Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SATWA LIAR, PERIKANAN DAN SPESIES

YANG TERANCAM PUNAH

DOSEN : Syamsul Bachtiar, S.E, M.M

OLEH:

Nama : Muhammad Fajhrin Hasan

NIM : 1761201275

UNIVERSITAS MUSLIM MAROS


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
2018/2019
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah yang maha pengasih lagi maha

penyayang berkat limpahan karunia dan nikmatnyalah kami dapat

menyelesaikan makalah yang berjudul “ekonomi lingkungan tentang satwa

liar, perikanan, dan spesies yang hampir punah ”Penyusunan Makalah Ini

Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pelajaran Ekonomi

Lingkungan” yang dibimbing oleh Syamsul Bakhtiar,ASS.,SE,M,M dalam

proses penyusunannya tak lepas dari bantuan,arahan dan masukan dari

berbagai pihak untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih atas segala

partisipasinya dalam menyelesaikan makah ini.

Demikian apa yang dapat saya sampaikan semoga makalah ini

dapat bermanfaat untuk kita semua,dan untuk saya sendiri khususnya.


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman

hayati. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar

17% satwa di dunia terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia

hanya 1,3% dari luas daratan dunia. Indonesia nomer satu dalam

hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat lebih

dari 1539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia, hidup di

Indonesia.

Indonesia juga menjadi habitat bagi satwa-satwa endemik

atau satwa yang hanya ditemukan di Indonesia saja. Jumlah

mamalia endemik Indonesia ada 259 jenis, kemudian burung 384

jenis dan ampibi 173 jenis (IUCN, 2013). Keberadaan satwa

endemik ini sangat penting, karena jika punah di Indonesia maka

itu artinya mereka punah juga di dunia.

Meskipun kaya, namun Indonesia dikenal juga sebagai

negara yang memiliki daftar panjang tentang satwa liar yang

terancam punah. Saat ini jumlah jenis satwa liar Indonesia yang

terancam punah menurut IUCN (2011) adalah 184 jenis mamalia,

119 jenis burung, 32 jenis reptil, 32 jenis ampibi, dan 140 jenis.

Jumlah total spesies satwa Indonesia yang terancam punah


dengan kategori kritis (critically endangered) ada 69 spesies,

kategori endangered 197 spesies dan kategori rentan (vulnerable)

ada 539 jenis (IUCN, 2013). Satwa-satwa tersebut benar-benar

akan punah dari alam jika tidak ada tindakan untuk

menyelamatkanya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud Teknik Pengelolaan Satwa Liar?

2. Apa yang dimaksud Teknik pengelolaan perikanan?

3. Apa Penyebab Kepunahan Satwa Liar?

4. Apa penyebab kepunahan perikanan?

C. TUJUAN

1. Untuk Mengetahui apa itu teknik pengelolaan satwa liar

2. Untuk Mengetahui apa itu teknik pengelolaan perikanan

3. Untuk Mengetahui apa itupenyebab kepunahan satwa liar

4. Untuk Mengetahui apa itu penyebab kepunahan perikanan


BAB II

PEMBAHASAN

A. TEKNIK PENGELOLAAN SATWA LIAR

Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwaliar yang

tinggi, dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam

jenis satwaliar ini merupakan sumberdaya alam yang dapat

dimanfaatkan untuk banyak kepentingan manusia yang meliputi

berbagai aspek kehidupan baik untuk kepentingan ekologis,

ekonomis, sosial maupun kebudayaan. Manusia memanfaatkannya

dengan berbagai cara, dan seringkali menyebabkan terjadinya

penurunan populasi mereka, bahkan hingga menyebabkan

beberapa jenis satwaliar terancam kepunahan.

Kita mempunyai kewajiban untuk menjamin kelestarian hidup

satwaliar. Pada saat ini program-programnya tertuang di dalam

kegiatan konservasi sumberdaya alam. Kegiatan konservasi ini

mencakup aspek perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan yang

lestari. Sistem konservasi yang sedang dilaksanakan di Indonesia

adalah mengikuti ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam

strategi konservasi dunia. Dalam program-program konservasi

satwaliar ini, termasuk juga upaya-upaya untuk melindungi

habitatnya serta meningkatkan kesadaran dan partisipasi

masyarakat.
B. TEKNIK PENGELOLAAN PERIKANAN

Karena hampir sebagian besar sumberdaya ikan merupakan

sumberdaya alam yang bersifat open access, maka berdasarkan

pengkajian teoritis maupun empiris, sumberdaya tersebut akan

menipis karena rakyat merasa sumberdaya yang terkandung dalam

laut tersebut adalah “milik bersama”. Namun demikian, jarang

sekali tindakan pengelolaan dilakukan pada stok yang

masih virgin (belum dimanfaatkan atau dimanfaatkan tetapi pada

tingkat yang sangat rendah). Lebih sering pengelola dihadapkan

pada kondisi perikanan yang ditandai oleh penurunan laju hasil

tangkapan, kelimpahan populasi ikan yang rendah,

dan overcapitalization dalam bentuk kapal dan peralatan

penangkap ikan. Tantangan bagi pengelola adalah menciptakan

sesuatau kerangka kerja institusional dan legal melalui perundang-

undangan atau peraturan-peraturan dimana tingkat upaya

penangkapan ikan dikehendaki dapat dilaksanakan.

Teknik pengelolaan perikanan dapat dilakukan dengan beberapa

cara, diantaranya :

1. Pengaturan ukuran mata jaring (dari pukat atau alat tangkap

yang digunakan)

2. Pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap,

didaratkan,atau dipasarkan.
3. Kontrol terhadap musim penangkapan ikan (opened or

closed season).

4. Kontrol terhadap daerah penangkapan (opened or closed

areas).

5. Pengaturan terhadap alat tangkap serta perlengkapannya di

luar pengaturan ukuran mata jaring (mesh size).

6. Perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati

(stock enhancement).

7. Pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis,

atau bila memungkinkan per lokasi atau wilayah.

8. Setiap tindakan langsung yang berhubungan dengan

konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya

dalam wilayah perairan tertentu.

Meskipun ini semua merupakan suatu daftar yang cukup

komprehensif, dua hal penting yang tidak dimasukkan ke

dalamnya dapat dikemukakan yaitu :

1. Pengendalian langsung terhadap jumlah total penangkapan

(misalnya suatu pembatasan terhadap jumlah kapal), serta

alokasi bagian dari setiap kuota dari antara berbagai negara.

2. Beberapa regulasi yang bisa dilaksanakan seperti di atas serta

setiap regulasi lain yang dapat digolongkan ke dalam salah

satu dari dua kelompok (atau ke dalam kedua kelompok) yang

berkaitan apakah mereka akan berpengaruh terhadap ukuran


atau kondisi ikan yang tertangkap (terutama ukuran minimum)

atau jumlah total upaya penangkapan. Pengaruh mereka dapat

ditentukan dari kurva yang menggambarkan hasil tangkapan

total dengan jumlah upaya penangkapan, atau ukuran ikan

pertama kali tertangkap, seperti yang ditentukan dari

pengkajian biologis.

1. Pengendalain Jumlah, Ukuran, atau Jenis Ikan yang Tertangkap

1) Penutupan daerah atau musim penangkapan

a. Penutupan daerah atau musim penangkapan akan

efektif untuk mengendalikan ukuran ikan yang

tertangkap, asalkan kedua faktor tersebut memang

mempunyai pengaruh yang nyata atas ukuran ikan yang

tertangkap.

b. Meskipun dari segi ekonomi regulasi ini hanya

berpengaruh kecil terhadap perubahan biaya produksi,

namun relatif sederhana dan mudah dipahami oleh

nelayan dan pihak lain yang terkait sehingga mudah

dilaksanakan.

c. Pembatasan terhadap ukuran mata jaring atau ukuran

mata pancing.

d. Batas ukuran mata jaring atau mata pancing bagi setiap

jenis ikan akan sangat berbeda sehingga penentuan


ukuran mata jaring atau mata pancing yang efisien

untuk perikanan yang bersifat multi jenis haruslah

merupakan bentuk kompromi yang dapat berlaku bagi

sekelompok jenis ikan yang merupakna target umum

dari pengelolaan. Misalnya untuk perikanan pukat cincin

(purse seine) untuk menangkap komunitas ikan pelagis

kecil di Laut Jawa, ukuran mata jaring optimum adalah

18 mm pada bagian jaring pembentuk kantong (bunt)

(Widodo, 1988).

e. Pengendalian terhadap ukuran mata jaring atau mata

pancing hanya akan berdaya guna mana kala

dilaksanakan secara simultan dengan pengendalian

atas jumlah upaya penangkapan.

f. Regulasi tentang ukuran mata jaring kadang-kadang

tidak efisien bila dilaksanakan di dalam usaha

penangkapan udang, sebab jenis krustasea ini sangat

mudah terjerat oleh jaring dengan ukuran mata yang

jauh lebih besar sekalipun.

2) Penentuan ukuran minimum ikan yang boleh ditangkap atau

dipasarkan.

a. Masing-masing jenis ikan harus ditentukan ukuran

minimum yang boleh ditangkap. Misalnya ukuran

minimum untuk ikan layang (Decapterusruselli) di Laut


Jawa adalah 10,6 cm, sedang untuk ikan layang deles

(D.macrosoma) 11,9 cm (Widodo).

b. Keberhasilan dari ketentuan ini sangat ditentukan oleh

kemampuan serta efisiensi pengawasan baik yang

dilakuan di atas kapal maupun di darat.

c. Keberhasilan upaya ini juga sangat ditentukan oleh

pengaturan industri alat tangkap melalui pengaturan

ukuran mata jaring.

d. Model pengaturan ukuran yang boleh ditangkap dan

diperdagangkan telah berhasil dilakukan

di Australia untuk komoditas lobster (Panulirus sp.) dan

berhasil menjadikan Australia sebagai produsen lobster

terbesar di dunia setelah mengalami kehancuran

sebelumnya.

3) Larangan terhadap kegiatan penangkapan di saat dan

tempat di mana terdapat konsentrasi ikan kecil-kecil sangat

berperan di dalam mengendalikan ukuran ikan yang

tertangkap. Untuk kebutuhan ini diperlukan pengetahuan

tentang tempat memijah (spawning ground) dan tempat

mengasuh (nusery ground) bagi beberapa jenis ikan yang

dikelola.
2. Pengendalain Upaya Penangkapan

1) Pengaturan atas upaya penangkapan dapat dilakukan

dengan melalui pembatasan atas suatu parameter atau

kombinasi dari sejumlah parameter yang berpengaruh

terhadap kegiatan penangkapan yang dapat dilakukan

secara langsung maupun tidak langsung.

2) Pembatasan terhadap armada perikanan, termasuk jumlah,

ukuran serta kekuatan mesin kapal.

a. pengaturan ini mempunyai pengaruh langsung terhadap

upaya penangkapan ikan. Misalnya, untuk kegiatan

perikanan puakt cincin di Laut Jawa, jumlah dan ukuran

kapal yang disarankan agar dapat dipertahanmkan

sesuai dengan keadaannya dalam tahun 1986

(Widodo,1988).

b. Pembatasan ini dapat pula merangsang terjadinya

proses pengembangan teknologiuntuk peningkatan

produktivitas dari kapal yang ada.

c. Kombinasi penutupan daerah dan musim penangkapan

mampu membatasi jumlah penangkapan pada tingkat

yang dikehendaki. Jenis pembatasn ini tidak cukup

memberikan peluang unutk menurunan biaya produksi

dari usaha perikanan.


3) Pembatasan terhadap jenis alat dan teknik penangkapan.

a. Ketentuan ini teruatam berkaitan dengan pembatasan

atas jenis serta karakteristik dari alat tangkap serta

perlengkapan yang diperbolehkan atau dilarang.

Misalnya larangan penggnaan dinamit dan racun dalam

kegiatan penangkpan ikan.

b. Ketentuan ini berkaitan dengan ukuran mata jaring yang

lebih dimaksudkan untuk meningkatkan hasil tangkapan

dengan cara melindungi individu-individu iakan yang

masih kecil.

c. Larangan terhadap penggunaan suatu jenis alat tangkap

tertentu hanya akan efektisf mana kala alat tersebut

memang benar-benar efisien.

d. Implementasi regulasi tentang pembatasan alat dan

teknik penangkapan bersifat mudah dan efektif terutama

untuk mencegah terjadinya proses penipisan sediaan,

tetapi kadang-kadang sangat kaku dan sama sekali tidak

memenuhi tuntutan efisiensi ekonomi.

3. Alokasi Jatah (Shared Allocation) dan Kesertaan Terbatas

1) Pengendalian terhadap kuota hasil tangkapan per jenis atau

kelompok jenis ikan dan bila memungkinkan juga per wilayah

peraiaran.
a. Pengendalian atas kuota dapat dilaksanakan dengan

cara memberikan kebebasan menangkap kepada siapa

saja sampai tercapai jumlah hasil tangkapan total yang

telah ditetapkan sebelumnya (sistem kuota

tunggal,single quota system), alokasi jatah dan

kesertaan terbatas (alocation of shares and limited

entry).

b. Pengedalian kuota hasil tangkapan menempati urutan

pertama dalam hal kelenturan dan kemudahan

implementasinya, tetapi bila tidak diikuti dengan

pembatasan upaya penangkapan, maka efisiensi

ekonomi tidak akan terpenuhi.

2) Pengendalian terhadap kuota upaya penangakapan.

a. Pengendalian atas kuota upaya penangkapan dapat

dilaksanakan dengan cara memberikan lisensi kepada

sejumlah nelayan tertentu untuk melakukan

penangkapan secara bebas (sistem kesertaan

terbatas, limited entry system).

b. Sistem pemberian lisensi bermanfaat tidak saja sebagai

alat pengendali terhadap besarnya armada

penangkapan serta hasil tangkapannya, tetapi juga

sebagai sarana pemantauan terhadap laju pertumbuhan

serta status daripada industri perikanannya.


c. Pembatasan lisensi mengandung banyak kelemahan,

diantaranya menyangkut (a) berapa jumlah lisensi yang

akan dikeluarkan, (b) siapa yang dapat memperolehnya,

dan (c) apakah hak kepemilikannya dapat dialihkan

(transferable).

3) Alokasi jatah untuk kuota hasil tangkapan (catch quota) atau

kuota upaya penangkapan (effort quota) lingkup

internasional harus diatur dan ditetapkan oleh negara-

negara yang berkepentingan.

4) Manakala jumlah penangkapan dari suatu sumberdaya

perikanan multi nasional harus dibatasi, pelaksanaan sistem

kuota tunggal akan lebih sederhana daripada sistem lisensi.

5) Sistem pajak

a. Pungutan pajak dapat dikenakan atas hasil tangkapan

atau atas upaya penangkapan (misalnya terhadap kapal

atau nelayan).

b. Sistem pajak jarang dipergunakan sebagai wahana

pengelolaan sumberdaya perikanan, sebab tidak dapat

memenuhi efisiensi ekonomi, selain implementasinya

akan banyak mengalami hambatan serta kurang luwes

dalam pelaksanaan.
4. Bentuk Lain Tindakan Pengelolaan Perikanan

1) Penutupan daerah atau musim penangkapan untuk

melindungi ikan-ikan pada saat mereka berpijah atau dalam

perjalanan untuk memijah.

a. Tindakan ini bertujuan untuk melindungi individu-individu

ikan dewasa yang akan melakukan regenerasi unutk

mendukung kelangsungan masa depan stok ini.

b. Tindakan ini tentunya perlu didukung oleh basis

informasi tentang keberasdaan bai waktu maupun

tempat stok ikan yang akan memijah.

2) Regulasi untuk melindungi kepentingan dari kelompok

nelayan tertentu, misalnya larangan penggunaan pukat

harimau untuk melindungi nelayan artisanal.

a. Perlindungan terhadap kepentingan nelayan tradisional

skala kecil dapat dilaksanakan dengan cara pemberian

hak pemanfaatan atas bagian tertentu dari perairan

pantai, laguna dan estuaria terhadap kelompok nelayan

tertentu untuk usaha perikaan tangkap maupun budidaya

(territorial use of right).

b. Perlindungan ini juga diperlukan untuk menghindari

benturan antara kelompok nelayan skala kecil dengan

besar ataupun dengan usaha-usaha lain baik dengan

perikanan maupun non perikanan.


3) Kebijakan pemerintahan untuk mendorong investasi, terutama

untuk perikanan lepas pantai serta perairan ZEE Indonesia,

yang selanjutnya akan mempengaruhi jumlah penangkapan

serta pola pemanfaatan sumberdaya.

4) Kontrol sosial atas usaha penangkapan yang telah merupakan

trdis di bebrapa daerah, misalnya sasi di Seram, yang pada

dasrnya berusaha menjaga keseimbangan antara usaha

penangkapan dengan daya dukung dari sumberdaya.

Perikanan setempat.

5. Pengelolaan Lingkungan Laut

1) Penurunan kualitas air di daerah pemijahan (spawning area)

dan daerah pengasuhan (nursery ground) harus dicegah. Di

daerah pemijahan dan daerah pengasuhan tersebut tengah

berlangsung periode kritis bagi stadium awal dari kehidupan

berbagai ikan, krustasea, serta fauna laut lainnya, yang

ditandai dengan tingginya laju kematian alami.

2) Perbaikan habitat

a. Perbaikan kualitas air dan habitat ikan di rawa-rawa

pantai dapat dilakukan dengan memperbaiki kondisi

kimiawi air, misalnya dengan menggunakan kapur untuk

menurunkan derajat keasamannya.


b. Banyak kawasan perairan Indonesia cocok untuk

kegiatan budidaya tiram yang memerlukan tersedianya

media untuk tempat menempel dari hewan tersebut.

Penelitian di Pulau Pari dan Teluk Banten diperoleh

bahwa benih tiram lebih banyak menempel pada

genteng berlapis semen daripada genteng biasa dan

berlapis kapur (Ismail dan Subagio, 1973).

c. Bagi dasar perairan yang lembek dan berlumpur,

lembaran-lembaran plastik dapat dipergunakan untuk

melakukan konservasi dasar perairan tersebut sehingga

dapat dimanfaatkan bagi usaha budidaya tiram dan

beberapa jenis bivalvia.

d. Perbaikan habitat bagi nelayan dapat dilakukan dengan

meningkatkan kondisi sarana dan prasarana

pemukiman, pelabuhan atau dermaga pendaratan,

tempat pelelangan, fasilitas penanganan dan

pengelolaan hasil tangkapan, serta pemasarannya.

3) Terumbu karang buatan (artificial reefs)

a. Terumbu karang buatan dapat dibuat dari ban bekas,

kerangka kapal, mobil, bekas bangunan pengeboran

minyak lepas pantai, dan lain-lain yang ditenggelamkan

di laut, yang akan merupakan habitat baru bagi banyak

jenis ikan ekonomis penting.


b. Perlindungan karang yang masih dalam kondisi baik.

4) penggunaan alat bantu pemikat ikan (fish attractant devices,

FADs)

a. Penggunaan rumpon dan payao (rumpon laut dalam)

pada perikanan pukat cincin dan payang di Laut Jawa,

serta perikanan tuna dan cakalang di Maluku dan Papua

sangat berperan di dalam menurunkan biaya produksi.

b. Jumlah dan lokasi antara satu alat pemikat dengan alat

pemikat yang lainnya perlu diatur atau disepakati

letaknya untuk menghindari berbagai konflik nelayan.

5) Pengelolaan lingkungan hutan pantai

a. Pengelolaan lingkungan hutan pantai harus memperoleh

perhatian secukupnya, mengingat peranannya yang

sangat menentukan baik terhadap unsur biotik maupun

abiotik dari lingkungan laut.

b. Pengelolaan hutan pantai juga mencakup pengelolaan

daerah aliran sungai (DAS). Banyak terjadi kerusakan

hutan pantai kerana semakin meningkatnya sedimentasi

akibat berbagai kegiatan di daerah hulu seperti yang

terjadi pada laguna Segara Anakan, Cilacap.


C. PENYEBAB KEPUNAHAN SATWA LIAR

Penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia

setidaknya ada dua hal yaitu:

 Berkurang dan rusaknya habitat

 Perdagangan satwa liar

Berkurangnya luas hutan menjadi faktor penting penyebab

terancam punahnay satwa liar Indonesia, karena hutan menjadi

habitat utama bagi satwa liar itu. Daratan Indonesia pada tahun

1950-an dilaporkan sekitar 84% berupa hutan (sekitar 162 juta ha),

namun kini pemerintah menyebtukan bahwa luasan hutan Indonesia

sekitar 138 juta hektar. Namun berbagai pihak menybeutkan data

yang berbeda bahwa luasan hutan Indonesia kini tidak lebih dari 120

juta hektar.

Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industry

dan pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa

liar, termasuk satwa langka seperti orangutan, harimau sumatera,

dan gajah sumatera. Perburuan satwa liar itu juga sering berjalan

seiring dengan pembukaan hutan alami. Satwa liar dianggap sebagai

hama oleh industri perkebunan, sehingga di banyak tempat satwa ini

dimusnahkan.
Setelah masalah habitat yang semakin menyusut secara

kuantitas dan kualitas, perdagangan satwa liar menjadi ancaman

serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95% satwa

yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil

penangkaran. Lebih dari 20% satwa yang dijual di pasar mati akibat

pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan

terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia.

Semakin langka satwa tersebut makan akan semakin mahal pula

harganya.

Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat

proses penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak

memadai, kandang sempit dan makanan yang kurang. Perdagangan

satwa liar itu adalah kejam! Sekitar 60% mamalia yang

diperdagangkan di pasar burung adalah jenis yang langka dan

dilindungi undang-undang. Sebanyak 70% primata dan kakatua yang

dipelihara masyarakat menderita penyakit dan penyimpangan

perilaku. Banyak dari penyakit yang diderita satwa itu bisa menular

ke manusia.

D. PENYEBAB KEPUNAHAN PERIKANAN

Banjarbaru, Luas laut di Indonesia yang mencapai sekitar

5,8 juta km² tentunya memiliki keanekaragaman hayati yang luar

biasa diantaranya terumbu karang yang mempunyai luas sekitar 25


ribu km² serta 3476 jenis spesies ikan. Untuk menjaga sumber

daya alam baik hayati maupun non hayati, termasuk juga sumber

daya ikan yang semakin hari semakin mengalami kerusakan atau

penurunan kuantitas dan kualitas, Balai Pengelolaan Sumber Daya

Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak bekerjasama dengan Fakultas

Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat

mengadakan Seminar Regional Peluang dan Tantangan

Konservasi Jenis Ikan yang Dilindungi dan Terancam Punah di

Kalsel. Acara ini dihadiri oleh Balai Pengelolaan Sumber Daya

Pesisir dan Laut (BPSPL), Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi

Kalsel, BKSDA Kalsel, Dekan FPK, dosen, mahasiswa serta

instansi terkait lainnya.

Dalam pemaparannya, Kepala Seksi Pendayagunaan dan

Pelestarian BPSPL Pontianak Iwan Taruna Alkadrie

menyampaikan, sesuai dengan PP 60 tahun 2007 konservasi

sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan

pemanfaatan sumber daya ikan termasuk ekosistem, jenis dan

genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan

kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Konservasi

jenis ikan yang merupakan upaya untuk melindungi, melestarikan,

dan memanfaatkan sumberdaya ikan, untuk menjamin keberadaan,

ketersediaan, kesinambungan jenis ikan bagi generasi yang akan


datang. Beliau juga menambahkan tujuan konservasi jenis ikan

yaitu melindungi jenis ikan yang terancam punah, memelihara

keseimbangan dan kemantapan ekosistem, memanfaatkan

sumberdaya ikan secara berkelanjutan, serta mempertahankan

keanekaragaman jenis ikan. Salah satu faktor penyebab terjadinya

kelangkaan disebabkan oleh perilaku nelayan (illegal fishing)

pencemaran dari pertambangan yang tidak ramah lingkungan dan

aktivitas manusia seperti penebangan hutan dan menyebabkan

sendimentasi yang merusak sarang dan telur telur ikan serta

bencana alam. Spesies prioritas yang akan di konservasi pada

tahun 2015-2019 diantaranya seperti, napoleon, arwana, kuda laut,

hiu paus, penyu, dugong, karang hias, dan lainnya.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwaliar yang

tinggi, dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam

jenis satwaliar ini merupakan sumberdaya alam yang dapat

dimanfaatkan untuk banyak kepentingan manusia yang meliputi

berbagai aspek kehidupan baik untuk kepentingan ekologis,

ekonomis, sosial maupun kebudayaan. Manusia memanfaatkannya

dengan berbagai cara, dan seringkali menyebabkan terjadinya

penurunan populasi mereka, bahkan hingga menyebabkan

beberapa jenis satwaliar terancam kepunahan.

B. SARAN

Kita mempunyai kewajiban untuk menjamin kelestarian hidup

satwaliar. Pada saat ini program-programnya tertuang di dalam

kegiatan konservasi sumberdaya alam. Kegiatan konservasi ini

mencakup aspek perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan yang

lestari.
DAFTAR PUSTAKA

http://lppm.ipb.ac.id/teknik-pengelolaan-satwa-liar/

http://siholmsimatupang.blogspot.com/2010/04/teknik-pengelolaan-

perikanan.html

https://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-

indonesia#.XDM44jAza00

https://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine/howwework/e

ndangeredmarinespecies/

Anda mungkin juga menyukai