Anda di halaman 1dari 76

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam berdarah dengue adalah penyakit yang menyerang bagian utama

dari sistem transportasi dalam tubuh manusia, yakni darah. Bagian darah yang

diserang oleh penyakit ini yaitu keping-keping darah atau trombosit. Akibat dari

serangan penyakit ini, kadar trombosit dalam darah menurun drastis dan

mengakibatkan darah lebih pekat dan mengental karena kehilangan cairan.

Penyebab penyakit demam berdarah dengue adalah virus dengue. Virus ini

dimasukan ke dalam tubuh manusia, tepatnya ke dalam darah oleh nyamuk jenis

aedes melalui gigitan. Ada dua spesies dalam jenis nyamuk aedes yaitu aedes

aegypti dan aedes albopictus namun, hanya nyamuk aedes aegypti betina yang

bisa menyebarkan virus karena hanya nyamuk betina yang menghisap darah

manusia sedangkan nyamuk aedes aegypti jantan hidup dari menghisap nektar

bunga (Surtiretna, 2007:13).

Di Indonesia, demam berdarah dengue pertama kali dilaporkan terjadi di

Surabaya pada 1968 dan diikuti dengan kasus di Jakarta pada tahun 1969. Pada

saat itu terdapat 58 orang terkena demam berdarah dengue dan 24 orang

diantaranya meninggal. Kemudian muncul lagi di Bandung dan Yogyakarta pada

tahun 1972. Wabah pertama di luar Pulau Jawa dilaporkan pada tahun 1972, yaitu

di Sumatera Barat dan Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara dan Bali pada

tahun 1973. Pada 1974, wabah dilaporkan berjangkit ke Kalimantan Selatan dan

1
Nusa Tenggara Barat dan menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia (Frida,

2008:3).

Melihat kondisi ini maka pemerintah membuat program pemberantasan

demam berdarah dengue seperti yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor 581 tahun 1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam

Berdarah Dengue. Kebijakan ini memutuskan bahwa upaya pemberantasan

penyakit demam berdarah dengue dilakukan melalui kegiatan pencegahan,

penemuan, pelaporan penderita, pengamatan penyakit dan penyelidikan

epidemiologi, penanggulangan seperlunya, penanggulangan lain dan penyuluhan

kepada masyarakat.

Keputusan tersebut didukung Kementerian Dalam Negeri dengan

memerintahkan Gubernur, Bupati/ Walikota menindaklanjuti menjadi Keputusan

Kepala Daerah untuk mengoordinasikan instansi terkait dalam pemberantasan

demam berdarah dengue, menyusun ketentuan pelaksanaan penerapan, melakukan

pembinaan peran serta masyarakat, segera membentuk Pokjanal DBD (kelompok

kerja operasional pemberantasan penyakit demam berdarah dengue), dan

mempersiapkan dana operasional yang dimasukkan ke dalam APBD.

Di Nusa Tenggara Timur, kasus demam berdarah juga sangat banyak

bahkan sampai ditetapkan sebagai kejadian luar biasa. Oleh karena itu, Gubernur

Nusa Tenggara Timur mengeluarkan Intrusksi Gubernur Nusa Tenggara Timur

Nomor : BU.443/21/DINKES/2020 tentang Pencegahan dan Pengendalian

Demam Berdarah Dengue Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diintruksikan

2
kepada Walikota Kupang dan Bupati se- Nusa Tenggara Timur untuk menjamin

perlindungan terhadap hak-hak masyarakat sehingga terhindar dari penyakit

demam berdarah dengue dan akibatnya sekaligus mencapai komitmen Pemerintah

Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu 0 (nol) kematian akibat demam berdarah

dengue. Gubernur juga mengintruksikan untuk melaksanakan berbagai program

aksi pencegahan dan pengendalian demam berdarah dengue dalam bentuk gerakan

serentak PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dengan memantau dan membasmi

jentik nyamuk di tempat-tempat yang dapat menampung air dengan cara

menguras, menutup dan mendaur ulang serta memelihara ikan pemakan jentik dan

menanam tanaman pengusir nyamuk (3M Plus). Di Nusa Tenggara Timur

tepatnya di Kabupaten Sikka, pada tahun 2020 terjadi kasus demam berdarah

dengue terbanyak dan dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Oleh karena

itu, untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Kabupaten Sikka bekerjasama

dengan bagian kesehatan untuk sama-sama memberantas demam berdarah dengue

ini, salah satunya ialah Puskesmas.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang diatur dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indoensia Nomor 43 Tahun 2019 Tentang Pusat

Kesehatan Masyarakat pada Pasal 4 ayat (1), Puskesmas memiliki fungsi:

a. penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan

b. penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.

3
Dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan UKM tingkat pertama di

wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, Puskesmas

berwenang untuk:

a. menyusun perencanaan kegiatan berdasarkan hasil analisis masalah

kesehatan masyarakat dan kebutuhan pelayanan yang diperlukan;

b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;

c. melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan

masyarakat dalam bidang kesehatan;

d. menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan

masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang

bekerja sama dengan pimpinan wilayah dan sektor lain terkait;

e. melaksanakan pembinaan teknis terhadap institusi, jaringan pelayanan

Puskesmas dan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat;

f. melaksanakan perencanaan kebutuhan dan peningkatan kompetensi

sumber daya manusia Puskesmas;

g. memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;

h. memberikan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada keluarga,

kelompok, dan masyarakat dengan mempertimbangkan faktor biologis,

psikologis, sosial, budaya, dan spiritual;

i. melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu,

dan cakupan Pelayanan Kesehatan;

4
j. memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat kepada

dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, melaksanakan sistem

kewaspadaan dini, dan respon penanggulangan penyakit;

k. melaksanakan kegiatan pendekatan keluarga; dan

l. melakukan kolaborasi dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat

pertama dan rumah sakit di wilayah kerjanya, melalui pengoordinasian

sumber daya kesehatan di wilayah kerja Puskesmas.

Dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan UKP tingkat pertama di

wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, Puskesmas

berwenang untuk:

a. menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif,

berkesinambungan, bermutu, dan holistik yang mengintegrasikan faktor

biologis, psikologi, sosial, dan budaya dengan membina hubungan dokter -

pasien yang erat dan setara;

b. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya

promotif dan preventif;

c. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berpusat pada individu,

berfokus pada keluarga, dan berorientasi pada kelompok dan masyarakat;

d. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan kesehatan,

keamanan, keselamatan pasien, petugas, pengunjung, dan lingkungan

kerja;

e. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif dan

kerja sama inter dan antar profesi;

5
f. melaksanakan penyelenggaraan rekam medis;

g. melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan

akses Pelayanan Kesehatan;

h. melaksanakan perencanaan kebutuhan dan peningkatan kompetensi

sumber daya manusia Puskesmas;

i. melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan Sistem

Rujukan; dan

j. melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan Fasilitas Pelayanan

Kesehatan di wilayah kerjanya, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Puskesmas Kopeta Maumere berada di pusat Kota Maumere dengan

wilayah cakupan kerja meliputi Kelurahan Madawat, Kelurahan Kota Uneng,

Kelurahan Nangalimang dan Kelurahan Kabor. Banyak kasus demam berdarah

dengue terjadi di wilayah Puskesmas Kopeta ini dan kasus yang paling banyak

terdapat di Kelurahan Kota Uneng. Menanggapi kasus di atas dan dengan

menjalankan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 581 tahun 1992 tentang

Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue, Puskesmas Kopeta membuat

kebijakan pengendalian demam berdarah dengue melalui beberapa program yaitu

PJB (pemantauan jentik berkala), PSN (pemberantasan sarang nyamuk), program

satu rumah satu jentik, dan abatisasi. Dalam melaksanakan tugasnya Puskesmas

Kopeta tidak bekerja sendiri melainkan melibatkan dinas-dinas lain yaitu Dinas

Kesehatan Kabupaten Sikka, Kantor Kecamatan Alok dan Kantor Kelurahan Kota

Uneng untuk sama-sama memberantas penyakit demam berdarah dengue.

6
Program di atas dijalankan setiap hari jumat pada awal bulan misalnya pembagian

bubuk abate dan pemantauan jentik-jentik nyamuk di rumah-rumah warga.

Petugas Puskesmas bersama dinas terkait turun ke lapangan bekerja sama dengan

RT/RW setempat untuk sama-sama menjalankan program ini. Oleh karena itu,

dalam menjalankan program-program di atas harus memperhatikan berbagai

aspek untuk menjamin kelancaran proses implementasi program ini.

Dalam penelitian yang menjadi acuan dan tolak ukur dalam Implementasi

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 581 Tahun 1992 Tentang Pemberantasan

Penyakit Demam Berdarah Dengue Oleh Puskesmas Kopeta Maumere di

Keluarahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, maka teori dari

Edward III yang menerangkan tentang komunikasi, sumber daya, disposisi atau

sikap pelaksana dan sturktur birokrasi, merupakan teori yang paling tepat untuk

menilai tentang kinerja yang dilakukan.

Dimulai dari faktor komunikasi, dimana faktor komunikasi ini diartikan

sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan.

Komunikasi kebijakan merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari

pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan (policy

implementors). Informasi kebijakan publik perlu disampaikan kepada pelaku

kebijakan agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui, memahami apa yang

menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target groups) kebijakan agar para

pelaku kebijakan dapat mempersiapkan dengan benar apa yang harus dipersiapkan

dan dilakukan untuk melaksanakan kebijakan publik agar apa yang menjadi tujuan

7
dan sasaran kebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan (Widodo,

2015:97).

Komunikasi kebijakan memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi

transformasi (transmission), kejelasan (clarity), dan konsistensi (consistency).

Dimensi transformasi menghendaki agar kebijakan publik dapat

ditransmormasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang

terkait dengan kebijakan. Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan

yang ditransmisikan kepada para pelaksana, target grub dan pihak lain yang

berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat

diterima dengan jelas sehingga di antara mereka mengetahui apa yang menjadi

maksud, tujuan dan sasaran serta substansi dari kebijakan publik tersebut

(Widodo, 2015:97).

Dalam proses pengimplementasian kebijakan ini Kepala Puskesmas Kopeta

lewat SK Kepala UPT. Puskesmas Kopeta Nomor : 800/SK/II/05/I/2021 Tentang

Penetapan Penanggungjawab Program Serta Uraian Tugasnya Berdasarkan

Struktur Organisasi UPT. Puskesmas Kopeta, dalam keputusan ini dilampirkan

juga bahwa ada program yang dijalankan Puskesmas Kopeta untuk menangani

pengendalian demam berdarah dengue. Oleh karena itu komunikasi sangat penting

dan harus dijaga demi kelancaran dalam pengimplementasian program. Adapun

hal lain yang menjadi pertimbangan adalah sumber daya. Peran sumber daya

dalam pelaksanaan kebijakan publilk sangat penting. Bila sumber daya tidak

memadai maka pelaksanaan kebijakan tidak akan berjalan efektif. Keberhasilan

kebijakan sangat tergantung dari kesempatan memanfaatkan sumber daya yang

8
tersedia. Sumber daya itu sendiri terdiri dari sumber daya manusia yang

merupakan sumber daya utama dalam implementasi kebijakan. Kegagalan yang

sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh staf

yang tidak mencukupi, memadai ataupun tidak kompeten dalam bidangnya.

Berkaitan dengan hal ini, di Puskesmas Kopeta pembagian kerja untuk

program pemberantasan demam berdarah dengue ini sudah jelas, yaitu lewat

petugas higienis sanitasi. Petugas higienis sanitasi ini, tugasnya berkaitan dengan

pemberantasan demam berdarah dengue baik yang turun langsung di lapangan

maupun yang tetap berada di Puskesmas Kopeta. Petugas yang turun langsung di

lapangan bekerja sama dengan dinas terkait dan RT/RW setempat untuk

mensosialisasikan tentang bahaya penyakit demam berdarah dengue dan

bagaimana cara untuk memberantasnya. Yang berikut sumber daya anggaran dan

sumber daya peralatan yang juga merupakan faktor penting dalam implementasi

kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, tetapi tanpa

adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) dan juga dana yang mencukupi

maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

Selanjutnya berkaitan dengan disposisi yang diartikan sebagai

kecenderungan, keinginan atau kesepakatan para pelaksana (implementors) untuk

melaksanakan kebijakan. Jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif

dan efesien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apa yang

harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakan itu,

tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk melaksanakan kebijakan

tersebut (Widodo, 2017:104-105).

9
Dan yang terakhir adalah struktur birokrasi ini merupakan sebuah point

penting dimana ketiga point itu dapat dijalankan berdasarkan struktur yang telah

dibuat. Salah satu yang menjadi penyebab peningkatan demam berdarah dengue

adalah kekurangnya sumber daya manusia (petugas) dalam pelaksanaan di

lapangan sehingga hasil yang dicapai tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Oleh karena itu Puskesmas Kopeta harus lebih baik lagi dalam proses

pengimplementasian program-program yang telah ditetapkan, sehingga apa yang

menjadi target bisa tercapai yaitu Puskesmas Kopeta Maumere bebas dari wabah

demam berdarah dengue.

Berdasarkan wawancara awal dengan petugas Puskesmas bagian higienis

sanitasi, mengatakan bahwa untuk kasus demam berdarah dengue sudah ada

regulasi dari kantor pusat karena demam berdarah dengue termasuk penyakit yang

berpotensi menjadi KLB (kejadian luar biasa). Menurut petugas, komunikasi yang

terjadi antar sub bagian dengan petugas lapangan dari Puseksmas Kopeta

dikatakan baik, karena mereka mampu mengkoordinasi perintah dan program

yang dibuat dan menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Sosialisasi dari

petugas kepada masyarakat dilakukan pada tiap-tiap Posyandu di setiap kelurahan.

Secara sumber daya dari pihak Puskesmas Kopeta mengkonfirmasi bahwa sumber

daya manusia secara keilmuan belum memadai dan juga tenaga kerja yang masih

kurang. Sementara itu, berkaitan dengan sumber daya anggaran untuk penanganan

kasus ini ada dana khusus yaitu dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) yang

menunjang untuk pengadaan saran dan prasarana.

10
Adapun hasil wawancara lain yaitu pada salah satu warga RT/RW :

002/003, Kelurahan Kota Uneng, yang mengatakan bahwa kegiatan sosialisasi dan

juga pembagian bubuk abate dari petugas Puskesmas Kopeta terakhir diberikan

pada bulan Oktober tahun 2021, dan kerja bakti dilakukan setiap hari jumat pada

setiap awal bulan. Dilihat dari segi komunikasi, dapat dikatakan sudah baik

dikarenakan sosialisasi yang diberikan mengenai pemberantasan penyakit demam

berdarah dengue oleh Puskesmas Kopeta dilakukan di setiap Posyandu dengan

cakupan yang kecil sehingga petugas mudah untuk mengkoordinasi masyarakat

untuk penanganan penyakit demam berdarah dengue ini. Sedangkan, dilihat dari

segi sumber daya secara ketersediaan petugas belum cukup memadai, dan juga

masih kurangnya pemahaman mendalaman masyarakat mengenai pencegahan.

Untuk detail data berkaitan dengan jumlah kasus demam berdarah dengue

bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.1 Data Jumlah Kasus Demam Berdarah Dengue di Puskesmas

Kopeta Maumere Berdasarkan Kelurahan

Tahun
Wilayah
2017 2018 2019 2020 2021
Kabor 5 4 10 22 1
Madawat 5 11 26 67 7
Nangalimang 4 1 3 41 5
Kota Uneng 18 11 69 86 7
Jumlah 32 27 108 216 20
Sumber : Puskesmas Kopeta, 2021

11
Tabel 1.2 Data Jumlah Kasus Demam Berdarah Dengue di Puskesmas

Kopeta Maumere Berdasarkan Jenis Kelamin

Tahun
Jenis kelamin
2017 2018 2019 2020 2021
Laki-Laki 21 15 58 128 13
Perempuan 11 12 50 88 7
Jumlah 32 27 108 216 20
Sumber : Puskesmas Kopeta, 2021

Tabel 1.3 Data Jumlah Kasus yang Meninggal Akibat Demam

Berdarah Dengue di Puskesmas Kopeta Maumere

Tahun Jenis Kelamin


Laki-Laki Perempuan
2017 - -
2018 1 -
2019 2 3
2020 2 1
2021 - -
Sumber : Puskesmas Kopeta, 2021

Jadi, berdasarkan data di atas dapat dikomentari bahwa Kelurahan Kota

Uneng menjadi kelurahan dengan kasus demam berdarah dengue tertinggi, dengan

jumlah kasus pada tahun 2017 sebanyak 32 kasus, 2018 sebanyak 27 kasus, 2019

sebanyak 108 kasus, dan tahun 2020 sebanyak 216 kasus. Adapun data lain yang

didapatkan mengenai dengan jumlah kasus demam berdah dengue yang

meninggal yaitu, pada tahun 2018 sebanyak 1 kasus, 2019 sebanyak 5 kasus, dan

2020 sebanyak 3 kasus. Data di atas didapatkan berdasarkan hasil wawancara

awal.

12
Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai

permasalahan dan mengetahui Implementasi Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor 581 Tahun 1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah

Dengue Oleh Puskesmas Kopeta Maumere di Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan

Alok, Kabupaten Sikka.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Implementasi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 581

Tahun 1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue Oleh

Puskesmas Kopeta Maumere di Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok,

Kabupaten Sikka ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan Implementasi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 581 Tahun

1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue Oleh Puskesmas

Kopeta di Keluarahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini disusun dengan harapan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam

menunjang pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada Program Studi

Ilmu Administrasi Negara yang berkaitan dengan pengimplementasian

13
kebijakan untuk mengatasi kasus demam berdarah dengue dan dapat

dijadikan acuan bagi peneliti-peneliti berikutnya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini nantinya dapat dijadikan masukan bagi

instansi terkait (Puskesmas Kopeta Maumere) dalam mengimplementasikan

suatu kebijakan publik yang berkaitan dengan penanganan kasus demam

berdarah dengue di Kabupaten Sikka.

14
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERIPIKIR

2.1. Tinjauan Pustaka

Sebagai landasan berpijak maka tinjauan pustaka ini bertujuan untuk

memberikan kerangka dasar pemikiran guna membahas masalah-masalah dalam

tulisan ini. Oleh karena itu penulis memaparkan kerangka dasar sebagai

pedoman/acuan dalam memecahkan permasalahan tersebut.

2.2. Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Dan Penelitian Sekarang

Judul Artikel Jenis atau Persamaan Perbedaan


pendekatan
penelitian
Penelitian sekarang Penelitian
terdahulu
Implementasi Kebijakan Penelitian Sama-sama Membahas tentang Membahas
Pengendalian Penyakit deskripstif membahas implementasi tentang
Demam Berdarah analitis tentang Implementasi Keputusan implementasi
Dengue Di DKI Jakarta dengan kebiajakan Menteri Kesehatan kebijakan
pendekatan pengendalian Nomor 581 Tahun 1992 pengendalian
kualitatif Demam Tentang Pemberantasan DBD di DKI
Berdarah Penyakit Demam Jakarta.
Dengue Berdarah Dengue Oleh Program yang
Puskesmas Kopeta dijalankan yaitu
Maumere Oleh Pemberantasan
Puskesmas Kopeta di Sarang Nyamuk
Keluarahan Kota Uneng, (PSN) ,
Kecamatan Alok, Pemeriksaan
Kabupaten Sikka. Jentik Berkala
(PJB),
Surveilans dan
Sosialisasi.
Gambaran Implementasi Pendekatan Sama-sama Membahas tentang Membahas
Kebijakan Pengendalian kualitatif membahas proses tentang
Demam Berdarah tentang pengimplementasian pengedalian

15
Judul Artikel Jenis atau Persamaan Perbedaan
pendekatan
penelitian
Penelitian sekarang Penelitian
terdahulu
Dengue (Dbd) Melalui kebijakan kebijakan yang uat oleh DBD dengan
Program 1 Rumah 1 pengendalian Puskesmas Kopeta salah program 1
Jumantik di Puskesmas demam berdarah satunya kebijakan PSN rumah 1
Kelurahan Benda Baru dengue yang (Pemberantasan Sarang jumantik
Kota Tangerang Selatan dibuat oleh Nyamuk) dan PJB
Tahun 2017 pihak (Pemeriksaan Jentik
puskesmas Berkala)

2.2.1 Implementasi Kebijakan

Secara etimologis kata implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to

implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi adalah tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan,

baik pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita serta

tujuan yang telah ditetapkan. Implementasi berkaitan dengan berbagai tindakan

yang dilakukan untuk melaksanakan dan merealisasikan program yang telah

disusun demi tercapainya tujuan dari program yang telah direncanakan, karena

pada dasarnya setiap rencana yang ditetapkan memiliki tujuan atau target yang

hendak dicapai.

Menurut Wahab (2001 : 65) dalam bukunya yang berjudul Analisis

Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (2001)

mengemukakan pendapatnya mengenai pelaksanaan atau implementasi sebagai

tindakan–tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat–pejabat, kelompok

pemerintahan atau swasta yang diarahkan pada terciptanya tujuan–tujuan yang

telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

16
Sementara itu, kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang

diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan

dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat

kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Bagi para

pemegang kekuasaan yang berwenang dalam membuat kebijakan-kebijakan, tentu

perlu pertimbangan serta peninjauan secara seksama. Karena, kebijakan-kebijakan

yang dibuat memiliki dampak yang luas, tidak hanya oleh kelompok tertentu,

namun masyarakat juga dapat merasakan dampak tersebut (Herylyansah, 2016).

a. Tahapan dalam proses implementasi (Widodo, 2015:90-94)

1. Tahap Interpretasi (Interpretation)

Tahap interpretasi merupakan tahap penjabaran sebuah kebijakan yang

masih bersifat abstrak kedalam kebijakan yang lebih bersifat teknis

operasional. Aktivitas interpretasi kebijakan ini tidak sekedar menjabarkan

sebuah kebijakan yang masih bersifat abstrak ke dalam kebijakan yang bersifat

lebih operasional, tetapi juga diikuti dengan kegiatan sosialisasi agar seluruh

masyarakat (stakeholders) dapat mengetahui dan memahami apa yang menjadi

arah, tujuan, dan sasaran (kelompok sasaran) kebijakan ini. Kebijakan ini perlu

dikomunikasikan atau disosialisasikan agar mereka yang terlibat, baik langsung

maupun tidak langsung terhadap kebijakan ini, tidak hanya tahu dan paham

tentang apa yang menjadi arah, tujuan dan sasaran kebijakan, tetapi yang lebih

penting mereka dapat menerima, mendukung dan bahkan mengamankan

pelaksanaan kebijakan ini.

2. Tahap Pengorganisasian (To Organized)

17
Tahap pengorganisasian ini lebih mengarah pada proses kegiatan

pengaturan dan penetapan siapa yang menjadi pelaksana kebijakan (penentuan

lembaga organisasi mana yang akan melaksanakan, dan siapa pelakunya);

penetapan anggaran (berapa besarnya anggaran yang diperlukan, dari mana

sumbernya, bagaimana menggunakan, dan mempertanggungjawabkan);

penetapan prasarana dan sarana apa yang diperlukan untuk melaksanakan

kebijakan penetapan tata kerja (juklak dan juknis); dan penetapan manajemen

pelaksanaan kebijakan termasuk penetapan pola kepemimpinan dan koordinasi

pelaksanaan kebijakan.

3. Tahap Aplikasi

Tahap aplikasi merupakan tahap penerapan rencana proses implementasi

kedalam realitas nyata. Tahap aplikasi merupakan perwujudan dari

pelaksanaan masing-masing kegiatan dalam tahapan yang telah disebutkan

sebelumnya.

b. Model-model implementasi kebijakan

Dalam studi kebijakan publik terdapat banyak model implementasi,

diantaranya model implementasi kebijakan publik Van Mater dan Van Horn

(1975), Edward III (1980), Grindle (1980), dan Mazmanian dan Sabatier (1987).

1. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn (1975)

Model yang ditawarkan oleh mereka bergerak dari pendekatan umum yang

dikembangkan oleh pendahulunya, Pressman dan Wildavsky, menjadi sebuah

model proses implementasi. Pendekatan sebelumnya dianggap sangat

membantu memahami proses implementasi, namun sangat kurang dalam

18
kerangka teoritis. Model yang mereka kembangkan bertumpu pada tiga pilar,

yaitu sebagai berikut.

a. Teori organisasi, khususnya tentang perubahan organisasi yang

dipengaruhi oleh karya Max Weber (Amitai Etzioni, 1974).

b. Studi tentang dampak kebijakan publik, terutama kebijakan yang bersifat

hukum.

c. Studi tentang hubungan interorganisasi, termasuk hasil studi Pressman dan

Wildavsky.

Mereka menyatakan pentingnya membedakan isi (content) kebijakan

karena efektivitas implementasi akan sangat bervariasi bergantung pada tipe

dan isu kebijakan, faktor-faktor yang memengaruhi proses implementasi juga

akan sangat berbeda. Menurut mereka, tipe kebijakan akan memerlukan

karakteristik proses, struktur, dan hubungan antarfaktor yang berbeda pula

dalam implementasinya. Kemudian mereka mengklasifikasikan kebijakan

berdasarkan dua karakteristik pokok, yaitu.

1. Besarnya perubahan yang dituju oleh kebijakan tersebut karena semakin

besar perubahan yang diharapkan akan berdampak pula pada perubahan

organisasional pelaksananya;

2. Besarnya penerimaan atas tujuan kebijakan dari para aktor implementasi.

Model yang diajukan oleh Van Meter dan Van Horn (1975) menekankan

pentingnya partisipasi implementor dalam penyusunan tujuan kebijakan.

Mereka mengatakan bahwa standar dan tujuan kebijakan dikomunikasikan

19
pada implementor melalui jaringan interorganisasional. Dengan perkataan lain,

para implementor memahami serta menyetujui tujuan dan standar yang telah

ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.

Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn (1975) dalam (Subarsono, 2009)

menyatakan bahwa ada enam variabel yang harus diperhatikan karena dapat

memengaruhi keberhasilan implementasi, antara lain sebagai berikut.

1. Tujuan kebijakan dan standar yang jelas, yaitu perincian mengenai

sasaran yang ingin dicapai melalui kebijakan beserta standar untuk

mengukur pencapaiannya.

2. Sumber daya (dana atau berbagai insentif yang dapat memfasilitasi

keefektifan implementasi).

3. Kualitas hubungan interorganisasional. Keberhasilan implementasi

sering menuntut prosedur dan mekanisme kelembagaan yang

memungkinkan struktur yang lebih tinggi

4. Karakteristik lembaga/organisasi pelaksana (termasuk kompetensi dan

ukuran agen pelaksana, tingkat kontrol hierarkis pada unit pelaksana

terbawah pada saat implementasi, dukungan politik dari eksekutif dan

legislatif, serta keberkaitan formal dan informal dengan lembaga

pembuat kebijakan.

5. Lingkungan politik, sosial, dan ekonomi (apakah sumber daya

ekonomi mencukupi; seberapa besar dan bagaimana kebijakan dapat

memengaruhi kondisi sosial ekonomi yang ada; bagaimana tanggapan

20
publik tentang kebijakan tersebut; apakah elite mendukung

implementasi).

6. Disposisi/tanggapan atau sikap para pelaksana (termasuk pengetahuan

dan pemahaman isi dan tujuan kebijakan, sikap atas kebijakan, serta

intensitas sikap).

2. Model Implementasi Edward III (1980)

Menurut Edward III, implementasi diartikan sebagai tahapan dalam proses

kebijaksanaan, yang berada di antara tahapan penyusunan kebijaksanaan dan

hasil atau konsekuensi yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan (output, outcome).

Aktivitas implementasi menurutnya terdiri atas perencanaan, pendanaan,

pengorganisasian, pengangkatan dan pemecatan karyawan, negosiasi, dan lain-

lain.

Dalam model yang dikembangkannya, ia mengemukakan empat variablel

kritis yang memengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi. Keempat

variabel tersebut, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap

pelaksana, dan struktur birokrasi. Keseluruhan variabel saling berhubungan dan

saling memengaruhi satu sama lain dalam menentukan keberhasilan atau

kegagalan implementasi.

1. Komunikasi

Komunikasi memiliki peran/fungsi yang cukup penting untuk menentukan

keberhasilan kebijakan publik dalam implementasinya. Salah satu kelemahan

dalam proses kebijakan publik ini, khususnya yang terjadi di Indonesia,

21
adalah masalah implementasinya. Salah satu faktornya adalah komunikasi

yang lemah. Kelemahan komunikasi ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada

saat implementasinya, tetapi juga terjadi pada saat formulasi.

Menurut Edward III (1980) dalam Widodo (2015:97), komunikasi

kebijakan memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi transmisi

(trasmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency).

1. Transmisi menghendaki agar kebijakan publik tidak hanya

disampaikan kepada pelaksana (implementors) kebijakan tetapi juga

disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang

berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.

2. Kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yang ditrasmisikan

kepada pelaksana, target grup dan pihak lain yang berkepentingan

secara jelas sehingga diantara mereka mengetahui apa yang menjadi

maksud, tujuan, sasaran, serta substansi dari kebijakan publik tersebut

sehingga masingmasing akan mengetahui apa yang harus dipersiapkan

serta dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secara

efektif dan efisien.

3. Konsistensi (consistency) diperlukan agar kebijakan yang diambil

tidak simpang siur sehingga membingungkan pelaksana kebijakan,

target grup dan pihak-pihak yang berkepentingan.

22
2. Sumber Daya

Sumber daya yang diperlukan dalam implementasi menurut Edward III

(1980), yaitu sebagai berikut.

1. Staf, yang jumlah dan kemampuannya sesuai dengan yang dibutuhkan.

2. Informasi, yaitu berkaitan dengan cara melaksanakan kebijakan dan

data yang berkaitan dengan kebijakan yang akan dilaksanakan.

3. Kewenangan yang dibutuhkan bagi implementor sangat bervariasi

bergantung pada kebijakan yang harus dilaksanakan. Kewenangan

dapat berwujud membawa kasus ke meja hijau, menyediakan barang

dan jasa, kewenangan untuk memperoleh dan menggunakan dana,

kewenangan untuk meminta kerja sama dengan badan pemerintah yang

lain, dan lain-lain

4. Fasilitas fisik termasuk hal yang penting bagi keberhasilan

implementasi kebijakan oleh para implementor. Fasilitas fisik sebagai

sarana dan prasarana pendukung diperlukan untuk memperlancar

proses komunikasi kebijakan. Tanpa fasilitas fisik yang memadai,

implementasi juga tidak akan efektif. Fasilitas fisik ini beragam

bergantung pada kebutuhan kebijakan (Rahmawati, 2020).

3. Disposisi/Sikap Pelaksana

Disposisi adalah sikap dan komitmen dari pelaksana terhadap kebijakan

atau program yang harus dilaksanakan karena setiap kebijakan membutuhkan

23
pelaksana-pelaksana yang memiliki hasrat kuat dan komitmen yang tinggi

agar mampu mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan.

Unsur utama yang mempengaruhi kemampuan dan kemauan aparat

pelaksana untuk melaksanakan kebijakan, antara lain sebagai berikut.

1. Kognisi, yaitu seberapa jauh pemahaman pelaksanan terhadap

kebijakan. Pemahaman terhadap tujuan kebijakan sangat penting bagi

aparat pelaksana. Apabila sistem nilai yang memengaruhi sikapnya

berbeda dengan sistem nilai pembuat kebijakan, implementasi

kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif. Ketidakmampuan

administratif dari pelaksana kebijakan, yaitu ketidakmampuan dalam

menanggapi kebutuhan dan harapan yang disampaikan oleh

masyarakat dapat menyebabkan pelaksanaan suatu program tidak

efektif.

2. Arahan dan tanggapan pelaksanaan. Hal ini meliputi penerimaan,

ketidakberpihakan ataupun penolakan pelaksana dalam menyikapi

kebijaksanaan.

4. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi Edward III (1980) adalah mekanisme kerja yang

dibentuk untuk mengelola pelaksanaan sebuah kebijakan. Ia menekankan

perlu adanya Standart Operating Procedure (SOP) yang mengatur tata aliran

pekerjaan di antara para pelaksana, terlebih jika pelaksanaan program

melibatkan lebih dari satu institusi. Ia juga mengingatkan bahwa adakalanya

fragmentasi diperlukan ketika implementasi kebijakan memerlukan banyak

24
program dan melibatkan banyak institusi untuk mencapai tujuannya (Widodo,

2015:106).

3. Model Implementasi Grindle (1980)

Grindle dalam bukunya yang berjudul “Politics and Policy Implementation in

the Third Word (1980)” mengatakan bahwa dalam mengimplementasikan sebuah

kebijakan bergantung pada content (isi) dan context-nya, serta tingkat

keberhasilannya bergantung pada kondisi tiga komponen variabel sumber daya

implementasi yang diperlukan.

a. Content of Policy (Isi Kebijakan)

Isi kebijakan atau program akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan

implementasi. Kebijakan kontroversial, kebijakan yang dipandang tidak

populis, kebijakan menghendaki perubahan besar, akan mendapatkan

perlawanan baik dari kelompok sasaran, maupun dari implementornya yang

merasa sulit melaksanakan kebijakan tersebut atau merasa dirugikan.

Isi kebijakan yang dapat memengaruhi implementasi menurut Grindle

(1980) adalah sebagai berikut.

1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh adanya program

Apabila kebijakan tersebut tidak menimbulkan kerugian di salah satu

pihak, implementasinya akan lebih mudah karena tidak menimbulkan

perlawanan bagi yang kepentingannya dirugikan.

2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan

25
Kebijakan yang memberikan manfaat kolektif atau pada banyak orang

akan mudah diimplementasikan karena mendapatkan dukungan dari

kelompok sasaran atau masyarakat.

3) Jangkauan perubahan yang diinginkan

Semakin luas dan besar perubahan yang diinginkan melalui kebijakan

tersebut, akan semakin sulit pula dilaksanakan. Kredibilitas pesan kebijakan

tidak terpenuhi karena isi kebijakan yang mengatur tentang adanya sanksi

tidak dilakukan dengan konsisten.

4) Kedudukan pengambil keputusan

Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam kebijakan

(baik secara geografis maupun organisatoris), akan semakin sulit pula

implementasinya. Kasus demikian banyak terjadi pada kebijakan yang

implementasinya melibatkan banyak instansi.

5) Pelaksana program

Ketika pelaksana program memiliki kemampuan dan dukungan yang

dibutuhkan oleh kebijakan, tingkat keberhasilannya juga akan tinggi.

6) Sumber daya yang disediakan

Tersedianya sumber daya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan

kebijakan akan mempermudah pelaksanaannya. Sumber daya ini berupa

tenaga kerja, keahlian, dana, sarana, dan lain-lain.

b. Context of Implementation (Konteks Implementasi)

Konteks implemetasi juga akan berpengaruh pada tingkat

keberhasilannya karena baik mudahnya kebijakan maupun dukungan

26
kelompok sasaran, hasil implementasi tetap bergantung pada

implementornya. Karakter dari pelaksana akan memengaruhi tindakan

pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan karena pelaksana adalah

individu yang tidak mungkin bebas dari kepercayaan, aspirasi, dan

kepentingan pribadi yang ingin dicapai.

Konteks implementasi yang berpengaruh pada keberhasilan implementasi

menurut Grindle (1980) adalah sebagai berikut.

1) Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat

Strategi, sumber, dan posisi kekuasaan implementor akan menentukan

tingkat keberhasilan kebijakan yang diimplementasikannya. Apabila suatu

kekuatan politik merasa berkepentingan atas suatu program, mereka akan

menyusun strategi untuk memenangkan persaingan yang terjadi dalam

implementasi sehingga mereka dapat menikmati output-nya.

2) Karakteristik lembaga dan penguasa

Implementasi suatu program dapat menimbulkan konflik bagi yang

kepentingannya dipengaruhi. Strategi penyelesaian konflik mengenai

“siapa mendapatkan apa” (misalnya, penggusuran pasar tradisional

menjadi supermarket) dapat menjadi petunjuk tidak langsung mengenai

ciri-ciri penguasa atau lembaga yang menjadi implementor.

4. Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier (1987)

Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier,

yang disebut A Frame Work for Implementations Analysis (1983). Menurut

kerangka pemikiran ini, variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-

27
tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi dapat diklasifikasikan

menjadi tiga kategori (Mazmanian dan Paul A. Sabatier, 1983: 21-30), sebagai

berikut.

a. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap/ dikendalikan.

b. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat

proses implementasinya; dan

c. Pengaruh langsung pelbagai variabel yang termuat dalam keputusan

kebijakan tersebut.

Ketiga kategori variabel tersebut sebagai variabel bebas yang

mempengaruhi terhadap langkah-langkah proses implementasi kebijakan.

c. Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan

Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga faktor yang

memengaruhi keberhasilan implementasi, sebagai berikut.

a. Karakteristik Masalah

1. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. Di satu pihak

ada beberapa masalah sosial yang secara teknis mudah dipecahkan, seperti

kekurangan persediaan air minum bagi penduduk atau harga beras tiba-tiba

naik. Di pihak lain terdapat masalah-masalah sosial yang sulit dipecahkan,

seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan sebagainya. Oleh karena

itu, sifat masalah akan memengaruhi mudah–tidaknya suatu program

diimplementasikan.

28
2. Tingkat kemajemukan kelompok sasaran. Hal ini berarti bahwa suatu

program relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya

homogen. Sebaliknya, apabila kelompok sasarannya heterogen,

implementasi program akan relatif lebih sulit karena tingkat pemahaman

setiap anggota kelompok sasaran program berbeda.

3. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program akan

relatif sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua

populasi. Sebaliknya, sebuah program relatif mudah diimplementasikan

apabila kelompok sasarannya tidak terlalu besar.

4. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program yang

bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan mudah

diimplementasikan daripada program yang bertujuan mengubah sikap dan

perilaku masyarakat.

b. Karakteristik Kebijakan

1. Kejelasan isi kebijakan. Hal ini berarti semakin jelas dan terperinci isi

sebuah kebijakan, akan mudah diimplementasikan karena implementor

mudah memahami dan menerjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya,

ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam

implementasi kebijakan.

2. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoretis. Kebijakan

yang memiliki dasar teoretis memiliki sifat yang lebih mantap karena

sudah teruji, walaupun beberapa lingkungan sosial tertentu perlu ada

modifikasi.

29
3. Besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap kebijakan tersebut.

Sumber daya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap program sosial.

Setiap program juga memerlukan dukungan staf untuk melakukan

pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitor program yang

semuanya itu memerlukan biaya.

4. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar– institusi

pelaksana. Kegagalan program sering disebabkan kurangnya koordinasi

vertikal dan horizontal antarinstansi yang terlibat dalam implementasi

program.

5. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.

6. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan. Kasus korupsi yang

terjadi di negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia salah satu

sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen aparat untuk melaksanakan

tugas dan pekerjaannya.

7. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam

implementasi kebijakan. Suatu program yang memberikan peluang luas

bagi masyarakat untuk terlibat, relatif mendapat dukungan daripada

program yang tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat akan merasa

terasing atau teralienasi apabila hanya menjadi penonton terhadap program

yang ada di wilayahnya.

c. Lingkungan Kebijakan

1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi.

Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik lebih mudah menerima

30
program pembaruan dibandingkan dengan masyarakat yang masih tertutup

dan tradisional. Demikian pula, kemajuan teknologi akan membantu dalam

proses keberhasilan implementasi program karena program-program

tersebut dapat disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan

teknologi modern.

2. Dukungan publik terhadap suatu kebijakan. Kebijakan yang memberikan

insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan publik. Sebaliknya,

kebijakan yang bersifat dis-insentif, seperti kenaikan harga Bahan Bakar

Minyak (BBM) atau kenaikan pajak akan kurang mendapat dukungan

publik.

3. Sikap kelompok pemilih (constituency groups). Kelompok pemilih yang

ada dalam masyarakat dapat memengaruhi implementasi kebijakan melalui

berbagai cara, antara lain :

a. Kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terhadap keputusan

yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan

maksud mengubah keputusan;

b. Kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk memengaruhi

badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang

dipublikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat

pernyataan yang ditujukan pada badan legislatif.

c. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor. Pada

akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang

telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial.

31
Aparat badan pelaksana harus memiliki keterampilan dalam membuat

prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan tersebut.

2.2.2 Pemberantasan Penyakit

Pemberantasan berasal dari kata dasar ‘berantas’. Menurut KBBI berantas

berarti basmi atau musnah. Oleh karena itu, pemberantasan merupakan

pembasmihan atau pemusnahan terhadap sesuatu objek atau tujuan. Sementara itu

penyakit merupakan kondisi abnormal tertentu yang secara negatif

memengaruhi struktur atau fungsi sebagian atau seluruh tubuh suatu makhluk

hidup, dan bukan diakibatkan oleh cedera eksternal apa pun.

Pemberantasan penyakit merupakan upaya pemusnahan agen penyebab

penyakit menular. Program pemberantasan penyakit biasanya difokuskan untuk

memberantas agen penular penyakit dari suatu wilayah. Hal ini biasanya dapat

dicapai melalui pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi penyebaran

penyakit misalnya penyakit demam berdarah yang dilakukan dengan berbagai

program seperti PSN (pemberantasan sarang nyamuk). Program pemberantasan

biasanya memerlukan kerangka kerja yang mengatur secara tegas aturan

pelaksanaan tindakan pemberantasan penyakit yang didukung dengan arahan-

arahan pemerintah secara signifikan dalam hal pengelolaan dan pelaksanaan

program tersebut. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 581 tahun 1992

tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue memutuskan bahwa

pelaksanaan kegiatan pemberantasan penyakit demam berdarah dengue dilakukan

oleh pemerintah dan masyarakat di bawah koordinasi Kepala Wilayah/Daerah.

32
Program pemberantasan penyakit biasanya memiliki batas waktu dan

bertujuan untuk memberantas penyakit dalam waktu yang relatif singkat dan dapat

disesuaikan. Apabila penyakit sudah diberantas maka dianggap tidak akan ada

biaya lainnya yang berhubungan dengan pemberantasan penyakit, namun

kemungkinan akan ada biaya yang cukup substantif terkait dengan program

surveilans untuk pencegahan, deteksi dan respons yang efektif terhadap

penyebaran penyakit di masa yang akan datang ke daerah yang telah bebas

penyakit tersebut. Dalam hal penyakit endemik, program pemberantasan dapat

dimulai dengan masa pengendalian penyakit untuk mengurangi prevelansi

penyakit ke tingkat dimana pemberantasan menjadi lebih memungkinkan dan

akan menghemat biaya.

2.2.3 Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut disertai

dengan manifestasi perdarahan bertendensi menimbulkan syok dan dapat

menyebabkan kematian. Pada umumnya DBD menyerang anak 15 tahun, namun

dapat juga menyerang orang dewasa. Tanda-tanda penyakit ini adalah demam

mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah, lesu, gelisah,

nyeri ulu hati. Menurut WHO tahun 1997 dikenal penyakit Demam Berdarah

Dengue, yaitu penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengan gejala seperti

sakit kepala, sakit pada sendi, tulang dan otot. Demam berdarah dengue

ditunjukkan oleh empat manifestasi klinis yang utama, demam tinggi, fenomena

perdarahan, sering dengan hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi

darah.

33
Berikut tahap-tahap penularan penyakit demam berdarah dengue (Surtiretna,

2007:28-30).

1. Nyamuk yang tidak membawa virus menghisap darah penderita demam

berdarah dengue dan virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk.

2. Virus dalam tubuh nyamuk memperbanyak diri di dalam organ pencernaan,

kemudian menginfeksi kelenjar ludah nyamuk.

3. Di dalam kelenjar ludah nyamuk, virus dengue memperbanyak diri

(berlangsung 8-11 hari)

4. Tubuh nyamuk pembawa virus penuh dengan virus. Dengan virus yang

banyak terdapat diludahnya, nyamuk siap menularkan virus dengue kepada

manusia.

5. Nyamuk pembawa virus kemudian menggigit manusia sehat. Pada saat itu

virus dengue dipindahkan kedalam tubuh manusia bersama air ludah

nyamuk.

Di dalam tubuh manusia virus dengue berkembang melalui 5 tahap yaitu.

1. Memperbanyak diri (di dalam simpul-simpul getah bening virus

berkembang biak dengan cara membelah diri).

2. Menginfeksi (setelah banyak jumlahnya, virus menginfeksi sel-sel darah

putih dan kelenjar getah bening).

3. Masuk ke dalam sirkulasi darah.

4. Bererdar (virus lalu bererdar keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah

penderita demam berdarah dengue, waktunya 2-7 hari)

34
5. Menjadikan demam (orang yang terinfeksi virus dengue akan mengalami

demam akut. Gejalah biasanya muncul pada hari kelima dan berlangsung

hingga 15 hari).

Gejalah penyakit demam berdarah yang tampak biasanya adalah demam

tinggi 2-7 hari, sakit pada sendi otot, mimisan dan bintik-bintik merah pada kulit

di bagian-bagian tertentu tidak selalu demikian.

Secara garis besar gejalah penyakit demam berdarah dengue adalah sebagai

berikut (Sutiretna, 2007:25-26).

Tingkat Pertama

1. Muncul demam beberapa saat yang kemudian hilang ketika virus

mengalami masa inkubasi

2. Anjloknya kadar trombosit dalam darah (<100.000 per mm3)

3. Darah tampak lebih pekat (kental) atau hemokonsentrasi

Tingkat Kedua

1. Terjadi demam yang akut selama 2-7 hari

2. Terjadi perdarahan karena permeabilitas berlebihan pada pembuluh dari

kapiler

3. Jumlah trombosit kritis

Tingkat Ketiga

35
1. Terjadi sakit kepala yang hebat.

2. Mengalami nyeri yang luar biasa pada bagian belakang tubuh, persendian,

dan otot.

3. Mengalami sakit diantara pusar dan uluhati.

4. Perubahan suhu tubuh yang mendadak dari panas ke dingin atau

hipotermia

5. Muntah-muntah yang berkepanjangan.

6. Terdapat tanda-tanda perndarahan pada kulit.

2.3. Kerangka Berpikir

Kesuksesan dari suatu kebijakan atau suatu peraturan sangat ditentukan oleh

proses implementasi artinya bahwa implementasi merupakan sesuatu yang vital

karena implementasi dari suatu kebijakan harus berjalan dengan lancar. Begitu

pula dengan Implementasi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 581 Tahun 1992

Tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue Oleh Puskesmas

Kopeta Maumere di Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.

Puskesmas Kopeta menjalankan Program Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yang

merupakan kegiatan pemeriksaan tempat-tempat perkembang biakan nyamuk

Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh petugas Puskesmas. Kegiatan ini

termasuk memotivasi masyarakat dalam melaksanakan PSN (Pemeberantasan

Sarang Nyamuk) demam berdarah dengue. Dengan kunjungan yang berulang-

ulang disertai penyuluhan diharapkan masyarakat dapat melaksanakan PSN

demam berdarah dengue secara teratur dan terus menerus.

36
Cara PJB adalah dengan mengunjungi rumah atau tempat umum untuk

memeriksa tempat penampungan air (TPA), non TPA, dan tempat penampungan

air alamiah di dalam dan di luar rumah/bangunan serta memberikan penyuluhan

tentang PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) demam berdarah dengue kepada

keluarga. Jika ditemukan jentik, anggota keluarga atau pengelola diminta untuk

melihat/menyaksikan, kemudian lanjutkan dengan PSN (3M atau 3M plus). Lalu

memberikan penjelasan dan anjuran PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk)

demam berdarah dengue kepada keluarga dan pengelola kebersihan tempat umum.

Kondisi di atas menjadi dasar ketertarikan penulis untuk melakukan

penelitian berkaitan dengan program pengendalian demam berdarah dengue oleh

Puskesmas Kopeta dan sesuai dengan latar belakang yang ada maka penulis

melakukan penelitian dengan menggunakan variabel penelitian yang dikemukakan

oleh Edward III (1980) :

1. Komunikasi

Komunikasi memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai sebuah

keberhasilan dalam proses pembuatan kebijakan dan proses implementasi dari

kebijakan tersebut. Oleh karena itu komunikasi harus dijaga dengan baik agar

proses pengimplementasian suatu kebijakan dapat mencapai target atau

berhasil.

2. Sumber Daya

Sumber daya dalam proses pengimplementasian sebuah kebijakan itu

sangat penting, karena sumber daya yang memadai dapat menjamin

kesuksesan dari proses pengimplementasian kebijakan tersebut.

37
3. Sikap Pelaksana

Sikap pelaksana harus dibentuk dengan baik dalam proses

pengimplementasian suatu kebijakan. Jika sumber daya sudah memadai

namun sikap pelaksananya kurang begitu profesional maka hal ini bisa

menjadi akibat kegagalan dari suatu proses pengimplementasian.

4. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi dalam hal ini mekanisme kerja yang dibentuk untuk

mengelola pelaksanaan sebuah kebijakan. Struktur birokrasi juga harus jelas

dakam proses implementasi suatu kebijakan seperti Pemeriksaan Jentik

Berkala (PJB) ini.

Gambar 2.1

Skema Kerangka Berpikir

Implementasi Keputusan Menteri Kesehatan


Nomor 581 Tahun 1992 Tentang
Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah
Dengue Oleh Puskesmas Kopeta Maumere di
Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok,
Kabupaten Sikka.

1. Komunikasi
2. Sumber Daya
3. Sikap Pelaksana
4. Struktur Birokrasi

Sumber : Model Implementasi Edward III dalam Widodo (2015:107)

38
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

kualitatif dengan metode deskriptif. Menurut Creswell (2010:4) Penelitian

kualitatif merupakan metode-metode untuk memahami makna yang oleh sejumlah

individu atau kelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau

kemanusiaan.

Adapun jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah field research,

penelitian jenis ini adalah penelitian yang dilakukan di lokasi atau tempat yang

sudah dipilih atau ditentukan oleh peneliti, sebagai tempat untuk meneliti secara

objektif yang terjadi di lokasi tersebut dan juga untuk laporan ilmiah.

3.2 Lokasi Penelitian

39
Lokasi yang diambil dalam penelitian ini adalah Kelurahan Kota Uneng

sebagai wilayah kerja Puskesmas Kopeta yang merupakan wilayah dengan kasus

demam berdarah terbanyak.

3.3 Fokus dan Sub Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah bagaimana komunikasi, sumber daya, sikap

pelaksana dan struktur birokrasi di Puskesmas Kopeta Maumere yang berkaitan

dengan pemberantasan penyakit demam berdarah dengue di Kelurahan Kota

Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.

Tabel 3.1 Fokus Dan Subfokus Penelitian

No. Fokus penelitian Subfokus penelitian

1. Komunikasi merupakan proses a. Transmisi


penyampaian informasi dari b. Kejelasan
komunikator kepada komunikan. c. Konsistensi

2. Sumber Daya merupakan komponen a. Sumber daya manusia


pendukung dalam proses implementasi b. Sumber daya anggaran
yang terdiri dari sumber daya manusia, c. Sumber daya peralatan
sumber daya anggaran dan sumber
daya peralatan.

3. Disposisi/sikap pelaksana adalah sikap Kognisi


dan komitmen dari pelaksana terhadap
kebijakan atau program yang harus
dilaksanakan karena setiap kebijakan
membutuhkan pelaksana-pelaksana
yang memiliki hasrat kuat dan
komitmen yang tinggi agar mampu
mencapai tujuan kebijakan yang
diharapkan.

4. Struktur Birokrasi adalah mekanisme Strandard Operating


kerja yang dibentuk untuk mengelola Procedures (SOP)
pelaksanaan sebuah kebijakan.

Sumber : Model Implementasi Edward III dalam Widodo (96:2015)

3.4 Informan

40
Menurut Moleong (2006:132) mengemukakan bahwa informan adalah orang

yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar

belakang penelitian. Teknik penarikan informan dalam penelitian ini melalui

metode purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan

sumber data dengan pertimbangan tertentu misalnya orang tersebut yang dianggap

paling tau tentang apa yang kita harapkan.

Adapun informan dalam penelitian ini terdapat dalam tabel berikut.

Tabel 3.2 Informan Penelitian

No. Informan Teknik penetapan Alasan penetapan Jumlah


informasi Informan
1. Kepala Puskesmas Purposive Sebagai orang yang 1 orang
Kopeta Maumere Sampling bertanggungjawab
dalam mengarahkan
seluruh petugas untuk
pemberantasan penyakit
demam berdarah
dengue.
3. Petugas Higienis Purposive Sebagai petugas yang 1 orang
Sanitasi (HS) Sampling turun langsung ke
lapangan untuk
memberikan sosialisasi
dan pemahaman tentang
penyakit demam
berdarah dengue
4. Masyarakat Purposive Sebagai kelompok 5 orang
Sampling sasaran yang tahu
tentang kinerja yang
dilakukan petugas.
Jumlah 7 orang

3.5 Sumber Data

41
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder.

1. Data primer merupakan jenis dan sumber data penelitian yang di peroleh

secara langsung dari sumber pertama (tidak melalui perantara). Data ini

didapat melalui wawancara peneliti bersama dengan narasumber atau

informan penelitian.

2. Data sekunder merupakan sumber data suatu penelitian yang diperoleh

peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh atau

dicatat oleh pihak lain). Data sekunder ini berupa bukti, catatan atau

laporan historis yang telah terususun dalam arsip atau data dokumenter.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan

data agar data yang didapat lebih akurat maka teknik tersebut adalah observasi,

wawancara dan dokumentasi.

a. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu

pengamatan, dengan disertai pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek

sasaran. Peneliti akan langsung turun ke lapangan dalam melakukan observasi

atau pengamatan langsung terhadap apa saja yang dilakukan oleh Puskesmas

Kopeta Maumere dalam proses pemberantasan penyakit demam berdarah

dengue.

b. Wawancara

42
Abdillah (2021:167) Wawancara (interview) adalah teknik pengumpulan

data yang dilakukan melalui percakapan atau tanya jawab, baik secara

langsung maupun tidak langsung untuk mencapai tujuan tertentu.

Tujuan wawancara adalah untuk memperoleh informasi secara langsung,

menyelami dunia pemikiran dan perasaan seseorang, merekonstruksi kejadian

dan pengalaman yang telah lalu, dan memproyeksikan sesuatu kemungkinan

yang akan terjadi di masa mendatang serta untuk mempengaruhi situasi atau

orang tertentu (Arifin, 2012:223).

Informan atau narasumber yang akan diwawancarai oleh peneliti adalah

informan yang mengetahui dengan jelas proses pengimplementasian

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 581 Tahun 1992 Tentang

Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue Oleh Puskesmas Kopeta

Maumere di Keluarahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.

c. Dokumentasi

Menurut Albi Anggito (2018:146), dokumen merupakan kumpulan atau

jumlah signifikan dari bahan tertulis ataupun film (berbeda dari catatan),

berupa data yang ditulis, dilihat, disimpan, dan digulirkan dalam penelitian,

yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang peneliti yang

rinci dan mencakup segala keperluan data yang diteliti, dan mudah diakses.

Istilah dokumen merujuk pada materi seperti foto, video, film, memo, surat,

catatan harian, catatan kasus klinis, dan memorabilia segala macam yang bisa

digunakan sebagai informasi tambahan sebagai bagian dari studi kasus yang

sumber data utamanya adalah observasi atau wawancara partisipan.

43
3.7 Data

Analisis data adalah proses penyusunan data agar dalam penelitian dapat

ditafsirkan analisis data merupakan proses penyusunan, penyederhanaan data

untuk lebih sederhana, mudah dibaca, dan mudah untuk dipahami. Maka berikut

adalah langkah-langkah yang peneliti gunakan dalam menganalisis dan mengolah

data adalah sebagai berikut :

1. Reduksi Data

Data Reduction (reduksi data) berarti merangkum, memilih hal-hal yang

pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting.

2. Sajian Data

Data Display (Penyajian Data) adalah penyajian data dalam bentuk urain

singkat,bagan,tabel atau hubungan antara antara tiap kategori dalam

bentuk teks naratif.

3. Penarikan simpulan dan Verifikasi

Conclusion Drawing yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi hasil

penelitian yang telah ditampilkan.

3.8 Pengujian Keabsahan Data

Uji keabsahan data meliputi uji kredibilitas data, uji dependabilitas data, uji

transferabilitas, dan uji komfirmabilitas. Dalam penelitian ini, uji kredibilitas

datalah yang diutamakan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Sugiyono

(2011:383), bahwa uji keabsahan data yang utama dalam penelitian kualitatif

adalah uji kredibilitas data. Uji kredibilitas data dilakukan dengan cara triangulasi,

dan (bila perlu) melakukan pengumpulan data tambahan.

44
Uji kredibilitas data dengan cara triangulasi adalah pengecekan data dari

berbagai sumber (informan) dan teknik (in-depth interview, review, dokumen)

untuk dilakukan kategorisasi terhadap pandangan yang sama, yang berbeda dan

yang spesifik. Uji kredibilitas data perlu dilakukan untuk menjamin nilai

kebenaran dari setiap data yang diperoleh. Dengan demikian kesimpulan yang

diambil dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

3.9 Organisasi Penelitian

1. Pembimbing I

Nama : Drs. Dominikus Fernandez, M.Si

NIP : 19600719 198803 1 001

Status : Dosen

2. Pembimbing II

Nama : Adriana Rodina Fallo, SH, M.Si

NIP : 19740306 200912 2 001

Status : Dosen

3. Peneliti

Nama : Yoseph Istanto

NIM : 1803010221

Status : Mahasiswa

3.10 Jadwal dan Biaya Penelitian

1. Jadwal pelaksanaan penelitian

Adapun jadwal pelaksanaan penelitian yang akan dilaksanakan adalah

sebagai berikut:

45
a. Penyusunan proposal penelitian 13 (tiga belas) minggu

b. Seminar proposal penelitian

c. Perumusan dan penyempurnaan instrument penelitian

d. Pengumpulan data di lapangan 4 (empat) minggu

e. Pengolahan data dan anlisis data

f. Seminar dan perbaikan hasil penelitian

g. Skripsi

2. Biaya penelitian

Adapun biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian adalah

sebagai berikut:

a. Biaya pengadaan dan seminar proposal : Rp. 500.000,00

b. Biaya pengumpulan data di lapangan : Rp. 500.000,00

c. Biaya pengadaan dan penjilidan : Rp. 250.000,00

d. Biaya tak terduga : Rp. 250.000,00

Jumlah : Rp. 1.500.000,00

46
BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan menjelaskan hasil penelitian dan analisis data

yang didapatkan di lapangan tentang Impelemntasi Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor 581 Tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue oleh

Puskesmas Kopeta Maumere di Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok,

Kabupaten Sikka.

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Keadaan Geografis

UPT Puskesmas Kopeta merupakan salah satu puskesmas yang ada di

wilayah Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, dengan luas wilayah kerja adalah

6,41 Km2. Jumlah wilayah kerjanya meliputi 4 Kelurahan, yaitu Kelurahan

Kabor, Madawat, Nangalimang dan Kota Uneng, dengan jumlah RW 33 dan

RT 162. Dan keempat wilayah tersebut sangat strategis mengakses pelayanan

kesehatan ke UPT Puskesmas Kopeta maupun RSUD TC. Hillers Maumere,

dengan batasannya :

Sebelah Utara berbatasan dengan : Laut Flores

Sebelah Selatan berbatasan dengan : Kecamatan Nita

Sebelah Barat berbatasan dengan : Alok Barat

Sebelah Timur berbatasan dengan : Alok Timur

47
Gambar 4.1. Peta wilayah Kerja UPT Puskesmas Kopeta

4.1.2. Data Demografi

a. Jumlah Penduduk

Data mengenai kependudukan sangat penting dan memilki arti

strategis dalam pembangunan, khususnya di bidang kesehatan yakni untuk

menentukan langkah pemecahan ataupun metode-metode pendekatan

dalam mencapai target suatu program atau sasaran pembangunan selain

juga untuk mengenal karakteristik penduduk dalam suatu wilayah tertentu

yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan kesehatan pada

wilayah tersebut.

Jumlah penduduk wilayah kerja UPT Puskesmas Kopeta tahun 2022

menurut data sebanyak 23.242 jiwa yang tersebar pada 4 Kelurahan

dengan jumlah penduduk terbanyak adalah di Kelurahan Kota Uneng

(8,970 jiwa), paling sedikit Kelurahan Kabor (3,191 jiwa). Banyaknya

jumlah penduduk di wilayah Kelurahan ini mengingat Kelurahan Kota

48
Uneng memiliki wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan 3

Kelurahan lainnya. Secara umum jumlah penduduk di masing-masing

Kelurahan Luas Jumlah Jumlah Rata- Kepadatan


Wilaya Penduduk Rumah Rata Penduduk
h (km2) Tangga Jiwa/R per km2
T
Kabor 0.58 3.191 737 4,3 5501,7
Madawat 1.25 7.743 2.003 3,9 6194,4
Nangalimang 2.03 3.338 954 3,5 1644,3
Kotauneng 2.55 8.970 1.801 5,0 3517,6

wilayah dilihat pada tabel berikut :

Sumber Data : Kecamatan Alok Tahun 2022

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Masing – masing kelurahan di UPT

Puskesmas Kopeta Tahun 2022

b. Penduduk menurut dan kelompok umur dan Rasio Jenis Kelamin

Jumlah penduduk Kecamatan Alok wilayah kerja UPT Puskesmas Kopeta

berdasarkan Kelompok Umur dapat dilihat pada grafik berikut.

49
Grafik 4.1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di UPT

Puskesmas Kopeta Tahun 2022

70 - 74
60 - 64
50 - 54
40 - 44
30 - 34
20 - 24
10 - 14
0-4
15 10 5 0 5 10 15

Persentase Perempuan Persentase Laki-Laki

Sumber Data : Kecamatan Alok Tahun 2022

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok umur 15 – 19

tahun memiliki presentasi yang lebih besar dibandingkan dengan

kelompok umur lainnya, hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk

remaja di ke 4 wilayah Kelurahan ini sangat tinggi. Perlu perhatian besar

dari pemerintah dan Puskesmas untuk meningkatkan potensi dan derajad

kesehatan bagi kelompok usia ini mengingat mereka adalah tunas harapan

bangsa yang sangat rentan terhadap permasalahan sosial.

c. Pendidikan

Secara garis besar Tingkat pendidikan penduduk di Wilayah Kerja

UPT Puskesmas Kopeta dan ijasah tertinggi yang diperoleh menurut Jenis

Kelamin dapat dilihat pada Grafik berikut :

50
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Yang

Melek Huruf dan Ijazah Tertinggi yang diperoleh Menurut Jenis

Kelamin di UPT Puskesmas Kopeta Tahun 2022

N Variabel Jumlah Persentase


o
Laki- Perempua Laki-Laki+ Lak Perem Laki-
Laki n Perempuan i- puan Laki+
Lak Peremp
i uan
1 2 3 4 5 6 7 8
1  Tidak 2.508 2.361 4.869 30,8 27,8 29,3
Memiliki
Ijazah SD
 2 SD/MI 1.348 1.602 2.950 16,5 18,9 17,7
 3 SMP/ MTS 1.843 2.359 4.202 22,6 27,8 25,3

 4 SMA/ MA 1.709 4.937 6.646 21,0 58,2 40,0


 5 Sekolah 277 4.803 5.080 3,4 56,6 30,5
Menengah
Kejuruan
 6 Diploma 34 48 82 0,4 0,6 0,5
I/Diploma Ii
 7 Akademi/ 330 364 694 4,0 4,3 4,2
Diploma Iii
 8 S1/Diploma 657 486 1.143 8,1 5,7 6,9
Iv
 9 S2/S3 13 25 38 0,2 0,3 0,2
(Master/Do
ktor)
Sumber Data : Kecamatan Alok Tahun 2022

Pada tabel tersebut dapat dilihat berdasarkan kelompok pendidikan,

paling tinggi Tingkat Pendidikan SMA sebanyak 40 %. Masyarakat dapat

dikatakan telah menyadari pentingnya pendidikan.

4.1.3. Visi, Misi, Moto Dan Tata Nilai (Etika Pelayanan) UPT Puskesmas

Kopeta

VISI

51
Terwujudnya Masyarakat Kecamatan Alok Yang Sehat Dan Mandiri

MISI

1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah

Puskesmas Kopeta

2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di

wilayah Puskesmas Kopeta

3. Memelihara & meningkatkan pelayanan kesehatan bermutu, merata, &

terjangkau

4. Mendorong, memelihara, dan meningkatkan kesehatan perorangan,

keluarga, masyarakat beserta lingkungan

MOTO

“ Senyum, Salam dan Sapa kami, setulus pelayanan kami “

TATA NILAI

KOPETA ( Kerjasama, Optimis, Profesional, Efisien+Efektif,

Tertib, Akuntabel)

Yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Kerjasama :

Bersatu mencapai tujuan untuk memberikan hasil terbaik dengan saling

menghargai kelebihan dan kekurangan anggota tim.

2. Optimis

Bertindak dengan penuh keyakinan untuk memberikan hasil maksimal

dalam mewujudkan visi Puskesmas

52
3. Profesional

Bekerja dengan menjunjung tinggi keahlian dan etika profesi

4. Efisien+Efektif

Merencanakan dan melaksanakan pelayanan dengan selalu melakukan

evaluasi dan perbaikan dengan parameter cepat, tepat, kreatif dan

inovatif.

5. Tertib

Dalam memberikan pelayanan selalu dilandasi dengan ketertiban yang

tinggi sebagi upaya mencapai kinerja yang optimal.

6. Akuntabel

Memberikan pelayanan kesehatan sesuai pedoman dan standar pelayanan

yang ditetapkan, dapat diukur dan dipertanggungjawabkan.

4.1.4. Struktur Organisasi Puskesmas Kopeta

KEPALA PUSKESMAS
Yohanes Bosko, S.Kep., Ns

Kasubag. TU
Maria A. N. Wae, AMK

SIKDA Kepegawaian Rumah Tangga Keuangan


Yulfrita Sherlin R Maria A.N. Wae, AMK Maria F. Rajalewa M Krisanti

Pj. UKM Esensial Dan Pj.Usaha Kes


Pj. UKM Pengembangan Pj. Jejaring Fasyankes
Perkesmas Perseorangan
Luberta Ontelina dr. Putri Simanjuntak
Luberta Ontelina, Kep dr. Putri Simanjuntak

53
Koord. Promkes Koord. Rawat Jalan Koord. Poskeskel
Koord. Jiwa
Anastsya Conterius Maria N. Trince
Ida Agrefina Nenohai, SKM Luberta Ontelina

Koord. KIA/KB Koord. Polindes


Koord. Kesling Koord. Gigi Msya
Yuana S. Lutek, Amd Elisabeth K. Huler
Maria Krisanti, Amd KL Monika V.Moi, Amkg

Koord. Pusling
Koord. KIA/KB Koord. Lansia Koord. Pelyn Gadar
Florensia N. Asti
Yuana S. Lutek, Amd Keb Anastsya Conterius Roberta Tuga

Koord. Jejaring
Koord. GIZI Koord. Gizi Florensia N. Asti
Koord. UKK Sulastri, Amd. GZ
Sulastri, Amd, GZ
Alfrida M. Nita

Koord. P2P Koord. Kefarmasian


Maria Alfred N. Wae Amina B. Nusa

Koord. Perkesmas Koord. Labor


Elisabeth R.A. Boru Dionisius da Silva

4.1.5. Maklumat Pelayanan Puskesmas Kopeta

Standar Pelayanan Publik UPT Puskesmas Kopeta

“Kami selaku penyelenggara pelayanan publik UPT Puskesmas

Kopeta, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka menyatakan sanggup

menyelenggarakan pelayanan sesuai standar pelayanan yang telah

ditetapkan dan akan melaksanakan perbaikan secara terus menerus”

4.1.6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan

54
Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang

digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,

preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Tabel 3.1 Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan Menurut Kepemilikan di

Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Kopeta Tahun 2022

N FASILITAS PEMILIKAN/
O KESEHATAN PENGELOLA

KEMEN- PEM. PEM. TNI/ BUM SWAST JUMLA


KES PRO KAB POLR N A H
V / I
KOTA
1 2 3 4 5 6 7 8 9
RUMAH SAKIT

1 RUMAH SAKIT UMUM 1 1

2 RUMAH SAKIT KHUSUS -

PUSKESMAS DAN JARINGANNYA


1 PUSKESMAS RAWAT INAP -

- JUMLAH TEMPAT TIDUR -

2 PUSKESMAS NON RAWAT 1 1


INAP
3 PUSKESMAS KELILING 1 1

4 PUSKESMAS PEMBANTU 1 1

SARANA PELAYANAN LAIN


1 RUMAH BERSALIN 1 1

2 KLINIK PRATAMA -

3 KLINIK UTAMA -

4 BALAI PENGOBATAN -

5 PRAKTIK DOKTER 3 3
BERSAMA
6 PRAKTIK DOKTER UMUM 3 3
PERORANGAN
7 PRAKTIK DOKTER GIGI -
PERORANGAN
8 PRAKTIK DOKTER -
SPESIALIS PERORANGAN
9 PRAKTIK PENGOBATAN -
TRADISIONAL
10 BANK DARAH RUMAH SAKIT -

11 UNIT TRANSFUSI DARAH -

12 LABORATORIUM 1 2 3
KESEHATAN
SARANA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN

55
1 INDUSTRI FARMASI -

2 INDUSTRI OBAT -
TRADISIONAL
3 USAHA MIKRO OBAT -
TRADISIONAL
4 PRODUKSI ALAT -
KESEHATAN
5 PEDAGANG BESAR FARMASI -

6 APOTEK 3 2 5

7 APOTEK PRB 1 1

8 TOKO OBAT -

9 TOKO ALKES -

Sumber Data : Puskesmas Kopeta Tahun 2022

Berdasarkan Tabel diatas maka dapat dilihat bahwa di Kecamatan Alok

memiliki fasilitas pelayanan kesehatan adalah Puskesmas Kopeta, Klinik,

Laboratorium serta Praktik Dokter. Hal ini dikarenakan Kecamatan Alok

berada dalam wilayah perkotaan sehingga akan berdampak pada jumlah

kepesertaan Jaminan Kesehatan dan Kunjungan Fasyankes di UPT. Puskesmas

Kopeta.

4.1.7. Kunjungan Pasien di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Kunjungan Pasien di Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah orang yang

berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan perseorangan yang meliputi observasi,

diagnosa, pengobatan, rehabilitasi medik tanpa tinggal di ruang rawat inap

untuk pertama kalinya dalam satu tahun tertentu.

56
Grafik 4.1 Jumlah Kujungan Pasien di Fasilitasi Pelayanan Kesehatan

Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Kopeta Tahun 2021

L P
9082

5417

450

RAWAT JALAN RAWAT INAP BERSALIN GANGGUAN JIWA

Sumber Data : Puskesmas Kopeta Tahun 2022

Kunjungan baru rawat jalan puskesmas kopeta pada tahun 2021 adalah

14,499 terdiri dari Laki-laki adalah 5417 dan Perempuan adalah 9082.

Puskesmas Kopeta merupakan Puskesmas Rawat Jalan dan Rawat Inap hanya

untuk pelayanan Ibu Bersalin sehingga kunjungan rawat inap bersalin di

Puskesmas Kopeta pada tahun 2021 adalah 450 Pasien.

Kunjungan Gangguan Jiwa adalah kunjungan pasien yang mengalami

gangguan kejiwaan yang meliputi gangguan pada perasaan, proses pikir, dan

perilaku yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan

dalam melaksanakan peran sosialnya. Kunjungan Gangguan Jiwa di Puskesmas

Kopeta pada tahun 2021 adalah 450 Pasien.

57
4.2. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan di Puskesmas Kopeta

Maumere, akhirnya peneliti mendapatkan data berupa tabel yang menggambarkan

jumlah masyarakat yang terkena demam berdarah dengue selama 3 tahun terakhir.

Data tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Data penderita Demam Berdarah Dengue Di Puskesmas Kopeta Maumere

Tahun 2020

N Ja Fe Ma Ap Me Ju Ju Ag Se Ok No De Tota
Kelurahan
o n b r r i n l u p t v s l
1 Kabor 4 3 9 4 0 1 0  0  0  1 0  0  22
2 Madawat 5 26 24 4 1 2 0 0  0  1 2 2 67
Nangaliman 6 22 9 4 0 0 0  0  0  0 0  0  41
3
g
4 Kota Uneng 22 26 25 3 1 1 0  1 1 2 2 2 86
Total 37 77 67 15 2 4 0 1 1 4 4 4 216
Sumber : Puskesmas Kopeta 2022

Data Penderita Demam Berdarah Dengue Di Puskesmas Kopeta Maumere

Tahun 2021

Ap De
No Kelurahan Jan Feb Mar Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Total
r s
1 Kabor 0 0 0 1 0 0 0   0 0  0 0  0 1
2 Madawat 2 2 2 1 0 0  0  0 0 1 5 1 14
Nangaliman 1 0 3 1 0 0  0  0 0 0 0 0 5
3
g
4 Kota Uneng 1 1 3 1 1 0  0 0 0 0 0 1 8
Total 4 3 8 4 1 0  0 0 0 1 5 2 28
Sumber : Puskesmas Kopeta 2022

58
Data penderita Demam Berdarah Dengue Di Puskesmas Kopeta Maumere

Tahun 2022

N Ja Fe Ma Ap Me Ju Ju Ag Se Ok No De Tota
Kelurahan
o n b r r i n l u p t v s l
1 Kabor 1 1 3 0          
2 Madawat 14 5 3 3      
Nangaliman 0 1 0 0              
3
g
4 Kota Uneng 7 5 2 1
Total 22 12 8 4
Sumber : Puskesmas Kopeta 2022

Ketiga tabel di atas ini merupakan data persebaran penderita penyakit

demam berdarah dengue di Puskesmas Kopeta dari tahun 2020-2022. Seperti yang

kita lihat dari data di atas menunjukan penurunan jumlah penderita demam

berdarah dengue di Puskesmas Kopeta Maumere. Penuruan jumlah penderita ini

menjadi point penting untuk penilaian kinerja para petugas puskesmas dalam

mengimplementasikan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 581 Tahun 1992

tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue Oleh Puskesmas

Kopeta Maumere di Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.

Menurut data di atas, pada tahun 2020 terjadi kejadian luar biasa (KLB) demam

berdarah dengue. Seperti yang kita lihat bahwa pada tahun 2020 sangat banyak

kasus demam berdarah dengue, namun pada tahun selanjutnya mengalami

penuruan yang sangat drastis, artinya bahwa kinerja dari Puskesmas Kopeta

Maumere bisa dikatakan sudah baik. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus

peneliti yaitu berpacu pada teori Edward III yang membahas tentang komunikasi,

sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

59
4.2.1 Komunikasi

Komunikasi memiliki peran/fungsi yang cukup penting untuk

menentukan keberhasilan kebijakan publik dalam implementasinya. Salah

satu kelemahan dalam proses kebijakan publik ini, khususnya yang terjadi di

Indonesia, adalah masalah implementasinya. Salah satu faktornya adalah

komunikasi yang lemah. Kelemahan komunikasi ini sebenarnya tidak hanya

terjadi pada saat implementasinya, tetapi juga terjadi pada saat formulasi.

Adapun beberapa aspek yang dilihat dari fokus komunikasi yaitu:

a) Transmisi, yang berkenaan bagaimana proses penyampaian informasi

kebijakan, sehingga para pelaksana mengetahui kebijakan tersebut;

“Untuk penyampaian kebijakan ini, saya sebagai kepala puskesmas

menyampaikan kepada para petugs tang tergabung dalam tim PGC

DBD untuk melakukan program ini sesuai aturan yang berlaku dan

juga menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, sebelum kami turun

ke lapangan kami mengadakan rapat terlebih dahulu untuk mmbahas

apa yang menjadi masalah dan yang menjadi kebutuhan di lapangan.

Selain itu kami juga melakukan sosialisasi per 3 bulan sekali mengenai

dengan program yang akan kami lakukan, selama sosialisasi pun kami

menyampaikan mengenai perkembangan kasus DBD yang terjadi agar

bisa mendorong masyarakat dalam pencegahan DBD.”

60
Adapun wawancara yang saya lakukan bersama masyarakat di kelurahan

Kota Uneng, Ibu Macriana Dona Dawi yang merupakan warga RT/RW :

002/003 yang mengatakan bahwa :

“Biasanya mereka dari puskesmas selalu sosialisasi dahulu sebelum

turun kelapangan untuk jalankan program dari puskesmas, sosialisasi

dijalankan 3 bulan sekali, dan ada pengecekan dari puskesmas setiap 2

minggu 1 kali untuk program yang sedang dijalankan,”

b) Kejelasan, yang berkenaan dengan pemahaman para pelaksana tentang isi

kebijakan tersebut. Mengenai dengan sub fokus ini, berkaitan dengan

komunikasi yang dilakukan oleh kepala puskesmas dan petugas agar

program yang dilakukan tidak salah sasaran. Adapun wawancara yang

dilakukan bersama Bapak Yohanes Bosko selaku kepala puskesmas

kopeta :

“Kami selalu melakukan rapat baik untuk merencanakan program

yang akan dilakukan, mengenai program yang kami jalankan, dan juga

untuk hasil dari program yang kami telah lakukan agar meminimalisir

kesalahan dalam program yang kami jalankan.”

c) Konsistensi, berkenaan dengan aturan implementasi yang konsisten dan

tidak berubah-ubah sehingga tidak membingungkan para pelaksana.

Adapun wawancara yang saya lakukan mengenai dengan sub fokus ini

yaitu bersama Bapak Yohanes Bosko selaku kepala puskesmas kopeta :

“Kami juga selalu membangun komunikasi dua arah agar kami juga

dapat mempertimbangan apa yang dibutuhkan oleh petugas maupun

61
masyarakat dan juga selalu komsisten melakukan rapat maupun

sosialisasi agar program dapat berjalan dengan baik.”

Adapun wawancara lain yang dilakukan bersama masyarakat kelurahan

Kota Uneng Ibu Macriana Dona Dawi yang merupakan warga RT/RW :

002/003 yang mengatakan bahwa:

“Puskesmas selalu melakukan sosialisasi per 3 bulan sekali untuk

menjelaskan mengenai program yang mereka jalankan, 2 minggu

sekali untuk mengecek program yang sudah dijalankan dan mengontrol

kemajuan yang terjadi selama program yang dibuat berjalan.”

Secara keseluruhan dengan pengendalian demam berdarah dengue, dan

dalam menjalankan kebijakan yang dibuat komunikasi yang baik antar

petugas dan masyrakat dibangun agara program yang kami rencanakan bisa

berjalan dengan baik. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi sendiri sudah

berjalan dengan baik, dikarenakan 3 aspek utama yang menjadi tolak ukur

dalam aspek komunikasi dijalankan secara baik dan dinilai baik oleh

masyarakat sendiri.

4.2.2 Sumber Daya

Menurut Edward III dalam Indiahono (2009:31–32), sumber daya

yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang

memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial.

a) Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas

implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Lebih

62
lanjut dijelaskan menurut George C. Edward III dalam Agustino

(2008:151), kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan

salah satunya disebagiankan oleh karena sumber daya yang tidak

mencukupi, memadai ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan

jumlah sumber daya saja tidaklah cukup, tetapi diperlukan pula kecukupan

sumber daya dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan dalam

mengimplementasikan kebijakan. adapun wawancara yang saya lakukan

bersama kepala puskesmas Kopeta mengenai dengan ketersedian Sumber

Daya Manusia yang dimiliki :

“Petugas puskesmas yang tergabung dalam PGC itu semuanya sudah

dibekali dengan keahlian khusus dan pengetahuan. Berkaitan juga dengan

ketersediaan petugas yang tergabung dalam dalam tim PGC DBD,

bahwa kami di puskesmas kopeta masih kurang tenaga lapangan untuk

menjalankan program pemberantasan DBD ini, bahkan untuk turun

kerumah-rumah warga petugas kami kewalahan karna keluraan kota

uneng sendiri merupakan kelurahan dengan masyarakat terbanyak.”

Adapun wawancara dengan Petugas Higienis Sanitasi Puskesmas

Kopeta Maumere, Ibu Sisilia Nona mengatakan bahwa :

“kami para petugas yang turun langsung ke lapangan dirumah-


rumah warga ini kadang kami merasa capek karena setiap ada kasus
demam berdarah maka kami harus memantau 100 sekitar jadi 100 rumah
itu akan kami pantau dengan melakukan pemantauan jentik berkala,
pemberantasan sarang nyamuk dan juga pembagian bubuk abate. Petugas
yang turun ke lapangan ini sangat sedikit, kami hanya 6 orang saja untuk
turun ke lapangan, dimana dari kami 6 orang ini ditugaskan untuk
memantau 100 rumah sekitar jika terjadi satu kasus demam berdarah. Oleh
karena hal ini kadang kala kami bersikap cuek ke masyarakat maksudnya

63
disini bahwa kami sudah capek jalan di rumah-rumah warga terus ada
masryarakat yang kita panggil tidak menyahut dan juga ada masyarakat
yang mungkin merassa bosan dengan kami karena mereka harus melayani
kami untuk memantau jentik-jentik di bak penampumngan air. Dan karena
kami turun ke lapangan inin juga setiap 2 minggu sekali”

b) Sumber daya finansial menurut George C. Edward III dalam Indiahono

(2009:48) adalah kecukupan modal invertasi atas sebuah

program/kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi

program/kebijakan pemerintah. Sebab, tanpa kehandalan implementor,

kebijakan berjalan lambat dan seadanya. Sedangkan sumber daya finansial

menjamin keberlangsungan program/kebijakan. Tanpa ada dukungan

finansial yang memadai, progam tak dapat berjalan efektif dan cepat dalam

mencapai tujuan dan sasaran. Adapun hasil wawancara bersama kepala

puskesmas kopeta :

“ kalau untuk anggaran, kami disiplin ada anggaran yang namanya BOK.

Dana BOK ini direalisasikan untuk berbagai program bukan hanya untuk

DBD. Jadi disini kami mengatur aliran dana ini agar bisa mendukung

berjalannya program-program salah satunya adalah DBD. Untuk DBD

dana ini kami gunakan untuk pengadaan bubuk abate, dan juga untuk

kebutuhan dilapangan, dana BOK untuk mengatasi DBD ini juga masih

kurang, jadi kami harus berkoordinasi juga dengan kecamatan dan

kelurahan untuk mengadakan apa saja yang sedang dibutuhkan. Untuk

pengadaan bubuk abate ini jika stok dari puskesmas kopeta sudah habis

namun belum terbagi rata dirumah warga maka pihak kelurahan yang

64
mengambil alih selanjutnya, jadi jika kurang maka kelurahan harus

mengeluarkan dana untuk pengadaan ulang bubuk abate ini”

c) Sumber daya peralatan yang dimaksud adalah kelengkapan peralatan yang

dimiliki oleh perusahaan maupun organisasi pemerintahan dalam

menjalakan tugasnya sehari-hari. Adapun wawancara yang saya lakukan

bersama kepala puskesmas kopeta:

“ peralatan penunjang dilapangan seperti LCD Proyektor untuk

memberikan sosialisasi dari puskesmas sendiri ada. Dan peralatan

lainnya seperti alat foging itu sudah rusak jadi untuk melakukan

puskesmas harus bersama-sama dengan dinas kesehatan karena dinas

kesehatan karna dinaslah yang mempunyai alat tersebut.”

Sumber daya merupakan aspek yang sangat penting dalam sebuah

organisasi pemerintahan, dimana segala sesuatu bisa berjalan jika sumber

daya manusianya memadai. Dari hasil wawancara diatas dapat

disimpulkan bahwa Puskesmas Kopeta sendiri masih mengalami banyak

kekurangan dibangian Sumber Daya, dimana secara Sumber daya manusia

mereka masih kekurangan tim lapangan untuk sosialisasi maupun

pembagian bubuk abate dikarenakan masyarakat di kelurahan kota uneng

yang cukup banyak. Jika dilihan dari Sumber Daya Anggaran maka

puskesmas sendiri juga masih mengalami kendala karna anggaran untuk

program DBD sendiri masih digabung dengan dana program lain dan

sering kali mereka kekurangan dana. Yang terakhir jika dilihat dari sumber

daya peralatan juga masih kurang karna satu-satunya alat foging yang

65
dimiliki puskesmas rusak dan untuk proses foging sendiri merek harus

menunggu bantuan dari dinas kesehatan setempat.

4.2.3 Disposisi/sikap pelaksana

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi

kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-

bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang

hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka

proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk

sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana,

petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau

penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Adapun wawancara bersama

kepala puskesmas kopeta yang mengatan bahwa :

“ secara konsisten kami selalu melakukan sosialisasi selama 3 bulan sekali

dan pengecekan program yang berjlan selama 2 minggu segala agar benar-

benar dapat memantau program yang kami jalankan.”

Adapun wawancara lain bersama masyarakat yang mengatakan bahwa :

“secara konsisten puskesmas terus memberikan apa yang kami butuhkan

baik bubuk abate maupun foging dalam jangka waktu yang panjang,

mereka juga memberikan sosialisa dan pengecekan setiap 2 minggu

sekali.”

Dapat disimpulkan bahwa fokus penelitian ini berjalan dengan dengan

baik, dilihat dari apa yang disampaikan oleh kepala puskesmas dan

66
masyarakat bahwa mereka mempunyai konsistensi dalam menjalakan

pekerjaannya.

4.2.4 Struktur birokrasi

Struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk

mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards III dalam

Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni:

”Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi”.”Standard

operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan

internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman

dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”.

Berikut ini merupakan SOP dari tim PGC

67
BAB V

PENUTUP

Pada bab ini, penulis akan membuat kesimpulan dan juga saran dari

penelitian yang telah peneliti kemukakan mengenai Impelemntasi Keputusan

Menteri Kesehatan Nomor 581 Tentang Pemberantasan Penyakit Demam

Berdarah Dengue oleh Puskesmas Kopeta Maumere di Kelurahan Kota Uneng,

Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.

5.1 SIMPULAN

Berdasarkan hasil temuan dari penelitian yang peneliti lakukan tentang

Impelemntasi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 581 Tentang Pemberantasan

Penyakit Demam Berdarah Dengue oleh Puskesmas Kopeta Maumere di

Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, peneliti membuat

kesimpulan berdasarkan rumusan masalah yakni bagaimanakah impelemntasi

keputusan menteri kesehatan nomor 581 tentang pemberantasan penyakit demam

berdarah dengue oleh puskesmas kopeta maumere di Kelurahan Kota Uneng,

Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.

1. Komunikasi antara petugas lapangan dengan masyarakat sudah cukup

bagus. Ini dibuktikan dengan masyarakat yang mudah untuk

68
memahami apa yang menjadi tujuan dalam menjalankan program-

program pemberantasan demam berdarah dengue. Tiga aspek pun

Yang menjadi tolak ukur yaitu Transmisi, Kejelasan, dan

konsistensipun dijalankan dengan baik.

2. Kekurangan Petugas dilapangan,menjadi salah malah yang menmicu

kurang efektifnya kinerja yang dilakukan dan program yang

dijalankan, karena banyak rumah rumah warga yang harus mereka

kunjungi namun ketersediaan petugas belum sesuai kebutuhan.

Anggaran yang adapun masih belum fokus pada pemberantasan DBD

karna anggarannya masih digabung dengan program lain,anggaranpun

harus sesuai dengan kebutuhan untuk mengadakan berbagai peralatan

dan juga komponen pendukung lainnya. Adapun hal lain yang menjadi

kendala bagi puskesmas adalah mengenai dengan ketersedian

peralatan, alat foging yang dimiliki puskesmas hanya satu dan sedang

rusak jadi untuk melakukan foging merek harus m enunggu dari dinas

kesehatan setempat.

3. Untuk Kognisi sendiri sudah dijalakan dengan baik oleh puskes

dimana puskesmas sendiri menjaga konsistensinya dalam pelayanan

terhadap masyarakat dan masyarakat pun merasa puas dengan hal

tersebut.

4. Standard Operating Procedures (SOP)

5.2 Saran

69
Berdasarkan simpulan penelitian tersebut maka penulis mengemukakan

beberapa saran kepada Puskesmas Kopeta Maumere dalam memberantas

penyakit demam berdarah di Kelurahan Kota Uneng Maumere terutama yang

berkaitan dengan Sumber Daya.

1. Sumber daya manusia, puskesmas sendiri harus menambah petugas PGC

agara program yang dilakukan bisa berjalan secara maksimal, melihat dari

pengalaman bahwa petugas lapanganpun mengalami kewalahan

dikarenakan banyaknya rumah warga pada kelurahan kota uneng.

2. Sumber daya anggaran, saya berharap bahwa kedepannya puskesmas

sendiri mampu membentuk anggaran khusus untuk penenganan DBA agar

bisa berjalan dengan baik, mengingat bahwa ketika kekurangan sesuatu

maka akan dilimpahkan ke kecamatan dan kelurahan sedangan itu

erupakan tugas dari puskesmas tetapi karna kurangnya anggaran maka

harus di limpahkan ke instansi lain.

3. Sumber daya peralatan, kedepannya diharapkan agar mampu mengadakan

atau paling tidak memperbaiki peralatan yang rusak agar tidak terikat

dengan dinas kesehatan ketika ingin turun kelapangan untuk melakukan

foging.

70
LAMPIRAN

Wawancara dengan Kepala Wawancara dengan Petugas


Puskesmas Kopeta Maumere Higienis Sanitasi Puskesmas Kopeta
Maumere

71
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdillah LA, dkk. 2021. Metodologi Penelitian dan Analisis Data

Comprehensive. Bandung: Insania.

Abdul Wahab, Solichin. 2001. Analisis kebijaksanaan, Dari Formulasi Ke

Implementasi Kebiajaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara

Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta

Anggara, Sahya. 2014. Kebijakan Publik. Bandung : CV. Pustaka Setia Bandung

Anggito, Albi., Setiawan, Johan. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif.

Sukabumi: CV Jejak.

Arifin, Zainal. 2012. penelitian Pendidikan (cetakan kedua). Bandung:

Remaja Rosdakarya

Creswell, J. W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Dan

Mixed. Yogjakarta: PT Pustaka Pelajar

72
H, Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung : Asosiasi Ilmu

Politik Indonesia (AIPI) Bandung

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu

Sosial. Jakarta : Salemba Humanika

Kumalasari, Popy. 1999. Manajemen Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta :

Penerbit Buku EGC

Lubis, Solly. 2007. Kebijakan Publik . Bandung : Mandar Maju

Madani, Muhlis. 2011. Dimensi Interaksi Aktor Dalam Proses Perumusan

Kebijakan Publik. Yogyakarta : Graha Ilmu

Mustari, Nurhayati. 2015. Pemahaman Kebijakan Publik Formulasi,

Implementasi Dan Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta : PT Leutika

Nouvaltera

N, Frida. 2008. Mengenal Demam Berdarah Dengue. Jawa Tengah : Alprin

Nazir, M. 1983. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia

Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta : Alex Media Komputindo

Robbins, Stephen P. 1994. Teori organisasi. Jakarta : Arcan

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Afabeta

Suharto, Edi. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta

73
Suharto, Edi. 2013. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung :

Alfabeta

Surtiretna, Nina. 2007. Awas Demam Berdarah. Bandung : PT. Kiblat Buku

Utama

Wibawa, Samodra. 2005. Reformasi Administrasi Bunga Rampai Pemikiran

Administrasi Negara/Publik. Yogayakarta : Gava Media

Widodo, Joko. 2015. Analisis Kebijakan Publik Konsep Dan Aplikasi Analisis

Proses Kebijakan Publik. Malang : Media Nusa Creative

Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik. Jakarta : PT Buku Kita

Winarno, Budi . 2002. Teori Dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media

Pressindo

Jurnal dan Skripsi

Herlyansah, Pradytia. 2016. Implementasi Kebijakan Pemberdayaan Usaha Mikro

Kecil Menengah (UMKM) di Kota Tangerang (Skripsi) Fakultas Ilmu

Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasah.

Munggaran, Gilang Anugrah. 2017. Gambaran Implementasi Kebijakan

Pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) Melalui Program 1

Rumah 1 Jumantik Di Puskesmas Kelurahan Benda Baru Kota

Tangerang Selatan Tahun 2017 (Skipsi) Fakultas Kedoteran Dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

74
Rahmawati, A. 2020. Implementasi Kebijakan Program Pengembangan

Komoditas Pada Kawasan Strategi Kabupaten Di Kabupaten Bone

(Skripsi) Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Unismuh Makassar,

Indonesia Volume 1, Nomor 1, Agustus 2020.

Seno, Ramadhani Haryo. 2012. Implementasi Kebijakan Pengendalian Penyakit

Demam Berdarah di DKI Jakarta (Skripsi) Fakultas Ilmu Sosial Dan

Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Website

https://www.puskkk.dinkes-kotakupang.web.id/artikel/warta/item/71-pemantauan

jentik-berkala.html diakses pada tanggal 23 September 2021 pukul

21.37 WITA

https://www.scribd.com/document/326727724/SOP-Abatisasi diakses pada 23

September 2021 pukul 22.43 WITA

Dokumen

Intrusksi Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor : BU.443/21/DINKES/2020

tentang Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Keputusan Kepala UPT. Puskesmas Kopeta Nomor : 800/SK/II/05/I/2021

Tentang Penetapan Penanggungjawab Program Serta Uraian Tugasnya

Berdasarkan Struktur Organisasi UPT. Puskesmas Kopeta

75
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 581 tahun 1992 tentang Pemberantasan

Penyakit Demam Berdarah Dengue

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoensia Nomor 43 Tahun 2019 Tentang

Pusat Kesehatan Masyarakat

76

Anda mungkin juga menyukai