Anda di halaman 1dari 19

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengembangan teknologi penangkapan ikan ditekankan pada teknologi
penangkapan ikan yang ramah lingkungan dengan harapan dapat memanfaatkan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampat negatif
terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut tidak merusak dasar
perairan, tidak berdampak negatif terhadap biodiversity, target resources dan non
target resources.
Alat penangkap ikan digunakan untuk membantu aktivitas nelayan saat
melaut. Ada banyak jenis alat penangkap ikan yang digunakan nelayan. Agar
lingkungan dan keberlanjutan wilayah perairan serta habitat tetap terjaga, nelayan
membutuhkan alat penangkap ikan yang ramah lingkungan.
Dalam rangka mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan
(sustainable fisheries cupture) sesuai dengan ketentuan pelaksanaan perikanan
yang bertanggung jawab (Code of conduct for Responsible Fisheries/CCRF) maka
eksploitasi sumberdaya hayati laut harus dapat dilakukan secara bertanggung
jawab (Responsible fisheries). Tujuannya untuk menjaga kelestarian sumberdaya
ikan perlu dikaji penggunaan alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan
dari segi pengoperasian alat penangkapan ikan, daerah penangkapan dan lain
sebagainya sesuai dengan tata laksana untuk perikanan yang bertanggung jawab.
2

1.2 Tujuan dan Manfaat


1.2.1 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya Praktek Kerja Lapangan ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui secara langsung alat penangkap ikan ramah lingkungan
di PPS Bungus .
2. Dapat mengetahui permasalahan-permasalahan yang terkait Penangkapan
ikan.
3. Untuk Mengetahui alat tangkap di PPS Bungus.

1.2.1 Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari kegiatan praktek kerja lapangan ini
adalah sebagai berikut:
1. Mampu dan terampil dalam mengidentifikasi Alat penangkap ikan yang
ramah lingkungan di PPS Bungus.
2. mampu mengatasi masalah-masalah yang sering terjadi dalam
Penangkapan ikan Serta mampu mencari solusi yang terbaik untuk
meningkatkan Alat tangkap yang ramah lingkungan.
3. Sebagai bahan informasi bagi Mahasiswa dan Masyarakat Nelayan untuk
memahami keberagaman jenis Alat penangkap Ikan di PPS Bungus.
3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan 


Alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan merupakan suatu alat
penangkapan ikan yang tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan,
yaitu sejauh mana alat tersebut tidak merusak dasar perairan, kemungkinan
hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya terhadap polusi. Factor lain adalah
dampak terhadap bio-diversity dan target resources yaitu komposisi hasil
tangkapan, adanya by catch serta tertangkapnya ikan-ikan muda (Arimoto, et al.,
1999).
Di Indonesia khususnya dibidang perikanan tangkap banyak sekali jenis
alat tangkap yang digunakan oleh nelayan, namun banyak sekali alat tangkap yang
bersifat merusak atau destruktif seperti payang dan trawl yang menangkap ikan
didasar perairan dengan menyapu dasar sehingga terumbu karang yang berada
didasar perairan akan rusak.
Oleh karenanya perlu alat tangkap ramah lingkungan yang selain selektif juga
efektif dan bisa mempertahankan sumberdaya ikan agar habitatnya tidak rusak.
Jenis-jenis alat tangkap ramah lingkungan tersebut diantaranya seperti pancing,
dan alat pengumpul ikan seperti keramba apung yang menggunakan lampu dan
umpan alami.
Martasuganda (2005), merincikan beberapa hal penting yang harus
diperhatikan, agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang
ramah lingkungan, antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan seleksi terhadap ikan yang akan dijadikan target penangkapan
atau layak tangkap baik dari segi jenis dan ukurannya dengan membuat
desain dan kontruksi alat tangkap yang sesuai dengan jenis dan ukuran
dari habitat perairan yang akan dijadikan target tangkapan. Dengan
demikian diharapkan bias memininumkan hasil tangkapan sampingan
yang tidak diharapkan dari spesies perairan yang dilindungi.
4

2. Tidak memakai ukuran mati jaring yang dilarang (berdasarkan SK.


Menteri Pertanian No.607/KPB/UM/1976 butir 3) yang menyatakan
bahwa mata jaring dibawah 25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk
dioperasikan dimana-mana perairan.
3. Tidak melakukan kegiatan usaha penangkapan di daerah penangkapan
ikan yang sudah dinyatakan over fishing, di daerah konservasi yang
dilarang, di daerah penangkapan yang dinyatakan tercemar baik dengan
logam maupun bahan kimia lainnya.
4. Tidak melakukan pencemaran yang akan mengakibatkan berubahnya
tatanan lingkungan sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh tidak
membuang jaring bekas atau potonganpotongan jaring serta benda-benda
lain yang berupa bahan bakar bekas pakai seperti pelumas mesin, bensin,
dan bahan kimia lainnya.
Kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan sebagai acuan dalam
penggunaan teknologi dan alat penangkapan ikan ramah lingkungan. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari segi metode pengoperasian, bahan dan kontruksi alat,
daerah penagkapan serta ketersedian sumberdaya ikan tetap menjaga kelestarian
lingkungan dan sumberdaya ikan. Harapannya adalah nelayan dan semua pihak
yang bergerak dibidang perikanan diseluruh perairan Indonesia dapat mematuhi
peraturan dalam mengoperasikan alat tangkap dengan tetap menjaga lingkungan
dan kelestarian sumber daya ikan (Dahuri, 1993).
Code of conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau ketentuan
perikanan yang bertanggung jawab dipergunakan sebagai pedoman pelaksanaan
kegiatan perikanan secara bertanggung jawab. Pedoman ini memberi kelengkapan
bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin pemanfaatan sumberdaya
laut yang lestari dan berkelanjutan. Sasaran dari CCRF ditujukan bagi para
pengambil keputusan dalam otoritas pengelolaan perikanan, termasuk perusahaan
perikanan, organisasi nelayan, serta organisasi non pemerintah yang peduli
terhadap kelestarian sumberdaya laut dan perikanan.
5

2.2 Kriteria Alat Tangkap Ikan Yang Ramah Lingkungan


Di Indonesia saat ini, telah banyak dikembangkan metode penangkapan
yang tidak merusak lingkungan (Anonim. 2006). Selain karena tuntutan dan
kecaman dunia internasional yang akan memboikot ekspor dari negara yang
sistem penangkapan ikannya masih merusak lingkungan, pemerintah juga telah
berupaya untuk melaksanakan tata cara perikanan yang bertanggung jawab.
Food Agriculture Organization (FAO, sebuah lembaga di bawah naungan
Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani masalah pangan dan pertanian
dunia), pada tahun 1995 mengeluarkan suatu tata cara bagi kegiatan penangkapan
ikan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Resposible Fisheries- CCRF).
Dalam CCRF ini, FAO menetapkan serangkaian kriteria bagi teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan. Sembilan kriteria tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi. Artinya, alat tangkap
tersebut diupayakan hanya dapat menangkap ikan/organisme lain yang
menjadi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam selektivitas yang
menjadi sub kriteria, yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Sub
kriteria ini terdiri dari (yang paling rendah hingga yang paling tinggi):
 Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang
berbeda jauh
 Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
 Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang
kurang lebih sama.
 Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih
sama.
2. Alat tangkap yang digunakan tidak merusak habitat, tempat tinggal dan
berkembang biak ikan dan organisme lainnya. Ada pembobotan yang
digunakan dalam kriteria ini yang ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat
kerusakan yang ditimbulkan alat penangkapan. Pembobotan tersebut
adalah sebagai berikut (dari yang rendah hingga yang tinggi):
6

 Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas


 Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit
 Menyebabkan sebagian habiat pada wilayah yang sempit
 Aman bagi habitat (tidak merusak habitat)
3. Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan). Keselamatan manusia
menjadi syarat penangkapan ikan, karena bagaimana pun, manusia
merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan perikanan yang
produktif. Pembobotan resiko diterapkan berdasarkan pada tingkat bahaya
dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan, yaitu (dari rendah hingga
tinggi):
 Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian
pada nelayan
 Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat
menetap (permanen) pada nelayan
 Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat gangguan
kesehatan yang sifatnya sementara
 Alat tangkap aman bagi nelayan
4. Menghasilkan ikan yang bermutu baik. Jumlah ikan yang banyak tidak
berarti bila ikan-ikan tersebut dalam kondisi buruk. Dalam menentukan
tingkat kualitas ikan digunakan kondisi hasil tangkapan secara morfologis
(bentuknya). Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai
berikut:
 Ikan mati dan busuk
 Ikan mati, segar, dan cacat fisik
 Ikan mati dan segar
 Ikan hidup
5. Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen. Ikan yang ditangkap
dengan peledakan bom pupuk kimia atau racun sianida kemungkinan
tercemar oleh racun. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan
tingkat bahaya yang mungkin dialami konsumen yang harus menjadi
pertimbangan adalah (dari rendah hingga tinggi):
 Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen
7

 Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen


 Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen
 Aman bagi konsumen
6. Hasil tangkapan yang terbuang minimum. Alat tangkap yang tidak selektif
dapat menangkap ikan/organisme yang bukan sasaran penangkapan (non-
target). Dengan alat yang tidak selektif, hasil tangkapan yang terbuang
akan meningkat, karena banyaknya jenis non-target yang turut tertangkap.
Hasil tangkapan non target, ada yang bisa dimanfaatkan dan ada yang
tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut
(dari rendah hingga tinggi):
 Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis
(spesies) yang tidak laku dijual di pasar
 Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis
dan ada yang laku dijual di pasar
 Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan
laku dijual di pasar
 Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan
berharga tinggi di pasar.
7. Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak minimum
terhadap keanekaan sumberdaya hayati (biodiversity). Pembobotan kriteria
ini ditetapkan berdasasrkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
 Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua
mahluk hidup dan merusak habitat.
 Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa
spesies dan merusak habitat
 Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa
spesies tetapi tidak merusak habitat
 Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati
8. Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam
punah.
Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi
undangundang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa:
8

 Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat


 Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat
 Ikan yang dilindungi .pernah. tertangkap
 Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap
9. Diterima secara sosial. Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat
tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
di suatu tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila:
1. biaya investasi murah,
2. menguntungkan secara ekonomi,
3. tidak bertentangan dengan budaya setempat,
4. tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
Bila ke sembilan kriteria ini dilaksanakan secara konsisten oleh semua
pihak yang terlibat dalam kegiatan perikanan, dapat dikatakan ikan
dan produk perikanan akan tersedia secara berkelanjutan. Hal yang penting
diingat adalah bahwa generasi saat ini memiliki tanggung jawab moral untuk
memastikan bahwa kita tidak mengurangi ketersediaan ikan bagi generasi yang
akan datang dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang ceroboh dan berlebihan.
Adapun pengembangan perikanan yang berkelanjutan bertujuan untuk
mengetahui tingkat bahaya alat tangkap ikan yang digunakan terhadap
kelestarian sumberdaya ikan yang ada. Menurut Monintja (2000), kriteria alat
tangkap berkelanjutan mempunyai enam kriteria yang digunakan yaitu :
1. menerapkan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan ;
2. jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (TAC) ;
3. produk mempunyai pasar yang baik ;
4. investasi yang digunakan rendah ;
5. penggunaan bahan bakar rendah ; dan
6. secara hukum alat tangkap tersebut legal.
9

2.3 Alat tangkap menurut klasifikasi statistik internasional standar FAO


yang ramah Lingkungan
Dirangkum dari berbagai sumber, Kementerian Kelautan dan
perikanan (KKP) dengan mengacu pada Badan pangan dan pertanian Perserikatan
Bangsa-Bangsa (FAO), berikut jenis alat penangkap ikan yang ramah lingkungan:

1. Jaring insang (gillnet and entangling nets)


Jaring insang merupakan alat penangkap ikan berbentuk empat persegi
panjang dengan ukuran mata jaring merata. Alat penangkap ikan ini
dilengkapi pelampung, pemberat, tali ris atas dan tali ris bawah atau tanpa
tali ris bawah.
Jaring insang digunakan untuk menangkap ikan dengan cara menghadang
gerombolan ikan. Ikan-ikan yang tertangkap pada jaring umumnya karena
terjerat di bagian belakang penutup insang atau terjerat mata jaring.
2. Pancing (hook and Line)
Alat penangkap ikan ini digunakan untuk memancing ikan target sehingga
terkait mata pancing yang dirangkai dengan tali menggunakan atau tanpa
umpan. Alat penangkap ikan yang termasuk dalam klasifikasi ini, yaitu
rawai (long line) dan pancing itu sendiri.
3. Alat yang dijatuhkan (falling gears)
Alat yang dijatuhkan atau ditebarkan merupakan alat penangkap ikan yang
pengoperasiannya dilakukan dengan ditebarkan atau dijatuhkan untuk
mengurung ikan dengan atau tanpa kapal.
4. Perangkap (traps)
Alat penangkap ikan jenis ini terdiri dari berbagai bentuk dan material.
Ada yang terbuat dari jaring, bambu, kayu dan besi. Perangkap bisa
dipasang secara tetap atau secara portable (dapat dipindahkan) selama
jangka waktu tertentu. Biasanya perangkap digunakan di pesisir pantai
untuk menangkap ikan demersal dan kerang.
5. Penggaruk (dredges)
Penggaruk merupakan alat penangkap ikan berbingkai kayu atau besi
bergerigi. Terdapat berbagai bentuk dan ukuran alat jenis ini. Desain dan
10

konstruksi penggaruk disesuaikan dengan target ikan tangkapan yang


diinginkan. Alat ini ada yang dilengkapi atau tanpa jaring/bahan lainnya.
Penggaruk dioperasikan dengan cara menggaruk di dasar perairan dengan
atau tanpa perahu. Alat tangkap ini biasa digunakan di perairan dangkal
yang tidak jauh dari pesisir. Penggaruk biasanya menyasar kerang.
6. Jaring lingkar (surrounding nets)
Pengoperasian jaring lingkar dengan cara menghadang arah renang ikan.
Alat ini ditujukan sebagai penangkap ikan pelagis yang bergerombol di
permukaan. Ikan pelagis adalah ikan yang hidup di permukaan dengan
kedalaman kurang dari 200 meter.
7. Jaring angkat (lift nets)
Jaring angkat adalah alat penangkap ikan berbentuk lembaran persegi
panjang atau bujur sangkar yang direntangkan dengan menggunakn
kerangka dari batang kayu atau bambu. Alat penangkap ikan ini
dioperasikan dengan menurunkan dan mengangkatnya secara
vertikal. Jaring ini menyasar ikan jenis pelagis dan cumi-cumi.
8. Alat penjepit dan melukai (grappling and wounding)
Pengoperasian alat ini dengan cara mencengkeram, menjepit, melukai dan
atau membunuh sasaran tangkap. Contoh dari alat penangkap ikan ini
antara lain adalah tombak dan ladung.
11

METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu


Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini dilaksanakan mulai pada Bulan Maret
2020 s/d Mei 2021 di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus
3.2 Alat Dan Bahan
Adapun alat yang digunakan selama praktek kerja lapangan ini dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1 Alat yang digunakan selama PKL
No Nama Fungsi

1 Pulpen Untuk mencatat data logbook harian dan hasil


wawancara

2 Buku Bahan Tulis/tempat pengisian data

3 Kamera Untuk alat dokumentasi

4 Komputer/ Sebagai sumber informasi sekaligus tempat


laptop penyimpanan data

5 Printer Alat/perangkat mencetak laporan


12

3.3 Metode pengumpulan Data


Dalam pelaksanaan praktek kerja lapangan ini pengumpulan data
dilakukan dengan dua cara, yaitu sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer yaitu data yang di peroleh pada saat pengamatan
langsung di lapangan dengan melakukan pendataan selama proses
Wawancara ataupun tanya jawab secara langsung dengan pihak-pihak
yang terkait dengan objek yang diamati di tempat PKL
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang di peroleh dari literature yang ada
yaitu dari buku referensi dan dari media atau jaringan internet.
13

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus

Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus berada di Pantai Barat


Sumatera Barat tepatnya di Teluk Bungus, Kota Padang Sumatera Barat. PPS
Bungus berhadapan langsung dengan Samudera Hindia yang merupakan wilayah
ruaya perikanan tuna di Dunia. Didukung oleh perairan Teluk yang luas dan
tenang dengan kedalaman – 7 m sangat cocok untuk dijadikan Pangkalan
Pendaratan Tuna (Sentra Tuna) di wilayah Barat Indonesia. Dukungan fasilitas
Pelabuhan berupa Dermaga, Cold Storage & Pabrik Es (Swasta) dan Truck
Refrigerasi ditambah dengan fasilitas transportasi darat berupa jalan negara yang
menghubungkan Sumatera Barat dengan Bengkulu, Transportasi laut (Pelabuhan
Teluk Bayur kurang lebih 10 km) dan Transportasi udara (Bandara Internasional
Minangkabau kurang lebih 45 km).

4.1.1 Sejarah PPS Bungus

Sejarah PPS Bungus diawali dari Proyek Pembangunan dan


Pengembangan Perikanan Sumatera atau lebih dikenal dengan nama “Sumatera
Fisheries Development Project” (SFDP) yang dimulai sejak tahun 1981 dan
selesai tahun 1989 dengan sumber dana berasal dari pinjaman Bank Pembangunan
Asia (ADB) dan dana pendamping setiap Tahun Anggaran dari APBN. Pada
periode ini SFDP telah berhasil membebaskan tanah seluas 14 Ha dan
membangun beberapa fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang.

Kegiatan SFDP berakhir dan dilanjutkan oleh UPT Direktorat Jenderal


Perikanan yang disebut dengan Pelabuhan Perikanan Nusantara Bungus
berdasarkan SK. Mentan Nomor : 558/Kpts/OT.210/8/90 tanggal 4 Agustus 1990
(Vide Persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur negara Nomor : B.590/I/90
tanggal 2 Juli 1990) dengan status eselon III/b Perkembangan selanjutnya
terhitung mulai tanggal 1 Mei 2001 Pelabuhan Perikanan Nusantara Bungus
ditingkatkan statusnya menjadi eselon II/b dengan klasifikasi Pelabuhan
Perikanan Samudera Bungus (PPSB) berdasarkan SK. Menteri Kelautan dan
14

Perikanan Nomor : 26.I/MEN/ TAHUN 2001 (Persetujuan Menteri Negara


Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 86/M.PAN/4/2001 tanggal 4 April
2001).

Gambar 1. Kantor Utama Pelabuhan Perikanan Samudera ( PPS ) Bungus

4.1.2 Sarana dan Prasarana Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus

Adapun sarana pokok, sarana fungsional dan sarana penunjang yang ada di
Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2. Sarana dan Prasarana PPS Bungus

No Sarana Pokok Sarana Fungsional Sarana Penunjang

1 Kolam Pelabuhan Tempat Pelelangan Ikan Gedung Perkantoran

2 Dermaga Instalasi Air Bersih Wisma/Mess

3 Jetty Instalasi BBM Perumahan Karyawan

4 Daratan Pelabuhan Instalasi Listrik Masjid

5 Jalan utama Pelabuhan Bengkel Toilet Umum

6 Area Parkir Docking ( Vessel Lift ) Mess Operator

7 Pagar Keliling Penyaluran Es

8 Breakweather Cold Storage


15

STRUKTUR ORGANISASI PPS BUNGUS

KEPALA PELABUHAN

Ir. Soma Somantri, ME

KEPALA BAGIAN
TATA USAHA

Bayu Eko Wibowo,S.St.Pi

KASUBAG KASUBAG
KEUANGAN UMUM

Ridianto, S.kom Yanti Marni,


S.H

KABID OPERASIONAL DAN KABID TATA KELOLA DAN


KESYAHBANDARAN PELAYANAN USAHA

Ir. Suhadi, M.Si Wowo Tribawa, A.Pi, SE

KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI TATA


OPERASIONAL KELOLA DAN PRASARANA
PELABUHAN
Melly Masrul, S.Pi, M.Si
Syahruromadan HSB, S.St.Pi

KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI


KESYAHBANDARAN PELAYANAN USAHA

Irvan Armana, S.St.Pi Muhammad Dede, S.St.Pi

Gambar . Struktur Organisasi Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus


16

4.4 Kapal Penangkap Ikan


Kapal perikanan Merupakan Suatu sarana yang paling penting dalam
pelaksanaan operasional penangkap ikan. Pada umumnya kapal yang beroperasi di
PPS Bungus merupakan Kapal tradisional yang terbuat dari kayu.

4.5 Alat Penangkap Ikan


17
18

PENUTUP

Demikian Proposal Praktek Kerja Lapangan ini dengn harapan


memberikan gambaran singkat dan jelas mengenai maksud dan tujuan pada
proposal ini. Besar harapan saya agar pihak Pelabuhan Perikanan Samudera
Bungus bersedia menerima saya untuk melaksanakan Praktek Kerja
Lapangan.Atas perhatian, kebijakan dan bantuannya, saya ucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
19

Alberth Ch Nanlohy Juni 2013 Evaluasi Alat Tangkap Ikan Pelagis yang Ramah
Lingkungan di Perairan Maluku dengan Menggunakan Prinsip CCRF (Code of
Conduct for Responsible Fisheries) Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol 2. No. 1.

Anggun Anggraini1), Pareng Rengi2), Usman (2) 2019 Identifikasi Alat Tangkap
Ramah Lingkungan Yang Dioperasikan Di Perairan Danau Singkarak Provinsi
Sumatera Barat

ejournal.undip.ac.id/index.php/saintekMSaintek Perikanan Vol.13 No.1 : 65-74,


Agustus 2017

https://media.neliti.com/media/publications/13183-ID-alat-penangkapan-ikan-
yang-ramah-lingkungan-berbasis-code-of-conduct-for-respons.pdf

Anda mungkin juga menyukai