatkan penjualan barang dagangan Siti Khadijah
sehingga meraup keuntungan besar. Sesampai di Mekkah,
Maisarah yang ditugaskan oleh Siti Khadijah untuk mengamati
tingkah laku Muhammad, datang menghadap Siti Khadijah.
Inilah hasil pengamatan Maisarah: Muhammad bin Abdullah
terbukti sebagai orang yang memiliki budi pekerti yang agung,
berakhlak mulia, dan jujur. Dia sama sekali tidak pernah
berbohong dalam menjual  barang. Apabila barang itu bagus,
dia katakan bagus. Apabila barang yang dijual mutunya kurang
bagus, maka diapun mengatakan yang sebenarnya sehingga
kosumen merasa puas. Selama perjalanan berangkat dan
kembali lagi ke Mekkah, Muhammad bin Abdullah benar-benar
menjaga akhlaknya. Dia selalu menundukkan pandangannya.
Benar-benar sosok yang mengagumkan.

Mendengar laporan Maisarah, Siti Khadijah semakin tertarik


kepada kepribadian Muhammad bin Abdullah. Siti Khadijah
mempunyai harapan lebih kepada Muhammad bin Abdullah.
Melalui perantara Nafisah binti Muniyah, Siti Khadijah
mengungkapkan keinginannya untuk bisa mengenal lebih dekat
dengan Muhammad bin Abdullah. Nafisah binti Muniyah
mafhum dengan maksud Siti Khadijah. Nafisah binti Muniyah
kemudian mendatangi Muhammad bin Abdullah dan terjadilah
pembicaraan antara mereka.
“Mengapa engkau belum menikah, Muhammad?” selidik
Nafisah binti Muniyah.

“Aku belum mampu untuk menikah.” Jawab Muhammad bin


‘Abdullah.

“Jika ada yang memenuhi kriteria sebagai istrimu, apakah


engkau bersedia?” pancing Nafisah binti Muniyah.

“Siapa wanita itu?” tanya Muhammad bin ‘Abdullah.

Kontan Nafisah binti Muniyah menjawab: “Siti Khadijah binti


Khuwailid.”

“Aku bersedia jika dia bersedia.” Jawab Muhammad bin


‘Abdullah.

Tidak menunggu lama, Nafisah binti Muniyah mendatangi Siti


Khadijah untuk mengabarkan berita gembira tersebut.

Begitupun dengan Muhammad bin ‘Abdullah. Beliau segera


menemui pamannya, Abu Thalib untuk menyampaikan niatnya
meminang Siti Khadijah. Mendengar ungkapan dari
keponakannya, Abu Thalib menyetujuinya. Abu Thalib,
Hamzah, dan keluarga yang lainnya kemudian pergi menuju
kediaman Amr bin Asad selaku paman dan wali Siti Khadijah
untuk meminang Siti Khadijah.

Dengan maskawin 20 ekor unta muda, Muhammad bin


‘Abdullah menikahi Siti Khadijah binti Khuwailid. Wali dari Siti
Khadijah diwakili oleh pamannya yang bernama Amr bin Asad,
sedang dari pihak Muhammad bin Abdullah oleh Abu Thalib
dan Hamzah. Perbedaan usia yang cukup jauh (sekitar 15
tahun), serta kesenjangan ekonomi  yang lebar antara mereka
berdua  tidak menghalangi Muhammad bin ‘Abdullah dan Siti
Khadijah membangun rumah tangga yang penuh berkah.

Allah Azza wa Jalla menganugerahi pasangan sempurna ini


enam orang anak, yaitu:  Qosim (itulah mengapa Rasulullah
juga sering dipanggil oleh penduduk Mekkah dengan sebutan
Abu Qasim), ’Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum,
dan Siti Fatimah. Kedua anak lelaki meninggal ketika masih
bayi.

Menjelang Kerasulan

Mekkah sebelum datang Islam, sungguh penuh dengan


kejahiliyahan. Berbagai tindak kejahatan dan perbuatan keji
menjadi kebiasaan penduduknya. Mabuk-mabukan,
membunuh anak-anak perempuan mereka, perang antar suku,
menyembah berhala menjadi trend saat itu. Hal ini membuat
Rasulullah yang waktu itu belum diangkat menjadi Rasul,
menjadi risau dan galau. Beliau sering pergi ke gua Hira untuk
ikhtila’ atau menyendiri. Beliau melakukan ikhtila’ di gua untuk
beberapa malam bahkan kadang sampai sepuluh malam.
Kemudian beliau turun kembali ke keluarganya untuk
mengambil bekal dan kemudian kembali lagi ke gua Hira untuk
melakukan uzlah. Demikian keadaan itu berlangsung sampai
Allah SWT menurunkan wahyu yang pertama melalui malaikat
Jibril.

Siti Khadijah menunjukkan kredibilitasnya sebagai istri


tauladan. Beliau mendukung sepenuhnya apa-apa yang
dilakukan oleh suaminya, Rasulullah. Disaat Rasulullah
memiliki kecenderungan untuk beruzlah dan berikhtila’ di gua
Hira, Siti Khadijah mendukung dengan menyediakan dan
menyiapkan bekal untuk Rasulullah. Hingga pada suatu hari
Rasulullah pulang dari gua Hira dengan tubuh gemetar.
Rasulullah segera menemui Siti Khadijah dan berkata,
“selimutilah aku. Selimutilah aku!”

Siti Khadijah kemudian menyelimuti Rasulullah. Disaat


Rasulullah sudah mulai tenang, beliau berkata, “Wahai
Khadijah, tahukah kau apa yang terjadi denganku tadi?”

Kemudian Rasululllah menceritakan apa yang terjadi di gua


Hira, dimana pada saat itu Allah SWT mengutus malaikat Jibril
untuk menyampaikan wahyu yang pertama. Malaikat Jibril
menemui Rasulullah dan mendekap beliau sambil
mengucapkan, “Bacalah….”

“Aku tidak bisa membaca..” jawab Rasulullah.

Kemudian malaikat Jibril mendekap beliau kembali dan


berkata, “Bacalah….”

“Aku tidak bisa membaca.” Rasulullah kembali menjawab.

Untuk yang ketiga kalinya malaikat Jibril mendekap Rasulullah


dan berkata, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.”

“Sungguh aku khawatir terhadap diriku (dari gangguan


makhluk jin).” Berkata Rasulullah mengakhiri ceritanya.

“Tidak! Bergembiralah. Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak


akan membuat engkau kecewa. Engkau adalah seorang yang
suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang
susah, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di
atas kebenaran.” Siti Khadijah menghibur dan menenangkan
suaminya.

Ketika Siti Khadijah mendengar kejadian yang dialami oleh


Rasulullah di gua Hira, Siti Khadijah ingat dengan sepupunya
yang bernama Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul Uzza
bin Qushai. Waraqah bin Naufal telah berusia lanjut dan
kehilangan penglihatannya. Dia beragama Nasrani dan mampu
menulis dalam bahasa Ibrani. Bahkan pernah menulis bagian-
bagian Injil dalam bahasa Ibrani.Timbul niat Siti Khadijah
untuk membawa suaminya, Rasulullah untuk menemui
Waraqah bin Naufal.

“Wahai keponakanku, hal apa yang membawamu kemari?”


bertanya Waraqah bin Naufal kepada Siti Khadijah.
“Wahai anak pamanku, dengarlah apa yang akan diceritakan
oleh kemenakanmu ini (Rasulullah).” Jawab Siti Khadijah.

Kemudian Rasulullah menceritakan kejadian yang beliau alami


di gua Hira.

“Itu adalah malaikat yang pernah Allah utus kepada Musa As.
Oh, alangkah bahagianya apabila aku masih muda dan perkasa.
Alangkah bahagianya seandainya aku masih hidup tatkala
kamu diusir oleh kaummu.” Berkata Waraqah bin Naufal
setelah mendengar cerita keponakannya.

“Apakah mereka akan mengusirku?” Rasulullah bertanya.

“Ya, tidak ada seorangpun yang membawa seperti apa yang


kamu bawa kecuali dimusuhi dan diperangi oleh kaumnya.
Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang
akan kamu hadapi itu, niscaya aku akan membantumu sekuat
tenaga.”

Tidak berapa lama setelah kedatangan Rasulullah, Waraqah bin


Naufal meninggal dunia.

Menurut riwayat yang valid, yaitu dari Baihaqi. Bahwa setelah


kejadian itu, wahyu dihentikan semantara selama enam
bulan. Tentang kedatangan Jibril yang kedua, Baihaqi
meriwayatkan sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah, ia
berkata :“Aku mendengar Rasulullah SAW berbicara tentang
terhentinya wahyu. Beliau berkata kepadaku:“ Di saat aku
sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit.
Ketika kepala kuangkat , ternyata Malaikat yang datang
kepadaku di gua Hira’“, kulihat sedang duduk di kursi antara
langit dan bumi. Aku segera pulang menemui istriku
dan kukakatan kepadanya,“ Selimutilah aku , selimutilah aku
….selimutilah aku ….!”

Sehubungan dengan itu Allah kemudian berfirman :“ Hai orang


yang berselimut. Bangunlah dan berilah peringatan. Dan
Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan
perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang banyak. Dan
untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah. (QS Al
Muddatsir 1-7)

Sejak itu wahyu mulai diturunkan secara kontinyu.

Perempuan pertama yang masuk islam

Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Masruq dari Siti


Aisyah r.a: “Hampir Rasulullah tidak pernah keluar rumah
sehingga menyebut Siti Khadijah dan memujinya. Pada suatu
hari, Rasulullah menyebutnya dan timbullah kecemburuanku.
Lalu aku (Siti Aisyah) berkata kepada Rasulullah: “Bukankah
dia hanya seorang yang sudah tua dan Allah SWT telah
mengganti untuk kakanda orang yang lebih baik darinya?”

Mendengar hal itu, Rasulullah marah dan kemudian bersabda:


“Demi Allah! Allah tidak pernah menggantikan yang lebih baik
darinya. Dia beriman ketika orang-orang ingkar, dia
membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dia
membelaku dengan hartanya ketika orang-orang
menghalangiku, dan aku dikaruniai Allah anak darinya,
sementara aku tidak dikaruniai anak dari istri-istriku yang
lain.” Subhanallah!

Itulah seorang Siti Khadijah!

Dari riwayat tersebut, kita tahu bahwa Siti Khadijah adalah


orang yang pertama kali beriman dan mengimani apa-apa yang
dibawa oleh Rasulullah tanpa ada keraguan sedikitpun. Bukan
karena yang menyampaikan risalah itu adalah suaminya, tapi
beliau menerima risalah itu semata-mata karena iman kepada
Allah SWT.

Menjelang Wafat
Setelah turun wahyu yang kedua, Rasulullah mulai
mendakwahkan risalah Islam. Dakwah yang beliau lakukan di
tiga tahun pertama adalah dakwah siriyyah atau dakwah secara
sembunyi-sembunyi. Setelah itu turun lagi wahyu dari Allah
SWT yang menyerukan kepada Nabi SAW untuk berdakwah
secara terang-terangan.

Sungguh berat rintangan yang Rasulullah hadapi manakala


beliau mendakwahkan Islam kepada kaum Quraisy secara
terang-terangan. Sedikit sekali masyarakat Mekkah yang
percaya akan apa yang dibawa oleh Nabi SAW. Dan itupun
kebanyakan dari kalangan bawah. Sementara para bangsawan
Mekkah menentang keras risalah Rasulullah. Mereka
mengupayakan berbagai cara untuk menghadang dakwah
Rasulullah dan sahabat. Dari penyiksaan, pengusiran,
pemboikotan, dan pembunuhan.

Sebagai istri yang beriman kepada kerasulan suaminya, Siti


Khadijah telah mengorbankan semua yang dimilikinya untuk
mensupport misi Rasulullah. Disaat Rasulullah susah hati
karena penentangan kaumnya, Siti Khadijah tampil sebagai
penenang hati dan pendorong semangat. Ketika Rasulullah
membutuhkan dana untuk dakwah Islam, tanpa ragu Siti
Khadijah memberikan seluruh harta kekayaannya untuk
diinfakkan di jalan Allah SWT.

Ketika kaum musyrik Quraisy melakukan pemboikotan kepada


bani Hasyim dan Bani Muthalib, Siti Khadijah rela
meninggalkan rumahnya untuk bergabung dengan Rasulullah
dan Sahabat di syi’ib (pemukiman) bani Muthalib.
Pemboikotan berlangsung dari tahun ketujuh kenabian sampai
tahun kesepuluh kenabian. Kaum muslimin dan kaum kafir
dari bani Hasyim dan bani Muthalib (mereka ikut diboikot
karena semata-mata fanatisme kesukuan!) dikepung di syi’ib
bani Muthalib. Mereka tidak dijinkan melakukan jual-beli dan
bermasyarakat dengan suku lain.

Usia yang semakin renta, tubuh yang sudah tidak sekuat


diwaktu muda,ditambah dengan pemboikotan kaum kafir
Quraisy, membuat kondisi Siti Khadijah semakin lemah. Tapi
itu tidak membuat keimanannya berkurang. Justru itu
membuat Siti Khadijah semakin yakin akan kebenaran risalah
yang dibawa oleh Rasulullah.

Menjelang usianya yang ke 65 tahun, atau tiga tahun sebelum


hijrah Nabi, Siti Khadijah menutup mata menghadap Rabbnya.
Kematian Siti Khadijah membuat Rasulullah bersedih. Telah
pergi teman sejatinya dalam hidup untuk menemui Rabb.
Rasulullah menyebut tahun meninggalnya Siti Khadijah
sebagai “tahun dukacita”

Anda mungkin juga menyukai